• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rumpon (Fish Aggregating Device) dan Kondisi Hydro-oseanografi di Area Fishing Ground

Keberadaan populasi ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam konsep biologi ikan, faktor-faktor tersebut terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu yang bersifat biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi proses biologi yang terjadi akibat pengaruh dari dalam tubuh ikan, sebagai respons terhadap perubahan lingkungan di mana ikan tersebut berada. Sedangkan respon ikan terhadap pengaruh dari luar terjadi dalam bentuk interaksi antar organisme yang menghuni perairan tempat populasi ikan berada sebagai habitatnya. Interaksi terjadi biasanya dalam bentuk hubungan pemangsaan (predator-prey) atau persaingan makanan (food competition). Faktor abiotik adalah faktor-faktor lingkungan perairan yang lebih bersifat fisik dan kimia seperti klimatologi, arus, ketersediaan unsur hara, oksigen, nitrat, fosfat, suhu dan salinitas. Kedua faktor tersebut, yaitu abiotik dan biotik, merupakan unsur utama dalam penentuan tinggi rendahnya kelimpahan suatu populasi atau stok sumberdaya ikan di suatu perairan.

Berdasarkan hubungan interaksi dari faktor biotik dan abiotik tersebut, dalam penelitian ini, telah dikaji faktor abiotik di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa, khususnya yang dijadikan fishing ground oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang menangkap Madidihang. Atas ketersediaan data, dalam penelitian ini telah dikaji faktor abiotik utama yang berpengaruh langsung terhadap populasi Madidihang, yaitu suhu, oksigen dan klorofil-a. Sedangkan data ikan yang dikaji meliputi data sebaran ikan secara spasial, yaitu data yang diperoleh dari rumpon sebagai fishing ground yang berada di titik koordinat 1103° 00'-115° 00' BT dan 9° 00' - 12° 0' LS). Data hasil tangkapan yang

dikaji, meliputi data temporal dari kurun waktu tahun 2003 sampai 2010. Dengan demikian, diharapkan informasi ini bisa menjelaskan keberadaan sumberdaya Madidihang di perairan tersebut, pada kurun waktu antara tahun 2003 hingga tahun 2010 yang ditangkap oleh nelayan sekoci.

(2)

Sebagian besar nelayan Sendang Biru dalam menangkap ikan memperhatikan cuaca dan unsur terkait yang berhubungan dengan keselamatan melaut dan keberadaan ikan di lokasi rumpon. Penyesuaian nelayan terhadap faktor cuaca dan musim dalam penelitian ini dikaji, terutama mengenai: keberadaan rumpon, musim menangkap, spesies dan ukuran yang tertangkap. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh ketersediaan data dan informasi hasil tangkapan nelayan kecil, yang selama ini belum tersedia secara spesifik dari nelayan Indonesia (IOTC 2010) dan kajian ilmiah interaksi antara Madidihang dengan kondisi hidro-oseanografis, sehingga diperoleh informasi lingkungan yang ideal yang disukai Madidihang.

4.1.1 Rumpon atau Fish Aggregating Devices (FADs)

Rumpon telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas hasil tangkapan pada industri perikanan tangkap besar yang menggunakan alat tangkap purse seine dan long line, juga pada perikanan tangkap artisanal yang menggunakan alat tangkap handline. Di Samudera Atlantik dan Samudera Hindia hampir 75% hasil tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis), 35% Madidihang (Thunnus albacores), dan 85% tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ditangkap dengan menggunakan kapal purse seine pada rumpon. Ikan Cakalang yang tertangkap pada umumnya berukuran besar atau fase dewasa, namun untuk Madidihang dan Mata Besar berukuran kecil (< 100 cm fork length) atau fase juvenil (Hallier dan Gaertner 2008). Hasil tangkapan Madidihang di rumpon pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan dan hampir 70% hasil tangkapan Madidihang dihasilkan oleh kapal purse seine yang diperoleh dari rumpon (Greenpeace 2010). Fenomena ini terjadi setelah diketahui bahwa spesies tuna tropis memiliki perilaku yang menyukai kepada benda pengampung di perairan. Madidihang berasosiasi dengan benda mengapung (Gooding and Magnuson 1967; Hunter and Mitchell 1967; Fonteneau 1993) dan benda bergerak lainnya pada saat beruaya, seperti kapal penangkap ikan (Fonteneau and Diouf 1994). Berdasarkan perilaku tuna tersebut nelayan membuat benda mengapung buatan yang selanjutnya disebut rumpon (Hallier dan Gaertner 2008) dan keberadaan rumpon memegang peranan penting dalam perikanan tangkap dunia (Dagorn et al. 2001). Pada perikanan tuna dengan

(3)

kapal tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi hasil tangkapan nelayan tradisional di kepulauan Comoros (Cayre 2001).

Seperti halnya nelayan lainnya di dunia, pada saat ini nelayan kapal sekoci Sendang Biru telah menggunakan rumpon sebagai fishing ground. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 pasal 19:(2), yang dimaksud dengan rumpon adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Penggunaan rumpon ini di mulai pada tahun 2000-an setelah nelayan Sendang Biru memperoleh pengetahuan tentang manfaat rumpon dari nelayan Sulawesi Selatan pada tahun 1998-an. Nelayan dari Sulawesi Selatan pada saat terhanyut, secara kebetulan menemukan keberadaan rumpon di perairan teritorial Indonesia, tidak jauh dari PPP Pondokdadap. Rumpon ini, kemudian diketahui merupakan milik nelayan besar yang berasal dari Filipina. Pada saat terhanyut nelayan Sulawesi Selatan tersebut melakukan kegiatan pemancingan di rumpon dan dalam waktu sekitar 2-4 jam memancing memperoleh hasil sekitar 2 ton ikan tuna. Keberadaan rumpon Filipina tersebut, sesungguhnya sudah diketahui lama oleh nelayan Sendang Biru, karena pada saat melaut nelayan Sendang Biru sering kali bertemu dengan nelayan kapal besar yang berbendera Filipina. Namun manfaatnya baru diketahui setelah adanya transformasi pengetahuan dari nelayan sekoci Sulawesi Selatan yang membongkar-muat ikan hasil tangkapan di PPP Pondokdadap pada saat terhanyut tersebut. Pada mulanya keberadaan rumpon Filipina tersebut sering diputus oleh nelayan lokal Sendang Biru karena dianggap mengganggu nelayan lokal Sendang Biru yang pada umumnya menggunakan alat tangkap payang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh tiga alasan terjadinya pemutusan rumpon tersebut: (1) nelayan tidak mengerti akan manfaat dari rumpon,(2) hasil tangkapan berkurang setelah kedatangan kapal besar dari Filipina, dan (3) alat tangkapnya sering tersangkut pada rumpon pada saat beroperasi.

Penggunaan rumpon oleh nelayan Sendang Biru, dianggap berperan penting sebagai alat bantu dalam penangkapan. Dari hasil wawancara dengan nelayan, seluruh responden mengerti manfaat dari rumpon, yaitu: (1) sebagai tempat

(4)

mencari makan, berteduh dan beristirahat ikan tuna sebagai ikan target utama, (2) diperoleh tingkat kepastian akan hasil tangkapan yang lebih tinggi, (3) hasil tangkapan besar (4) biaya operasioanal relatif rendah, akibat perubahan pola tangkapan dari hunting menjadi fishing (harvesting), dan (5) memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8-10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan yang mencantumkan rumpon sebagai salah satu alat bantu penangkapan ikan. Atas dasar manfaat tersebut, maka keberadaan rumpon di area tangkap semakin pesat perkembangannya.

Pengetahuan tentang pola migrasi ikan tuna dan fungsi rumpon sebagai shelter ikan tuna, digunakan sebagai acuan dalam penentuan penempatan lokasi rumpon. Nelayan memiliki keyakinan bahwa semakin jauh dari garis pantai, maka arusnya akan besar dan lautnya semakin dalam, sehingga karakteristik ini oleh nelayan diduga sebagai tempat migrasi ikan tuna, selain alasan lainnya. Penentuan peletakan posisi rumpon dilakukan secara intuisi dan pengalaman dari nahkoda, di samping pada mulanya menjauhkan posisi rumpon dari jangkauan kapal armada lainnya, seperti Sampan Pakisan, Jukung dan payangan yang dimiliki oleh nelayan lokal Sendang Biru yang dianggap mengganggu. Pada tahun 2010 jumlah rumpon yang dimiliki oleh Nelayan Sendang Biru sekitar 80 unit. Rumpon ini dijadikan fishing ground, khsusus untuk armada kapal jenis sekoci yang menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line). Posisi rumpon tersebut dipasang oleh nelayan sekoci dan tersebar di antara titik koordinat 110°-115° BT dan 9°-12° LS, yang dipasang pada kedalaman laut antara 3 000-6 000 m (Gambar 5), sehingga dikategorikan sebagai rumpon laut dalam yang permanen.

Rumpon dirancang dan dibuat secara berkelompok oleh pemilik kapal. Akan tetapi bagi yang memiliki kapal sekoci lebih dari 4-5 unit per orang, maka biaya pembuatan rumpon sepenuhnya ditanggung sendiri, sedangkan untuk yang memiliki kapal sekoci 1 sampai 3 unit/orang, biaya ditanggung secara bersama atas dasar kesepakatan. Adapun biaya untuk pembuatan satu unit rumpon pada tahun 2010 sekitar Rp 75 000 000.

(5)

Gambar 5 Sebaran rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagai fishing ground.(Sumber: Base map ODV versi 3).

Pada mulanya rumpon dibuat dengan mencontoh rumpon yang dimiliki oleh nelayan dari Filipina, namun seiring dengan kedatangan nelayan sekoci dari Sinjai Sulawesi Selatan, desainnya berubah berdasarkan kepada pengetahuan yang dibawa dari Sulawesi Selatan. Modifikasi utama dilakukan pada penggunaan pelampung, yang semula menggunakan bahan yang terbuat dari besi/baja yang berbentuk kapsul, diganti dengan pelampung yang berbahan styrofoam. Bahan lain yang digunakan adalah rumbai daun kelapa dan tali serat, atraktor dari tali rapia, compact disk (CD) dan ban bekas, tali baja, dan tali serat yang berukuran besar dengan panjang 6 000 hingga 12 000 m. Sedangkan sebagai pemberat digunakan bahan dari semen (Gambar 6). Modifikasi ini dilakukan dengan tujuan penghematan biaya pembuatan, karena jangka waktu pakainya tidak menentu.

Pada saat ini keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru seringkali hilang, menurut hasil wawancara hal tersebut terjadi akibat: (1) hanyut atau putus karena tidak pas peletakan posisi rumpon, dimana pemberat tidak berada di dasar laut akan tetapi jatuh di atas puncak gunung laut, sehingga pada saat ada arus, angin dan gelombang besar pelampung hanyut karena pemberat menggantung, (2) diputus oleh nelayan dari luar Kabupaten Malang terutama oleh nelayan dari Benoa, yang memasang long line. Posisi rumpon dianggap mengganggu, karena berada dalam alur penangkapan nelayan Benoa, sering kali long line milik nelayan Benoa tersangkut pada baling-baling kapal sekoci, (3) terputus oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke.

(6)

Gambar 6 Rumpon laut dalam (3 000-6 000 m) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru.

Kondisi tersebut di atas menimbulkan permasalahan bagi nelayan sekoci Sendang Biru. Permasalahan ini dirasakan oleh nelayan Sendang Biru sejak tahun 2008, namun penyelesaian masalah baru dilakukan pada tanggal 24 Maret tahun 2009 yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Keputusan dari penyelesaian masalah tersebut, diantaranya: (1) pengecekan dan pembinaan kepada nelayan andon dari Jawa Tengah terhadap dokumen kapal penangkapan dan surat andon pada kapal yang melakukan andon ke Jawa Timur, dan sebaliknya, (2) melaksakan pengawasan di wilayah rawan konflik. Akan tetapi di lapangan kesepakatan ini belum dirasakan oleh nelayan Sendang Biru, penjarahan di rumpon tersebut terus berlangsung. Sedangkan dengan nelayan long line dari Benoa sampai saat ini belum dilakukan penyelesaian, karena nelayan Sendang Biru dengan kapal berbobot 10 GT, dianggap menyalahi aturan alur penangkapan, sebagaimana diatur Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun 1999, tentang alur penangkapan dimana perairan ZEEI merupakan alur penangkapan kapal besar, bukan untuk kapal 10 GT. Permasalahan gangguan rumpon nelayan Sendang Biru tersebut tidak bisa diselesaikan berdasarkan koordinasi antara pemerintah provinsi, namun harus dilakukan di tingkat nasional, karena terjadi di wilayah ZEEI yang yuridiksinya berada dalam kewenangan nasional, sebagaimana di atur dalam UU No 32 tahun 2004. Secara yuridis keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru di perairan ZEEI, masih belum jelas, izin

(7)

pemasangan rumpon baru diatur untuk perusahaan perikanan besar sebagaimana yang tercantum pada pasal 9 ayat 1 Keputusan Menteri Pertanian nomor 51/Kpts/IK.250/1/1997 pasal 12, yang diperbaharui oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Nomor 30 tahun 2004. Pengaturan tentang perlindungan dan pengelolaan untuk rumpon yang dipasang oleh nelayan kecil belum diperhatikan, baru sebatas letak posisi dan persyaratan pemasangan. Kondisi tersebut membuat lemah secara hukum, sehingga pada saat ini rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru keberadaannya terancam.

Menurut Pitcher dan Preikshot (2001) penggunaan rumpon tersebut dianggap mengganggu kelestarian sumberdaya ikan tuna Madidihang dan Mata besar, karena menurut Hallier dan Gaertner (2008) pada umumnya yang tertangkap berukuran kecil (<100 cm fork length) atau fase juvenil, sementara kondisi stok ikan tersebut di Samudera Hindia dan Atlantik diestimasi sudah mendekati overexploited\ atau telah di atas MSY (maximum sustainable yield). Besarnya tangkapan fase juvenil tersebut dianggap mengancam populasi tuna di kedua perairan tersebut, sehingga penggunaan rumpon oleh perusahaan besar dilakukan moratorium oleh badan yang mengelola sumberdaya ikan tuna tersebut, seperti IOTC di Samudera Hindia. Berdasarkan hasil moratorium tersebut, kapal-kapal dengan alat tangkap besar dengan menggunakan purse seine pada rumpon dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak selektif, karena selain hasil tangkapan utamanya ikan berukuran kecil juga banyak by-catch yang tertangkap, seperti ikan lumba-lumba, sebaliknya untuk kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap handline penggunaan rumpon sangat membantu dan baik untuk digunakan, karena selain meningkatkan efisiensi penangkapan juga sangat selektif sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelimpahan ikan tuna.

Berdasarkan kenyataan tersebut, keberhasilan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dalam hal pemanfaatan ikan Madidihang yang ada di perairan ZEEI samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur, sangat ditentukan oleh keberadaan rumpon tersebut. Dengan demikian, adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap rumpon tersebut oleh kapal sekoci, pada akhirnya akan menentukan tingkat keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh masyarakat. Agar tingkat keberlanjutan perikanan tangkap

(8)

tuna masyarakat Sendang Biru terjaga, maka keberadaan rumpon mutlak diperlukan namun perlu pengaturan lebih lanjut, terutama jarak antara rumpon, letak posisi, sehingga tidak mengganggu alur penangkapan atau pelayaran lainnya.

4.1.2 Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Fishing Ground 4.1.2.1 Angin Muson dan Musin Penangkapan Ikan

Kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan ZEEI oleh nelayan kecil pada umumnya sangat bergantung kepada kondisi hidro-oseanografi dari perairan Selatan Jawa, terutama kecepatan angin. Kondisi angin muson diamati oleh nelayan, bukan untuk menentukan keberadaan ikan, akan tetapi untuk memperoleh keselamatan pada saat mencapai fishing ground karena kapal nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru berukuran kecil (panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 m) dengan bobot 10 GT.

Upaya untuk menyiasati kondisi faktor angin muson tersebut, nelayan sekoci merujuk terhadap perubahan angin muson yang berlaku di Selatan Jawa. Pengetahuan tentang musim, diperoleh secara turun temurun dari pengalaman. Nelayan membagi musim dalam 4 periode, yaitu: (1) musim barat: Desember- Februari, (2) musim peralihan I: Maret-Mei, (3) musim timur: Juni-Agustus, dan (4) musim peralihan II: September-November. Pembagian musim ini sesungguhnya sudah sesuai dengan pembagian musim yang dilakukan oleh (Wyrtki 1961). Produksi dan upaya nelayan sekoci di rumpon contoh, dari 27 unit kapal sekoci contoh yang diamati tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Produksi dan ukuran Madidihang berdasarkan musim (2003-2010)

Musim Trip Ukuran Ikan Jumlah

(kg) 1-2 kg 2-9 kg 10-20 kg > 20 kg Barat (Des-Feb) 178 6 485 54 993 8 548 5 345 75 549 Peralihan I (Maret-Mei) 669 15 936 116 368 30 556 137 701 301 230 Timur (Juni-Agustus) 954 7 791 246 151 143 607 153 415 551 918 Peralihan II (Sep-Nov) 575 17 012 213 607 23 139 35 876 290 209 Sumber:Hasil analisis.

Dari Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dari tahun 2003 sampai 2010 sepanjang bulan terus melakukan kegiatan penangkapan Madidihang di rumpon. Pada musim barat

(9)

(Desember-Februari) diperoleh produksi terendah, yaitu 75 549 kg dengan upaya tangkap 178 trip. Rendahnya produksi tersebut, karena telah berlangsung musim barat. Pada musim barat sebagian besar ABK sekoci beristirahat dan digunakan untuk pulang kampung ke Sulawesi Selatan sedangkan pemilik kapal melakukan perbaikan dan perawatan kapal. Namun, bagi yang tidak pulang kampung dan kondisi kapal dalam keadaan prima, kegiatan penangkapan tetap dilakukan, terutama di rumpon yang relatif dekat dari PPP Pondokdadap.

Pada bulan April-Mei (musim peralihan 1), produksinya mulai meningkat, yaitu 301 230 kg. Pada periode ini walaupun di perairan selatan Jawa masih bertiup angin kencang namun arah angin tidak menentu karena pada periode ini menurut Tchernia (1980) terjadi musim pancaroba awal tahun. Meningkatnya produksi Madidihang di PPP Pondokdadap disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap tuna di rumpon baru dimulai setelah berhentinya kegiatan penangkapan pada musim barat. Pada musim ini walaupun anginnya masih tergolong kencang akan tetapi dianggap kecepatan angin mulai mereda setelah berakhirnya musim barat. ABK yang pulang pada musim barat, pada umumnya kembali pada akhir bulan Februari, untuk melakukan persiapan penangkapan pada awal bulan Maret. Pada awal bulan Maret nelayan sekoci melaut untuk memperbaiki rumpon yang rusak selama musim barat, atau melakukan pemasangan rumpon lagi apabila hilang. Kegiatan selanjutnya efektif berlangsung sampai pertengahan bulan November menjelang masuk ke periode musim barat.

Kegiatan penangkapan ikan tuna di rumpon paling besar dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober, puncaknya pada bulan Juni-Agustus dengan jumlah upaya tangkap dan produksi masing-masing adalah 954 trip dan 551 918 kg. Pada bulan tersebut, menurut Clark et al. (1999), di Samudera Hindia berlangsung musim timur, dimana angin bertiup dari belahan bumi selatan. Akibatnya terjadi akumulasi kelembaban dan presipitasi yang tinggi di daratan Asia, sehingga angin tidak besar. Selain fenomena angin, pada musim timur tersebut di selatan Jawa berlangsung fenomena upwelling, yaitu terjadinya percampuran massa air secara vertikal maupun horisontal yang merupakan proses dinamika massa air yang berlangsung di perairan timur laut Samudera Hindia. Informasi fenomena tersebut, oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru digunakan untuk

(10)

menempatkan posisi rumpon karena nelayan mengetahui bahwa area upwelling merupakan tempat yang banyak ikannya. Hal ini terlihat dari hasil analisis rumpon sebagian besar berada pada posisi 112° 00'-115° 00' BT dan 9° 00' - 12° 0'

LS tempat terjadinya upwelling. Hal ini dikuatkan oleh Susanto et al. (2001), bahwa pada masa angin muson timur di sepanjang perairan pantai barat Sumatera dan selatan Jawa terjadi upwelling, walaupun menurut Wyrtki (1961), upwelling di selatan Jawa terjadi secara temporal dan menempati zona di sepanjang batas arus pantai Jawa dan arus khatulistiwa selatan.

Pada bulan September-November (masa peralihan ke-2) kegiatan penangkapan ikan mulai menurun (575 trip) dengan produksi 290 209 kg jika dibandingan dengan musim timur, akan tetapi masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan musim peralihan pertama. Kondisi perairan pada saat musim pancaroba ke-2 hampir sama dengan musim pancaroba ke-1. Menurut Tchernia (1980) pada bulan tersebut dinamakan musim pancaroba akhir tahun, dimana kondisi kecepatan angin mulai meningkat, namun arahnya tidak menentu. Armada yang berukuran kecil, seperti ukuran armada tangkap sekoci nelayan Sendang Biru di Indonesia, pada saat terjadinya angin musim barat dan musim peralihan umumnya berhenti melaut. Akan tetapi di Sendang Biru, kondisi angin pada musim barat tersebut tidak menyurutkan sebagian ABK Sekoci untuk pergi melaut, walaupun di perairan selatan Jawa kondisi cuacanya buruk. Menurut Tchernia (1980) pada musim barat, kecepatan angin paling besar karena angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia sebagai akibat pengaruh pergantian musim di belahan bumi utara (daratan Asia) yang sedang berlangsung musim dingin, sebaliknya di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas.

Nelayan Sendang Biru akan berhenti melakukan kegiatan penangkapan, bukan karena faktor musim semata, akan tetapi faktor sosial budaya yang lebih diutamakan. Kegiatan penangkapan akan berhenti secara total, pada saat memperingati hari-hari besar keagamaan, seperti hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha, hari besar kenegaraan pada tanggal 17 Agustus dan pelaksanaan budaya adat petik laut yang dilaksanakan setiap tanggal 27 November.

(11)

Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa hidro-oseanografis di Selatan Jawa bukan menjadi pembatas dalam kegiatan penangkapan Madidihang di rumpon yang terletak di ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa. Masa tangkap ikan berlangsung sepanjang tahun, namun masa efektif 8 bulan yang di mulai pada bulan April sampai November. Nelayan tangkap sekoci tidak menghiraukan faktor iklim lainnya seperti, bulan purnama, berbeda dengan kapal armada payangan dan kapal tardisional lainnya di Indonesia. Adanya perbedaan tersebut, diantaranya disebabkan oleh adanya pola tangkap yang berbeda, yaitu untuk nelayan payangan dengan pola tangkap ikan yang berburu (hunting). Pada pola ini selain di pengaruhi oleh kondisi angin, dipengaruhi juga oleh kondisi bulan. Dari hasil wawancara dengan nelayan payangan, diperoleh informasi bahwa pada saat bulan purnama kegiatan penangkapan ikan berhenti, karena pada saat bulan purnama keberadaan gerombolan ikan tidak terlihat. Sedangkan pada saat tidak ada cahaya bulan gerombolan ikan tersebut terlihat jelas karena sisik ikan memantulkan cahaya mengkilat. Bagi nelayan sekoci keberadaan bulan purnama tidak menjadi pembatas, dengan alasan: 1) lama trip berlangsung 7-10 hari, pada saat bulan purnama digunakan untuk perjalanan menuju rumpon, sehingga pada saat sampai rumpon bulan purnama sudah berakhir dan 2) pola tangkap tidak mencari ikan (hunting), akan tetapi memancing (fishing) di rumpon yang dilakukan pada siang hari, sehingga pengaruh bulan purnama diabaikan.

4.1.2.2 Suhu

Madidihang (Thunnus albacares) sebagai ikan pelagis sebaran vertikalnya dipengaruhi oleh stuktur dari kolom air, karena menurut Bril et al. (1998), sekitar 60-80% dari hidupnya berada di lapisan campuran dan termoklin di atas 100 m, terutama untuk ikan dewasa yang berukuran 64-93 kg. Sedangkan untuk yang berukuran juvenil berada di lapisan campuran. Song et al. (2008) menyatakan, selain di lapisan campuran dan termoklin, Madidihang, juga sering kali hidup di bawah lapisan termoklin, kondisi ini sangat tergantung kepada suhu, dissolved oxigen (DO) dan klorofil. Adapun kondisi yang optimal untuk masing-masing variabel tersebut di Samudera Hindia, adalah 100.0-179.9 m, 15.0-17.9ºC, 0.090– 0.099 μg/l, dan 2.50–2.99 μg/l, sedangkan salinitas tidak begitu berpengaruh terhadap pergerakan vertikal dari ikan tuna tersebut. Namun, secara umum suhu

(12)

ideal untuk sebaran tuna adalah 26oC-32oC (Gunarso (1996), sedangkan menurut Silas (1962) hidup pada temperatur 16oC-30oC dengan temperatur optimum 28oC. Dengan demikian, untuk mengetahui lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) di area penangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dilakukan analisis mengenai sebaran suhu melintang dan menegak dari kolom air yang ada di rumpon .

4.1.2.2.1 Analisis Sebaran Suhu Menegak dan Melintang di Fishing Ground Sebaran menegak suhu di perairan selatan Jawa Timur, diperoleh dari hasil perhitungan sebaran suhu pada sampel dalam tiga transek pada rentang titik koordinat 110°-114.5° BT dan 9°-12° LS pada sebaran suhu dari bulanan Januari sampai Desember 2009. Transek pertama (I) berada di titik koordinat 10°.22᾽ LS dan 114°.54᾽BT, transek ke-dua (II) pada 10°.22᾽ LS dan 112°.45᾽ BT, dan transek ke-tiga (III) pada 10°.28᾽ LS dan 111°.94᾽BT. Data sebaran suhu menegak dari lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) pada masing-masing transek di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru disajikan pada Gambar 7.

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 suhu (0C) 1600 1200 800 400 0 K e d a la m a n ( m ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 111.9417778 BT -10.4052 LS (Barat) 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 1600 1200 800 400 0

Gambar 7 Sebaran menegak suhu bulanan (0C) tahun 2009 di selatan Jawa. Grafik warna merah mewakili bulan musim barat, sedangkan grafik warna biru merupakan bulan musim timur pada transek I,II dan III (Sumber: Hasil analisis dari data NOAA).

Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa pada masing-masing transek, suhu menegak pada area rumpon (fishing ground) menggambarkan pola yang sama dan umum yaitu terjadi perubahan suhu yang semakin menurun seiring perubahan

2 4 6 8 10 0 12 2 14 4 16 6 18 8 20 0 22 2 24 4 26 6 28 8 30 0 suhu(0C) 1600 0 1200 0 800 0 400 0 0 Ke d a la m a n ( m ) Februari Maret Januari April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 114.5456667BT-10.2228LS(Timur) 8 10 12 14 18 20 24 26 28 30 1600 1200 800 400 0 I a 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 suhu (0C) 1600 1200 800 400 0 K e d a la m a n ( m ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 113.4556667 BT -10.2836 LS (Tengah) 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 1600 1200 800 400 0 II b III

(13)

tingkat kedalaman kolom air. Data mengenai perubahan suhu menegak pada kolom air di fishing ground tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran suhu menegak bulanan pada mixed layer, thermocline, dept layer pada transek I, II dan III tahun 2009

Bulan 10°.22᾽ LS,114°.54᾽BT 10°.22᾽ LS,112°.45᾽BT) 10°.28᾽ LS,111°.94᾽BT Range Ke-dalaman (m) Range Suhu (0C) Range Ke-dalaman (m) Range Suhu (0C) Range Ke-dalaman (m) Range Suhu (0C) Mixed Layer Desember 0-29 27.78-28.85 0-29 27.85-28.81 0-29 28.00-28.81 Januari 0-29 28.20-28.68 0-29 28.13-28.60 0-29 28.15-28.62 Februari 0-49 27.55-28.77 0-49 27.53-28.73 0-49 27.43-28.63 Maret 0-49 27.52-28.81 0-49 27.54-28.86 0-49 27.58-28.97 April 0-29 28.23-28.72 0-29 28.17-28.53 0-29 28.36-28.73 Mei 0-49 27.53-28.51 0-49 27.80-28.62 0-49 27.82-28.65 Juni 0-49 26.38-27.58 0-49 26.76-27.72 0-49 27.31-27.86 Juli 0-49 25.12-26.45 0-49 25.23-26.49 0-49 25.61-26.70 Agustus 0-49 24.32-26.20 0-49 24.53-26.33 0-49 25.34-26.57 September 0-49 24.73-26.55 0-49 24.03-26.64 0-49 25.43-26.73 Oktober 0-29 26.36-27.31 0-29 26.34-27.20 0-29 26.36-28.07 November 0-29 27.63-28.39 0-29 27.59-28.21 0-29 27.50-28.02 Thermocline Desember 30-199 14.12-27.72 30-199 14.07-27.81 30-199 14.16-27.95 Januari 30-149 13.24-28.17 30-199 13.77-28.11 30-149 14.05-28.12 Februari 50-149 13.67-27.51 50-199 13.57-27.49 50-149 13.57-27.39 Maret 50-199 13.51-27.48 50-199 13.53-27.49 50-199 13.56-27.53 April 30-199 13.68-28.21 30-199 13.40-28.15 30-199 13.29-28.34 Mei 50-199 13.93-27.49 50-199 13.62-27.76 50-199 13.54-27.78 Juni 50-199 13.94-26.35 50-199 14.04-26.74 50-199 14.08-27.29 Juli 50-199 14.05-25.09 50-199 14.08-25.20 50-199 14.09-25.59 Agustus 50-199 13.27-24.27 50-199 13.33-24.48 50-199 13.59-25.30 September 50-199 13.26-24.68 50-199 13.23-24.99 50-199 13.40-25.39 Oktober 30-199 13.40-26.32 30-199 13.22-26.30 30-199 13.43-26.31 November 30-199 14.21-27.59 30-199 14.04-27.55 30-199 14.10-27.46 Dept Layer Desember 200-1600 3.47-14.05 200-1600 3.49-14.00 200-1600 3.52-14.09 Januari 150-1600 3.42-13.19 200-1600 3.44-13.70 200-1600 3.46-13.98 Februari 150-1600 3.45-13.58 200-1600 3.46-13.49 200-1600 3.51-13.47 Maret 200-1600 3.42-13.44 200-1600 3.45-13.46 200-1600 3.50-13.48 April 200-1600 3.46-13.57 200-1600 3.47-13.34 200-1600 3.52-13.22 Mei 200-1600 3.49-13.86 200-1600 3.50-13.55 200-1600 3.51-13.47 Juni 200-1600 3.47-13.88 200-1600 3.45-13.98 200-1600 3.51-14.01 Juli 200-1600 3.46-13.98 200-1600 3.46-14.01 200-1600 3.45-14.02 Agustus 200-1600 3.41-13.22 200-1600 3.43-13.28 200-1600 3.44-13.54 September 200-1600 3.42-13.20 200-1600 3.42-13.17 200-1600 3.42-13.34 Oktober 200-1600 3.34-13.33 200-1600 3.30-13.15 200-1600 3.33-13.36 November 200-1600 3.47-14.15 200-1600 3.49-13.98 200-1600 3.52-14.04

Sumber: Hasil analisis dari data NOAA.

Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa pada musim Barat (Desember-Februari), lapisan campuran pada transek I, II dan III memiliki kedalaman yang sama, yaitu 0-29 m, kecuali pada bulan Februari memiliki kedalaman 0-49 m. Demikian pula untuk suhu menegaknya, memiliki kisaran yang sama, yaitu antara 27.55ºC-28.85ºC. Sedangkan untuk musim peralihan ke-1 (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus) dan awal musim peralihan ke-2 (September) lapisan campuran terjadi pada kedalaman 0-49 m dengan kisaran suhu 24.32ºC-28.97ºC, sedangkan

(14)

untuk bulan Oktober-November sama dengan awal musim Barat (Desember) terjadi pada kedalaman 0-29 m dengan kisaran suhu 26.34 ºC-28.21 ºC.

Pola sebaran suhu menegak untuk lapisan termoklin, memiliki pola yang yang sama dengan lapisan campuran untuk semua musim. Lapisan termoklin pada

masing-masing transek, pada musim barat (Desember-Februari) terjadi pada kedalaman 30-149 m, kecuali pada bulan Desember yang masih terpengaruh musim peralihan II, lapisan termoklin berada pada kedalaman 30-199 m. Demikian pula untuk kisaran suhu pada bulan Desember berkisar antara 14.12ºC-27.72ºC, sedangkan pada bulan Januari-Februari berkisar antara 13.24º-28.17ºC. Pada bulan Maret-Mei (peralihan ke-1) hingga pada musim timur (Juni-Agustus) lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 50-199 m dengan suhu rataan 27.51ºC-28.81ºC dan 24.32º C-27.38ºC, sedangkan pada bulan September-November (musim peralihan ke-2) untuk bulan September, lapisan termoklin berada pada kedalaman 50-199 m dan bulan Oktober sama seperti pada musim barat lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 30-199 m. Demikian pula untuk sebaran suhu menegaknya, yaitu berkisar 13.23-25.39ºC untuk bulan September dan bulan Oktober-November adalah 13.30-27.59º C.

Secara temporal, terdapat variasi akibat perbedaan musim dimana suhu lapisan tercampur lebih dingin pada musim timur daripada musim barat. Dinginnya suhu lapisan ini pada musim timur diduga terkait proses upwelling di perairan selatan Jawa dan masuknya massa air dingin dari barat laut Australia. Sedangkan suhu hangat pada musim barat diduga akibat pengaruh masuknya massa air hangat dan ringan dari ekuator Samudera Hindia yang dibawa oleh gelombang Kelvin dan arus pantai Jawa yang mengalir ke arah timur samudera Perubahan suhu menegak yang terjadi di fishing ground, secara melintang juga memiliki pola sebaran melintang yang sama untuk masing-masing kedalaman, yaitu relatif homogen. Secara spasial tidak terdapat variasi diantara semua transek yang ada di fishing ground (Gambar 8). Gradien suhu yang tajam terdapat di lapisan atas yaitu antara isoterm 12.50C dengan 250C yang menandakan posisi lapisan termoklin, namun secara umum pola suhu relatif sama dengan sebaran menegaknya.

(15)

Gambar 8 Sebaran suhu melintang di fishing ground nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu menegak Januari-Desember 2009 yang diperoleh dari World Ocean Atlas, NOAA).

Berdasarkan gambaran suhu menegak dan melintang yang relatif homogen di setiap lapisan sebagaimana diuraikan di atas, maka diperoleh gambaran umum mengenai hubungan antara suhu terhadap lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam dengan suhu yang sesuai dan disukai Madidihang. Dengan demikian, maka dari hasil estimasi lapisan tersebut, dapat digambarkan ketebalan masing-masing lapisan pada perairan selatan Jawa yang menjadi fishing ground (9º-12º LS, 110º-115º BT) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, sebagai berikut: 1) Lapisan campuran terjadi sampai pada kedalaman 29 m pada musim barat

dan 49 m musim timur, lapisan termoklin terjadi sampai pada kedalaman 149 pada musim barat dan 199 m untuk musim timur. Suhu stabil sekitar 27-28º C hingga kedalaman 50 m. Selanjutnya menurun secara gradual dari suhu sekitar 27ºC sampai suhu 14º pada kedalaman 200 m. Pada lapisan dalam dimulai pada kedalaman 200 m, secara gradual suhu menurun dari suhu 14.05º hingga suhu 3.42ºC pada kedalaman 1600 m.

2) Fase larva hingga juvenil Madidihang menyukai lingkungan lapisan campuran yang memiliki suhu hangat, biasanya suhu yang disukai berada di atas 27ºC (Conand dan Richards 1982; Marsac 2002). Dengan demikian, dapat diduga bahwa di fishing ground merupakan habitat yang sesuai dengan fase tersebut karena sesuai dengan suhu persyaratan optimumnya, yaitu

(16)

hingga kedalaman 49 m dari permukaan memiliki suhu yang stabil, yakni di atas 27ºC hingga 28ºC.

3) Fase waktu dewasa pada umumnya di Samudera Hindia berada pada lapisan termoklin, dengan suhu optimal pada kisaran 13-24ºC (Mohri dan Nishida (2000). Sedangkan menurut Rajapaksa et al. (2010), untuk ikan besar dengan ukuran 205-215 cm menyukai suhu yang hangat, yaitu antara 28-30ºC. Hal ini berarti, ikan tuna berada di lapisan campuran dan termoklin. Dengan demikian, maka keberadaan ikan tuna dewasa di fishing ground nelayan Sendang Biru berada dari permukaan hingga sampai kedalaman 200 m.

4.1.2.2.2 Analisis Sebaran Suhu Permukaan di Selatan Jawa

Sebaran suhu permukaan laut pada umumnya tidak memiliki hubungan yang langsung dengan keberadaan Madidihang di Samudera Hindia akan tetapi umumnya berhubungan erat dengan kelimpahan klorofil-a dan perubahan musim. Perubahan suhu permukaan laut secara periodik di perairan selatan Jawa terjadi pada setiap pergantian angin musim. Pada musim barat hingga peralihan ke-2 (Desember-Mei) suhu permukaan laut di selatan Jawa berkisar antara 23.420C- 29.020C. Pada periode ini, peningkatan suhu permukaan laut dimulai pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Maret. Pada bulan April hingga Mei suhu permukaan laut bergerak turun namun tetap lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut musim timur (Tabel 5).

Tabel 5 Kisaran suhu dan suhu dominan permukaan laut pada musim barat dan peralihan ke-1 (Desember 2005 - Mei 2010)

No Bulan Kisaran Suhu (0C) Suhu Dominan (0C)

1 Desember 25.84-29.32 28.00 - 28.50 2 Januari 27.07-28.72 28.00-28.50 3 Februari 27.44- 9.16 28.00-28.75 4 Maret 26.76-29.20 28.50-29.00 5 April 27.52-29.58 28.50-28.75 6 Mei 26.80-29.34 28.50-28.70

Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA).

Berdasarkan orientasi meridional (utara-selatan), pada musim barat terdapat kecenderungan suhu permukaan laut makin rendah ke arah dekat pantai (Gambar 9). Pada daerah 10 0LS - 12 0LS suhu permukaan laut bagian timur Jawa Timur dan Bali cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah barat Jawa. Sedangkan di

(17)

daerah pantai sebaran suhu permukaan laut cenderung bervariasi berdasarkan orientasi zonal (timur-barat). Suhu permukaan laut pada musim timur hingga peralihan ke-2 (Juni-November) di sajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kisaran suhu dan suhu dominan permukaan laut pada musim timur dan peralihan ke-2 (Juni 2005 - November 2010)

No Bulan Kisaran Suhu (0C) Suhu Dominan (0C)

1 Juni 25.61-28.70 26.75-27.25 2 Juli 24.05-27.90 25.75-26.50 3 Agustus 23.42-27.66 25.00-25.75 4 September 23.65-27.76 26.00-26.50 5 Oktober 24.24-28.33 27.00-27.50 6 November 26.18-29.02 27.50-28.25

Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA).

Dari Tabel 6, diperoleh gambaran bahwa sebaran suhu permukaan laut pada musim timur hingga peralihan ke-2, berkisar antara 25.840C-29.580C. Suhu permukaan laut tersebut menurun pada bulan Juni dan mencapai suhu terendah pada bulan Agustus. Pada bulan September hingga November suhu permukaan laut mulai meningkat kembali dengan nilai yang lebih rendah bila dibandingkan nilai suhu permukaan laut pada musim barat. Seperti halnya musim barat, pada musim timur terdapat kecenderungan suhu permukaan laut yang semakin rendah ke arah pantai. Berdasarkan orientasi zonal, suhu pada bagian timur (selatan Bali) cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah barat (selatan Jawa). Gambaran perubahan sebaran spasial dari suhu permukaan laut rataan bulanan pada musim timur hingga peralihan ke-2 disajikan pada Gambar 10. Rendahnya suhu permukaan laut pada musim timur terkait dengan proses upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa yang diantaranya dibangkitkan oleh pergerakan angin muson tenggara. Upwelling dicirikan oleh penaikan massa air lapisan bawah yang lebih dingin dan kaya nutrien ke lapisan atas perairan. Pada seluruh bulan di musim timur suhu terendah terdapat di pantai Jawa Timur hingga Bali yang diduga sebagai penyebab wilayah perairan tersebut merupakan fishing ground yang paling potensial di selatan Jawa.

(18)

Gambar 9 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2010; (a) Desember, (b) Januari, (c) Feruari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu permukaan laut Januari 2005-Desember

2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=Day).

(a) (b) (c)

(19)

Gambar 10 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu permukaan laut Januari

2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=Day).

75

(a) (b) (c)

(20)

4.1.2.3 Analisis Sebaran Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa sebarannya tersaji pada Tabel 7. Sedangkan secara visual untuk konsentrasi klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

Tabel 7 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a di Selatan Jawa (2005-Desember 2010)

Bulan Musim Barat-Peralihan 1 Bulan Musim Timur-Peralihan2 Minimum (mg/l) Maksimum (mg/l) Minimum (mg/l ) Maksimum (mg/l) Desember 0.07 1.99 Juni 0.14 4.84 Januari 0.08 1.41 Juli 0.15 5.28 Februari 0.07 1.18 Agustus 0.15 5.96 Maret 0.07 1.39 September 0.15 5.22 April 0.08 2.09 Oktober 0.11 5.24 Mei 0.10 3.38 November 0.09 2.77 Rataan 0.08 1.91 Rataan 0.13 4.88

Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA).

Pada musim barat hingga peralihan ke-1 (Desember-Mei), pada Gambar 11 (a)-(f), konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa berkisar antara 0.07 mg/l - 3.38 mg/l. Konsentrasinya pada bulan Desember dan Mei relatif tinggi dibandingkan bulan lainnya. Kisaran konsentrasi klorofil-a bulan Desember dan Januari berturut-turut adalah 0.07 mg/l-1.98 mg/l dan 0.08 mg/l-1.41 mg/l. Konsentrasi klorofil-a terendah terjadi pada bulan Februari, dimana konsentrasi klorofil-a hanya sekitar 0.07 mg/l-1.18 mg/l. Konsentrasi klorofil pada bulan Maret dan April adalah 0.07 mg/l-1.39 mg/l dan 0.08 mg/l-2.09 mg/l.

Rendahnya konsentrasi klorofil-a pada bulan Februari-April, selain karena sedang berlangsungnya periode downwelling, kemungkinan disebabkan lemahnya tiupan angin sehingga massa air tidak banyak bergerak dan tidak terjadi penambahan konsentrasi klorofil-a yang dibawa oleh pergerakan massa air. Konsentrasi klorofil-a akan terus menurun karena dimanfaatkan dalam proses produktifitas primer di perairan. Pada bulan Mei, konsentrasi klorofil-a mulai meningkat dengan kisaran 0.10 mg/l-3.38 mg/l. Peningkatan ini akibat menguatnya angin muson tenggara sebagai tanda mulainya musim timur.

Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010 disajikan pada Gambar 12 (a)-(f). Secara berturut-turut konsentrasi klorofil-a bulan Juni dan Juli adalah 0.13 mg/l-4.84 mg/l dan 0.16

(21)

mg/l-5.28 mg/l. Konsentrasi klorofil-a tertinggi pada bulan Agustus dengan kisaran 0.15 mg/l-5.96 mg/l. Kisaran konsentrasi klorofil-a bulan September dan Oktober mulai menurun dengan konsentrasi masing-masing 0.14 mg/l-5.22 mg/l dan 0.11 mg/l-5.23 mg/l. Konsentrasi klorofil-a terendah terjadi pada bulan November yaitu sekitar 0.09 mg/l - 2.77 mg/l.

Konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi dibandingkan musim barat yang diduga disebabkan proses upwelling yang menaikkan massa air lapisan bawah yang kaya nutrien dengan konsentrasi tertinggi secara konsisten terjadi di daerah perairan selatan Jawa Timur. Pada bulan Agustus konsentrasi klorofil-a menyebar hingga batas terluar ZEEI yaitu pada koordinat 113°00' - 115°00' BT dan 9°00' - 12° 00' LS yang merupakan wilayah tangkapan Madidihang oleh nelayan Sendang Biru.

Konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa pada musim timur hingga peralihan ke-2 (Juni-November) berkisar antara 0.09 mg/l-5.96 mg/l. Konsentrasi klorofil-a pada Juni dan Juli mulai meningkat secara signifikan seiring menguatnya angin muson tenggara yang menyebabkan terjadinya upwelling di sepanjang selatan Jawa. Secara meridional proses upwelling di laut lepas Selatan Jawa Timur diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor angin muson tenggara. Menurut Tubalawony (2008), anomali tinggi permukaan air laut (ATPL) Samudera Hindia pada bulan Agustus umumnya lebih rendah dari permukaan laut dengan kisaran -7.5 hingga -15.6 cm yang mengindikasikan adanya pergerakan massa air menjauhi pantai, dimana Gaol (2003) menjelaskan bahwa ATPL cenderung lebih rendah pada musim timur dibandingkan pada musim barat. Lebih lanjut Tubalawony (2008) menjelaskan bahwa selama musim timur nilai gradient transpor Ekman komponen sejajar garis pantai menuju laut lepas meningkat dari bulan Juni hingga Agustus yang menggambarkan bahwa upwelling selama musim timur kemungkinan dipicu oleh lebih besarnya nilai gradient tersebut yang menyebabkan permukaan air di pantai lebih tinggi dan tekanan yang lebih besar daripada di laut lepas sehingga memicu upwelling mulai dari pantai ke arah laut lepas hingga 100 LS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purba (1995) bahwa upwelling yang terjadi di selatan Jawa Timur berada pada radius sekitar 40 km dari garis pantai, atau sekitar 25 km ke arah laut lepas.

(22)

76

Gambar 11 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2010; (a) Desember, (b) Januari,

(c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran klorofil-a Januari 2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=Day).

78

(b) (c)

(a)

(23)

Gambar 12 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus

(d) September, (e) Oktober, dan (f) November. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran klorofil-a dari Januari 2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=Day). 79

(a) (b) (c)

(24)

4.1.2.4 Analisis Sebaran Menegak Dissolved Oxygen (DO)

Sebaran menegak DO di perairan selatan Jawa Timur, diperoleh dari hasil perhitungan sebaran suhu pada contoh dalam tiga transek pada rentang titik koordinat 110°-114.5° BT dan 9°-12° LS pada sebaran suhu bulanan dari Januari sampai Desember 2009. Transek pertama (I) berada di titik koordinat 10°.22᾽ LS dan 114°.54᾽BT, transek ke-dua (II) pada 10°.22᾽ LS dan 112°.45᾽ BT, dan transek ke-tiga (III) pada 10°.28᾽ LS dan 111°.94᾽BT. Data mengenai sebaran suhu menegak dari lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) pada masing-masing transek di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru di sajikan pada Gambar 13. 0 2 4 6 Oksigen Terlarut (mg/l) 1600 1200 800 400 0 K e d a la m a n ( m ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 114.5456667 BT -10.2228 LS (Timur) 0 2 4 6 1600 1200 800 400 0 0 2 4 6 Oksigen Terlarut (mg/l) 1600 1200 800 400 0 K e d a la m a n ( m ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 113.4556667 BT -10.2836 LS (Tengah) 0 2 4 6 1600 1200 800 400 0 0 2 4 6 Oksigen Terlarut (mg/l) 1600 1200 800 400 0 K e d a la m a n ( m ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 111.9417778 BT -10.4052 LS (Barat) 0 2 4 6 1600 1200 800 400 0

Gambar 13 Sebaran menegak DO bulanan (mg/l) tahun 2009 di selatan Jawa. Grafik warna merah mewakili bulan musim barat, sedangkan grafik warna biru merupakan bulan musim timur pada transek I,II dan III (Sumber:hasil analisis data NOAA).

Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa pada masing-masing transek, DO menegak pada area rumpon (fishing ground), menggambarkan pola yang sama dan umum yaitu terjadi perubahan DO yang semakin menurun seiring perubahan tingkat kedalaman kolom air. Pada transek I, II dan III, diperoleh gambaran bahwa lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam, untuk batas masing-masing lapisan tersebut memiliki kedalaman yang relatif sama. Data bulanan untuk sebaran menegak DO di perairan selatan Jawa disajikan pada Tabel 8.

II

(25)

Tabel 8 Sebaran menegak DO bulanan (mg /l) tahun 2009 di selatan Jawa pada transek I,II dan III

Bulan 10°.22’ LS,114°.54᾽BT 10°.22’ LS,112°.45᾽BT 10°.22’ LS,111°.94᾽BT

dept (m) Range (m) dept Range dept Range (m)

Mixed layer Desember 0-29 4.36-4.50 0-29 4.29-4.44 0-29 4.17-4.51 Januari 0-29 4.29-4.45 0-29 4.26-4.41 0-29 4.24-4.43 Februari 0-49 4.37-4-49 0-49 4.38-4.49 0-49 4.43-4.50 Maret 0-49 4.13-4.20 0-49 4.07-4.12 0-49 4.04-4.13 April 0-29 4.14-450 0-29 4.16-4.48 0-29 4.28-4.42 Mei 0-49 4.33-4.39 0-49 4.34-4.40 0-49 4.27-4.46 Juni 0-49 4.02-4.39 0-49 4.13-4.40 0-49 4.34-4.46 Juli 0-49 3.70-4.51 0-49 3.68-4.50 0-49 3.90-4.53 Agustus 0-49 3.84-4.57 0-49 3.74-5.54 0-49 3.77-4.54 September 0-49 4.47-4.69 0-49 4.46-4.69 0-49 4.41-4.72 Oktober 0-29 3.82-4.56 0-29 3.88-4.58 0-29 3.99-4.60 November 0-29 4.41-4.47 0-29 4.48-4.51 0-29 4.54-4.56 thermocline Desember 30-199 2.40-4.39 30-199 2.34-4.29 30-199 2.29-4.17 Januari 30-149 2.72-4.29 30-199 2.60-4.26 30-149 2.72-4.24 Februari 50-149 2.89-4.37 50-199 2.56-4.38 50-149 2.94-4.43 Maret 50-199 2.38-4.37 50-199 2.38-4.38 50-199 2.39-4.43 April 30-199 2.90-4.27 30-199 2.83-4.31 30-199 2.62-4.37 Mei 50-199 2.65-4.33 50-199 2.56-4.34 50-199 2.36-4.27 Juni 50-199 2.68-4.02 50-199 2.60-4.13 50-199 2.44-4.34 Juli 50-199 2.31-3.70 50-199 2.33-3.68 50-199 2.51-3.90 Agustus 50-199 2.59-3.84 50-199 2.55-3.74 50-199 2.47-3.77 September 50-199 2.52-4.47 50-199 2.50-4.46 50-199 2.50-4.41 Oktober 30-199 2.37-3.82 30-199 2.37-3.88 30-199 2.38-3.99 November 30-199 2.50-4.43 30-199 2.44-4.48 30-199 2.34-4.54 Dept layer Desember 200-1600 1.90-4.39 200-1600 1.91-4.29 200-1600 1.89-4.17 Januari 150-1600 2.02-2.76 200-1600 1.99-2.75 200-1600 1.95-2.72 Februari 150-1600 1.98-2.89 200-1600 1.98-2.89 200-1600 1.96-2.94 Maret 200-1600 1.73-2.67 200-1600 1.74-2.66 200-1600 1.73-2.59 April 200-1600 1.27-2.90 200-1600 1.38-2.83 200-1600 1.51-2.64 Mei 200-1600 1.75-2.71 200-1600 1.73-2.72 200-1600 1.68-2.69 Juni 200-1600 1.80-2.68 200-1600 1.81-2.63 200-1600 1.83-2.82 Juli 200-1600 1.91-2.85 200-1600 11.90-2.77 200-1600 1.94-2.61 Agustus 200-1600 2.01-2.74 200-1600 1.99-2.72 200-1600 1.95-2.66 September 200-1600 1.71-2.81 200-1600 1.79-2.79 200-1600 1.88-2.75 Oktober 200-1600 1.92-2.62 200-1600 1.91-2.64 200-1600 1.88-2.63 November 200-1600 1.69-2.56 200-1600 1.73-257 200-1600 1.77-2.63

Sumber: Hasil analisis dari data (NOAA).

Dari Tabel 8 diperoleh gambaran bahwa konsentrasi DO pada lapisan campuran dengan kedalaman 0-29, yang terjadi pada bulan Oktober hingga Februari berkisar antara 3.82-4.60 mg/l, sedangkan pada akhir peralihan ke-1 hingga akhir musim timur, di lapisan campuran (0-49) memiliki kisaran konsentrasi yang hampir sama pada musim lainnya, yaitu 3.77-4.69 mg/l.

Pada lapisan termoklin diperoleh hasil bahwa konsentrasi DO pada lapisan termoklin pada musim barat hingga peralihan ke-1 (Desember-Mei) dengan kedalaman 0-29, yang terjadi pada bulan Oktober hingga Februari berkisar antara 3.82-4.60 mg/l, sedangkan pada akhir peralihan ke-1 hingga akhir musim timur, di lapisan campuran (0-49) memiliki kisaran konsentrasi yang hampir sama pada musim lainnya, yaitu 3.77-4.69 mg/l. Sedangkan dari

(26)

lapisan termoklin hingga kedalaman 1 600 m, konsentrasi DO di fishing ground, perlahan menurun secara gradual dari 4.39 mg/l pada kedalaman 200 m, 1.77 mg/l pada kedalaman 1 600 m.

4.1.3 Analisis Tren Biomas

Kegiatan penangkapan Madidihang oleh nelayan sekoci di rumpon dilakukan sepanjang tahun. Produksi tahunan berdasarkan ukuran berat dan CPUE disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Total produksi, ukuran dan CPUE tuna tahun 2003-2010

Tahun Trip Ukuran Total CPUE

1-2 kg 2-9 kg 10-20 kg >20 kg 2003 67 4 080 26 777 1 392 3 229 35 478 530 2004 139 4 665 57 335 9 159 5 088 76 247 549 2005 233 5 945 100 878 10 234 2 467 143 524 616 2006 360 20 428 76 415 22 658 42 587 162 088 450 2007 389 3 223 69 421 23 486 66 521 162 651 418 2008 414 3 000 152 088 17 371 56 719 229 178 554 2009 420 3 518 88 670 97 873 66 373 256 434 611 2010 354 2 365 59 535 23 677 65 353 150 930 426 Total 2 376 47 224 631 119 205 850 332 337 1 216 530 4 153

Sumber: Hasil analisis.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa produksi total ikan tuna dari tahun 2003 hingga 2009 mengalami kenaikan, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan. Namun demikian, untuk memprediksi kelimpahan Madidihang di fishing ground maka dipergunakan CPUE (Gambar 14).

Gambar 14 CPUE Madidihang hasil tangkapan tahun 2003-2010.

Dari Gambar 14 diperoleh gambaran bahwa dari tahun 2003 hingga tahun 2005 nilai CPUE mengalami kenaikan, kemudian menurun sampai pada tahun 2007. Dari tahun 2007 hingga tahun 2009 terjadi kenaikan kembali,

(27)

namun menurun pada tahun 2010. Dengan demikian, nilai CPUE tahunan terjadi fluktuasi. Menurut Bertrand et al. (2002), penggunaan CPUE untuk menilai kelimpahan ikan tuna tidak baik untuk digunakan, karena belum mencerminkan keberadaan ikan sesungguhnya. Produksi ikan yang tertangkap, sangat tergantung kepada presisi alat tangkap yang digunakan, ukuran atau panjang line, kemungkinan besar line tersebut tidak menjangkau sampai kedalaman dimana habitat ikan tersebut berada. Pendapat Bertrand et al. (2002), tersebut bisa terjadi pada hasil tangkapan di Sendang Biru, selain keterbatasan alat tangkap hand line, berdasarkan hasil wawancara dari nelayan responden, terungkap bahwa penurunan produksi tangkap terjadi pada tahun 2006 hingga tahun 2007, pada saat harga BBM meningkat tajam. Berdasaran kondisi tersebut, maka ikan target diarahkan kepada ikan yang berukuran besar yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga walaupun produksinya kecil namun memperoleh pendapatan yang tinggi. Sedangkan penurunan yang terjadi pada tahun 2010, selain karena dilakukan penangkapan yang selektif, juga disebabkan rumpon yang dimiliki nelayan sekoci sudah kosong ikannya karena dijarah oleh nelayan Pekalongan dan Muara Angke dan baru setelah 2-3 bulan kemudian populasi ikan kembali normal.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka peningkatan upaya tangkap masih bisa dilakukan, selama ada pengawasan dan perlindungan terhadap keberadaan rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dari gangguan nelayan Benoa, Pekalongan dan Muara angke. Apabila dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan CPUE semakin menurun tajam, sehingga keberlanjutannya tidak akan terjamin.

4.1.4 Analisis Deret Waktu

Analisis deret waktu dengan metode FFT dan wavelet digunakan untuk melihat periode fluktuasi, pola temporal dan nilai puncak dari densitas energi dari suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum periode fluktuasi suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE menunjukan periode dengan variabilitas periode signifikan serta variabilitas tahunan yang sama (Gambar 15).

(28)

Spectral analysis: SST 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) 0 5 10 15 20 25 30 S pe ktrum Den sit as E ne rgi ( 0C 2/siklus pe r bu lan ) 0 5 10 15 20 25 30 a b

Gambar 15 Spektrum densitas energi suhu permukaan laut periode tahun 2005-2009; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet (Sumber:Hasil analisis).

Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa spektrum densitas energi sebaran suhu permukaan laut di selatan Jawa Timur terjadi pada periode 12 bulan yang menandakan adanya fluktuasi tahunan terutama terjadi sejak bulan Maret 2006 hingga bulan Juli 2009. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh pola angin muson yang bertiup di atas perairan selatan Jawa Timur dengan periode signifikan sekitar bulan Januari 2006 hingga Oktober 2009. Fluktuasi ini terjadi diduga sebagai pengaruh dari pola angin muson yang bertiup di atas perairan selatan Jawa Timur dengan periode signifikan Januari 2006 hingga Januari 2009. Efek dari fluktuasi dari densitas energi tersebut, selanjutnya mempengaruhi spektrum densitas klorofil-a seperti yang tersaji pada Gambar 16.

Spectral analysis: CPUE

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) 0 50000 1E5 1.5E5 2E5 2.5E5 3E5 3.5E5 S pe ktrum Den sit as E ne rgi (CP U E 2/siklus pe r bu lan ) 0 50000 1E5 1.5E5 2E5 2.5E5 3E5 3.5E5 (a) (b)

Gambar 16 Spektrum densitas energi klorofil-a tahun 2005-2009; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet (Sumber:Hasil analisis).

(29)

Dari Gambar 16 diperoleh gambaran bahwa spektrum densitas klorofil-a juga terdapat pada periode 12. Hal ini menandakan bahwa densitas klorofil-a di selatan Jawa, sangat dipengaruhui oleh fluktuasi densitas energi secara tahunan. Fluktuasi tersebut selain dipengaruhi oleh pola angin muson juga disebabkan oleh adanya proses upwelling di pantai dan laut lepas perairan selatan Jawa Timur. Periode signifikan fluktuasi klorofil-a dalam 12 bulan terjadi pada rentang Maret 2006 sampai Oktober 2009.

Keberadaan Madidihang, menurut Song et al. (2008), selain dipengaruhi suhu dan DO, juga sangat tergantung kepada konsentrasi klorofil-a. Adapun kondisi yang optimal untuk Madidihang di Samudera Hindia, adalah 0.090– 0.099 μg/l. Dengan demikian, adanya pola fluktuasi sebaran densitas energi dengan klorofil-a, maka berpengaruh pada CPUE ikan tuna tersebut. Secara tidak langsung spektrum densitas energi akan mempengaruhi fluktuasi CPUE Madidihang. Fluktuasi CPUE Madidihang, pada akhirnya memiliki pola yang sama, yaitu terjadi pada periode 12 bulan. Fluktuasi ini terjadi secara nyata pada bulan Mei 2006 hingga Agustus 2009 (Gambar 17).

Spectral analysis: CPUE

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) 0 50000 1E5 1.5E5 2E5 2.5E5 3E5 3.5E5 S pe ktrum Den sit as E ne rgi (CP U E 2/siklus pe r bu lan ) 0 50000 1E5 1.5E5 2E5 2.5E5 3E5 3.5E5 (a) (b)

Gambar 17 Spektrum densitas energi CPUE periode tahun 2005-2010; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet.

4.1.5 Korelasi CPUE dengan Kondisi Hidro-oseanografi Selatan Jawa

Korelasi antara kondisi oseanografis di Selatan Jawa, dilakukan antara sebaran temporal suhu permukaan laut, klorofil-a dengan CPUE. Sedangkan hubungan antara suhu menegak dan konsentrasi DO tidak dilakukan, karena dari hasil penelitian ini tidak diperoleh hasil tangkapan berdasarkan kedalaman dari perairan di fishing ground. Korelasi antara suhu permukaan laut,

(30)

konsentrasi-a dengan CPUE total dilakukan dengan analisis spektral dan deret waktu digunakan untuk menentukan periode fluktuasi dan nilai puncak densitas energi dari fluktuasi sebaran suhu, klrorofil-a dan CPU, sehingga dapat dilihat pola korelasinya. Gambaran mengenai pola fluktuasi antara variabel tersebut di sajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Sebaran temporal suhu permukaan laut (SST), klorofil-a, dan CPUE tahun 2005-2010.

Dari Gambar 18, diperoleh gambaran bahwa berdasarkan analisis spektral dan deret waktu di atas menunjukkan bahwa antara SST, klorofil-a dan CPUE mengalami fluktuasi yang sama. Fluktuasi terjadi setiap periode 12 bulan dan setiap 6 bulan ada periode puncak dan bawah. Kejadian dari fluktuasi tersebut memiliki pola yang sama dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Periode yang nyata dari ke tiga variabel tersebut terjadi pada waktu yang relatif bersamaan, yaitu pada bulan Januari 2005 hingga 2006, SST secara gradual naik, pola ini diikuti dengan naiknya konsentrasi klorofil-a, puncaknya pada sekitar bulan Maret, selanjutnya menurun secara gradual hingga bulan Juli. Pada bulan Juli terjadi limit bawah dan mengikuti deret waktu menaik kembali hingga bulan Oktober, dan perlahan menurun kembali pada bulan Februari tahun 2006. Sebaliknya untuk CPUE pada saat SST naik, CPUE Madidihang menurun. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa CPUE dan klorofil-a berkorelasi negatif dengan SST, sedangkan konsentrasi klorofil-a dengan CPUE berkorelasi positif. Hal ini akan lebih jelas pada pengujian

(31)

korelasi silang antara CPUE dengan sebaran klorofil-a, CPUE dengan SST, dan SST dengan klorofil-a.

Fluktuasi dari ketiga variabel tersebut seiring dengan pola musim musim yang terjadi di perairan selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur. Angin muson tenggara (Juni-Agustus) membawa udara kering dan dingin dari Benua Australia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa Timur cenderung lebih dingin dibandingkan pada musim angin muson barat laut, serta terjadinya upwelling di selatan Jawa Timur yang membawa massa air lapisan bawah yang lebih dingin ke permukaan. Pada saat terjadinyta upwelling tersebut, banyak unsur hara yang terbawa ke permukaan perairan, sehingga biomassa fitoplankton, konsentrasi klorofil-a meningkat. Sebaliknya pada saat angin muson barat laut (Desember-Februari) udara hangat dan lembab dari Benua Asia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa lebih hangat. Selain itu, massa air Arus Pantai Jawa (APJ) yang bergerak ke timur membawa massa air hangat dari bagian tropis di barat Samudera Hindia. Dengan demikian, sebaran konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa Timur berkaitan dengan proses upwelling dan downwelling. Pada saat upwelling di musim timur konsentrasinya cenderung meningkat dan sebaliknya menurun pada saat downwelling di musim barat, sehingga dalam periode satu tahun akan meningkat pada pertengahan tahun dan selanjutnya menurun pada awal tahun. Sebaran temporal CPUE menunjukkan pola yang serupa dengan pola konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa walaupun berbeda intensitasnya. Hal ini diduga berkaitan dengan tingginya kelimpahan ikan kecil yang merupakan mangsa Madidihang di rumpon sebagai fishing ground. Dengan demikian, secara umum variasi tahunan suhu permukaan, klorofil-a dan CPUE adalah mengikuti pola angin muson, yaitu pada musim timur dimana suhu permukaan laut menurun dan konsentrasi klorofil-a meningkat, jumlah hasil tangkapan (CPUE) Madidihang juga meningkat, dan sebaliknya pada musim barat dimana suhu permukaan laut meningkat dan konsentrasi klorofil-a menurun, jumlah hasil tangkapan (CPUE) Madidihang menurun.

(32)

4.1.5 .1 Korelasi Silang CPUE dengan Suhu Permukaan Laut

Dalam melakukan korelasi silang, parameter suhu permukaan laut dijadikan variabel bebas (x) dan CPUE dianggap variabel tak-bebas (y). Hasil analisis korelasi silang disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 menggunakan metode Wavelet. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa koherensi antara SST dengan CPUE Madidihang, fluktuasi suhu permukaan laut dan CPUE berkorelasi pada periode 12 bulan pada waktu antara bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2010. Nilai koherensi pada periode 12 bulan adalah 0.76. Beda fase antara kedua fluktuasi adalah tan-1 2.59. Hal ini berarti bahwa fluktuasi suhu permukaan laut mendahului fluktuasi CPUE Madidihang pada periode satu tahunan dengan beda fase 69 hari. Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE Madidihang di perairan selatan Jawa disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil korelasi silang suhu permukaan laut dan klorofil-a di perairan selatan Jawa 2005-2010 Korelasi silang Periode fluktuasi (bulan) Koherensi Beda fase (/tan) hari

Suhu permukan laut dan CPUE 12 0.76 2.59 69

Klorofil-a dan CPUE 12 0.72 -0.51 27

(33)

4.1.5 .2 Korelasi Silang Klorofil-a dengan CPUE

Berdasarkan hasil analisis spektoral dan deret ukur sebagaimana di uraikan sebelumnya, bahwa konsentrasi klorofil-a berkorelasi positif dengan CPUE Madidihang di perairan selatan Jawa timur pada tahun 2005 hingga tahun 2010. Hasil analisis tesebut, dipertegas oleh hasil korelasi silangnya yang memiliki nilai sebesar 0.72 dan fluktuasinya berkorelasi pada periode 12 bulan dengan beda fase antara kedua fluktuasi tersebut adalah tan-1 -0.51 (Tabel 10). Hal ini berarti bahwa fluktuasi CPUE sebagai variabel terikat (y) mendahului fluktuasi klorofil-a (x) dengan beda fase 27 hari. Artinya fluktuasi CPUE ikan tuna mendahului sekitar 27 hari sebelum terjadinya fluktuasi konsentrasi klorofil-a. Hasil korelasi klorofil-a dan CPUE di perairan selatan Jawa disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20 Hasil korelasi silang antara klorofil-a dengan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 menggunakan metode Wavelet.

Untuk menegaskan adanya pola hubungan yang positif antara CPUE dengan konsentrasi klorofil-a, maka dilakukan regresi sederhana antara ke dua parameter tersebut. Hasil regresi sederhana antara SST dan klorofil-a dengan CPUE tersaji pada dan antara klorofil-a dengan CPUE pada Gambar 21.

Dari Gambar 21 menunjukkan bahwa meningkatnya suhu permukaan laut pada suhu tertentu, akan diperoleh hasil tangkapan (CPUE) yang makin rendah (r=-0.21). Penurunan tersebut mengikuti persamaan garis dari hasil regresi sederhana antara suhu permukaan laut dengan CPUE Madidihang di perairan Selatan Jawa, adalah CPUE= 1185-26.09SST. Sebaliknya untuk konsentrasi klorofil-a, pada saat konsentrasi klorofil-a meningkat, maka akan

(34)

diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan (r=0.56), peningkatan yang diperoleh akan mengikuti persamaan matematik CPUE = 457.17+21.99 Chl .

Korelasi antara suhu permukaan laut dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 1185.0 - 26.09 * SST Correlation: r = -.2123 24 25 26 27 28 29 30 SST 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 cp ue 95% confidence

Korelasi antara klorofil-a dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 457.17 + 21.999 * chlo Correlation: r = .05536 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 chlo 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 cp ue 95% confidence Gambar 21 Hubungan antara suhu permukaan laut dengan CPUE

Madidihang (a) dan klorofil-a dengan CPUE (b) di selatan Jawa periode 2005-2010.

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana dan korelasi silang antara kedua parameter tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan hasil tangkapan (CPUE) Madidihang di fishing ground akan meningkat 21 hari kemudian, setelah terjadinya puncak kelimpahan klorofil-a, sedangkan koherensi CPUE dengan suhu permukaan laut, adalah hasil tangkapan akan meningkat setelah 69 hari berakhirnya puncak fluktuasi suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa, khususnya di wilayah Jawa Timur dengan titik koordinat 110-114° BT dan 9-11° LS. Meningkatnya klorofil-a merupakan indikator melimpahnya fitoplankton di perairan yang menjadi makanan zooplankton yang merupakan makanan ikan kecil lainnya, seperti udang, teri, lemuru dan ikan lainnya. Ikan teri dan udang tersebut merupakan makanan yang paling disukai oleh Madidihang, terutama pada fase juvenil. Fase juvenil menghabiskan sebagian besar hidupnya di lapisan campuran dengan kisaran suhu 24º-30ºC (Conand dan Richards 1982).

4.2 Aspek Produksi, Biologi Madidihang dan Kaitannya dengan Kondisi Hidro-oseanografi di Rumpon

4.2.1 Status, Jenis dan Jumlah Tangkapan

Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang distribusinya berada di perairan tropis dan subtropis (Collette and Nauen 1983). Di Samudera Hindia Madidihang merupakan species utama yang menjadi tangkapan (Somvanshi

(35)

2002). Ada dua alasan utama Madidihang menjadi target tangkapan utama, pertama, permintaan tinggi dan ke dua, adalah mudah ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap. Sehingga kegiatan penangkapan tidak hanya bisa dilakukan oleh kapal besar dan modern yang menggunakan purse seine dan long line, akan tetapi juga bisa dilakukan oleh nelayan artisanal yang menggunakan alat sederhana seperti pole and line, driftnet dan hand line (Zudaire et al. 2010).

Produksi Madidihang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan rata-rata 345 000 ton pada tahun 1993 hingga 2002, dan naik menjadi 466 000 ton pada tahun 2003 hingga tahu 2006. Namun demikian, pada tahun 2007 hingga 2008, rataannya turun kembali menjadi 318 000 ton dan 37% dari total tangkapan tersebut ditangkap dengan menggunakan purse seine (IOTC 2009). Meskipun terjadi deplesi, namun penangkapan besar-besaran di Samudera Hindia terus dilakukan. Hal ini dilakukan, selain atas permintaan pasar, juga kurangnya pengetahuan akan reproduksi ikan yang apabila tidak hati-hati, keberlanjutannya akan terganggu (Scheafer 2001; Murua & Motos 2006).

Sama halnya dengan kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru pada tahun 1991 hingga tahun 1994 ikan tuna yang di tangkap ada 3 jenis yaitu Cakalang, Madidihang, tuna lainya dengan rataan produksi per tahun, masing-masing 741.94 ton (50.3%), 237.68 ton (16.1%) dan 495.7 ton (33.6%) yang di tangkap dengan menggunakan gill net dengan jumlah kapal 66 berukuran 3-6 GT (Uktolseja 1987). Namun demikian, sejak datangnya kapal Sekoci dengan alat pancing ulur (hand line) produksi tuna terus mengalami peningkatan dengan ikan target adalah jenis tuna besar, terutama jenis Madidihang.

Jenis ikan yang tertangkap dominan di daratkan di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Kabupaten Malang dari tahun 2003 sampai 2010 adalah Madidihang, Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, Tompek dan Bigeye tuna, dan dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6% (Gambar 22). Dari jenis ikan tuna target tersebut, jenis Madidihang merupakan ikan yang dominan tertangkap. Adapun jumlah hasil tangkapannya

Gambar

Tabel 4  Sebaran suhu menegak bulanan pada mixed layer, thermocline, dept layer  pada transek I, II dan III tahun 2009
Gambar  8    Sebaran  suhu  melintang  di  fishing  ground  nelayan  sekoci  PPP    Pondokdadap  Sendang  Biru
Tabel 5  Kisaran suhu dan suhu dominan permukaan laut pada musim barat  dan                        peralihan  ke-1 (Desember 2005 - Mei 2010)
Gambar 9   Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan ( 0 C) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2010; (a) Desember, (b) Januari,                     (c) Feruari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaannya, disusun antara lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai rencana operasional tahunan yang menjabarkan sasaran Repelita.. Untuk

Karakteristik arsitektur futuristik pada tampilan bangunan diantaranya yaitu gubahan massa yang dinamis dan ekspresif dengan bentuk desain yang praktis dan fleksibel, tampil

Sport development index adalah indeks ga- bungan yang mencerminkan keberhasilan pem- bangunan olahraga berdasarkan empat dimensi dasar, yaitu: ruang terbuka yang tersedia untuk

a) Wawancara adalah metode pengumpulan data yang sudah mapan, dan beberapa sifat yang unik masih banyak dipakai. Hubungan baik dengan orang yang diwawancarai dapat

Dari hasil data analisis pemanfaatan media sosial facebook dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan madia sosial facebook yang digunakan siswa kelas VIII SMP Negeri 1

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sun, dkk (2010) yang menunjukkan bahwa variabel dewan komisaris tidak dapat memoderasi pengaruh manajemen laba

Sedangkan, pada bagian belakang kartu matching cards menggunakan warna kontras dari biru tua yaitu merah marun dengan warna emas yang melambangkan pekerjaan

“ rising star ”, artinya jahe di Singapura berada pada posisi pasar ideal yang bertujuan memperoleh pangsa pasar ekspor tertinggi dengan nilai RCA lebih besar dari