SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
Oleh :
EINRO PORMAN PAKPAHAN NIM 150200316
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
menyelesaikan skripsi ini yang merupakan syarat utama untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Adapun skripsi yang ditulis penulis berjudul : ”Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Bentuk Menempatkan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tanpa Memenuhi Syarat ( Putusan Nomor 881 K/PID.SUS/2017 )”.
Skripsi yang ditulis penulis ini masih jauh dari sempurna dan sangat memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan.
Secara khusus penulis berterimakasih kepada kedua orangtua penulis yang telah memberikan pelajaran berharga dalam hidup serta sangat berjasa dalam mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini baik dari segi moral maupun materi.
Terimasih yang sebesara-besarnya kepada Divo Leite pemilik Family Foto yang memberi kesempatan untuk berutang pada saat penulis menulis skripsi ini serta potongan harga yang diberikan kepada penulis tidak akan terlupakan oleh penulis.
Dengan segala hormat penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., Selaku Pemabantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., Selaku Pembantu Dekann II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
8. Bapak Prof.Dr Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum., selaku Dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini
9. Bapak Syafruddin Sulung,SH.,MH.,DFM., selaku Dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dalam penulisan skripsi ini
10. Bapak Hemat Tarigan SH.,M.Hum., selaku dosen PA mulai dari semester satu hingga saya tamat yang telah memberi pengarahan kepada saya selama perkuliahan.
11. Seluruh Dosen pengajar yang mengabdikan diri mengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala perkuliahan penulis selama menjalani urusan perkuliahan
12. Seluruh Pegawai, dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk setiap Pelayanan yang di berikan
13. Dan tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada teman-teman satu stambuk yang telah memberikan banyak kesan selama perkuliahan.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia. Bila ada kekurangan dan kesalahan kata saya sebagai penulis mohon maaf, kepada Tuhan saya mohon ampun. Besar harahapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan untuk pembelajaran ilmu hukum.
Medan, Maret 2019 Penulis,
Einro Porman Pakpahan
ABSTRAK vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 9
C. Tujuan penulisan 10
D. Manfaat penulisan 10
E. Keaslian penulisan 10
F. Tinjauan kepustakaan 11
1. Pengertian tenaga kerja 11
2. Pengertian tindak pidana 13
3. Tindak pidana perdagangan orang 14
4. Penempatan dan perlindungan kerja 17
G. Metode penulisan 20
H. Sistematika penulisan 22
BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang 24
1. Pengertian Perdagangan Orang Menurut PBB 24 2. Pengertian Perdagangan Orang Menurut Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang 25
3. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang 26
B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang dan Dampak dari
Perdagangan Orang 29
1. Faktor penyebab terjadinya perdagangan orang 29
2. Dampak dari perdagangan orang 32
C. Ruang Lingkup Pelaku dan Sanksi Tindak Pidana Perdagangan
Orang 32
BAB III PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
A. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri menurut peraturan yang
berlaku di Indonesia 38
1. Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri 38
2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Di luar Negeri Oleh
Pemerintah 44
B. Lembaga Pemerintah Yang Mengawasi Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Di Luar Negeri 47
C. Ketentuan Pidana Tentang Penempatan TKI Di Luar Negeri Dan Kaitannya Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang 53
BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NOMOR
31/PID.SUS/2016/PN KEFAMENANU
A. Analisis kasus 59
1. Kronologi 59
2. Dakwaan 62
3. Tuntutan 63
4. Fakta Hukum 65
5. Pertimbangan Hakim 72
6. Putusan 85
B. Analisis putusan 87
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 94
B. SARAN 95
DAFTAR PUSTAKA 96
ABSTRAK
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum* Syafruddin, SH., MH., DFM**
Einro Porman Pakpahan***
Perdagangan orang merupakan bentuk kejahatan atau dapat disebut dengan perbudakan manusia di zaman modern saat ini. Dan ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Pada dasarnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sudah mengenal tindak pidana perdagangan orang namun hanya sebagian kecil saja. Dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang, bukan hanya undang-undang nomor 21 tahun 2007 yang berperan namun ada undang-undang lain seperti undang-undang nomor 39 tahun 2004 seperti yang dibahas dalam skripsi ini yang berjudul “Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Bentuk Menempatkan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tanpa Memenuhi Syarat”. Dalam penulisan skripsi ini permasalahan pertama yang dibahas ialah mengapa perdagangan orang dapat terjadi serta sanksi tindak pidana perdagangan orang.
Kedua bagaimana penempatan tenaga kerja Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kaitannya dengan tindak pidana perdagangan orang. Adapun permasalahan ketiga ialah bagaimana penerapan sanksi tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Nomor
31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat desktriptif. Dengan menggunakan data sekunder, yang berkaitan dengan perdagangan orang dalam bentuk tenaga kerja Indonesia serta putusan nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu. Metode pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen dan metode studi pustaka (library research). Analisis data menggunakan metode kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif analitis.
Hasil Penelitian dalam Skripsi ini menunjukkan Dalam Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu, disimpulkan bawha Putusan Hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Putusan Hakim berguna bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya, Hakikat dari pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwaan oleh penuntut umum.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Perdagangan Orang, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tenaga Kerja Indonesia.
* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
*** Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kesatuan dengan penduduk yang beragam, begitu pula dengan kebutuhan masing-masing penduduk yang berbeda antara satu dengan yang lain sehingga setiap orang akan memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial, setiap manusia membutuhkan keberadaan manusia lainnya karena hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya.1 Dalam kehidupan bermasyarakat manusia akan berusaha untuk menunjukkan keberadaan dirinya di tengah-tengah masyarakat, perilaku demikian adalah untuk mendapatkan pengakuan atau biasa disebut sebagai aspek eksistensial.2
Dalam kehidupan bermasyarakat manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan cara bekerja. Pekerjaan yang dilakukan manusia tersebut memiliki nilai eksistensialnya masing-masing. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang akan membantu dirinya untuk mendapat pengakuan di tengah-tengah masyarakat. Namun semakin hari pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan yang kemudian berdampak pada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:Prenadamedia Group, 2011), hlm. 41.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap orang memiliki hak yang sama antara satu dengan yang lain untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, hal tersebut sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tepatnya pada pasal 27.
Namun meskipun Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengatur demikian, sekarang ini masih banyak masayarakat Indonesia yang menuai kesulitan dalam menemukan pekerjaan. Faktor utama penyebab kesulitan tersebut adalah laju pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dengan laju pertambahan penduduk, adapun penyebab yang lain dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kurangnya kemampuan dari orang itu sendiri maupun terbatasnya ketersediaan lapangan kerja.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri membuat banyak orang terutama perempuan memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar negeri baik dalam sektor formal maupun non-formal. Keputusan bekerja di luar negeri harus ditempuh guna memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan banyak dari antara mereka yang ingin bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri tersebut tidak memiliki keahlian yang menonjol dan rela untuk diabayar dengan upah kecil.
Keadaan yang demikian membuat mereka potensial menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking) oleh pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mengambil keuntungan dari keadaan mereka. Perdagangan orang sendiri diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang artinya ialah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang ialah segala perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang nomor 21 tahun 2007 sesuai dengan ketentuan pada pasal 2 (dua) undang-undang tersebut.
Dari defenisi di atas dapat kita ketahui bahwa tujuan dari perdagangan orang ialah eksploitasi, yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil, sedangkan eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Dilihat dari aspek penyebabnya, perdagangan orang dapat terjadi karena berbagai macam keadaan yang dapat disimpulkan menjadi beberapa faktor antara lain3 :
1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.
3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orangtua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.
4. Lemahnya pencatatan/dokumentasi kelahiran atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas.
5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking.
Tidak hanya berdampak buruk pada korban perdagangan orang itu sendiri, kejahatan perdagangan orang yang dianggap sulit untuk dikendalikan memiliki berbagai dampak dampak negatif lainnya yang berpengaruh terhadap masyarakat lain bahkan pemerintah. Dampak negatif dari perdagangan orang tersebut dapat kita lihat sebagai berikut4 :
3 Mufidah, Membongkar Kejahatan Trafiking dalam Perspektif Islam Hukum dan Gender (Malang:UIN-MALIKI PRESS, 2011), hlm. 22.
4 Ibid. hlm. 29.
1. Mendanai kejahatan terorganisir
Menurut PBB, trafiking merupakan praktik industri kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilka sekitar 9.5 juta USD dalam pajak tahunan.
Perdagangan manusia juga merupakan salah satu industri kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang, perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, dan penyelundupan manusia.
2. Melemahkan potensi sumber daya manusia
Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber daya manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak perdagangan manusia mencakup upah yang kecil, resiko terkait dengan kesehatan dan pendidikan bagi perempuan maupun anak- anak yang menjadi penyumbang melemahnya sumber daya manusia. Dampak- dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktivitas dan kekuatan pendapatan di masa mendatang. Misalnya perdagangan anak yang memaksa anak- anak di bawah umur bekerja 10 jam atau bahkan lebih membuat mereka terhalang untuk mendapatkan pendidikan sehingga dapat memperkuat putaran kemiskinan yang akan memperlambat perkembangan kemajuan sebuah bangsa.
3. Merusak kesehatan masyarakat
Korban perdagangan orang kerap kali mengalami perlakuan tidak wajar sehingga mengkibatkan trauma fisik, seksual, dan psikologis bahkan korban dari perdagangan orang yang menjadi bagian dari eksploitasi seksual sering kali terinfeksi penyakit-penyakit menular akibat dari kegiatan prostitusi tersebut.
Penyakit menular seperti inflammatori pelvi dan HIV/AIDS bukan hanya
merugikan para korban itu saja namun dikhawatirkan pula akan merugikan orang lain jika tertular.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sudah diupayakan oleh pemerintah dengan berbagai cara mulai dari diberlakukannnya berbagai peraturan perundang-undangan hingga pembentukan badan-badan pengawas. Akan tetapi upaya dari pemerintah itu sendiri belum begitu cukup, ketanggapan dan kesadaran dari masyarakat sendiri sangat diperlukan untuk menghindari jatuhnya korban perdagangan orang yang lebih banyak lagi.
Masyarakat harus mengetahui hal apa saja yang menunjukkan adanya indikasi perdagangan orang. Berikut adalah indikasi yang menunjukkan adanya tindak pidana perdagangan orang5 :
1. Tidak menerima upah (dibayar dengan jumlah kecil) imbalan bagi pekerjaan yang dilakukannya;
2. Tidak dapat mengelola sendiri upah yang diterima atau harus
menyerahkan sebagian besar upahnya kepada pihak ketiga (perantara, agen, majikan, dalam bisnis pelacuran: pengelola rumah bordir, mucikari);
3. Adanya jeratan utang (misalnya saja untukmembayar biaya pengganti rekrutmen, jasa perantara, biaya perjalanan, dll.);
4. Pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak (misal tidak
boleh meninggalkan tempat kerja atau penampungan untuk jangka waktu lama, di bawah pengawasan terusmenerus);
5. Tidak diperbolehkan (dengan ancaman/kekerasan) berhenti bekerja;
6. Isolasi/pembatasan kebebasan untuk mengadakan kontak dengan
5 Sekretariat Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang,”Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Laporan 2015”, diakses dari http://bp3akb.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/delightful-downloads/2016/06/Laporan- PPTPPO-2015-di-Indonesia.pdf, pada tanggal 1 Maret 2019 pukul 00.21
orang lain (keluarga, teman, dll.);
7. Ditahan atau tidak diberikan pelayanan kesehatan, makanan yang memadai, dll;
8. Pemerasan atau ancaman pemerasan terhadap keluarga atau anak Anaknya;
9. Ancaman penggunaan kekerasan;
10. Ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik;
11. Diharuskan bekerja dalam kondisi yang sangat buruk dan/atau harus bekerja untuk jangka waktu yang sangat panjang;
12. Tidak membayar sendiri atau mengurus sendiri perjalanan, visa, paspor, dll;
13. Tidak memegang sendiri surat-surat identitas diri atau dokumen perjalanannya;
14. Menggunakan paspor atau identitas palsu yang disediakan oleh pihak ketiga.
Indikator Khusus untuk tujuan eksploitasi Pelacuran : 15. Mendapatkan bagian sangat kecil dari upah yang umumnya
dibayarkan dalam bisnis pelacuran;
16. Diharuskan mendapatkan penghasilan dalam jumlah tertentu perhari;
17. Pengelola bordir atau pihak ketiga telah membayar ongkos transfer
bagi calon korban dan/atau menyerahkan sebagian penghasilan calon korban kepada pihak ketiga;
18. Tempat di mana calon korban dipekerjakan berubah-ubah.
Upaya-upaya dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang tidak akan dapat berjalan efektif jika hanya dilakakukan oleh salah satu pihak saja, namun dalam mencegah terjadinya perdagangan orang diperlukan adanya kerja sama pihak-pihak terkait yakni antara pemerintah sendiri dengan masyarakat serta peran dari lembaga-lembaga terkait seperti dinas kependudukan dan catatan sipil dan
badan-badan pengawas tenaga kerja seperti Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri.
BP3TKI sendiri sebelumnya bernama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Yang merupakan unit pelaksana teknis dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) dibentuk sesuai dengan peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nomor : KEP. 333 / KA / XII / 2007 dimana terbentuknya setelah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berdiri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2006. Sesuai dengan peraturan Kepala Badan tersebut, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai Unit Pelaksana Teknis atau UPT. BP3TKI adalah satuan organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas operasional dan atau tugas teknis penunjang di lingkungan BNP2TKI dan sebagai perpanjangan tangan dari BP3TKI di daerah dibentuk pos pelayanan yang bernama Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) berdasarkan peraturan Kepala
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nomor : KEP. 333 / KA / XII / 2007.6
Masih banyak lagi permasalahan tentang perdagangan orang yang perlu untuk diketahui terutama bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kerap menjadi sasara pelaku tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis ingin membahas lebih jauh lagi dengan menuliskannya dalam skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Bentuk Menempatkan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tanpa Memenuhi Syarat (Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu)”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Penyebab terjadinya perdagangan orang dan sanksi tindak pidana perdagangan orang ?;
2. Bagaimana penempatan tenaga kerja di luar negeri menurut peraturan yang berlaku di Indonesia serta kaitannya dengan tindak pidana perdagangan orang?;
3. Bagaimana penerapan sanksi pidana pelaku tindak pidana perdagangan dalam Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu ?
6 BP3TKI, diakses dari https://bp3tkipontianak.wordpress.com/, pada tanggal 1 Maret
C. Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penulisan skripsi ini ialah guna memperoleh gelar Sarjana Hukum bagi penulis, sementara itu adapun tujuan lain penulisan ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang serta sanksi pidanannya;
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan tenaga kerja indonesia terutama bagi yang berada di luar negeri;
3. Bagaimana penerapan sanksi pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 dalam Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu.
D. Manfaat penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi pihak yang berkompeten di bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum pidana pada khususnya terutama bagi yang berhubungan dengan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Hasil penelitian ini juga sebagai sarana untuk memperluas wawasan bagi para pembaca mengenai tindak pidana perdagangan orang, serta untuk mengkaji dari sisi hukum tentang dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan suatu hukuman terhadap kasus perdagangan orang.
E. Keaslian Penulis
Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Bentuk Menempatkan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tanpa Memenuhi Syarat
(Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu)” merupakan hasil pemikiran sendiri dari penulis tanpa menjiplak dari hasil penelitian manapun,serta skripsi dengan judul “Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Bentuk Menempatkan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tanpa Memenuhi Syarat (Putusan Nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Uiversitas Sumatera Utara dan dapat dibuktikan melalui proses uji bersih pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis baik secara akademik maupun pidana.
F. Tinjauan kepustakaan 1. Tenaga Kerja
Tenaga kerja jika diartikan kata perkatanya, terdiri dari tenaga yang berarti daya untuk melakukan sesuat dan kerja yang artinya kegiatan melakukan sesuatu, dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja ialah daya atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Sementara menurut Dr. A. Hamzah SH menyatakan bahwa tenaga kerja ialah meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi tenaga kerja itu sendiri, baik tenaga fisik maupun pikiran7.
Sedangkan menurut undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia, tenaga kerja adalah :
1) Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, tenaga kerja ialah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan atau yang telah
7 Bitar, “Tenaga Kerja : 13 Pengertian Menurut Para Ahli, Dan Jenis-Jenisnya”, diakses dari https://www.gurupendidikan.co.id/tenaga-kerja-13-pengertian-menurut-para-ahli-dan-jenis-
melakukan pekerjaan baik yang berada di luar hubungan kerja untuk menghasilkan barang ataupun jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat ;
2) Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tenaga kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja ialah orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk mendapatkan upah yang tergolong dalam usia kerja baik yang belum bekerja maupun yang sedang melakukan pekerjaan.
Tenaga kerja dapat dibedakan menjadi dua yaitu8 angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau yang punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Sedangkan yang bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan (mahasiswa, ibu rumah tangga) serta menerima pendapatan, tetapi bukan merupakan imbalan langsung dari kegiatan produktif (pensiunan, veteran perang, dan penderita cacat yang menerima santunan).
Penggangguran terdiri atas9 :
1) Mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan;
2) Mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha;
8 Zaeni Asyhadie dan Rahmawati Kusuma, Hukum Ketenaga Kerjaan Dalam Teori Dan Praktik Di Indonesia (Jakarta:Prenamedia Group, 2019), hlm. 3
9 Ibid.
3) Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan perkerjaan; dan
4) Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.
2. Tindak pidana
Tindak pidana adalah salah satu istilah yang digunakan dari sekian banyak istilah, tindak pidana sendiri berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu Straafbaar Feit. Istilah-istilah lain yang sering digunakan sebagai terjemahannya
seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik dan sebagainya.10
Menurut Simons, tindak pidana ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sementara itu, Van Hamel merumuskan; kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Vos merumuskan tindak pidana sebagai suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana, jadi tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.11
10 M. Hamdan, dan Mahmud Mulyadi, Tindak Pidana Kesusilaan dan Tindakan Kebiri Kimia (Medan:USU Press, 2017), hlm. 4
E. Utrecht menggambarkan tindak pidana sebagai suatu peristiwa pidana yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut12 :
1) Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum;
2) Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah;
3) Suatu kelakuan yang dapat dihukum.
Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur yang ada. Secara umum tindak pidana memiliki dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pribadi pelaku tindak pidana tersebut, yaitu tentang kesalahan pelaku. Di dalam kesalahan ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1) Tentang hubungan sikap bathin pelaku dengan apa yang dilakukannya;
apakah perbutan tersebut disengaja (dolus) atau karena kelalaian (culpa);
2) Petanggungjawaban pidana pelaku; apakah pelaku mampu bertanggungjawab dengan apa yang telah dilakukannya tersebut;
3) Apakah dalam diri pelaku terdapat alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahannya.
Sementara itu, unsur objektif adalah segala sesuatu di luar unsur subjektif seperti bentuk perbuatan pelaku, akibat dari perbuatannnya, atau tempat dimana perbuatan dilakukan.13
12 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika, 2012), hlm. 12.
13 M. Hamdan dan Mahmud Mulyadi, op.cit, hlm. 4-5
3. Tindak pidana perdagangan orang
Perdagangan orang atau istilah asingnya Human Trafficking merupakan kejahatan yang sangat sulit yang disebut masyarakat internasinal sebagai bentuk perbudakan modern dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perkembangan peradaban manusia dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, dan transportasi ikut mempengaruhi berkembangnya modus kejahatan perdagangan orang.
Persoalan tindak pidana perdagangan orang juga telah menyita perhatian PBB yang juga berusaha untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana perdagangan orang dengan mengeluarkan protokol PBB untuk mencegah,memberantas, dan menghukum perdagangan orang khususnya perempuan dan anak.14
Pemerintah Indonesia dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang juga telah memberikan kabar baik mengingat perdagangan orang yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Perhatian pemerintah tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mulai memberikan rasa aman bagi warga Indonesia khususnya tenaga kerja Indonesia.
14 Marlina dan Azmiati Zuliah, Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana
Dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 terdapat aturan yang memberikan jaminan hak bagi korban tindak pidana perdagangan orang, yaitu sebagai berikut15 :
1) Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua (pasal 44).
2) Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya (pasal 47)
3) Hak untuk mendapat restitusi (pasal 48)
4) Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah (pasal 51)
5) Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara (pasal 54).
Tindak pidana perdagangan orang jika mengarah dari pengertian tindak pidana, tindak pidana perdagangan orang dapat diartikan sebagai suatu perbuatan manusia yang dilarang dan diancam pidana dalam memperdagangkan orang.
Tindak pidana perdagangan orang juga dikenal dengan berbagai istilah seperti tindak perdagangan manusia,human traficking, traficking person, dan sebagainya.
Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perdagangan orang itu sendiri adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
15 Ibid, hlm. 20.
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi yang dimaksud adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Sementara itu yang dimaksud sebagai tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang ini adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Dengan kata lain, tindak pidana perdagangan orang ialah segala perbuatan yang dilarang dan diancam pidana dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007.
4. Penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri
Penempatan tenaga kerja merupakan kegiatan mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya, pengertian tersebut sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
Sedangkan perlindungan tenaga kerja adalah suatu upaya untuk memperhatikan keselamatan tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya.
Perlindungan tenaga kerja dapat dilakukan dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,
perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma-norma yang berlaku.16 Adapun norma-norma yang mencakup perlindungan tenaga kerja sebagai berikut17 :
1) Norma Keselamatan, meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaan, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan;
2) Norma kesehatan kerja dan Heigiene kesehatan perusahaan, meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan pemberian obat-obatan, perawtan tenaga kerja yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja, yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit yang timbul akibat bekerja maupun penyakit umum.
3) Norma kerja, meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu kerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, anak, kesusilaan, dan ibadah menurut keyakinan masing-masing.
Perlindungan tenaga kerja sendiri harus diberikan guna mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja sesuai isi undang-undang nomor 13 tahun 2003, perlindungan tenaga kerja sendiri sudah menjadi kewajiban dari pemberi pekerjaan kepada tenaga kerja. Kewajiban pemilik pekerjaan tersebut untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerjanya juga diatur dalam pasal 35 ayat (3) undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang berbunyi “Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan tenaga kerja menjadi tiga macam, yaitu :
16 Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta:Rajawali Pers, 2016), hlm.96.
17 Ibid.
1) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada tenaga kerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;
2) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan tenaga kerja tersebut mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan sebagai anggota keluarga atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.
3) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan tenaga kerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan oleh perusahaan.
Perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.
Jika pada undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan telah memuat peraturan seputar penempatan dan perlindungan tenaga kerja, namun peraturan perundang-undangan ini hanya fokus kepada tenaga kerja yang berada di dalam negeri saja dan belum mengatur tentang tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Hal itu dapat dilihat pada pasal 34 yang berbunyi
“Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang”.
Mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan tenaga kerja Indonesia adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
Sedangkan perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak- haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa antara undang-undangan nomor 13 tahun 2003 dengan undang-undang nomor 39 tahun 2004 tidak jauh berbeda, hanya saja letak perbedaannya ada pada lokasi dimana tenaga kerja berada, jika pada undang-undang nomor 13 tahun 2003 mengatur rinci tentang tenaga kerja di dalam negeri maka undang-undang nomor 39 tahun 2004 mengatur lebih khusus tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri.
Mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri akan dibahas lebih lanjut pada BAB III.
G. Metode Penulisan 1. Spesifikasi penulisan
Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Kegiatan penelitian yang dilakukan penulis adalah kegiatan
penelitian kepustakaan yang mempelajari bahan-bahan hukum sekunder untuk keperluan penulisannya seperti literature, buku-buku, tulisan-tulisan, makalah dan putusan pengadilan.
2. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan normatif. Yang secara deduktif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan, metode pendekatan ini digunakan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu hubungunan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dalam penerapannya dalam praktek. Mengingat penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka data yang digunakan adalah data sekunder.
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah Kota Medan khususnya tempat-tempat yang memiliki fasilitas dan ketersediaan bahan-bahan hukum sekunder untuk studi kepustakaan. Dalam hal ini penulis memilih lokasi penelitian di beberpa tempat seperti perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakan Universitas Sumatera Utara, serta perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
4. Alat pengumpul data
Alat pengumpul data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum sekunder yang dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data yang berupa bahan-bahan pustaka yang terkait dengan penelitian ini.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pokok- pokok permasalahan.18 Jadi penulis melakukan penelitian kepustakaan yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan situs internet yang terkait dengan penelitian ini.
6. Analisis data
Data yang telah dikumpulkan oleh penulis dari studi kepustakaan disusun secara sistematis dan dianalisa dengan menggunakan metode deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan data-data sekunder yang telah diperoleh dari berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
H. Sistematika Penulisan
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masahalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini membahas tentang tindak pidana perdagangan orang menurut undang-undang nomor 21 tahun 2007 mulai dari bentuk-bentuk perdagangan orang dan sanksi pidananya.
18 Joko Suboyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta:Rineka Cipta, 2011), hlm.39
BAB III : Pada bab ini berisi pembahasan mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri berdasarkan undang-undang nomor 39 tahun 2004, yaitu peran pemerintah, hak dan kewajiban TKI, penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan perlindungan tenaga kerja Indonesia.
BAB IV : Bab ini membahas bagaimana penerapan sanksi pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan nomor 31/Pid.Sus/2016/PN Kefamenanu dengan menganalisis kasus tersebut sampai dengan putusan.
BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir sebagai penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian penulis dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
1. Pengertian perdagangan orang menurut PBB
Dalam sidang umum PBB pada tahun 1994, PBB mendefinisikan perdagangan orang sebagai pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan, dan sindikat kejahatan.19 Pada awalnya, PBB dalam hal perdagangan orang ini hanya berfokus pada perempuan dan anak perempuan saja.
Lebih rinci lagi, PBB mengeluarkan protokol pada tahun 2000 untuk menentang kejahatan terorganisasi transnasional. Pada pasal 9 protokol tersebut PBB mendefinisikan perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau
19 Musfidah, Mengapa mereka diperdagangkan (Malang:UIN-MALIKI Press, 2011), hlm. 9
bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktik yang mirip dengan perbudakan, penghambatan, atau pengambilan organ tubuh.20
2. Pengertian perdagangan orang menurut undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
Di Indonesia sendiri perdagangan orang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dimana perdagangan orang pada pasal 1 butir 1 undang-undang ini diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sementara itu tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Adapun unsur-unsur perdagangan orang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel I : Unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang
PERBUATAN DENGAN BERTUJUAN
Prekrutan Ancaman Prostitusi
Pengiriman Pemaksaan Pornografi
Pemindahan Penculikan Kekerasan
Penampungan Penipuan Kerja
Penerimaan Kebohongan Perbudakan/praktikserupa
Penyalahgunaan kekuasaan Pengambilan organ tubuh Sumber : Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
3. Bentuk-bentuk perdagangan orang
Adapun bentuk-bentuk dari dari perdagangan orang dapat dibagi menjadi : 1) Pekerja Migran
Migran/migrasi dapat diartikan sebagai adanya kegiatan perpindahan/berpindahnya penduduk dari suatu daerah ke daerah tujuan.
Sedangkan pekerja migran adalah orang yang berpindah dari tempat asalnya ke tempat tujuan yang baru untuk kemudian bekerja di tempat tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama. Everest S. Lee mengakatan bahwa keputusan sesorang untuk berpindah tersebut merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai kefaedahan antara daerah asal dan daerah tujuan dan disebabkan adanya faktor pendorong dari daerah asal serta faktor penarik dari daerah tujuan.
Pekerja migran dapat dibedakan menjadi pekrja migran dalam negeri dan pekerja migran luar negeri. Pekerja migran luar negeri biasa kita kenal dengan istilah tenaga kerja Indonesia (TKI). Mengingat maraknya perdagangan orang, yang paling rentan menjadi korbannya adalah para pekerja migran luar negeri, hal ini disebabkan karena banyak dari mereka ingin berangkat menjadi tenaga kerja di luar negeri akibat dijanjikan dengan upah-upah besar. Bahkan bukan hanya soal upah, seringkali para pekerja migran luar negeri tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dan tidak sedikit dari mereka yang belum mengetahui syarat-syarat untuk berangkat ke luar negeri sehingga mengenai tata cara pemberangkatan mereka diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang membujuk mereka.
2) Pekerja anak
Anak-anak yang memiliki kondisi fisik sangat lemah membuat mereka tidak berdaya jika diperlakukan apa saja oleh orang yang lebih besar dari mereka.
Kondisi tersebut membuat banyak dari kalangan anak-anak menjadi korban perdagangan orang. Selain itu, kondisi anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi rendah juga berdampak pada eksploitasi dikarenakan anak-anak tersebut rela melakukan pekerjaan apa saja dengan upah kecil untuk mendapatkan uang.
3) Adopsi ilegal
Adopsi atau pengangkatan anak harusnya adalah kegiatan kemanusiaan untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Namun adopsi digunakan sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan, anak-anak yang diinginkan untuk diadopsi akan dinilai dengan sejumlah uang oleh pelaku perdagangan orang.
4) Pengantin pesanan
Pengantin pesanan ini menjadi perdagangan orang apabila terjadi eksploitasi baik secara seksual maupun ekonomi melalui penipuan, penyengsaraan, penahanan dokumen, sehingga tidak dapat melepaskan diri dari eksploitasi, serta ditutupnya akses informasi dan komunikasi.
5) Pengambilan organ tubuh
Hal ini merupakan perlakuan terburuk dari perdagangan orang dikarenakan orang-orang yang dieksploitasi ditujukan untuk diambil organ-organ tubuhnya untuk kemudian dijual guna mendapatkan keuntungan, pengambilan organ tubuh tersebut dapat menghilangkan nyawa orang tersebut.
B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang dan Dampak dari Perdagangan Orang
1. Faktor penyebab terjadinya perdagangan orang a. Faktor ekonomi
Motivasi utama bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi ekonomi. Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang yang dilatar belakangi kemiskinan dan tidak adanya ketersediaan lapangan pekerjaan atau tidak memadainya lapangan pekerjaan dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga memaksa orang-orang untuk berusaha lebih keras lagi untuk mencari pekerjaan walaupun harus ke luar dari daerah asalnya.
Kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas membuat masyrakat harus bermigrasi untuk mencari pekerjaan bahkan hingga ke luar negeri. Namun tidak sedikit dari masyrakat yang bermigrasi untuk mencari pekerjaan tersebut seringkali tidak disertai dengan persiapan yang baik, banyak
dari antara mereka yang pergi tanpa dibekali kemampuan yang mumpuni sehingga membuat mereka menjadi sasaran bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang.
Akan tetapi kemiskinan bukan saja satu-satunya faktor yang menyebabkan mudahnya seseorang menjadi korban perdagangan. Hal tersebut dikarenakan masih banyak lagi warga negara Indonesia yang hidup dalam kemiskinan namun tidak menjadi korban perdagangan orang. Selain faktor ekonomi tersebut, banyak pula orang yang mencari pekerjaan hanya untuk menambah kekayaannya untuk mendukung kehidupan mereka yang bersifat materialis dan konsumeris yang semata-mata dilakukan untuk menampilkan kehidupan mewah.
b. Keterbatasan lapangan pkerjaan
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang.21 29 Dari data tersebut tersirat makna bahwa untuk mendapat pekerjaan merupakan pekerjaan berat. Dibutuhkan tingkat inteligensi tertentu, syarat pendidikan tertentu, keahlian tertentu, pengalaman di bidang tertentu dan hal-hal tertentu lainnya. Bagi mereka yang memiliki kemampuan yang memadai maka bukan hal sulit untuk menemukan pekerjaan, namun banyak orang yang mengalami keterbatasan pendidikan formal dan tidak dibekali dengan ketrampilan yang bernilai ekonomi. Sehingga bagi mereka yang kekurangan kompetensi akan
21 Pramdia Arhando Julianto, Agustus 2017, Jumlah Pengangguran Naik Menjadi 7,04 Juta Orang, Kompas.com, http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/06/153940126/agustus- 2017-jumlah-penganggurannaik-menjadi-704-juta-orang, diakses pada tanggal 4 Maret 2019
berpasrah diri untuk menerima pekerjaan apapun bahkan kerap kali tergiur jika ditawarkan pekerjaan yang dijanjikan bergaji tinggi.
c. Minimnya pengetahuan
Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja, sehingga mereka lebih mudah tertarik oleh iming-iming pelaku untuk bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus. Selain itu karena rendahnya tingkat pendidikan menjadikan seseorang mudah untuk dibohongi oleh pelaku.22
d. Kurangnya penegakan hukum
Masih maraknya praktik korupsi dalam lembaga-lembaga yang terkait dengan ketenagakerjaan seperti pada lembaga imigrasi Indonesia menciptakan jalan mulus bagi pelaku perdagangan orang. Mudahnya mengurus dokumen-dokumen palsu seperti KTP atau kartu keluarga atau dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk penyaluran ketenagajaan. Selain itu pengawasan dari lembaga terkait juga masih sangat kurang. Bahkan dokumen-dokumen tersebut bisa diterbitkan tanpa hadirnya orang yang bersangkutan. Tidak hanya itu, upaya penegakan hukum berupa pengawasan terhadap calo-calo tenaga kerja ilegal juga hampir tidak pernah kita jumpai.
22 Nella Kurnia Anggrahini, Human Trafficking dan Kemiskinan,
https://allennellabercerita.wordpress.com/2016/08/28/human-trafficking-dan-kemiskinan/
diakses pada tanggal 4 Maret 2019 pukul 23:40 WIB
2. Dampak dari perdagangan orang
Perdagangan orang dalam kenyataannya tidak hanya merugikan korbannya saja, akan tetapi dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat lain, seperti:23
a. Mendanai kejahatan terorganisir
Menurut PBB, trafiking merupakan praktik industri kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilka sekitar 9.5 juta USD dalam pajak tahunan.
Perdagangan manusia juga merupakan salah satu industri kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang, perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, dan penyelundupan manusia.
b. Melemahkan potensi sumber daya manusia terutama anak-anak dan perempuan
Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber daya manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak perdagangan manusia mencakup upah yang kecil, resiko terkait dengan kesehatan dan pendidikan bagi perempuan maupun anak- anak yang menjadi penyumbang melemahnya sumber daya manusia. Dampak- dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktivitas dan kekuatan pendapatan di masa mendatang. Misalnya perdagangan anak yang memaksa anak- anak di bawah umur bekerja 10 jam atau bahkan lebih membuat mereka terhalang untuk mendapatkan pendidikan sehingga dapat memperkuat putaran kemiskinan yang akan memperlambat perkembangan kemajuan sebuah bangsa.
23 Y. Ambeg Paramarta, dkk, Kompilasi Laporan Workshop Pedoman Penanganan Korban Perdagangan Orang (Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi
c. Merusak kesehatan masyarakat
Korban perdagangan orang kerap kali mengalami perlakuan tidak wajar sehingga mengkibatkan trauma fisik, seksual, dan psikologis bahkan korban dari perdagangan orang yang menjadi bagian dari eksploitasi seksual sering kali terinfeksi penyakit-penyakit menular akibat dari kegiatan prostitusi tersebut.
Penyakit menular seperti inflammatori pelvi dan HIV/AIDS bukan hanya merugikan para korban itu saja namun dikhawatirkan pula akan merugikan orang lain jika tertular.
C. Ruang Lingkup Pelaku dan Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang
Bila melihat pasal demi pasal dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu :
1) Orang perseorangan, yaitu setiap individu/perorangan yang secara langsung bertindak melakukan perbuatan pidana perdagangan orang.
Secara umum undang-undang tindak pidana perdagangan orang mengatur perbuatan yang dilakukan oleh peroragan seperti pada pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 12 ;
2) Kelompok, yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan tindak pidana perdagangan orang dimana setiap orang memiliki perannya masing-masing untuk tujuan saling membantu demi berhasilnya suatu tindak pidana. Pelaku yang berkelompok tersebut dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang dapat kita lihat pada pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan pasal 16.
3) Korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Setiap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh korporasi, sehingga untuk membedakan hukuman antara pelaku korporasi dengan pelaku lainnya dapat dilihat pada pasal 13, pasal 14, dan pasal 15.
4) Penyelenggara negara, yaitu pegawai negeri atau pejabat pemerintahan yang diberikan wewenang tertentu tetapi melakukan penyalahgunaan kewenangan. Penyelengara negara tersebut dapat dihukum sesai ketentuan yang ada pada pasal 8 undang-undang nomor 21 tahun 2007.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa pada undang-undang nomor 21 tahun 2007 mengenai pelaku tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dengan sangat jelas. Bila dibandingkan dengan peraturan yang ada di KUHP dalam menindak pelaku tindak pidana perdagangan orang, KUHP belum mengenal korporasi sebagai subyek tindak pidananya. Menurut KUHP pada pasal 55 dan pasal 56 pelaku meliputi :24
a) Mereka yang melakukan yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan
b) Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau mertabat dengan kekerasan ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan
c) Mereka sebagai penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan yang diperhitungkan serta akibatnya
d) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan e) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan
2. Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Sebelum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang, penindakan terhadap tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan menafsirkan pasal-pasal pada KUHP yang dianggap paling mendekati untuk menghukum pelaku tindak pidana perdagangan orang.
Sebenarnya di KUHP sendiri sudah ada pasal yang mengatur tindak pidana perdagangan orang secara sempit, yaitu larangan tentang memperniagakan perempuan dan anak laki-laki di yang belum dewasa pada pasal 297 KUHP dan larangan memperniagakan budak belian pada pasal 324, yang dimaksud perdagangan budak belian adalah perdagangan yang barang dagangannya terdiri dari orang-orang yang akan dipergunakan untuk dijadikan budak atau hamba belian.25
Pasal di KUHP tersebut sangat memiliki keterbatasan untuk digunakan dalam menindak pelaku kejahatan perdagangan orang mengingat kejahatan perdagangan orang terus berkembang. Bukan hanya itu, peraturan-peraturan yang ada untuk menindak pelaku perdagangan orang juga memliki banyak kelemahan, diantaranya :26
1) Belum memuat definisi yang jelas tentang perdagangan orang sehingga sangat sulit untuk diterapkan dalam praktik.
2) Belum miliki kepastian terkait sanksi pidana pelaku kejahatan perdagangan orang.
25 KUHP terjemahan R. Soesilo, 1995, hlm. 233
26 Mufidah op.cit. hlm. 43
3) Masih mengasumsikan pelaku kejahatan perdagangan orang sebagai pelaku perseorangan dan kelompok yang tidak terorganisir, padahal kejahatan ini dilakukan oleh kelompok yang terorganisir seperti jaringan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia.
4) Peraturan yang ada belum mengatur tentang pemberian kompensasi terhadap korban.
5) Kejahatan perdagangan orang masih dianggap sebagai sebuah hal yang biasa
6) Belum adanya perlindungan bagi saksi dan korban.
7) Belum ada pengwasan yang dilakukan oleh negara terhadap penanganan kasus-kasus perdagangan orang.
Oleh karena itu pemerintah membuat peraturan perundang-undangan yang khusus untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang yaitu undan-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Sejak diberlakukannya undang-undang nomor 21 tahun 2007 dalam menghukum pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak lagi menggunakan pasal-pasal pada KUHP dan pasal 297 serta pasal 324 KUHP juga dinyatakan tidak berlaku lagi.27
Adapun sanksi tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel II . Tindak Pidana Perdagangan Orang Dan Sanksinya Pasal Tindak Pidana Pidana Penjara Pidana
Denda
Pidana Tambahan Minimal Maksimal
9 Percobaan
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
1 tahun 6 tahun Rp. 40 – 240
juta 2 Perdagangan orang di
wilayah Indonesia
3 T A H U N
15 T A H U N
Rp 120
s/d 600
J U T A 3 Memperdagangkan
orang asing ke dalam negeri
4 Memperdagangnkan WNI ke luar negeri 5 Perdagangan anak
melalui adopsi
6 Perdagangan anak ke dalam maupun luar negeri
10 Membantu atau melakukan percobaan 11 Merencanakan atau
melakukan
permufakatan jahat 12 Eksploitasi
seksual/prostitusi 7 (1) Perdagangan orang
berakibat luka fisik
maupun psikis 4
T A H U N
20 T A H U N
Rp 160
s/d 800
J U T A 8 Dilakukan oleh
penyelenggara negara
Pemberhentian tidak hormat 16 Dilakukan oleh
kelompok terorganisir 17 Dilakukan oleh kelompok terorganisir terhadap anak
7 (2) Perdagangan orang mengakibatkan kematian
5 tahun Seumur hidup
Rp 200 juta s/d 5 miliar Sumber : Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
Untuk tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh koorporasi diatur dalam pasal 15 undang-undang nomor 21 tahun 2007, dipidana penjara paling 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 terhadap pengurus koorporasi.
Sementara itu untuk koorporasinya sendiri dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 360.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.800.000.000,00 serta dapat diberikan pidana tambahan berupa :
a. Pencabutan ijin usaha;
b. Perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. Pencabutan status badan hukum;
d. Pemecatan pengurus;
e. Pelarang kepada pengurus untuk mendirikan koorporasi dalam bidang usaha yang sama.
BAB III
PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
A. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Menurut Peraturan Yang Berlaku di Indonesia
1. Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
Ketenagakerjaan pada awalnya diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, akan tetapi dalam undang-undang ini tenaga kerja masih diatur secara umum dan hanya mengatur mengenai penempatan tenaga kerja dalam wilayah negara Indonesia. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 sebenarnya sudah mengenal penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagaimana maksud dari isi pasal 33 undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang membagi penempatan tenaga kerja menjadi penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Akan tetapi undang-undang tersebut memberi mandat kepada peraturan perundang-undangan lain untuk mengatur tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pemberian mandat dari undang-undang nomor 13 tahun 2003 tersebut dapat kita lihat pada pasal 34 yang berbunyi “ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang”.
Ketentuan pasal 33 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tersebutlah yang kemudian menjadi awal terbentuknya peraturan perundang-undangan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, yaitu undang-undang nomor 39
tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
Sebagai bukti bahwa undang-undang nomor 39 tahun 2004 ini lahir oleh karena ketentuan undang-undang nomor 13 tahun 2003 dapat kita lihat pada pembukaan undang-undang nomor 39 tahun 2004 yakni pada bagian konsiderans huruf h yang isinya adalah “bahwa dalam undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang”.
Dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 pelaksanaan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dibagi menjadi pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah dan pelaksanaan penempatan TKI swasta. Penempatan TKI oleh pemerintah hanya dapat dilakuan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negera tujuan. Sementara itu, untuk mengatur mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah diserahkan oleh undang-undang ini kepada Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan pasal 11 undang-undang nomor 39 tahun 2004.
Pelaksana penempatan TKI oleh pihak swasta harus berupa perusahaan yang berbadan hukum dan wajib memiliki izin tertulis berupa surat izin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (SIPPTKI) yang diperoleh dari menteri. Surat izin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia yang dimiliki pelaksana