• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN VERBAL DI TELEVISI DAN PENGARU (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN VERBAL DI TELEVISI DAN PENGARU (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN VERBAL DI TELEVISI DAN PENGARUHNYA

PADA PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

Iqbal Nurul Azhar

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura iqbalnurulazhar@yahoo.com/pusatbahasaalazhar.wordpress.com

Abstract

Artikel ini bertujuan menjelaskan dua hal, yaitu: (1) ekspresi kekerasan verbal yang ada di televisi dan (2) pengaruh keberadaan ekspresi kekerasan verbal tersebut pada perkembangan pemerolehan bahasa anak. Galtung menyebutkan setidaknya ada 7 tipe kekerasan verbal, demikian juga Akbar. Rianti di lain pihak membagi kekerasan verbal ke dalam tiga tipe. Penulis dalam artikel ini membedakan kekerasan verbal ke dalam 22 tipe yang terbingkai dalam 6 taksonomi mayor yaitu; (1) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan penuturnya, (2) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan pembentukan katanya yang unik (3) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan satuan lingualnya (4) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan jenis kalimatnya (5) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan maknanya, dan (6) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan karakternya. Studi ini menyimpulkan bahwa ekpresi kekerasan verbal yang muncul di televisi membawa pengaruh negatif pada proses psikolinguistik anak dalam membuat kalimat. Lebih jauh, studi ini juga menyimpulkan bahwa ekspresi kekerasan verbal yang ada di televisi dapat membahayakan kompetensi pragmatik mereka.

Keywords: verbal, abuse, children, television

PENDAHULUAN

(2)

Selain aturan pemerintah tentang Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994, penulis juga menjumpai aturan lain yaitu UU no 24 tahun 1997 pasal 32 ayat 7 perihal penyiaran. Pasal ini dengan gamblang menunjukkan larangan pada media elektronik untuk menunjukkan kekerasan fisik dan pornografi. Setali tiga uang dengan aturan sebelumnya, pasal ini belum atau bahkan tidak mencantumkan larangan terkait kekerasan verbal karena mungkin dianggap bukan suatu hal yang merisaukan.

Adalah peraturan terbaru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 yang penulis jumpai sebagai satu-satunya aturan yang secara jelas mencantumkan kekerasan verbal sebagai bagian yang harus ditangani. Aturan ini memasukkan kekerasan verbal dalam bab XIII pasal 24 tentang pelarangan dan pembatasan kekerasan. Bab dan pasal ini secara jelas menyatakan bahwa:

“program siaran tidak diperbolehkan untuk menampilkan ungkapan kasar

dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki

makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.

Sayangnya, meskipun definisi kekerasan verbal telah diberikan serta petunjuk tentang bagaimana tata cara penerapan dan pemberian sanksi bagi stasiun televisi yang memuat kekerasan verbal juga telah diatur yaitu pada pasal Bab XXX pasal 27, program-program yang menayangkan kekerasan verbal masih tetap diperbolehkan tayang dan bahkan bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Lemahnya aturan terkait kekerasan verbal ini tentu saja berimbas negatif pada keluarga.

Pemirsa televisi dengan kondisi ini akan mudah mendengar ungkapan-ungkapan kurang sopan pada primetime keluarga seperti “fuck you,” “diam

badak” “muka lu kayak kebo,” “kambing lu,”, “setan lu,”“botak lu,”“si peyang,”

“bego lu,” dan lain-lainnya (Winarno, 2008:16-22). Hal memalukan yang mungkin jarang kita jumpai di negara-negara maju.

(3)

secara tegas mengaturnya. Federal Communication Commission (FCC) dengan tegas melarang tujuh macam kata kasar dalam siaran radio maupun televisi. Di Kanada, aturan semacam ini juga diberlakukan, bahkan lebih ketat. Melalui salah satu pasal dalam Violence Code 1987, pemerintah Kanada secara tegas melarang penayangan segala bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik sebelum jam sembilan malam (Winarno, 2008:16-22).

Sebagian orang (utamanya para orang tua), jelas sangat resah pada kemunculan ekspresi-ekspresi kurang sopan pada jam tayang keluarga (16.00-21.00). Anak-anak mereka yang berusia belia memiliki akses untuk ikut serta menonton acara tersebut karena memang belum waktunya untuk tidur. Dimungkinkan pula, mereka akan meniru apa-apa yang mereka saksikan di televisi pada jam-jam tersebut.

Sebagai aksi kepedulian pada fenomena ini, beberapa orang telah melakukan studi melalui sudut pandang ilmu komunikasi dan kesehatan seperti Liestianingsih (2000), Putra (2001),Winarno (2008: 16-22), Sativa (2012), Akbar (2012), Sintaningrum (2012), dan Rianti (2010). Melalui studi mereka, mereka memberikan himbauan kepada pengelola televisi maupun rekomendasi pada pemerintah untuk selektif menyaring acara-acara televisi sehingga layak ditonton masyarakat secara luas utamanya anak-anak. Artikel ini adalah bagian dari aksi peduli pada fenomena ini. Melalui tulisan ini, wawasan masyarakat terkait fenomena kekerasan verbal dalam tinjauan psikolinguistik diajak untuk dibuka. Diharapkan pula, masyarakat menjadi sadar akan bahaya kekerasan verbal bagi proses perkembangan pemerolehan bahasa anak.

PEMBAHASAN

Definisi dan Macam-macam Kekerasan Verbal

Kekerasan didefinisikan sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik yang sangat keras, dari makhluk hidup terhadap makhluk hidup lain atau sesuatu yang memiliki potensi menjadi milik makhluk lain (Windhu, dalam Winarno, 2008:

16-22).“Kekerasan Verbal” merupakan turunan dari kata “kekerasan” yang dimaknai

(4)

kasar, jorok dan menghina dan dilakukan secara lisan (Effendy dalam Winarno, 2008: 16-22). Yang dimasukkan dalam kekerasan verbal adalah segala perwujudan kekerasan dengan menggunakan lambang bahasa lisan.

Menurut Galtung (dalam Siahaan, et.al, 2001:91-93), kekerasan verbal dapat dikategorikan dalam kelompok kekerasan simbolik yaitu kekerasan yang dilakukan melalui perantara bahasa (wacana). Galtung (dalam Siahaan, et.al, 2001:91-93) juga menambahkan bahwa kekerasan ini beraneka macam jenisnya seperti stigmatisasi (lebelisasi), eufemisme (penghalusan kata), disfemisme (pengasaran kata), akronimisasi, pemendekan kata, jargon dan slogan.

Perwujudan kekerasan verbal lainnya secara spesifik dibagi oleh Akbar (2012) menjadi enam yaitu menghina fisik, menghina dan menyamakan dengan binatang, menghina penyakit, menghina intelektual, menghina kelas sosial, dan menghina gender (Akbar, 2012). Berdasarkan afeksi (pengaruh) kekerasan verbal ini pada objeknya, Rianti (2010) membagi kekerasan verbal menjadi tiga jenis yaitu kekerasan verbal dengan menggunakan kalimat eksklamatif, kekerasan verbal dengan menggunakan kalimat meruntuhkan, dan kekerasan verbal dengan menggunakan tuturan ekspresif.

Berdasarkan pengamatan penulis di program-program televisi, penulis membagi kekerasan verbal yang ada di acara-acara tersebut kedalam enam kategori. Adapun dasar pembagian ini adalah (1) penutur, (2) satuan lingual (3) pembentukan kata, (4) jenis kalimat, (5) perubahan semantik, (6) sifat. (Untuk lebih jelasnya dasar klasifikasi maupun sumber datanya dapat dilihat di Azhar (2012))

Berdasarkan penuturnya di televisi, ekspresi kekerasan verbal pada perempuan diucapkan oleh empat jenis penutur. Penutur pertama adalah laki-laki dewasa kepada laki-laki dewasa, seperti contoh ekspresi “sotoy lo,” Penutur kedua adalah laki-laki dewasa kepada perempuan dewasa, seperti contoh ekspresi “catat

pin BB saya,” “pokoknya Jamilah montok.” Penutur ketiga adalah perempuan

dewasa pada perempuan dewasa lainnya, seperti ekspresi “masyaallah, ibu kayak

Saskia,” “ni, ni pacarnya Rafi Ahmad ya?” Penutur keempat (ini yang

(5)

“masalah buat lo!” Belum ditemukan ekspresi kekerasan verbal dari anak kepada anak, atau dari anak kepada laki-laki dewasa (Azhar, 2012).

Berdasarkan satuan lingualnya, ekspresi kekerasan verbal ini terbagi menjadi tiga. Ketiga satuan lingual yang menunjuk ekspresi kekerasan verbal

tersebut berbentuk; (1) kata interjektif: seperti “setan!”, “pergi!”, “terserah!”, (2) frasa: seperti “muka gila,” “kerbau ijo,” (3) dan kalimat seperti “kamu itu lebih

mirip syahrini dari pada syahrininya ya” (Azhar, 2012).

Berdasarkan pembentukan katanya ekspresi kekerasan verbal ini terbagi menjadi dua yaitu (1) abreviasi kata seperti “kalau yang ini ABG, Atas Bawah

Glondongan.” (2) akronimisasi kata seperti “kamseupay lo, “komedo: komunitas

Melani dodol,” Ekspresi kekerasan verbal terbentuk karena proses coinage juga ditemukan seperti “Ah, lebay lo,” dan “Ne rempong!” Berdasarkan jenis kalimatnya, secara umum ekspresi kekerasan verbal ada empat jenis yaitu (1) kalimat positif (deklaratif), seperti “dari depan kayak Sean idol, dari belakang kayak sean mesin,” (2) kalimat negatif, seperti “kamu gak mikir ya!” (3) kalimat tanya seperti “otakmu kebalik ya?,” “ngapain ke diskotik, mau ngabisin nafas ya

nek?”, dan (4) kalimat imperatif seperti “kalau mau jadi penyanyi dangdut, pergi

dari sini!” (Azhar, 2012).

Berdasarkan perubahan semantiknya, ekpresi kekerasan verbal terbagi menjadi beberapa macam antara lain: (1) simile seperti: “kalau dilihat cucok,

soalnya badannya kayak silet,” (2) eufemisme (penghalusan makna) seperti “saya

senang di bawa mpok Nori naek motor, soalnya kulit mpok Nori alus banget,” (3) disfemisme (pengasaran makna) seperti: “gak kayak Dewi Gita tapi kayak dewi kematian,” (4) asosiasi seperti “kalau ini sih curut lemari,” (5) generalisasi seperti:

“kemarin aku sama mpok Nori suap-suapan obor” (6) plesetan seperti “Aura kasih apa Aura Kesek?” Berdasarkan sifatnya, ekpresi kekerasan verbal terbagi menjadi empat jenis yaitu (1) stigmatisasi (lebelisasi) seperti contoh “dasar lo perempuan pingit,” (2) menghina (fisik dan kemampuan), seperti contoh “itu pake suara mulut apa suara idung?” (3) emosi seperti contoh, “Mau cari suami kayak apa?

(6)

angkot dong, masak angkot bisa dirapetin, hati kamu gak bisa dirapetin.” (Azhar, 2012).

Pengaruh Kekerasan Verbal di Televisi Pada Perkembangan Bahasa Anak

Para mentalis meyakini bahwa dalam belajar bahasa, manusia telah dibekali oleh Tuhan kemampuan yang secara genetis telah diprogramkan pada pikiran mereka. Mereka meyakini bahwa manusia lahir dengan dilengkapi suatu alat yang memungkinkan manusia untuk dapat berbahasa dengan cepat dan mudah. Karena sukar dibuktikan secara empiris akan keberadaan alat ini, maka pendukung pandangan ini mengusulkan sebuah hipotesis yang dikenal sebagai

„hipotesis nurani‟ (innateness hypothesis). Menurut hipetesis ini, wujud bahasa adalah kompleks dan mustahil dipelajari dalam jangka waktu singkat, melalui cara-cara seperti „imitasi’. Menurut hipetesis ini pula, beberapa aspek penting yang berhubungan dengan sistem bahasa pasti telah ada pada manusia secara alamiah dan genetis.

(7)

Adanya hipotesis mengenai LAD ini memberikan horizon pandangan baru bagi para mentalis maupun ahli di bidang pemerolehan bahasa, bahwa anak-anak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang dipaparkan kepada LAD adalah ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur yang tidak gramatikal (biasanya orang tua menggunakan babytalk untuk berkomunikasi dengan bayi misalnya kalimat: adek mik cucu ya?), namun seiring dengan waktu dan makin banyaknya paparan bahasa yang masuk dari lingkungan anak-anak tersebut, mereka pada akhirnya menguasa bahasa ibunya dengan kualitas yang sama seperti ibunya sehingga mereka dapat memproduksi kalimat

“Adek minum susu ya?” dengan sempurna.

Pemaparan bahasa sejak dini yaitu antara usia 0 hingga 13 tahun (atau yang kita kenal sebagai masa emas) pemerolehan bahasa, dapat membantu LAD bekerja secara optimal (Steinberg, Nagata, dan Aline, 2001). Jika anak-anak mendapat paparan melewati usia emas tersebut, dipastikan mereka akan mengalamu masalah terkait produksi bahasa. Pada masa ini, semakin banyak paparan kosakata yang diterima anak, semakin banyak pula kosakata yang dikeluarkan anak tersebut. Semakin baik paparan struktur bahasa kepada anak, maka semakin baik pula produk bahasa yang dikeluarkan.

Di sinilah dilema keberadaan televisi muncul. Satu sisi, televisi dapat menjadi media positif yang mampu menyampaikan informasi serta mendidik anak, satu sisi yang lain, televisi adalah perusak anak yaitu menjadi salah satu sumber pemapar bahasa yang seringkali di dalamnya terdapat acara-acara yang menampilkan struktur-struktur bahasa yang kurang tepat serta berbagai macam kekerasan verbal.

(8)

pasar? Mau beli tomat ya nek? namun karena paparan negatif ini di tunjukkan terus menerus di televisi, pada akhirnya, struktur kalimat yang kurang baik inipun akan masuk ke dalam pangkalan data bahasa anak, menjadi referensi variasi struktur, dan bisa jadi kelak akan dikeluarkan menjadi output yang pastinya akan mengejutkan kedua orang tuanya karena mereka merasa tidak pernah mengajarkan cara berbicara yang demikian.

Pada hakikatnya, sejak mereka lahir, anak-anak menjumpai diri mereka berada pada dunia fisik yang bersifat internal dan ekternal yang mana keduanya harus mereka pahami dengan cara belajar secara induktif. Anak-anak mendapatkan paparan pengalaman dari dunia fisik melalui panca indera mereka dan mempelajari banyak sekali hal dasar terkait dengan fisik seperti objek, peristiwa, dan situasi, termasuk juga bahasa.

Ketika mereka berinteraksi dengan bahasa, mereka secara induktif dan kadang-kadang tanpa sadar, dengan bantuan LAD, belajar bahasa orang-orang yang ada di sekitar tanpa mereka diajar oleh orang-orang tersebut. Apapun yang dikatan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka akan juga mengatakannya. Ada proses kompleks yang melibatkan kolaborasi mental maupun fisik yang terlibat, mulai dari proses mendengar dengan telinga, memahami hingga proses mengimitasi dengan menggunakan mulut dan organ bicara lainnya. Dengan kemampuan otaknya yang luar biasa, seorang anak mampu merekam milyaran informasi terkait bahasa tanpa satupun yang hilang, termasuk di dalamnya kalimat-kalimat kurang berstruktur dan yang mengandung kekerasan verbal.

(9)

Pada umumnya, tiap bangsa memiliki konsep terkait dekotomi ekspresi verbal, yaitu yang favorit dan yang tidak favorit. Dikotomi ini terlihat jelas ketika digunakan untuk membahas kata-kata tabu, kata-kata makian, maupun ekspresi-ekspresi yang mengarah pada kekerasan verbal (Azhar, 2012). Dikotomi ini sifatnya universal. Yang menjadikan dikotomi ini menarik adalah ketika dikotomi ini digunakan untuk memilah kata-kata mana yang bisa dikatakan favorit maupun yang tidak. Bisa jadi satu bangsa menganggap satu kata/ekspresi adalah kata/ekspresi yang tidak favorit (misalnya: matamu! lambemu), tapi pada bangsa lain menjadi favorit (your eyes, your lips). Inilah yang dikatakan sebagai konsep partikular.

Dikotomi ini diajarkan secara sosio-deduktif dalam masyarakat kepada anak-anak dan karenanya dikotomi ini melekat demikian kuat. Allan and Burridge (2006) menyebut satu alasan kuat mengapa dikotomi ini dapat awet di benak anak-anak adalah karena ekspresi tidak favorit identik dengan hukuman

(reprimands), sedangkan ekspresi favorit identik dengan pembiaran.

Kata-kata kasar memang diajarkan kepada anak-anak sejak dini untuk tidak diucapkan dan bagi mereka yang mengucapkannya, akan ada hukuman yang menyertai. Sayangnya, meskipun ada hukuman, jika televisi masih tetap menayangkannya, ini memberikan kesan pada anak-anak bahwa ada ketidak konsistenan dari orang dewasa dalam menyikapi kekerasan verbal. Dengan memberi hukuman, orang tua seakan-akan terlihat benci pada kekerasan verbal, namun di lain pihak, televisi menayangkannya secara terus menerus dan seakan-akan kekerasan verbal tidak terlalu banyak dirisaukan karena kata-kata jenis ini dianggap sama dengan kata-kata favorit lainnya. Inilah yang dapat menyebabkan anak-anak tumbuh berkembang dalam dua standar yang berbeda dan karena faktor paparan bahasa, perkembangan kepribadian anak-anakpun menjadi terganggu.

(10)

kerja sama yang baik. Seseorang yang menginisiasi sapaan yang baik pada

seseorang misalnya: “selamat pagi bu Andi, ibu mau ke pasar ya?” pada dasarnya

ia hendak melakukan kerjasama berkomunikasi dengan mitratuturnya. Demikian juga ketika si mitra tutur memberikan balasan akan sapaan tersebut yaitu dengan mengatakan : oh bu Amin, iya bu, saya mau kepasar, mumpung masih pagi” pada dasarnya ia telah bersedia melakukan kerjasama untuk membangun komunikasi.

Ketika anak terpapar bahasa vulgar oleh televisi yang diucapkan oleh artis-artis televisi misalnya kalimat “kalau ini sih curut lemari”, dan dengan intuisi kebahasaannya yang belum tumbuh secara sempurna dia memodifikasi kalimat tersebut untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya sendiri dan kemudian ia gunakan modifikasi kalimat tersebut untuk memanggil ibunya: “curut lemari, aku

minta dibeliin ice cream dong”, pada dasarnya televisi telah mengajarkannya

untuk meninggalkan prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi. Jika sikap ini dia terapkan terus menerus, maka tidak hanya sikap bahasanya yang buruk, sikap-sikap sosial yang lainnyapun akan menjadi jelek. Dalam waktu dekat, si anak akan tumbuh menjadi sosok yang memiliki sifat egois dan antisosial.

Sikap Orang Tua Menghadapi Fase Perkembangan Bahasa Anak

Erikson (dalam Salkind, 2004) menyebutkan bahwa anak-anak selama umur 1 tahun hingga 6 tahun, melewati dua fase pertumbuhan yaitu fase autonomi v.s. ragu-ragu (1-3 tahun) serta fase inisiatif v.s rasa bersalah (3-6 tahun). Ketika melewati dua fase ini, anak-anak selayaknya mendapatkan dukungan yang maksimal dari orang tua dan lingkungannya.

Pada fase 1-3 tahun, Jika perkembangan anak tidak didukung oleh orang tua, anak-anak mungkin memiliki kepribadian yang ragu-ragu. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus memadamkannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan

di sini. Teguran yang harus diberikan orangtua kepada anaknya harus “tegas namun toleran”, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap

(11)

perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson (dalam Salkind, 2004) sebagai impulsiveness (terlalu mengikuti kata hati). Sayangnya, tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana bersikap kepada anak-anak pada fase ini terutama ketika sang anak-anak sedang mengambil sikap pada paparan bahasa yang mereka dapatkan. Ketika anak-anak telah memulai mencoba-coba menirukan apa yang mereka dengan di televisi, para orang tua cenderung melakukan pembiaran dan terkesan bangga karena anak-anak mereka memiliki kosakata yang luas, padahal kosakata tersebut adalah kosakata yang tidak patut. Pembiaran ini jika dilakukan terus menerus akan membuat pola bahasa anak menjadi tidak terkontrol dan cenderung berwarna seperti pemaparnya. Seharusnya, orang tua ketika anak telah mulai belajar banyak kosakata baru, memberikan dukungan tidak aktif dengan cara memasang wajah gembira ketika mereka mengucapkan kosa kata atau ekspresi yang favorit dan memberikan wajah sedih atau kurang senang kepada anak-anak ketika mereka mulai belajar memproduksi kosa-kata yang tidak patut/tidak favorit.

Pada fase 3-6 tahun menurut Erikson (dalam Salkind, 2004), anak mesti belajar untuk memulai kativitas tanpa merusak hak-hak orang lain. Rasa bersalah mungkin muncul pada saat melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang tua. Untuk mengurangi perasaan bersalah ini, maka selayaknya orang tua harus mampu membentuk anak agar tidak berlawanan dengan orang tua terutama masyarakat. Terkait dengan bahasa, anak-anak sebelum memasuki fase ini harus telah diberikan peta jalan mana ekspresi yang favorit dan mana yang tidak sehingga anak-anak akan akan selalu memilih kata-kata favorit sehingga tidak berlawanan dengan keinginan orang tua. Jika mereka tidak berlawanan, maka mereka akan sedikit sekali mendapat teguran dan rasa bersalah merekapun akan semakin sedikit.

(12)

hanya pada leksikon-leksikon tabu saja, tapi juga pada beraneka konteks dimana kata-kata favorit dapat berubah makna menjadi ekspresi kekerasan verbal. Definisi ini juga harus tidak boleh fleksibel mengingat standar yang fleksibel terkadang menyebabkan beberapa pencari laba di televisi seringkali “bermain” di dalamnya (Azhar, 2012). Jika definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks kekerasan verbal telah jelas, maka langkah selanjutnya adalah memperjuangkan definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks ekspresi kekerasan verbal untuk masuk pada peraturan terbaru KPI atau peraturan sejenis untuk diterapkan. Dengan dukungan aparat yang bersih dan tegas, niscaya, televisi Indonesia dapat

bersih dari “sampah-sampah bahasa” dan anak-anakpun akan aman bermain-main

di dalamnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan paparan artikel di atas, di dapat satu simpulan besar yaitu: (1) ekspresi yang menunjukkan kekerasan verbal di televisi mudah ditemukan, serta (2) kekerasan verbal yang muncul ditelevisi secara jelas dapat mempengaruhi proses perkembangan pemerolehan bahasa anak

Galtung (dalam Siahaan, et.al 2001:91-93) memaparkan setidaknya ada 7 jenis ekspresi kekerasan verbal, demikian juga Akbar (2012) yang menemukan 7 jenis, dan Rianti (2010) yang menemukan 3 jenis. Penulis sendiri memaparkan setidaknya ada 22 jenis ekspresi kekerasan verbal yang berada dalam 6 naungan taksonomi besar yaitu: (1) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan penuturnya, (2) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan pembentukan katanya yang unik, (3) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan satuan lingualnya, (4) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan jenis kalimatnya, (5) variasi bedasarkan maknanya, serta (6) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan sifatnya.

(13)

Studi ini jauh dari sempurna karena masih bersifat pendahuluan dan dalam fase analisisnya masih berhenti pada analisis taksonomi deskriptif yang dilanjutkan dengan tambahan argumentasi preskriptif, serta belum menyentuh pada simpulan besar yang berwujud postulat nilai-nilai budaya. Dengan demikian, diharapkan, para peneliti selanjutnya yang tertarik pada topik ini dapat mengambil celah yang belum sempat digarap oleh studi ini.

Oleh karena ekspresi kekerasan verbal banyak ditemukan di program televisi, diharapkan pihak televisi dapat bersikap lebih selektif dalam membuat program, jika perlu mengedit ekspresi-ekspresi yang mengandung kekerasan verbal pada perempuan terlebih dahulu sebelum ditayangkan. Bagi artis yang bermain di acara-acara yang dikaji oleh artikel ini untuk lebih berhati-hati memilih ekspresi-ekspresi yang diucapkan agar tidak terkesan menggunakan ekspresi yang tidak favorit yang dapat berdampak buruk tidak hanya pada dirinya, tapi juga pada anak-anak yang menonton acaranya. Bagi masyarakat agar bertindak bijak dengan mendampingi anak-anak untuk menjaga agar anak-anak tidak secara mentah-mentah mengimitasi ekspresi kekerasan verbal yang muncul di program televisi.

DAFTAR PUSTAKA

Azhar. 2012. Bentuk-bentuk Ekspresi Kekerasan Verbal Pada Wanita di Televisi. Makalah di Sajikan di Seminar Bahasa dan Sastra yang di Selenggarakan Oleh Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta

Allan, K. and Burridge, K. 2006. Forbidden Words: Taboo and the Censoring of

Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Akbar, Berry Muhammad. 2012. Skripsi dengan Judul Representasi Kekerasan

Verbal dan Non Verbal dalam Tayangan Pesbukers ANTV. Fakultas Ilmu

Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta

Grice. H.P. 1975. Logic and Conversation: Syntax and Semantic, Speech Act. New York: Holt Sunders

Liestianingsih D.,2000. Penggambaran Relasi Gender Dalam Iklan Obat Kuat

dan Suplemen di Televisi, Laporan Penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian,

(14)

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran

Putra, 2001. Kekerasan Berbungkus Tawa. Jakarta: Media Watch

Rianti, Dian, 2010. Skripsi dengan judul Persepsi Ibu Terhadap Perilaku Verbal

Abuse pada Anak. Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran.

Universitas Diponegoro

Salkind, Neil J. 2004. An Introduction to Theories of Human Development. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International Education and Publisher

Sativa, Siti Nuraini Syafitri. 2012. Skripsi dengan Judul Representasi Kekerasan Verbal Terhadap Perempuan dalam Film Minggu Pagi di Victoria park. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta

Siahaan, Hotman, et.al. 2001. Pers Yang Gamang. Jakarta: --

Sintaningrum. 2012. Skripsi dengan Judul Konstruksi Kekerasan Verbal pada

Program Talk Show Show Imah di Trans TV. Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Mercu Buana Jakarta

Steinberg, Danny D, Nagata, Hiroshi, Aline, David P. 2001. Pasycholinguistics: Language, Mind and World. Malaysia. Pearson Education

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Profesionalisme Auditor Internal Terhadap Kualitas Laporan Hasil Pemeriksaan Auditor Internal.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi dengan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merancang dan membangun sistem informasi belajar mengajar secara online antara guru, siswa dan orang tua sehingga dapat

Strategi untuk perusanaan-perusahaan yang berusaha bergerak ke arah globalisasi dapat dikelompok berdasarkan pada tingkat kompleksitas disetiap pasar asing yang

manusia dengan Allah yang diatur dalam Fiqih Ibadah dan hubungan. manusia dengan sesama yang diatur dalam

Billy delivers the command using bald on record strategy because at the time Carl insists his son, Jody, to go with him but Jody does not want to go with his father and it makes

Tahap dalam perancangan dan pembangunan sistem dilakukan dengan merancang dan membangun sistem rekomendasi restoran menggunakan metode AHP dalam menghitung nilai bobot

Kondisi PNS pada masa kemasa seolah menjadi sorotan publik, PNS di jaman Orde Lama merupakan bagian terpenting dalam proses membentuk karakter bangsa terutama