• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepuasan Perkawinan Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis Di Nangroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kepuasan Perkawinan Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis Di Nangroe Aceh Darussalam"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN

PADA ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

ISRINA BARARA 041301034

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1. Tujuan Penelitian ... 12

2. Manfaat Penelitian ... 12

a. Manfaat Teoritis ... 12

b. Manfaat Praktis ... 13

D. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Autisme ... 16

1. Definisi Autisme ... 16

2. Ciri-Ciri Autisme ... 19

3. Orangtua yang Memiliki Anak Autis ... 21

B. Kepuasan Pernikahan ... 23

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 23

(3)

3. Aspek-Askpek Kepuasan Pernikahan ... 30

4. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Pada Orangtua Laki-Laki dan Orangtua Perempuan yang Memiliki Anak Autis .... 31

5. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel ... 36

1. Variabel Bebas ... 36

2. Variabel Tergantung ... 36

B. Definisi Operasional ... 37

1. Kepuasan Pernikahan ... 37

2. Orangtua yang Mempunyai Anak Autis ... 37

C. Populasi ... 37

D. Alat Ukur Penelitian ... 38

1. Validitas, Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem ... 41

a. Validitas ... 41

b. Reliabilitas ... 41

c. Uji Daya Beda Item ... 42

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43

1. Persiapan Penelitian ... 43

a. Alat Ukur Penelitian ... 43

b. Perizinan ... 44

(4)

2. Pelaksanaan Penelitian ... 45

3. Analisis Data ... 45

F. Metode Analisa Data ... 46

1. Uji Daya Beda Item ... 46

2. Reliabilitas ... 47

3. Uji Normalitas ... 47

4. Uji Homogenitas ... 47

5. Analisis Data ... 48

BAB IV ANALISA DATA A. Responden I ... 49

B. Responden II ... 69

C. Responden III ... 90

D. Responden IV ... 108

E. Analisa Banding ... 125

F. Pembahasan ... 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 141

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1. Tujuan Penelitian ... 12

2. Manfaat Penelitian ... 12

a. Manfaat Teoritis ... 12

b. Manfaat Praktis ... 13

D. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Autisme ... 16

1. Definisi Autisme ... 16

2. Ciri-Ciri Autisme ... 19

3. Orangtua yang Memiliki Anak Autis ... 21

B. Kepuasan Pernikahan ... 23

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 23

(6)

3. Aspek-Askpek Kepuasan Pernikahan ... 30

4. Perbedaan Kepuasan Pernikahan Pada Orangtua Laki-Laki dan Orangtua Perempuan yang Memiliki Anak Autis .... 31

5. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel ... 36

1. Variabel Bebas ... 36

2. Variabel Tergantung ... 36

B. Definisi Operasional ... 37

1. Kepuasan Pernikahan ... 37

2. Orangtua yang Mempunyai Anak Autis ... 37

C. Populasi ... 37

D. Alat Ukur Penelitian ... 38

1. Validitas, Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem ... 41

a. Validitas ... 41

b. Reliabilitas ... 41

c. Uji Daya Beda Item ... 42

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43

1. Persiapan Penelitian ... 43

a. Alat Ukur Penelitian ... 43

b. Perizinan ... 44

(7)

2. Pelaksanaan Penelitian ... 45

3. Analisis Data ... 45

F. Metode Analisa Data ... 46

1. Uji Daya Beda Item ... 46

2. Reliabilitas ... 47

3. Uji Normalitas ... 47

4. Uji Homogenitas ... 47

5. Analisis Data ... 48

BAB IV ANALISA DATA G. Responden I ... 49

H. Responden II ... 69

I. Responden III ... 90

J. Responden IV ... 108

K. Analisa Banding ... 125

L. Pembahasan ... 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 141

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Siklus Kehidupan Keluarga ... 22

Tabel 2. Identitas diri responden I ... 49

Tabel 3. Kepuasan perkawinan pada responden I ... 64

Tabel 4. Identitas diri responden II... 69

Tabel 5. Kepuasan perkawinan pada responden II ... 85

Tabel 6. Identitas diri responden III ... 90

Tabel 7. Kepuasan perkawinan pada responden III... 103

Tabel 8. Identitas diri responden IV ... 108

Tabel 9. Kepuasan perkawinan pada responden IV ... 120

(9)

Kepuasan Perkawinan Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Autis Di Nanggroe Aceh Darussalam

Isrina Barara dan Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog

ABSTRAK

Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan Hamilton, 1983). Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup : Communication, Leisure

Activity, Religious Orientation, Conflict Resolution, Financial Management, Sexual Orientation, Family and Friends, Children and Parenting, Personality Issue dan Egalitarian Role. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis

menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact

of Autism On The Family, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara dan observasi pada saat wawancara sebagai metode pengumpulan data. Responden merupakan 4 orang dari orangtua yang memiliki anak autis yang berdomisili di Nanggroe Aceh Darussalam dan diambil dengan menggunakan tehnik key person.

Dari penelitian ini diketahui bahwa setiap responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinannya dengan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang berbeda-beda. Responden 1 merasa puas karena ia merasakan berbagai kemajuan dalam hidupnya, responden 2 merasa puas karena semua pihak telah saling membantu satu sama lain, responden 3 merasa puas karena komunikasi dan kondisi keuangannya memadai dan responden 4 merasa puas karena ia menjadi lebih dekat dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya.

(10)

Kepuasan Perkawinan Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Autis Di Nanggroe Aceh Darussalam

Isrina Barara dan Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog

ABSTRAK

Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan, seperti rasa bahagia, puas serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan Hamilton, 1983). Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup : Communication, Leisure

Activity, Religious Orientation, Conflict Resolution, Financial Management, Sexual Orientation, Family and Friends, Children and Parenting, Personality Issue dan Egalitarian Role. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis

menghadapi kondisi yang lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya pasti akan berdampak pada pola interaksi diantara pasangan suami istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact

of Autism On The Family, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara dan observasi pada saat wawancara sebagai metode pengumpulan data. Responden merupakan 4 orang dari orangtua yang memiliki anak autis yang berdomisili di Nanggroe Aceh Darussalam dan diambil dengan menggunakan tehnik key person.

Dari penelitian ini diketahui bahwa setiap responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinannya dengan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang berbeda-beda. Responden 1 merasa puas karena ia merasakan berbagai kemajuan dalam hidupnya, responden 2 merasa puas karena semua pihak telah saling membantu satu sama lain, responden 3 merasa puas karena komunikasi dan kondisi keuangannya memadai dan responden 4 merasa puas karena ia menjadi lebih dekat dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan latar belakang bagi sebuah kehidupan baru yang

menyatukan dua pribadi yang berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh. Kini

individu bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung

jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya

(Wisnubroto, 2007). Menurut Duvall & Miller (1985) perkawinan sebagai salah

satu tahap dalam kehidupan manusia. Perkawinan berbentuk hubungan antara

laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk

memiliki keturunan (memiliki anak), dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh

masing-masing pasangan.

Ketika individu diikat dalam sebuah perkawinan maka ia akan mengalami

perubahan dari seorang individu tunggal menjadi seorang dengan peran yang lain

baik itu menjadi suami ataupun menjadi istri. Dalam perjalanan kehidupan

selanjutnya setiap pasangan akan mendambakan kehadiran anak dalam hidup

seperti apa yang dikemukakan oleh Surya (2006) bahwa setiap pasangan yang

membentuk ikatan keluarga mengidam-idamkan kehadiran anak di tengah

keluarga mereka. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Puspita (dalam

Marijani, 2003) bahwa anak adalah karunia dari Tuhan kepada orangtua dan

kehadiran seorang anak disambut dengan suka cita, dan penuh harapan. Dr. Linda

Helps (dalam ”Menjadi Sahabat Selamatkan Pernikahan”, 2007) menyatakan

bahwa kelahiran seorang anak dalam kehidupan pernikahan merupakan masa

transisi bagi orangtua, meski itu amat diharapkan, tidaklah mudah bagi

kebanyakan pasangan untuk menghadapi kelahiran anak. Kehadiran anak dalam

sebuah pernikahan memberikan tekanan bagi pasangan, baik suami maupun istri

(“Menjadi Sahabat Selamatkan Pernikahan”, 2007).

Peran pasangan akan bertambah setelah memiliki anak. Selain menjalankan

(12)

ayah atau ibu terhadap anak-anaknya. Tugas dalam ruang lingkup keluarga pun

bertambah. Mereka harus mengasuh, mendidik dan menjaga anak mereka, serta

memikirkan bagaimana perkembangan fisik dan mentalnya dari waktu ke waktu.

Kondisi lain yang dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa kehadiran anak dalam

sebuah rumah tangga akan mempengaruhi pola hubungan suami istri. Masalah

dalam pengasuhan anak menyebabkan tekanan tersendiri (Rini, 2002).

Glasser dan Navarre (1999) menyatakan bahwa sebagai orangtua, ada

berbagai tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan

kesejahteraan keluarga. Dukungan keuangan, pengasuhan anak, dan mengurus

rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orangtua.

Tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orangtua,

yaitu ayah dan ibu.

Menurut Menaghan, Sieber & Thoits (dalam

pengalaman menjadi orangtua menyediakan kepuasan pribadi bagi individu yang

mengalaminya, seperti halnya tujuan dan makna hidup, dimana terdapat dukungan

kesejahteraan emosional. Menjadi orangtua membutuhkan aturan baru dan

tanggung jawab yang besar sebagai ayah maupun ibu (Hill dan Aldous, dalam

Craig, 1996).

Hidup kadangkala tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Tuhan terkadang

menitipkan karunia-Nya yang tidak sempurna, seperti anak yang menderita

gangguan autisme. Kanner (dalam Suryana, 2004) menggunakan istilah autisme

untuk anak-anak yang secara sosial tidak mau bergaul dan asyik tenggelam

dengan kerutinannya sendiri. Penyandang autisme memiliki gangguan

berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta

berulang-ulang (repetitive). Anak autis biasanya tidak bisa bicara atau terlambat

bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti bahkan sulit dimengerti, tidak

mampu melakukan kontak mata dengan baik, tidak dapat bermain dengan teman

sebayanya, tidak mau berkumpul dengan anggota keluarga atau orang lain,

mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa dipikir dan berperangai buruk dan jika

(13)

mempunyai keahlian tertentu dan sangat pandai dalam bidang tertentu, seperti:

menggambar, matematika, melukis dan musik.

Dr. Melly Budhiman Sp. KJ (dalam Suryana, 2004) menguraikan autisme

sebagai gangguan perkembangan yang luas dan berat (pervasive) yang mencakup

bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Sejak tahun 1900-an, penderita autis

meningkat dengan tajam di seluruh dunia, prevalensinya bisa mencapai 60 dari

1000 anak. Menurut Melly Budhiman (dalam Waspada, 2008), autisme kini sudah

menjadi masalah yang besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data yang

muncul di beberapa media menyebutkan bahwa pada tahun 1987 rasio jumlah

anak dengan autisme adalah 1:5000. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat menurut

laporan Center for Disease Control memiliki rasio autisme 1:150, artinya diantara

150 anak, ada 1 anak autisme. Sementara di Inggris, rasionya disebutkan 1:100.

Menurut data yang disebutkan, terlihat semakin lama semakin tinggi rasio autisme

terjadi. Di Indonesia jumlah penderita autisme sampai saat ini belum diketahui

secara pasti karena belum ada survei yang dilakukan untuk mengetahui hal

tersebut.

Begitu pula halnya yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

jumlah anak autisme tidak terdata dengan baik. Hal ini disebabkan banyak

orangtua dari anak penderita autisme tidak mengetahui apa yang terjadi pada anak

mereka, walaupun informasi mengenai autisme telah banyak diberitakan di media

cetak maupun media elektronik yang menyajikan mengenai hal tersebut.

Berdasarkan informasi dari beberapa lembaga penanganan anak dengan

kebutuhan khusus diperoleh bahwa jumlah anak autis mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Salah satu lembaga yang menangani anak dengan kebutuhan

khusus di Banda Aceh yaitu Taman Observasi dan Terapi Wicara yang

diresmikan pada tahun 2002 menginformasikan bahwa jumlah anak autis di

lembaga tersebut saat ini telah mencapai 30 orang. Padahal di awal berdirinya

hanya 5 orang. Selain Taman Observasi dan Terapi Wicara, terdapat 2 lembaga

lain di Banda Aceh yakni Biro Konsultasi Psikodinamika dan Yayasan Pendidikan

Anak Cacat (YPAC) serta terdapat pula sekolah penangan anak autis di PT. Arun

(14)

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini hanya ada 4 lembaga yang

menangani anak autis.

Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus, seperti anak

autistik termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan

perilakunya. Dengan kondisi yang demikian, tentunya orangtua akan mengalami

kebingungan. Salah satu orangtua anak penderita autis (dalam Marijani, 2003)

mengatakan bahwa ia mengalami frustrasi dan ketakutan seakan-akan sedang

berada di satu planet yang berisi makhluk luar angkasa dan tidak dapat mengerti

bagaimana mereka berkomunikasi. Tapi, dengan keunikan tersebut di lain waktu

dapat menumbuhkan semangat, karena terkadang ia terlihat seperti anak manis

yang sangat dekat dan menjadi inspirasi. Hal inilah juga yang umumnya dialami

oleh orangtua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya.

Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, timbul perasaan

yang berbeda-beda bagi orangtua. Perasaan orangtua dalam menyambut kehadiran

anak autis dalam kehidupan mereka umumnya adalah galau, tercabik antara

penerimaan dan penolakan, antara rasa syukur dan amarah (Marijani, 2003).

Perasaan-perasaan seperti yang akan dialami tersebut sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh EW, seorang ibu berusia 47 tahun yang memiliki seorang anak

penderita autisme:

”Rahmat itu anak ketiga saya, memang waktu dia didiagnosa autis pertama kali, rasanya seperti disambar petir lah .... manalagi waktu itu, autis tu masih belum begitu mencuat kepermukaan, belum ada penanganan yang betul-betul bisa menyembuhkan .... Tapi ya mau gimana lagi, Allah dah ngasih ma saya anak gini, ya harus disyukuri aja, saya menganggap bahwa kehadiran dia akan menjadi kunci syurga buat saya ... ya gitu aja ....” (Komunikasi Personal, 22 Desember 2007)

Hal senada juga diungkapkan oleh SC, seorang ayah yang berusia 56 tahun

dan memiliki seorang anak penderita autisme:

(15)

Beberapa keluarga (orangtua, kakak/adik, nenek/kakek dan lain sebagainya)

menerima komentar negatif dari orang lain di komunitas mereka, khususnya

kritikan saat berbelanja karena anak bisa mengalami temper tantrum (mengamuk)

yang dapat menyakiti orang lain. Dalam kondisi yang demikian, biasanya

keluarga sulit untuk menerapkan cara khusus untuk menanganinya saat banyak

orang yang menonton. Beberapa orangtua ada yang mengabaikannya saja, namun

ada pula yang berusaha untuk menjelaskan bahwa anak tersebut menderita

autisme (Williams dan Wright, 2004). Dalam kondisi memilki anak dengan

autisme, keluarga tentunya menghadapi stigma-stigma masyarakat yang

kebanyakan mengganggap anak dengan gangguan autisme merupakan ‘anak yang

gila’. Stigma adalah karakteristik yang menunjukkan identitas sosial yang

memiliki nilai rendah pada konteks sosial tertentu (Hogg, 2002). Seperti yang

dialami oleh IS, seorang perempuan berusia 21 tahun yang merupakan kakak dari

seorang penderita autisme:

“Waktu itu saya lagi bawa adik mau beli makanan ringan ke kedai di ujung jalan besar. Trus adik saya ... ya tiba-tiba aja ngamuk ... nggak tau kenapa. Trus, saya kan berusaha buat adik saya nggak ngamuk lagi, tapi dia ... tetap aja ngamuk dan nggak mau pulang. Trus ibu yang punya kedai langsung bilang ke saya adiknya jangan di depan kedai saya dong ... ntar ganggu pembeli. Waktu denger itu, rasanya hati saya sedih kali, pengen banget marahin ibu tu!. Trus waktu itu ...., ada pembeli dan nanya kenapa adik saya, dan enaknya si ibu tukang kedai itu dengan tenangnya bilang kalau adik saya sableng ... waktu itu saya pengen banget ngomel-ngomel ma ibu tu dan bilang, kalo nggak tau apa-apa nggak usah bilang adik saya sableng dong!....” (Komunikasi Personal, 14 Desember 2007)

Melihat berbagai macam masalah yang ada pada anak penderita autisme,

tentunya orangtua akan mengalami kesedihan dan kebingungan ketika anaknya

mendapatkan vonis menderita autisme (Widihastuti, 2007). Kondisi ini tentunya

dapat menjadi salah satu penyebab stres (stresor), seperti yang diungkapkan oleh

Johnson, dkk (dalam Sarafino, 2006) yang menyebutkan bahwa sumber stres

(stresor) dapat berasal dari keluarga, dikarenakan mereka (keluarga) harus

beradaptasi dengan stres yang unik dan dalam jangka waktu yang lama.

Pernyataan ini diperkuat dengan apa yang diungkapkan kembali oleh EW dalam

(16)

” Ya stres lah ngadapin anak kayak gini ..., dah susah diatur, dia nggak bisa

lagi bilang apa-apa kalo dia mau apa-apa. Pokoknya saya stres kali lah, sampe bingung mau gimana, mana anak saya sekarang dah besar lagi ..., kan makin susah dijaganya. Badan dia besar sedangkan saya dah tua .... ya gitu lah ... Belum lagi kadang-kadang dia maunya macem-macem, wah ... pemilih banget kalo makan ... dan makannya banyak kali lagi ....” (Komunikasi Personal, 22 Desember 2007)

Hal yang sama kembali diungkapkan oleh SC dalam komunikasi personal

yang saya lakukan:

”Waduh ... pasti stres lah ... apalagi, dia susah diatur. Trus, hal yang buat saya stres sih, masalah gimana ngasuhnya, gimana pendidikannya, biaya dia lagi ... kan semuanya masih tanggung jawab saya ... jadi agak membebani pikiran saya juga sih .... Kadang-kadang nggak tau mau gimana, karena banyak hal yang mesti dipikirin mengenai dia kedepannya gimana ...” (Komunikasi Personal, 2 Desember 2007)

Menurut Ginanjar (2002), stress yang dirasakan oleh pasangan suami-istri

dengan anak autis sangat tinggi. Sekali diagnosis autis ditegakkan, maka

dimulailah suatu perjuangan panjang yang tidak mengenal jalan pintas, yang akan

menguras banyak tenaga, waktu, perhatian, uang dan secara emosional

melelahkan. Mau tidak mau orangtua terkondisi untuk memberikan esktra

perhatian, waktu dan tenaga mereka untuk memikirkan cara penanganan anak

mereka, baik mengenai bentuk intervensi yang harus diberikan, masalah perilaku

anak, masalah pendidikan, masalah keuangan dan lain-lain. Selain itu banyak

orangtua juga sangat mengkhawatirkan masa depan anak autis yang mereka miliki

dan dengan kenyataan bahwa mereka mungkin akan terlebih dahulu meninggal

daripada anak autis mereka.

Stres dalam kehidupan rumah tangga berpengaruh terhadap kehidupan

perkawinan yang dapat berdampak bagi munculnya ketidakpuasan perkawinan.

Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia

yang berujung pada kepuasan perkawinan itu sendiri. Menurut Mappiere (1983)

dalam mewujudkan perkawinan yang bahagia penyesuaian diri memiliki peran

yang penting. Spanier (dalam Lasswell dan Laswell, 1987) menyebutkan bahwa di

(17)

perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pasangan dan lingkungan

perkawinannya.

Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan pasangan

suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu perkawinan,

seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan

bersama pasangannya yang bersifat individual (Hawkins dalam Olson dan

Hamilton, 1983). Sementara menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003),

kepuasan perkawinan dapat dilihat dari area-area yang mencakup perasaan dan

sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya, mengisi waktu luang

bersama, pelaksanaan kegiatan beragama sehari-hari, persepsi keduanya mengenai

konflik dan pemecahannya, mengatur keuangan, sikap terhadap masalah dan

tingkah laku seksual serta kesetiaan terhadap pasangan, perasaan dan perhatian

pasangan terhadap kerabat, mertua dan teman-teman, sikap dan perasaan dalam

pengasuhan anak, penyesuaian diri terhadap tingkah laku dan kepribadian

pasangan serta perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam

kehidupan perkawinan.

Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani,

maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai

pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa

hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Akan tetapi, bila seseorang tidak bahagia dengan perkawinannya, maka ia akan

mengalami depresi yang berkaitan erat dengan adanya kekacauan perkawinan,

yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan, hambatan dalam

berkomunikasi, menarik diri, perasaan benci dan amarah yang meluap,

perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat (Pujiastuti & Retnowati,

2004).

Dalam kehidupan keluarga masyarakat Aceh, kebahagiaan dalam perkawinan

juga menjadi tolak ukur dalam menyatakan bahwa suami dan istri telah berhasil

menjalankan kehidupan perkawinannya. Tapi, dalam keluarga di masyarakat Aceh

gagasan utama dalam kerangka kehidupan keluarga adalah mencapai

(18)

menjalankan berbagai aspek kehidupan dalam rumah tangga (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1992).

Pola tingkah laku yang ada dalam masyarakat Aceh dalam kehidupan

perkawinannya telah diatur oleh 2 (dua) norma yang bersumber pada syariat Islam

(agama) dan tradisi. Norma-norma ini sudah menyatu dalam kehidupan

masyarakat Aceh dan sulit untuk dipisahkan. Salah satu pola tingkah laku yang

telah diatur dalam 2 (dua) norma dalam masyarakat Aceh adalah mengenai peran

antara suami dan istri terutama mengenai peran ayah dan ibu yang sangat penting

dalam pengasuhan anak. Dikatakan bahwa peran suami dalam rumah tangga

adalah sebagai pengawas istri dalam mendidik anak dan pengaturan rumah tangga

serta mencari nafkah untuk membiayai hidup keluarganya, sedangkan peran istri

adalah sebagai ibu rumah tangga, mengatur rumah tangga dan mendidik anak.

Namun, berbagai bentuk kebutuhan yang diperlukan oleh anak tetap menjadi

tanggung jawab keduanya, baik ayah maupun ibu, terutama kebutuhan akan

pendidikan. Kemampuan penyesuaian pasangan untuk menjalankan tanggung

jawab baru di dalam kehidupan perkawinan, salah satunya yang berhubungan

dengan pemenuhan kebutuhan anak ikut menentukan kebahagiaan yang akan

dirasakan keduanya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kepuasan perkawinan yang dirasakan

oleh seseorang sangatlah penting dalam kehidupan perkawinannya, begitu pula

pada keluarga yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Orangtua memiliki

peran yang penting dalam upaya penanganan terhadap anaknya. Segala sesuatu

yang diajarkan kepada anak autis di sekolah dan tempat terapi akan menjadi

sia-sia tanpa peran orangtua. Bila orangtua merasakan kepuasan dalam

perkawinannya, maka ia dapat menjalankan fungsinya sebagai orangtua dalam

keluarga, terutama pada anak penderita autisme yang sangat membutuhkan peran

kedua orangtuanya dalam upaya penyembuhan dan perkembangannya (Hamidah

dalam Suryana, 2004).

Keluarga-keluarga yang mempunyai anak autis menghadapi kondisi yang

lebih rumit dan sulit. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh

(19)

pasangan suami-istri. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian

peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman),

kehidupan seksual dan lain-lain, yang akhirnya mempengaruhi kepuasan

perkawinan pada masing-masing pasangan (The Impact of Autism On The Family,

2006). Hal ini seperti yang kembali diungkapkan oleh EW dalam komunikasi

personal yang saya lakukan:

“Ya pastinya, kehidupan pernikahan saya keganggu ... walaupun pada awalnya nggak ada masalah, karena waktu itu suami saya dipindah tugaskan ke daerah lain. Tapi, setelah itu, ya ... lumayan keganggu, karena ... saya mesti lebih fokus sama dia. Saya ... jadi banyak pikiran gitu dan ruang gerak saya dan suami jadi sangat terbatas. Ya ... butuh pengertian juga dari suami, karena biasanya kan kemampuan suami untuk sabar itu kan terbatas...” (Komunikasi Personal 22 Desember 2007)

SC dalam komunikasi personal yang saya lakukan pun mengungkapkan hal

yang serupa:

“Ya keganggu karena jadi banyak pikiran ... Trus lagi, masalah-masalah mengenai dia, baik masalah pendidikan, gimana pola pengasuhannya dan lain-lain seperti yang saya sebutkan sebelumnya sering menjadi pembicaraan yang kadang-kadang ... ya lumayan menimbulkan pertentangan dan ketegangan antara saya dan istri saya ... Tapi ya, lama kelamaan saya sih, nggak gitu mikirin lagi... saya anggap saja ini sebagai teguran ke saya ...” (Komunikasi Personal 2 Desember 2007)

Pada beberapa kasus, kehadiran anak autis bisa memunculkan konflik diantara

suami-istri dan bahkan dapat mengancam kelangsungan kehidupan perkawinan

mereka. Di pihak lain, ternyata kehadiran anak autis ini juga dapat mempererat

hubungan diantara suami-istri, karena mereka berdua dapat bersama-sama

berusaha untuk menerima keadaan anak mereka dan mengambil hikmah dari

kehadiran anak autis di dalam kehidupan perkawinan mereka (The Impact of

Autism On The Family, 2006).

Berdasarkan penjabaran di atas, maka peneliti ingin mengetahui

bagaimanakah kepuasan perkawinan pada orangtua yang memiliki anak autis di

(20)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai kepuasan perkawinan pada orangtua dengan anak autis di Nanggroe

Aceh Darussalam (NAD). Peneliti ingin melihat dinamika kepuasan perkawinan

pada orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme di Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Dalam penelitian ini, beberapa hal yang menjadi pertanyaan

penelitian adalah:

1. Bagaimanakah gambaran kepuasan perkawinan orangtua sebelum memiliki

anak autis?

2. Bagaimanakah reaksi orangtua terhadap kehadiran anak autis?

3. Bagaimana kehadiran anak autis mempengaruhi kehidupan perkawinan

4. Bagaimanakah dinamika kepuasan perkawinan individu berdasarkan area-area

dalam kepuasan perkawinan yang mencakup: perasaan dan sikap individu

dalam berkomunikasi dengan pasangannya, mengisi waktu luang bersama,

pelaksanaan kegiatan beragama sehari-hari, persepsi keduanya mengenai

konflik dan pemecahannya, mengatur keuangan, sikap terhadap masalah dan

tingkah laku seksual serta kesetiaan terhadap pasangan, perasaan dan

perhatian pasangan terhadap kerabat, mertua dan teman-teman, sikap dan

perasaan dalam pengasuhan anak, penyesuaian diri terhadap tingkah laku dan

kepribadian pasangan serta perasaan dan sikap individu terhadap peran yang

beragam dalam kehidupan perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanakah kepuasan pernikahan

(21)

2. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

a. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah diharapkan

dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi

perkembangan terutama yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pada

orangtua dengan anak autis.

b. Manfaat praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk

memberikan informasi kepada orangtua dengan anak autis, khususnya di

Naggroe Aceh Darussalam mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada

orangtua yang memiliki anak autis di Naggroe Aceh Darussalam sehingga

orangtua yang memiliki anak autis dapat memahami pentingnya keberadaan

mereka dalam upaya penanganan anak mereka.

2) Penelitian ini akan membantu memberikan informasi kepada praktisi-praktisi

terkait mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada orangtua yang

memiliki anak autis, sehingga praktisi-praktisi yang bersangkutan dapat

menetapkan metode yang lebih tepat dalam upaya penanganan anak autis

yang bersangkutan.

3) Penelitian ini juga akan dapat memberikan informasi mengenai gambaran

kepuasan pernikahan pada orangtua dengan anak autis kepada

lembaga-lembaga terkait seperti sekolah-sekolah penanganan anak-anak autis, untuk

dapat memberikan masukan yang berharga bagi orangtua, karena pada

dasarnya, penanganan terhadap anak autis, tidak hanya diberikan kepada anak

yang bersangkutan tetapi juga kepada orangtua, selaku pihak yang sangat erat

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Autisme

1. Definisi autisme

Istilah autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”

yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik

pada dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo

Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai

ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang

ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism,

pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute

ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di

dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).

Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan

khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran

subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.

Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada

anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang

dicirikan dengan ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,

kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian

mereka atau mengajak mereka berkomunikasi (Budiman, 1998).

Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut

komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak

sebelum anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim

DTM&H, MPH (dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah gejala penyakit tetapi

berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan

sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak

autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke dalam

(23)

kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi kelainan

emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).

Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan

yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi,

bahasa dan motorik

2. Ciri-ciri autisme

Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM

IV-TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut:

A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua

dari (1), dan satu dari masing-masing (2) dan (3):

(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan

dengan setidak-tidaknya dua dari hal berikut:

(a) Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa

perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah,

postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.

(b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya

yang tepat menurut tahap perkembangan.

(c) Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi

kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain

(seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek

ketertarikan).

(d) Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.

(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada

setidak-tidaknya satu dari hal berikut:

(a) Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan

bahasa (tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya

melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau

(24)

(b) Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai

dengan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan

percakapan dengan orang lain.

(c) Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap

atau bahasa yang aneh.

(d) Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura

yang spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan

tahap perkembangan.

(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk

tetap, ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada

setidak-tidaknya satu dari hal berikut:

(a) Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan

yang berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau

fokusnya abnormal.

(b) Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual

yang spesifik.

(c) Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan

atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang

kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d) Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek

B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area

berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2)

bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan

simbolik atau imajinatif.

C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau

Childhood Disintegrative Disorder.

Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan

ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat

digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini

(25)

dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara

autisme ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya

harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua

harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu

penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing

dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).

3. Tingkat kecerdasan anak autis

Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak

autis dibagi mejadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Low Functioning (IQ rendah)

Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah),

maka dikemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan

untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang

lain.

b. Medium Functioning (IQ sedang)

Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang),

maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini

masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita

autis.

c. High Functioning (IQ tinggi)

Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ ”tinggi”),

maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam

pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.

4. Perkembangan anak autisme

Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam

hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya

periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler

dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.

(26)

Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus

autisme sejumlah faktor berhubungan untuk membedakan perkembangannya

dengan perkembangan anak normal.

Tabel 2. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant dan toddler

No. Faktor Pembeda Perkembangan Normal Anak Autis 1. Pola tatapan mata  Usia 6 bulan sudah mampu

melakukan kontak sosial melalui tatapan

Toddler: menggunakan gaze

sebagai sinyal pemenuhan vokalisasi mereka atau mengundang partner untuk bicara

 Pandangan mereka

melewati orang dewasa

yang mencegah perkembangan pola interaksi melalui tatapan

 Lebih sering melihat kemana-mana daripada ke orang dewasa

2. Affect  Usia 2,5-3 bulan sudah melakukan senyum sosial 

Tidak ada senyum sosial

 Usia 30-70 bulan melihat dan tersenyum terhadap ibunya, tapi tidak disertai dengan kontak mata dan

kurang merespon senyuman ibunya

3. Vokalisasi  Usia 2-4 bualn anak dan ibu terlibat dalam pola yang simultan dan berganti vokal yang menjadi awal bagi

komunikasi verbal selanjutnya.

Karakter mutism mereka tampak dari kurangnya

babbling yang

menghambat jalan interaksi sosial ini

4. Imitasi Sosial: berkaitan dengan responsifitas sosial, bermain bebas dan bahasa

 Langsung muncul setelah lahir

 Usia 8-26 bulan dapat meniru ekspresi wajah tapi

melalui sejumlah keanehan dan respon mekanikal yang mengindikasikan sulitnya

perilaku ini bagi mereka

5. Inisiatif dan

Reciprocity

 Merespon stimulus yang ada sehingga timbul reciprocity

 Anak menjadi penerima pasif dari permainan orang dewasa dan tidak berinteraksi secara ktif dengan mereka

6. Attachment  Kelekatan pada anak autis

diselingi dengan karakteristik pengulangan

pergerakan motorik mereka seperti tepukan tangan, goncangan dan berputar-putar

(27)

Negativisme permintaan. Jika permintaan tersebut sesuai

dengan kapasitas intelektual mereka, mereka

dapat merespon secara pantas saat mereka dalam

lingkungan yang terstruktur dan dapat diprediksi.

 Anak autis memiliki sifat negativistik secara berlebihan

2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah

a. Faktor afektif-motivasional

Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah

pada anak autis. Anak autis kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak

autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang berespon secara

afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama

dengan orang tersebut.

b. Reciprocity

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam

interkasi sosial resiprokal yang sesuai umur dapat bertahan seumur hidup

mereka.

1) Kesulitan penerimaan

Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara,

mungkin karena kesulitan kognitif dalam memproses stimulus sosial yang

kompleks. Anak autis memahami penyebab dari emosi setidaknya pada

level-level sederhana. Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan

affect. Orang merasa senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.

2) Kesulitan ekspresif

Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul

pada anak normal usia 2-3 tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam

ekspresi wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya modulasi dalam

(28)

5. Orangtua yang memiliki anak autis

Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara

menurut Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2005), orangtua adalah ayah dan ibu kandung. Jadi, dari definisi diatas, maka

dapat dismpulkan bahwa orang tua yang memiliki anak autis adalah ayah dan ibu

yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri autisme.

Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal

terjadi pada diri orangtua. Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat,

mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir terhadap masa depan anaknya

dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini ditegaskan kembali oleh Williams dan

Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan melalui serangkaian emosi

saat dikatakan anak mereka autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap

keluarga punya perjalanan emosionalnya sendiri. Beberapa keluarga telah melalui

proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama waktu konsultasi.

Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk

memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis

lebih mudah dibuat pada saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya

sulit karena masalahnya lebih ringan. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana

orangtua akan memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka lakukan.

Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan

perasaan berbeda saat anak mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa

reaksinya adalah sebagai berikut:

a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana

mencari bantuan ahli.

b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka

melakukan hal yang salah selama kehamilan atau pengasuhannya.

c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat

mereka masih kecil tidak terpenuhi.

d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa

depan anak-anak mereka dan harus mengubah harapan akan masa depan

(29)

e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak

mungkin dan mencari keluarga lain untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada

beberapa keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan mencoba

tidak memperdulikannya.

B. Perkawinan

1. Definisi perkawinan

Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara

pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan

seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas

masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-Undang perkawinan No 1

menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria

dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Sigelman (2003) mendefinisikan perkawina sebagai sebuah hubungan antara

dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam

hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang

didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,

pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.

Menurut Dariyo (2003) perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap

telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus

(holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.

Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan

bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan

kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk

pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

(30)

melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran

suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih

sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan

emosional antara suami dan istri.

2. Fase perkawinan

Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam perkawinan yang

tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:

a. Fase bulan madu

Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama perkawinan masih dapat

dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih

dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan perkawinan, berarti

kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan

impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang

menjadi penghalang seperti ketika masih belum menikah. Fase ini merupakan

masa yang indah karena masing-masing pihak berupaya untuk

membahagiakan pasangannya.

b. Fase pengenalan kenyataan

Setelah bulan madu terlewati, kenyataan perkawinan mau tidak mau harus

dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena

masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus

bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau

sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih banyak

di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih

mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya sang

suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak

sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut

mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan, apabila terjadi kesenjangan

(31)

c. Fase krisis perkawinan

Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan

satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri curiga yang

lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah

sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada

sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga apabila tidak ada

kesadaran dari masing-masing pihak bahwa perkawinan tidak hanya selalu

berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan

rumah tangga.

d. Fase menerima kenyataan

Setelah fase krisis perkawinan terlalui, maka masing-masing pihak sudah

menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan

pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak

dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang

ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat

dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun saling

mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi satu sama

lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang

dimilikinya.

e. Fase kebahagiaan sejati

Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah

perkawinan. Perkawinan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan.

perkawinan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada

gelombang-gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada

perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan yang paling penting

menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tidak

mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan,

kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk diantaranya jika keduanya

mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu

(32)

Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama,

ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola pikir,

daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula

pasangan suami istri mewujudkan cita-cita perkawinannya, memperoleh

kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan perkawinan

dengan segala masalah-masalahnya.

Dalam suatu perkawinan, setiap individu akan dihadapkan pada kondisi

dimana mereka bersama dengan pasangannya akan membentuk suatu keluarga

baru yang akan dijalankan sepanjang kehidupan mereka. Duval (dalam Clayton,

1975) membagi siklus kehidupan keluarga menjadi 8 (delapan) tahap dengan ciri

tersendiri sebagai berikut:

Tabel 3. Siklus kehidupan keluarga

Tahap I Keluarga awal → setelah menikah selama 0 -5 tahun, tanpa anak

Tahap II Keluarga dengan anak pertama → anak pertama yang baru lahir sampai anak berusia 2 tahun 11 bulan

Tahap III Keluarga dengan anak prasekolah → anak pertama berusia 3 tahun sampai 5 tahun 11 bulan

Tahap IV Keluarga dengan anak usia sekolah → anak pertama berusia 6 tahun sampai anak berusia 12 tahun 11 bulan Tahap V Keluarga dengan anak remaja → anak pertama berusia

13 tahun sampai 20 tahun 11 bulan

Tahap VI Keluarga sejak masa anak sulung sampai anak bungsu meninggalkan rumah

Tahap VII Keluarga dimana semua anak telah meninggalkan rumah sampai masa pensiun

Tahap VIII Keluarga dari masa pensiun sampai kematian salah satu pasangan

Pollins & Feldman (1978) yang meneliti hubungan siklus kehidupan keluarga

dengan kepuasan perkawinan menemukan bahwa pasangan merasa sangat puas

pada tahap I, tahap II dan tahap VIII. Kepuasan perkawinan ini kemudian

menurun pada tahap III dan berada pada titik terendah pada tahap VI. Data

(33)

kepuasan perkawinan berhubungan dengan kehadiran anak. Kepuasan perkawinan

berada pada tingkat yang tinggi terjadi sebelum hadirnya anak (tahap I dan tahap

II) dan setelah anak memisahkan diri dari orangtua (tahap VIII) karena suami istri

pada saat tersebut dapat merasakan kebersamaan dengan pasangannya.

C. Kepuasan Perkawinan

1. Definisi kepuasan perkawinan

Setelah menikah, individu mengalami banyak perubahan dan harus

melakukan banyak penyesuaian diri terhadap pasangan, keluarga pasangan dan

penyesuaian-penyesuaian lainnya. Penyesuaian ini kiranya perlu dilakukan agar

kedua pasangan dapat merasa bahagia dan puas terhadap hubungan

perkawinannya. Menurut Hughes & Noppe (1985), kepuasan perkawinan yang

dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan

perkawinannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya.

Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi suami istri terhadap hubungan

perkawinannya yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu

sendiri (Lemme, 1995). Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) berpendapat

bahwa kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif yang dirasakan

pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu

perkawinan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang

menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual.

Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan

perkawinan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan

dalam jangka waktu tertentu (Roach dkk, 1983). Selain itu pula, kepuasan

perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami – istri mengevaluasi

hubungan perkawinan mereka, apakah baik, buruk atau memuaskan (Biod &

Meville, 1994).

Dari penjelasan di atas, maka konsep kepuasan perkawinan dapat

mengandung hal-hal berikut: Suatu penilaian seseorang terhadap perkawinannya,

(34)

aspek-aspek dalam hubungan perkawinan, berupa suatu kontinum perasaan dari sangat

memuaskan sampai sangat tidak memuaskan.

Berdasarkan uraian di atas kepuasan perkawinan merupakan penilaian

pasangan suami istri dan perasaan subjektif yang dimiliki oleh individu yang

berkenaan dengan aspek-aspek dalam kehidupan perkawinannya.

2. Tingkat kepuasan perkawinan

Tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa

penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins & Feldman,

1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu indikasi kepuasan

pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat kepuasan

tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan

terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja, lalu

tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh

dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman

dalam Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).

Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari

perkawinan adalah puncak dari kepuasan perkawinan. Beragamnya pendapat yang

dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak adanya

tingkat kepuasan perkawinan absolut yang mengesankan pada beragam periode

perkawinan (Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).

Menurut Papalia, Sterns, Feldman dan Camp (2002) tanggung jawab sebagai

orangtua mempengaruhi hubungan suami-istri. Saat ini, dengan meningkatnya

harapan hidup dan perceraian, sekitar 1 dari 5 pernikahan bertahan hingga 50

tahun.

Secara umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point

yang tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat

lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Masa yang paling tidak membahagiakan

adalah periode dimana sebagian besar orangtua dilibatkan secara menyeluruh

dalam membesarkan anak dan karir. Aspek positif dari pernikahan (seperti

(35)

(seperti sarkasme, kemarahan, dan ketidaksetujuan terhadap masalah-masalah

penting) berkurang dari dewasa muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin

karena banyak konflik pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, Sterns, Feldman

dan Camp 2002).

Dari sebuah penelitian 175 orang, yang mengkonfirmasi kurva bentuk U,

peneliti mengikuti 22 pasangan selama 30 tahun dan yang lainnya dalam jangka

waktu yang lebih pendek. Penemuan yang menarik adalah, semakin lama

pasangan menikah, semakin mirip mereka satu sama lain, dalam pandangan

mereka terhadap kehidupan, dan cara berpikir, bahkan kemampuan matematika.

Kecendrungan terhadap kemiripan ini terhenti sementara dengan menurunnya

kepuasan pernikahan di masa membesarkan anak. Dalam penelitian lain terhadap

17 pernikahan yang bertahan selama 50 hingga 69 tahun, hampir ¾ yang

digambarkan, berdasarkan observasi dan wawancara selama 50 tahun, mengikuti

salah satu dari 2 pola ini : mengikuti kurva U atau tingkat kebahagiaan yang

hampir konsisten. Tidak ada dari pernikahan yang diteliti menunjukkan kenaikan

atau penurunan yang berkelanjutan dalam kepuasan (Papalia, Sterns, Feldman dan

Camp 2002).

a. Awal perkawinan

Bagi sebagian besar pasangan, saat anak hadir, maka bulan madu pun

berakhir. Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan selama 10 tahun bagi

pasangan kulit putih yang menikah di usia akhir 20-an mereka, baik suami

maupun istri melaporkan penurunan kepuasan yang tajam selama 4 tahun pertama,

diikuti oleh masa stabil dan kemudian penurunan lainnya. Pasangan yang

memiliki anak, terutama mereka yang menjadi orangtua di awal penikahan mereka

dan mereka yang memiliki banyak anak menunjukkan penurunan yang lebih

curam.

Ada beberapa hal yang membedakan pernikahan yang memburuk atau

membaik setelah parenthood. Pada pernikahan yang memburuk, menurut salah

satu penelitian, pasangan lebih muda dan kurang terpelajar, memiliki pemasukan

(36)

atau kedua pasangan cenderung memiliki self esteem yang rendah, dan suami

biasanya kurang sensitif. Ibu yang memiliki waktu tersulit adalah mereka yang

memiliki bayi dengan temperamen sulit. Yang mengejutkan, pasangan yang

paling romantis sebelum memiliki bayi cenderung memiliki lebih banyak masalah

setelah memiliki bayi, mungkin karena mereka memiliki harapan yang tidak

realistik. Wanita yang merencanakan kehamilan mereka cenderung menjadi

kurang bahagia, mungkin karena mereka mengharapkan hidup dengan bayi lebih

baik dari apa yang sesungguhnya terjadi.

Seseorang biasanya melanggar pengharapan yang melibatkan pembagian

tugas. Jika pasangan membagi tugas sama rata sebelum bayi lahir dan kemudian,

setelah bayi lahir, beban dialihkan ke istri, kebahagiaan pernikahan cenderung

menurun terutama untuk istri nontradisional.

b. Pertengahan perkawinan

Kurva U mencapai dasar selama bagian awal dari tahun pertengahan, saat

banyak pasangan memiliki anak remaja. Masalah identitas dari tengah hidup

muncul untuk mempengaruhi perasaan istri tentang pernikahan mereka; wanita

menjadi kurang puas dengan pernikahan mereka. Wanita menjadi kurang puas

dengan pernikahan sebagaimana membesarkan anak membuat lebih sedikit

permintaan dan perasaan mereka tentang kekuatan personal dan autonomi

meningkat.

Komunikasi diantara pasangan seringnya dapat mengurangi stres yang

disebabkan oleh tanda-tanda fisik dari penuaan, hilangnya dorongan seksual,

perubahan dalam status atau kepuasan kerja, dan kematian orangtua, saudara, atau

teman dekat. Banyak pasangan melaporkan bahwa saat-saat sulit membuat mereka

lebih dekat satu sama lain.

Dalam pernikahan yang baik, keberangkatan dari anak yang telah dewasa

dapat menghantar kepada ” bulan madu kedua”. Pada pernikahan yang goyah,

melalui ’empty nest’ dapat membuat krisis personal dan pernikahan. Dengan

(37)

memiliki banyak kesamaan dan mungkin bertanya pada diri mereka sendiri

apakah mereka mau menghabiskan sisa hidup mereka bersama.

c. Akhir perkawinan

Dibandingkan pasangan tengah tahun, pasangan berusia 60-an lebih sering

menyebutkan bahwa pernikahaan mereka memuaskan. Banyak yang berkata

bahwa pernikahan telah meningkat seiring dengan berlalunya tahun. Pasangan

yang tetap bersama di akhir hidup mereka biasanya telah mengatasi perbedaan

mereka dan tiba pada akomodasi yang sama-sama memuaskan.

3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan

Secara umum, kepuasan perkawinan ini dipengaruhi oleh dua hal, faktor

interpersonal dan faktor intrapersonal. Faktor interpersonal adalah faktor-faktor

yang berkaitan dengan interaksi perkawinan, sedangkan faktor intrapersonal

menunjuk pada karakteristik yang cenderung menetap pada individu seperti

kepribadian (Karney & Brabbury, dalam Biod & Meville, 1994).

Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa kepuasan perkawinan

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu latar belakang (background characteristics) dan

keadaan sekarang (current characteristic). Faktor latar belakang meliputi

perkawinan orangtua, masa kecil, disiplin, pendidikan seks, pendidikan, dan

kedekatan. Sementara faktor keadaan sekarang meliputi ekspresi kasih

sayang/afeksi, tingkat kepercayaan, tingkat kesetaran, komunikasi, kehidupan

seksual, kehidupan sosial, tempat tinggal, dan pendapatan. Tidak dapat dipungkiri

bahwa faktor masa lalu (background characteristics) juga menjadi faktor

pendukung tercapainya kepuasan dalam perkawinan, namun tidak ada yang bisa

dilakukan dengan apa yang telah terjadi selain menerima dan mencoba untuk

memahami hal tersebut.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) yang

(38)

a. Premarital factors

1) Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai

harapan dapat menimbulkan bahaya dalam perkawinan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah,

dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak

menghadapi stresor seperti penghasilan atau tingkat penghasilan yang rendah.

3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap

romantisme, perkawinan dan perceraian.

b. Postmarital factors

1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan

perkawinan, terutama pada wanita.

2) Lama perkawinan, dimana dikemukakan oleh Duvall & Miller bahwa tingkat

kepuasan perkawinan tinggi di awal perkawinan, kemudian menurun setelah

kelahiran anak pertama, dan kemudian meningkat kembali setelah anak

mandiri.

3. Aspek–aspek kepuasan perkawinan

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area-area

dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan.

Area-area tersebut antara lain:

a. Communication

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam

berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang

yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka

saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya.

Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar,

yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan

(honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust),

sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi

(39)

b. Leisure Activity

Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu

senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau

bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai

pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi

waktu luang bersama pasangan.

c. Religious Orientation

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya

dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama,

dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap hal-hal keagamaan dan mau

beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan

kehidupan beragama. Orangtua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai

agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang

baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama

yang mereka anut.

d. Conflict Resolution

Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah

serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan

untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang

digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai

bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah

bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Financial Management

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk

pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak

realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan

untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk

memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan

(Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan

otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan

(40)

f. Sexual Orientation

Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah

seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian

seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila

tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus

meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua

pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain,

mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda

yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan

suami istri.

g. Family and Friends

Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap

hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan

dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan

teman-teman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan

menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga

mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan

tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999).

h. Children and Parenting

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak.

Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai

disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran

anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara pasangan

dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan.

Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat

menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

i. Personality Issue

Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan

serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha

menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan

Gambar

Tabel 3. Siklus kehidupan keluarga
Gambaran Umum Responden I
Tabel 2 Waktu Wawancara Darni
Tabel 3 Kepuasan perkawinan pada responden I (Rosa)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat kimia tanah yang meliputi pH, kadar hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta kadar logam berat (As, Pb, Sn, Cd dan Hg)

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini bahwa indikator niat produk merupakan indikator dengan nilai tertinggi, yaitu sebesar 0,990, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Manfaat dari dilaksanakannya Ujian Nasional yaitu: (1) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan, (2) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (3) penentuan

Prevalensi tumor ganas yang biasanya terjadi pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun adalah 25 % tumor parotis, 50 % pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun

Bab ini membahas tentang obyek penelitian dan menganalisis dan menguraikan praktik-praktik akuntansi komersial dalam laporan keuangan dan penyesuaian dalam

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah berupa skripsi berjudul Evaluasi