BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Endometriosis
2.2. Insidensi dan prevalensi
Endometriosis mempengaruhi 5-10% pada semua wanita usia reproduktif.4,5,6,15,16Prevalensi endometriosis tidak mudah untuk ditetapkan karena baku emas untuk menetapkan endometriosis adalah dengan tindakan laparoskopi. Banyak wanita menderita endometriosis namun keluhan yang dialami belum cukup serius untuk membuat wanita tersebut mendatangi rumah sakit apalagi dilakukan tindakan laparoskopi. Di Makassar pada 80 pasien yang dilakukan laparoskopi dengan berbagai indikasi ditemukan 58 kasus atau 72,5% mengalami endometriosis stadium II sampai IV. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin rutin tindakan laparoskopi dilakukan maka semakin banyak kasus endometriosis ditemukan.3 Di Amerika serikat, endometriosis mempengaruhi 5-10% wanita usia reproduktif.5 Di Indonesia sendiri insiden pasti endometriosis belum diketahui, sekitar 20-40% dari wanita infertil mengalami endometriosis.6
2.3. Etiologi Endometriosis
Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan:4,19,20,21
 Teori implantasi dan regurgitasi haid
Teori ini pertama sekali dikemukakan oleh John A. Sampson pada tahun 1927. Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke kavum peritoneum dan berimplantasi pada permukaan peritoneum. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini dapat mengadakan implantasi dan bertumbuh di pelvis. Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis.
 Teori metaplasia
 Teori induksi
Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Darah haid memicu sel-sel peritoneum, sehingga terjadi perubahan sel-sel asal yang tidak berdifferensiasi menjadi sel-sel endometrium yang berdifferensiasi dan memiliki kemampuan untuk berimplantasi. Endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium.
 Hormon
endometrium normal. Implantasi endometriosis berkaitan dengan aromatase dan 17βHSD tipe 1, yaitu suatu enzim yang merubah androstenedione menjadi estrone dan estrone menjadi estradiol. Pada keadaan ini didapati penurunan dari 17βHSD tipe 2 yang menonaktifkan estrogen. Pada endometrium yang normal, tidak berkaitan dengan aromatase dan menunjukkan peningkatan kadar 17βHSD tipe 2 akibat respon dari progesteron. Progesteron
merupakan suatu antagonis dari estrogen pada fase luteal dari siklus haid. Banyak peneliti mempercayai bahwa endometriosis berhubungan dengan resistensi progesteron di endometrium. Resistensi progesteron mungkin disebabkan oleh ekspresi yang rendah dari reseptor progesteron atau merupakan suatu hasil adanya abnormalitas reseptor progesteron.22,23,24,25,26
 Disfungsi sistem imunologi
kavum uteri. Sistem imun dan sel endometrium menghasilkan sitokin dan hormon pertumbuhan yang menyebabkan proliferasi sel dan angiogenesis, hal yang sama juga terjadi pada lesi endometriosis. Wanita dengan endometriosis memiliki kadar yang tinggi dari ekspresi sitokin dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada cairan
peritoneum yang menyebabkan proliferasi sel endometrium dan angiogenesis.
 Stres oksidasi dan inflamasi
Tabel 1. Perbedaan teori patogenesis dari endometriosis.4
2.4. Klasifikasi Endometriosis
Klasifikasi endometriosis saat ini berdasarkan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) yang merupakan revisi dari American Fertility
Society (AFS). Endometriosis dibagi menjadi stadium I (minimal), stadium II
Sistem skoring endometriosis menurut ASRM yang telah direvisi, penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga berdasarkan perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul-de-sac posterior. Sistem skoring endometriosis diklasifikasikan sebagai berikut:
2.6. Penatalaksanan Endometriosis
Tabel 3. Algoritma diagnostik dan penatalaksanaan pada wanita dengan endometriosis. 19
2.7. 17β-hydroxysteroid dehydrogenase (17βHSD) tipe 2 pada endometriosis
17βHSD merupakan rantai pendek dari dehidrogenase reduktase
2,4,6,8,9,10,11,dan 14) dan invivo reductive enzyme (17βHSD tipe 1,3,5, dan 7).29,32,33,34
17βHSD tipe 2 terdiri dari 387 asam amino dengan berat molekul
42.782. Enzim ini berhubungan dengan retikulum endoplasma dan mengkatalisasi perubahan estradiol menjadi estrone dan testosterone menjadi androstenedione.35
17βHSD tipe 2 mengkatalisis perubahan dari 17β-estradiol menjadi
estrone dan testosterone menjadi androstenedione pada beberapa jaringan termasuk pada plasenta dan hati. Kadar yang tinggi dari 17βHSD tipe 2 mRNA ditemukan pada sel epitel glandular pada endometrium selama fase sekresi. 17βHSD tipe 2 dihasilkan oleh endometrium dan dirangsang oleh progesteron.8
Tabel 5. Normal endometrium dan endometriosis.5
Pada jaringan endometrium, PR-B memiliki peranan yang lebih penting. Progesteron menghambat pertumbuhan endometrium akibat rangsangan estrogen yang berlebihanyang dapat mengakibatkan terjadinya hiperplasia atau kanker endometrium. Efek anti estrogen dari progesteron pada jaringan endometrium merupakan bagian yang merangsang aktifitas 17βHSD tipe 2 yang mengkatalisis perubahan estradiol (E2) menjadi estriol (E1) dan testosterone menjadi androstenedione pada endometrium.36,37,38,39,40
Pada endometriosis yaitu suatu penyakit yang berkaitan dengan estrogen, kelainan dari kadar hormonal dapat menjadi salah satu patofisiologi perkembangan penyakit. Produksi yang menurun atau kekurangan 17βHSD tipe 2 dapat menyebabkan kadar estrogen lokal yang sangat tinggi yang berkaitan dengan perkembangan dan ketahanan implantasi endometriosis.12
2.9. Kerangka Konsep
17βHSD tipe 2 Endometriosis