• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA)"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA)

TESIS

OLEH

JHONY BINSAR HALOMOAN SITOHANG NIM: 157047002

PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi dalam Program Studi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

OLEH

JHONY BINSAR HALOMOAN SITOHANG NIM: 157047002

PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua :Prof. Dr. Badaruddin, M.Si Anggota : Hendri Sitorus, PhD

Prof. Rizabuana, M.Phill, PhD Dra. Ria Manurung, M.Si

(5)

PERNYATAAN Judul tesis

REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA)

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disususn sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Studi Magister Sosiologi Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun kutipan-kutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagaian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian- bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, April 2019

Penulis,

Jhony Binsar Halomoan Sitohang

(6)

REVITALISASI MODAL SOSIAL PASCA BENCANA (STUDI KASUS DI RELOKASI SIOSAR KABUPATEN KARO

PROVINSI SUMATERA UTARA) ABSTRAK

Revitalisasi modal sosial merupakan alat/cara untuk mempererat silahturahmi antar keluarga dan melibatankan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan. program pemulihan bencana sinabung yang dilakukan oleh pemerintah dan non pemerintah mempunyai kontribusi penting dalam aspek sosial korban sinabung. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Sektor pertanian masih menjadi andalan mata pencaharian bagi masyarakat kawasan relokasi siosar. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, hubungan kekerabatan antar masyarakat masih harus terus di jalin.

Peneliti peneliti ingin melihat revitalisasi modal sosial pasca bencana (studi kasus bencana Sinabung di relokasi) Kabupaten Karo, Sumatera Utara merupakan penemuan makna dari asumsi peneliti dengan pendekatan metode kualitatif.Teknik pengambilan data menggunakan metode wawancara dan observasi partisipan terhadap Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah kepala desa, tokoh masyarakat, perwakilan perempuan, perwakilan pemuda, dan instansi pemerintah (BPBD), Dinas Sosial, Dinas Koperasi, Kepala Pendamping Nasional BNPB, Pekerja Sosial, LSM, Ornop, dan Masyarakat di Sekitar Siosar, Kabupaten Karo, Sumatera Utara sebagai data primer, sedangkan data sekunder adalah kuesioner dan dokumen-dokumen yang berkaitan. Peneliti juga menggunakan analisis data dengan menggunakan mixed metode dengan desain explanatory mixed.

Pembangunan yang tanggap dan tangguh bencana juga harus merupakan pembangunan yang didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pengentasan kemiskinan,.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum optimalnya peran pemangku kepentingan baik dari pemimpin lokal, tokoh dan masyarakat yang berada di kawasan relokasi Siosar menjadi salah satu kendala dalam menjadi modal sosial.

Kata Kunci: Peran, Pemangku Kepentingan, Revitalisasi, Modal sosial

(7)

REVITALIZATION OF SOCIAL CAPITAL IN THE POST-DISASTER (A CASE STUDY AT THE SIOSAR RELOCATION, KARO REGENGY,

NORTH SUMATERA PROVINCE) ABSTRACT

Social capital revitalization is the way to enter into ties of friendship among families and to involve people in sustainable development of Sinabung disaster recovery program done by the government and non- government organizations that have important contribution in the social aspect to Sinabung victims. Rehabilitation is done through the activities of environmental improvement in disaster area, facility and public utility improvement, aid for people’s housing improvement, socio-psychological recovery, health service, conflict reconciliation and resolution, social, economic, and cultural recovery, security and order recovery, governmental function recovery, and recovery of public service function. Agricultural sector still becomes the priority for people’s livelihood at Siosar Relocation.

Based on the result of field observation, it was recommended that kinship relationship among communities be established.

The objective of the research was to find out the revitalization of social capital in the post-disaster (a case study on Sinabung disaster at the relocation area), Karo Regency, North Sumatera, as the finding of the research’s assumption, using qualitative approach. The data were gathered by conducting interviews and observation. The key informants were the village head, public figures, woman representatives, youth representatives, government agency (BPBD), Agency of Social Affairs, Cooperative Agency, Head of National Accompaniment of BNPB, social workers, LSM (Non- Government Organizations), Ornop, and the people at Siosar, Karo Regency, as primary data. Secondary data were questionnaires and related documents and analyzed by using mixed method with explanatory mixed design.

Development which is disaster response and mitigation should be the development which is based on sustainable development principle and poverty extrication. The result of the research showed that the role of stakeholders as local leader, public figures, and communities in the area of Siosar Relocation area was not optimal so that it becomes the obstacle in the social capital.

Keywords: Role, Stakeholders, Revitalization, Social Capital

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sampai saat ini saya masih diberikan kesehatan dan keselamatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Bencana adalah perjumpaan antara kerentanan sosial ekonomi suatu masyarakat dan kekuatan destruktif dari lingkungan alamiah, modifikasi, ataupun buatan yang menghasilkan gangguan pada pemenuhan kebutuhan invididual dan sosial.Kunci bagi analisis sosiologi bencana adalah bagaimana pencarian relasi antara peristiwa tersebut dengan struktur dan proses sosial dalam masyarakat. Pengelolaan bencana seharusnya tidak diatasi dengan pendekatan fisik yang bersifat sesaat saja, tetapi dilakukan juga sesuai dengan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat lokal yang rawan dan terkena dampak bencana yang dilakukan secara berkelanjutan

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr.

Badaruddin, M.Si sebagai Dosen pembimbing Utama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Henri Sitorus, PhD selaku Pembimbing Kedua Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Bapak sebagai Pembimbing Kedua yang telah banyak membantu dan berperan dalam proses penyusunan proposal, penelitian, dan sampai pada tahap analisis data, sehingga menjadi sebuah karya ilmiah. Penulis menyadari bahwa kontribusi pemikiran ilmu bapak telah mengajarin penulis banyak hal tentang budaya kampus, terutama

(9)

dalam proses membimbing mahasiswa. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dan berkontribusi dalam penulisan tesis ini yaitu Prof. Rizabuana, M.Phil.,PhD selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai penguji yang telah membimbing dan memberi masukan selama penulisan dan Bapak Henry M.Si sebagai sekretaris Program Studi Magister Sosiologi.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap staf, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penghargaan yang setinggi-tingginya peneliti haturkan kepada kawan-kawan angkatan awal pada Program Studi Magister Sosiologi yaitu:

Netty Rothesia br Siringoringo, Johannes Tampubolon, Austin Taehyun Chae. Kawan-kawan yang kebersamaan ketika di ruang kelas yaitu: Selamat Sinaga, Nurbadaria br Tampubolon, Elida Usni, Mardiana, Jimmy Saputra, Muhammad Reza Ardillah, Feriel Amelia br Sembiring, Harisan Boni Nainggolan, Ahmad Razali, Marsaulina Nasution, Lilis Suryanti, Syafrizal, Rizki Yunanda, Donald Tagino Tua Hutagaol, Mhd Ricky Ardiansyah Putra, Septy Denso br Damanik, Sahran Saputra, Jenny Ester br Pandiangan.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman Lembaga Kajian Sosiologi (LKS), terutama Efentinus Ndruru, Puteri Atikah, Desti, Muh. Iqbal, Rholand,dan Lilis Desti Ariani, Rholand,yang telah memberikan semangat dan masukan dalam ruang diskusi ilmiah.

(10)

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman Community Development(CD) Toba Pulp Lestari yaitu Kak Ramida.F Br Siringoringo, Kak Meriah Tinambunan, Rosmelina Br Sinaga, Yessi br Pangabean, Melva br Sirait, Puji Lestari br Sitorus, Zultia safitri, Mangasi Sinaga, Thasya br Sirait, Suarno Simatupang yang telah mendoakan dan mendorong penulis supaya secepat mungkin menyelesaikan tesis dengan hasil yang memuaskan.

Penulis juga menghargai jerih payah kedua Almarhum orangtua penulis (+) St.Marulak Tiur Sitohang dan (+) Essy Br Sipayung yang selalu menjadi memberikan semangat dan motivasi kepada saya. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada keluarga Besar Sitohang dan keluarga Besar Siregar yang telah banyak memberikan dukungan doa yang telah mendoakan dan sekaligus dorongan bagi penulis untuk secepat mungkin merampungkan penulisan tesis ini.

Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Keluarga Kecil Penulis Theresa Burju Agustina Br Siregar dan Jesaya Martissy Sitohang yang selalu menjadi penyemangat dan motivator penulis yang setiap saat mendoakan, dan mendukung perjuangan penulis menyelesaikan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Sumatera Utara-Medan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kang Jangkung dan keluarga serta seluruh masyarakat siosar yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Penulis juga tidak luput dari kesalahan baik dalam pemberian informasi maupun sistematika penulisan. Penulis juga berharap

(11)

adanya kritikan ataupun berbagi ilmu selain sebagai rujukan dari ilmu-ilmu lainnya. Terima Kasih dan HORAS.

Medan, April 2019

Penulis,

Jhony Binsar Halomoan Sitohang

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian... 10

1.4.1. Secara Teoritis ... 10

1.4.2. Secara Praktis ... 10

BABII KAJIAN PUSTAKA 2.1.Penelitian Terdahulu ... 11

2.2.Kerangka Konsep ... 16

2.2.1 Pengertian Bencana ... 16

2.2.2.Tujuan Penanggulangan Bencana ... 17

2.3.Konsep Desrupsi ... 19

2.4.Kerangka Teori Modal Sosial ... 21

2.5.Revitalisasi Modal Sosial ... 23

2.6.Kerangka Konsep Kerangka Pemikiran ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 28

3.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan ... 29

3.3. Metode Kualitatif ... 30

3.3.1. Informan Penelitian ... 30

(13)

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.3.3. Teknik Validasi Data ... 33

3.3.4. Teknik Analisis Data ... 34

3.4. Metode Kuantitatif... 34

3.4.1.Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 34

3.4.1.1 Populasi ... 34

3.4.1.2 Teknik Penarikan Sampel ... 35

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.6. Teknik Analisis Data ... 37

3.6.1. Analisis Deskriptif ... 38

3.6.2. Persentase komponen Indikator Variabel ... 39

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Riwayat Letusan Sinabung ... 40

4.2. Kondisi Umum Kabupaten Karo... 43

4.3. Kondisi Umum Siosar ... 44

4.3.1. Sejarah Singkat Kawasan Siosar ... 44

4.3.2. Kondisi Lahan ... 45

BAB V MODAL SOSIAL MENGALAMI DESRUSPSI 5.1. Desrupsi Modal Sosial di Pengungsian ... 49

5.1.1 Desrupsi Trust (Saling Percaya) ... 50

5.1.2. Desrupsi Nilai dan Norma ... 52

5.1.3. Desrupsi Jaringan ... 54

5.2. Kondisi di Relokasi Siosar ... 55

5.2.1 Kriteria Permukiman Baru Menurut Masyarakat ... 56

5.3. Kondisi Lokasi Tujuan Relokasi Permukiman ... 57

5.3.1. Kondisi Fisik ... 57

5.3.2. Kondisi Ekonomi ... 62

5.3.3. Kondisi Sosial ... 63

5.3.4. Kondisi Budaya Karo ... 63

(14)

BAB VI PROGRAM REHABILITAS OLEH PEMERINTAH DAN NON PEMERINTAH DI SIOSAR

6.1. Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana

Gunung Sinabung ... 66

6.1.1. Relokasi ... 67

6.2. Peran Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana Gunung Sinabung ... 71

6.2.1. United Nations Development Programme (UNDP) ... 72

6.2.2. Food and Agriculture Organization (FAO) ... 74

6.2.2.1. Bidang Pertanian ... 75

6.2.2.2. Bidang Peternakan ... 77

6.2.3. International Labour Organization (ILO) ... 79

6.2.3.1. Menjahit ... 80

6.2.3.2. Pengolahan makanan ringan ... 81

6.2.3.3. Perbengkelan ... 83

6.2.3.4. Koperasi ... 84

6.3. Bencana dan Modal Sosial di Relokasi Siosar ... 86

6.3.1. Kepercayaan ... 87

6.3.1. Norma Sosial ... 95

6.3.3. Partisipasi ... 98

6.3.4. Partisipasi Dalam Pembuatan Keputusan ... 106

6.3.5. Jaringan Sosial ... 107

BAB VII MEMBANGUN KEMBALI MODAL SOSIAL DI SIOSAR 7.1. Revitalisasi Modal Sosial di Siosar ... 115

7.2. Pengaruh Bencana Gunung Sinabung Terhadap Modal Modal Sosial di Siosar ... 116

7.3. Penguatan Dalam Kelembagaan ... 121

7.3.1. Jambur ... 122

7.3.2. Kelompok Tani ... 123

(15)

7.3.3. Kelompok Perempuan ... 125

7.4. Mengembangkan Mata Pencaharian ...126

7.4.1. Koperasi ... 126

7.4.2. Kondisi pada usaha kecil ... 131

7.5. Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan Bencana ... 135

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan ... 140

8.2. Implikasi Teoritis... 141

8.3. Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 144 LAMPIRAN

Panduan Wawancara Panduan Observasi Daftar Informan

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Komposisi Jumlah Kepala Keluarga ... 34

Tabel 3.2 Rumus Mencari Sampel Pada Populasi Penelitian ... 36

Tabel 3.3 Komposisi Jumlah Sampel Penelitian ... 36

Tabel 3.4 Interprestasi Persentase Skor ... 39

Tabel 5 Disrupsi Modal Sosial Pada Masyarakat di Relokasi Siosar .. 64

Tabel 6.1 Kepercayaan Terhadap Sesama Masyarakat ... 88

Tabel 6.2 Kepercayaan Terhadap Pemerintah ... 89

Tabel 6.3 Dukungan Dari Pemerintah ... 91

Tabel 6.4 Pemberian Dukungan ... 91

Tabel 6.5 Kondisi Saling Percaya ... 94

Tabel 6.6 Taat pada peraturan ... 96

Tabel 6.7 Pihak-pihak yang harus mentaati peraturan penanganan bencana ... 97

Tabel 6.8 Menghadiri Pertemuan ... 101

Tabel 6.9 Kehadiran Dalam Kegiatan ... 102

Tabel 6.10 Kearifan Memberikan Ide ... 103

Tabel 6.11 Musyawarah Menyelesaikan Masalah ... 105

Tabel 6.12 Perlu Bergabung Dalam Kelompok ... 109

Tabel 6.13 Kerjasama Antara Kelompok ... 110

Tabel 6.14 Kerjasama Dengan Pihak Lain ... 111

Tabel 6.15 Kerjasama Untuk Penguatan dan Pemberdayaan ... 113

Tabel 6.16 Program rehabilitasi di Siosar ... 114

Tabel 7.1 Kondisi Kerentanan Sosial ... 118

Tabel 7.2 Norma... 118

Tabel 7.3 Saling percaya (Trust) ... 119

Tabel 7.4 Partisipasi ... 120

Tabel 7.5 Jaringan ... 121

Tabel 7.6.Pengetahuan Pengelolaan Keuangan Keluarga ... 129

Tabel 7.7 Setiap KeluargaMemiliki Usaha Sampingan ... 132

Tabel 7.8 Penghasilan Meningkat ... 134

(17)

Tabel 7.10 Pengetahuan Kebencanaan dan Strategi Merespon ... 137 Tabel 7.11 Membangun Kembali Modal Sosial ... 139 Tabel 8.1.Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi masyarakat

di relokasi Siosar ... 134 Tabel 8.2.Program rehabilitasi di Siosar ... 135 Tabel 8.3.Membangun kembali modal sosial ... 140

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Gunung Sinabung ... 8

Gambar 4.1 Peta Daerah Rawan Bencana Gunung Sinabung... 42

Gambar 4.2 Lokasi Siosar Lereng Gunung Sinabung ... 46

Gambar 4.3 Dampak Erupsi Sinabung ... 47

Gambar 4.4 Petani Sedang Mengerjakan Lahan Petani Sekitar Gunung Sinabung ... 48

Gambar 5. Rumah bantuan kepada masyarakat siosar tipe 36 ... 59

Gambar 6.1.Demplot Pertanian Organik ... 76

Gambar 6.2.Lahan Pertanian Sekitar Sinabung ... 77

Gambar 6.3.Kandang Ternak Kambing Bantuan FAO ... 77

Gambar 6.4.Kandang Ternak Lembu Bantuan FAO ... 79

Gambar 6.5. Ibu Yuni Hasil keterampilan menjahit ... 81

Gambar 6.6. Ibu Risnawati Sedang mengikuti Pelatihan dari Tim ILO ... 82

Gambar 6.7 Hasil Pelatihan dari Tim ILO ... 83

Gambar 6.8.Perbengkelan Hasil Pelatihan ILO ... 84

Gambar 6.9.Koperasi Bekerah Siosar Sinabung ... 85

Gambar 7. Jambur di Siosar ... 123

(19)

BAGAN

Halaman Bagan 2.1 KerangkaBerpikir ... 27

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di Samudera Pasifik terkenal dengan wilayah cincin api (ring of fire), memiliki potensi bencana yang perlu diantisipasi oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dahulu bencana gunung berapi sudah ada di Indonesia yaitu Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gunung Kelud di Jawa Timur yang sekarang juga masih aktif, begitu juga dengan Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Tanah Karo Sumatera Utara. Menurut Novenanto (2015:162), bencana adalah perjumpaan antara kerentanan sosial ekonomi suatu masyarakat dan kekuatan destruktif dari lingkungan alamiah, modifikasi, ataupun buatan yang menghasilkan gangguan pada pemenuhan kebutuhan invididual dan sosial.

Pada Agustus 2010 telah terjadi erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Akibat bencana tersebut berdampak pada kondisi fisik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Bencana ini memaksa masyarakat harus mengungsi ke tempat yang lebih aman, baik itu ke rumah sanak keluarga atau ke posko pengungsian yang disediakan pemerintah. Posko pengungsian ini disebar di Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Tigabinanga, Kecamatan Simpang Empat hingga sampai ke Kabupaten Langkat.

Berbagai kerusakan yang terjadi akibat erupsi Gunung Sinabung yaitu fasilitas pelayanan kesehatan dan sarana prasarana, fasilitas pendidikan yang rusak akibat menahan tebalnya abu vulkanik. Berbagai pihak dan pemangku

(21)

kepentingan serta relawan dari berbagai elemen terlibat dalam menangani erupsi Gunung Sinabung seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Tim Pencari dan Penyelamat/Search and Rescue (SAR), Pecinta Alam, Perguruan Tinggi dan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) bekerja secara sporadis dan sendiri-sendiri.

Manajemen penanganan pasca bencana yang selama ini dilakukan, dalam prakteknya tidak dilaksanakan secara utuh yakni hanya memulihkan secara fisik saja, belum memulihkan aspek sosial dan mental masyarakat korban bencana.

Akibat belum dipulihkannya aspek sosial dan mental masyarakat korban bencana menjadikan mereka tidak memiliki ketahanan terhadap bencana. Masyarakat terkesan lamban dalam memulihkan dirinya sendiri, dan semakin rentan jika ancaman bencana berulang terjadi. Masyarakat korban hanya mengandalkan bantuan dan recovery dari pemerintah dan pihak-pihak lain tanpa ada daya untuk memulihkan dirinya sendiri. Penanganan pasca bencana menjadi kasus krusial terhadap siapa yang paling bertanggungjawab menjadi penyebab bencana tersebut.

Ironisnya, yang kerap disalahkan justru masyarakat yang tertimpa bencana tersebut.

Masalah yang mendesak dan merupakan masalah yang nyata di lapangan adalah bagaimana pemulihan masyarakat korban bencana harus dilakukan dengan cepat. Oleh sebab itu masyarakat harus mampu beradaptasi dan memperlakukan lingkungan secara bijaksana. Diperlukan suatu strategi adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur daya tahan (resiliance) terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Dalam penanganan korban bencana dari sisi kemanusiaannya yakni keseimbangan antara fisik, sosial dan

(22)

mental masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan : Pertama, pendekatan berupa pendampingan pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap masyarakat korban bencana alam pasca bencana. Kedua, rencana dan pelaksanaan tahap-tahap pemberdayaan kembali masyarakat korban bencana. Ketiga, keterjalinan komunikasi yang lancar antara Pemerintah dengan masyarakat korban bencana agar tidak menimbulkan prasangka terhadap upaya recovery dan mitigation yang dilakukan pemerintah.

Penelitian Ketut (2015:6), modal sosial merupakan cara untuk melakukan kerjasama dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam kesiapsiagaan bencana modal sosial dapat memberikan masyarakat manfaat dan kebijakan, kepercayaan, nilai-nilai, dan jaringan untuk saling menguatkan masyarakat dalam kondisi siaga darurat. Hal ini dapat dari tiga aspek yaitu kepercayaan, norma dan jaringan. Aspek yang paling dominan dari ketiga aspek tersebut adalah modal sosial kepercayaan, dimana kepercayaan masyarakat sangatlah kuat terbukti masyarakat saling mempercayai mengenai informasi tentang bencana.

Pada modal sosial kepercayaan juga mempengaruhi dalam kesiapsiagaan.

Ada lima aspek kesiapsiagaan yaitu tentang modal modal sosial dalam pengetahuan bencana, modal sosial dalam kebijakan kesiapsiagaan bencana ditingkat komunitas, modal sosial rencana tanggap darurat, modal sosial dalam peringatan dini dan modal sosial dalam mobilisasi sumber daya manusia. Modal sosial meliputi lembaga, pranata, pola hubungan, sikap dan nilai dalam sebuah masyarakat. Modal sosial juga yang mengatur interaksi antar manusia yang berpengaruh pada berfungsinya dan pada perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

(23)

Menurut Iqbal (1979:111), setiap kejadian yang terjadi memiliki keyakinan yang kuat untuk mampu mengontrol dan mengendalikan suatu perubahan dalam dirinya. Pada setiap masyarakat yang mengalami bencana alam akan memiliki hikmah. Bencana juga memberikan pembelajaran untuk menjadi lebih baik, dan tampak giat kembali bekerja untuk menghidupi kebutuhan keluarga.

Peristiwa bencana alam tentu membawa berbagai perubahan dalam masyarakat, maka dibutuhkan revitalisasi sebagai modal sosial. Hal inilah yang dikemukakan oleh Windiani (2013:134), revitalisasi modal sosial sangat dibutuhkan yang serius dari semua pihak khususnya para pemangku kepentingan baik itu pemerintah setempat, tokoh masyarakat, komunitas pemuda maupun masyarakat. Revitalisasi modal sosial juga mampu memberikan dukungan lingkungan yang semakin sehat dan bersih sekaligus mendatangkan keuntungan (ekonomi) bagi warga setempat. Dengan demikian akan muncul kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Menurut Pahrudin (2011:7), berbagai macam bencana alam yang terjadi mengakibatkan kerusakana alam. Para pendahulu telah mewariskan beragam kearifan lokal yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan alam dengan beragam sumber daya di dalamnya. Merevitalisasi beragam kearifan lokal yang ada dalam masyarakat semestinya gencar dilakukan agar aneka ragam bencana alam dapat diantisipasi atau paling tidak diminimalisasi. Upaya yang dilakukan untuk pelestarian alam dalam bingkai revitalisasi kearifan lokal sehingga beragam bencana alam paling tidak dapat dikurangi tentu tidak cukup hanya dilakukan oleh sekelompok orang. Saat ini

(24)

yang sangat diperlukan adalah kesadaran kolektif segenap komponen masyarakat untuk melestarikan alam melalui revitalisasi kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing komunitas.

Menurut Melissa (2016:290), upaya membangun kembali modal sosial ini dapat dimulai dari masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai solidaritas serta berani memperjuangkan kepentingannya. Melisa (234-245) membagikan langkah enam modal sosial untuk mewujudkan optimisme di atas setidaknya ada 6 hal yang dapat kita lakukan.

Pertama, meletakkan masyarakat sebagai motor pembangunan dengan modal yang mereka miliki (kepercayaan, kebersamaan, kepemimpinan, jaringan sosial). Tujuannya adalah untuk membuka partisipasi dan keiikutsertaan masyarakat secara langsung dalam pembangunan.

Kedua, penggalian kembali potensi dan sumber daya yang ada di desa, baik yang belum maksimal maupun potensi yang belum tergali sama sekali.

Penggalian ini meliputi 2 hal yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Ketiga, melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap pembanguan yang ada di sekitar mereka. Ini sangat diperlukan karena masyarakat sebagai sumber informasi sekaligus pelaksana pembangunan itu sendiri.

Keempat, adanya interaksi sosial yang membawa mekanisme ekonomi pembangunan dalam masyarakat. Karena itu tidaklah mengherankan jika modal sosial seringkali diidentikkan dengan pembangunan ekonomi. Walaupun sebenarnya pembangunan ekonomi hanya salah satu bagian dari modal sosial.

(25)

Kelima, menghidupkan dan membangun kembali hubungan sosial di desa.

Dengan kembalinya hubungan sosial yang ada di desa akan membawa dampak vertikal bagi anggotanya, yaitu hubungan yang bersifat hierarki dan kekuasaan yang mutlak bagi anggota.

Keenam, membangun jaringan bersama antara masyarakat sebagai tempat berdiskusi, tukar pengalaman dan pengetahuan. Ini dapat dilakukan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat ditawarkan pendekatan melalui struktur atau lembaga mediasi. Tujuannya adalah agar tercipta kembali demokrasi sosial di desa. Jika ditinjau secara administratif, pembangunan wacana demokrasi melalui revitalisasi modal sosial yang dimulai di tingkat desa karena beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, desa sebagai asosiasi institusi lokal yang paling banyak ditemukan, seperti arisan, lumbung paceklik desa, selapanan dan lain-lain.

Kedua, lingkup desa yang tidak begitu luas, memudahkan untuk mengontrol jaringan yang dibangun pada level dibawahnya, seperti Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan dusun. Ketiga, memfungsikan komunitas lokal, badan pemberdayaan desa (BPD) ataupun lembaga lain yang berfungsi sebagai tempat artikulasi kepentingan massa. Diharapkan nantinya kesepakatan-kesepakatan yang disepakati oleh institusi lokal dapat langsung ditampung melalui lembaga- lembaga sosial ataupun badan pemberdayaan desa (BPD) dan dikomunikan dengan pembuat kebijakan. Keempat, desa sebagai basis intermediary (penghubung antara masyarakat dengan pemerintah) untuk mengembangkan potensi lokal serta mempengaruhi pembuat kebijakan diatasnya.

(26)

Menurut Bourdie (2006); modal tidak hanya sekedar memiliki pengertian dalam bentuk materiil, melainkan dapat dikategorikan, yaitu (a) modal ekonomi (economic capital) menyangkut berbagai keterbatasan yang memerlukan pengelolaan dalam mendapatkan maksimalisasi manfaat dan ketepatan penggunaan. (b) modal kultural (cultural capital) sebagai kesepakatankesepakatan dalam pergaulan dan interaksi sosial seperti; kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan bersama. (c) modal sosial (social capital) yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan kehidupan dalam masyarakat ataupun organisasi.

Ada empat komponen utama modal sosial yang dapat memperkuat dalam menghadapi kebencanaan yaitu; pertama, optimalisasi kemampuan membangun kembali semangat resiprokal, yaitu semangat kebersamaan untuk saling memberi dan membantu. Kecenderungan saat ini, daya resiprokal tersebut semakin lemah, dipengaruhi adanya kelompok kepentingan yang dilakukan yaitu setiap ada kebencanaan dijadikan sebagai obyek wisata. Pengembangan tersebut tidak menjadi persoalan sepanjang tidak mengganggu aktivitas kedaruratan dan membantu dalam penanggulangan kebencanaan yang sedang terjadi. Kedua, bagaimana membangun kembali trust. Kenyataan saat ini, rasa saling mempercayai (trust) antar kelompok masyarakat maupun antar instansi semakin tipis dalam menyikapi adanya kebencanaan. Ketiga, bagaimana kita mampu menghidupkan kembali jaringan sosial yang menjembatani (bridging) untuk mensubstitusi jaringan sosial yang tertutup (bonded). Sedangkan pengertian bondedsocial capital, yaitu masyarakat yang hidup dalam rekatan primordial dan kelompok yang sempit. Sementara yang diharapkan dapat memperkuat dan

(27)

memperkokoh bridging sosial capital, yaitu suatu bentuk kekohesifan sosial kelompok yang bersimbiosis dengan dimensi eksternal secara positif, yang mendukung karakter amanah, terbuka dan altruistis. Keempat, berupaya membangun kembali semangat toleransi dan semangat kemanusiaan dengan lebih kuat. Memobilisasi modal sosial bangsa sebagai tanggung jawab semua pihak, terutama organisasi-organisasi berbasis keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan tentu saja pemerintah sebagai fasilitatornya. Determinasi fungsi berbagai komponen-komponen modal sosial, idealnya dapat tumbuh di tengah masyarakat yang terkena bencana.

Lokasi penelitian ini berada di Hutan Siosar yang sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi. Kawasan Siosar ini terhindar dari asap dan abu vulkanik Gunung Sinabung. Lokasi ini sangat baik untuk permukiman relokasi masyarakat Gunung Sinabung. Relokasi ini berada di kawasan memiliki luas 458,8 hektare dengan jarak sekitar 17 km dari kota Kabanjahe di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 1.Peta Gunung Sinabung

Pemukiman relokasi Siosar

(28)

Perbedaan penelitian saya dari beberapa penelitian terdahulu yaitu peneliti ingin melihat revitalisasi modal sosial pasca bencana (studi kasus bencana Sinabung) Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah penelitian mixed metod, dimana pendekatan kuantitatif merupakan data pendukung dan pendekatan kualitatif merupakan data utama.

1.2. Rumusan Masalah

Pada bencana alam di Gunung Sinabung terdapat tiga persoalan dari latar belakang masalah yang itu menjadi sasaran peneliti, yaitu:

1. Bagaimana modal sosial mengalami desrupsi pasca erupsi Gunung Sinabung pada masyarakat Siosar?

2. Bagaimana program rehabilitasi yang dilakukan pemerintah dan lembaga non pemerintah membangun kembali modal sosial pada masyarakat Siosar?

3. Bagaimana masyarakat di relokasi bencana membangun kembali modal sosial mereka?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi-kondisi apa yang mempengaruhi disrupsi modal sosial pada masyarakat Siosar pasca bencana.

2. Untuk mengetahui program-program rehabilitasi apa saja untuk membangun kembali modal sosial

3. Untuk mengetahui strategi masyarakat dalam membangun kembali modal sosial.

(29)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara Teoritis

Penelitian ini akan menambah kajian ilmu sosiologi dan menjadi rujukan ilmiah atau wawasan pengetahuan dan pemikiran dalam pengembangan ilmu sosiologi khususnya dalam pengembangan cara/model sosialisasi terhadap bencana alam.

1.4.2. Secara Praktis

Studi revitalisasi modal sosial pasca bencana di relokasi Siosar sudah tentu merupakan analisa kondisi-kondisi yang terjadi pada saat pasca bencana Gunung Sinabung. Penelitian ini diharapkan dapat mengugah para ahli ilmu sosial indonesia untuk melakukan studi serupa secara seksama di tempat lain. Penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran dan pengetahuan untuk daerah rawan bencana alam yang berbasis masyarakat lokal dalam masyarakat Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan teori dan kerangka konsep yang digunakan berdasarkan literatur yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah. Penelitian terdahulu mendukung penelitian ini sebagai usaha untuk menambah pengetahuan.

2.1. Penelitian Terdahulu

Pramono (2008) mengatakan bahwa, modal sosial menjadi satu unsur pokok dalam kajian tentang bencana alam. Konsep penanganan bencana yang mulai melibatkan masyarakat sebagai subjek dalam mengurangi resiko bencana.

Peran masyarakat dalam menangani bencana menjadi suatu model penanggulangan yang diutamakan. Berbagai potensi yang ada seperti social capital, human capital, financial capital, natural capital dan physical capital menjadi suatu alternatif model. Sementara Fadli (2010), modal sosial merupakan faktor yang penting mendorong percepatan pembangunan disamping modal manusia, modal fisik dan modal ekonomi. Modal sosial juga mempunyai pengaruhi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pasca bencana.

Amawidyati dan Utami (2007:4) bahwa juga mengatakan pada saat bencana tentunya masyarakat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan dampak fisik dan dampak psikologis seperti ketakutan, kecemasan, kejenuhan, kekhwatiran yang berlebihan. Ketika dampak psikologis yang dialami oleh individu yang terkena bencana dapat menimbulkan dampak negatif pada diri mereka yaitu menjadi putus asa, emosi menjadi tidak dapat dikendalikan, menyalahkan diri dan lingkungan, dan tidak ada gairah untuk melakukan kegiatan.

(31)

Catarina dan Enny (2012:101) mengungkapkan bahwa akibat bencana alam masyarakat mengalami kehilangan rumah dan ladang sebagai mata pencaharian. Bahkan ada yang harus kehilangan anggota keluarga sehingga mengalami kesedihan, hal ini bisa berpengaruh buruk bagi mereka.

Studi Robert, dkk (2010), modal sosial dalam upaya penanggulangan dampak bencana badai Katrina di New Orleans Amerika Serikat. Peran pemerintah dalam pemulihan bencana memiliki program jangka pendek hingga jangka panjang. Sebelum terjadi bencana masyarakat sudah memiliki modal sosial yaitu berupa jaringan yang sehingga ketika upaya pemulihan bencana hubungan itu sudah terjalin dengan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga yang lainnya.

Daniel dan Michelle (2014:11), peran modal sosial dan jaringan sosial dalam pemulihan pasca bencana sangat penting. Hal terlihat dari kebijakan konkret Pemerintah Jepang untuk manajemen bencana. Keputusan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana melalui penguatan infrastruktur sosial di tingkat masyarakat. Mengingat bahwa modal sosial seperti bentuk lain dapat dihasilkan atau terdegradasi. Pemerintah Jepang harus meningkatkan modal sosial memperdalam kepercayaan masyarakat.

Dengan begitu ikatan modal sosial untuk memperkuat pola diskriminasi dalam pengambilan keputusan bisa tepat.

Studi Sadeka (2015:44), modal sosial termasuk jaringan sosial dan norma- norma timbal balik dan kepercayaan yang sangat penting untuk mempercepat pemulihan dalam bencana. Kesiapan dalam menghadapi bencana juga didukung sumber daya manusianya dengan jaringan sosial ditingkat masyarakat.

Masyarakat mempunyai potensi besar dalam merencanakan pembentukan dan

(32)

pengembangan modal sosial dan kesiapsiagaan bencana. Ikatan dan modal sosial yang menjembatani memungkinkan individu untuk melakukan persiapan bencana, mencari tempat tinggal dan persediaan, dan memperoleh langsung bantuan dan bantuan pemulihan awal. Modal sosial akan lebih menggabungkan kesiapan bencana dan ketahanan atau membuat jaringan baru dan kegiatan difokuskan secara khusus pada bencana dan penghidupan yang berkelanjutan.

Studi Green (2014:21), kesenjangan lokal dalam pengetahuan tentang risiko bencana harus ditangani melalui pelatihan tentang Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Oleh karena itu, kegiatan pengurangan resiko bencana harus mencakup semua lapisan masyarakat. Peningkatan pengetahuan dalam masyarakat dapat mempererat antara kelompok di masyarakat. Pemerintah harus mendukung dan memfasilitasi dialog dan membangun hubungan antara masyarakat dan lokal struktur pemerintahan untuk membangun modal. Kegiatan pengurangan resiko bencana terus dilakukan di daerah rawan bencana. Kegiatan ini bermanfaat dalam membangun kapasitas aktor lokal dan dapat mengatasi perubahan iklim yang terjadi di daerah rawan bencana.

Menurut Paton (2003:12), dalam menangani manajemen bencana mengakui pentingnya jaringan sosial dan kapasistas dalam peningkatan masyarakat. Pemahaman tentang modal sosial memiliki peran penting dalam manajemen bencana terutama pada jaringan komunitas dan membangun kepercayaan di masyarakat.

Studi Dynes (2002:47), modal sosial memiliki nilai untuk aktor sosial sebagai sumber daya yang dapat dimobilisasi dalam kepentingan masyarakat.

Modal sosial memiliki dua elemen umum: 1.Modal sosial muncul sebagai aspek

(33)

struktur sosial dan (2) Pelaku dapat menggunakan modal sosial sebagai sumber daya untuk mencapai tujuan masyarakat. Konsep modal sosial juga digunakan memberi keterampilan dan kemampuan pada masyarakat. Modal sosial dapat mengubah cara-cara yang memfasilitasi tindakan dalam masyarakat.

Hal lain diungkap oleh Pyles & Cross (2008:398), tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah dapat berkurang bila kebijakan lokal dan kebijakan akuntabel tidak berpihak. Kebijakan pemerintah sebelum adanya bencana dianggap tidak adil. Oleh sebab itu pemerintah harus membangun organisasi didalam masyarakat yang memiliki tujuan membangun kapasitas dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang ada dimasyarakat dapat diajarkan dalam program pendidikan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan modal sosial sebagai alat untuk merubah apa yang layak pada masyarakat.

Alison dan Joseph (2012:191), peran interdisipliner dalam revitalisasi modal sosial sangat besar. Hal ini dapat dalam pendekatan partisipatif dapat mewujudkan nilai-nilai bersama dalam tujuan revitalisasi modal sosial. Suksesnya revitalisasi modal sosial terkait pada kekuatan dalam masyarakat. Revitalisasi juga dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan dalam membangun ketahanan, modal sosial pada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari partisipatif untuk mencapai tujuan revitalisasi modal sosial di masyarakat.

Studi Yuko dan Rajib (2004:10), isu-isu manajemen bencana dibagi dua bagian yaitu: mitigasi (analisis risiko, pencegahan dan kesiapsiagaan dalam bencana) dan Respon (pencarian dan penyelamatan, bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi dan rekonstruksi). Analisis risiko termasuk bahaya dan kerentanan bencana; Pencegahan meliputi tindakan-tindakan struktural dan non struktural.

(34)

Kesiapsiagaan termasuk peringatan, perencanaan dan kebijakan dan lain-lain.

Semua elemen ini tercermin dalam proses siklus, dikenal sebagai siklus bencana.

Kebijakan manajemen bencana berfokus terutama pada bagian fisik dari kerentanan, dan aspek sosial sering hilang. Akibatnya, rencana rekonstruksi setelah bencana besar fokus sebagian besar pada pemulihan fisik dan dampak lebih terlihat, dan rencana sering kekurangan perhatian pemulihan sosial.

Belinda, dkk (2013:11), pertukaran kepercayaan selama interaksi sosial mendorong kesiapan untuk bencana. bahwa setiap individu yang lebih percaya cenderung untuk menerapkan langkah-langkah perencanaan yang diperlukan dalam menghadapi bencana. Sehingga masyarakat juga dapat dipercaya untuk berbagi sumber daya yang dibutuhkan pasca bencana. Kepercayaan pada anggota masyarakat dapat menciptakan jaringan pada kelompok. Hal ini terlihat juga pada individu yang merasa interaksi dengan masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk bencana. Kesiapsiagaan bencana dan modal sosial telah menjadi kekuatan pendorong pada masyarakat

Kathleen (2016:14), hubungan sosial dalam masyarakat menghasilkan pertukaran sosial, jaringan sosial dan modal sosial demi mencapai tujuan bersama.

Tujuan tersebut memiliki mencakup dua dimensi komponen: kohesi sosial dan kontrol sosial informal. Kohesi sosial mengacu pada rasa kepercayaan dan solidaritas di antara masyarakat anggota. Kohesi sosial lebih dari jaringan hubungan pribadi dan melibatkan, pendekatan informal yang mengambil warga untuk mencapai tujuan bersama.

(35)

2.2. Kerangka Konsep 2.2.1. Pengertian Bencana

Defenisi bencana menurut Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2007, bahwa:

1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, Gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

3. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rankaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Dalam rangka mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan ketika terjadi bencana, langkah awal adalah dengan mengkaji karakteristik ancaman bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) dan memiliki serta meningkatkan kemampuan (capacity) masyarakat dalam menanggapi ancaman bencana.

(36)

Menurut Maarif, (2007:3) bencana adalah:

“...Bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian yang mengancam dan menggangu kehidupan masyarakat maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis...”.

Kerentanan bencana memiliki empat aspek yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, kerentanan lingkungan. Beberapa aspek ini sangat berpengaruh terhadap upaya mengurangi resiko bencana. Asumsinya adalah apabila masyarakat memiliki kerentanan yang tinggi masyarakat tersebut dapat dipastikan bahwa mereka memiliki ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman resiko bencana, sehingga persentasi korban jiwa dan kerugian harta benda yang ditimbulkan dimungkinkan akan sangat signifikan.

Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi akibat faktor alam atau manusia yang mengganggu kehidupan, misalnya bencana banjir, Gunung meletus, gempa bumi, teror bom, konflik dan lain-lain. Peristiwa yang mengejutkan terjadi ketika Gunung Sinabung mengalami erupsi. Tidak ada yang dapat memprediksi bahwa Gunung tersebut akan mengalami erupsi. Kejadian ini termasuk dalam kategori bencana alam. Bahkan, hingga kini tidak ada yang mampu untuk memprediksikan sampai kapan derita ini akan berakhir. Status Gunung yang hampir setiap harinya mengalami erupsi membuat korban bencana harus menjalani hidup dan kehidupannya di pengungsian lebih dari setahun.

2.2.2. Tujuan Penanggulangan Bencana

Pembentukan tim penanganan tanggap darurat bencana mempunyai tugas dan tanggung jawab setiap pihak dalam memainkan perannya. Begitu juga dengan pihak lain seperti lembaga swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat , organisasi,

(37)

relawan dan lainnya yang ingin melibatan diri dalam penanggulangan bencana ini.

Adapun penanggulangan bencana bertujuan sebagai berikut:

1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.

2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana atau kejadian.

3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana.

4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat diminimalisasi.

Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action) 2005-2015 juga mengajurkan seluruh negara di dunia agar menyusun mekanisme terpadu pada pengurangan risiko bencana yang didukung kelembagaan dan kapasitas sumber daya yang memadai. Ketiga hal ini belum menjadi prioritas di Indonesia. Kelembagaan penanganan bencana yang ada belum memiliki kewenangan yang memadai dan mekanisme yang ada saat ini hanya terbatas pada mekanisme penanganan tanggap darurat. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resio Bencana yang selanjutnya disebut RAN-PRB disusun secara nasional proses yang melibatkan berbagai pihak pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak lainyang terlibat. Proses ini dilaksanakan karena Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resio Bencana yang selanjutnya disebut RAN-PRB merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam implementasi rencana ini akan disesuaikan dengan rencana pengurangan resiko bencana pada tingkat regional dan internasional.

(38)

2.3. Konsep Desrupsi

Sehingga suatu peristiwa dianggap bencana jika peristiwa itu menimbulkan kerusakan, menimbulkan gangguan pada kehidupan, penghidupan, dan fungsi masyarakat yang mengakibatkan korban dan kerusakan melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya dengan sumber daya yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah hal yang penting. Wardyaningrum (2016) mengemukakan bahwa dalam mitigasi tercakup keputusan untuk melakukan apa dan dimana terkait masalah kesehatan, keamanan dan kesejahteraan dari masyarakat yang telah ditentukan dan dilaksanakan sebagai program pengurangan resiko. Hal ini merupakan tindakan yang berkelanjutan untuk mengurangi resiko terhadap jiwa dan harta benda serta dampaknya. Berikutnya hal lain yang penting terkait dengan mitigasi adalah perhitungan efektifitas biaya yang dikeluarkan dengan pengurangan resiko yang akan terjadi termasuk kemungkinan resiko fisik dan sosial dimasa yang akan datang.

Claude Gilbert menyodorkan ringkasan konsep tentang bencana (Porfiriev dalam Quarantelli, 1998) dalam tiga paradigma yaitu. Pertama, bencana adalah merupakan hasil atau akibat dari suatu tekanan eksternal. Kedua, akibat dari kerentanan sosial dan ketiga akibat dari ketidakpastian. Konsep ini masih senada dengan Pelanda yang dikutip dari sumber yang sama mengintepretasikan bencana sebagai berikut. Pertama, bencana adalah akibat dari kondisi sosial dan lingkungan yang buruk, kedua, bencana merupakan akibat dari tekanan kolektif dari sebuah komunitas, dan ketiga adalah adanya perbedaan dalam kapasitas

(39)

untuk menangani kerusakan dan akibat negatif yang ditimbulkan. Pendapat lain dikemukakan oleh Maloney dan Cappola (2009:48-49) tentang bencana :

”...Bencana diukur dari segi korban jiwa, cedera yang berkelanjutan, harta benda yang rusak atau hilang dan degradasi lingkungan.

konsekuensi ini memanifestasikan diri mereka melalui cara langsung dan tidak langsung dan dapat berwujud atau tidak berwujud...”

Beberapa ahli sosial menekankan pemahaman tentang bencana sebagai sebuah konstruksi sosial. Bagi para ahli tersebut melihat bencana sebagai dampak dari proses sosial atau konsekuensi sosial yang menghasilkan bahaya, atau meningkatkan kerentanan dari sebuah sistem sosial dari dampak suatu bahaya (Porfiriev dalam Quarantelli,1998:46). Selanjutnya dari kajian konsep dan pragmatis tentang bencana Quarantelli mencoba memberikan definisinya:

“...Kondisi yang menggangu kestabilan sistem sosial yang memanifestasikan dirinya dalam malfungsi atau ganguan koneksi dan komunitas antara elemen unit sosial (komunitas, kelompok sosial dan individu) sebagian dapat merusak modal sosial...”

Carter (2008) juga memiliki uraian yang melengkapi bahwa berdasarkan pengalaman penanganan bencana didunia terdapat kesimpulan bahwa respon yang efektif terhadap bencana sangat tergantung pada dua faktor yaitu informasi dan sumberdaya. Tanpa kedua faktor ini perencanaan mitigasi bencana yang disusun dengan baik, managemet yang terkordinasi dan staf yang handal akan menjadi sia-sia. Dengan menggunakan berbagai macam sistem, dan kolaborasi antara masyarakat,pemerintah, lembaga non pemerintah, pihak swasta akan meningkatkan kemampuan sistim komunikasi dalam mencapai target sasaran masyarakat, Kelompok-kelompok masyarakat yang harus memiliki kesadaran dalam perencanaan peringatan dini termasuk individu adalah : keluarga, sekolah, lingkungan kerja, tempat umum, kelompok orang cacat, masyarakat yang

(40)

menggunakan bahasa asing, kelompok masyarakat tidak terdidik dan kelompok masyarakat miskin.

2.4. Kerangka Teori Modal Sosial

Modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut.

Menurut Bourdieu (dalam Daniel, 2014:4), memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk-bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padalah sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.

Bourdieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan.

Modal ekonomi menurut bourdieu memang dengan mudah dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Dengan kata lain, dengan menjadi anggota dari suatu kelompok orang akan memperoleh dukungan dari modal yang dimiliki secara

(41)

kolektif. Bourdieu juga mengatakan bahwa besarnya modal sosial yang dimiliki seorang anggota dari suatu kelompok tergantung pada seberapa jauh kuantitas maupun kualitas jaringan hubungan yang dapat diciptakannya, serta seberapa besar volume modal ekonomi, budaya dan sosial yang dimiliki oleh setiap orang yang ada dalam jaringan.

Coleman (dalam Yuko dan Rajib, 2014:3), pengertian modal sosial memiliki 2 unsur yaitu:

“...Pertama, (1) modal sosial mencakup sejumlah aspek dari struktur sosial, dan (2) modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam kerangka struktur sosial tersebut.

Coleman selanjutnya memberi penekanan terhadap dua aspek dari struktur sosial yang sangat penting dalam memudahkan tercipta dan berkembangnya modal sosial dalam berbagai bentuk. Pertama, aspek dari struktur sosial yang menciptakan sebuah jaringan sosial yang membuat setiap orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun sanksi-sanksi dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan itu.

Kedua, adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan bersama...”

Coleman mengidentifikasi tiga unsur utama yang merupakan pilar modal sosial. Pertama, kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa kepercayaan dalam lingkungan sosial. Kedua pentingnya arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat. Arus informasi yang tidak lancar cenderung menyebabkan orang menjadi tidak tahu atau ragu-ragu sehingga tidak berani melakukan sesuatu.

Ketiga adalah norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Tanpa adanya seperangkat norma yang disepakati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat maka yang muncul adalah keadaan anomie dimana setiap orang cenderung berbuat menurut kemauan sendiri tanpa merasa ada

(42)

ikatan dengan orang lain. Mekanisme juga dapat untuk menjatuhkan sanksi karena tidak ada norma yang disepakati bersama berkaitan dengan sanksi tersebut.

Coleman juga mengatakan modal sosial seperti halnya modal ekonomi juga bersifat produktif. Tanpa adanya modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Sebagaimana modal-modal lainnya, seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak selalu memberi manfaat dalam segala situasi, tetapi hanya terasa manfaatnya dalam situasi tertentu. Suatu bentuk modal sosial bisa bermanfaat untuk memudahkan seseorang melakukan tindakan dalam suatu situasi, tetapi dalam situasi lain tidak ada gunanya dan bahkan bisa menimbulkan kerugian.

2.5. Revitalisasi Modal Sosial

Pengertian dari revitalisasi bisa berarti proses, cara dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Sehingga secara umum pengertian dari revitalisasi merupakan usaha- usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali. Bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia harusnya menjadikan Indonesia pakar dalam penanganan bencana, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dari penanganan bencana alam sebelumnya. Cukup miris ketika mendapati korban yang cukup banyak akibat dari tsunami Mentawai yang setelah diusut ternyata berpangkal pada tidak bekerjanya system peringatan dini yang dipasang selain itu, edukasi dalam menghadapi bencana ternyata tidak diajarkan kepada masyarakat sehingga hanya mengandalkan insting saja untuk

(43)

menyelamatkan diri ketika terjadi bencana tersebut. Penanganan korban yang tidak tanggap dan cepat ternyata di akibatkan oleh tidak dianggarkannya biaya untuk penanggulangan bencana alam di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah akibat kebebasan yang diperoleh dari diberlakukannya otonomi daerah (Maarif, dkk, 2012:9).

Penanganan bencana alam tak hanya masalah bagaimana mengungsikan penduduk setelah bencana terjadi serta member sembako untuk kelangsungan hidup mereka. Manajemen penangana bencana alam haruslah dilakukan mulai dari antisipasi menghadapi bencana, tanggap darurat saat bencana serta recovery pasca bencana.

Instalasi peralatan untuk peringatan dini terhadap bencana serta edukasi terhadap warga tentang bagaimana menghadapi bencana alam adalah upaya antisipatif yang harus dilakukan. Penentuan daerah rawan bencana haruslah dibarengai dengan upaya untuk mentaatinya, banyaknya korban jiwa yang diakibatkan longsor adalah salah contoh satu akibat tidak ditaatinya larangan untuk tidak bermukim di daerah rawan bencana. Banjir yang laksana pengganti musim penghujan bagi warga di sekitaran Jakarta lebih disebabkan karena tidak ditaatinya rencana tata ruang yang telah ditetapkan baik oleh masyarakat maupun pelaku ekonomi yang tentunya bekerja sama memberikan izin untuk mengalih fungsikan daerah resapan menjadi pusat aktifitas ekonomi (Maarif, dkk, 2012:15).

Penanganan sesaat setelah bencana terjadi haruslah cepat dan tanggap, kerjasama semua pihak haruslah dibangun sejak awal sehingga saat terjadinya bencana penanganan korban tidak simpang siur . Pemerintah harus mengambil tempat terdepan sebagai pemimpin serta birokrasi harus dibuat sesederhana mungkin.

(44)

Dari hasil pengamatan penulis saat menjadi relawan pada saat terjadinya gempa di Yogya tahun 2006 dan erupsi Gunung Merapi penulis melihat bahwa koordinasi antara pemerintah, masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat lainnya masih belum terlalu bagus semrawut dan bergerak sendiri-sendiri. Lambatnya penanganan korrban oleh lembaga pemerintah mengakibatkan masyarakat lebih mengandalkan bantuan dari lembaga non pemerintah, saat ini di Yogyakarta posko-posko pengungsi bentukan Lembaga Swadaya Masyarakat lebih “makmur”

dibandingkan dengan bentukan pemerintah, makanan-minuman, obat-obatan, selimut, pakaian pantas pakai serta kebutuhan lainnya tercukupi. Birokrasi yang rumit dengan prosedur panjang menjadi penghambat dalam proses penanggulangan bencana. Sekelompok pengungsi akibat erupsi Gunung Merapi di Desa Banyu Biru Kec. Muntilan Magelang selama beberapa hari tidak mendapat bantuan karena tidak di data oleh perangkat desa setempat karena tidak tinggal di posko pengungsian resmi tapi menyebar di rumah-rumah warga.

Dampak jangka panjang baik kerusakan fisik atau trauma psikis akibat bencana alam haruslah menjadi perhatian kita semua. Kerusakan fisik mungkin akan mudah diperbaiki jika dana tersedia akan tetapi trauma psikis biasanya akan berjangka panjang dan menimbulkan trauma bagi korban bencana alam. Seorang pengurus panti asuhan di Yogyakarta pernah bercerita kepada penulis tentang bagaimana susahnya mereka menangani anak-anak korban bencana tsunami Aceh, kebetulan panti asuhan mereka dipercaya untuk menampung anak- anak korban bencana. Nakal, rewel, gampang tersinggung dan manja adalah ujian kesabaran bagi mereka dalam merawat anak-anak tersebut (Hasnawir, 2012:19).

(45)

Penerbitan pedoman umum penanggulangan bencana secara nasional dan harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi pemerintahan daerah yang tidak melaksanakannya bukanlah melanggar prinsip otonomi daerah. Birokrasi pada saat penanggulangan bencana haruslah dibuat seramping mungkin, kalau bisa pemerintah harus jemput bola, tidak mesti hanya menunggu laporan dari bawah.

Tentunya kita tidak ingin peristiwa lambatnya penanganan korban bencana tsunami Mentawai akibat pemerintah daerah tidak menganggarkan pos biaya untuk penanganan bencana terulang kembali (Hasnawir, 2012:19).

2.6. Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir dibuat untuk mempermudah proses penelitian karena telah mencakup tujuan dari penelitian itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modal sosial dalam bencana dan strategi yang dilakukan dalam membangun kembali modal sosial. Gunung Sinabung merupakan salah satu Gunung api aktif di Indonesia yang banyak menarik perhatian, baik karena aktifitasnya maupun bahaya bencana alam yang beberapa kali ditimbulkan.

Erupsi Gunung Sinabung yang berbahaya terutama adalah menyemburkan awan panas, akibatnya masyarakat di sekitar harus mengungsi ketempat aman.

Oleh sebab itu pemerintah Kabupaten Karo melakukan relokasi ke pemukiman Siosar yang sebelumnya hutan lindung. Masyarakat yang berada di pemukiman relokasi Siosar berasal dari 3 desa yang terdampak yaitu: Desa Bekerah, Desa Simacem dan Desa Sukameriah. Dalam meneruskan kehidupan masyarakat di Siosar memiliki modal sosial untuk bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain dan keduanya mempengaruhi perilaku individu hingga mekanisme terbentuknya harapan.

(46)

Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan variabel-variabel tersebut digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Desrupsi Modal

Sosial di Pengungsian Erupsi Gunung

Sinabung

Program Rehabilitasi oleh

pemerintah dan lembaga non

pemerintah

Revitalisasi Modal Sosial

Modal Sosial - Kepercayaan - Nilai dan Norma - Jarigan

Masyarakat relokasi ke Siosar

Faktor-faktor yang mempengaruhi

situasi masyarakat di Siosar

Penguatan Kelembagaan

Mengembangkan Mata pencaharian

Kesiapsiagaan Penanggulangan

Bencana

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Penelitian revitalisasi modal sosial pasca bencana (studi kasus bencana Gunung Sinabung) Kabupaten Karo Sumatera Utara menggunakan pendekatan mixed methods, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Menurut Johnson, Onwuegbuzie, and Turner, 2007a:119; 2004b:17; Creswell, 2010:5;), penelitian campuran merupakan pendekatan yang mengkombinasi antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Penggunaan metode penelitian kualitatif merupakan suatu pertimbangan peneliti untuk menyelidiki masalah sosial atau masalah manusia, dimana peneliti membangun gambaran yang kompleks dan bersifat holistik dengan menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi yang alamiah (natural).

Penggunaan metode ini sangatlah penting untuk melihat kerangka pemikiran revitalisasi modal sosial dalam penangganan bencana juga merupakan analisis di tingkat mikro, dengan analisis di tingkat makro. Metode kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif membantu peneliti untuk menemukan dan menganalisis pertanyaan rumusan masalah, yaitu revitalisasi modal sosial yang di miliki oleh masyarakat pemukiman relokasi Siosar.

Menurut Creswell (2010:317), desain penelitian ini menggunakan mixed metode dengan desain explanatory mixed yaitu penelitian mengumpulkan dan menganalisis data dengan pendekatan kualitatif dan kemudian mengumpulkan data dengan pendekatan kuantitatif pada tahap kedua yang didasarkan pada hasil tahapan pertama. Bobot utama pada jenis eksplornatoris adalah data kualitatif.

(48)

Maka untuk mendapatkan bobot kualitatif, maka peneliti akan menggunakan strategi metode campuran embedded konkuren dengan mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif dalam waktu bersamaan. Membedakannya adalah model ini memiliki metode primer yang memadu dalam penelitian dan data sekunder yang memiliki peran pendukung dalam setiap prosedur penelitian. Metode sekunder yang kurang begitu dominan (baik kualitatif maupun kuantitatif) ditancapkan ke dalam metode yang lebih dominan (kualitatif dan kuantitatif).

Desain penelitian revitalisasi modal sosial pasca bencana Gunung Sinabung untuk membantu peneliti untuk mendapatkan data kondisi-kondisi yang mendukung modal sosial masyarakat, dimensi modal sosial, bentuk-bentuk dan unsur-unsur modal sosial, norma, kepercayaan dan jaringan di daerah relokasi Siosar dengan teknik wawancara mendalam dan observasi. Selain itu peneliti menggunakan kuesioner untuk melengkapi data-data situasi sosial di lokasi penelitian.

3.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan

Penelitian ini akan dilakukan di pemukiman relokasi Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian ini dahulunya merupakan kawasan hutan produksi. Kawasan Siosar ini terhindar dari asap dan abu vulkanik Gunung Sinabung.

Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Karo Sumatera Utara sebagai berikut: Pertama, peneliti melihat bahwa lokasi pemukiman relokasi Siosar merupakan lokasi pemukiman yang baru dimana terdapat 3 desa yang terdampak akibat erupsi Gunung Sinabung yaitu: Desa Sukameriah, Desa Bekerah, Desa

(49)

Simacem. Kedua, peneliti melihat dengan adanya relokasi yang baru maka akan muncul atau terbentuknya modal sosial yang baru.

3.3. Metode Kualitatif 3.3.1. Informan Penelitian

Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah kepala desa, tokoh masyarakat, perwakilan perempuan, perwakilan pemuda, dan instansi pemerintah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Karo, Dinas Sosial, Dinas Koperasi, Kepala Pendamping Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPD), Pekerja Sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Masyarakat di Sekitar Siosar, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Persoalan penentuan sumber data (informan) dalam studi ini sedikit banyak terkait dengan bagaimana akses peneliti untuk bisa masuk ke dalam masyarakat yang tinggal di lokasi studi ini. Mengenai akses peneliti untuk melakukan studi di lokasi penelitian dengan masyarakat yang menjadi menjadi fokus penelitian sampai sejauh ini memang belum ada kendala. Peneliti relatif mudah mendapatkan data atau informasi dari masyarakat mengenai adanya tradisi masyarakat setempat. Kehadiran peneliti di tengah masyarakat ini sesungguhnya tidak dipandang sebagai orang asing atau sebagai pendatang baru. Menurut James dan Jongewaard (dalam Holzner, 1995) diharapkan akan bisa terwujud suatu hubungan yang baik, trust dan akrab (rapport) kepada segenap masyarakat terlebih kepada calon informan yang akan menjadi subjek penelitian.

Langkah pertama adalah peneliti melakukan pendekatan door to door, berkenalan lebih dekat lagi dengan warga masyarakat melalui wawancara dan menjelaskan tujuan dan kepentingan peneliti berada di tengah mereka. Dari

Gambar

Gambar 4.2. Lokasi Siosar Lereng Gunung Sinabung
Gambar 4.3. Dampak Erupsi Sinabung
Gambar 4.4 Petani sedang Mengerjakan lahan Petani sekitar  Gunung Sinabung
Gambar 5. Rumah bantuan kepada masyarakat Siosar tipe 36
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informasi seluler ini dibuat dengan menggunakan authoring tool Macromedia Flash MX 2004 dan Adobe Photoshop 7.0 yang bermanfaat untuk pengguna seluler sebagai catalog dalam

[r]

Kelengkapan yang trarus dibawa pada saat pembuktian kualifikasi adalah o'Eiffk&s Asli" seluruh. file Dokumen Penawaran yang telah dimasukan/diunggah melalui

lebih lanjut... Tanggung jawab ekonomi lainnya adalah kepada para kreditor yang telah. menyediakan pinjaman kepada perusahaan. Perusahaan

Dibuat Oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik Universitas Negeri YogyakartaD.

Kelompok kerja Unit Layanan Pengadaan Barang Jasa, telah melaksanakan tahapan Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) Dokumen Pengadaan dengan metode tanya jawab secara elektronik

Pembelajaran mikro dilaksanakan sebagai salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh pada semester VI untuk memberi bekal awal pelaksanaan PPL. Kegiatan ini

Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kota Kupang Tahun Anggaran 2013.. PENGUMUMAN PEMENANG PELELANGAN SEDERHANA Nomor