• Tidak ada hasil yang ditemukan

320044667 Utang Luar Negeri Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "320044667 Utang Luar Negeri Indonesia"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

UTANG LUAR NEGERI INDONESIA ( Perspektif Ekonomi Politik ) Viviane Manoppo

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Manado ABSTRACT

The emerging of foreign debt is caused by the inability of domestic fund in financing project which can increase national product. Foreign debt has a great potential in drowning developing countries since the aims of donor countries and recipient countries are not always the same and perhaps even in contradictory since each country has its own agenda. In fact, the issue of foreign debt in Indonesia has been slightly felt seriously after net transfer of the capital out since 1985. Nett transfer happens if foreign debt repayment is greater than the number of new debt in each year. In other words, net resource transfer is getting higher.

Keywords: foreign debt, developing countries,transfer 37

Utang Luar Negeri Indonesia Viviane Manoppo

Utang luar negeri (ULN) merupakan komitmen dari negara maju untuk mengisi kesenjangan sumberdaya (resource gaps) dalam ekonomi makro negara berkembang. Efektivitas

pemanfaatan

ULN didesain untuk menjembatani kesenjangan tabungan/investasi dan ketimpangan neraca pembayaran (balance of payments) di negara berkembang dan meletakkannya sebagai jalur untuk

membantu negara berkembang mengerjakan pembangunan yang mandiri (self-sustaining

development).

Untuk menutupi kekurangan modal tersebut negara maju memberikan bantuan pembangunan

(official development assistance/ODA) dalam wujud proyek ULN (project aid) yang didesain untuk

mengembangkan infrastruktur negara berkembang. Melalui langkah seperti itu, secara akademik agenda

kebijakan ULN mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari komunitas bisnis negara-negara donor

yang memiliki pretensi untuk menanamkan modalnya dalam jumlah yang besar bagi proyek-proyek

pembangunan di negara berkembang (Sobhan, 2002:540).

Bank Dunia (World Bank), sebagai salah satu lembaga donor (multilateral) yang sangat berpengaruh

dalam mendesain relasi ULN antara negara donor dan negara penerima (miskin), secara umum

mempunyai dua pintu untuk menyalurkan ULN (Sanford, 2002:743).

1. IBRD (The International Bank for Reconstruction and Development) memberikan utang,

terutama kepada negara-negara yang berpendapatan menengah (middle-income countries)

dengan menggunakan bunga komersial di pasar modal dunia. Sebagian besar peminjam dana

IBRD adalah negara yang memiliki pendapatan per kapita/tahun di bawah 5280 dolar AS. Pinjaman IBRD dapat dibayar dalam kurun waktu 10-20 tahun dengan tingkat bunga yang tinggi.

2. IDA (International Development Association) memberikan utang kepada negara-negara miskin.

Sebagian besar negara penerima utang IDA mempunyai pendapatan per kapita/ tahun di bawah 885 dolar AS. Beberapa negara kecil dengan pendapatan yang lebih tinggi tetapi dengan

(2)

AS menyumbang sekitar 20% dari sumber dana IDA. Umumnya, pinjaman IDA tidak dikenakan

bunga dengan 10 tahun jeda pembayaran (grace period) dan setelah itu masa pembayaran diberi waktu antara 20-30 tahun (tergantung situasi).

Terdapat dua kerangka teoritis yang bisa diajukan untuk menunjukkan bahwa skema ULN dapat

berpotensi besar untuk menenggelamkan negara-negara berkembang (Singh, 2002:296). a) secara implisit bisa dikatakan bahwa ketika ULN sudah diberikan berarti antara negara donor

dan negara penerima (recipient) telah sepakat terhadap segala hal menyangkut tujuan dan proses untuk mencapai tujuan dari ULN tersebut. Persoalannya, tujuan dari negara donor dan

negara penerima tidak selalu sama, bahkan mungkin bertentangan karena masing-masing memiliki agenda (baik yang diungkapkan maupun yang disembunyikan). Bahkan bila tujuannya

sama sekalipun, misalnya mengurangi kemiskinan, belum tentu cara yang dipakai sama. Negara

donor ingin upaya pengurangan kemiskinan dilakukan dengan mengonsentrasikan pada kaum

miskin di perkotaan, sebaliknya negara penerima ingin cara itu ditempuh dengan memfokuskan

kepada para petani di wilayah perdesaan.

b) Terjadi kelompok-kelompok kepentingan di negara penerima utang memiliki preferensi yang

berbeda dengan negara donor. Hampir bisa dipastikan ada kelompok kepentingan yang setuju

dengan agenda negara donor, tetapi pasti juga ada kelompok kepentingan yang menolak agenda negara donor. Pada titik inilah konflik (politik, sosial) bisa muncul. Sejarah ULN di atas

terus berkembang seiring lajunya gagasan globalisasi, yang kemudian diratifikasi pada tahun

1994 dengan WTO (World Trade Organization) sebagai organisasi pengawalnya.

Globalisasi, sebagai sebuah ide, tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melewati proses

yang amat panjang. Sekurangnya, gagasan globalisasi yang berporos pada pasar bebas telah

direntangkan sejak tahun 1947 ketika GATT dimulai. Dalam aspek sejarah, permulaan periode tersebut

ditandai dengan semakin mapannya ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa

Barat, sehingga mereka mulai berpikir untuk melakukan ekspansi ke negara berkembang. Ekspansi

Journal of Indonesian Applied Economics Vol.1 No.1 Oktober 2007, 36-45

38

tersebut tentu saja sulit dilakukan apabila setiap negara masih diberi otonomi melakukan proteksi

terhadap barang dan jasa yang diproduksinya, khas warisan rejim merkantilisme. Dengan basis

pemikiran itulah globalisasi disorongkan sebagai mode perdagangan dunia, di mana kekuasaan regulasi

negara atas perekonomian domestik sangat dibatasi. Dengan kata lain, negara hanya mengurus soalsoal

(3)

internasional (bernama WTO/ World Trade Organization).

Bila ditelusuri jauh ke belakang, akan kelihatan tipu muslihat dan gagasan globalisasi/liberalisasi.

• Negara-negara maju yang mendorong proses globalisasi selama beberapa abad sebelumnya

merupakan peletak rejim ekonomi yang proteksionis. AS dan Inggris, misalnya, dalam periode

1820-1925 rata-rata memberikan tarif bea masuk bagi barang-barang impor sebesar 40% demi

melindungi industri mereka. Namun, begitu industri mereka sudah kuat dan mapan, tiba-tiba mereka melarang negara lain mengerjakan proses yang serupa. Inilah kelicikan yang

ditampilkan

oleh negara penganjur globalisasi.

• Ketika perdagangan bebas sudah diratifikasi pada tahun 1994, negara maju hanya mau meneken

item produk-produk sektor industri dan jasa yang layak untuk diperdagangkan tanpa ada restriksi. Sebaliknya, sektor pertanian tetap diperbolehkan untuk dilindungi. Sebabnya jelas, jika sektor pertanian di buka secara bebas, maka produk negara maju tidak mampu

berkompetisi

dengan komoditas pertanian negara berkembang. Hingga kini, rata-rata setiap tahun negara maju memberikan subsidi kepada sektor pertaniannya mencapai 350 milyar dolar AS.

Menyimak kisah tersebut, ditambah dengan krisis ekonomi yang bersumber dari utang luar negeri

di negara-negara Amerika Latin pada dekade 1980-an, membuat para ekonom kritis melihat ULN

sebagai ‘mesin pembunuh’ negara-negara berkembang. Inilah yang kemudian memunculkan istilah

‘utang tidak sah’ atau ‘utang haram’ (illegitimate debt) sebagai bentuk ‘perlawanan’ kritis terhadap

negara-negara donor dan lembaga multilateral yang memanfaatkan ULN sebagai instrumen untuk

menjarah ekonomi negara berkembang. Meskipun istilah itu sendiri bisa menimbulkan polemik dan

kesalahpahaman yang panjang. Tapi di dalamnya setidaknya memuat tiga pengertian penting dan

substansi utang haram (Hanlon, 2002:7).

1. Utang yang bertentangan dengan hukum (nasional) atau utang yang tidak diatur dalam hukum.

2. Utang yang tidak adil (unfair), tidak layak (unproper). 3. Utang yang menyalahi kebijakan publik.

Dengan kategori tersebut, maka potensi ‘utang yang tidak sah’ menjadi sangat mungkin terjadi

selama beberapa dekade ini (setidaknya dalam 50 tahun terakhir) karena setiap utang yang diberikan

ke negara berkembang cenderung tidak adil (dari sisi domestik, penggunaan utang tidak melibatkan

rakyat; dai sisi internasional, ratifikasi utang disertai dengan persyaratan yang sangat memberatkan

negara penerima) dan menelikung kebijakan publik di negara penerima (seperti proyek privatisasi,

penguasaan sumberdaya alam oleh sektor privat, dan liberalisasi yang menggencet ekonomi skala

kecil).

(4)

yang sangat kuat, khususnya bagi negara penerima utang. Dalam hal utang yang bertentangan

dengan hukum atau tidak diatur dalam hukum nasional, setiap hukum nasional suatu negara dipastikan

memuat klausul tentang independensi suatu negara untuk mengatur dirinya sendiri tanpa ada

intervensi pihak lain (negara asing).

Pada titik inilah ULN menjadi potensial bertentangan dengan hukum nasional. Sedangkan utang

yang tidak adil dan layak berpotensi besar terjadi karena potensi keuntungan lebih banyak diterima

oleh negara/lembaga donor ketimbangan negara penerima utang. Akibatnya, yang terjadi bukanlah

bantuan tetapi proses pemelaratan yang kian akut terhadap negara miskin. Selanjutnya, kebijakan

publik di setiap negara (termasuk di negara bekembang) selalu bertujuan meningkatkan kesejahteraan

rakyat. Sebaliknya, ULN malah berupaya untuk menggagalkan tujuan tersebut karena dibarengi

dengan persyaratan-persyaratan (berupa kebijakan) yang justru merugikan sebagian besar rakyat di

39

Utang Luar Negeri Indonesia Viviane Manoppo

negara penerima utang (misalnya pengurangan subdisi kesehatan, pendidikan, privatisasi, liberalisasi,

dan lain-lain).

Secara operasional, utang haram (illegitimate debt) bisa dipecah dalam empat kategori berikut,

yang kemudian dapat menjadi dasar penolakan negara penerima pinjaman untuk membayar utang

(Hanlon, 2002:5).

1. Pinjaman yang tidak bisa diterima (unacceptable loans), misalnya utang najis (odious debt)

yang diberikan kepada pemimpin-pemimpin diktator dan pemerintah Apartheid di Afrika Selatan.

2. Persyaratan-persyaratan yang tidak dapat diterima (unacceptable conditions), yakni riba

(usury) dan persyaratan-persyaratan lain yang melanggar hukum nasional.

3. Utang yang tidak pantas/tepat (inappropriate loans), yakni utang ke negara miskin yang digunakan untuk kegiatan konsumsi. Dasarnya, utang ini diberikan secara tidak hati-hati (in prudent) sehingga membuat negara penerima utang tidak memiliki

kesempatan/kemampuan

untuk membayar utang tersebut.

4. Persyaratan-persyaratan utang yang tidak pantas/tepat (inappropriate conditions), yakni persyaratan-persyaratan dari lembaga donor (khususnya IMF) yang menciptakan kondisi bagi negara penerima tidak mungkin bisa mengembalikan utang. Melalui empat kategori inilah

setiap negara penerima utang bisa melakukan kalkulasi proporsi ‘utang haram’ yang diterimanya, sehingga jumlah tersebut tidak perlu dibayar.

Tentu saja seluruh bangunan tersebut harus mendapatkan bukti-bukti terukur agar proses penolakan terhadap pembayaran terhadap utang luar negeri bersifat ‘halal’ (legitimate).

Namun

(5)

donor dan lembaga multilateral untuk melanggengkan proses eksploitasi tersebut sehingga tercipta

skema ‘reverse aid’ yang berkelanjutan. Setidaknya terdapat lima pilar dan negara-negara maju (neomerkantilis)

tersebut untuk menggapai tujuannya, yaitu (Petras dan Veltmeyer, 2002:284-285): 1. Skala usaha besar (large-scale), pembayaran bunga ULN yang berjangka panjang

(longterm

interest payments on external debt);

2. Transfer massif atas laba PMA dan investasi portofolio;

3. Pembelian dan pengambilalihan badan usaha milik negara (berkembang) yang mengalami masalah secara finansial (dan investasi langsung dalam industri sumberdaya dan industri jasa/ manufaktur dengan upah rendah);

4. Pengumpulan rente dan pembayaran royalti dalam produk-produk yang beraneka, paten (khususnya komoditas farmasi), dan komoditas budaya; dan

5. Neraca perdagangan yang didominasi oleh korporasi-korporasi AS dan bank-bank di negara

tersebut.

Kremer dan Jayachandran (2002:36) menyebutkan beberapa penguasa negara lalim yang menyedot

ULN untuk kepentingan pribadi. Misalnya, Anastasio Somoza (Nikaragua) menilap 100-500 juta,

Ferdinand Marcos (Filipina) menggasak 20 milyar, Jean-Claude Duva lien (Haiti) menggondol 900

juta, Mobutu Sese Seko (Kongo) menyedot 4 milyar, dan Sani Abacha (Nigeria) mengantongi 2 milyar

(semuanya dalam dolar AS). Untuk Indonesia, data itu tidak terungkap. Tidak bisa disangkal bila

utang yang diberikan kepada negara-negara tersebut tergolong sebagai ‘utang najis’, yang menyebabkan negara-negara berkembang kian melarat dan menenggelamkan rakyatnya dalam kubang

kemiskinan. Dari perspektif ini, tentu yang harus dilakukan pemerintah Indonesia adalah mengerjakan

investigasi detail untuk melacak jumlah utang yang tergolong ‘haram’ sehingga bahan tersebut bisa

dipakai untuk menyelesaikan jebakan utang yang terjadi, misalnya dengan jalan meminta penghapusan

utang haram tersebut.

Utang Luar Negeri di Indonesia

Pada saat pembangunan dimulai, diasumsikan negara belum memperoleh penerimaan dana sama

sekali. Sementara di pihak lain, pembiayaan pembangunan perlu dana besar serta baru akan kembali

setelah beberapa waktu kemudian. Saat kondisi seperti inilah negara harus menempuh beberapa

Journal of Indonesian Applied Economics Vol.1 No.1 Oktober 2007, 36-45

40

strategi demi dapat menutup anggaran pembangunan tersebut. Jika dari dalam negeri sudah tidak

dimungkinkan untuk memperoleh dana tersebut (paling tidak belum bisa mencukupi atau menutup

dana yang dibutuhkan), maka negara melirik sumber luar negeri sebagai alternatifnya. Di sinilah

(6)

pembangunan negara.

Dengan logika sederhana ini bisa dikatakan bahwa ULN merupakan instrumen sementara bagi

negara berkembang untuk memulai pembangunan. Setelah pembangunan ekonomi berjalan, di mana

akumulasi kapital sudah bisa diperoleh, maka ULN mestinya sudah tidak diperlukan lagi oleh negara

berkembang.

Di samping itu, dasar pemikiran tentang bantuan luar negeri sebenarnya merupakan refleksi dan

kisah sukses rencana Marshall (Marshall Plan) pada tahun 1940-an, yang kemudian berhasil menyelesaikan persoalan resesi yang terjadi sebelumnya. Sukses secara empiris seperti itu menjadi

dasar bahwa pemindahan sumberdaya dapat pula dilakukan dan negara-negara maju ke negaranegara

berkembang, yang biasanya mengalami kekurangan modal untuk menggerakkan mesin ekonominya (Rachbini, 1991:62).

Secara khusus, agak sulit mendefinisikan pengertian ULN tersebut. Tetapi, ULN biasanya diterapkan pada tindakan-tindakan penduduk atau lembaga-lembaga terhadap lembaga dan penduduk

lainnya dengan tujuan, atau sekurang-kurangnya dengan maksud untuk menolongnya (Gunadi,

1977:4). Dan pengertian itu, asalkan terjadi perpindahan sumberdaya-sumberdaya ekonomi

(flow of

resources), baik itu sumberdaya ekonomi negara (flow of official resources) maupun sumberdaya

swasta (flow of private resources), berarti ULN tersebut telah terjadi.

Sejarah ULN di Indonesia, secara ekonomi politik, sebenarnya bisa dirunut dan tiga kurun waktu

berikut.

a) Sejak tahun 1950 hingga 1956 utang Indonesia dilakukan terhadap negara-negara yang tergabung dalam Blok Barat /Kapitalis, antara lain Amerika Serikat, Kerajaan Belanda, Inggris,

Prancis, Kanada dan Australia.

b) Sejak hadirnya Kabinet Ali-Roem Idham, yang menjalankan tugas sejak tanggal 26 Maret 1956, masalah utang Hindia-Belanda yang dihibahkan Belanda ke Indonesia melalui

Konferensi

Meja Bundar (KMB) dipersoalkan, dan masuk ke dalam program pemerintah untuk dibatalkan.

Akhirnya, hibah utang dan “Nederlandsch-Indie” ke Republik Indonesia tidak diakui. Pembatalan putusan KMB itu memengaruhi pinjaman negara dan Blok Barat. Akhirnya, pemerintah Indonesia menerima pinjaman mar negeri dan Uni Soviet sebesar 6,5 juta dolar. Sejak saat itu hingga peristiwa 1965, Indonesia lebih banyak menerima utang dari

negaranegara

sosialis (Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, Cina, Kuba)

c) Sejak terjadinya pergeseran kepemimpinan nasional dan Soekarno ke Soeharto pada tahun

1966, terbukalah cakrawala baru bagi Indonesia di bidang ULN, yaitu bantuan untuk

pembangunan Indonesia diperoleh melalui sejumlah lembaga donor internasional yang lebih berciri sebagai negara-negara industri maju yang kapitalistik (Damanik, 1996:4-5).

Dengan deskripsi tersebut, menjadi jelas bahwa ULN Indonesia sudah dimulai sejak awal-awal

(7)

kondisi sosial ekonomi yang terpuruk akibat periode penjajahan dan gejolak politik. Diharapkan

dengan langkah langkah tersebut pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat lekas terangkat

tanpa menunggu negara memperoleh dana internal yang memadai. Kemudian dan gambaran di muka,

juga didapatkan sebuah rumusan yang menarik, bahwa negara-negara yang membantu Indonesia

berganti-ganti sesuai dengan kepentingan ekonomi politik yang melingkupinya. Kecenderungan

pada masa Orde Lama negara donor lebih banyak dan negara- negara Blok Timur, sementara pada

periode Orde Baru dengan negara-negara Blok Barat; bukanlah merupakan sebuah kebetulan yang

terjadi dengan alamiah, melainkan erat dengan preferensi preferensi politik pemerintah Indonesia

sendiri. Kondisi tersebut berjalan hingga saat ini dengan negara-negara kapitalis sebagai mitra

terpenting pemerintah, khususnya lewat mekanisme utang luar negeri.

41

Utang Luar Negeri Indonesia Viviane Manoppo

Tabel 1. Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia (dalam Juta US $)

Sumber : Bappenas, 2006

Dalam kehidupan kenegaraan yang berkenaan dengan masalah ekonomi Indonesia, posisi ULN

akan dijumpai pada neraca APBN di sisi penerimaan. Lebih tepatnya penerimaan pembangunan. Dan

pos penerimaan pembangunan itu, terdapat dua sub-pos, yakni sub-pos bantuan program dan subpos

bantuan proyek. Bantuan program merupakan pinjaman yang biasanya terdiri dan devisa kredit,

bantuan pangan, dan bantuan bukan pangan, seperti kapas dan benang tenun. Penjualan devisa

kredit, bantuan pangan, dan bantuan program tersebut menghasilkan penerimaan rupiah bagi dana

pembangunan dan juga menambah arus barang yang dibutuhkan masyarakat. Dengan begitu, adanya

bantuan program tersebut akan meningkatkan penyediaan dana-dana lokal untuk anggaran pembangunan yang semakin meningkat. Mekanisme ini sudah berjalan sangat lama, khususnya

secara intensif sejak tahun 1966 ketika pemerintah Orde Baru mengambil alih kekuasaan Indonesia.

Tentu saja akumulasi dan ULN tersebut sudah begitu besar saat ini.

Pada tahap awal negara melaksanakan pembangunannya, bantuan program lebih banyak memainkan peranannya. Selanjutnya, ketika negara penerima bantuan mulai dapat melakukan stabilisasi

ekonomi dan meningkatkan kemampuan administrasi pemerintah untuk merumuskan serta melaksanakan program pembangunan yang baik, secara berangsur terjadi pergeseran dan bantuan

program ke bantuan proyek. Sehingga, dalam jangka panjang, bantuan proyek lebih memainkan

(8)

sisi) sekaligus menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi berjalan dengan arah yang benar,

karena syara bagi diberikannya bantuan proyek terkait erat dengan perkembangan ekonomi itu sendiri.

Sedangkan bila melihat sumber utang luar negeri dibedakan menjadi dua, yakni ULN yang berasal

dan bilateral dan multilateral. ULN bilateral adalah bantuan yang langsung berasal dan hubungan C

to G (Government to Government) atau antarnegara. Sedangkan multilateral berasal dan lembagalembaga

keuangan internasional, seperti World Bank dan IMF, ataupun negara yang mengikatkan din dalam sebuah konsorsium, seperti CCI (Consultative Group on Indonesia).

Untuk konteks Indonesia, ULN tersebut kebanyakan berasal dan hubungan bilateral dibandingkan

yang berasal dan multilateral, namun dengan selisih yang tidak terlampau besar. Di luar itu, ODA

bilateral dan ODA multilateral, ada juga ULN yang berasal dan skema non-ODA (official development

assistance) dan utang komersial sehingga total utang sampai akhir 2005 mencapai 61 milyar dolar AS

(di luar utang obligasi dan IMF). Oleh karena negara pemberi utang terbesar kepada Indonesia adalah

Jepang, maka wajar bila sekitar 43% utang dalam mata uang yen, disusul mata uang dolar sebesar

29%.

Persoalan utang luar negeri di Indonesia sebenarnya mulai terasa agak serius setelah terjadi transfer netto modal keluar sejak tahun 1985. Transfer netto terjadi jika cicilan utang luar negeri lebih

besar daripada jumlah utang baru setiap tahunnya. Dengan kata lain, transfer netto modal keluar (net

resource transfer) semakin besar. Sebagai contoh, cicilan utang pemerintah Indonesia mencapai US$

3,97 milyar pada tahun 1985. Sementara utang baru Indonesia pada tahun tersebut berjumlah US$

3,57 milyar, artinya telah terjadi transfer netto modal keluar sebesar 0,4 milyar pada tahun tersebut.

Transfer modal keluar tersebut cenderung akan lebih besar pada tahun-tahun yang akan datang

karena pokok pinjaman dan utang-utang dekade sebelumnya sudah mulai jatuh tempo. Tambahan

Tahun Jumlah Persentase ( % ) PDB

2000 74.891 51,70

Journal of Indonesian Applied Economics Vol.1 No.1 Oktober 2007, 36-45

42

pula, tingkat bunga pinjaman pada tahun-tahun yang akan datang diramaikan tidak akan turun (Ramli,

1991:3-6).

(9)

antara utang baru dengan jumlah cicilan kian membesar setiap tahunnya. Tentu saja kondisi ini

sangat mencemaskan karena Indonesia berada dalam siklus ketergantungan yang tidak jelas jalan

keluarnya.

Ekonomi Politik Utang Luar Negeri Indonesia

Kebutuhan dolar untuk membayar utang luar negeri semakin besar, sementara tidak ada peningkatan pasokan dolar yang memadai karena tidak adanya peningkatan ekspor dari sektor industri.

Sebagai akibatnya nilai rupiah semakin terpuruk.

Utang luar negeri pada akhirnya diikuti dengan kecenderungan negative inflow. Hal ini disebabkan

oleh tidak adanya justifikasi ekonomi dari utang luar negeri yang diambil. Proyek yang dilakukan

dengan utang luar negeri tidak berkaitan dengan pertimbangan ekonomi melainkan pertimbangan

subyektif elit kekuasaan. Akibatnya, lemahnya kaitan antara pinjaman yang diterima dengan peningkatan kapasitas produksi nasional sehingga kemampuan negara pengutang untuk mengembalikan utangnya (repayment capacity) menjadi rendah. hal ini berkaitan dengan kecenderungan pertimbangan untuk berhutang luar negeri yang lebih ditentukan oleh kepentingan

elit pemerintahan daripada pertimbangan untuk kepentingan umum.

Menurut Bauer, Fiedman, dan Lal (2001) utang luar negeri sering menjadi ajang perebuatan antara

para birokrat sehingga sering terjadi friksi diantara mereka. Utang luar negeri juga sering kali

disalahgunakan untuk pembelian senjata. Sementara kritisi dari “kiri” mendasarkan diri pada

pengalaman bahwa utang luar negeri cenderung hanya memperkokoh kekuasaan yang ada akibat

terpusatnya modal pada sekolompok kecil. Pinjaman luar negeri tidak membantu orang miskin

melainkan cenderung untuk membantu kelompok yang berkuasa.

Implikasi Ekonomi ULN

Studi terhadap ULN telah hanyak dilakukan dengan hasil yang ambigu (bahkan bisa kontradiktif

antara satu riset dengan yang lain). Misalnya, studi yang dilakukan oleh Gomanee et. al. (2005:10)

menunjukkan bahwa ULN bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang diukur dan peningkatan

indeks pembangunan manusia (human development index) dan penurunan tingkat kematian bayi

(infant mortality). Efek kenaikan kesejahteraan tersebut bisa melalui pengaruh langsung (misalnya

lewat peningkatan pendapatan dan akses terhadap layanan sosial) maupun tidak langsung (seperti

melalui peningkatan kesejahteraan akibat efek pertumbuhan ekonomi). Namun efek positif ULN

terhadap kesejahteraan itu hanya bisa terjadi apabila terdapat mekanisme transmisi melalui belanja/

pengeluaran pemerintah yang memihak kepada kepentingan masyarakat (pro-public government

(10)

Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka efek peningkatan kesejahteraan tentu tidak akan terjadi.

Kosack (2003:11) menyatakan bahwa ULN hanya akan bekerja dengan baik dalam negara yang

demokratis dan sebaliknya- ULN akan menimbulkan efek negatif bila negara penerimanya tergolong

otoriter. Argumentasi dan penemuan ini jelas, karena di negara demokrasi pemanfaatan ULN akan

dikontrol secara penuh oleh masyarakat sipil sehingga setiap ada penyimpangan dana ULN bisa

segera diketahui. Sebaliknya, di negara yang sistem politiknya otoriter sulit bisa berlangsung praktik

cheks and balancing dalam mengawal ULN karena semua informasi dipegang secara tertutup oleh

pemerintah. Pada titik inilah, biasanya ULN akan lari ke proyek proyek yang tidak ada kaitannya

dengan kepentingan masyarakat, bahkan yang lebih tragis ULN hanya menjadi instrumen untuk

bagi-bagi uang bagi para penyelenggara negara dan lembaga negara donor. Fakta inilah yang terjadi

di banyak negara sehingga praktik ULN yang telah berlangsung puluhan tahun tetap tidak bisa

membantu negara miskin mengejar ketertinggalannya dan negara maju; malah terjerembab ke kubang

kemiskinan yang kian dalam.

43

Utang Luar Negeri Indonesia Viviane Manoppo

Saat krisis ekonomi mulai melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, masalah utang luar

negeri memegang peranan penting dalam menyumbang krisis tersebut, karena kebetulan pada masa

itu banyak utang-utang (termasuk swasta) jatuh tempo. Lebih rumit lagi, dalam kondisi itu Indonesia

membutuhkan lagi utang-utang baru untuk menahan laju krisis ekonomi tersebut. Tabel 7.3 menunjukkan adanya perkembangan yang menggembirakan dalam penanganan ULN, khususnya

bila dikaitkan dengan PDB (produk domestik bruto). Sejak tahun 2000-2004 terdapat penurunan

secara konsisten persentase jumlah utang terhadap PDB, dan semula 51,7% (2000) menjadi 32,57%

(2004). Namun, pada tahun 2005 (sampai bulan September) persentase tersebut meningkat kembali

menjadi 38,55%. Tapi, data-data tersebut belum mencerminkan keseluruhan gambaran mengenai beban

negara dan praktik ULN tersebut. Pada tahun anggaran 2006, misalnya, ULN yang harus dibayar

sebesar 11,8% dan APBN atau setara dengan Rp 76,6 trilyun. Kalau utang pokok dihitung, totalnya

Rp 171,6 triiyun atau sepadan dengan 26,5% dan anggaran. Bandingkan dengan belanja modal yang

menjadi stimulan bagi perekonomian yang cuma 9,7% dan anggaran atau sebesar Rp 62,95 trilyun

(11)

Apa yang dikemukakan di atas merupakan akibat utang luar negeri yang bersifat internal. Artinya,

konsekuensi yang timbul lebih merupakan dampak langsung yang tidak berkaitan dengan kepentingan

negara-negara lain. Sementara itu, implikasi eksternal yang sangat mungkin terjadi dan ULN justru

sangat membahayakan, yang dalam banyak hal bisa diidentifikasi sebagai bentuk ketergantungan

baru negara berkembang terhadap negara maju. Faktor itu faktanya malah disisihkan oleh banyak

para pengambil kebijakan karena disilaukan oleh potensi yang bakal bisa diperoleh dengan penggunaan

utang luar negeri itu. Padahal di balik itu ULN menyimpan ‘virus’ mematikan yang menghujani

perekonomian negara (berkembang) dalam jangka yang sangat lama, bahkan mungkin bisa permanen.

Setidaknya terdapat empat masalah besar yang ditimbulkan utang luar negeri tersebut (Yustika,

2000:132-134).

a) Tidak seperti yang dipahami oleh banyak kalangan, khususnya masyarakat awam, utang luar

negeri tidak datang dalam wujud uang, melainkan sebagian besar justru dalam bentuk barang

atau teknologi. Dengan keadaan seperti ini, penggunaan ULN menjadi tidak fleksibel, karena produk atau teknologi tersebut jelas hanya bisa digunakan untuk program-program tertentu saja. Mekanisme itu bisa terjadi mengingat prosedur pemberian utang adalah melalui seleksi proposal yang berisi program-program yang sudah direncanakan, dan bila sudah disetujui maka kebutuhan program itu diwujudkan dalam bentuk barang/teknologi, bukan uang. ini jelas berbeda konsekuensinya apabila utang tersebut dirupakan dalam wujud uang, karena dengan begitu pemakaiannya bisa lebih disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan nil yang berkembang dalam pelaksanaan program.

b) Karena yang datang adalah barang atau teknologi, kemungkinan yang bisa muncul adalah

barang atau teknologi tersebut sesungguhnya tidak lagi sesuai dengan program yang

digunakan, baik menyangkut kesesuaian maupun kualitas dan teknologi yang bersangkutan. Dan segi kesesuaian maupun kualitas, jika misalnya negara berkembang diberi pilihan, seharusnya negara debitur bisa membeli barang atau teknologi dan berbagai macam negara yang dipandang lebih mampu menjamin kesesuaian dan kualitas dan keberhasilan program yang hendak dilakukan. Sementara dengan pola demikian, debitur tidak memiliki alternatif untuk melakukan pilihan. Faktor ini semakin memperkuat keyakinan, bahwa utang luar negeri

lebih banyak sebagai instrumen bagi negara maju untuk menjual barang dan teknologinya kepada negara-negara berkembang, dan sangat mungkin itu adalah produk-produk yang sudah

kadaluwarsa di negara asalnya.

c) Sudah menjadi persyaratan bahwa setiap program yang disetujui selalu disertai dengan mengikutsertakan konsultan asing (dari negara donor) dengan dalih untuk memonitor pelaksanaan dan program tersebut. Padahal, sejatinya konsultan asing itu lebih banyak berperan untuk menentukan ke mana arah dan program itu dilakukan, baik secara konseptual

maupun teknis. Ini jelas menimbulkan persoalan, karena konsultan asing pasti mewakili kepentingan negara donor untuk mengamankan keberlanjutan program sesuai dengan

Journal of Indonesian Applied Economics Vol.1 No.1 Oktober 2007, 36-45

(12)

persetujuan mereka. Hal ini masih ditambah dengan realitas bahwa konsultan asing dibayar dengan sangat mahal, melebihi gaji rata-rata yang dibayarkan kepada pekerja Indonesia dengan

kualifikasi yang sederajat. Dengan sendirinya hal ini memotong jumlah dana utang luar negeri

yang sebenarnya bisa digunakan lebih banyak untuk mengerjakan program.

d) Sering kali di balik kesepakatan pemberian ULN itu dibarengi dengan kesanggupan dan negara

berkembang untuk berbagi kebijakan (ekonomi) dengan kepentingan negara-negara donor. Misalnya, negara donor mau memberikan utang asalkan negara penerima mau membuka sektorsektor

tertentu untuk dapat dimasuki investasi asing. Atau, utang luar negeri akan ditanda

tangani asalkan produk dan negara-negara maju bisa masuk ke negara berkembang. Fakta ini

jelas menimbulkan implikasi yang tidak ringan, karena negara berkembang justru diberi persyaratan yang sangat berat dan seluruhnya secara ekonomi tidak menguntungkan posisi negara berkembang itu sendiri. Dampak multiplikasi dan ULN tersebut menggerogoti

perekonomian negara berkembang secara tidak langsung, tetapi secara fundamental sesungguhnya kebijakan ekonomi sudah diatur oleh negara donor.

Itulah yang terjadi pada sebagian besar negara-negara penerima utang, sehingga ekonominya

menjadi hancur setelah selama beberapa dekade menjadi ‘pasien’ lembaga/negara donor.

C. KESIMPULAN

Dengan segala argumentasi utang luar negeri yang telah dijelaskan diatas dan kasus yang terjadi

di negara-negara lain, telah sewajarnya bila praktik ULN di Indonesia tidak bisa terlalu dipercaya

kemanfaatannya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat karena sistem politik otoriter yang telah

berlangsung puluhan tahun, khususnya pada masa Orde Baru. Pada masa itu tidak ada akses

masyarakat terhadap pemanfataan ULN dan kontrol terhadapnya. Akibatnya, tidak ada jejak yang

bisa dilacak untuk mengungkap derajat efek ULN terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Tentu saja pandangan ini sejalan dengan penemuan yang diperoleh oleh Kosack, seperti yang telah

diungkapkan di muka. Bahkan, jika mengikuti temuan Gomanee di atas, selama puluhan tahun di

Indonesia juga tidak terjadi peningkatan indeks pembangunan manusia sebagai salah satu indikator

untuk mengukur kesejahteraan rakyat karena proporsi anggaran tidak dipakai untuk mengongkosi

kepentingan publik, tetapi sebagian malah habis untuk membayar utang.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan ULN pantas untuk dicermati karena menimbulkan

kompleksitas masalah yang tidak gampang diurai. Sebagian besar negara-negara penerima utang

ekonominya menjadi hancur setelah beberapa dekade menjadi ‘pasien’ lembaga/negara donor.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo.

(13)

Djiwandono Soedradjad. Krisis dan Pembaharuan Ekonomi-Moneter. 2000

Erani Yustika Ahmad. Perekonomian Indonesia: Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi. Unibraw. Februari 2007.

Hudiyanto. Ekonomi Politik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Maret 2004.

45

Utang Luar Negeri Indonesia Viviane Manoppo

Kompas, Kamis 4 Juli 2002.

Krugman, Paul. The Return of Depression Economic. 2000.

Lim Say Boon. The Art of the Possible. FEER. 1999.

LIPI, Indonesia Menapak Abad 21, Kajian Ekonomi, LIPI, Jakarta, 2001.

Media Indonesia, Januari 2000.

Mubyarto, Membanguan Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE, 2000.

Suryadi, Budi. Ekonomi Politik Modern (Suatu Pengantar). IRCisiD, Yogyakarta 2006.

www.tokohindonesia.com.

www.ekonomirakyat.com

makalah 2

Makalah Akhir Semester Perekonomian Indonesia 1

HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH INDONESIA:

Dampaknya terhadap Tabungan Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi Kurun Waktu 1983 - 1996

Oleh

Oswar Mungkasa I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Sejak awal pemerintahan Orde baru, pemerintah memberlakukan kebijakan defisit anggaran yang secara terus menerus ditutup dengan pembiayaan dari bantuan luar negeri1. Gejala ini merupakan hal yang lazim bagi negara berkembang, sebagai suatu usaha kompensasi untuk menutupi kesenjangan antara tabungan domestik dan kebutuhan investasi serta untuk mengimbangi defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran (Basri, 1997).

1 Defisit dalam anggaran belanja negara diartikan sebagai selisih di antara jumlah pengeluaran (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan) dengan jumlah pemasukan dari dalam negeri yang negatif (Arif, 1987).

2 Beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru mendorong kemudahan pihak swasta untuk melakukan pinjaman luar negeri. Pada saat yang sama dengan asumsi bahwa kondisi perekonomian relatif stabil (penurunan nilai

Jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat, dan dengan berjalannya waktu, maka tercipta suatu ketergantungan akan bantuan luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Ketergantungan ini menjadi beresiko tinggi tidak hanya karena beratnya beban pembayaran bunga dan cicilan, tetapi juga karena adanya resiko ‘currency realignment’ yaitu terjadinya perubahan nilai tukar antar mata uang dunia sehingga meningkatkan beban pembayaran hutang luar negeri (Ahmad, 1991).

(14)
(15)

rupiah terhadap dollar diperkirakan stabil pada kisaran 3-6 persen per tahun) dan untuk penghematan biaya maka pinjaman luar negeri tersebut tidak dilindungi (hedge) terhadap kemungkinan perubahan nilai tukar oleh pihak swasta.

3 Beberapa indikator tersebut adalah (i) makin melemahnya rupiah terhadap dollar, (ii) menurunnya pendapatan ekspor, (iii) meningkatnya tingkat pengangguran, (iv) bertambahnya jumlah penduduk miskin, (v) meningkatnya inflasi;

4 Lima langkah penghematan pemerintah adalah (i) meningkatkan penerimaan pajak; (ii) menarik kembali dana perimbangan; (iii) penurunan subsidi BBM; (iv) privatisasi dan penjualan asset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); (v) pengurangan porsi dana pemerintah dalam pembiayaan proyek berbantuan luar negeri. 5 Paris Club, forum negara-negara pemberi pinjaman bilateral, menulis surat pada pemerintah yang prinsipnya menunda kesepakatan penjadwalan utang sebesar 2,97 milyar dollar AS untuk jangka waktu 1 April 2001-31 Maret 2002.

mengakibatkan banyaknya bank kolaps dan biaya rekapitulasinya harus ditalangi oleh pemerintah. Konsekuensinya anggaran pemerintah semakin defisit dan kebutuhan bantuan luar negeri membesar untuk menutup defisit. Kondisi ini telah menyebabkan hutang luar negeri pemerintah melonjak tajam dari 83 milyar dollar AS (1993) menjadi 123 milyar dollar AS (2001). Menurut Morgan Stanley Dean Witter, bank investasi yang berbasis di London, kondisi ini menyebabkan semakin banyaknya proporsi output nasional yang tersedot untuk membayar utang, Akibatnya pemerintah Indonesia dikhawatirkan akan jatuh dalam perangkap hutang permanen (permanent debt trap) (Kompas, 27 Februari 2001)

(16)

Kondisi ini kemudian memungkinkan kita untuk melihat kembali pada tujuan dari bantuan luar negeri itu sendiri. Dasar filosofis dari bantuan luar negeri pada awal mulai diperkenalkannya adalah sebagai sumber luar yang dipergunakan sebagai dasar bagi percepatan investasi dan pertumbuhan

(Chennery, 1973). Untuk kemudian oleh Organization of Economic Cooperation and Development

(OECD) diformulasikan tujuan pemberian bantuan luar negeri sebagai alat untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, tingkat kesejahteraan yang makin meningkat seraya menjaga stabilitas keuangan, dan dengan demikian menyumbang pada perekonomian dunia

(Djamin,1995). Pada prinsipnya bantuan luar negeri adalah untuk peningkatan perekonomian negara

penerima, dan selanjutnya perekonomian dunia.

Kenyataan yang dihadapi ternyata agak berbeda. Bantuan asing dikritik sebagai tidak bermanfaat dan bahkan kontra produktif (Burnside, 1997). Hasil pengamatan empiris dari berbagai penelitian

menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Sebagian terbesar memperlihatkan bahwa bantuan luar negeri kurang bermanfaat bagi peningkatan perekonomian negara-negara penerima bantuan, sementara sebagian bukti empiris menunjukkan bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak yang signifikan terhadap perekonomian negara penerima bantuan.

Jika efektifitas dari bantuan luar negeri sendiri masih dipertanyakan, sementara resiko yang dihadapi demikian besar maka menjadi suatu hal yang krusial bagi negara penerima bantuan luar negeri untuk menyikapi hal ini. Kebijakan pembiayaan pembangunan akan banyak bergeser mengikuti

kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian empiris para ekonom.

Dari berbagai penelitian empiris yang dilakukan selama ini, maka dampak bantuan luar negeri terhadap perekonomian suatu negara diukur melalui pertumbuhan ekonomi dan tingkat tabungan. Hal ini sesuai dengan tujuan awal dari pemberian bantuan luar negeri yaitu untuk meningkatkan

(17)

dampak hutang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi dan tabungan domestik. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjelaskan seberapa bermanfaat bantuan luar negeri bagi Indonesia.

1.2 Hutang Luar Negeri Pemerintah

1.2.1 Perkembangan Hutang Luar Negeri Pemerintah

Perkembangan hutang luar negeri Indonesia relatif sulit dijelaskan secara rinci karena tidak tersedianya data yang akurat. Beberapa hal tercatat sebagai penyebabnya antara lain sebagaimana dikemukakan Todaro (1977) bahwa sering dicampuradukkan antara bantuan luar negeri bersifat hibah dan utang. Komponen utang mengandung unsur biaya bunga sementara komponen hibah tidak. Kerumitan bertambah karena bantuan luar negeri juga mengandung ikatan-ikatan tertentu seperti keharusan mengimpor bahan baku dan mengekspor hasilnya ke negara donor. Selain itu, nilai nominal dan nilai riil utang sering berubah pada masa inflasi tinggi. Hal ini kemudian menjadikan sumber data hutang luar negeri kita sebagian besar menggunakan data World Bank atau International Monetary Fund (IMF) (Hiong, 1994).

Indonesia telah mulai memanfaatkan hutang luar negeri sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunannya sejak ditandatanganinya perjanjian Hatta Plan pada tahun 1947. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa pinjaman luar negeri dijadikan sebagai unsur untuk membelanjai

perekonomian Indonesia.

Hutang luar negeri pemerintah meningkat terus, dari sebesar Rp. 966 Milyar pada sepanjang Pelita I (1969/1970 – 1973/1974) kemudian meningkat menjadi Rp. 39.537 Milyar pada sepanjang Pelita V (1989/1990 – 1993/1994). Bahkan sejak awal Pelita VI sampai sebelum krisis tahun 1996/1997 maka jumlah hutang luar negeri pemerintah mencapai angka Rp. 42.920 Milyar (Saefulloh, 1998).

(18)

1.2.2 Peran Hutang Luar Negeri Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Menurut Sritua Arief, sejak pemerintahan Orde baru, defisit anggaran belanja negara6 terus menerus ditutup dengan sumber pembiayaan luar negeri (lihat Tabel 1). Dengan adanya hutang luar negeri maka saldo keuangan negara menjadi positip kecuali pada beberapa tahun yang menunjukkan negatip.

6 Defisit anggaran belanja negara adalah selisih antara jumlah pengeluaran (rutin dan pembangunan) dengan jumlah pemasukan dari dalam negeri yang menunjukkan posisi negatip

Sumbangan hutang luar negeri pemerintah (dalam tabel 1 diklasifikasikan sebagai penerimaan pembangunan) terhadap pengeluaran pembangunan menunjukkan angka yang signifikan. Sumbangan hutang luar negeri pemerintah terhadap pengeluaran pembangunan terlihat mencapai puncaknya masing-masing pada tahun 1988/1989 dan tahun 1998/1999. Di luar tahun tersebut sumbangannya rata-rata di atas 30 persen. Sementara peran hutang luar negeri pemerintah dalam APBN cukup signifikan berkisar antara 10 sampai 30 persen. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran dari hutang luar negeri pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan Indonesia.

Sementara pada Tabel 2 terlihat perkembangan dominasi besarnya kewajiban pembayaran hutang luar negeri pemerintah (debt servicing) terhadap APBN. Sejak tahun Anggaran 1986/1987, kewajiban pembayaran hutang luar negeri pemerintah telah mencapai proporsi di atas 20 persen terhadap APBN. Sementara hutang luar negeri pemerintah setiap tahun sejak tahun anggaran 1987/1988 tidak dapat menutupi besarnya pembayaran kembali hutang luar negeri pemerintah yang telah jatuh tempo berikut bunganya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dalam kondisi ‘gali lubang tutup lubang’ bahkan menggunakan sumber dana domestik untuk menutup kekurangan pembayaran kembali hutang luar negeri. Akibatnya sebagian terbesar dari pengeluaran rutin APBN dialokasikan untuk pembayaran pinjaman tersebut, yang porsinya telah mencapai sekitar 38 persen pada tahun 1998/1999.

Implikasi lebih lanjut adalah kontraksi fiskal, yang dapat berakibat kontraksi ekonomi pula secara langsung baik dari sisi pengeluaran maupun sisi penerimaan. Dari sisi pengeluaran, implikasi pertama adalah alokasi anggaran pemerintah untuk berbagai proyek pembangunan menjadi

berkurang. Berarti kemampuan menciptakan lapangan kerja berkurang, dan pertumbuhan ekonomi

(19)

semakin menurun. Hal kedua adalah alokasi anggaran rutin semakin ketat, sehingga belanja pegawai menjadi berkurang, yang berakibat menurunnya kesejahteraan pegawai negeri. Hal ketiga adalah semakin sulitnya anggaran untuk program sosial. Dari sisi penerimaan, maka sumber penerimaan dalam negeri akan diintensifkan (Hiong, 1994).

1.2.3 Beban Hutang Luar Negeri Pemerintah

Indikator beban hutang suatu negara bervariasi dari yang sederhana seperti Debt Service Ratio (DSR) dan Debt GDP ratio (Rasio Hutang terhadap Produk Domestik Bruto)7, rasio utang terhadap ekspor, rasio nilai sekarang dari utang terhadap ekspor, rasio nilai sekarang terhadap PDB dan jumlah utang jangka pendek, sampai konsep yang lebih kompleks seperti Debt Sustainability.

7 Penggunaan Produk Domestik Bruto (PDB) lebih disukai dibanding Produk Nasional Bruto (PNB) karena hutang luar negeri harus dibayar dari nilai total dari output nasional, sementara pembayaran bunga tidak termasuk dalam PNB (McLeod, 1996).

Walaupun banyak indikator yang dapat digunakan, namun biasanya dipilih indikator yang sederhana. Alasan utama pemilihan analisis utang luar negeri dengan menggunakan indikator sederhana

(menghiraukan kekurangannya) adalah bahwa terdapat kesulitan dalam menggunakan prinsip teoritis dalam menilai kapasitas utang. Menerapkan prinsip teoritis memerlukan pengetahuan rinci tentang parameter fungsi utilitas antarwaktu dan teknologi produksi, kejutan ‘terms of trade’, perilaku pemberi utang, dan faktor lainnya. Nuansa dan kompleksitas utang internasional mengakibatkan tidak terdapat model sederhana yang cukup relevan menggambarkan dimensi dari posisi utang suatu negara (McDonald, 1982).

(20)

dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin menunjukkan rasio hutang terhadap PDB yang relatif sama, tetapi menjadi berbeda sekali jika menggunakan rasio jumlah kewajiban yang jatuh tempo terhadap ekspor (DSR) dengan negara-negara Asia menunjukkan rasio yang jauh lebih baik (Sachs, 1993).

Hal yang relatif sama dikemukakan oleh Radelet dengan memberi ilustrasi dua negara (A dan B) dengan tingkat hutang luar negeri dan PDB yang relatif sama. Negara A mempunyai hutang luar negeri jangka pendek dengan bunga pinjaman tinggi. Negara B dengan hutang luar negeri jangka panjang dan bunga rendah. Tentu saja negara A rentan terhadap krisis hutang jika terjadi guncangan eksternal (external shock). Tetapi karena rasio hutang terhadap PDB sama pada kedua negara maka tidak akan banyak informasi tentang kerentanan Negara A terhadap guncangan eksternal (Radelet, 1996).

Memperhatikan penjelasan di atas maka pada kesempatan ini kami hanya menggunakan indikator DSR8 saja. Indikator DSR dapat menjelaskan besarnya beban hutang luar negeri dengan melihat dari kemampuan pemerintah dalam melunasi hutang luar negeri melalui besarnya nilai ekspor negara yang diterima. Semakin kecil nilai ekspor relatif terhadap kewajiban pembayaran hutang luar negeri pemerintah maka semakin besar beban hutang suatu negara. Pada gilirannya hal ini menunjukkan rentannya negara tersebut terhadap krisis hutang9. Batas bahaya yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk DSR adalah 20 persen.

8 Debt Service Ratio adalah rasio jumlah kewajiban (cicilan dan bunganya) yang harus dibayar terhadap nilai ekspor.

9 Menurut Dornbusch (1989), krisis utang mencakup ketidakmampuan negara peminjam untuk memenuhi jadwal pembayaran utang (cicilan dan bunga) tepat waktu (Radelet, 1996).

Pada Tabel 3 terlihat sejak tahun anggaran 1987/1988 besarnya DSR berada pada kisaran batas kritis 20 persen. Bahkan pada tahun anggaran 1987/1988 sampai 1990/1991 menunjukkan angka diatas 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa posisi beban hutang luar negeri pemerintah Indonesia sudah dalam batas yang mengkhawatirkan. Jika terjadi gangguan terhadap sumber penerimaan ekspor, maka negara kita dapat terbelit hutang.

(21)

memperlemah kemampuan memenuhi kewajiban yang jatuh tempo di masa selanjutnya (Basri, 1997).

1.3 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bagian yaitu (i) Pendahuluan yang menjabarkan latar belakang dan perkembangan hutang luar negeri pemerintah; (ii) Tinjauan Literatur, menjelaskan dampak hutang luar negeri terhadap tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi; (iii) Dampak Hutang Luar Negeri Pemerintah, dengan menggunakan data periode 1983-1996 maka dilakukan uji empiris terhadap dampak bantuan luar negeri terhadap tabungan dan pertumbuhan ekonomi pada; (iv) Kesimpulan dan Rekomendasi.

II. Tinjauan Literatur

2.1 Beberapa Pengertian dan Definisi

2.1.1 Bantuan Luar Negeri

Development Assistance Committee of OECD (1971) merumuskan bantuan luar negeri sebagai bantuan pembangunan secara resmi yang terdiri dari dana yang disediakan oleh pemerintah atas persyaratan konsesional terutama untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan negara berkembang (Djamin, 1995).

Bantuan luar negeri dapat berupa berbagai macam bentuk tetapi dapat diringkas menjadi dua kategori besar yaitu (i) bantuan pembangunan terdiri dari bantuan proyek, bantuan program, dan bantuan teknis, (ii) bantuan darurat. Yang lebih ditujukan untuk memberikan dukungan sementara bagi penanganan bencana alam dan kondisi darurat lainnya seperti perang, dari pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi, bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan (Djojohadikusumo, 1994) 2.1.3 Tabungan Domestik

(22)

yang tidak dikonsumsi atau konsumsi yang ditunda; (b) Tabungan luar negeri merupakan sumber pembiayaan kesenjangan tabungan dan investasi (sama dengan defisit transaksi berjalan); (c) Tabungan rumah tangga adalah sisa pendapatan rumah tangga yang tidak dikonsumsi; (d) Tabungan perusahaan adalah sisa hasil usaha (laba) yang tidak dibagikan kepada pemegang saham; (e)

Tabungan pemerintah didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan pemerintah diluar utang dengan pengeluaran rutin.

Tabungan domestik adalah (a) tabungan nasional yang terdiri dari tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan dan tabungan pemerintah; dan (b) tabungan luar negeri.

2.2. Pentingnya Pertumbuhan Ekonomi

Memperhatikan perbedaan pendapatan per kapita yang signifikan antar negara-negara di dunia, maka untuk memahaminya diperlukan pengertian tentang perbedaan yang tajam dari tingkat pertumbuhan ekonomi diantara negara-negara tersebut dalam jangka panjang. Perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat sedikit pun dalam jangka panjang mempunyai dampak yang besar terhadap kondisi kesejahteraan negara tersebut dibandingkan terhadap fluktuasi bisnis jangka pendek yang biasanya menarik perhatian dari ahli ekonomi makro. Dengan kata lain, jika kita dapat mempelajari tentang pilihan kebijakan pemerintah yang bahkan hanya mempunyai dampak relatif kecil terhadap tingkat pertumbuhan jangka panjang, maka kita dapat menyumbangkan jauh lebih banyak terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan daripada yang telah dihasilkan oleh analisis makro kebijakan siklus bisnis jangka pendek. Pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari ekonomi makro yang sangat penting (Barro, 1995).

.2.3. Tabungan dan Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi dimulai melalui model Harrod-Domar (Domar 1946, 1947; Harrod, 1939). Ditunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi10 (gy) pada kondisi kesetimbangan sama dengan produktifitas modal dikalikan dengan tingkat tabungan atau investasi (s), sehingga: 10 Harrod menyebutnya pertumbuhan ekonomi yang dijamin (warranted rate of growth)

(23)

gy = laju pertumbuhan ekonomi;  = produktiftas modal;

s = tingkat tabungan

Untuk penyederhanaan, produktifitas modal dianggap tetap, sehingga pertumbuhan ekonomi

dipengaruhi langsung oleh tingkat tabungan. Lebih jauh, ini yang memungkinkan munculnya postulat hubungan timbal balik antara tingkat tabungan dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan ini dapat terjadi satu arah maupun dua-arah seperti yang secara empiris terjadi dalam tahap petumbuhan ekonomi yang tinggi. (Hossain, 1998). Tetapi berdasar hasil studi pada sembilan Negara Asia Timur, ternyata pertumbuhan ekonomi dapat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat

tabungan tetapi pengaruh sebaliknya kurang terlihat (World Bank, 1993).

Model di atas mengacu pada ekonomi tertutup, dengan tabungan merupakan satu-satunya sumber investasi. Tetapi dalam ekonomi terbuka, investasi dapat dibiayai oleh pinjaman luar negeri, yang disebut tabungan luar negeri. Meskipun begitu, kekurangan tabungan domestik akhirnya akan mengurangi tingkat investasi, baik langsung atau melalui kendala beban pembayaran hutang luar negeri yang dibebankan pada tabungan domestik (World Bank, 1993).

Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang dapat menjelaskan tingkat tabungan berdasar dua alasan (i) tabungan dan pertumbuhan ekonomi telah dihubungkan sejak lama pada berbagai negara dan tahapan pembangunan; (ii) Tabungan dihubungkan langsung dengan output melalui investasi, sehingga pada kondisi dibutuhkan peningkatan investasi maka bertambahnya tabungan akan menghasilkan penambahan output, selama ekonomi belum mencapai kesetimbangan (Hicklin, 1997)

(24)

bahwa tabungan mendahului investasi, dan pertumbuhan ekonomi mendahului tabungan (Loayza, 1999).

2.2 Peran Bantuan Luar Negeri

Dasar pemikiran tentang bantuan luar negeri sebenarnya merupakan refleksi dari kisah sukses rencana Marshal pada tahun 1940-an yang berhasil menyelesaikan persoalan resesi di masa itu. Sukses ini kemudian mengilhami negara maju untuk melakukan pemindahan sumber daya ke negara berkembang yang biasanya kekurangan modal untuk menggerakkan ekonominya. (Rachbini, 1991). Pada saat tingkat tabungan tidak dapat mencukupi kebutuhan pembiayaan maka dipergunakan sumber lain antara lain bantuan luar negeri. Diharapkan bahwa dengan adanya bantuan luar negeri maka tingkat tabungan akan meningkat dan kesenjangan antara tabungan dan kebutuhan pembiayaan akan berkurang. Selain itu, injeksi modal ini selanjutnya dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara penerima tanpa mengurangi kesempatan kerja dan meningkatkan taraf konsumsi masyarakat. Pada saatnya nanti, tabungan dapat membiayai keseluruhan kebutuhan pembiayaan, dan bantuan luar negeri tidak dibutuhkan lagi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama dari pemberian bantuan luar negeri. Dampak ekonomi makro dari bantuan luar negeri selain terhadap tabungan domestik dan

pertumbuhan ekonomi, terdapat beberapa dampak lainnya yaitu (i) meningkatkan penggunaan teknologi sehingga menciptakan pertumbuhan berkelanjutan. Contohnya penggunaan teknologi pangan meningkatkan kemampuan pengadaan pangan berkelanjutan pada negara Asia Selatan; (ii) melalui bantuan teknis, negara penerima bantuan terbantu dalam meningkatkan kemampuan administratif, manajerial dan kemampuan sumber daya manusia; (iii) melalui persyaratan yang ditetapkan dalam bantuan, negara penerima dapat memperbaiki kebijakan ekonomi; (iv) dukungan langsung dan tidak langsung bagi peneliti, lembaga perguruan tinggi, konsultan dalam meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan negara berkembang (Hossain,1998).

(25)

(1992) dan Griffin (1978) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa bantuan luar negeri tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, malahan mengurangi tabungan dan mengurangi kemandirian perekonomian suatu negara. Beberapa ekonom radikal bahkan menyatakan bahwa bantuan luar negeri merupakan alat untuk mempertahankan agar negara penerima bantuan tetap miskin dan bergantung pada negara donor.

Sachs menunjukkan salah satu dampak yang diakibatkan oleh krisis hutang luar negeri melalui perbandingan data-data pertumbuhan output negara-negara yang mengalami krisis hutang luar negeri dan negara-negara yang tidak mempunyai masalah krisis hutang luar negeri selama periode 1977-1989. Hasilnya menunjukkan bahwa sebelum era 1970-an kedua kelompok negara tersebut menunjukkan kinerja yang relatif sama, tetapi berubah drastis setelah era 1980-an ketika krisis hutang luar negeri telah dimulai. Pertumbuhan output negara-negara krisis hutang luar negeri menurun tajam, sementara negara tanpa krisis hutang luar negeri tetap bertumbuh. Kondisi yang sama terjadi dengan investasi. Investasi rata-rata terhadap PDB menurun tajam pada negara-negara krisis hutang luar negeri sementara negara-negara tanpa krisis hutang luar negeri tidak mengalami gejala penurunan tingkat investasi (Sachs, 1993).

2.5 Dampak Bantuan Luar Negeri terhadap Tabungan Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi Bantuan luar negeri diyakini akan mengikuti pola teoritis dari modal Harrod-Domar dimana

pemanfaatannya untuk investasi akan mengembangkan kapasitas produksi sistem ekonomi di negara penerima (Rachbini, 1991).

Dikaitkan dengan tujuan tersebut, maka penelitian empiris selalu mengaitkan antara bantuan luar negeri dengan tingkat tabungan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar analisis keberhasilan bantuan luar negeri.

Studi empiris awal terhadap dampak ekonomi makro dari bantuan luar negeri terfokus pada

(26)

Studi Bank Dunia tentang tabungan yang dilakukan terhadap 122 negara mengidentifikasikan terdapat delapan faktor yang mendorong tabungan yaitu pendapatan, pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiskal, perbaikan pensiun, liberalisasi keuangan, pinjaman luar negeri, kondisi penduduk, dan ketidaktentuan. Beberapa kesimpulan penting terkait dengan faktor berpengaruh tersebut adalah (a) Pendapatan per kapita berpengaruh positip terutama pada negara berkembang; (b) Pertumbuhan ekonomi dan tabungan saling mempengaruhi secara positip. Pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen meningkatkan tabungan sebsar 1 persen; (c) Dampak pinjaman luar negeri terhadap tabungan tidak jelas (World Bank, 1999).

Zegeye (1994), melakukan studi hubungan tabungan dengan pertumbuhan ekonomi. Menggunakan data panel pada 47 negara berkembang pada periode tahun 1966-1986 ditemukan beberapa hasil penting yaitu (i) bahwa berkaitan dengan tabungan maka: (a) pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi berhubungan positip dan signifikan dengan tingkat tabungan domestik; (b) pemasukan modal asing secara signifikan berhubungan negatif dengan tingkat tabungan; (c) tabungan domestik berperan lebih besar daripada modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara berkaitan dengan (ii) pertumbuhan ekonomi maka: (a) tingkat tabungan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Model ‘Two-Gap’

Model ‘two-gap’ didasarkan pada tiga asumsi yang berkaitan. Pertama, impor barang modal merupakan hal mendasar bagi produksi domestik di negara berkembang. Kedua, keberadaan perdagangan luar negeri untuk mengimpor barang lebih merupakan kendala pertumbuhan ekonomi dibanding ketersediaan tabungan domestik. Ketiga, permintaan dari luar lebih merupakan kendala dari pada penawaran domestik bagi barang-barang ekspor terhadap kemampuan negara berkembang untuk mendapatkan devisa melalui ekspor.(Hossain, 1998)

Jika asumsi ini valid maka bantuan luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak melalui peningkatan sumber daya yang ada tetapi dengan meningkatkan ketersediaan devisa untuk mengimpor barang modal (Eaton, 1989).

Teori Pertumbuhan Model Harrod-Domar (Domar 1946; Harrod 1939)

Ditunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (gy) pada kondisi kesetimbangan sama dengan produktifitas modal () dikali dengan tingkat tabungan (s) atau investasi sehingga:

gy =  s

Untuk memudahkan maka dianggap konstan, sehingga pertumbuhan ekonomi berkorelasi langsung dengan tingkat tabungan. Selanjutnya hubungan ini dapat berbentuk hubungan dua-arah. Meningkatkan tingkat tabungan

(27)

Tingkat Tabungan di Jepang

Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat tabungan tertunggi di dunia. Banyak ekonom percaya bahwa ini merupakan kunci kesuksesan ekonomi Jepang. Dalam dua puluh tahun terakhir (1971-1991) tingkat tabungan bersih Jepang mencapai dua kali Amerika Serikat. Model Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan adalah faktor penentu utama dari tingkat pendapatan suatu negara. Hal ini yang menyebabkan banyak ekonom meluangkan waktunya mempelajari perbedaan tingkat tabungan dari berbagai negara (Mankiw, 1992)

Pada umumnya ekonom peneliti telah menguji dampak bantuan luar negeri pada sejumlah indikator ekonomi makro seperti tabungan domestik, investasi, dan pajak pemerintah, untuk menilai kontribusi bantuan terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa yang sering dikutip antara lain yaitu Griffin dan Enos (1970), Rahman (1968), Chenery dan Eckstein (1970), Weiskopf (1972) dan Areskong (1973). Mereka menyatakan bahwa bantuan kemungkinan tidak meningkatkan sumber daya produktif disebabkan bantuan mengurangi tabungan domestik. Papanek (1972) mengkritik hasil studi ini dengan menyatakan bahwa studi tersebut menggunakan alat analisis yang kurang tepat. Namun Chenery dan Syrquin (1975), melalui studi lintas negara menegaskan temuan terdahulu bahwa bantuan mempunyai dampak mengurangi tabungan domestik. Studi terkini pun menegaskan hal yang sama sebagai contoh Hadjimichael (1995) menunjukkan bahwa walaupun keseluruhan tabungan meningkat tetapi tabungan domestik berkurang. Demikian pula Burnside (1997), walaupun telah dilakukan pengklasifikasian berdasar adanya kebijakan ekonomi jangka panjang yang memadai, ternyata bantuan tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun tabungan dan investasi merupakan saluran utama bagi bantuan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, terdapat beberapa studi yang mengukur secara langsung dampak bantuan terhadap pertumbuhan ekonomi. Contohnya Mosley, Hudson dan Horrell (1987), melalui studi lintas negara, menemukan bahwa tidak terdapat cukup bukti terhadap adanya pengaruh bantuan terhadap

pertumbuhan ekonomi (Hossain, 1998).

Terdapat dua masalah dalam menganalisis dampak bantuan terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu (i) pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja sehingga faktor lain perlu disertakan; (ii) pertumbuhan negara penerima rendah karena alasan non-ekonomi (seperti bencana, perang dan lainnya). Untuk itu dalam studi literatur terakhir (1990 an) fokus studi empiris mulai

(28)

bergerak dari investasi ke insentif, yaitu dari modal ke institusi dan kebijakan yang mendorong pertumbuhan melalui dukungan investasi yang efisien, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan teknologi lanjut. Oleh Bank Dunia, pergeseran ini dipergunakan sebagai jawaban terhadap banyaknya kritik terhadap bantuan luar negeri, dengan menyatakan bahwa secara total memang tidak terdapat pengaruh bantuan terhadap pertumbuhan tetapi jika negara penerima bantuan diklasifikasikan berdasar kemampuan manajerial ternyata terdapat pengaruh yang positif bagi pertumbuhan di negara-negara dengan kemampuan manajerial yang memadai (World Bank, 1998). Jika mengikuti pandangan Bank Dunia ini, maka sepertinya kita terjebak dalam lingkaran setan, karena sebagian besar masalah di negara berkembang adalah kemampuan manajerial yang rendah. Artinya negara donor dihadapkan pada dua pilihan (i) memberi bantuan hanya pada negara tertentu; atau (ii) memberi bantuan pada setiap negara dengan resiko tidak efektifnya bantuan. Pilihan ini memberi perspektif baru bagi negara donor untuk melakukan pembenahan terhadap program bantuan yang ditawarkan.

Sementara Cassen (1988) menyatakan bahwa pengaruh hutang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi harus dilihat kasus per kasus yaitu (i) berdasar jenis bantuan. Harus dibedakan antara bantuan untuk pangan/konsumsi dengan bantuan untuk investasi; (ii) penelitian berdasar negara per negara, dan bukan analisis ekonometrika ‘kerat lintang’ antarnegara.

2.6 Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu

Walaupun secara umum dasar teori yang dipergunakan relatif sama, tetapi variabel yang dipilih sebagai variabel bebas sangat beragam. Beberapa studi yang telah dilakukan akan dirangkum secara singkat pada bagian ini. Pada bagian awal dari sub-bab ini dikutip dari Laporan Bank Dunia berjudul Assessing Aid: What Works, What Does Not, Why (1998) yang menjelaskan hasil penelitian terbaru. Sementara pada bagian akhir dijelaskan hasil penelitian di Indonesia.

(29)

Analisis ini harus memperhitungkan kenyataan rendahnya pertumbuhan yang mungkin

mempengaruhi keinginan negara donor memberi bantuan. Bantuan dibedakan antara bantuan reguler dan bantuan darurat. Hanya bantuan reguler yang diperhitungkan. Variabel tak-bebas adalah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata pada periode 1970-1993. Terdapat enam periode empat tahunan (1970-1973….1990-1993) dan 56 negara berkembang sebagai sampel. Penelitian kemudian dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali dengan membuat perbedaan dalam jumlah dan jenis variabel, serta jumlah observasinya. Hasil selengkapnya lihat Tabel 4.

Regresi A menjelaskan pertumbuhan sebagai fungsi dari kondisi awal, insentif dan ‘error term’ yang menggambarkan gangguan eksternal. Insentif disini adalah tingkat inflasi, surplus anggaran,

perdagangan bebas, dan kualitas institusi. Tingkat konsumsi pemerintah juga dipertimbangkan. Indeks manajemen digunakan yang didapatkan dari rata-rata tertimbang tingkat inflasi, surplus anggaran, perdagangan bebas, dan kualitas institusi, dengan rata-ratanya merupakan koefisien regresi A. Indeks ini dapat dinterpretasikan sebagai tingkat pertumbuhan.

Pada Regresi B, indeks menggantikan komponen individu, yang dapat dilihat mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pertumbuhan. Regresi C memperkenalkan proporsi bantuan luar negeri relatif terhadap PDB. Regresi D memasukkan interaksi bantuan luar negeri dengan indeks

manajemen dan juga kuadrat dari interaksi bantuan dan indeks manajemen. Koefisien positif pada interaksi bantuan dan manajemen dan koefisien negatif pada kuadrat interaksi tersebut menunjukkan bahwa bantuan mempunyai hubungan positip terhadap pertumbuhan dalam kondisi manajemen yang baik tetapi berlaku hukum ‘diminishing marginal returns of aid’. Sehingga pada titik tertentu,

pertambahan jumlah bantuan malah akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Regresi F-H mengulang regresi C-E, tetapi menghilangkan negara berpenghasilan menengah. Hasilnya lebih kuat dalam dua hal: Pertama, perkiraan dampak bantuan terhadap pertumbuhan dalam kondisi manajemen yang baik meningkat; dan kedua, tingkat kepercayaan statistik juga meningkat.

(30)

Dampak bantuan terhadap pertumbuhan terlihat positip pada kondisi manjemen baik. Konsumsi pemerintah tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan, walaupun bantuan seringkali dipergunakan membiayai konsumsi pemerintah.

Sementara di Indonesia, paling tidak terdapat tiga studi yang berusaha memetakan dampak dari bantuan terhadap pertumbuhan dan tabungan domestik yaitu yang dilakukan oleh Engelina Pattiasina (1982), Sritua Arief (1987), dan Mudrajad Kuncoro (1989).

Engelina Pattiasina (1982), tanpa menggunakan model ekonometrika, menyimpulkan bahwa secara kuantitatif modal asing memberikan sumbangan yang besar untuk pertumbuhan ekonomi, demikian juga pembentukan modal terutama di sektor industri dengan konsentrasi pada lokasi Jakarta dan Jawa Barat

Sritua Arief (1987) dalam bukunya Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia mengemukakan Model Hojman11. Model ini diturunkan dari fungsi tabungan berdasar ‘two-gap model’ yang telah direvisi. Adapun modelnya adalah :

11 Diambil dari D.E. Hojman. The External Debt Contribution to output, employment,Productivity and Consumption: A Model and An Aplication to Chile. Economic Modelling, january 1986, hal. 53-71.

S = 0 + 1 Y + 2 F

S = Tabungan domestik Y = Output nasional

F = Arus bersih modal asing yang masuk

Pada prinsipnya model ini ingin melihat dampak dari arus bersih modal asing yang masuk terhadap pemupukan tabungan domestik Sementara dampak bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi diformulasikan sebagai berikut

Y = 0 + 1 F/Y

Y = Tingkat pertumbuhan output nasional per tahun

F/Y = rasio arus bersih modal asing yang masuk terhadap output Out put nasional

(31)

domestik, malah negatip. Hal ini berarti arus modal asing telah mensubstitusi tabungan domestik dan bukan menambahnya. Demikian pula halnya pengaruh modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi. Efek pertumbuhan yang ditimbulkan oleh modal asing telah habis terkuras oelh arus keluar sumber-sumber nasional. Di satu sisi, modal asing menimbulkan ‘growth promoting effect’, tetapi di sisi lain menimbulkan proses yang bersifat ‘growth defeating’, sehingga secara netto efeknya negatif (Arief, 1987).

Mengenai Model Hojman, walaupun relatif sederhana tetapi ditengarai kurang memenuhi syarat. Hal ini disebabkan bahwa dalam menganalisis dampak dari bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi maka faktor lain harus dipertimbangkan selain juga bahwa bentuk bantuan itu sendiri harus dibedakan antara bantuan reguler atau bantuan darurat12 (World Bank, 1998).

12 Bantuan darurat adalah bantuan bagi kebutuhan darurat dan segera seperti bantuan korban bencana alam.

13 Akan dijelaskan pada bagian berikut secara lebih rinci, karnea sekaligus merupakan model yang dipergunakan dalam makalah ini.

Mudrajad Kuncoro (1989) dalam penelitiannya menggunakan Model Rana Dowling13 dengan periode penelitian 1969-1984 menyimpulkan bahwa (i) bantuan luar negeri memberi dampak langsung dan dampak total yang negatip bagi pertumbuhan ekonomi, yang berarti terjadinya ketidakefektifan penggunaan bantuan luar negeri; (ii) selain itu juga dampak langsung bantuan yang negatip terhadap tabungan domestik menunjukkan bantuan luar negeri telah berperan sebagai substitusi tabungan domestik. Sementara dampak total bantuan yang positip terhadap tabungan domestik memberikan indikasi adanya kenaikan proporsi tabungan dari masyarakat yang memperoleh kenaikan pendapatan. Dapat disimpulkan bahwa terlihat perbedaan kesimpulan dari ketiga penelitian tentang Indonesia tersebut. Walaupun demikian karena penggunaan model ekonometrika pada kedua penelitian terakhir, maka sepertinya kesimpulan kedua penelitian terakhir yang lebih signifikan. Disimpulkan bahwa hutang luar negeri tidak mempunyai dampak signifikan terhadap tabungan domestik dan

(32)

III. Dampak Hutang Luar Negeri Pemerintah terhadap Tabungan Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi

3.1 Model yang Digunakan

Dalam melakukan penelitian terhadap dampak hutang luar negeri pemerintah, maka dipergunakan Model Rana dan Dowling (1988)14 sebagaimana dikemukakan oleh Mudrajad Kuncoro (1989), dengan beberapa penyesuaian sebagai akibat terjadinya ‘multikorelasi’ pada saat perhitungan (lihat Lampiran). Model Rana Dowling pada dasarnya merupakan persamaan simultan yang terdiri atas dua persamaan yaitu persamaan pertumbuhan (persamaan 1) dan persamaan tabungan (persamaan 2). Spesifikasi modelnya adalah sebagai berikut:

14 Diambil dari Pradumna B. Rana dan J.Malcolm Dowling Jr. The Impact of Foreign Capital on Growth: Evidence from Asian Developing Countries. The Developing Economies Vol XXVI No. 1 Maret 1988.

Persamaan Struktural

GR = a0 + a1 AID + a2 FPI + a3 S +a4 CX + a5 CLF + u ……… (1)

S = a6 + a7 AID + a8 FPI + a9 CX + a10 GDPN + a11 GR + v ……….. (2)

Persamaan Bentuk Ringkas

GR = 0 + 1 AID + 2 FPI + 3 S +4 CX + 5 CLF + e ……… (3)

S = 6 + 7 AID + 8 FPI +9 CX + 10 GDPN + 11 GR + f ……….. (4)

GR = laju pertumbuhan PDB GDPN = PDB per kapita

AID = rasio bantuan terhadap PDB CLF = laju pertumbuhan angkatan kerja FPI = rasio investasi asing swasta terhadap PDB CX = rasio ekspor terhadapPDB S = rasio tabungan domestik kotor terhadap PDB u, v, e, f = variabel gangguan ai = koefisien parameter estimasi model struktural

i = koefisien parameter estimasi bentuk ringkas

Persamaan (1) diturunkan dari model dua sektor yang membandingkan sektor ekspor dan non-ekspor. Persamaan (2) adalah tipe standar dari fungsi tabungan yang dipengaruhi oleh variabel ekspor, pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan PDB.

Referensi

Dokumen terkait

mjenjadi relati mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif lebih murah. Sebalikya, tingkat bungan di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke

Perubahan faktor ekonomi eksternal kenaikan GDP Jepang, depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat, dan penurunan tariff impor furnitur rotan Jepang

* Demikian pula ekonom Amerika Serikat, Paul Krugman (1997), mengatakan bahwa krisis ekonomi di Asia, termasuk di Indonesia, sebenarnya sudah dapat diduga sebelumnya.. Krisis mata

 contoh harga 1 kg kopi di Jepang 500 yen dan $5 di Amerika, maka nilai tukar nominal antara kedua mata uang itu seharusnya adalah 100 Yen per Dolar (dari 500 yen/5 dolar= 100 yen

Menurut prasetiantono (dalam Bawono; 1997) bahwa pendapat tentang peran hutang luar negeri bukan lagi bukan lagi sebagai pelengkap akan tetapi sebagai sokoguru. Sebenarnya

Dari analisis regresi dan uji t (parsial) diperoleh hasil kurs dollar (nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar) mempunyai pengaruh negatif dan signifikan

stansial akan tetapi l*.bih ditrprkan unhrk menyediakan pemhiavaan dalam mata uang bkal untrik provr,'k-pro"1ck pe-mbangunan sosial, yang sering tid;rk mendapat cukup perhatian apabila

Contoh : •Jika di amerika serikat yen di-quot : ¥ 1 = $ 0, Ini berarti : Direct quote mata uang yen di amerika Jumlah mata uang lokal per 1 unit mata uang asing sebaliknya jika direct