• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

FATMA SILVIANI. Nutrients Consumption and Food Acceptance of Chronic Kidney Disease Patients to the Food Served in Fatmawati General Hospital. Under Direction of Rimbawan and Yekti Hartati Effendi.

The alteration of food habit, lifestyle, and environmental condition has led to epidemiological transition, as indicated by the increasing of degenerative diseases occurrence such as chronic kidney disease. Therapy for chronic kidney disease can be done by admission to the hospital, receiving medical treatment and supported by proper diet treatment. The efficacy of the diet provided by the hospital can be evaluated by nutrients consumption and food acceptance of the food served.

The purpose of this research is to study nutrients consumption and food acceptance among chronic kidney disease patients to the food served in Fatmawati General Hospital. A cross sectional study and purposive sampling was conducted on 50 chronic kidney disease patients based on physicians’ diagnosis. The criteria for the subjects are compos mentis condition, men and women aged 17-55 years old, have been hospitalized and received diet treatment for at least 2 days, not having enteral feeding, and willing to be interviewed.

The result of the research showed that food consumption classified as deficit compared to the food availability and nutrition requirement. Food acceptance measurement showed that food provided by the hospital was well accepted. Spearman test showed that there was no significant correlation between nutrients consumption and food acceptance (p>0,05 ; r<0,5).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus penyakit tidak menular (Depkes 2007). Menurut WHO tahun 2000, di dunia telah terjadi 55.694.000 kematian, dan 59% diakibatkan oleh penyakit tidak menular dan di Asia Tenggara tahun 2001, penyakit tidak menular merupakan 49,7% penyebab kematian, sehingga menimbulkan DALYs (Disability Adjusted Life Years) sebesar 42,2%.

Penyakit degeneratif merupakan jenis penyakit tidak menular yang disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel dalam tubuh. Penyakit degeneratif yang umum diderita oleh penduduk Indonesia antara lain stroke, penyakit jantung, tumor, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan penyakit ginjal kronik (PGK). Di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang dewasa mengalami penyakit ginjal kronik. Data tahun 1995-1999 menunjukkan insidens PGK mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun, mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Sementara itu, di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus per juta penduduk pertahun (Suwitra 2007). Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insiden PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Bakri 2005).

(3)

Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah pengadaan makanan. Rumah sakit memiliki pedoman diit tersendiri yang akan memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien, daya tahan tubuh dalam menghadapai penyakit, khususnya infeksi dan membantu kesembuhan pasien dari penyakit dengan memperbaiki jaringan yang rusak serta memulihkan keadaan homeostatis (Hartono 2000).

Terapi diet merupakan penatalaksanaan gizi yang sangat penting pada penderita penyakit ginjal. Umumnya, diet pada penyakit ginjal dapat diperoleh secara efektif dan efisien terutama di rumah sakit. Akan tetapi, perawatan di rumah sakit berarti memisahkan pasien dengan lingkungannya sehari-hari, termasuk kebiasaan makannya. Tidak hanya perbedaan pada macam makanan yang disajikan, tetapi juga cara makanan tersebut dihidangkan, waktu makan, tempat makan, sehingga mempengaruhi selera makan pasien (Subandriyo 1995). Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya konsumsi terhadap makanan yang disajikan dan memperbesar kecenderungan pasien untuk mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit, sehingga berdampak pada kebutuhan gizi pasien yang tidak terpenuhi dan terhambatnya proses penyembuhan.

Konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan rumah sakit perlu diperhatikan dengan seksama. Hal inilah yang mendasari penelitian mengenai konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal rawat inap terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit.

Tujuan Tujuan Umum

Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati

(4)

meliputi jenis penyakit, lama sakit, ada tidaknya komplikasi, status pernah dirawat dan lama dirawat di rumah sakit

3. Mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek

4. Menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain dari makanan RS

5. Menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS serta tingkat konsumsi makanan RS terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain

6. Mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu

7. Mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain yang berasal dari makanan luar RS dan atau infus

8. Menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS dengan tingkat konsumsi makanan RS

Kegunaan Penelitian

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier 2004).

Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang menyesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Hal tersebut diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi. Selain itu, masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya dengan penyakit degeneratif (Depkes 2006).

Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap yaitu pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier 2004).

Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002).

(6)

Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan dan evaluasi. Dietetik klinik adalah pengaturan makanan bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Pengaturan makan demikian, selain, ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, juga ditunjukkan untuk membantu pasien dalam penyembuhan penyakitnya, mengurangi atau menghilangkan penderitaan dan gejala-gejala klinis yang terjadi akibat penyakitnya (Effendi 2011).

Tujuan dari penyelenggaraan makanan makanan di rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006).

Perencanaan Menu

Menurut Uripi (1993), menu berasal dari bahasa Prancis “menute” yang berarti daftar makanan yang disajikan kepada konsumen. Secara umum, menu adalah sususan hidangan yang disajikan pada waktu akan makan. Dengan kata lain, menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk sekali makan, misalnya susunan hidangan makan pagi, siang atau malam. Pola menu sehari yang dianjurkan di Indonesia adalah makanan seimbang yang terdiri dari makanan sumber zat tenaga yakni karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.

Siklus menu pada umumnya direncanakan untuk waktu tertentu, misalnya 10 sampai dengan 15 hari. Menu yang dipergunakan untuk waktu tertentu tersebut kemudian diulang kembali. Siklus menu tergantung tersedianya bahan makanan. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan di rumah sakit karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran belanja, peralatan, penyediaan bahan makan dan sebagainya (Uripi 1993). Adapun fungsi dari perencanaan menu adalah:

(7)

2. Secara garis besar dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi yang essensial yang dibutuhkan tubuh

3. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur, sehingga dapat menghindari kebosanan yang disebabkan pemakaian jenis bahan makanan dan jenis makanan yang sering terulang

4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia sehingga kekurangan uang belanja dapat dihindari atau harga makanan dapat dikenadalikan

5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin. Dengan perencanaan menu yang matang bahan makanan kering dapat dibeli sekaligus untuk beberapa minggu sehingga tenaga dan waktu dapat dihemat

Mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan dan cara-cara pelayanan.

Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan makanan merupakan kegiatan mengubah makanan mentah menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui berbagai proses yang berkaitan. Pengolahan makanan pada garis besarnya terdiri atas dua tahap, yaitu persiapan bahan makanan dan pemasakan makanan. Proses pengolahan sangat berkaitan dengan waktu penyajian, oleh karena itu penjadwalan mutlak dilakukan. Produksi makanan harus diperhatikan untuk setiap item masakan, sehingga persiapan dapat pula ditata. Jadwal disusun mulai persiapan bahan makanan dan waktu penerimaan pada unit produksi. Jadwal produksi perlu direncanakan dan diorganisisr dengan cara yang tepat. Penjadwalan tersebut adalah mengenai persiapan bahan makanan, pengolahan, pemorsian dan penyaluran bahan makanan.

(8)

atau terlalu lambat akan menimbulkan kerugian pada kualitas rasa dan penampilan makanan. Persiapan alat mutlak dilakukan sebelum pengolahan makanan dilakukan, karena peralatan yang dipakai pada proses pengolahan sangat menunjang keberhasilan pengolahan makanan. Pada proses pengolahan alat-alat tersebut harus dapat langsung dipergunakan pada proses pengolahan makanan antara lain panci, penggorengan, baskom dan lainnya. Ada juga alat-alat yang secara tidak langsung menunjang proses kegiatan pengolahan makanan yaitu energi seperti bahan bakar, listrik atau gas.

Porsi yang digunakan rumah sakit adalah porsi standar. Porsi standar yaitu porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi. Contoh dari standar porsi makanan adalah:

- lauk hewani: daging 50 g, ayam 75 g, ikan 60 g - lauk nabati: tempe dan tahu 50 g

- sayur berkisar 100-125 g pada sayuran mentah, sehingga setelah masak menjadi sekitar 53-60 g

- buah misalnya pepaya 100 g

Pemasakan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang telah ditentukan, dengan penambahan bumbu menurut resep standar dalam rangka mewujudkan masakan dengan citarasa tinggi. Beberapa prinsip dasar harus diterapkan dalam pemasakan makanan yaitu bumbu harus mempunyai kualitas yang cukup tinggi dan cara pemasakan yang harus tepat (Uripi 1993).

Pemorsian dan Pendistribusian Makanan

Setelah pengolahan bahan makanan selesai, makanan tersebut kemudian dibagikan kedalam porsi sesuai diet yang dianjurkan, atau biasa disebut proses pemorsian, kemudian mendistribusikannya kepada pasien. Menurut Uripi (1993), pemorsian dilakukan oleh bagian pemorsian yang dibedakan menjadi dua bagian yaitu pemorsian untuk makanan biasa dan pemorsian makanan diet. Porsi makanan yang akan disajikan harus sesuai dengan standar porsi yang berlaku.

(9)

produksi makanan dan diantarkan ke ruang pasien dengan menggunakan kereta makanan. Sedangkan, pembagian dengan cara desentralisasi dilakukan dengan mengangkut makanan dari area produksi ke ruang pasien dalam jumlah besar. Pembagian dalam nampan atau porsi untuk tiap pasien dilakukan di ruang pasien oleh petugas makanan.

Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi

Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menujukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi. Kekurangan asupan suatu zat gizi dapat menyebabkan terjadinya defisiensi atau penyakit kurang gizi dan kelebihan akan menyebabkan terjadinya efek samping. Pada keadaan ektrim, kekurangan atau kelebihan zat gizi dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Meskipun demikian, berangkat dari prinsip yang sama, yaitu penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang sehat tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (WKNPG 2004).

Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al (2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan daya serap, tingkat penggunaan, serta perbedaan pengeluaran dan penghancuran zat gizi dalam tubuh.

(10)

diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, jumlah makanan yang dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukur rumah tangga (URT) untuk mendapatkan data kualitatif. Menurut Suhardjo (1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat makanan yang tersisa setelah dimakan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif.

Energi

Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal (Resting Metabolic Rate - RMR) ditambah sejumlah energi yang diperlukan untuk efek tambahan metabolisme (Thermic Effect of Food - TEF), kegiatan (Thermic Effect of Exercise - TEE) dan pertumbuhan (pada kelompok usia/fisiologis tertentu) (WKNPG 2004).

Resting Metabolic Rate (RMR). Banyak juga peneliti yang menggunakan Basal Metabolic Rate (BMR). Perbedaannya BMR dianjurkan diukur pagi hari, bangun tidur, belum melakukan kegiatan dan telah berpuasa 10-12 jam. RMR diukur dalam keadaan istirahat biasa dan dilakukan 4-5 jam setelah makan.

Thermic Effect of Food (TEF). Dahulu istilah yang digunakan adalah specific dynamic action yaitu tambahan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme protein. Belakangan diketahui bahwa bukan hanya protein yang mempunyai efek tambahan energi untuk metabolismenya, tetapi juga karbohidrat dan lemak. TEF diperkirakan sekitar 10% dari energy expenditure. Glukosa bila disimpan terlebih dahulu sebagai glikogen kehilangan energi sekitar 7%. Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan tambahan energi sebanyak 26%.

(11)

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak yang ada didalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kal, lemak menghasilkan 9 Kal dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Bahan makanan yang merupakan sumber energi tinggi yaitu sumber lemak, seperti minyak dan lemak serta kacang-kacangan. Selain itu, bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Kekurangan energi pada orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronik dan memperpendek harapan hidup (Almatsier 2002).

Protein

Penentuan kebutuhan protein biasanya ditentukan dengan metode faktorial atau keseimbangan nitrogen. Metode faktorial dilakukan dengan mengukur N yang keluar melalui feses, urin keringat, kuku, dan sebagainya bila seseorang diberi diet “protein free”. Misal, hasil penelitian mengungkapkan dengan cara faktorial kebutuhan N sekitar 54 mg/kgBB bila ditambah 2 SD menjadi 70 mg N/kgBB. Karena nilai protein sama dengan Nx6,25 maka kebutuhan protein sekitar 0,45 g/kgBB dengan catatan dari protein kualitas tinggi. Kehilangan karena efisiensi, mutu protein diperkirakan sekitar 30% sehingga kebutuhan protein menjadi 0,6 sampai 0,7 g/kgBB. Metode keseimbangan nitrogen (Nitrogen Balance) dilakukan dengan mengukur nitrogen dari asupan protein dibanding dengan nitrogen yang keluar melalui feses, urin, keringat. Bila asupan lebih kecil dari yang keluar disebut N-balance negatif dan bila sama maka asupan sama dengan kebutuhan. Untuk mengetahui N-balance positif atau negatif maka percobaan dilakukan dengan pemberian berbagai tingkat protein. Misalnya dengan pemberian 0,6 g/kgBB sampai 1 g/kgBB (WKNPG 2004).

(12)

enzim, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, pemberi tenaga, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al 1994).

Menurut Almatsier (2004), kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari kebutuhan energi total, atau 0,8 – 1 g/kg berat badan. Kebutuhan energi minimal untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0,4 – 0,5 g/kg berat badan. Demam, operasi, sepsis, trauma dan luka dapat meningkatkan katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1,5 – 2,0 g/kg berat badan. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan protein sebesar 1,0 – 1,5 g/kg berat badan.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu, daging, ikan, unggas dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang kedelai dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan lain. Kelebihan protein dapat menyebabkan obesitas karena umumnya makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, diare, dehidrasi, kenaikan amonia darah, kenaikan urea darah, dan demam (Almatsier 2002).

Kekurangan protein dapat menyebabkan marasmus, kwarsiorkor atau gabungan keduanya. Hal ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik.

Zat Besi

(13)

defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut (Sediaoetama 2008).

Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Pada penderita anemia, jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia. Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992).

Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1992).

Natrium dan Kalium

Tubuh manusia mengandung 1,8 g Na/Kg BB bebas lemak, dimana sebagian besar terdapat dalam cairan ekstraseluler (Suhardjo & Kusharto 1992). Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Natrium berada dalam kerangka tubuh sebanyak 35-40%. Sebagai kaiton utama cairan ekstraseluler, natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Bila jumlah natrium didalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel, akibatnya sel akan membengkak. Hal ini menyebabkan pembengkakan atau edema dalam jaringan tubuh (Almatsier 2002).

(14)

(Almatsier 2002). Penelitian melaporkan bahwa penurunan asupan natrium sekitar 1,8 g/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan tekanan darah diastolik 2 mmHg pada seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan hanya penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal. Pengurangan asupan garam bukan saja dari garam dapur tetapi juga harus menghindari makanan yang diasinkan, diawetkan, bumbu-bumbu yang banyak mengandung garam dapur seperti terasi, kecap, petis, tauco atau juga camilan (Karyadi 2002).

Natrium dan kalium sangat erat hubungannya dalam memenuhi fungsinya didalam tubuh. Kedua elemen ini terutama berfungsi dalam keseimbangan air, elektrolit (asam basa) didalam sel maupun didalam cairan ekstraseluler, termasuk plasma darah. Natrium terutama terdapat didalam cairan ekstraseluler, sedangkan natrium didalam cairan intraseluler. Natrium merupakan satu-satunya elemen yang biasa dikonsumsi dalam bentuk garam yang sedikit-banyak murni, yaitu garam dapur. Konsumsi garam ini rata-rata 15 gram seorang sehari. Di daerah pegunungan yang terisolasi dan jauh dari pantai garam, natrium digantikan oleh garam kalium yang didapat dari abu berbagai tumbuhan yang dibakar (Sediaoetama 2008).

Di dalam tubuh terdapat natrium sebanyak 0,15% dari berat badan, sedangkan kalium 0,35% atau terdapat sekitar 2 ½ kali lebih banyak dibandingkan dengan natrium. Dalam cairan tubuh, natrium membentuk larutan garam NaCl atau Na-carbonat. Ion Na+ berperan dalam menahan air didalam tubuh, dalam proses mempertahankan tekanan osmosis cairan. Membran sel bersifat semipermeabel terhadap natrium, tetapi K+ dapat lewat dengan bebas melalui membran sel tersebut.

Fisiologi dan Fungsi Ginjal

Fungsi utama ginjal adalah mengatur keseimbangan homeostatik dengan respon terhadap cairan, elektrolit dan larutan organik. Ginjal yang normal dapat melakukan fungsi tersebut pada berbagai fluktuasi diet sodium, air dan zat terlarut lainnya. Tugas ini dilakukan dengan memfiltrasi darah terus menerus dan perubahan dari filtrat (sekresi dan reabsorbsi) dalam filtrasi cairan. Ginjal menerima 20% darah dari jantung yang memungkinkan penyaringan darah rata-rata 1600 L/hari (Wilkens dan Juneja 2007).

(15)

yang dapat dibagi ke dalam segmen fungsional yang berbeda: tubula terkonvolusi proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan duktus pengumpul. Setiap nefron beroperasi secara independen menghasilkan kontribusi ke urin akhir, meskipun semua dibawah kontrol serupa dan terkoordinasi. Namun, ketika salah satu nefron hancur, nefron yang lengkap tidak lagi dapat berfungsi. Glomerulus adalah massa bola kapiler yang dikelilingi oleh membran, kapsul Bowman. Fungsi glomerulus adalah produksi sejumlah besar ultrafiltrat, termasuk segmen mengikuti nefron untuk berubah. Ultrafiltrasi dalam glomerulus sangat mirip dengan komposisi darah. Karena fungsi penghalang, glomerulus menghambat sel darah dan molekul dengan berat molekul lebih besar dari 6500 dalton seperti protein. Ultrafiltrat produksi sebagian besar pasif dan didasarkan pada tekanan perfusi yang diproduksi oleh hati dan disediakan oleh arteri ginjal. Tubulus mengisap sebagian besar komponen yang membentuk ultrafiltrat. Banyak dari proses ini aktif dan membutuhkan energi pengeluaran yang besar dalam bentuk Adenosin Triphospat (ATP) (Wilkens dan Juneja 2007).

(16)

nitrogen dikenal sebagai fungsi ginjal; gagal ginjal merupakan ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan beban limbah harian (Wilkens dan Juneja 2007).

Menurut Sediaoetama (2008), ginjal berperan penting dalam keseimbangan cairan. Darah didalam glomerulus disaring dan plasma masuk kedalam cawan glomerulus sebagai ultrafiltrat. Komposisi ultrafiltrat ini sama dengan komposisi plasma tanpa makromolekul (protein plasma), yang tidak dapat menembus saringan. Berat jenis plasma tanpa makromolekul sama dengan berat jenis ultrafiltrat, yaitu 1,010. Ultrafiltrat ini diubah menjadi urin yang mempunya berat jenis 1,015-1,035. Glomerulus dapat menyaring plasma sebanyak 150-200 liter dalam 24 jam, untuk menghasilkan urin sebanyak 1000-1300 ml. Saluran nefron yang berfungsi mengkonsentrasikan ultrafiltrat menjadi urin ini panjangnya 15 mm tubulus proximalis, 15 mm loop Henle dan 5 mm tubulus distalis. Sepanjang saluran nefron ini, ion-ion dan zat-zat organik diserap kembali. Bersama dengan penyerapan zat-zat itu, ikut pula diserap kembali sejumlah air. Dibagian nefron proksimal, air diserap obligatori sebagai pelarut zat-zat organik yang diserap kembali secara aktif, sedangkan dibagian distal, penyerapan air dilakukan secara aktif menurut kebutuhan tubuh. Penyerapan air dibagian nefron distal ini diatur atas pengaruh hormon antideuritik.

Diet Penyakit Ginjal

(17)

Gejala serupa pada gagal ginjal akut terlihat ketika fungsi ginjal tersisa 75% dari fungsi normal. Ketika GFR berkurang 10% dari normal, pasien dipertimbangkan terkena End Stage Renal Disease (ESRD). Dialisis merupakan awal untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah berkurang. Elektrolit, cairan, anemia, dan diet diawasi setiap bulan oleh ahli gizi. Sebagian pasien dengan ESRD menerima transplantasi ginjal (Greene dan Thomas 2008).

Menurut Hartono (2002), diet ginjal terutama bertujuan untuk mengurangi ekskresi zat-zat sisa metabolisme protein melalui diet rendah protein dengan jumlah kalori yang memadai atau tinggi. Keseimbangan air, elektrolit dan pH pada gagal ginjal diperbaiki melalui pengaturan asupan cairan dan diet rendah mineral tertentu seperti kalium, natrium, magnesium, fosfor menurut keadaan pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium. Gangguan produksi zat seperti eritropoietin dan kalsitrol diatasi dengan suplementasi zat-zat tersebut.

Sindroma Nefritik

Sindrom nefritik merupakan manifestasi klinis dari sekelompok penyakit yang ditandai dengan peradangan pada lengkung glomerulus kapiler. Penyakit ini juga disebut glumerulonefritis akut yang terjadi secara tiba-tiba; terjadinya sesaat, dan dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik kronik atau ESRD. Manifestasi utama dari penyakit ini adalah hematuria (darah dalam urin), konsekuensi dari inflamasi kapiler yang menyerang pertahanan glomerulus terhadap sel darah. Sindrom ini juga ditandai oleh hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcal. Penyebab lain termasuk penyakit ginjal utama seperti imunoglobulin A nefropati; nefritik hereditari; dan penyakit kedua seperti systemic lupus erythematosus (SLE), vaskulitis dan glumerulonefritis berhubungan dengan endokarditis, abses, atau infeksi peritoneal(Wilkens dan Juneja 2007).

(18)

Sindroma Nefrotik

Sindroma Nefrotik terdiri atas kelompok penyakit heterogen, manifestasi yang umum berasal dari hilangnya pertahanan glomerulus terhadap protein. Protein dalam jumlah besar hilang melalui urin sehingga berujung pada hipoalbuminemia dengan konsekuensi edema, hiperkolesterolemia, hiperkoagulabiliti, dan metabolisme tulang abnormal. Lebih dari 95% kasus sindrom nefrotik berakar dari tiga penyakit sistemik (diabetes melitus, SLE dan amiloidosis) dan empat penyakit utama ginjal: penyakit yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron, nefropati membran, glumerulosklerosis dan glumerulonefritis membranoproliferatif (Wilkens dan Juneja 2007).

Menurut Almatsier (2004), sindrom nefrotik atau nefrosis adalah kumpulan manifestasi penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan ginjal untuk memelihara keseimbangan nitrogen sebagai akibat meningkatnya permeabilitas membran kapiler glumerolus. Gejala penyakit ini bersifat individual, sehingga diet yang diberikan harus individual pula, dengan menyatakan banyak protein dan natrium yang dibutuhkan dalam diet.

Tujuan utama dari terapi gizi medis adalah untuk mengelola gejala yang berhubungan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia), mengurangi resiko pengembangan kegagalan ginjal dan memelihara penyimpanan zat gizi. Pasien dengan kekurangan protein yang parah secara terus menerus memerlukan waktu perawatan yang lama serta diperlukan pemantauan gizi secara hati-hati. Diet bertujuan memberikan energi dan protein yang cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan meningkatkan konsentrasi plasma albumin serta menghilangkan edema (Wilkens dan Juneja 2007).

(19)

Upaya untuk membatasi asupan natrium dalam jumlah besar dapat menyebabkan hipotensi, eksaserbasi koagulopati dan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, pengendalian edema pada kelompok ini harus didasarkan sampai batas waktu tertentu dan pembatasan natrium sekitar 3 g natrium per hari (Wilkens dan Juneja 2007).

Gagal Ginjal Akut

Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)

Gagal ginjal akut merupakan keadaan akibat penurunan akut fungsi ginjal sehingga terjadi penimbunan zat-zat yang seharusnya diekskresikan keluar oleh ginjal. Penyebab gagal ginjal akut meliputi (1) aliran darah ginjal yang tidak mencukupi, (2) infeksi akut ginjal (penyebab renal), (3) sumbatan aliran air seni (penyebab postrenal) seperti pada batu ginjal atau penekukan ureter (saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih). Tindakan diet bertujuan mengurangi beban kerja ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa disamping memberikan cukup kalori. Diet rendah protein untuk mengurangi eksresi zat sisa harus memberikan cukup protein untuk perbaikan jaringan ginjal yang rusak disamping untuk keperluan lain seperti pembentukan hormon, enzim dan antibodi (Hartono 2004).

Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut

Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB

Protein 0,6-0,8 g/kgBB

Sodium 2 g/hari

Potasium 2 g/hari

Zat Besi Sesuai AKG

Cairan Cairan yang dikeluarkan ditambah 500cc

Gagal Ginjal Kronik

Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)

(20)

Terapi diet membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronik. Pemberian suplemen zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin D mungkin diperlukan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral pada gagal ginjal kronik harus mengacu kepada hasil laboratorium seperti kadar hemoglobin, kadar kalium, natrium dan klorida. Pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, fokus terapi gizi adalah untuk menghindari asupan elektrolit yang berlebih dari makanan karena kadar elektrolit bisa meninggi akibat klirens ginjal yang menurun (Hartono 2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik

Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB Protein 0,6-0,8 g/kgBB

Sodium 2-4 g/hari

Potasium Tidak ada batasan Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan

Transplantasi Ginjal

Transplantasi melibatkan implantasi bedah ginjal dari donor hidup, donor hidup yang tidak ada hubungan atau donor meninggal. Penolakan terhadap jaringan asing atau infeksi sekunder untuk terapi imunosupresif komplikasi utama (Wilkens dan Juneja 2007). Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti dengan cara mengganti ginjal yang sakit dengan ginjal donor. Setelah transplantasi sering terjadi hiperkatabolisme protein, kegemukan, dan hiperlipidemia. Diet pada bulan pertama setelah tranplantasi adalah energi cukup dengan protein tinggi, setelah itu berubah menajdi energi dan protein cukup. Karena diet sangat tergantung pada keadaan pasien, penyusunan diet dilakukan secara individual (Almatsier 2004).

Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasca transplantasi ginjal adalah sebagai berikut.

Tabel 3 Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal

Zat Gizi Rekomendasi

Energi 25-35 Kal/kgBB

Protein 1,0-1,5g/kgBB

Sodium 2-4 g/hari

Potasium Tidak ada batasan

Zat Besi Sesuai AKG

(21)

Gagal Ginjal dengan Dialisis

Dialisis dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat, dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memproduksi hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan sisa metabolisme menimbulkan gejala uremia. Dialisis dilakukan bila GFR atau hasil tes kliren kreatinin < 15 ml/menit (Almatsier 2004).

Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau dialisis peritoneal. Cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Pada proses hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialirkan melalui membran semipermeabel dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan dari tubuh melalui difusi dan air melalui ultrafiltrasi. Hemodialisis membutuhkan akses permanen ke aliran darah melalui fistula pembedahan yang dibuat untuk menghubungkan arteri dan vena. Fistula sering dibuat didekat pergelangan tangan, yaitu didekat pembuluh darah besar di lengan bawah. Jika pembuluh darah pasien rapuh, dapat dilakukan pencangkokan pembuluh darah tiruan. Jarum besar dimasukkan kedalam fistula atau cangkok sebelum dialisis dimulai dan dilepas ketika dialisis selesai. Umumnya, akses sementara melalui kateter subklavia sampai akses permanen pasien dapat diciptakan, bagaimanapun, masalah infeksi pada kateter tidak diinginkan. Hemodialisis biasanya membutuhkan perawatan 3 sampai 5 jam sebanyak 3 kali seminggu, tetapi terapi yang baru dilaksanakan membutuhkan waktu yang berubah-ubah. Pasien yang melakukan dialisis harian dirumah tipe perawatan yang berlangsung 1,5 sampai 2,5 jam, sedangkan beberapa pasien yang didialisis dirumah, menerima dialisis nokturnal 3 kali seminggu selama 8 jam. Diet protein dibutuhkan kurang lebih 1,2 g/kg, untuk menutupi kehilangan protein ketika dialisis (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali per minggu yaitu sebagai berikut.

Tabel 4 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis

Zat Gizi Rekomendasi

Energi 30-35 Kal/kgBB

Protein 1,2-1,4 g/kgBB

Sodium 2-3 g/hari

Potasium 2-3 g/hari Zat besi Individual

(22)

Menurut Greene dan Thomas (2008), dialisis peritonial adalah proses pengeluaran sisa produk metabolisme melalui perfusi larutan steril dialisis seluruh rongga peritonial. Metode dialisis ini dapat dilakukan dirumah. Pertukaran dialisis dilakukan beberapa kali dalam sehari atau terus-menerus di malam hari dengan bantuan mesin dialisis peritonial. Normalnya, diet yang diberikan adalah diet rendah garam. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani dialisis peritonial adalah sebagai berikut.

Tabel 5 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal

Zat Gizi Rekomendasi

Energi 25-35 Kal/kgBB

Protein 1,2-1,5 g/kgBB

Sodium 2-4 g/hari

Potasium 3-4 g/hari Zat besi Individual Cairan Sesuai toleransi

Batu Ginjal (Nefrotiliasis)

Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi mineral atau garam dalam urin mencapai nilai yang memungkinkan terbentuknya kristal, yang akan mengendap pada tubulus ginjal atau ureter. Meningkatnya konsentrasi garam-garam ini disebabkan adanya kelainan metabolisme atau pengaruh lingkungan. Sebagian besar batu ginjal merupakan garam kalsium. Fosfat, oksalat, serta asam urat. Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada saluran kemih dan sering buang air kecil.

Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada saluran kemih dan sering buang air kecil. Penyakit ini sering kambuh kembali. Agar bisa dilakukan upaya penyembuhan yang tepat, hendaknya dilakukan analisis terhadap jenis batu dan penyakit yang menjadi penyebabnya. Syarat diet nefrolitiasis yaitu energi diberikan sesuai dengan kebutuhan, protein sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total, cairan diberikan tinggi, yaitu 2,5-3 liter/hari, setengahnya berasal dari minuman.

Pemberian Dukungan Gizi

(23)

Gizi Enteral

Gizi enteral merupakan terapi pemberian nutrien lewat saluran cerna dengan menggunakan selang/kateter khusus (feeding tube). Cara pemberiannya bisa melalui jalur hidung lambung (nasogastric route) atau hidung usus (nasoduodenal atau nasojejunal route). Pemberian nutrien juga bisa dilakukan secara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral. Pemberian zat gizi enteral yang dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respons katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan integritas usus, mempertahankan integritas/respons imunologis, lebih fisiologik dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit. Pemberian zat gizi enteral yang tepat akan memberikan nutrien kepada pasien dalam bentuk yang bisa digunakan oleh metabolisme tubuhnya tanpa menimbulkan gangguan saluran cerna seperti kram usus atau diare sementara biaya dan proses pembuatannya memungkinkan pemberian zat gizi tersebut (Hartono 2004).

Pemberian gizi enteral bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi keseluruhan (terapetik) pada pasien yang tidak dapat makan sama sekali dan sebagai tambahan (suplementasi) pada pasien yang mampu makan dan minum tetapi tidak mencukupi kebutuhannya. Indikasi pemberiannya yaitu adanya gangguan kesadaran, gangguan menelan, koma, stroke, kekacauan sistem saraf pusat, dan selera makan yang buruk. Gizi enteral dapat diberikan melalui mulut (oral), pipa (sonde), dan enterostomi (esofagustomi, jenunostomi). Makanan enteral terdiri atas formula rumah sakit dan formula komerisial. Formula rumah sakit dibuat oleh rumah sakit dari berbagai bahan makanan yang dihaluskan. Konsistensi, kandungan zay gizi dan osmoralitas formula rumah sakit berubah-ubah pada saat pembuatannya. Formula komersial merupakan formula yang telah siap digunakan bergantung pada kebutuhan zat gizi pasien, kebutuhan cairan, fungsi gastrointestinal, restriksi zat gizi dan kebutuhan tambahan. Pemberian gizi enteral memiliki kelebihan dibandingkan dengan gizi parenteral. Keuntungannya yaitu bersifat fisiologis, lebih efektif, komplikasi kurang, energi tinggi mudah tercapai, teknik pemasangannyamudah dan biayanya murah (Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).

Gizi Parenteral

(24)

mendapatkan zat gizi melalui saluran cerna. Gizi parenteral disebut gizi parenteral total jika seluruh kebutuhan zat gizi pasien diberikan lewat vena dan disebut gizi parenteral parsial jika hanya sebagian kebutuhan zat gizi saja yang diberikan lewat vena (Hartono 2000).

Pemberian gizi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi gizi primer dan terapi giai suplemental/suportif. Gizi parenteral sebagai terapi gizi primer diberikan kepada pasien yang tidak mampu mempertahankan, mencerna atau menyerap makanan. Gizi parenteral sebagai terapi gizi suplemental/suportif diberikan pada pasien yang bisa makan atau mendapat gizi enteral tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan pada pasien dengan krisis hemodinamik atau kegagalan pernafasan yang membutuhkan bantuan respirator (Hartono 2000).

Daya Terima Makanan

Menurut Nasoetion (1980) diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan melalui indera penglihat, pencium, pencicip, dan bahkan indera pendengar. Namun demikian, faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan tersebut.

Menurut Lowe diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihat, yaitu meliputi warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan sebagainya. Selain itu, dinilai penyajian makanan seperti pemilihan alat yang digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, termasuk penghias hidangan (Moehyi 1997). Pasien yang selera makannya kurang sebaiknya diberi hidangan dalam porsi kecil (Beck 1994).

Untuk mengetahui daya terima makanan, dilakukan dengan uji hedonik skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini, panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa, dan tidak suka (Hardinsyah et al. 1989).

Warna Makanan

(25)

menjadi hilang. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna daging yang sudah berubah menjadi cokelat kehitaman, warna sayuran yang sudah berubah menjadi pucat sewaktu disajikan akan menjadi sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi 1992a).

Warna makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas, tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan (Sukarni & Kusno 1980). Penerimaan warna suatu bahan makanan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 1997).

Aroma Makanan

Aroma yang dikeluarkan oleh setiap masakan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula. Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan yang digoreng, dibakar, atau dipanggang akan menimbulkan aroma yang harum, berbeda dengan makanan yang direbus, hampir-hampir tidak mengeluarkan aroma yang merangsang, dalam hal ini disebabkan senyawa yang memancarkan aroma sedap larut air (Moehyi 1992a). Umumnya aroma utama yang diterima oleh hidung dan otak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997). Rasa Makanan

Rasa merupakan suatu komponen flavour yang terpenting karena mempunyai pengaruh yang dominan. Pada citarasa lebih banyak melibatkan indera kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi empat rasa utama, yaitu asin, manis, pahit dan asam. Masakan yang mempunyai variasi keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya mempunyai satu macam rasa yang dominan (Winarno 1997).

Timbulnya respon tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap rasa asin lebih cepat dibandingkan respon terhadap rasa pahit. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1997).

(26)

berikutnya citarasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indera pencium dan indera pengecap (Moehyi 1992a).

Tekstur Makanan

Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel respirator olfaktori dan kelenjar air liur (Winarno 1997). Dengan tesktur kita dapat mengartikan kualitas makanan dengan merasakan apakah dengan jari, lidah, gigi atau langit-langit (tekak) (Sukarni & Kusno 1980).

Menurut Beck (1994), makanan yang diajikan rumah sakit harus dapat dimakan dengan mudah, sebaiknya tidak membuat pasien berkutat dengan daging yang alot atau bersusah payah memisahkan tulang-tulang ikan satu per satu.

Suhu

Menurut Winarno (1997), suhu mempengaruhi sensitivitas rasa di lidah, bila suhu tubuh 20oC atau diatas 30oC, sensitivitas rasa pada kuncup cecapan rasa di lidah berkurang. Makanan sedap dengan suhu panas akan mampu memancarkan aroma yang sedap, karena bau-bauan baru dapat dikenali bila berbentuk uap dan molekul-molekul kompunen bau itu harus dapat merangsang otak, namun makanan yang panas pun dapat merusak kepekaan kuncup cecapan lidah. Makanan dingin akan membius kuncup cecapan hingga tidak peka lagi.

Umumnya pada rumah sakit modern untuk mengurangi penurunan suhu (saat dilakukan distribusi makanan pasien), maka kereta makanan dilengkapi dengan alat pemanas (Moehyi 1990).

Kebersihan Alat Makan

(27)

habis dimakan (Noras 2000). Semua sendok garpu, piring dan baki yang dipakai harus bersih (Beck 1994).

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan alat penyajian makanan adalah harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan, agar tidak terlihat terlalu banyak atau terlalu sedikit (Noras 2000).

Uji Kesukaan (Uji Hedonik)

Uji kesukaan disebut juga uji hedonik, dilakukan apabila uji didesain untuk memilih satu produk diantara produk lain secara langsung. Uji ini juga dapat digunakan ketika peneliti ingin menentukan status afeksi sebuah produk, misalnya seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk. Pada proses penilaiannya, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan) (Setyaningsih 2010).

(28)

KERANGKA PEMIKIRAN

Hal yang penting dalam ketersediaan makanan di rumah sakit untuk pasien penyakit ginjal adalah kebutuhan energi, protein, zat besi, natrium dan kalium. Konsumsi menu diet pada pasien penyakit ginjal, berpengaruh langsung pada tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium). Tingkat konsumsi merupakan perbandingan antara angka konsumsi terhadap ketersediaan. Jika tingkat konsumsi belum mencapai 100%, maka pelaksanaan terapi diet pasien secara individu berjalan kurang efektif. Sedangkan, apabila perbandingan konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) terhadap ketersediaannya mencapai 100%, mengindikasikan bahwa pasien menjalani terapi dietnya dengan baik. Kontribusi konsumsi makanan luar rumah sakit dan infus diperhitungkan untuk mengetahui seberapa besar makanan rumah sakit (makanan RS) yang dikonsumsi dibandingkan dengan total konsumsi pasien.

Dalam upaya mencapai tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang optimal pada pasien, perlu diketahui daya terima pasien terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit. Pengukuran daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan rumah sakit diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan subyek. Unsur makanan yang diamati maliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu.

(29)

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP Fatmawati

Keterangan :

= variabel diteliti = variabel tidak diteliti = hubungan yang dianalisis = hubungan yang tidak dianalisis

(30)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang tidak berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati, Jakarta. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa RSUP Fatmawati merupakan RS Badan Layanan Umum yang berfungsi sebagai pusat rujukan wilayah Jakarta Selatan, memiliki instalasi rawat ginjal, memiliki unit instalasi gizi, lokasi cukup strategis, mudah dijangkau dan merupakan RS pendidikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2011.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penyakit ginjal rawat inap IRNA B RSUP Fatmawati. Pemilihan subyek dilakukan secara purposive sampling, berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Laki-laki dan wanita yang berusia 17-55 tahun, untuk memudahkan wawancara dan dapat menilai makanan yang disajikan secara rasional 2. Dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga

dapat berkomunikasi dengan baik

3. Telah dirawat dan sudah mendapat pelayanan makanan dari rumah sakit minimal selama 2 hari, sehingga subyek telah mengalami penyesuaian terhadap makanan yang disajikan dan dapat melakukan penilaian

4. Tidak diberikan makanan enteral 5. Bersedia di wawancara

Berdasarkan buku catatan pasien masuk, selama kurun waktu 3 bulan (April-Juni 2011), populasi penderita penyakit ginjal rawat inap IRNA B RSUP Fatmawati yaitu 86 orang. Berdasarkan data tersebut, perkiraan jumlah subyek dihitung menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

N = besar populasi n = besar subyek

d2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) N

n =

(31)

Berdasarkan hasil perhitungan, perkiraan jumlah subyek sebesar 46 orang. Sementara itu, dari populasi yang ada di RSUP Fatmawati, telah dipilih berdasarkan kriteria yaitu 52 orang. Selama penelitian berlangsung, diperoleh pasien yang memiliki data lengkap sejumlah 50 orang dan ditetapkan sebagai subyek. Penjelasan lanjut mengenai cara pemilihan subyek dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Penarikan subyek penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuisioner. Data primer yang dikumpulkan yaitu :

1. Karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan status gizi), riwayat penyakit subyek (lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di rumah sakit)

Kriteria :

* Penyakit ginjal be * L/P berusia 17-55 thn * Komunikasi baik * Telah dirawat min 2 hr * Tidak diberikan makanan enteral * Bersedia diwawancara

Pengunjung RSUP Fatmawati

Rawat Inap Rawat Jalan

Pasien Rawat Inap di IRNA B RSUP Fatmawati

Populasi pasien penyakit ginjal kronik di IRNA B (April – Juni 2011) = 86 orang

Calon subyek 52 orang

Subyek = 50 orang Perkiraan jumlah

subyek = 46 orang

Pasien yang memiliki data

(32)

2. Gambaran umum instalasi gizi RSUP Fatmawati, penyelenggaraan makanan dan jenis diet yang diberikan oleh RS

3. Data kebutuhan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) subyek

4. Data ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan yang disajikan di rumah sakit dan tingkat ketersediaan

5. Konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) subyek serta tingkat konsumsi subyek terhadap kebutuhan dan ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)

6. Daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan dirumah sakit yang meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu.

7. Kontribusi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan luar rumah sakit dan atau infus rumah sakit

Data karakteristik, identitas, riwayat penyakit (jenis penyakit, lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan) diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner. Data berat badan, tinggi badan diperoleh berdasarkan rekam medik. Berat badan subyek ditimbang menggunakan bathroom scale dan tinggi badan subyek diukur dengan microtoise. Data status gizi dihitung berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) mengacu pada WHO (1995) dalam Effendi (1998).

Data kebutuhan energi dan zat gizi (protein, zat besi, natrium) diperoleh dengan cara menghitung kebutuhan masing-masing subyek.

Data ketersediaan makanan yang disajikan RS dikumpulkan selama 3 hari. Ketersediaan makanan RS diperoleh dengan cara menimbang (foodweighing method) dan mencatat porsi (URT) makanan RS yang akan disajikan selama sehari yaitu makan pagi, siang, sore dan makan selingan.

Data konsumsi yang dikumpulkan meliputi konsumsi makanan RS, makanan luar rumah sakit dan infus.

(33)

makanan yang tidak habis dimakan. Tetapi apabila makanan dari rumah sakit habis dimakan, maka data konsumsi sama dengan ketersediaan.

Data konsumsi makanan luar RS dikumpulkan selama 3 hari. Jenis makanan dan jumlah konsumsi diperoleh dengan cara recall (mengingat kembali).

Data konsumsi infus dikumpulkan selama 3 hari. Jenis infus dan kandungan zat gizi diketahui dengan melihat pada label infus. Jumlah konsumsi infus diperoleh dengan melihat rekam medik.

Data daya terima terhadap makanan RS dikumpulkan selama 3 hari dan dimulai minimal pada hari ke-2 subyek dirawat dan mendapatkan pelayanan dari instalasi gizi. Data daya terima diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik Skala Verbal dengan menanyakan penilaian inderawi terhadap sembilan atribut makanan yaitu warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu.

Data kontribusi makanan luar rumah sakit diperoleh dengan cara me-recall masing-masing subyek. Data kontribusi yang berasal dari infus diperoleh melalui label informasi kandungan zat gizi yang terdapat pada infus tersebut. Pengambilan data kontribusi makanan luar rumah sakit dan infus dilakukan selama 3 hari subyek dirawat.

Data sekunder yang harus dikumpulkan yaitu gambaran umum RSUP Fatmawati (sejarah, tipe rumah sakit, visi, misi, tugas dan fungsi, pelayanan dan fasilitas, jumlah tenaga kerja, ruang perawatan dan kapasitas tempat tidur).

Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data

(34)

Tabel 6 Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek

Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus Total Daily Energy (TDE) yang mengacu pada Almatsier (2004).

Keterangan: TDE = Total Daily Energy

FA = Faktor Aktivitas FI = Faktor Injuri

Angka Metablisme Basal (AMB) dihitung menggunakan dua rumus yaitu AMB berdasarkan Oxford Equation (WKNPG 2004) dan Rumus Cepat menurut Almatsier (2004). Berikut ini merupakan perhitungannya secara rinci :

Keterangan : BB = berat badan (kg)

Jenis Data Kelompok dan Kategori

1. Karakteristik subyek  Jenis Kelamin

 Usia

 Status Gizi berdasarkan IMT (kg/m2) (HISOBI 2004, diacu dalam Tjokoprawiro 2006)

a. Laki-laki b. Perempuan

a. Remaja (17-19 tahun) b. Dewasa awal (20-45 tahun) c. Dewasa menengah (46-55 tahun)

a. Kurus(<18.5) b. Normal (18.5 – 22.9)

c. At Risk (23 – 24.9) d. Obesitas I (25 – 29.9) e. Obesitas II (≥30.0)

2. Jenis diet yang diberikan a. Diet Rendah Protein (RP)

(35)

Tabel 7 Rumus AMB berdasarkan Oxford equation

Jenis Kelamin Usia Rumus AMB Oxford Equation

Pria 17-18 thn (88.5-61.9U)+26.7B(FA)+903TB+25

19-29 thn (16.8B+498)

30-55 thn (16.0B+462)

Wanita 17-18 thn (88.5-61.9U)+26.7B(FA)+903TB+25

19-29 thn (13.4B+517)

30-55 thn (9.59B+687)

Keterangan: U = usia (tahun), B = berat badan (kg), TB = tinggi badan (cm)

Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) menurut Hartono (2000), dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan energi orang sakit

No. Jenis Aktfitas Faktor

1 Tirah baring 1,2

7 Gagal ginjal kronik (non-Doalisis) 1

8 Hemodialisis 1-1,05

9 Bedah elektif tanpa komplikasi 1,1 Sumber: Asuhan Nutrisi Rumah Sakit (Hartono 2000)

Kebutuhan protein untuk subyek penyakit ginjal kronik, telah ditetapkan oleh RS. Jumlah kebutuhan protein subyek per hari yaitu 40 g. Penetapan kebutuhan protein tersebut mengacu pada Diet Rendah Protein III yang diberikan kepada pasien dengan penyakit ginjal (Almatsier 2004).

Kebutuhan zat besi mengacu pada angka kecukupan zat besi berdasarkan WKNPG (2004). Angka kecukupan zat besi untuk pria berusia 17-55 tahun adalah 13mg/hari. Angka kecukupan zat besi untuk wanita berusia 16-49 tahun yaitu 26 mg/hari dan usia 50-55 tahun sebesar 12 mg/hari.

Kebutuhan natrium mengacu pada rekomendasi konsumsi natrium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 3000 mg (Greene dan Thomas 2008).

Kebutuhan kalium mengacu pada rekomendasi konsumsi kalium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 2500 mg (Greene dan Thomas 2008).

(36)

serta dianalisis menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan (Hardinsyah dan Briawan 1994).

Tingkat ketersediaan energi dihitung dengan cara angka ketersediaan energi dibagi dengan kebutuhan energi kemudian dikalikan 100%.

Tingkat ketersediaan protein dihitung dengan cara angka ketersediaan protein dibagi dengan kebutuhan protein kemudian dikalikan 100%.

Tingkat ketersediaan zat besi dihitung dengan cara angka ketersediaan zat besi dibagi dengan angka kebutuhan zat besi yang mengacu pada AKG dalam WKNPG (2004) kemudian dikalikan 100%.

Tingkat ketersediaan natrium dihitung dengan cara angka ketersediaan natrium dibagi dengan kebutuhan natrium yang mengacu pada rekomendasi konsumsi natrium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik (Greene dan Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%.

Tingkat ketersediaan kalium dihitungan dengan cara angka ketersediaan kalium dibagi dengan kebutuhan kalium yang mengacu pada rekomendasi konsumsi kalium harian pasien penderita gagal ginjal kronik dengan hemodialisis (Greene dan Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%.

Tingkat ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi tiga (Hardinsyah dan Briawan 1994), yaitu:

1. Defisit (<90% angka kebutuhan)

2. Normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein=90-120% angka kebutuhan)

3. Lebih (energi>110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan) Konsumsi makanan RS dihitung dengan cara mengamati ada tidaknya sisa makanan yang disediakan rumah sakit. Apabila habis dimakan, maka konsumsi makanan RS sama dengan angka ketersediaan. Apabila terdapat sisa makanan, maka konsumsi subyek didapat dengan cara mengurangi angka ketersediaan dengan berat makanan yang tidak habis dimakan. Berat makanan Tingkat Ketersediaan Energi = Jumlah Energi Makanan yang disajikan RS x 100%

Kebutuhan Energi

Tingkat Ketersediaan Protein = Jumlah Protein Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Protein

Tingkat Ketersediaan Zat Besi = Jumlah Zat Besi Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Zat Besi

Tingkat Ketersediaan Natrium = Jumlah Natrium Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Natrium

(37)

sisa yang tidak habis dimakan diketahui dengan menimbang langsung atau menggunakan pendekatan URT kemudian makanan yang habis dimakan maupun makanan sisa, dianalisis dengan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan.

Tingkat konsumsi yang diamati yaitu tingkat konsumsi subyek terhadap ketersediaan dan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan.

Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dihitung dengan cara jumlah energi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan energi dari makanan RS kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein dihitung dengan cara jumlah protein yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan protein dari makanan RS kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi dihitung dengan cara jumlah zat besi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan zat besi dari makanan RS kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium dihitung dengan cara jumlah natrium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan natrium dari makanan RS kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium dihitung dengan cara jumlah kalium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan kalium dari makanan RS kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap ketersediaan dikategorikan menjadi empat (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu:

1. Defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan) 3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) 4. Normal (90-100% angka ketersediaan)

Tingkat Konsumsi Energi = Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Energi Mkn. RS yang disajikan

Tingkat Konsumsi Protein = Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Protein Mkn. RS yang disajikan

Tingkat Konsumsi Zat Besi = Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang disajikan

Tingkat Konsumsi Natrium = Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Natrium Mkn. RS yang disajikan

(38)

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dihitung dengan cara jumlah energi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan energi kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein dihitung dengan cara jumlah protein yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan protein kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi dihitung dengan cara jumlah zat besi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan zat besi kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natrium dihitung dengan cara jumlah natrium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan natrium kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium dihitung dengan cara jumlah kalium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan kalium kemudian dikalikan 100%.

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi lima (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu:

1. Defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan) 3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) 4. Normal (90-119% angka kebutuhan)

5. Lebih (≥ 120% angka kebutuhan)

Klasifikasi tingkat ketersediaan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dapat dilihat pada Tabel 9.

Tingkat Konsumsi Energi = Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Energi

Tingkat Konsumsi Protein = Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Protein

Tingkat Konsumsi Zat Besi = Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Zat Besi

Tingkat Konsumsi Natrium = Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Natrium

(39)

Tabel 9 Jenis data dan klasifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi

Jenis Data Klasifikasi

1. Tingkat ketersediaan energi- protein (Hardinsyah dan Briawan 1994)

a. Kurang (<90% angka kebutuhan)

b. Normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein=90-120% angka kebutuhan)

c. Lebih (energi>110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan)

2. Tingkat ketersediaan natrium, zat besi dan kalium

a. Dibawah angka kebutuhan (%) b. Sesuai angka kebutuhan (%) c. Diatas angka kebutuhan (%)

3. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi,

d. Normal (90-100% angka ketersediaan)

4. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan (Direktorat Bina

d. Normal (90-119% angka kebutuhan) e. Diatas angka kebutuhan (≥ 120% angka

kebutuhan)

(40)

Tabel 10 Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS

No Penilaian Skor (Pagi/Siang/Malam)

Tidak Suka Biasa Suka

1 Warna 1 2 3

2 Aroma 1 2 3

3 Tekstur 1 2 3

4 Bentuk 1 2 3

5 Rasa Lauk 1 2 3

6 Rasa Sayur 1 2 3

7 Suhu 1 2 3

8 Variasi Menu 1 2 3

9 Kebersihan Alat 1 2 3

Total 9 18 27

Hari Pengamatan (3) 9 x 3 = 27 18 x 3 = 54 27 x 3 = 81

Nilai daya terima subyek terhadap makanan RS dihitung dengan cara nilai subyek dikurangi dengan nilai minimal (27) kemudian dibagi dengan hasil pengurangan antara nilai maksimal (81) dengan nilai minimal. Total nilai setiap atribut makanan tiap subyek dikonversikan sehingga berada pada rentang 0 hingga 100% menggunakan rumus (Sukandar, diacu dalam Primadhani 2006):

Daya terima (y) diklasifikasi menjadi tiga, yaitu: 1. Daya terima rendah apabila y < 25%

2. Daya terima sedang apabila 25% ≤ y ≥ 54% 3. Daya terima tinggi apabila y > 54%

Makanan luar RS yang dikonsumsi dihitung dengan mengkonversi jumlah makanan luar yang dikonsumsi (URT) dengan menggunakan nutrition fact dan Daftar Komposisi Bahan Makanan.

Infus yang dikonsumsi dihitung dengan cara mengalikan jumlah infus selama sehari dengan kandungan zat gizi yang terdapat pada label infus.

Kontribusi konsumsi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi makanan RS dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+infus).

Kontribusi konsumsi energi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi energi makanan RS dibagi dengan total konsumsi energi sehari (makanan RS+makanan luar RS+ infus).

(nilai subyek – nilai minimal)

y = x 100%

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap
Gambar 2.
Tabel 6 Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek
Tabel 9 Jenis data dan klasifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan: Rata-rata jumlah sisa makanan pasien di RSUP Sanglah Denpasar sudah memenuhi standar pelayanan minimal rumah sakit yaitu kurang dari 20% dengan rata-rata

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari daya terima dan konsumsi pasien rawat inap penderita penyakit dalam terhadap menu makanan yang disajikan di rumah sakit

Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mempelajari (1) karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, berat badan, tinggi badan, status gizi,

FORMULIR DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H?. ADAM

Berdasarkan observasi, penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Siti Hajar Medan terdapat 3 orang pekerja, masih dijumpai tenaga instalasi gizi yang tidak memakai

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari daya terima dan konsumsi pasien rawat inap penderita penyakit dalam terhadap menu makanan yang disajikan di rumah sakit

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan untuk pihak rumah sakit dalam sistem penyelenggaraan makanan di instalasi gizi yang berkaitan

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode wawancara mendalam kepada Kepala Instalasi Gizi dan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping