• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Dalam kajian pustaka akan dikemukakan penjelasan Serat Hardamudha dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Dalam kajian pustaka akan dikemukakan penjelasan Serat Hardamudha dan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka akan dikemukakan penjelasan Serat Hardamudha dan beberapa penelitian naskah. Serat Hardamudha merupakan naskah koleksi Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah tersebut terdapat dalam katalog Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I (Behrend, 1990). Katalog tersebut memuat uraian secara singkat naskah-naskah koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Berikut disajikan beberapa penelitian dan hasil tulisan yang ada hubungan dengan penelitian Serat Hardamudha atau penelitian serat yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Pertama, penelitian Serat Babad Demak Pesisiran yang dilakukan oleh Suripan Sadi Hutomo, dkk. diterbitkan tahun 1984. Penelitian ini didanai oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Judul penelitian tersebut ialah ”Bahasa dan Sastra Serat Babad Demak Pesisiran”. Kajian utama ialah (1) deskripsi naskah Babad DemakPesisiran yang meliputi, ukuran naskah, tulisan naskah, penulis naskah, saat penulisan, keadaan naskah, penulis naskah, wujud naskah, usia naskah, dan isi naskah, (2) transliterasi naskah, yaitu pengalihan aksara dari aksara Arab Pegon ke aksara Latin, (3) bahasa naskah yaitu penggunaan ngoko dan kromo, ada tidaknya unsur bahasa pesisiran dan unsur bahasa asing, (4) sastra naskah yang berupa babad, fungsi dan kedudukan

(2)

18

naskah, struktur cerita (alur amanat, dan perwatakan), struktur tembang, dan gaya bahasa.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian Serat Babad Demak ialah adanya unsur interteks dari naskah tersebut ke dalam Serat Hardamudha, yaitu teks yang mengisahkan perjalanan Ki Ageng Pandanaran dari Kadipaten Semarang ke Padepokan Tembayat di daerah Klaten. Dalam perjalanan itu, Ki Ageng Pandanaran dirampok oleh Seh Dumba.

Kedua, Behrend (1990) menyusun katalog naskah-naskah Nusantara dua jilid, dengan judul “Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara”. Jilid pertama memuat naskah-naskah Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta, sedangkan jilid kedua naskah-naskah keraton Kasultanan Yogyakarta. Serat Hardamudha dimuat di dalam kelompok sastra dengan kode No. L 397, PB A 224, berbahasa Jawa terdiri atas 162 halaman, berbahasa Jawa berbentuk tembang macapat, terdiri atas 20 pupuh, 1054 bait. Naskah digubah oleh Kyai Secanitis atau Raden Ngabehi Jayapramanca pada tahun 1859 Jawa (1928 M) masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII.

Serat Hardamudha merupakan satu-satunya naskah dalam korpus Serat Hardamudha. Dalam istilah filologi naskah yang demikian disebut naskah tunggal. Dalam katalog Behrend tidak ditemukan salinan. Demikian juga dalam katalog Pigeaud (1967), Saktimulya (2005), dan Poerwasuwignja (1920). Dengan demikian karya sastra tersebut tidak tersebar luas di kalangan masyarakat. Setelah peneliti membaca, isinya cukup baik dan bisa dipakai sebagai media pendidikan, terutama ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, seperti ajaran sosial, ajaran

(3)

19

moral, ajaran agama, dan budaya. Selain itu, bahasa yang digunakan cukup bagus, meliputi bentuk tembang, pemilihan kata, persajakan, dan penggunaan bahasa sastra.

Selama ini pengkajian naskah sastra Nusantara khususnya naskah sastra Jawa kurang mendapat perhatian, karena penelitian naskah memerlukan ketelatenan, keuletan, ketelitian, dan waktu yang cukup panjang. Hal itu disebabkan: (1) umumnya naskah ditulis dengan menggunakan aksara Jawa dan tulisan Arab Pegon, (2) bahasanya tidak mencerminkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, melainkan bahasa sastra yang penuh dengan idiom yang sulit dipahami, (3) sebagian besar karya sastra digubah dalam bentuk puisi tradisional, seperti kakawin, kidung, dan tembang macapat, (4) naskah disimpan di museum dan koleksi pribadi masyarakat yang belum didokumentasi.

Ketiga, Selain menyusun katalog, Behrend (1995) juga meneliti naskah

Serat Jatiswara sebagai disertasi. Disertasi tersebut telah dicetak dengan judul

Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930. Titik pusat kajian ini ialah analisis isi teks. Analisis difokuskan pada (1) resensi varian

Serat Jatiswara, (2) perbandingan sinopsis Serat Jatiswara, (3) análisis metrum

tembang, (4) análisis struktur cerita, yaitu perbandingan alur cerita, (5) análisis unsur bahasa, (6) karya-karya sastra yang berhubungan dengan Serat Jatiswara, dan (6) Transmisi dan sejarah tekstual. Temuan penelitian ini ialah metode serta temuan tulisan penelitian mempunyai implikasi potensial bagi berbagai aspek studi tekstual sastra Jawa. Setiap bidang yang dibicarakan dalam setiap bab memerlukan pembahasan yang lebih serius dan cermat. Utamanya kodikologi dan

(4)

20

paleografi, prosodi, struktur naratif, stilistika, telaah ragam, intertekstualitas dan hubungan antarteks dibahas secara singkat. Sehingga penelitian itu masih perlu diperdalam, agar bisa dimanfaatkan.

Penelitian Serat Jatiswara oleh T.E. Behrend ini ada relevansinya dengan penelitian Serat Hardamudha. Dalam kajian ini, teks yang dikaji berupa tembang macapat, teori yang digunakan ialah teori semiotik Riffaterre, teori struktur, teori interteks, dan teori struktur tembang macapat. Teori-teori tersebut berhubungan erat dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Keempat penelitian Arjunawiwaha dilakukan oleh I Kuntara Wiryamartana, dengan judul Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, tahun 1990, diterbitkan oleh Duta Wacana University Press. Penelitian tersebut merupakan disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam disertasi tersebut dibahas tentang Serat Wiwaha Jarwa Pakubuwana III dan CF Winter. Keduanya berbentuk tembang macapat, transformasi dari Kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa. Kajian utama penelitian tersebut ialah analisis Kakawin Arjunawiwaha, analisis transformasi Kakawin Arjunawiawaha ke Serat Wiwaha Jarwa, dan analisis tanggapan pembaca terhadap Serat Wiwaha Jarwa, baik gubahan Pakubuwana III maupun Serat Wiwaha Jarwa gubahan CF. Winter, dengan pendekatan transformasi dan resepsi atau tanggapan pembaca.

Kaitan antara penelitian Kakawin Arjunawiwaha dengan penelitian ini ialah adanya unsur-unsur kajian yang dapat memberikan arah penelitian ini, seperti satuan naratif, struktur formal, dalam kajian Kakawin Arjunawiwaha tersebut.

(5)

21

Kelima penelitian Serat Panitisastra yang dilakukan oleh A. Sadewa dengan judul ”Serat Panitisastra, Tradisi, Resepsi dan Transformasi” tahun 1991, diterbitkan oleh Satyawacana University Press. Penelitian ini merupakan disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kajian utama penelitian ini ialah tradisi penyalinan teks, resepsi atau tanggapan pembaca, dan transformasi Kakawin Panitisastra ke beberapa naskah, di antaranya Serat Panitisastra Jarwa, Serat Panitisastra Kawi, Serat Panitisastra Kawi Jarwan, Serat Panitisastra Kawi Miring, Serat Panitisastra Gubahan PB V, Serat Panitisastra Gubahan Sastrawiguna, Serat Panitisastra Gubahan Sastranagara,

dan Serat Panitisastra Sekar Ageng.

Hubungan penelitian ini dengan penelitian Serat Panitisastra ialah unsur ajaran moral atau kesusilaan yang berupa ajaran moral tentang persahabatan, cara mendidik anak, doa baik orang tua kepada anak, anak saleh, bersedekah, menjaga pembicaraan, menghargai pahlawan, jangan mencela, kesaktian, dan sebagainya. Unsur ajaran moral tersebut mirip dengan ajaran moral yang tertuang dalam Serat Hardamudha dan akan dianalisis sesuai dengan permasalahan penelitian.

Kelima, penelitian Serat Mikraj Nabi dilakukan oleh Heny Subandiyah dengan judul ”Kitab Mikraj: Sebuah Kajian Filologis”. Penelitian ini merupakan tesis pada Program Pascasarjana Universitas Pajajaran Bandung, tahun 2001. Kajian dititikberatkan pada deskripsi, perbandingan, penentuan naskah yang ditransliterasi, isi ringkas, suntingan teks dan fungsi teks. Temuan penelitian adalah: (1) Teks Serat Mikraj Nabi mendapat kedudukan cukup baik dalam masyarakat Jawa, terutama kaum muslimin, (2) teks tersebut menceritakan

(6)

22

peristiwa penting yang dialami Nabi Muhammad Saw ketika mendapat perintah salat dari Allah SWT. (3) fungsi teks sebagai sarana pendidikan terutama pendidikan agama.

Penelitian ini ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan oleh Heny Subandiyah, terutama adanya hubungan antara naskah Serat Mikraj Nabi

dengan naskah Serat Hardamudha. Unsur-unsur hubungan dalam Serat Hardamudha yang berasal dari Serat Mikraj Nabi ialah teks tentang ajaran agama Islam, terutama ajaran syariat, yaitu ajaran agama yang memberikan tuntunan untuk melakukan ibadah, sesuai dengan perintah Tuhan.

Ketujuh, penelitian Serat Cariyos Sri Sedana dilakukan oleh Suwarni dari Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, tahun 2008. Judul Penelitian ini ialah ”Naskah Cariyos Sri Sedana: Analisis Struktur dan Nilai-Nilai Sosiokultural” (2008). Penelitian ini merupakan tesis Program Magister (S2) Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Kajian Cariyos Sri Sedana dititikberatkan pada struktur cerita, dan nilai-nilai sosiokultural. Analisis data dilakukan dengan teknik deskripsi dan analisis isi. Temuan penelitian: (1) Cariyos Sri Sadana ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu sastra tulis, sastra lisan, dan budaya Jawa. Bentuk Cariyos Sri Sedana dalam budaya Jawa terdapat dalam berbagai tradisi yang berkaitan dengan pertanian. Cariyos Sri Sadana atau Dewi Sri dalam sastra tulis memiliki dua versi yaitu versi Hindu dan versi Islam. Selain itu cerita Dewi Sri juga terdapat dalam sastra lisan dan budaya. (2) Unsur sosiokultural yang sangat tinggi berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang masih agraris. (3) Cariyos

(7)

23

Sri Sedana menimbulkan berbagai tradisi yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat Jawa. Misalnya: jagong bayi, wiwit, bubur lemu, sesaji, dan sebagainya. Cerita Sri Sadana terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda, Madura dan Bali. Naskah Cariyos Sri Sedana menimbulkan berbagai gugon tuhon

dan menjadi pedoman bagi masyarakat Jawa dalam melakukan kegiatan dalam kehidupan terutama oleh kaum tani.

Penelitian ini ada kaitannya dengan penelitian Serat Cariyos Sri Sedana

yang dilakukan Suwarni, antara lain ajaran kesusilaan atau ajaran moral yang terdapat dalam teks tersebut. Ajaran moral itu berkaitan dengan ajaran moral yang terdapat dalam teks Serat Hardamudha, misalnya tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana sering menolong tanpa pamrih kepada sesama manusia tanpa memandang pangkat dan derajat, seperti yang dilakukan seorang tokoh. Dalam

Serat Hardamudha dicontohkan pada tokoh Kyai Secadarma. Seorang pendeta yang memiliki sifat mulia, walaupun para muridnya para penjahat. Ia menolong Jaka Sudra Mudha orang yang baru dikenal.

Dari penelitian-penelitian di atas, maka penelitian Serat Hardamudha diarahkan kapada kajian: (1) Struktur yaitu menganalisis struktur naratif dan struktur formal Serat Hardamudha. (2) Analisis fungsi Serat Hardamudha bagi kehidupan, (3) analisis makna Serat Hardamudha. Secara garis besar kajian Serat Hardamudha difokuskan pada struktur, fungsi, dan makna.

2.2 Konsep

Pembahasan konsep penelitian ini dititikberatkan pada judul penelitian.Dari judul penelitian dapat dikemukakan konsep-konsep yang dapat memperjelas arah

(8)

24

penelitian yang akan dilakukan. Konsep merupakan sebuah rancangan yang akan dituangkan dalam penelitian ini. Rancangan tersebut berupa ide atau gagasan yang diabstraksikan ke dalam peristiwa kongkret. Konsep penelitian adalah landasan yang digunakan dalam penelitian Serat Hardamudha. Adapun konsep-konsep dalam penelitian tersebut adalah konsep wacana, konsep serat, konsep

Hardamudha dan konsep tembang macapat.

2.2.1 Konsep Wacana

Istilah wacana sering disebut teks. Teks sering dikaitkan dengan bentuk ilmu bahasa dalam hubungan dengan satuan bahasa. Dalam istilah filologi teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja, (Baried, 1994:57). Dalam hal ini, Guy Cook (1994:24) menyatakan bahwa sebuah teks merupakan sebuah bentuk ilmu bahasa pada satu regangan bahasa, dan penafsiran tidak membedakan hubungan kalimat. Itulah pengertian umum tentang ‘teks’. Dalam ilmu bahasa, teks seringkali didiskusikan, meskipun tetap berarti bagi seluruh pengguna. Pembicaraan teks tersebut bersifat umum, artinya aspek-aspek bahasa yang digunakan berfungsi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pengertian teks yang lebih rinci dikemukakan oleh Kridalaksana (2008:259) yang menyatakan bahwa teks atau wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Teks direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, ensiklopedia, dsb.) paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap.

(9)

25

Sejalan dengan pendapat tersebut, Eriyanto (2009:3) menyatakan bahwa dalam studi linguistik, teks menunjuk pada kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana ialah rangkaian kalimat yang serasi, yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain, kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa teks atau wacana ialah sebuah satuan bahasa yang lengkap, memiliki struktur gramatikal tertinggi, diarealisasikan dalam bentuk buku, paragraf, kalimat, dan sebagainya. Teks memiliki kandungan isi, sehingga dapat diinterpretasikan maknanya. Di samping itu, wacana memiliki konteks tertentu.

Serat Hardamudha merupakan sebuah teks yang digubah dalam bentuk

tembang macapat. Karya sastra tersebut berupa sebuah naratif, yang memiliki struktur, baik struktur bentuk maupun struktur isi. Struktur bentuk berupa struktur

tembang macapat. Struktur isi merupakan satuan naratif yang berupa luapan perasaan pengarang dipadukan dengan ide dan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk karya sastra.

Serat Hardamudha merupakan sebuah karya sastra fiksi Jawa. Istilah fiksi diartikan sebagai cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan (Nurgiyantoro, 1998:1). Dalam dunia sastra, cerita rekaan merupakan pengalaman dan luapan jiwa pengarang yang dipadukan dengan kreasinya dan imajinasi sebagai karya kreatif. Unsur rekaan itu merupakan unsur sastra (literer) yang berkaitan dengan pandangan hidup dan kepercayaan masyarakat di sekitar pengarang yang

(10)

26

dipadukan dengan imajinasi. Seorang pengarang mengangkat berbagai masalah atau peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, dikaitkan dengan ide dan imajinasinya. Karya sastra merupakan perpaduan harmonis antara gagasan, pengalaman, lingkungan masyarakat, dan imajinasi pengarang.

2.2.2 Konsep Serat

Kata serat dalam bahasa Jawa berarti ’tulis, layang’ (Prawiraatmadja, 1987:360). Dalam istilah sastra Jawa serat berarti ’buku, tulisan, dan karya sastra’. Pada umumnya karya sastra Jawa disebut serat. Istilah itu banyak digunakan dalam penulisan sastra Jawa, salah satu di antaranya ialah Serat Hardamudha. Contoh lain ialah: Serat Babad Nitik Sultan Agung, Serat Ambiya,

Serat Nabi Yusuf, Serat Babad Mataram, Serat Wulangreh, Serat Riyanto, Serat Rama, Serat Wiwaha Jarwa, Serat Menak, dll, (Poerbatjaraka, 1957: 97-147).

2.2.3 Konsep Hardamudha

Kata Hardamudha terdiri atas dua kata yaitu harda dan mudha. Kata harda

(arda) dalam bahasa Jawa berarti ’ngangsa, murka, hawa nafsu’ (Prawiraatmadja, 1987:20). Sedangkan kata mudha dalam bahasa Jawa Kuna berarti ’bodoh, tolol’. (Zoetmulder dan Robson, 2006:676). Jadi Serat Hardamudha ialah karya sastra yang isinya menceritakan seseorang yang tamak dan bodoh. Kata arda oleh pihak Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo ditulis harda karena karya sastra tersebut ditulis dengan aksara Jawa, bila dilatinkan dibaca /a/.

Serat Hardamudha menceritakan tokoh Jaka Sudra Mudha yang dikatakan bodoh karena tidak bisa membaca dan menulis aksara Jawa dan Latin. Ia tidak

(11)

27

pernah menyadari hal itu. Jaka Sudra Mudha selalu mengalami berbagai masalah, karena kebodohan dan keluguannya. Untuk mengatasi masalah, ia berusaha mendatangi paranormal seperti pendeta, kyai, dan suhu.

Dalam Serat Hardamudha terdapat kandungan ajaran yang adiluhung, seperti ajaran moral, ajaran keagamaan, dan ajaran sosial. Keindahan karya sastra yang terdapat dalam Serat Hardamudha tergambar pada bentuk, isi, dan unsur estetik yang dituangkan dalam bentuk dan bahasa.

Serat Hardamudha mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada zaman penjajahan Belanda. Di dalamnya terdapat nasihat dan ajaran-ajaran moral, yang dewasa ini masih bisa dimanfaatkan. Ajaran dalam Serat Hardamudha meliputi ajaran sosial, ajaran etika, dan ajaran keagamaan. Ajaran-ajaran tersebut dituangkan dalam sebuah karya fiksi berbentuk tembang macapat. Secara umum ajaran-ajaran tersebut sangat bermanfaat bagi pembinaan pendidikan karakter bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang digalakkan, dan diaktualisasikan melalui sekolah-sekolah.

2.2.4 Konsep Tembang Macapat

Tembang macapat ialah bentuk puisi Jawa tradisional yang memiliki kaidah tertentu, meliputi guru gatra, guru lagu dan guru wilangan (Hadiwidjana, 1967:53). Tembang macapat memiliki watak. Dalam menggubah cerita seorang pengarang umumnya menyesuaikan metrum yang digunakan dengan watak tembang. Selain itu, para pujangga dalam menggunakan tembang macapat tidak menyebut nama tembang melainkan disamarkan dalam sasmita tembang. Bila dalam salah satu pupuh tersebut tidak terdapat sasmita tembang, untuk

(12)

28

menentukan jenis metrum, mencocokan dengan kaidah yang baku, guru gatra,

guru wilangan dan guru lagu.

Berbagai pendapat dikemukakan oleh beberapa ahli. Setiap ahli memiliki pendapat yang sedikit berbeda, terutama dalam penentuan jenis metrum tembang macapat. Hardjowirogo (1980:15) membedakan menjadi 11 jenis, Sukamti (2010:2) 11 jenis, Purwadi (2009:12) 12 jenis, Padmosoekotjo (1955:14), membedakan menjadi 9 jenis tembang macapat, 5 jenis tembang tengahan dan 1 jenis tembang gedhe, dan Bernard Arp (1992:58-59) 15 jenis tembang macapat.

Adapun jenis tembang tersebut yaitu, Sinom, Dhanndhanggula, Pangkur, Asmaradana, Gambuh, Durma, Kinanthi, Pucung, Maskumambang, Mijil, Megatruh, Balabak, Wirangrong, Girisa, dan Jurudemung. (Padmosoekotjo, 1955:28; Hadiwidjana, 1967:54, Hutomo, 1990a:15).

Tembang macapat berkembang pesat sejak perode sastra Jawa Baru. Sesuai dengan pendapat Suwarni (1996:2) yang menyatakan bahwa tembang macapat

berkembang pada periode sastra Jawa Baru, yaitu sekitar abad ke-16. Tembang macapat merupakan salah satu bentuk sastra Jawa yang mendapat pengaruh Islam. Ia mengalami zaman keemasan pada zaman Surakarta awal, yaitu sekitar abad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke-20. Sebagian besar pujangga kraton Surakarta dan Yogyakarta menggubah karya sastra dalam bentuk

tembang macapat. Pengarang di luar istana sebagian juga menulis karya sastra dengan tembang macapat, misalnya dalam bentuk karya sastra suluk, yang berkembang di daerah pesisiran, pada awal masuknya pengaruh Islam di Jawa atau sekitar abad ke-16.

(13)

29

Dalam sastra Jawa terdapat puisi tradisional, salah satu di antaranya

tembang macapat, memiliki struktur formal yang harus dipenuhi. Struktur formal tembang macapat meliputi jumlah larik (guru gatra), bunyi akhir larik

(guru lagu), dan jumlah suku kata setiap baris (guru wilangan). Tembang macapat merupakan salah satu jenis puisi Jawa yang banyak mendapat perhatian dari para peneliti, baik luar negeri maupun dalam negeri. Salah seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Bernard Arps pada tahun 1992 menyusun disertasi berjudul Tembang in Two Traditions. Disertasi itu membahas tembang macapat dari dua versi yaitu Yogyakarta dan Banyuwangi.

Hadiwidjana (1967:52) mengatakan bahwa pada hakikatnya tembang macapat harus mempunyai sifat luwes, dapat menimbulkan keindahan, dan menarik, sehingga menimbulkan rasa senang bagi pendengar atau pambaca. Seorang penggubah tembang macapat umumnya pandai mengolah kata-kata sehingga dapat menggugah minat pembaca.

Dalam sastra Jawa, tembang dibedakan menjadi tiga macam, tembang gedhe, tembangtengahan dan tembang macapat. Tembang gedhe hanya terdapat satu metrum, yaitu Girisa, tembang tengahan, terdiri atas Megatruh (Duduk wuluh), Gambuh, Balabag, Wirangrong dan Jurudemung.

Tembang macapat terdiri atas 9 metrum, Dhanndhanggula, Asmaradana, Kinanthi, Mijil, Pangkur, Pucung, Durma, Maskumambang, dan Sinom,

(Padmasukatja, 1955:28; Hadiwidjana, 1967:54, Hutomo, 1990a:15). Tiap-tiap

tembang memiliki struktur dan ciri-ciri yang berbeda-beda, sehingga pembaca dengan mudah dapat mengenali jenis-jenis tembang tersebut.

(14)

30

Berikut disajikan struktur formal tembang macapat secara sederhana, yaitu: (1) Dhandhanggula: 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, dan 7a. Wataknya: menyenangkan dan bersifat fleksibel. (2) Asmaradana: 8i, 8a, 8 e, 8a, 7 a, 8u, 8a. Wataknya: senang, prihatin. (3) Pangkur: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, dan 8i. Wataknya keras. (4) Mijil: 10 i, 6 o, 10 e, 10 i, 6 i, 6 u. Wataknya: ungkapan perasaan. (5) Pucung: 12 u, 6 a, 8 I, 12 a. Wataknya: santai. (6) Maskumambang: 12 i, 6 a, 8 i , 8 a. Wataknya: sedih, prihatin. (7) Megatruh: 12 u, 8 i, 8 u, 8 i, 8 o. Wataknya: sedih, kecewa. (8) Durma : 12 a, 7 i, 6 a, 7 a, 8 i, 5 a, 7 i. Wataknya: marah dan galak. (9) Kinanhi: 8 u,8 I,8 a, 8i, 8a, 8 i. Wataknya: menyenangkan. (10) Sinom: 8 a, 8 i, 8 a, 8 i, 7 i, 8 u, 7 a, 8 i, 12 a. Wataknya: ramah, luwes, dan baik hati. (11) Gambuh: 7 u, 10 u, 12 i, 8 u, 8 o. Wataknya: akrab, terbiasa. (12)

Balabak: 12 a, 3 e, 12 a, 3 e, 12 a, 3 e. Wataknya: gurauan, santai. (13)

Wirangrong: 8 I, 8 o, 10 u, 6 I, 7 a, 8 a. Wataknya: berwibawa. (14) Jurudemung: 8a, 8u, 8u, 8 a, 8u, 8a, 8 u. Wataknya: lincah, bergurau. (15) Girisa: 8 a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8 a. Wataknya sedang, lebih tepat untuk menyampaikan petuah, atau saran.

2.2.5 Konsep Kesusasteraan Jawa

Kesusasteraan Jawa ialah hasil karya yang tersusun dengan bahasa Jawa yang baik, sebagai alat untuk menyampaikan perasaan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa (Subalidinata, 1974:3). Bentuk kesusasteraan Jawa ada dua macam, yaitu kesusasteraan lisan atau sastra lisan dan kesusasteraan tulis atau sastra tulis. Bentuk sastra lisan ialah dongeng, mantra-mantra, bebasan, paribasan,

(15)

31

babad, buku pakem pedalangan Jawa, cerkak, geguritan, dan sebagainya. Kesusasteraan Jawa berkembang sejak abad ke-9 sampai sekarang. Dalam perkembangannya, sastra Jawa mengalami beberapa periode, yaitu periode Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Pertengahan, Sastra Jawa Baru dan Sastra Jawa Modern.

2.3 Landasan Teori

Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori semiotik Riffaterre, tetapi dalam analisis data dibantu oleh beberapa teori untuk membahas masalah-masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut antara lain: struktural, interteks, fungsi, dan makna.

2.3.1 Teori Semiotik

Teori semiotik merupakan sebuah teori yang berfungsi untuk menganalisis tanda-tanda dalam sebuah teks. Untuk membahas tanda-tanda yang tertuang dalam Serat Hardamudha digunakan teori semiotik. Dengan teori tersebut, makna yang tertuang di dalamnya dapat diketahui dengan cara menafsirkan tanda-tanda (bahasa) yang terdapat dalam teks.

Aart van Zoest (1993:8-11) menyatakan bahwa Charles Sanders Pierce, seorang filsuf beraliran Pragmatik Amerika Serikat menyatakan bahwa semiotik ialah doktrin formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar semiotik ialah konsep tentang tanda. Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang fondamental bagi manusia. Tanda-tanda non verbal seperti gerak-gerik, bentuk pakaian, serta keanekaragaman praktik sosial dan konvensi yang lain, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan

(16)

32

atas dasar relasi sosial. Tanda ialah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi yang dapat menjadi tanda tidak hanya bahasa tetapi juga yang lain. (Nurgiyantoro, 1998:40-41).

Kata semiotik berasal dari bahasa Yunani “semeion”, berarti ’tanda’. Maka semiotik berarti ilmu tanda. Semiotik ialah cabang ilmu yang berhubungan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. (Zoest. 1993:1). Selanjutnya dijelaskan bahwa ilmu semiotik lahir pada abad pertengahan. Istilah semiotik mulai muncul dan dibicarakan para ahli filsafat logika. J.H. Lambert (ahli filsafat Jerman) telah menggunakan istilah semiotik tersebut, namun belum merupakan bagian ilmu tanda. Pada tahun 1930-an semiotik mulai dibicarakan sebagai salah satu bidang kajian ilmu tanda. Hal ini berkat paparan Charles Moris dan Max Bense yang memperkenalkan teori semiotik Charles Sanders Pierce, sehingga muncul bidang kajian baru tentang ilmu tanda atau semiotik.

Dalam teori semiotik dinyatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda, jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda, yang disebut sebagai

representamen, harus mengacu (mewakili) sesuatu yang disebut objek (acuan,

designtum, denotatum, reference). Jika sebuah tanda mewakili acuannya, itulah fungsi utama (Nurgiyantoro,1998:41). Selanjutnya Peirce (Zoest,1993:8-9) membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon merupakan hubungan kemiripan, misal foto, peta, dan

(17)

33

geografis, (2) indeks merupakan hubungan kedekatan eksistensi misal asap tebal berarti kebakaran, wajah muram tanda sedih, dan (3) simbol merupakan hubungan yang telah terbentuk secara konvensi, misal putih, hitam, kuning, merah, ungu, dan sebagainya. (Abrams,1981:172; Nurgiyantoro,1998: 42).

Teori semiotik akan digunakan untuk memberi makna tanda-tanda dalam

Serat Hardamudha. Ajaran-ajaran dalam karya sastra dituangkan dalam bentuk simbol atau tanda melalui tokoh dan penokohan. Tanda-tanda atau simbol-simbol tersebut akan dianalisis agar bermakna. Adapun tanda-tanda tersebut dapat berupa ikon, indeks, dan simbol. Untuk mengetahui makna tanda-tanda itu diperlukan interpretasi atau penafsiran dengan pendekatan hermeneutik.

Karya sastra merupakan sebuah sistem tanda. Pradopo (2003:108) menyebutkan bahwa karya sastra merupakan sebuah sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Selain itu, Segers (2001:14) menyebut sebagai sistem semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder. Metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa melainkan sistem komunikasi yang sarat dengan peran budaya (Ratna, 2007:11). Dalam berkomunikasi digunakan sistem tanda. Rein T. Segers (2001:4) menyebutkan bahwa semiotik ialah suatu disiplin ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda-tanda pada sistem tanda. Pengertian tanda ialah sembarang apa saja yang menyatakan sesuatu yang lain dari diri sendiri, dan sebagainya (Ratna, 204:112).

A. Teeuw (1988:44-56) menyatakan bahwa bahasa ialah sistem tanda yang merupakan satuan antara signifiant dan signifie. Signifiant ialah penanda, yaitu

(18)

34

aspek formal atau bentuk tanda. Sebaliknya signifie adalah petanda, yaitu aspek makna atau konseptual dari penanda, keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Untuk memahami sistem tanda dalam karya sastra perlu memahami konsep-konsep tanda. Dalam hal ini Pradopo (Suarka, 2007:45) menyatakan ada empat hal yang mesti dipahami untuk memahami tanda, yaitu: (1) jenis-jenis tanda, seperti ikon, indeks, dan simbol, (2) satuan-satuan arti, (3) konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai makna, dan (4) hipogram (hubungan interteks).

Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menafsirkan tanda-tanda dalam karya sastra, yaitu arti dan makna. Michael Riffaterre (1978:2-3) mengusulkan dua istilah itu perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yaitu meaning ‘arti’ dan

significance ‘makna’. Dari segi arti, teks puisi merupakan suatu informasi yang berturut-turut ditampilkan oleh tataran mimetik. Sementara dari segi makna teks puisi merupakan satu kesatuan semantik, artinya pembaca sebagai pemberi makna harus mulai pembacaan heuristik, yaitu pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik untuk membuka arti. Setelah itu pembacaan hermeneutik, yaitu pembacaan struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan pusat makna yang disebut matrik. Dalam mengkaji puisi diperlukan pembacaan heuristik dan hermeneutik.

Matrik ialah kalimat minimal yang bersifat hipotetik. Matrik mungkin dioptimalkan dalam satu kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh dalam teks, tetapi dalam bentuk varian, ketidakgramatikalan. Bentuk varian

(19)

35

sebagai aktualisasi pertama atau ranah dari matrik disebut model (Riffaterre, 1978:19; Wiryamartana, 1990:336; Suarka, 2007:47).

Kajian interteks dalam dunia Barat telah dikenal sejak tahun 1960-an. Di Indonesia interteks dikenal dalam sastra Indonesia tahun 1980-an melalui tulisan Teeuw (1980) yang berjudul “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”, dimuat dalam majalah Basis No. 301, edisi bulan Oktober 1980. Dalam tulisan itu dibahas intertekstualitas puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar dangan puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah. Selanjutnya artikel itu dimuat dalam kumpulan esei “Membaca dan Menulis Sastra” tahun 1993.

Prinsip intertektualitas pertama kali dikenal di kalangan para peneliti Perancis dan bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Jacques Derrida. Pemikiran intertekstual itu dikembangkan oleh Julia Kristeva (dalam Teeuw, 1988:145) melalui tulisannya “Research for Semanalysis” 1969 (Noth, 1990:321-324). Dalam tulisan tersebut Kristeva mengatakan bahwa setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain (Noth, 1990:323). Prinsip Kristeva ini berarti setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, karena tidak ada yang benar-benar mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh dan kerangka. Prinsip ini tidak menerangkan bahwa teks yang baru hanya mencontoh teks lain atau mematuhi kerangka teks yang terlebih dahulu ada, tetapi dalam arti setiap teks baru memungkinkan terjadinya peresapan dan transformasi dari teks yang terdahulu ada. (Suroso, dkk. 2009:128-129)

(20)

36

Istilah mozaik dalam sebuah teks, Pradopo (1987:227-228) menjelaskan bahwa maksud prinsip mosaik dari Kristeva itu ialah setiap teks mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau teks yang ditulis oleh sastrawan kemudian. Prinsip mosaik mengandaikan teks lain sebagai pecahan keramik, marmer, batu, atau gelas yang berwarna-warni yang kemudian diambil (diserap) dan ditata atau dikombinasikan ke dalam sebuah ciptaan baru (ditransformasikan) berdasarkan rasa keindahan.

Prinsip interteks sangat besar pengaruhnya terhadap pemahaman sebuah teks. Dalam masalah ini Jonathan Culler (1981:102-103) menyatakan bahwa prinsip intertekstual mempunyai fokus ganda, yaitu (1) meminta perhatian tentang pentingnya teks yang terdahulu, sebab tuntutan otonomi teks ialah menyesatkan gagasan, dan (2) interteks membimbing untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi (membawa makna atau lebih jauh fokus makna). Konsep intertektual begitu sentral bagi setiap komunitas deskripsi semiotik signifikasi sastra. Namun, terbukti agak sulit diterapkan, walaupun sudah diberi contoh oleh Riffaterre (Suroso dkk, 2009: 129).

Michael Riffaterre (1978:22) menyatakan bahwa intertekstualitas ialah “kesamaan semiotik”. Tataran tertinggi semiotik dalam karya sastra adalah varian dari “kata” atau “kalimat” yang orisinal. Karya sastra ialah transformasi “kata” atau “kalimat” ke dalam teks. “Kata” atau “kalimat” adalah inti atau matrik. Matrik mungkin dikembangkan oleh satu kata, dan kata itu sendiri tidak hadir

(21)

37

dalam teks, melainkan diaktualisasikan dalam varian. Menurut Riffaterre teks barulah menjadi teks utuh apabila dihubungkan dengan hipogram potensial, yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari, seperti preoposisi dan sistem deskriptif, maupun hipogram aktual yang berupa teks-teks yang sudah ada sebelumnya (Faruk, 1996:25; Suroso dkk, 2009:130).

2.3.2 Teori Struktural

Analisis strutural bertujuan untuk membahas dan memaparkan secermat, seteliti, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Analisis struktural berkaitan dengan semiotik. Karya sastra merupakan sebuah struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut memiliki makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Dalam karya sastra terdapat sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra ialah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Pradopo, 2007:109).

Dalam sastra Jawa terdapat karya yang berbentuk puisi naratif, maksudnya ialah karya sastra yang berbentuk puisi dan bersifat naratif, karya fiksi yang digubah dalam bentuk puisi. Karya-karya tersebut digolongkan ke dalam bentuk fiksi. I Nyoman Kutha Ratna (2005:241) menyatakan bahwa naratif memiliki kajian rangkaian peristiwa yang terdapat dalam sebuah karya sastra, misalnya peristiwa yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh, latar, sudut pandang dan sebagainya. Analisis struktural merupakan suatu penguraian unsur-unsur karya

(22)

38

yang didasarkan aspek-aspek struktur naratif seperti peristiwa, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra. Peristiwa dalam cerita merupakan rangkaian yang membangun alur cerita.

Struktur naratif dibangun oleh unsur-unsur dalam karya sastra, seperti latar, alur, tokoh dan penokohan. Suroso (2009:93) menyatakan bahwa struktur naratif ialah susunan atau bangunan cerita yang disusun dengan pola atau aspek-aspek tertentu dari awal hingga akhir cerita. Yang dibahas dalam analisis struktur naratif dengan pendekatan semiotik ialah struktur perjalanan cerita, tokoh dengan ideologinya, dan latar cerita. Struktur perjalanan cerita ialah alur cerita. Latar yang dihadirkan dalam cerita dapat berupa latar fisik, latar sosial, dan latar waktu. Tokoh utama ditentukan berdasarkan nama yang sering disebutkan dalam teks. Suroso (2009:98) menyatakan bahwa tokoh dengan ideologinya ialah cara pandang tokoh terhadap sikap dan arah perilaku kehidupannya.

Pengarang dalam menciptakan karya sastra memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu tersirat dalam karya sastra. Untuk mengetahui tujuan pengarang karya itu sebaiknya diteliti dari segi fungsi dan makna. Makna-makna yang tertuang di dalamnya berupa nilai-nilai, yang diinterpretasikan oleh peneliti, dengan pendekatan hermeneutik. Sebagai karya sastra yang bermakna, Serat Hardamudha

selayaknya diberikan makna. Upaya pemberian makna semacam ini disebut konkritisasi atau naturalisasi (Teeuw,1983:4). Usaha pemberian makna terhadap karya sastra harus mengikuti kaidah kode tertentu yang pada hakikatnya selalu terikat dengan karya itu sendiri. Sejalan dengan pernyataan di atas, Teeuw (1980) menyatakan bahwa penelitian naskah dan penelitian sastra merujuk

(23)

39

kepada tiga macam kode yang harus diperhatikan, yaitu kode sastra, kode bahasa dan kode budaya.

Karya sastra merupakan teks dapat dimaknai dari segi konteks situasi dan budaya (Halliday dan Ruqaya Hasan, 1992: 62-63). Konteks situasi ialah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar bermakna bagi partisipan. Konteks budaya ialah budaya yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Dengan teks dan konteks (situasi dan budaya) pendengar atau pembaca melakukan prakiraan-prakiraan tentang hal-hal yang akan muncul kemudian yang bersumber dari teks dan konteks tersebut. Pendapat di atas digunakan untuk menganalisis kode bahasa dan kode budaya yang dituangkan dalam Serat Hardamudha. Kode budaya diarahkan pada nilia-nilai budaya yang tertuang dalam karya sastra tersebut.

Untuk membahas makna Serat Hardamudha yang terkait dengan makna semiotik digunakan teori Riffaterre (1978), van Zoest (1993), dan Sudjiman (1996). Pendekatan semiotik terhadap Serat Hardamudha dilakukan melalui dua tahap pembacaan, yaitu heuristik dan hermeneutik (Riffaterre,1978; Sumaryono, 2000). Tahap pembacaan heuristik ialah tingkat pembacaan pertama menurut tataran arti gramatikal dan leksikal untuk menemukan makna mimetik. Yang dimaksud makna mimetik ialah makna yang sesuai dengan fungsi referensial (Riffaterre,1978: 88). Makna hermeneutik ialah pembacaan bolak-balik untuk mengungkapkan makna sebagai tanda atau makna semiotik.

I Nyoman Kutha Ratna (2009:169) menyatakan bahwa perkembangan teori semiotik baik yang dikembangkan oleh Saussurean maupun Peiercean masih

(24)

40

didominasi oleh konsep-konsep struktur. Oleh karena itu, disebut strukturalisme semiotik. Perkembangan kontemporer dilakukaan Roland Barthes dengan menonjolkan peran pembaca dan kematian pengarang. Mikhail Bahtin melalui struktur dialogis, Derrida melalui teori perbedaan atau difference dan Foucault melalui kekuatan teks. Perkembangan semiotik itu didukung oleh para ahli postrukturalisme naratologi, seperti: Gerard Genette, Gerarl Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Hayden White, Jacquest-Marie Emile Lacan, Jean-Francois Lyotard, Julia Kristeva, dan lain-lain.

2.3.3 Teori Fungsi

Karya sastra merupakan dokumentasi sosial budaya masyarakat pendukungnya. Pengarang dalam mencipta karya sastra yang dituangkan dalam bentuk teks tentu memiliki suatu tujuan. Untuk mengetahui tujuan pengarang, peneliti hendaknya mengetahui fungsi dan makna karya sastra tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Worsley (1972) bahwa untuk mengetahui tujuan pengarang dalam karya sastra, peneliti sebaiknya menganalisis bentuk, tema, peran dan gaya, dan yang lebih penting ialah fungsinya.

Horace menyatakan bahwa fungsi sastra adalah dulce at utile, artinya puisi itu indah dan berguna. Secara sepintas pandangan itu keliru, jika ingin mempelajari secara sungguh-sungguh, fungsi itu benar. George Boas dalam bukunya Primer for Criticism menjelaskan tentang bermacam-macam tujuan sastra dan tipe kritik sastra. TS Eliot dalam bukunya The Use of Poetry and The Use of Criticism menyatakan bahwa ragam puisi dan ragam fungsi puisi ternyata banyak sekali pada kurun waktu yang berbeda (Wellek & Warren 1995:27).

(25)

41

Sebagai karya sastra Jawa, Serat Hardamudha juga memiliki fungsi. Fungsi itu disesuaikan dengan tujuan pengarang dalam menggubah karya tersebut. Untuk mengetahui fungsi Serat Hardamudha digunakan pendapat Robson (1975), dengan jalan mengetahui tujuan pengarang, dengan analisis bentuk, tema peran, gaya dan fungsi. Untuk mengetahui fungsi karya tersebut digunakan pendapat Merton (dalam Kaplan, 1999:79) yang membedakan fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest ialah konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem tersebut. Fungsi laten merupakan konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.

Bertolak dari pendapat Merton tersebut, maka analisis fungsi dalam Serat Hardamudha diarahkan pada kedua fungsi tersebut. Fungsi manifest memberikan sumbangan yang positif terhadap keberadaan peristiwa yang dilukiskan pengarang. Unsur naratif itu dijalinkan sebagai motif untuk menggerakkan ceritera dan memberikan prediksi hal-hal yang akan terjadi serta memberi dukungan penuh kepada pelaku utama atau pun penunjang terhadap kejadian yang dipaparkan.

Keberadaan unsur naratif terkait erat dengan kepercayaan, nilai sosial, nilai keagamaan, nilai budaya, pandangan hidup, dan alam pikir, sebagai dokumen masyarakat. Dengan mengetahui tujuan pengarang Serat Hardamudha yang dinyatakan pada awal cerita tampak bahwa karya tersebut memang dimaksudkan untuk memberikan teladan kepada pembaca. Selain itu, judul karya itu pun mengarah pada aspek didaktis. Judul Serat Hardamudha menunjukkan bahwa

(26)

42

ketamakan dan kebodohan mengakibatkan hidup seseorang berantakan. Ajaran tersebut dapat dipakai sebagai kaca benggala dalam kehidupan bermasyarakat.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan suatu gambaran secara umum tentang alur berpikir dan langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan peneliti terhadap penelitian Serat Hardamudha. Penjelasan langkah-langkah penelitian itu disajikan dalam bentuk bagan model penelitian secara singkat dan sederhana. Model penelitian disajikan dalam bentuk bagan agar mudah dipahami. Dari bagan tersebut dapat diketahui beberapa hal, seperti materi yang diteliti, teori yang akan digunakan, fokus kajian, analisis yang akan dilakukan, dan temuan baru yang akan dicari peneliti. Adapun bagan model penelitian yang dikembangkan ialah sebagai berikut:

Bagan 2.1: Model Penelitian Yang Dikembangkan

Teori: 1. Struktural 2. Fungsi 2. Semiotik KESUSASTERAAN JAWA Fokus kajian: 1. Struktur 2. Fungsi 3. Makna Analisis

Struktur naratif, struktur formal, fungsi, makna (matrik, model, hipogram, makna)

TEMUAN Serat Hardamudha

(27)

43

Alur penelitian Serat Hardamudha dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Serat Hardamudha merupakan produk penulisan kesusasteraan Jawa, khususnya di lingkungan istana. Peneliti melacak keberadaan naskah Serat Hardamudha ke Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Di perpustakaan tersebut terdapat Serat Hardamudha dengan nomor registrasi L 397, PB A. 224. Naskah ini masih baik, tulisannya jelas, terbaca, dan terawat. Naskah menggunakan tulisan aksara Jawa dan berbahasa Jawa, berbentuk tembang macapat. Transliterasi naskah telah dilakukan oleh Bima Slamet Raharja, dkk.(2009). Peneleliti memutuskan bahwa naskah tersebut ditetapkan sebagai materi penelitian.

Pendataan naskah Serat Hardamudha dilakukan peneliti dengan mencatat beberapa hal, antara lain: menentukan judul naskah, penulis, saat penulisan, ukuran, asal, dan bentuk naskah. Pendataan ini dilakukan di Perpustaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah tidak diizinkan untuk difotokopi dan dibawa pulang. Peneliti melakukan pendataan dengan cara pencatatan di tempat penyimpanan naskah.

Memperbaiki transliterasi atau mentrasliterasi ulang Serat Hardamudha

dilakukan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta, karena transliterasi yang dilakukan oleh Bima Slamet Raharja dkk. ada beberapa kesalahan. Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, peneliti perlu membaca naskah asli Serat Hardamudha. Transliterasi naskah Serat Hardamudha dilakukan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Tujuannya transliterasi ialah untuk memudahkan peneliti menganalisis struktur formal tembang macapat.

(28)

44

Menerjemahkan transliterasi Serat Hardamudha dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia untuk memudahkan pemahaman teks dan menganalisis struktur naratif, struktur formal, fungsi, dan makna (matrik dan model, hipogram, makna).

Mengaplikasikan teori-teori yang relevan untuk menganalisis data penelitian

Serat Hardamudha, yaitu teori semiotik, teori struktural, dan teori fungsi. Teori semiotik digunakan untuk membedah makna Serat Hardamudha. Teori struktural digunakan untuk membedah unsur-unsur karya sastra, seperti latar, tokoh dan penokohan, serta alaur cerita. Struktur formal tembang dianalisis dengan menggunakan teori tembang macapat. Teori fungsi digunakan untuk menganalisis fungsi Serat Hardamudha bagi kehidupan.

Fokus kajian penelitian ini ialah struktur fungsi, dan makna Serat Hardamudha. Analisis data meliputi struktur naratif, struktur formal, fungsi, dan makna Serat Hardamudha (matrik, model, hipogram, dan makna). Berdasarkan analisis data tersebut diharapkan peneliti mendapatkan temuan baru penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

1. Paths, adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya. Edges,

lain yang dilakukan oleh Budiyono dkk (2011) di Kabupaten Demak menunjukkan bahwa ada kerjasama yang baik antara bidan dengan dukun, walaupun masih ada dukun yang

Dengan demikian istilah cempaka gadang merupakan sebuah konsep yang memberikan makna bahwa teks Cempaka Gadang berisi cerita tentang upacara pangruatan (melaksanakan

Braya). Kehilangan kemampuan melaksanakan kegiatan ini menimbulkan keadaan malu pada pasien. kadang-kadang mereka berpikir akan dikucilkan dari masyarakat karena tidak

Oleh karena itu,hal itu perlu diteliti atau dikaji lebih dalam fenomena sosial itu sehingga fokus penelitian ini adalah “kuasa di balik harmoni: etnografi kritis relasi

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini, teori dialektologi generatif digunakan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, dan

Penelitian bahasa Melayu Loloan mencakup pemakaian bahasa secara umum yang dilakukan oleh masyarakat guyub Loloan dari penutur tua kepada penutur muda, sedangkan

Prijotomo, Josef dalam Gomudha (1999), langgam adalah rupa/wujud, aturan, dan perlengkapan yang khas dari sesuatu masa/jaman dan tempat tertentu, yang memiliki suatu ciri