• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINGKAT KETERSEDIAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN DI SEKOLAH TERHADAP TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA SISWA-SISWI SD MARSUDIRINI, PARUNG, BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TINGKAT KETERSEDIAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN DI SEKOLAH TERHADAP TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA SISWA-SISWI SD MARSUDIRINI, PARUNG, BOGOR"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PARUNG, BOGOR

NADYA BELLATRIX PARAMITA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

Marsudirini Elementary School in Parung, Bogor. Under the guidance of BUDI SETIAWAN and IKEU EKAYANTI.

The general objective of this study was to analyze the availability level and food acceptance in school meals to the energy, protein, and other nutrients adequacy level from students. This study used cross-sectional design with methods of observation and interviewing using the questionaire at Marsudirini Elementary School in Parung, Bogor from May until June 2011. Sampling was done in purposive sampling.

There were no significant diference (p>0.05) based on sex to the food acceptance in school meals. The nutritional status, family size, parental employmentare and maternal education were also not related significantly (p>0.05) to the food acceptance in school meals. Only the education of father had a negative related significantly (p<0.05) to the food acceptance in school meals (r=-0.272) and some aspect of food preference, such as appearance of food (r=-0.347), and the smell of food (r=-0.268). There were a significant (p<0.05) relationship between food acceptance in school meals to energy adequacy level, but there were no significant (p>0.05) relationship between food acceptance in school meals to protein adequacy level from students.

Keyword: school-meal, food acceptance, food preference, availability of food, energy and protein adequacy level

(3)

Terima Makanan di Sekolah terhadap Tingkat Kecukupan Zat Gizi pada Siswa-Siswi SD Marsudirini, Parung, Bogor. Di bawah bimbingan BUDI SETIAWAN dan IKEU EKAYANTI.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat ketersediaan dan daya terima makanan di sekolah terhadap tingkat kecukupan energi, protein, dan zat gizi lainnya dari tiap siswa. Tujuan khususnya yaitu (1) mengetahui sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan di Sekolah Marsudirini, (2) mengetahui karakteristik siswa (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, sosial ekonomi keluarga) dan preferensi makanan siswa, (3) mengetahui daya terima siswa terhadap makanan yang disediakan oleh Sekolah Marsudirini, (4) mengetahui tingkat ketersediaan energi, protein, zat besi, kalsium, dan vitamin C dari menu makan siang dan selingan yang disediakan oleh penyelenggaraan makanan di Sekolah Marsudirini, (5) mengetahui asupan energi, protein, zat besi, kalsium, dan vitamin C dari makanan yang dikonsumsi di sekolah dan kontribusinya terhadap total konsumsi sehari dan angka kecukupan gizi siswa, (6) menganalisis hubungan karakteristik siswa (jenis kelamin dan sosial ekonomi) terhadap daya terima terhadap makanan yang disajikan oleh Sekolah Marsudirini, (7) menganalisis hubungan daya terima terhadap tingkat kecukupan energi dan protein siswa.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode observasi, wawancara, dan pengisian kuesioner secara mandiri di Sekolah Marsudirini, Telaga Kahuripan, Parung, Bogor dari awal bulan Mei-Juni 2011. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Populasi contoh merupakan siswa kelas 5 SD yang totalnya sebanyak 66 siswa, terdiri dari 4 kelas. Kriteria inklusi dalam pengambilan contoh adalah merupakan siswa-siswi Marsudirini kelas 5 SD (berusia 10-12 tahun), tidak sedang sakit, tidak mengalami gangguan/ alergi terhadap makanan yang disajikan oleh sekolah, serta mampu mengikuti penelitian secara lengkap dari awal hingga akhir. Berdasarkan kriteria inklusi tersebut, diperoleh contoh sebanyak 55 siswa.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi sistem penyelenggaraan makanan sekolah, menu makanan yang disediakan dalam penyelenggaraan makanan, karakteristik fisik siswa (berat badan dan tinggi badan), daya terima siswa terhadap menu yang disajikan, preferensi makanan siswa, ketersediaan makanan yang disediakan oleh sekolah, konsumsi siswa terhadap makanan yang disajikan sekolah, total konsumsi siswa dalam satu hari. Data sekunder meliputi gambaran umum sekolah dan karakteristik siswa (mencakup nama, umur, jenis kelamin, sosial ekonomi keluarga) berdasarkan informasi dari pihak sekolah. Data-data yang diperoleh, diolah dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS Statistics 16.0 for windows.

Sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan di Sekolah Marsudirini swakelola, tanpa menggunakan catering dari luar (on-site food service). Penyelenggaraan makanan Sekolah Marsudirini yang dilakukan pada jam sekolah menyajikan selingan pagi, makan siang dan selingan sore. Proses perencanaan menu yang dilakukan dalam sistem penyelenggaraan makanan belum melibatkan ahli gizi sehingga belum memperhitungkan kecukupan gizi tiap murid. Pembagian kerja karyawan dapur terbagi menjadi tiga bagian yaitu unit dapur, pemorsian dan distribusi, serta kebersihan. Pelaksanaan

(4)

internal oleh kepala penyelenggaraan makanan, namun belum ada pengawasan secara eksternal.

Rata-rata umur siswa yaitu 10,7 tahun dan lebih dari separuh siswa berumur 11 tahun, dengan siswa berjenis kelamin wanita sebanyak 23 orang dan laki-laki sebanyak 32 orang. Rata-rata berat badan siswa adalah 38 kg dan tinggi badan siswa adalah 142 cm. Sebagian besar siswa memiliki status gizi normal, termasuk keluarga berukuran menengah dan beragama Katolik. Sebagian besar pendidikan orang tua siswa yaitu perguruan tinggi. Lebih dari separuh siswa memiliki ibu dengan pekerjaan ibu rumah tangga dan separuh siswa memiliki ayah dengan pekerjaan pegawai swasta.

Menu makanan sekolah yang paling disukai oleh siswa yaitu menu lauk hewani sate sosis-baso dan ayam fillet goreng tepung, sedangkan menu makanan sekolah yang paling tidak disukai oleh siswa yaitu menu selingan donat coklat. Persentase rata-rata preferensi makanan siswa terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, porsi dan variasi makanan belum mencapai 50%. Daya terima siswa terhadap makanan yang disediakan oleh Sekolah Marsudirini cenderung baik. Evaluasi kebersihan cenderung baik untuk alat dan cara penyajian, dan kurang baik untuk tempat makan.

Tingkat ketersediaan energi, protein, zat besi, kalsium, dan vitamin C dari menu makan siang dan selingan yang disediakan oleh penyelenggaraan makanan di Sekolah Marsudirini belum mencapai 1/3 dari kebutuhan total anak berumur 10-12 tahun sehari.

Rata-rata konsumsi makanan sekolah siswa terhadap total konsumsi sehari menyumbang asupan energi sebanyak 444 Kal (34%), protein sebanyak 11,5 g (28,2%), kalsium sebanyak 118,2 mg (35%), zat besi sebanyak 2,6 mg (30,7%), dan vitamin C sebanyak 6,2 mg (35,4%). Sedangkan kontribusi makanan sekolah terhadap angka kecukupan gizi siswa yaitu 22,7% untuk energi; 24,2% untuk protein; 11,8% untuk kalsium; 17,4% untuk zat besi; dan 12,4% untuk vitamin C.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) berdasarkan jenis kelamin terhadap daya terima makanan sekolah. Status gizi, besar keluarga, pekerjaan orangtua dan pendidikan ibu juga tidak berhubungan nyata (p>0,05) terhadap daya terima makanan sekolah. Hanya pendidikan ayah yang berhubungan nyata yang negatif (p<0,05) terhadap daya terima makanan sekolah (r=-0,272) dan terhadap beberapa aspek preferensi makanan siswa, yaitu warna/penampilan makanan (r=-0,347), dan aroma makanan (r=-0,268). Terhadap hubungan yang nyata (p<0,05) antara daya terima makanan di sekolah terhadap tingkat kecukupan energi, namun tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara daya terima makanan di sekolah terhadap tingkat kecukupan protein siswa.

(5)

PARUNG, BOGOR

NADYA BELLATRIX PARAMITA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(6)

Sekolah terhadap Tingkat Kecukupan Zat Gizi pada Siswa-Siswi SD Marsudirini, Parung, Bogor.

Nama : Nadya Bellatrix Paramita

NIM : I14069001

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes NIP. 10660725 199002 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

lindungan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “ Analisis Tingkat Ketersediaan dan Daya Terima terhadap Tingkat Kecukupan Zat Gizi pada Siswa-siswi SD Marsudirini, Parung, Bogor” dapat diselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. dan Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes yang telah sabar meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan skripsi. 2. Ibu Tiurma Sinaga, B.Sc, MFSA sebagai dosen pemandu seminar dan

dosen penguji skripsi atas saran dan perbaikan untuk skripsi ini.

3. Sr. Rosali sebagai kepala sekolah dan kepala penyelenggaraan makanan di Marsudirini yang telah memberikan ijin penelitian, Ibu Muji, para guru serta karyawan di Marsudirini atas bantuannya selama penelitian.

4. Rekan-rekan yang membantu dalam penelitian ini (Diana, Anton, Ica, Imam, Yosepin, Melda) atas bantuan saat pengambilan data.

5. Rekan-rekan pembahas seminar (Mutia, Nur Ashifa, Yunica, Mona) atas saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

6. Diana Lestari, Riksa Aditya, Nadia Tiara Putri, Atirah, Diah Irma, dan Monalisa atas pengalaman KKP yang tidak terlupakan.

7. Teman-teman GM, THH serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih terutama penulis haturkan pada mama dan papa, koko Jaya Mulya, dan adik-adik tercinta (Leonardo, Nikola, Elvina) yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh kasih sayang.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, September 2011

(8)

anak pertama dari empat bersaudara dari Sariputra Sumana dan Dewijana Widjaja. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Petra Jakarta pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Sang Timur Jakarta dan lulus tahun 2003. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Sang Timur Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima di Mayor Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008, penulis baru diterima di Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, diantaranya anggota divisi Olahraga dan Kesenian Keluarga Mahasiswa Buddhis-IPB (KMB-IPB) periode 2007-2008, anggota Gentra Kaheman-IPB tahun 2007-2008, anggota klub Kebijakan Pangan, Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain seksi dana usaha makrab KMB-IPB tahun 2007, seksi acara Dies Natalis KMB-IPB tahun 2007, koordinator divisi pubdekdok Vegetarian Day KMB-IPB tahun 2007, kepanitian pengumpulan cap 1000 tangan Indonesia World Heritage Youth Network (INDOWYN) tahun 2007, seksi dana usaha Dhammapada Reading Competition, KMB-IPB tahun 2008, seksi hubungan masyarakat seminar nasional gizi (SENZATIONAL), Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor tahun 2010. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah metabolisme zat gizi pada semester ganjil tahun 2010.

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Ciadeg, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor pada bulan Juni-Agustus 2010. Penulis juga melaksanakan kegiatan Internship Dietetic (ID) di RS Ciawi, Bogor pada bulan Februari-Maret 2011.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Tujuan umum ... 3 Tujuan khusus ... 3 Kegunaan penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Anak Usia Sekolah ... 5

Penyelenggaraan Makanan di Sekolah ... 6

Manajemen Penyelenggaraan Makanan Institusi ... 7

Perencanaan ... 8

Pengorganisasian ... 10

Pelaksanaan ... 10

Pengawasan ... 12

Penilaian Konsumsi Pangan... 13

Weighing method ... 13

Recall Method ... 14

Food Record (Catatan Pangan) ... 14

Preferensi Pangan ... 15

Daya Terima Makanan ... 17

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Anak Usia Sekolah ... 18

Konsumsi Energi dan Zat Gizi ... 20

Energi dan Pangan Sumber Energi ... 20

Protein dan Pangan Sumber Protein ... 21

Fe (Zat Besi) dan Pangan Sumber Zat Besi ... 21

Ca (Kalsium) dan Pangan Sumber Kalsium ... 22

Vitamin C dan Pangan Sumber Vitamin C ... 22

KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

METODE ... 25

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 25

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 25

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 25

Pengolahan dan Analisis Data ... 29

Batasan Istilah... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Gambaran Umum Sekolah Marsudirini ... 33

Karakteristik Siswa ... 34

Umur dan Jenis Kelamin ... 34

(10)

Status Gizi ... 34

Karakteristik Sosial Ekonomi Siswa ... 35

Besar Keluarga ... 35

Agama ... 36

Pendidikan Orangtua ... 37

Pekerjaan Orangtua ... 37

Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Marsudirini ... 38

Input Penyelenggaraan Makanan ... 39

Proses Penyelenggaraan Makanan ... 41

Output Penyelenggaraan Makanan ... 53

Daya Terima Makanan di Sekolah... 56

Preferensi siswa terhadap warna, tekstur, aroma, porsi dan rasa ... 58

Evaluasi variasi dan persepsi kebersihan makanan sekolah ... 63

Konsumsi Energi dan Zat Gizi ... 65

Tingkat Kecukupan Energi ... 66

Tingkat Kecukupan Protein ... 67

Tingkat Kecukupan Kalsium ... 68

Tingkat Kecukupan Zat Besi ... 69

Tingkat Kecukupan Vitamin C ... 69

Kontribusi Makanan Sekolah terhadap Total Konsumsi Energi dan Zat Gizi . 70 Kontribusi Makanan Sekolah terhadap Kebutuhan Zat Gizi Siswa ... 71

Kontribusi Energi dari Makanan Sekolah terhadap Kebutuhan Energi ... 72

Kontribusi Protein dari Makanan Sekolah terhadap Kebutuhan Protein .... 72

Kontribusi Kalsium dari Makanan Sekolah terhadap AKG Kalsium ... 73

Kontribusi Zat Besi dari Makanan Sekolah terhadap AKG Zat Besi ... 74

Kontribusi Vitamin C dari Makanan Sekolah terhadap AKG Vitamin C ... 74

Hubungan Karakteristik Siswa terhadap Daya Terima terhadap Makanan yang Disajikan oleh Sekolah Marsudirini ... 75

Hubungan Daya Terima terhadap Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Siswa ... 76

Hubungan daya terima terhadap tingkat kecukupan energi siswa ... 76

Hubungan daya terima terhadap tingkat kecukupan protein siswa ... 76

KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

Kesimpulan ... 77

Saran ... 78

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Estimasi AKE untuk remaja usia 10-12 tahun ... 19

2 AKP dan faktor koreksi mutu protein ... 19

3 Angka kecukupan gizi untuk remaja usia 10-12 tahun ... 19

4 Jenis dan cara pengumpulan data ... 28

5 Kategori dan Kriteria untuk setiap variabel penelitian ... 31

6 Sebaran siswa berdasarkan status gizi ... 35

7 Perencanaan menu 1 minggu ... 44

8 Jenis, frekuensi, tempat pembelian, dan cara membeli bahan makanan .. 46

9 Ketersediaan makanan yang disediakan oleh sekolah ... 53

10 Perbandingan ketersediaan zat gizi sekolah dengan standar ... 55

11 Konsumsi makanan yang disediakan oleh sekolah ... 56

12 Konsumsi makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 56

13 Daya terima siswa terhadap makanan sekolah ... 57

14 Daya terima makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin... 58

15 Preferensi siswa terhadap penampilan (warna) makanan sekolah ... 59

16 Penilaian siswa terhadap penampilan (warna) makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 59

17 Preferensi siswa terhadap tekstur makanan sekolah ... 60

18 Penilaian siswa terhadap tekstur makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 60

19 Preferensi siswa terhadap aroma makanan sekolah ... 61

20 Penilaian siswa terhadap aroma makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 61

21 Preferensi siswa terhadap porsi (jumlah) makanan sekolah ... 61

22 Preferensi siswa terhadap porsi (jumlah) makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 62

23 Penilaian siswa terhadap rasa makanan sekolah ... 62

24 Preferensi siswa terhadap rasa makanan sekolah berdasarkan jenis kelamin ... 63

25 Penilaian siswa terhadap variasi dan persepsi kebersihan makanan sekolah ... 63

26 Penilaian variasi makanan dan persepsi kebersihan siswa berdasarkan jenis kelamin ... 64

27 Persentase rata-rata preferensi makanan siswa ... 64

28 Alasan menghabiskan makanan yang disajikan oleh Sekolah Marsudirini 65 29 Kebutuhan, Konsumsi, dan tingkat kecukupan energi siswa ... 66

30 Sebaran tingkat kecukupan energi siswa ... 66

31 Sebaran tingkat kecukupan protein siswa ... 67

32 Rata-rata konsumsi, AKG dan tingkat kecukupan zat gizi siswa ... 68

33 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan kalsium ... 68

34 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan zat besi... 69

(12)

36 Nilai statistik konsumsi energi dan zat gizi siswa berdasarkan sumber makanan sekolah dan luar sekolah terhadap total konsumsi. ... 70 37 Kontribusi makanan sekolah terhadap total konsumsi berdasarkan jenis

kelamin ... 70 38 Nilai statistik konsumsi energi dan zat gizi siswa berdasarkan sumber

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Bagan kerangka pemikiran ... 24

2 Sebaran siswa menurut besar keluarga ... 35

3 Sebaran siswa menurut agama... 36

4 Sebaran siswa menurut tingkat pendidikan orangtua ... 37

5 Sebaran siswa menurut tingkat pekerjaan orangtua ... 38

6 Alur penyelenggaraan makanan Sekolah Marsudirini ... 41

7 Struktur organisasi penyelenggaraan makanan Sekolah Marsudirini ... 45

8 Kontribusi energi terhadap total kebutuhan energi ... 72

9 Kontribusi protein terhadap total kebutuhan protein ... 73

10 Kontribusi kalsium terhadap total kecukupan kalsium ... 73

11 Kontribusi zat besi terhadap total kecukupan zat besi ... 74

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Denah dapur Sekolah Marsudirini ... 85

2 Denah ruang makan Sekolah Marsudirini ... 87

3 Master menu makan siang ... 88

4 Master menu snack ... 89

5 Master menu asrama Marsudirini ... 90

6 Daftar tenaga kerja penyelenggaraan Sekolah Marsudirini ... 90

7 Preferensi menu makanan sekolah siswa secara keseluruhan ... 91

8 Daya terima siswa per menu makan ... 91

9 Ketersediaan zat gizi dari makanan sekolah (Hari 1) ... 92

10 Ketersediaan zat gizi dari makanan sekolah (Hari 2) ... 93

11 Ketersediaan zat gizi dari makanan sekolah (Hari 3) ... 94

12 Angka kebutuhan dan kecukupan gizi individu ... 95

13 Dokumentasi... 96

14 Data hasil uji statistik independent sample T-test antara jenis kelamin dan daya terima ... 101

15 Data hasil uji Spearman antara karakteristik individu dan sosial ekonomi keluarga terhadap daya terima makanan sekolah ... 102

16 Data hasil uji statistik antara daya terima dengan tingkat kecukupan energi dan protein siswa ... 103

17 Rekomendasi... 104

18 Penjabaran AKG dalam bentuk takaran konsumsi sehari menurut golongan umur ... 106

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor utama yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut maka harus dilakukan upaya-upaya yang saling berkesinambungan. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas SDM, faktor kesehatan dan gizi memegang peranan penting, karena seseorang tidak akan dapat mengembangkan kapasitasnya secara maksimal apabila tidak memiliki status kesehatan dan gizi yang optimal (Azinar 2005).

Upaya peningkatan kualitas SDM harus dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak masa kanak-kanak. Anak merupakan sumber potensi dan penerus cita-cita bangsa, sehingga wajar bila seorang anak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar (BPS 2001) serta memperoleh pendidikan secara formal di sekolah.

Pendidikan formal yang diterima oleh seorang anak di sekolah, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah, mulai dari pagi hari hingga siang hari, terutama pada sekolah dengan jumlah jam belajar yang lebih panjang. Penambahan jam belajar di sekolah membuat pihak sekolah harus menyediakan makan siang dan juga selingan bagi siswanya. Makanan yang disajikan dalam program tersebut dapat berupa makanan utama (meal) dan makanan selingan (snack). Makanan selingan sebaiknya diberikan 1,5-2 jam sebelum makanan utama untuk menghindari siswa terlalu lapar juga untuk meningkatkan selera makannya pada saat makan utama (Marotz et al. 2005).

Penyelenggaraan makanan di sekolah merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan makanan pada anak usia sekolah dan sudah merupakan praktik yang telah diterima di sebagian besar negara maju (Snyder et al. 1999). Kegiatan penyelenggaraan makanan di sekolah diharapkan dapat menghilangkan kekhawatiran orang tua mengenai makanan yang dimakan oleh anaknya di sekolah. Hal ini dikarenakan anak usia sekolah hampir selalu ingin mencoba makanan yang mudah dijumpai dan berpenampilan menarik, seperti makanan jajanan yang biasa dijual di sekitar sekolah yang tidak selamanya mengandung kandungan gizi yang baik dan biasanya tinggi gula dan lemak. Keamanan makanan jajanan baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi juga masih dipertanyakan. Pada penelitian yang dilakukan di Bogor ditemukan Salmonella

(16)

Paratyphi A di 25% - 50% sampel minuman yang dijual di kaki lima. Penelitian

lain yang dilakukan suatu lembaga studi di daerah Jakarta Timur mengungkapkan bahwa berdasarkan uji laboratorium, terdapat penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ilegal seperti borax (pengempal yang mengandung logam berat boron), formalin (pengawet yang digunakan untuk mayat), rhodamin B (pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil) pada jenis jajanan yang sering dikonsumsi anak sekolah, yaitu pada otak-otak, bakso, tahu goreng, mie kuning basah, dan es sirop merah. Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia (Judarwanto 2010).

Hasil penelitian Prell et al. (2005) juga menggambarkan pentingnya sekolah dalam perubahan kebiasaan makan siswa di sekolah. Menurut Riyadi (2006), berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan pada anak sekolah dapat memperbaiki prestasi di sekolah, baik anak-anak di negara berkembang maupun negara maju. Anak-anak yang lapar pada saat sekolah tidak dapat berkonsentrasi dan melaksanakan tugas-tugas yang kompleks, meskipun keadaan gizi mereka baik. Selain itu, menurut Yuliati dan Santoso (1995), penyelenggaraan makanan di sekolah bertujuan untuk memperbaiki status gizi terutama bagi anak sekolah yang tidak sempat sarapan dan membawa bekal, memperbaiki prestasi akademis, sebagai bahan pendidikan gizi untuk anak sekolah dan membiasakan memilih makanan bergizi.

Sekolah menjadi tempat yang penting, terutama sebagai rumah kedua bagi para murid. Selain itu juga untuk dapat memenuhi gizi para murid, penyelenggaraan makanan yang dilakukan di sekolah juga harus memperhatikan aspek kandungan gizi serta kesesuaian jumlahnya dengan kebutuhan dari siswa-siswinya. Makanan yang disajikan dalam penyelenggaraan makanan (makan siang) di sekolah harus dapat menyumbangkan energi sekitar sepertiga dari total kebutuhan energi anak (Mahan & Stump 2004). Selain kebutuhan energi, juga perlu diperhatikan variasi makanan, kesukaan anak, serta jumlah makanan yang disediakan (Tresnawati 2009).

Sekolah Marsudirini merupakan salah satu sekolah yang mengadakan penyelenggaraan makanan baik untuk siswa dan seluruh karyawannya. Sekolah ini terletak di kawasan Telaga Kahuripan, Parung, Bogor. Lokasi Sekolah

(17)

Marsudirini cukup jauh dari keramaian, sehingga kondusif untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Selain itu, lingkungan sekolah juga terbebas dari penjual jajanan dan makanan lainnya. Hal ini dikarenakan tujuan penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh sekolah salah satunya adalah mencegah siswa-siswi jajan sembarangan dan ingin menyajikan makanan yang bergizi dan sehat bagi siswa-siswi. Sekolah Marsudirini dalam penyelenggaraan makanannya melakukan pemorsian makanan, untuk makanan pokok, lauk hewani, dan sayur (tingkat SD) dan lauk hewani (SMP-SMA) pada tiap siswanya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat seberapa besar zat gizi dari makanan yang disediakan oleh Sekolah Marsudirini dan daya terima dari siswa terhadap pemenuhan konsumsi energi dan protein dari tiap siswa.

Tujuan Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat ketersediaan dan daya terima makanan di sekolah terhadap tingkat kecukupan energi, protein, dan zat gizi lainnya dari tiap siswa.

Tujuan khusus

1. Mengetahui sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan di Sekolah Marsudirini.

2. Mengetahui karakteristik siswa (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, sosial ekonomi keluarga) dan preferensi makanan siswa.

3. Mengetahui daya terima siswa terhadap makanan yang disediakan oleh Sekolah Marsudirini.

4. Mengetahui tingkat ketersediaan energi, protein, zat besi, kalsium, dan vitamin C dari menu makan siang dan selingan yang disediakan oleh penyelenggaraan makanan di Sekolah Marsudirini.

5. Mengetahui asupan energi, protein, zat besi, kalsium, dan vitamin C dari makanan yang dikonsumsi di sekolah dan kontribusinya terhadap total konsumsi sehari dan kebutuhan serta kecukupan gizi siswa.

6. Menganalisis hubungan karakteristik siswa (jenis kelamin dan sosial ekonomi) terhadap daya terima terhadap makanan yang disajikan oleh Sekolah Marsudirini.

7. Menganalisis hubungan daya terima terhadap tingkat kecukupan energi dan protein siswa.

(18)

Kegunaan penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi tentang daya terima siswa terhadap makanan yang dihasilkan oleh penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh sekolah, selain itu juga mengetahui seberapa besar kontribusi penyelenggaraan makanan yang dilakukan di sekolah terhadap pemenuhan angka kecukupan gizi anak usia sekolah. Bagi sekolah yang bersangkutan, diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan bahan evaluasi dalam melaksanakan penyelenggaraan makanan yang lebih baik.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia Sekolah

Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13-14 tahun. Usia sekolah ini merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya (Hurlock 1980). Terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol pada anak selama periode usia sekolah. Di antaranya adalah pergaulan anak menjadi lebih luas, tidak hanya terbatas hanya dengan anggota keluarga di rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi perkembangan intelegensi, minat, emosi, dan kepribadian. Perkembangan pada aspek-aspek tersebut membentuk karakteristik khas pada anak usia sekolah (Akbar 2005).

Menurut teori perkembangan Piaget diacu dalam Hidayat (2004), anak usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap konkret operasional. Hal yang termasuk tahap ini diantaranya yaitu kemampuan memahami konsep-konsep, hubungan sebab akibat, hubungan yang majemuk, serta kemampuan diri yang menyangkut proses berpikir, daya ingat, pengetahuan, tujuan, dan aksi yang meningkat.

Karakteristik anak sekolah di antaranya yaitu gigi susu yang berangsur tanggal digantikan dengan gigi permanen, serta lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi anak golongan umur 10-12 tahun relatif lebih tinggi daripada anak golongan 7-9 tahun dikarenakan pertumbuhan yang lebih cepat, terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan energi anak laki-laki mulai umur 10-12 tahun berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai haid, sehingga membutuhkan protein dan zat besi yang lebih tinggi (RSCM dan Persagi 1990).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak sekolah menurut Moehji (1980) adalah: (1) Anak dalam usia sekolah sudah dapat memilih dan menentukan makanan apa yang disukai dan tidak disukai, sehingga seringkali anak-anak salah memilih terutama jika orang tua tidak memberikan informasi mengenai makanan sehat dan bergizi. (2) Anak dalam usia sekolah memiliki kebiasaan untuk jajan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pergaulan dengan teman di lingkungan sekolah. (3) Anak tiba di rumah dalam keadaan letih karena belajar dan bermain di sekolah sehingga kurang nafsu makan sesampainya di rumah.

(20)

Pilihan makanan kesukaan anak sangat dipengaruhi oleh teman, orang tua, serta media massa melalui iklan/reklame.

Penyelenggaraan Makanan di Sekolah

Penyelenggaraan makanan di sekolah termasuk dalam pelayanan gizi makanan kelompok yang bertujuan untuk menyediakan makanan bergizi bagi anak di sekolah dalam rangka meningkatkan status gizi dan kesehatannya (Depkes 1991). School-feeding merupakan tindakan umum yang biasa dilaksanakan untuk memperbaiki gizi anak sekolah. Praktik penyelenggaraan makanan di sekolah sudah lama dan sudah banyak diselenggarakan di negara-negara baik di Eropa maupun Asia. Bentuk dan cara penyelenggaraan makanan berbeda-beda untuk masing-masing negara (Moehji 1980).

Penyelenggaraan makanan di sekolah adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan pada siswa, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian makan siang di sekolah. Penyelenggaraan makanana anak sekolah diselenggarakan di sekolah, dapat dilakukan oleh sekolah itu sendiri atau

our-sourcing ke pihak lain/jasa boga yang mampu mengadakan penyelenggaraan

makanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku di sekolah yang bersangkutan (Sinaga 2007).

Tujuan dari penyelenggaraan makanan di sekolah yaitu menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi anak sekolah yang membutuhkan. Tujuan utama yang langsung dapat dilihat pada penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah memenuhi kebutuhan gizi anak selama berada di sekolah, agar dapat meningkatkan status gizi yang baik sehingga mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar yang diberikan di sekolah dengan baik juga (Sinaga 2007).

Ciri-ciri penyelenggaraan makanan anak sekolah antara lain yaitu dilaksanakan selama anak berada di sekolah. Penyelenggaraan makanan ini dapat dilakukan oleh sekolah sendiri/out-sourcing. Ketersediaan makanan di sekolah setidaknya memenuhi kebutuhan gizi anak 1/3 dari kecukupannya dalam sehari. Makanan yang diberikan di sekolah tidak berorientasi kepada keuntungan, melainkan lebih diarahkan untuk pendidikan dan perubahan perilaku anak terhadap makanan, juga memiliki standar sanitasi dan kebersihan yang tinggi. Pemilihan menu yang disajikan di sekolah disesuaikan dengan kesukaan/preferensi anak serta memiliki lokasi/tempat makan yang dibuat

(21)

sedemikian rupa sehingga anak dapat mengembangkan kreasi dan dapat mendiskusikan pelajarannya (Sinaga 2007).

Menurut Sizer dan Whitney (2008), makanan selingan (snack) sebaiknya tidak lebih dari 200 Kalori atau sekitar 10% dari kebutuhan energi siswa, sehingga dalam sehari selingan menyumbangkan energi sebanyak 20%. Sisanya 80% diperoleh dari makan pagi, siang, dan malam dengan perbandingan 1:2:2 (Moehyi 1992). Menurut Mahan dan Stump (2004), makanan yang disajikan dalam penyelenggaraan makanan sebaiknya menyumbangkan energi 1/3 dari kebutuhan energi total dan zat gizi lainnya.

Manajemen Penyelenggaraan Makanan Institusi

Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan, persiapan, pemasakan, dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika dilihat dalam sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Palacio dan Theis (2009) mengungkapkan bahwa tujuan utama penyelenggaraan makanan adalah untuk menyajikan makanan agar konsumen/klien merasa puas. Menurut Moehyi (1992) penyelenggaraan makanan institusi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Penyelenggaraan makanan dilakukan oleh institusi itu sendiri dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. (2) Dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan makanan sudah ditetapkan jumlahnya sehingga penyelenggaraan harus menyesuaikan pelaksanaannya dengan dana yang tersedia. (3) Makanan diolah dan dimasak di dapur yang berada di lingkungan tempat institusi itu berada. (4) Hidangan makanan yang disajikan diatur dengan menggunakan menu induk (master menu) dengan siklus mingguan atau sepuluh-harian. (5) Hidangan makanan yang disajikan tidak banyak berbeda dengan hidangan yang biasa disajikan di lingkungan keluarga.

Penyelenggaraan makanan institusi terdiri atas dua macam yaitu penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan (bersifat komersial) dan penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pelayanan (bersifat non komersil). Penyelenggaraan makanan yang berorientasi pada keuntungan dilaksanakan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Bentuk usaha ini seperti restaurant, snack bar, cafetaria, catering. Usaha penyelenggaraan makanan ini tergantung pada bagaimana menarik konsumen sebanyak-banyaknya dan manajemennya harus bisa bersaing dengan institusi yang lain (Moehyi 1992).

(22)

Penyelenggaraan makanan non komersil dilakukan oleh suatu institusi baik dikelola pemerintah, badan swasta ataupun yayasan sosial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk penyelenggaraan ini biasanya berada di dalam suatu tempat yaitu asrama, panti asuhan, rumah sakit, perusahaan, lembaga kemasyarakatan, sekolah dan lain-lain. Frekuensi makan dalam penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersil ini 2-3 kali dengan atau tanpa selingan (Moehyi 1992).

Manajemen penyelenggaraan institusi adalah penyelenggaraan dan pelaksanaan makanan dalam jumlah banyak (melebihi ukuran rumah tangga). Tujuan manajemen penyelenggaraan makanan institusi yaitu menyediakan makanan yang berkualitas tinggi yang dipersiapkan dan dimasak secara baik serta dihidangkan secara menarik; pelayanan yang tepat, cepat, dan ramah; gizi seimbang dengan menu yang bervariasi; harga tepat dan layak sesuai dengan pelayanan yang diberikan; serta fasilitas yang cukup dan nyaman (Yuliati & Santoso 1995).

Kegiatan penyelenggaraan makanan mencakup kegiatan/subsistem penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan, dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di suatu institusi (Depkes 1991). Fungsi manajemen menurut Terry diacu dalam Yuliati & Santoso (1995) dibagi menjadi 4 yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling).

Perencanaan

Kegiatan perencanaan yang dilakukan pada usaha penyelenggaraan makanan dimulai dengan menentukan garis-garis besar untuk dapat memulai usaha. Pada dasarnya kegiatan perencanaan ini harus dapat merumuskan suatu pekerjaan yang akan dilakukan (Yuliati & Santoso 1995).

(23)

Perencanaan Menu. Menurut Yuliati & Santoso (1995), menu adalah susunan makanan yang lengkap yang terdiri dari berbagai jenis makanan yang disajikan pada waktu tertentu, misalnya pagi, siang, dan malam. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Untuk itu menu perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu merupakan proses yang bertahap yaitu terdiri dari apa yang akan disajikan dan kapan makanan itu disajikan. Perencanaan menu yang baik antara lain berfungsi agar konsumen menjadi senang dan puas karena kualitas maupun kuantitas makanan yang disajikan sesuai dengan keinginan dan seleranya, bagi pegawai akan memudahkan melaksanakan pekerjaan yang sudah pasti, dan bagi pengelola akan memudahkan terlaksananya segala sesuatu sesuai dengan rencana sehingga tujuan institusi yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Dalam merencanakan menu harus sesuai dengan tipe institusi, bahan makanan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia, dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan di pasar, serta metoda dan prosedur mempersiapkan makanan mulai dari belanja, pengolahan, sampai dengan penyajian (Yuliati & Santoso 1995).

Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian waktu 5, 7, 10, atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6 bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan makanan per porsi menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan makanan yang digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per satu resep (Depkes 1991).

(24)

Perencanaan Biaya. Menurut Depkes RI (1991), perencanaan biaya atau anggaran belanja untuk suatu penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak seharusnya direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas pengalaman-pengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan adalah untuk bahan makanan, peralatan, tenaga, dan pengeluaran lain yang disebut biaya overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih, dsb).

Pengorganisasian

Kegiatan pengorganisasian meliputi identifikasi kegiatan dan tujuan dengan jelas, pembagian tugas sesuai dengan keterampilan dan keahlian masing-masing atau penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya, pendelegasian tugas dan tanggung jawab dari atasan ke bawahan sehingga masing-masing akan mendapat wewenang dan beban kerja yang sesuai. Adanya pendelegasian tugas akan menggambarkan garis instruksi dari atas ke bawah dan garis pertanggung jawaban dari bawah ke atas juga jelas (Yuliati & Santoso 1995).

Dalam mengorganisir penyelenggaraan makanan, baik dalam jumlah kecil maupun besar dibutuhkan berbagai jenis tenaga yang dapat dibedakan atas pegawai yang ahli dan pegawai yang tidak ahli. Pegawai yang ahli adalah tenaga yang telah mendapatkan pendidikan dasar khusus seperti Sarjana Gizi, Sarjana Muda Gizi, serta tenaga menengah gizi atau Pembantu Ahli Gizi/ Pengatur Gizi. Tenaga-tenaga ini bertanggung jawab atas pengelolaan makanan banyak di berbagai institusi. Kebutuhan akan tenaga ahli ini belum ada standar yang pasti, tetapi sudah disepakati bahwa untuk institusi yang menyediakan makanan 300 porsi diperlukan seorang Sarjana Muda Gizi dan dua Pengatur Gizi. Tenaga yang tidak ahli adalah juru masak, pembersih, tenaga administrasi, dan tenaga khusus bila diperlukan (Muchatob et al. 1991).

Pelaksanaan

Untuk melaksanakan secara fisik kegiatan dan aktivitas penyelenggaraan makanan, maka manajer atau pimpinan akan mengambil tindakan antara lain memberi pengarahan kepada bawahan agar dapat bekerja dengan lancar, memberikan konsultasi atau nasehat bila diperlukan, mengadakan supervisi yang efektif untuk unit khusus atau keseluruhan, dapat memotivasi bawahan sehingga mereka bersemangat dalam bekerja (Yuliati & Santoso 1995).

Menurut Fardiaz (2000), selama pengolahan, penanganan, penyimpanan, dan transportasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) bahan makanan

(25)

dan ingredien harus terpisah dari bahan-bahan berbahaya, yaitu menghindari dari kontaminasi oleh hama, bahan-bahan fisik, kimia, dan mikroba yang membahayakan kesehatan, (2) bahan-bahan yang tidak terpakai harus dibuang dengan cara yang higienis, dan (3) perhatian harus diberikan untuk mencegah terjadinya kerusakan atau kebusukan makanan, termasuk pengendalian suhu, kelembaban, dan pengendalian lainnya. Selain itu, fasilitas dan prosedur yang tepat harus dilakukan untuk menjamin bahwa pembersihan dan pemeliharaan dilakukan secara efektif, serta tingkat higienitas karyawan dipertahankan dengan baik.

Pembelian Bahan Makanan. Menurut Depkes RI (1991), dalam pembelian bahan makanan diperhatikan kebijakan institusi, standar bahan makanan yang ditetapkan, penetapan spesifikasi bahan makanan, serta penetapan syarat jual beli bahan makanan. Standar bahan makanan adalah ketetapan macam dan jumlah bahan makanan yang dipakai sebagai patokan dalam penyediaan makanan yang disusun atas dasar kecukupan gizi yang telah ditetapkan. Prosedur pembelian bahan makanan dapat berupa pelelangan terbuka, pelelangan terbatas, penjualan langsung, pengadaan langsung, pembelian ke pasar, atau pembelian musyawarah. Penetapan syarat jual beli bahan makanan yaitu cara penanganan, cara pengiriman, waktu pengiriman, cara pembayaran, dan sanksi pelanggaran yang disepakati.

Penerimaan Bahan Makanan. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas pesanan bahan makanan, yang menyatakan macam, jumlah, dan kualitas bahan makanan. Pada saat menerima bahan makanan, pesanan tersebut diteliti dan diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman bahan makanan. Selanjutnya bahan makanan dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan makanan. Prosedur penerimaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga (Depkes 1991).

Penyimpanan Bahan Makanan. Penyimpanan bahan makanan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan makanan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan makanan, melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan makanan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit

(26)

yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya (Depkes 1991).

Persiapan Bahan Makanan. Dalam mempersiapkan bahan makanan, harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/melarutkan zat-zat gizi dalam bahan makanan. Perlakuan terhadap bahan makanan ini selain selama persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan makanan meliputi kegiatan pencucian bahan makanan, pemotongan, perendaman, penggilingan, penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan, dan perlakuan lain sebelum bahan makanan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat diatasi (Depkes 1991).

Pemasakan. Menurut Depkes RI (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus, mengukus, menggoreng, mengetim, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan makanan, dan menghilangkan/ mematikan kuman-kuman yang berbahaya.

Pendistribusian dan Penyajian. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masing-masing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991).

Pengawasan

Pimpinan pada umumnya menganggap perlu untuk mengecek apa yang telah dilakukan guna dapat memastikan apakah semua kegiatan berjalan dengan memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bila terjadi kesalahan, kekurangan, kesalahpahaman dalam tugas atau adanya kendala yang tiba-tiba muncul, maka akan dapat segera diperbaiki dengan cara merevisi atau rencana yang telah dibuat baik secara total atau sebagian tergantung

(27)

keadaan yang ditemukan saat pengawasan berlangsung (Yuliati & Santoso 1995). Pengawasan termasuk di dalamnya yaitu pencatatan, pelaporan, dan evaluasi.

Pencatatan, pelaporan, dan evaluasi ini meliputi: (1) pemasukan, pemakaian bahan makanan harian, (2) pencatatan tentang pemasukan dan pemakaian peralatan dapur, (3) pencatatan kegiatan macam dan jumlah konsumen yang dilayani setiap hari, (4) perhitungan harga makanan per orang sehari, rata-rata dalam tiap bulan, dan setiap tiga bulan, serta (5) laporan tribulan untuk pimpinan. Pencatatan yang dibuat harus teliti dan benar, dilengkapi dengan bukti/informasi nyata, sehingga pengendalian kegiatan dapat berjalan dengan baik (Depkes 1991).

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan merupakan salah satu penilaian keadaan gizi masyarakat secara tidak langsung (Kusharto & Sa‟diyyah 2008). Menurut Hardinsyah & Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan energi dan zat gizi dalam makanan, kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang kelompok dengan angka kebutuhan gizi. Dalam menghitung kandungan zat gizi pangan, sebaiknya dicatat informasi tentang bentuk olahan. Hal ini terkait dengan koreksi kandungan vitamin dan mineral, terutama vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral Fe karena adanya kehilangan zat gizi selama pengolahan.

Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan individu, keluarga maupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode-metode berikut ini yaitu: penimbangan (weighing method), metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency) dan metode kombinasi (Kusharto & Sa‟diyyah 2008).

Weighing method

Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu

(28)

mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti (Kusharto & Sa‟diyyah 2008).

Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al. 2001).

Recall Method

Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam satuan berat (Kusharto & Sa‟diyyah 2008).

Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001). Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.

Food Record (Catatan Pangan)

Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian

pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit 3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci, termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan

(29)

mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gizi yang terkandung dicari pada DKBM dan jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu tertentu (Arisman 2010).

Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden, tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et

al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data

menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.

Preferensi Pangan

Menurut Assael (1992) preferensi terbentuk dari persepsi terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih disukai oleh konsumen. Preferensi juga dapat diartikan sebagai tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap sesuatu yang lain (Martiani 2000).

Menurut Gregoire & Spears (2007), preferensi pangan menggambarkan tingkat kesukaan terhadap suatu makanan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa preferensi pangan diasumsikan sebagai sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari makanan yang disukai dan tidak disukai. Sanjur (1982) juga menjelaskan bahwa fisiologi, perasaan dan sikap terintegrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan.

Lyman (1989) menyatakan bahwa preferensi dipengaruhi oleh waktu dan kondisi makanan yang disediakan, seperti kondisi lapar, perasaan dan saat terakhir mengkonsumsi. Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah

(30)

dicoba. Selain itu, suatu makanan bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa membosankan, terlalu biasa dikonsumsi, menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan berhubungan dengan efek penyakit setelah mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka terhadap pangan hanyalah salah satu alasan yang membentuk preferensi pangan. Preferensi pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika seseorang harus melakukan pilihan terhadap pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan hedonik atau rasa makanan yang data diukur secara verbal, dengan skala atau dengan ekspresi wajah (Rozin & Volmecke 1986 dalam Prasatya 1998).

Preferensi terhadap makanan dipengaruhi oleh karakteristik individu, lingkungan dan karakteristik produk pangan (Ellis 1976 dalam Sanjur 1982). Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, kesehatan dan pengetahuan gizi. Karakteristik produk meliputi rasa, warna, aroma dan kemasan. Karakteristik lingkungan meliputi keluarga, tingkat sosial, musim dan mobilitas. Karakteristik makanan meliputi penampilan, bumbu, tipe makanan, kombinasi makanan, harga. Semua variabel tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain (Sanjur 1982).

Menurut Suhardjo (2003), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi oleh preferensi terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial budaya. Selain pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi makin dipengaruhi oleh pendekatan melalui media massa seperti radio, TV, pamflet dan iklan. Harper et al. (1985) juga mengemukakan bahwa preferensi terhadap makanan tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial dan budaya, tetapi juga dari sifat fisik makanan itu sendiri.

Pengukuran data preferensi menggunakan skala (sangat tidak suka, tidak suka, suka dan sangat suka). Contoh ditanya untuk mengidentifikasi seberapa besar contoh menyukai makanan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka atau tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap makanan yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka preferensinya (Sanjur 1982). Evaluasi sensori yang banyak digunakan untuk mengukur menu makanan secara individual yaitu rasa, warna, suhu dan jumlah porsi (Gregoire & Spears 2007).

(31)

Daya Terima Makanan

Makanan yang bergizi tidak bermanfaat apabila tidak dimakan dan diterima dengan baik (Moehyi 1992). Menurut Gregoire & Spears (2007), daya terima suatu makanan dapat diukur dengan menggunakan sisa makanan di piring (plate waste). Sisa makanan sering ditimbang untuk menyediakan data secara kuantitatif yang dapat digunakan di berbagai studi, khususnya pada penyelenggaraan makan siang di sekolah. Sisa makanan ini dapat digunakan untuk menimbang jumlah menu yang tidak dimakan pada individu/kelompok atau total sisa makanan.

Menurut Moehyi (1992), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan melalui berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman, dan indera pengecap. Penampilan makanan ketika disajikan dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor yang menentukan penampilan makanan antara lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan (Palacio & Theis 2009), selain itu juga dipengaruhi oleh porsi, penyajian makanan, dan penghias hidangan (Moehyi 1992).

Warna merupakan daya tarik dari suatu makanan. Setidaknya dalam suatu hidangan makanan harus terdiri dari dua atau tiga warna makanan yang berbeda. Sayuran hijau dapat dikombinasikan dengan ikan dan kentang yang dipanggang, juga dapat menggunakan tomat dan lobak sebagai garnish (Palacio & Theis 2009). Kombinasi warna yang menarik dapat meningkatkan penerimaan terhadap makanan dan secara tidak langsung menambah nafsu makan (Sinaga 2007). Marotz (2005) juga menyatakan bahwa warna merupakan komponen sensori yang paling berpengaruh, terutama bagi anak sekolah yang senang dengan warna-warni yang menarik. Penyajian makanan juga merupakan aspek yang dapat mempengaruhi indera penglihatan. Hal ini dikarenakan penyajian merupakan hal pertama yang terlihat dari suatu makanan, sehingga diperlukan penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Sinaga 2007).

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan (Moehyi 1992). Komponen-komponen yang berperan dalam menentukan rasa makanan antara lain aroma, bumbu dan penyedap, keempukan, kerenyahan, tingkat kematangan, serta temperatur makanan. Variasi berbagai rasa dalam suatu makanan lebih disukai daripada hanya terdiri dari satu rasa (Palacio & Theis 2009). Rasa makanan bisa berupa

(32)

asin, asam, pahit dan manis. Perpaduan rasa dengan perbandingan yang sesuai menimbulkan rasa yang enak dalam suatu makanan (Sinaga 2007).

Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera (Sinaga 2007). Tekstur makanan dipengaruhi oleh cara memasak dan lama waktu pemasakan makanan. Tekstur makanan juga mempengaruhi penampilan makanan, dimana bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi 1992). Tekstur makanan dirasakan oleh indera pengecap, kerenyahan, kelembutan, dan kekenyalan menggambarkan tekstur makanan. Variasi di dalam tekstur sebaiknya disesuaikan dengan jenis makanan. Variasi dalam pengolahan makanan juga harus diperhatikan dalam perencanaan suatu menu makanan. Pengolahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digoreng, dibakar, ditumis, ditim, dan sebagainya (Palacio & Theis 2009).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Anak Usia Sekolah

Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan (reference values) yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam WNPG 2004). AKG merupakan istilah yang digunakan di Indonesia, sebagai terjemahan dari RDA (recommended dietary allowance). Bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, AKG akan memenuhi 97-98% populasi sehat (Muhilal & Hardinsyah 2004 dalam WNPG 2004).

Kebutuhan energi anak dipengaruhi oleh metabolisme basal, umur, aktivitas fisik, suhu lingkungan, dan kesehatannya. Komponen utama yang menentukan kebutuhan energi adalah angka metabolisme basal (AMB) dan aktivitas fisik. Proses metabolisme basal adalah proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh dalam keadaan istirahat dan energi untuk metabolisme basal ini boleh dianggap tetap (Poedjiadi & Supriyanti 2007). Menurut FAO/WHO/UNU (2001), kebutuhan energi diperoleh dengan mengalikan AMB dengan PAL (physical activity level) dalam sehari.

(33)

Angka kecukupan energi (AKE) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun dalam Tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 2050 kkal (WNPG 2004). Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan formula meta analisis untuk kelompok usia 9-19 tahun dikembangkan oleh IOM (2002) dalam WNPG (2004) dari berbagai studi yang luas cakupannya. Berikut ini disajikan proses estimasi untuk AKE remaja usia 10-12 tahun.

Tabel 1 Estimasi AKE untuk remaja usia 10-12 tahun

Jenis kelamin Formula

Pria (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF*)+903TB+25 Wanita (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF**)+903TB+25

* AkF yang digunakan bagi anak pria 18 tahun yang sangat aktif = 1,42 dan wanita 9-18 tahun yang aktif = 1,31 (Torun et al. 1996 dalam WNPG 2004)

Kebutuhan protein menurut Almatsier (2004) adalah 10-15% dari kebutuhan energi total, kebutuhan lemak 10-25% dari kebutuhan energi total, dan kebutuhan karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, Angka kecukupan protein (AKP) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 50 gram. Jumlah angka kecukupan protein ini ditetapkan berdasarkan koreksi mutu protein didasarkan pada kenyataan bahwa pangan hewani hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap total energi, artinya mutu protein makanan penduduk Indonesia masih rendah, sehingga diasumsikan mutunya 85%, sehingga melahirkan faktor koreksi secara umum 1,17 yang dibulatkan menjadi 1,2. Besar nilai AKP diperoleh berdasarkan perolehan secara umum dari kebutuhan protein (EAR) ditambahkan dengan safe level (24%). Faktor koreksi mutu secara khusus pada tiap golongan umur juga berbeda-beda. Berikut ini disajikan AKP dan faktor koreksi protein dari remaja usia 10-12 tahun.

Tabel 2 AKP dan faktor koreksi mutu protein

Jenis kelamin AKP Faktor koreksi mutu

Pria 0,95 g/kg BB/hari 1,52

Wanita 0,85 g/kg BB/hari 1,56

* Perhitungan kebutuhan protein= AKP x BB x faktor koreksi mutu (WNPG 2004)

Selain energi dan protein, AKG untuk zat gizi lainnya yang dianjurkan untuk anak usia sekolah (10-12 tahun) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Angka kecukupan gizi untuk remaja usia 10-12 tahun

Zat gizi Perempuan Laki-laki

Ca 1000 mg 1000 mg

Fe 20 mg 13 mg

Vitamin C 50 mg 50 mg

(34)

Tingkat kecukupan zat gizi= Konsumsi zat gizi aktualAKG X 100 Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah & Briawan 1992). Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan menghasilkan energi, mengganti jaringan rusak, memproduksi substansi tertentu (misalnya hormon, enzim, antibodi). Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak, protein dan kelompok mikronutrien yang terdiri atas vitamin dan mineral (Hartono 2004).

Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan gizi. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat kecukupan dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) adalah (1) defisit tingkat berat (<70% AKE); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKE); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKE); (4) normal (90-119% AKE); kelebihan (>120% AKE). Sedangkan klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77 AKG); (2) cukup (≥ 77 AKG).

Energi dan Pangan Sumber Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengeturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Tingkat kecukupan energi (TKE) adalah rata-rata tingkat kecukupan energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan (WNPG 2004).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan

(35)

minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak, santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Protein dan Pangan Sumber Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein merupakan molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida.molekul protein lebih kompleks daripada karbohidrat dan lemak dalam hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit asam amino yang membentuknya. Terdapat dua puluh jenis asam amino yang diketahui, yang terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam animo yang tidak dapat dibuat tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas asam amino nonesensial (Almatsier 2004).

BPS (2006) dalam WNPG (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan masyarakat dikatakan memadai jika memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu kecukupan energi dan protein. Angka kecukupan protein untuk kelompok anak usia 10-12 tahun, baik pria maupun wanita dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 50 g per hari (WNPG 2004). Tingkat kecukupan protein dikategorikan berdasarkan Depkes (1996) menjadi defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119 AKG) dan lebih (≥120 ).

Fe (Zat Besi) dan Pangan Sumber Zat Besi

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g dalam tubuh manusia dewasa. (Almatsier 2003). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitas yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan (UNICEF 1998). Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap 30% lebih baik dibandingkan dari nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non-heme 60% dan

Gambar

Tabel 1 Estimasi AKE untuk remaja usia 10-12 tahun
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran Proses  Perencanaan menu  Pelaksanaan  Pencatatan dan pelaporan  Penyelenggaraan makanan Sekolah Marsudirini  Input   Tenaga    Anggaran dana
Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 5 Kategori dan Kriteria untuk setiap variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts

Tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik ibu hamil (tingkat sosial ekonomi, umur, tingkat pendidikan, besar keluarga, pekerjaan), (2) menganalisis pola

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati; (2) mempelajari

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui keragaan status gizi, konsumsi pangan, kontribusi energi dan zat gizi pada makanan yang dikonsumsi di sekolah dan di

Sedangkan tujuan khususnya yaitu (1) mempelajari proses kegiatan penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSMM Bogor mulai dari perencanaan menu sampai evaluasi, (2)

Tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik ibu hamil (tingkat sosial ekonomi, umur, tingkat pendidikan, besar keluarga, pekerjaan), (2) menganalisis pola

Data primer meliputi karakteristik sub- jek, antropometri (tinggi badan dan berat badan), konsumsi pangan, sistem penyelenggaraan makanan, tingkat kesukaan dan tingkat

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2016 sampai Juni 2016 ini ialah penyelenggaraan makanan, dengan judul Biaya Makan,