KEPUASAN PERKAWINAN
PADA ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAMSkripsi
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
ISRINA BARARA 041301034
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Permasalahan ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1. Tujuan Penelitian ... 12
2. Manfaat Penelitian ... 12
a. Manfaat Teoritis ... 12
b. Manfaat Praktis ... 13
D. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II LANDASAN TEORI ... 16
A. Autisme ... 16
1. Definisi Autisme ... 16
2. Ciri-Ciri Autisme ... 19
3. Orangtua yang Memiliki Anak Autis ... 21
B. Kepuasan Pernikahan ... 23
1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 23
3. Aspek-Askpek Kepuasan Pernikahan ... 30
4. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Pada Orangtua Laki-Laki dan Orangtua Perempuan yang Memiliki Anak Autis .... 31
5. Hipotesis Penelitian ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
A. Identifikasi Variabel ... 36
1. Variabel Bebas ... 36
2. Variabel Tergantung ... 36
B. Definisi Operasional ... 37
1. Kepuasan Pernikahan ... 37
2. Orangtua yang Mempunyai Anak Autis ... 37
C. Populasi ... 37
D. Alat Ukur Penelitian ... 38
1. Validitas, Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem ... 41
a. Validitas ... 41
b. Reliabilitas ... 41
c. Uji Daya Beda Item ... 42
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43
1. Persiapan Penelitian ... 43
a. Alat Ukur Penelitian ... 43
b. Perizinan ... 44
2. Pelaksanaan Penelitian ... 45
3. Analisis Data ... 45
F. Metode Analisa Data ... 46
1. Uji Daya Beda Item ... 46
2. Reliabilitas ... 47
3. Uji Normalitas ... 47
4. Uji Homogenitas ... 47
5. Analisis Data ... 48
BAB IV ANALISA DATA A. Responden I ... 49
B. Responden II ... 69
C. Responden III ... 90
D. Responden IV ... 108
E. Analisa Banding ... 125
F. Pembahasan ... 133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 137
B. Saran ... 141
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Permasalahan ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1. Tujuan Penelitian ... 12
2. Manfaat Penelitian ... 12
a. Manfaat Teoritis ... 12
b. Manfaat Praktis ... 13
D. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II LANDASAN TEORI ... 16
A. Autisme ... 16
1. Definisi Autisme ... 16
2. Ciri-Ciri Autisme ... 19
3. Orangtua yang Memiliki Anak Autis ... 21
B. Kepuasan Pernikahan ... 23
1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 23
3. Aspek-Askpek Kepuasan Pernikahan ... 30
4. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Pada Orangtua Laki-Laki dan Orangtua Perempuan yang Memiliki Anak Autis .... 31
5. Hipotesis Penelitian ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
A. Identifikasi Variabel ... 36
1. Variabel Bebas ... 36
2. Variabel Tergantung ... 36
B. Definisi Operasional ... 37
1. Kepuasan Pernikahan ... 37
2. Orangtua yang Mempunyai Anak Autis ... 37
C. Populasi ... 37
D. Alat Ukur Penelitian ... 38
1. Validitas, Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem ... 41
a. Validitas ... 41
b. Reliabilitas ... 41
c. Uji Daya Beda Item ... 42
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43
1. Persiapan Penelitian ... 43
a. Alat Ukur Penelitian ... 43
b. Perizinan ... 44
2. Pelaksanaan Penelitian ... 45
3. Analisis Data ... 45
F. Metode Analisa Data ... 46
1. Uji Daya Beda Item ... 46
2. Reliabilitas ... 47
3. Uji Normalitas ... 47
4. Uji Homogenitas ... 47
5. Analisis Data ... 48
BAB IV ANALISA DATA G. Responden I ... 49
H. Responden II ... 69
I. Responden III ... 90
J. Responden IV ... 108
K. Analisa Banding ... 125
L. Pembahasan ... 133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 137
B. Saran ... 141
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Siklus Kehidupan Keluarga ... 22
Tabel 2. Identitas diri responden I ... 49
Tabel 3. Kepuasan perkawinan pada responden I ... 64
Tabel 4. Identitas diri responden II... 69
Tabel 5. Kepuasan perkawinan pada responden II ... 85
Tabel 6. Identitas diri responden III ... 90
Tabel 7. Kepuasan perkawinan pada responden III... 103
Tabel 8. Identitas diri responden IV ... 108
Tabel 9. Kepuasan perkawinan pada responden IV ... 120
Kepuasan Perkawinan Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Autis Di Nanggroe Aceh Darussalam
Isrina Barara dan Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog
ABSTRAK
Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan Hamilton, 1983). Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup : Communication, Leisure
Activity, Religious Orientation, Conflict Resolution, Financial Management, Sexual Orientation, Family and Friends, Children and Parenting, Personality Issue dan Egalitarian Role. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis
menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact
of Autism On The Family, 2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara dan observasi pada saat wawancara sebagai metode pengumpulan data. Responden merupakan 4 orang dari orangtua yang memiliki anak autis yang berdomisili di Nanggroe Aceh Darussalam dan diambil dengan menggunakan tehnik key person.
Dari penelitian ini diketahui bahwa setiap responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinannya dengan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang berbeda-beda. Responden 1 merasa puas karena ia merasakan berbagai kemajuan dalam hidupnya, responden 2 merasa puas karena semua pihak telah saling membantu satu sama lain, responden 3 merasa puas karena komunikasi dan kondisi keuangannya memadai dan responden 4 merasa puas karena ia menjadi lebih dekat dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya.
Kepuasan Perkawinan Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Autis Di Nanggroe Aceh Darussalam
Isrina Barara dan Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog
ABSTRAK
Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan Hamilton, 1983). Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup : Communication, Leisure
Activity, Religious Orientation, Conflict Resolution, Financial Management, Sexual Orientation, Family and Friends, Children and Parenting, Personality Issue dan Egalitarian Role. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis
menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact
of Autism On The Family, 2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara dan observasi pada saat wawancara sebagai metode pengumpulan data. Responden merupakan 4 orang dari orangtua yang memiliki anak autis yang berdomisili di Nanggroe Aceh Darussalam dan diambil dengan menggunakan tehnik key person.
Dari penelitian ini diketahui bahwa setiap responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinannya dengan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang berbeda-beda. Responden 1 merasa puas karena ia merasakan berbagai kemajuan dalam hidupnya, responden 2 merasa puas karena semua pihak telah saling membantu satu sama lain, responden 3 merasa puas karena komunikasi dan kondisi keuangannya memadai dan responden 4 merasa puas karena ia menjadi lebih dekat dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan latar belakang bagi sebuah kehidupan baru yang
menyatukan dua pribadi yang berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh. Kini
individu bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung
jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya
(Wisnubroto, 2007). Menurut Duvall & Miller (1985) perkawinan sebagai salah
satu tahap dalam kehidupan manusia. Perkawinan berbentuk hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk
memiliki keturunan (memiliki anak), dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh
masing-masing pasangan.
Ketika individu diikat dalam sebuah perkawinan maka ia akan mengalami
perubahan dari seorang individu tunggal menjadi seorang dengan peran yang lain
baik itu menjadi suami ataupun menjadi istri. Dalam perjalanan kehidupan
selanjutnya setiap pasangan akan mendambakan kehadiran anak dalam hidup
seperti apa yang dikemukakan oleh Surya (2006) bahwa setiap pasangan yang
membentuk ikatan keluarga mengidam-idamkan kehadiran anak di tengah
keluarga mereka. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Puspita (dalam
Marijani, 2003) bahwa anak adalah karunia dari Tuhan kepada orangtua dan
kehadiran seorang anak disambut dengan suka cita, dan penuh harapan. Dr. Linda
Helps (dalam ”Menjadi Sahabat Selamatkan Pernikahan”, 2007) menyatakan
bahwa kelahiran seorang anak dalam kehidupan pernikahan merupakan masa
transisi bagi orangtua, meski itu amat diharapkan, tidaklah mudah bagi
kebanyakan pasangan untuk menghadapi kelahiran anak. Kehadiran anak dalam
sebuah pernikahan memberikan tekanan bagi pasangan, baik suami maupun istri
(“Menjadi Sahabat Selamatkan Pernikahan”, 2007).
Peran pasangan akan bertambah setelah memiliki anak. Selain menjalankan
ayah atau ibu terhadap anak-anaknya. Tugas dalam ruang lingkup keluarga pun
bertambah. Mereka harus mengasuh, mendidik dan menjaga anak mereka, serta
memikirkan bagaimana perkembangan fisik dan mentalnya dari waktu ke waktu.
Kondisi lain yang dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa kehadiran anak dalam
sebuah rumah tangga akan mempengaruhi pola hubungan suami istri. Masalah
dalam pengasuhan anak menyebabkan tekanan tersendiri (Rini, 2002).
Glasser dan Navarre (1999) menyatakan bahwa sebagai orangtua, ada
berbagai tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan keluarga. Dukungan keuangan, pengasuhan anak, dan mengurus
rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orangtua.
Tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orangtua,
yaitu ayah dan ibu.
Menurut Menaghan, Sieber & Thoits (dalam
pengalaman menjadi orangtua menyediakan kepuasan pribadi bagi individu yang
mengalaminya, seperti halnya tujuan dan makna hidup, dimana terdapat dukungan
kesejahteraan emosional. Menjadi orangtua membutuhkan aturan baru dan
tanggung jawab yang besar sebagai ayah maupun ibu (Hill dan Aldous, dalam
Craig, 1996).
Hidup kadangkala tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Tuhan terkadang
menitipkan karunia-Nya yang tidak sempurna, seperti anak yang menderita
gangguan autisme. Kanner (dalam Suryana, 2004) menggunakan istilah autisme
untuk anak-anak yang secara sosial tidak mau bergaul dan asyik tenggelam
dengan kerutinannya sendiri. Penyandang autisme memiliki gangguan
berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta
berulang-ulang (repetitive). Anak autis biasanya tidak bisa bicara atau terlambat
bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti bahkan sulit dimengerti, tidak
mampu melakukan kontak mata dengan baik, tidak dapat bermain dengan teman
sebayanya, tidak mau berkumpul dengan anggota keluarga atau orang lain,
mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa dipikir dan berperangai buruk dan jika
mempunyai keahlian tertentu dan sangat pandai dalam bidang tertentu, seperti:
menggambar, matematika, melukis dan musik.
Dr. Melly Budhiman Sp. KJ (dalam Suryana, 2004) menguraikan autisme
sebagai gangguan perkembangan yang luas dan berat (pervasive) yang mencakup
bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Sejak tahun 1900-an, penderita autis
meningkat dengan tajam di seluruh dunia, prevalensinya bisa mencapai 60 dari
1000 anak. Menurut Melly Budhiman (dalam Waspada, 2008), autisme kini sudah
menjadi masalah yang besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data yang
muncul di beberapa media menyebutkan bahwa pada tahun 1987 rasio jumlah
anak dengan autisme adalah 1:5000. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat menurut
laporan Center for Disease Control memiliki rasio autisme 1:150, artinya diantara
150 anak, ada 1 anak autisme. Sementara di Inggris, rasionya disebutkan 1:100.
Menurut data yang disebutkan, terlihat semakin lama semakin tinggi rasio autisme
terjadi. Di Indonesia jumlah penderita autisme sampai saat ini belum diketahui
secara pasti karena belum ada survei yang dilakukan untuk mengetahui hal
tersebut.
Begitu pula halnya yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
jumlah anak autisme tidak terdata dengan baik. Hal ini disebabkan banyak
orangtua dari anak penderita autisme tidak mengetahui apa yang terjadi pada anak
mereka, walaupun informasi mengenai autisme telah banyak diberitakan di media
cetak maupun media elektronik yang menyajikan mengenai hal tersebut.
Berdasarkan informasi dari beberapa lembaga penanganan anak dengan
kebutuhan khusus diperoleh bahwa jumlah anak autis mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Salah satu lembaga yang menangani anak dengan kebutuhan
khusus di Banda Aceh yaitu Taman Observasi dan Terapi Wicara yang
diresmikan pada tahun 2002 menginformasikan bahwa jumlah anak autis di
lembaga tersebut saat ini telah mencapai 30 orang. Padahal di awal berdirinya
hanya 5 orang. Selain Taman Observasi dan Terapi Wicara, terdapat 2 lembaga
lain di Banda Aceh yakni Biro Konsultasi Psikodinamika dan Yayasan Pendidikan
Anak Cacat (YPAC) serta terdapat pula sekolah penangan anak autis di PT. Arun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini hanya ada 4 lembaga yang
menangani anak autis.
Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus, seperti anak
autistik termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan
perilakunya. Dengan kondisi yang demikian, tentunya orangtua akan mengalami
kebingungan. Salah satu orangtua anak penderita autis (dalam Marijani, 2003)
mengatakan bahwa ia mengalami frustrasi dan ketakutan seakan-akan sedang
berada di satu planet yang berisi makhluk luar angkasa dan tidak dapat mengerti
bagaimana mereka berkomunikasi. Tapi, dengan keunikan tersebut di lain waktu
dapat menumbuhkan semangat, karena terkadang ia terlihat seperti anak manis
yang sangat dekat dan menjadi inspirasi. Hal inilah juga yang umumnya dialami
oleh orangtua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, timbul perasaan
yang berbeda-beda bagi orangtua. Perasaan orangtua dalam menyambut kehadiran
anak autis dalam kehidupan mereka umumnya adalah galau, tercabik antara
penerimaan dan penolakan, antara rasa syukur dan amarah (Marijani, 2003).
Perasaan-perasaan seperti yang akan dialami tersebut sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh EW, seorang ibu berusia 47 tahun yang memiliki seorang anak
penderita autisme:
”Rahmat itu anak ketiga saya, memang waktu dia didiagnosa autis pertama kali, rasanya seperti disambar petir lah .... manalagi waktu itu, autis tu masih belum begitu mencuat kepermukaan, belum ada penanganan yang betul-betul bisa menyembuhkan .... Tapi ya mau gimana lagi, Allah dah ngasih ma saya anak gini, ya harus disyukuri aja, saya menganggap bahwa kehadiran dia akan menjadi kunci syurga buat saya ... ya gitu aja ....” (Komunikasi Personal, 22 Desember 2007)
Hal senada juga diungkapkan oleh SC, seorang ayah yang berusia 56 tahun
dan memiliki seorang anak penderita autisme:
Beberapa keluarga (orangtua, kakak/adik, nenek/kakek dan lain sebagainya)
menerima komentar negatif dari orang lain di komunitas mereka, khususnya
kritikan saat berbelanja karena anak bisa mengalami temper tantrum (mengamuk)
yang dapat menyakiti orang lain. Dalam kondisi yang demikian, biasanya
keluarga sulit untuk menerapkan cara khusus untuk menanganinya saat banyak
orang yang menonton. Beberapa orangtua ada yang mengabaikannya saja, namun
ada pula yang berusaha untuk menjelaskan bahwa anak tersebut menderita
autisme (Williams dan Wright, 2004). Dalam kondisi memilki anak dengan
autisme, keluarga tentunya menghadapi stigma-stigma masyarakat yang
kebanyakan mengganggap anak dengan gangguan autisme merupakan ‘anak yang
gila’. Stigma adalah karakteristik yang menunjukkan identitas sosial yang
memiliki nilai rendah pada konteks sosial tertentu (Hogg, 2002). Seperti yang
dialami oleh IS, seorang perempuan berusia 21 tahun yang merupakan kakak dari
seorang penderita autisme:
“Waktu itu saya lagi bawa adik mau beli makanan ringan ke kedai di ujung jalan besar. Trus adik saya ... ya tiba-tiba aja ngamuk ... nggak tau kenapa. Trus, saya kan berusaha buat adik saya nggak ngamuk lagi, tapi dia ... tetap aja ngamuk dan nggak mau pulang. Trus ibu yang punya kedai langsung bilang ke saya adiknya jangan di depan kedai saya dong ... ntar ganggu pembeli. Waktu denger itu, rasanya hati saya sedih kali, pengen banget marahin ibu tu!. Trus waktu itu ...., ada pembeli dan nanya kenapa adik saya, dan enaknya si ibu tukang kedai itu dengan tenangnya bilang kalau adik saya sableng ... waktu itu saya pengen banget ngomel-ngomel ma ibu tu dan bilang, kalo nggak tau apa-apa nggak usah bilang adik saya sableng dong!....” (Komunikasi Personal, 14 Desember 2007)
Melihat berbagai macam masalah yang ada pada anak penderita autisme,
tentunya orangtua akan mengalami kesedihan dan kebingungan ketika anaknya
mendapatkan vonis menderita autisme (Widihastuti, 2007). Kondisi ini tentunya
dapat menjadi salah satu penyebab stres (stresor), seperti yang diungkapkan oleh
Johnson, dkk (dalam Sarafino, 2006) yang menyebutkan bahwa sumber stres
(stresor) dapat berasal dari keluarga, dikarenakan mereka (keluarga) harus
beradaptasi dengan stres yang unik dan dalam jangka waktu yang lama.
Pernyataan ini diperkuat dengan apa yang diungkapkan kembali oleh EW dalam
” Ya stres lah ngadapin anak kayak gini ..., dah susah diatur, dia nggak bisa
lagi bilang apa-apa kalo dia mau apa-apa. Pokoknya saya stres kali lah, sampe bingung mau gimana, mana anak saya sekarang dah besar lagi ..., kan makin susah dijaganya. Badan dia besar sedangkan saya dah tua .... ya gitu lah ... Belum lagi kadang-kadang dia maunya macem-macem, wah ... pemilih banget kalo makan ... dan makannya banyak kali lagi ....” (Komunikasi Personal, 22 Desember 2007)
Hal yang sama kembali diungkapkan oleh SC dalam komunikasi personal
yang saya lakukan:
”Waduh ... pasti stres lah ... apalagi, dia susah diatur. Trus, hal yang buat saya stres sih, masalah gimana ngasuhnya, gimana pendidikannya, biaya dia lagi ... kan semuanya masih tanggung jawab saya ... jadi agak membebani pikiran saya juga sih .... Kadang-kadang nggak tau mau gimana, karena banyak hal yang mesti dipikirin mengenai dia kedepannya gimana ...” (Komunikasi Personal, 2 Desember 2007)
Menurut Ginanjar (2002), stress yang dirasakan oleh pasangan suami-istri
dengan anak autis sangat tinggi. Sekali diagnosis autis ditegakkan, maka
dimulailah suatu perjuangan panjang yang tidak mengenal jalan pintas, yang akan
menguras banyak tenaga, waktu, perhatian, uang dan secara emosional
melelahkan. Mau tidak mau orangtua terkondisi untuk memberikan esktra
perhatian, waktu dan tenaga mereka untuk memikirkan cara penanganan anak
mereka, baik mengenai bentuk intervensi yang harus diberikan, masalah perilaku
anak, masalah pendidikan, masalah keuangan dan lain-lain. Selain itu banyak
orangtua juga sangat mengkhawatirkan masa depan anak autis yang mereka miliki
dan dengan kenyataan bahwa mereka mungkin akan terlebih dahulu meninggal
daripada anak autis mereka.
Stres dalam kehidupan rumah tangga berpengaruh terhadap kehidupan
perkawinan yang dapat berdampak bagi munculnya ketidakpuasan perkawinan.
Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
yang berujung pada kepuasan perkawinan itu sendiri. Menurut Mappiere (1983)
dalam mewujudkan perkawinan yang bahagia penyesuaian diri memiliki peran
yang penting. Spanier (dalam Lasswell dan Laswell, 1987) menyebutkan bahwa di
perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pasangan dan lingkungan
perkawinannya.
Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan
suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan,
seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan
Hamilton, 1983). Sementara menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003),
kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup perasaan dan
sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya, mengisi waktu luang
bersama, pelaksanaan kegiatan beragama sehari-hari, persepsi keduanya mengenai
konflik dan pemecahannya, mengatur keuangan, sikap terhadap masalah dan
tingkah laku seksual serta kesetiaan terhadap pasangan, perasaan dan perhatian
pasangan terhadap kerabat, mertua dan teman-teman, sikap dan perasaan dalam
pengasuhan anak, penyesuaian diri terhadap tingkah laku dan kepribadian
pasangan serta perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam
kehidupan perkawinan.
Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani,
maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai
pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa
hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.
Akan tetapi, bila seseorang tidak bahagia dengan perkawinannya, maka ia akan
mengalami depresi yang berkaitan erat dengan adanya kekacauan perkawinan,
yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan, hambatan dalam
berkomunikasi, menarik diri, perasaan benci dan amarah yang meluap,
perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat (Pujiastuti & Retnowati,
2004).
Dalam kehidupan keluarga masyarakat Aceh, kebahagiaan dalam perkawinan
juga menjadi tolak ukur dalam menyatakan bahwa suami dan istri telah berhasil
menjalankan kehidupan perkawinannya. Tapi, dalam keluarga di masyarakat Aceh
gagasan utama dalam kerangka kehidupan keluarga adalah mencapai
menjalankan berbagai aspek kehidupan dalam rumah tangga (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1992).
Pola tingkah laku yang ada dalam masyarakat Aceh dalam kehidupan
perkawinannya telah diatur oleh 2 (dua) norma yang bersumber pada syariat Islam
(agama) dan tradisi. Norma-norma ini sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat Aceh dan sulit untuk dipisahkan. Salah satu pola tingkah laku yang
telah diatur dalam 2 (dua) norma dalam masyarakat Aceh adalah mengenai peran
antara suami dan istri terutama mengenai peran ayah dan ibu yang sangat penting
dalam pengasuhan anak. Dikatakan bahwa peran suami dalam rumah tangga
adalah sebagai pengawas istri dalam mendidik anak dan pengaturan rumah tangga
serta mencari nafkah untuk membiayai hidup keluarganya, sedangkan peran istri
adalah sebagai ibu rumah tangga, mengatur rumah tangga dan mendidik anak.
Namun, berbagai bentuk kebutuhan yang diperlukan oleh anak tetap menjadi
tanggung jawab keduanya, baik ayah maupun ibu, terutama kebutuhan akan
pendidikan. Kemampuan penyesuaian pasangan untuk menjalankan tanggung
jawab baru di dalam kehidupan perkawinan, salah satunya yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan anak ikut menentukan kebahagiaan yang akan
dirasakan keduanya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kepuasan perkawinan yang dirasakan
oleh seseorang sangatlah penting dalam kehidupan perkawinannya, begitu pula
pada keluarga yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Orangtua memiliki
peran yang penting dalam upaya penanganan terhadap anaknya. Segala sesuatu
yang diajarkan kepada anak autis di sekolah dan tempat terapi akan menjadi
sia-sia tanpa peran orangtua. Bila orangtua merasakan kepuasan dalam
perkawinannya, maka ia dapat menjalankan fungsinya sebagai orangtua dalam
keluarga, terutama pada anak penderita autisme yang sangat membutuhkan peran
kedua orangtuanya dalam upaya penyembuhan dan perkembangannya (Hamidah
dalam Suryana, 2004).
Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis menghadapi kondisi yang
lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh
pasangan suami-istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian
peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman),
kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan
perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact of Autism On The Family,
2006). Hal ini seperti yang kembali diungkapkan oleh EW dalam komunikasi
personal yang saya lakukan:
“Ya pastinya, kehidupan pernikahan saya keganggu ... walaupun pada awalnya nggak ada masalah, karena waktu itu suami saya dipindah tugaskan ke daerah lain. Tapi, setelah itu, ya ... lumayan keganggu, karena ... saya mesti lebih fokus sama dia. Saya ... jadi banyak pikiran gitu dan ruang gerak saya dan suami jadi sangat terbatas. Ya ... butuh pengertian juga dari suami, karena biasanya kan kemampuan suami untuk sabar itu kan terbatas...” (Komunikasi Personal 22 Desember 2007)
SC dalam komunikasi personal yang saya lakukan pun mengungkapkan hal
yang serupa:
“Ya keganggu karena jadi banyak pikiran ... Trus lagi, masalah-masalah mengenai dia, baik masalah pendidikan, gimana pola pengasuhannya dan lain-lain seperti yang saya sebutkan sebelumnya sering menjadi pembicaraan yang kadang-kadang ... ya lumayan menimbulkan pertentangan dan ketegangan antara saya dan istri saya ... Tapi ya, lama kelamaan saya sih, nggak gitu mikirin lagi... saya anggap saja ini sebagai teguran ke saya ...” (Komunikasi Personal 2 Desember 2007)
Pada beberapa kasus, kehadiran anak autis bisa memunculkan konflik diantara
suami-istri dan bahkan dapat mengancam kelangsungan kehidupan perkawinan
mereka. Di pihak lain, ternyata kehadiran anak autis ini juga dapat mempererat
hubungan diantara suami-istri, karena mereka berdua dapat bersama-sama
berusaha untuk menerima keadaan anak mereka dan mengambil hikmah dari
kehadiran anak autis di dalam kehidupan perkawinan mereka (The Impact of
Autism On The Family, 2006).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti ingin mengetahui
bagaimanakah kepuasan perkawinan pada orangtua yang memiliki anak autis di
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kepuasan perkawinan pada orangtua dengan anak autis di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Peneliti ingin melihat dinamika kepuasan perkawinan
pada orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Dalam penelitian ini, beberapa hal yang menjadi pertanyaan
penelitian adalah:
1. Bagaimanakah gambaran kepuasan perkawinan orangtua sebelum memiliki
anak autis?
2. Bagaimanakah reaksi orangtua terhadap kehadiran anak autis?
3. Bagaimana kehadiran anak autis mempengaruhi kehidupan perkawinan
4. Bagaimanakah dinamika kepuasan perkawinan individu berdasarkan area-area
dalam kepuasan perkawinan yang mencakup: perasaan dan sikap individu
dalam berkomunikasi dengan pasangannya, mengisi waktu luang bersama,
pelaksanaan kegiatan beragama sehari-hari, persepsi keduanya mengenai
konflik dan pemecahannya, mengatur keuangan, sikap terhadap masalah dan
tingkah laku seksual serta kesetiaan terhadap pasangan, perasaan dan
perhatian pasangan terhadap kerabat, mertua dan teman-teman, sikap dan
perasaan dalam pengasuhan anak, penyesuaian diri terhadap tingkah laku dan
kepribadian pasangan serta perasaan dan sikap individu terhadap peran yang
beragam dalam kehidupan perkawinan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanakah kepuasan pernikahan
2. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
a. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah diharapkan
dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi
perkembangan terutama yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pada
orangtua dengan anak autis.
b. Manfaat praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
memberikan informasi kepada orangtua dengan anak autis, khususnya di
Naggroe Aceh Darussalam mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada
orangtua yang memiliki anak autis di Naggroe Aceh Darussalam sehingga
orangtua yang memiliki anak autis dapat memahami pentingnya keberadaan
mereka dalam upaya penanganan anak mereka.
2) Penelitian ini akan membantu memberikan informasi kepada praktisi-praktisi
terkait mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada orangtua yang
memiliki anak autis, sehingga praktisi-praktisi yang bersangkutan dapat
menetapkan metode yang lebih tepat dalam upaya penanganan anak autis
yang bersangkutan.
3) Penelitian ini juga akan dapat memberikan informasi mengenai gambaran
kepuasan pernikahan pada orangtua dengan anak autis kepada
lembaga-lembaga terkait seperti sekolah-sekolah penanganan anak-anak autis, untuk
dapat memberikan masukan yang berharga bagi orangtua, karena pada
dasarnya, penanganan terhadap anak autis, tidak hanya diberikan kepada anak
yang bersangkutan tetapi juga kepada orangtua, selaku pihak yang sangat erat
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Autisme
1. Definisi autisme
Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”
yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik
pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo
Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism,
pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute
ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di
dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang
dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian
mereka atau mengajak mereka berkomunikasi (Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak
sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim
DTM&H, MPH (dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi
berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak
autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke dalam
kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi kelainan
emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan
yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi,
bahasa dan motorik
2. Ciri-ciri autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM
IV-TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua
dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):
(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan
dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:
(a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa
perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah,
postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.
(b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya
yang tepat menurut tahap perkembangan.
(c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain
(seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek
ketertarikan).
(d) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada
setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan
bahasa (tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya
melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau
(b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai
dengan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
(c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap
atau bahasa yang aneh.
(d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura
yang spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan
tahap perkembangan.
(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk
tetap, ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada
setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan
yang berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau
fokusnya abnormal.
(b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual
yang spesifik.
(c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan
atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang
kompleks dari keseluruhan tubuh).
(d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area
berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2)
bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan
simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan
ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat
digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini
dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara
autisme ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya
harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua
harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu
penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing
dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
3. Tingkat kecerdasan anak autis
Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak
autis dibagi mejadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Low Functioning (IQ rendah)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah),
maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan
untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang
lain.
b. Medium Functioning (IQ sedang)
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),
maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini
masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita
autis.
c. High Functioning (IQ tinggi)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ ”tinggi”),
maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam
pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.
4. Perkembangan anak autisme
Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam
hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya
periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler
dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.
Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus
autisme sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya
dengan perkembangan anak normal.
Tabel 2. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant dan toddler
No. Faktor Pembeda Perkembangan Normal Anak Autis 1. Pola tatapan mata Usia 6 bulan sudah mampu
melakukan kontak sosial melalui tatapan
Toddler: menggunakan gaze
sebagai sinyal pemenuhan vokalisasi mereka atau mengundang partner untuk bicara
Pandangan mereka
melewati orang dewasa
yang mencegah perkembangan pola interaksi melalui tatapan
Lebih sering melihat kemana-mana daripada ke orang dewasa
2. Affect Usia 2,5-3 bulan sudah melakukan senyum sosial
Tidak ada senyum sosial
Usia 30-70 bulan melihat dan tersenyum terhadap ibunya, tapi tidak disertai dengan kontak mata dan
kurang merespon senyuman ibunya
3. Vokalisasi Usia 2-4 bualn anak dan ibu terlibat dalam pola yang simultan dan berganti vokal yang menjadi awal bagi
komunikasi verbal selanjutnya.
Karakter mutism mereka tampak dari kurangnya
babbling yang
menghambat jalan interaksi sosial ini
4. Imitasi Sosial: berkaitan dengan responsifitas sosial, bermain bebas dan bahasa
Langsung muncul setelah lahir
Usia 8-26 bulan dapat meniru ekspresi wajah tapi
melalui sejumlah keanehan dan respon mekanikal yang mengindikasikan sulitnya
perilaku ini bagi mereka
5. Inisiatif dan
Reciprocity
Merespon stimulus yang ada sehingga timbul reciprocity
Anak menjadi penerima pasif dari permainan orang dewasa dan tidak berinteraksi secara ktif dengan mereka
6. Attachment Kelekatan pada anak autis
diselingi dengan karakteristik pengulangan
pergerakan motorik mereka seperti tepukan tangan, goncangan dan berputar-putar
Negativisme permintaan. Jika permintaan tersebut sesuai
dengan kapasitas intelektual mereka, mereka
dapat merespon secara pantas saat mereka dalam
lingkungan yang terstruktur dan dapat diprediksi.
Anak autis memiliki sifat negativistik secara berlebihan
2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah
a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah
pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak
autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara
afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama
dengan orang tersebut.
b. Reciprocity
Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam
interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup
mereka.
1) Kesulitan penerimaan
Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara,
mungkin karena kesulitan kognitif dalam memproses stimulus sosial yang
kompleks. Anak autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada
level-level sederhana. Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan
affect. Orang merasa senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.
2) Kesulitan ekspresif
Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul
pada anak normal usia 2-3 tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam
ekspresi wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi dalam
5. Orangtua yang memiliki anak autis
Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara
menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005), orangtua adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari definisi diatas, maka
dapat dismpulkan bahwa orang tua yang memiliki anak autis adalah ayah dan ibu
yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri autisme.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal
terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat,
mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya
dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini ditegaskan kembali oleh Williams dan
Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan melalui serangkaian emosi
saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap
keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga telah melalui
proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu konsultasi.
Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk
memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis
lebih mudah dibuat pada saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya
sulit karena masalahnya lebih ringan. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana
orangtua akan memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.
Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan
perasaan berbeda saat anak mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa
reaksinya adalah sebagai berikut:
a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana
mencari bantuan ahli.
b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka
melakukan hal yang salah selama kehamilan atau pengasuhannya.
c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat
mereka masih kecil tidak terpenuhi.
d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa
depan anak-anak mereka dan harus mengubah harapan akan masa depan
e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin dan mencari keluarga lain untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada
beberapa keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan mencoba
tidak memperdulikannya.
B. Perkawinan
1. Definisi perkawinan
Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara
pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-Undang perkawinan No 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Sigelman (2003) mendefinisikan perkawina sebagai sebuah hubungan antara
dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam
hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang
didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.
Menurut Dariyo (2003) perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap
telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus
(holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan
bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan
kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk
pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih
sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan
emosional antara suami dan istri.
2. Fase perkawinan
Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam perkawinan yang
tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:
a. Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama perkawinan masih dapat
dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih
dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan perkawinan, berarti
kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan
impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang
menjadi penghalang seperti ketika masih belum menikah. Fase ini merupakan
masa yang indah karena masing-masing pihak berupaya untuk
membahagiakan pasangannya.
b. Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan perkawinan mau tidak mau harus
dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena
masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus
bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau
sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih banyak
di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih
mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya sang
suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak
sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut
mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan, apabila terjadi kesenjangan
c. Fase krisis perkawinan
Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan
satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri curiga yang
lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah
sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada
sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga apabila tidak ada
kesadaran dari masing-masing pihak bahwa perkawinan tidak hanya selalu
berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan
rumah tangga.
d. Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis perkawinan terlalui, maka masing-masing pihak sudah
menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan
pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak
dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang
ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat
dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun saling
mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi satu sama
lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang
dimilikinya.
e. Fase kebahagiaan sejati
Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah
perkawinan. Perkawinan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan.
perkawinan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada
gelombang-gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada
perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan yang paling penting
menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tidak
mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan,
kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk diantaranya jika keduanya
mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu
Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama,
ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola pikir,
daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula
pasangan suami istri mewujudkan cita-cita perkawinannya, memperoleh
kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan perkawinan
dengan segala masalah-masalahnya.
Dalam suatu perkawinan, setiap individu akan dihadapkan pada kondisi
dimana mereka bersama dengan pasangannya akan membentuk suatu keluarga
baru yang akan dijalankan sepanjang kehidupan mereka. Duval (dalam Clayton,
1975) membagi siklus kehidupan keluarga menjadi 8 (delapan) tahap dengan ciri
tersendiri sebagai berikut:
Tabel 3. Siklus kehidupan keluarga
Tahap I Keluarga awal → setelah menikah selama 0 -5 tahun, tanpa anak
Tahap II Keluarga dengan anak pertama → anak pertama yang baru lahir sampai anak berusia 2 tahun 11 bulan
Tahap III Keluarga dengan anak prasekolah → anak pertama berusia 3 tahun sampai 5 tahun 11 bulan
Tahap IV Keluarga dengan anak usia sekolah → anak pertama berusia 6 tahun sampai anak berusia 12 tahun 11 bulan Tahap V Keluarga dengan anak remaja → anak pertama berusia
13 tahun sampai 20 tahun 11 bulan
Tahap VI Keluarga sejak masa anak sulung sampai anak bungsu meninggalkan rumah
Tahap VII Keluarga dimana semua anak telah meninggalkan rumah sampai masa pensiun
Tahap VIII Keluarga dari masa pensiun sampai kematian salah satu pasangan
Pollins & Feldman (1978) yang meneliti hubungan siklus kehidupan keluarga
dengan kepuasan perkawinan menemukan bahwa pasangan merasa sangat puas
pada tahap I, tahap II dan tahap VIII. Kepuasan perkawinan ini kemudian
menurun pada tahap III dan berada pada titik terendah pada tahap VI. Data
kepuasan perkawinan berhubungan dengan kehadiran anak. Kepuasan perkawinan
berada pada tingkat yang tinggi terjadi sebelum hadirnya anak (tahap I dan tahap
II) dan setelah anak memisahkan diri dari orangtua (tahap VIII) karena suami istri
pada saat tersebut dapat merasakan kebersamaan dengan pasangannya.
C. Kepuasan Perkawinan
1. Definisi kepuasan perkawinan
Setelah menikah, individu mengalami banyak perubahan dan harus
melakukan banyak penyesuaian diri terhadap pasangan, keluarga pasangan dan
penyesuaian-penyesuaian lainnya. Penyesuaian ini kiranya perlu dilakukan agar
kedua pasangan dapat merasa bahagia dan puas terhadap hubungan
perkawinannya. Menurut Hughes & Noppe (1985), kepuasan perkawinan yang
dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan
perkawinannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya.
Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi suami istri terhadap hubungan
perkawinannya yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu
sendiri (Lemme, 1995). Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) berpendapat
bahwa kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan
pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu
perkawinan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual.
Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan
perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan
dalam jangka waktu tertentu (Roach dkk, 1983). Selain itu pula, kepuasan
perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami – istri mengevaluasi
hubungan perkawinan mereka, apakah baik, buruk atau memuaskan (Biod &
Meville, 1994).
Dari penjelasan di atas, maka konsep kepuasan perkawinan dapat
mengandung hal-hal berikut: Suatu penilaian seseorang terhadap perkawinannya,
aspek-aspek dalam hubungan perkawinan, berupa suatu kontinum perasaan dari sangat
memuaskan sampai sangat tidak memuaskan.
Berdasarkan uraian di atas kepuasan perkawinan merupakan penilaian
pasangan suami istri dan perasaan subjektif yang dimiliki oleh individu yang
berkenaan dengan aspek-aspek dalam kehidupan perkawinannya.
2. Tingkat kepuasan perkawinan
Tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins & Feldman,
1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu indikasi kepuasan
pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat kepuasan
tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan
terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja, lalu
tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh
dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman
dalam Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari
perkawinan adalah puncak dari kepuasan perkawinan. Beragamnya pendapat yang
dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak adanya
tingkat kepuasan perkawinan absolut yang mengesankan pada beragam periode
perkawinan (Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Menurut Papalia, Sterns, Feldman dan Camp (2002) tanggung jawab sebagai
orangtua mempengaruhi hubungan suami-istri. Saat ini, dengan meningkatnya
harapan hidup dan perceraian, sekitar 1 dari 5 pernikahan bertahan hingga 50
tahun.
Secara umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point
yang tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat
lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Masa yang paling tidak membahagiakan
adalah periode dimana sebagian besar orangtua dilibatkan secara menyeluruh
dalam membesarkan anak dan karir. Aspek positif dari pernikahan (seperti
(seperti sarkasme, kemarahan, dan ketidaksetujuan terhadap masalah-masalah
penting) berkurang dari dewasa muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin
karena banyak konflik pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, Sterns, Feldman
dan Camp 2002).
Dari sebuah penelitian 175 orang, yang mengkonfirmasi kurva bentuk U,
peneliti mengikuti 22 pasangan selama 30 tahun dan yang lainnya dalam jangka
waktu yang lebih pendek. Penemuan yang menarik adalah, semakin lama
pasangan menikah, semakin mirip mereka satu sama lain, dalam pandangan
mereka terhadap kehidupan, dan cara berpikir, bahkan kemampuan matematika.
Kecendrungan terhadap kemiripan ini terhenti sementara dengan menurunnya
kepuasan pernikahan di masa membesarkan anak. Dalam penelitian lain terhadap
17 pernikahan yang bertahan selama 50 hingga 69 tahun, hampir ¾ yang
digambarkan, berdasarkan observasi dan wawancara selama 50 tahun, mengikuti
salah satu dari 2 pola ini : mengikuti kurva U atau tingkat kebahagiaan yang
hampir konsisten. Tidak ada dari pernikahan yang diteliti menunjukkan kenaikan
atau penurunan yang berkelanjutan dalam kepuasan (Papalia, Sterns, Feldman dan
Camp 2002).
a. Awal perkawinan
Bagi sebagian besar pasangan, saat anak hadir, maka bulan madu pun
berakhir. Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan selama 10 tahun bagi
pasangan kulit putih yang menikah di usia akhir 20-an mereka, baik suami
maupun istri melaporkan penurunan kepuasan yang tajam selama 4 tahun pertama,
diikuti oleh masa stabil dan kemudian penurunan lainnya. Pasangan yang
memiliki anak, terutama mereka yang menjadi orangtua di awal penikahan mereka
dan mereka yang memiliki banyak anak menunjukkan penurunan yang lebih
curam.
Ada beberapa hal yang membedakan pernikahan yang memburuk atau
membaik setelah parenthood. Pada pernikahan yang memburuk, menurut salah
satu penelitian, pasangan lebih muda dan kurang terpelajar, memiliki pemasukan
atau kedua pasangan cenderung memiliki self esteem yang rendah, dan suami
biasanya kurang sensitif. Ibu yang memiliki waktu tersulit adalah mereka yang
memiliki bayi dengan temperamen sulit. Yang mengejutkan, pasangan yang
paling romantis sebelum memiliki bayi cenderung memiliki lebih banyak masalah
setelah memiliki bayi, mungkin karena mereka memiliki harapan yang tidak
realistik. Wanita yang merencanakan kehamilan mereka cenderung menjadi
kurang bahagia, mungkin karena mereka mengharapkan hidup dengan bayi lebih
baik dari apa yang sesungguhnya terjadi.
Seseorang biasanya melanggar pengharapan yang melibatkan pembagian
tugas. Jika pasangan membagi tugas sama rata sebelum bayi lahir dan kemudian,
setelah bayi lahir, beban dialihkan ke istri, kebahagiaan pernikahan cenderung
menurun terutama untuk istri nontradisional.
b. Pertengahan perkawinan
Kurva U mencapai dasar selama bagian awal dari tahun pertengahan, saat
banyak pasangan memiliki anak remaja. Masalah identitas dari tengah hidup
muncul untuk mempengaruhi perasaan istri tentang pernikahan mereka; wanita
menjadi kurang puas dengan pernikahan mereka. Wanita menjadi kurang puas
dengan pernikahan sebagaimana membesarkan anak membuat lebih sedikit
permintaan dan perasaan mereka tentang kekuatan personal dan autonomi
meningkat.
Komunikasi diantara pasangan seringnya dapat mengurangi stres yang
disebabkan oleh tanda-tanda fisik dari penuaan, hilangnya dorongan seksual,
perubahan dalam status atau kepuasan kerja, dan kematian orangtua, saudara, atau
teman dekat. Banyak pasangan melaporkan bahwa saat-saat sulit membuat mereka
lebih dekat satu sama lain.
Dalam pernikahan yang baik, keberangkatan dari anak yang telah dewasa
dapat menghantar kepada ” bulan madu kedua”. Pada pernikahan yang goyah,
melalui ’empty nest’ dapat membuat krisis personal dan pernikahan. Dengan
memiliki banyak kesamaan dan mungkin bertanya pada diri mereka sendiri
apakah mereka mau menghabiskan sisa hidup mereka bersama.
c. Akhir perkawinan
Dibandingkan pasangan tengah tahun, pasangan berusia 60-an lebih sering
menyebutkan bahwa pernikahaan mereka memuaskan. Banyak yang berkata
bahwa pernikahan telah meningkat seiring dengan berlalunya tahun. Pasangan
yang tetap bersama di akhir hidup mereka biasanya telah mengatasi perbedaan
mereka dan tiba pada akomodasi yang sama-sama memuaskan.
3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan
Secara umum, kepuasan perkawinan ini dipengaruhi oleh dua hal, faktor
interpersonal dan faktor intrapersonal. Faktor interpersonal adalah faktor-faktor
yang berkaitan dengan interaksi perkawinan, sedangkan faktor intrapersonal
menunjuk pada karakteristik yang cenderung menetap pada individu seperti
kepribadian (Karney & Brabbury, dalam Biod & Meville, 1994).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa kepuasan perkawinan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu latar belakang (background characteristics) dan
keadaan sekarang (current characteristic). Faktor latar belakang meliputi
perkawinan orangtua, masa kecil, disiplin, pendidikan seks, pendidikan, dan
kedekatan. Sementara faktor keadaan sekarang meliputi ekspresi kasih
sayang/afeksi, tingkat kepercayaan, tingkat kesetaran, komunikasi, kehidupan
seksual, kehidupan sosial, tempat tinggal, dan pendapatan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa faktor masa lalu (background characteristics) juga menjadi faktor
pendukung tercapainya kepuasan dalam perkawinan, namun tidak ada yang bisa
dilakukan dengan apa yang telah terjadi selain menerima dan mencoba untuk
memahami hal tersebut.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) yang
a. Premarital factors
1) Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai
harapan dapat menimbulkan bahaya dalam perkawinan.
2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak
menghadapi stresor seperti penghasilan atau tingkat penghasilan yang rendah.
3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap
romantisme, perkawinan dan perceraian.
b. Postmarital factors
1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
perkawinan, terutama pada wanita.
2) Lama perkawinan, dimana dikemukakan oleh Duvall & Miller bahwa tingkat
kepuasan perkawinan tinggi di awal perkawinan, kemudian menurun setelah
kelahiran anak pertama, dan kemudian meningkat kembali setelah anak
mandiri.
3. Aspek–aspek kepuasan perkawinan
Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area-area
dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan.
Area-area tersebut antara lain:
a. Communication
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang
yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka
saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya.
Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar,
yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan
(honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust),
sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi
b. Leisure Activity
Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau
bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai
pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi
waktu luang bersama pasangan.
c. Religious Orientation
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya
dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama,
dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-hal keagamaan dan mau
beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan
kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai
agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang
baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama
yang mereka anut.
d. Conflict Resolution
Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah
serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan
untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang
digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai
bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah
bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk
pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak
realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan
untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan
(Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan
otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan
f. Sexual Orientation
Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah
seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian
seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila
tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus
meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua
pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain,
mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda
yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan
suami istri.
g. Family and Friends
Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap
hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan
dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan
teman-teman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan
menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga
mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan
tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999).
h. Children and Parenting
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak.
Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai
disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran
anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara pasangan
dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan.
Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat
menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
i. Personality Issue
Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan
serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha
menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan