• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Cagar Biosfer Cibodas dalam Penyerapan CO2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Cagar Biosfer Cibodas dalam Penyerapan CO2"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

RETNO LARASATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RETNO LARASATI. The Role of Cibodas Biosphere Reserves in Absorbing CO2. Supervised by

TANIA JUNE and SONYA DEWI.

Biosphere reserves are protected areas which the existence is well known globally as an area for promoting the balance relationship between human beings and the environment. Biosphere reserves have three zones namely the core zone as conservation areas, the buffer zones as a protective area of the core zone, and the transition zones that are intended for regional sustainable development. Cibodas Biosphere Reserve is one of the seven existing biosphere reserves in Indonesia with the largest mountains rain forest ecosystem. One of the environmental services provided by the Cibodas Biosphere Reserve is the ability to absorb CO2. The objective of this

study is to estimate the value of the absorption of CO2 in Cibodas Biosphere Reserves using

carbon flux value indicated by the value of NPP. The results of this study provide the highest value of carbon flux in the core zone occurred in 2006 that is equal to 1689.2 gC/m2/year, the highest value of carbon flux at buffer zone and transition zone occurred in 2006 are 1543,4 gC/m2/year and 1197,3 gC/m2/year, consecutively. The highest total potential of CO2 absorption in the core

(3)

RETNO LARASATI. Peran Cagar Biosfer Cibodas Dalam Penyerapan CO2. Dibimbing oleh

TANIA JUNE dan SONYA DEWI.

Cagar biosfer merupakan kawasan konservasi yang keberadaanya diakui secara internasional sebagai suatu kawasan yang mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan. Cagar biosfer memiliki 3 zona yakni zona inti sebagai kawasan konservasi, zona penyangga sebagai kawasan pelindung zona inti, serta zona transisi yang diperuntukan bagi kawasan pembangunan berkelanjutan. Cagar Biosfer Cibodas merupakan salah satu dari tujuh cagar biosfer yang ada di Indonesia dengan ekosistem terbesar hutan hujan pegunungan. Salah satu jasa lingkungan yang diberikan oleh Cagar Biosfer Cibodas adalah kemampuannya dalam penyerapan CO2. Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai penyerapan CO2 di Cagar Biosfer

Cibodas menggunakan nilai fluks karbon yang ditunjukkan oleh nilai Net Primary Production (NPP). Hasil dari penelitian ini memberikan nilai fluks karbon tertinggi pada zona inti terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 1689.2 gC/m2/tahun, pada zona penyangga dan zona transisi terjadi pada tahun 2006 berturut-turut sebesar 1543.4 gC/m2/tahun dan 1197.3 gC/m2/tahun. Potensi total penyerapan CO2 pada zona inti tertinggi terjadi pada tahun 1991 sebesar 1,473,572.4 ton/tahun,

pada zona penyangga terjadi pada tahun 2006 sebesar 705,096.4 ton/tahun, dan pada zona transisi terjadi pada tahun 1991 sebesar 1,036,069.6 ton/tahun.

(4)

RETNO LARASATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Mayor Meteorologi Terapan

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Menyetujui

Pembimbing I,

(Dr. Ir. Tania June, M.Sc)

NIP: 19630628 198803 2 001

Pembimbing II,

(Dr. Sonya Dewi)

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)

NIP: 19600305 198703 2 002

(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada 10 November 1988 dari ayahanda Suwarman dan ibunda Entum Wuriati. Penulis merupakan puteri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA PGRI 1 Bogor Kota Bogor. Kemudian pada tahun tersebut, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB sebagai Program Studi Mayor, melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun kedua di IPB, penulis memilih Program Studi Ekonomi Sumberdaya dari Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lahan sebagai Program Studi Minor.

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini ialah pendugaan dinamika karbon Cagar Biosfer Indonesia, dengan judul “Peran Cagar Biosfer Cibodas Dalam Penyerapan CO2”.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut peran serta dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada:

1. Keluarga tercinta atas doa, dukungan, dan keridhoannya.

2. Dr. Ir. Tania June, M.Sc dan Dr. Sonya Dewi selaku dosen pembimbing. 3. Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc selaku dosen penguji dalam sidang tugas akhir saya.

4. Bapak Purwanto selaku direktur program MAB Indonesia, Mba Hanny, dan Mba Opi selaku staf program MAB Indonesia atas kesediaannya berbagi informasi serta bimbingan. 5. Bapak Ardi Andono, STP., M.Sc., serta staf Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango atas bantuan data dan informasi.

6. BALITKLIMAT atas kesediannya memberikan data iklim.

7. ICRAF dan staf atas bantuan data citra dan kesediaannya membantu dalam pengolahan data citra.

8. Keluarga Besar Tanoto Foundation atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan. 9. Sahabat GFM 44 (Rini, Tetet, pepe (dipce), Pasho, Ike, Joko, Iyut, Dimase, Mimin, Frida,

Dila, Aci, Ade, Pipit, Eca, Wiwid, Riri, Winda, Wari, Tika, Ii, Nanas, Eka, Anis, Ois, Nedi, Bembi, Blake, Ajim, Amin, Anto, Abang, Afdal, Naren, Sigit, Andi, Iwan, Pujo, Adi, Unduh, Hari, Engkoh, Samsu,Fandi, Mas Nur, Kristian, Jahid, Firman, Juned)

10. Keluarga Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, seluruh dosen, Staf, kakak kelas 41, 42, dan 43, adik kelas 45 dan 46. Terima kasih atas segala bentuk dukungan, semangat, dan doa yang diberikan.

11. Keluarga Bulog (Ema, Abah, Ibu, Bapak, A Pewe, Titik, Cunil, Ena, Endan, Jojo) atas doa, dukungan, dan kasih sayang selama menuntut ilmu di IPB.

12. Teman – teman Wisma Mewah (Mike,Putri,Neina,Sifa,Huda,Mevi,umi, Heni, Neneng, dan Nawa) atas keceriaan dan kebersamaannya semenjak di asrama sampai dengan saat ini . 13. Tiga orang yang turut berperan dalam penyelesaian karya ilmiah ini Putri Yashmin, Loris

Panahatan, dan Pradipta Reza yang telah bersedia menyediakan waktu dalam proses pengambilan dan pengolahan data.

Semoga semua bantuan yang diberikan kepada penulis, mendapatkan balasan dari Allah SWT, dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1. Cagar Biosfer ... 2

2.2. Zonasi Cagar Biosfer ... 4

2.3. Cagar Biosfer Cibodas ... 4

2.4. Zonasi Cagar Biosfer Cibodas ... 5

2.5. Dinamika Karbon ... 6

2.6 Stok dan Fluks Karbon ... 7

2.6.1. Stok Karbon ... 8

2.6.2. Fluks Karbon ... 8

2.7. Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya ... 11

2.8. Radiasi Photosynthetically Active Radiation (PAR) ... 12

2.9. Fraction Of Photosynthetically Active Radiation (fPAR) ... 13

2.10. Normalized Difference Vegtation Index (NDVI) ... 14

2.11. Karakteristik Landsat TM/ETM+ ... 14

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2. Data dan Peralatan ... 15

3.3. Metode Penelitian ... 15

3.3.1. Data Intensitas Radiasi ... 15

3.3.2. Klasifikasi Terbimbing ... 15

3.3.3. Menentukan Nilai NDVI ... 16

3.3.4. Menentukan Nilai fAPAR ... 16

3.3.5. Menentukan Nilai PARi ... 16

3.3.6. Menentukan Nilai Efisiensi Radiasi ... 16

3.3.7. Menentukan Nilai NPP ... 16

3.3.8. Menentukan Nilai Penyerapan CO2 ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

4.1. Keadaan Iklim Wilayah Kajian ... 16

4.2. Tutupan Lahan Wilayah Kajian ... 19

4.2.1. Dinamika Tutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 20

4.2.2. Dinamika Tutupan Lahan Berdasarkan Zonasi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1990 – 2010 ... 21

4.2.2.1. Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 – 2010 ... 22

(9)

4.2.2.3. Tutupan Lahan Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 –

2010 ... 24

4.3. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) ... 26

4.3.1. Perubahan Nilai NDVI Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 26

4.3.2. Perubahan Nilai NDVI Berdasarkan Zonasi Dalam Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 27

4.3.2.1. Perubahan Nilai NDVI Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 28

4.3.2.2. Perubahan Nilai NDVI Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 29

4.3.2.3. Perubahan Nilai NDVI Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 30

4.4. Fraction of Photosinthetically Active Radiation (fAPAR) ... 31

4.4.1. Perubahan Nilai fAPAR Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 31

4.4.2. Perubahan Nilai fAPAR Berdasarkan Zonasi Dalam Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 33

4.5. Net Primary Production (NPP) ... 34

4.6. Potensi Penyerapan CO2 Cagar Biosfer Cibodas ... 36

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1. Simpulan ... 38

5.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Struktur dan Input Model Efisiensi Radiasi Matahari ... 11

2. Nilai Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari dari Berbagai Penelitian ... 12

3. Persamaan fAPAR dari Berbagai Penelitian ... 13

4. Nilai NDVI Berdasarkan Luas Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 27

5. Nilai NDVI Berdasarkan Luas Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 28

6. Nilai NDVI Berdasarkan Luas Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 . 29 7. Nilai NDVI Berdasarkan Luas Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 30

8. Nilai fAPAR Berdasarkan Luas Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 32

9. Nilai NPP Berdasarkan Zonasi Dalam Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 34

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Kawasan Konservasi Indonesia ... 3

2. Peta Zonasi Cagar Biosfer ... 4

3. Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2007 ... 5

4. Zonasi Cagar Biosfer Cibodas ... 6

5. Pergerakan Karbon Alami ... 7

6. Skematis Pohon Sebagai Penyerap CO2 Melalui Proses Fotosintesis ... 7

7. NPP Global dari Vegetasi Selama Januari Sampai Februari 2010 ... 9

8. Diagram Alur Metode Pengolahan Data ... 15

9. Grafik Intensitas Radiasi Rata-Rata Bulanan Tahun 1990 - 2010 ... 17

10. Grafik Suhu Udara Rata-Rata Bulanan Tahun 1990 - 2010 ... 18

11. Grafik Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Tahun 1990 - 2010 ... 19

12. Grafik Luas Tutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 20

13. Grafik Luas Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 22

14. Grafik Luas Tutupan Lahan Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 . 24 15. Grafik Luas Tutupan Lahan Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010 ... 25

16. Distribusi Nilai NDVI Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) dengan Threshold 0.4 ... 27

17. Distribusi Nilai NDVI Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) dengan Threshold 0.4 ... 28

18. Distribusi Nilai NDVI Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) dengan Threshold 0.4 ... 30

19. Distribusi Nilai NDVI Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) dengan Threshold 0.4 ... 31

20. Distribusi Nilai fAPAR Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) Dengan Threshold 0.4 ... 32

21. Distribusi Nilai fAPAR Zona Cagar Biosfer Cibodas (Dalam Persen Luas) Dengan Threshold 0.4 ... 33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 ... 43

2. Peta Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2001 ... 43

3. Peta Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2006 ... 44

4. Peta Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 44

5. Peta NDVI Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 ... 45

6. Peta NDVI Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2001 ... 45

7. Peta NDVI Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2006 ... 46

8. Peta NDVI Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 46

9. Peta fAPAR Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 47

10. Peta fAPAR Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 47

11. Peta fAPAR Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 48

12. Peta fAPAR Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 48

13. Peta NPP Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 49

14. Peta NPP Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 49

15. Peta NPP Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 50

16. Peta NPP Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 50

17. Data Stasiun Meteorologi Pacet Tahun 1991 ... 51

18. Data Stasiun Meteorologi Pacet Tahun 2001 ... 51

19. Data Stasiun Meteorologi Pacet Tahun 2006 ... 52

20. Data Stasiun Meteorologi Pacet Tahun 2010 ... 52

21. Tabel Luas Tutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas (dalam Ha) Tahun 1991 – 2010 ... 53

22. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 ... 54

23. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona penyanggaCagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 ... 55

24. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 ... 56

25. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2001 ... 57

26. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2001 ... 58

27. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2001 ... 59

28. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2006 ... 60

29. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2006 ... 61

30. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Transisi Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2006 ... 62

31. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Inti Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 63

32. Sebaran Nilai NDVI Berdasarkan Tutupan Lahan Zona Penyangga Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2010 ... 64

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang (UU) Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bab 1 pasal 1 (2) menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kelestarian sumber daya alam begitu penting karenanya diperlukan keseimbangan dalam pemanfaatan dan pelestariannya. Upaya – upaya pelestarian sumber daya alam hayati yang sesuai perlu dilakukan agar kegiatan konservasi berjalan dengan tidak mengorbankan kepentingan manusia dan juga lingkungan. Penetapan kawasan konservasi yang sesuai merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No 5 tahun 1990, kawasan konservasi terdiri dari kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, serta kawasan konservasi lainnya yakni kawasan suaka alam yang terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Dengan adanya perjanjian internasional kawasan konservasi dapat dijadikan cagar biosfer. Cagar biosfer didefinisikan dalam UU No 5 tahun 1990 sebagai suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Keunikan dari cagar biosfer adalah bahwa kawasan ini secara internasional diakui sebagai kawasan konservasi yang dapat mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam (UNESCO 2003).

Cagar biosfer sebagai kawasan konservasi memiliki zonasi wilayah yang memiliki fungsi sesuai peruntukannya. Menurut Soedjito (2004) zonasi wilayah itu terdiri dari : (i) zona inti sebagai kawasan lindung dengan luas yang memadai, mempunyai perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, (ii) zona penyangga yang berfungsi untuk melindungi area inti dari dampak negatif kegiatan manusia, dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan, dan (iii) zona transisi yang

berfungsi untuk mempromosikan model – model pembangunan yang berkelanjutan (Man and Biosphere (MAB) Indonesia 2011). Dengan adanya zonasi wilayah di kawasan konservasi ini, maka tugas berat dari cagar biosfer sebagai penjaga keseimbangan antara manusia dan alam seharusnya dapat dijalankan dengan lebih baik.

(14)

karbon yang terjadi pada Cagar Biosfer Cibodas tentunya tidak hanya sebatas wilayah inti yang dalam kasus Cagar Biosfer Cibodas sekaligus merupakan taman nasional, namun dapat juga terjadi pada zona penyangga dan transisi di Cagar Biosfer Cibodas.

Di lain pihak, pembangunan yang terjadi pada ketiga zonasi Cagar Biosfer Cibodas tentunya dapat mendorong terjadinya emisi yang mempengaruhi dinamika karbon yang terjadi di wilayah ini . Dinamika karbon yang dapat diestimasi nilainya yakni stok karbon dan fluks karbon.

Beberapa penelitian mengenai karbon di wilayah Cagar Biosfer Cibodas memberikan informasi tentang seberapa besar potensi penyerapan karbon di wilayah ini. Diantara penelitian tersebut adalah penelitian tentang potensi penyerapan karbon di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) oleh Siregar (2007). Dalam penelitian itu disebutkan bahwa potensi biomasa, kandungan karbon biomasa, dan kandungan setara CO2 berturut-turut sebesar 551.12

ton/ha, 275.56 ton/ha, dan 1,010.38 ton/ha. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh UPT (Unit Pelaksana Teknis) Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2010 – 2011, menyatakan bahwa hasil pengukuran sementara stok karbon tersimpan pada tipe ekosistem hutan alam TNGP adalah sebesar 276.50 ton C/ha. Nilai biomassa diketahui sebesar 600.92 ton/ha. (Wahyudi 2011).

Nilai fluks karbon di Cagar Biosfer Cibodas didekati dengan menggunakan nilai dugaan Net Primary Production (NPP). NPP merupakan selisih bahan organik tanaman hasil fotosintesis dengan respirasi. Seperti halnya stok karbon, nilai NPP juga dapat dijadikan parameter dalam mengetahui tingkat penyerapan karbon oleh tanaman.

1.2 Tujuan

a. Menduga nilai NPP di tiap zonasi wilayah Cagar Biosfer Cibodas tahun 1991 , 2001, 2006, dan 2010.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program Man and Biosphere (MAB)-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Cagar biosfer adalah kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan - pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional (UNESCO 2003). Usulan penetapan cagar biosfer diajukan oleh pemerintah nasional. Setiap calon cagar biosfer harus memenuhi kriteria tertentu dan sesuai dengan persyaratan minimum sebelum dimasukan kedalam jaringan dunia (MAB Indonesia 2011).

Konsep cagar biosfer mulai dikembangkan pada tahun 1974. Dalam konsep ini program MAB akan diuji, diperbaiki, didemonstrasikan , dan diimplementasikan (UNESCO 1984 ; Batisse 1986 dan 1996 dalam Soedjito 2004). Lokasi cagar biosfer ditunjuk oleh UNESCO selain berdasarkan kesesuaian tujuan juga karena keterwakilan ekologi dan biogeografinya. Penunjukkan Cagar Biosfer pun melalui prosedur khusus. Pada tahun 1976 jaringan cagar biosfer dunia (The World Network of Biosphere Reserves) diluncurkan dan berkembang dari 324 cagar biosfer di 82 negara pada tahun 1995 (UNESCO 1996a dalam Soedjito 2004) menjadi 430 di 95 negara pada tahun 2002.

(15)

lahan dengan pendekatan untuk pembangunan yang berkelanjutan, dan untuk penelitian, monitoring, pendidikan, dan pelatihan, serta implementasi konsep cagar biosfer, (ii) program MAB Internasional yang mengimplementasi kegiatan MAB menjadi dua “main line of action” (MLA) yaitu MLA -1 mengenai pengelolaan sumber daya alam dan masalah pembangunan dan MLA-2 mengenai usaha untuk memajukan dasar ilmiah, pengembangan aktivitas sumber daya manusia dan komunikasi. Dan (iii) Madrid action plan yang menyatakan cagar biosfer harus mampu menjawab tantangan perubahan iklim secara global, serta memberikan jasa ekosistem yang lebih baik, dengan antisipasi adanya urbanisasi (Purwanto 2008).

Soedjito (2004) mendefinisikan cagar biosfer sebagai suatu kawasan konservasi ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh Program MAB - UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Cagar biosfer melayani perpaduan tiga fungsi yaitu : 1. Kontribusi konservasi lansekap,

ekosistem, jenis, dan plasma nutfah. 2. Menyuburkan pembangunan ekonomi

yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya.

3. Mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional, maupun

global. Kumpulan cagar biosfer di dunia membentuk Jaringan Cagar Biosfer Dunia, yang didalamnya dipromosikan program pertukaran informasi, pengalaman, dan personel terutama di antara cagar biosfer dengan tipe ekosisten yang sama dan atau dengan pengalaman yang sama dalam memecahkan masalah konservasi dan pembangunan.

Karakteristik utama cagar biosfer dijelaskan oleh UNESCO (2003) yaitu sebagai berikut :

1. Mempunyai pola zonasi untuk konservasi dan pembangunan.

2. Memfokuskan pada arah pendekatan berbagai pemangku kepentingan yang secara khusus menekankan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan.

3. Membentuk suatu metode untuk penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya alam melalui dialog.

4. Mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama mengenai peran pengetahuan tradisional dalam pengelolaan ekosistem. 5. Mendemonstrasikan kebijakan – kebijakan

yang sesuai dengan hasil penelitian dan diikuti oleh kegiatan pemantauan.

6. Merupakan lokasi untuk pendidikan dan pelatihan.

7. Berpartisipasi dalam jaringan dunia.

Gambar 1 Peta kawasan konservasi indonesia : 1.Cagar Biosfer (CB) Siberut; 2.CB Gunung Leuser; 3.CB Tanjung Putting; 4.CB Cibodas; 5.CB Lorelindu; 6.CB Komodo; 7.CB Giam Siak Kecil-Bukit Batu

(16)

Keberadaan cagar biosfer di Indonesia dapat meningkatkan upaya konservasi tidak hanya di daerah – daerah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, tetapi juga di daerah – daerah lainnya di sekitar kawasan konservasi yang juga merupakan kawasan pembangunan.

Setiap 10 tahun UNESCO mengadakan evaluasi terhadap penerapan konsep cagar biosfer di setiap Negara. Oleh karena itu apabila cagar – cagar biosfer yang ada di Indonesia tidak menerapkan konsep dan program cagar biosfer, maka predikat pengakuan sebagai kawasan cagar biosfer dapat dicabut (Purwanto 2008). Peningkatan usaha konservasi juga didukung oleh bantuan dana dari para pendonor yang peduli pada usaha – usaha konservasi di wilayah cagar biosfer. Laporan tahun 2010 di Cagar Biosfer Cibodas menyebutkan bahwa ada bantuan dana sebesar 591,630 US$ dari ITTO (The International Tropical Timber Organization) untuk tahun 2011-2012 (MAB Indonesia 2011).

2.2 Zonasi Cagar Biosfer

Pengelolaan suatu Cagar Biosfer dibagi menjadi 3 zona yang saling berhubungan seperti terlihat pada Gambar 2 yaitu zona inti (core area), zona penyangga (buffer area), dan zona transisi (transition area).

Gambar 2 Peta zonasi cagar biosfer (MAB Indonesia 2011)

 Area inti (Core Area) adalah kawasan konservasi atau kawasan lindung dengan luas yang memadai, mempunyai perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya.

 Zona penyangga (Buffer Zone) adalah wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan area inti dan teridentifikasi, untuk melindungi area inti dari dampak negatif kegiatan manusia.

Dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan.

 Area transisi (Transition Zone) adalah wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi atau berdampingan dengan zona penyangga. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan model - model pembangunan berkelanjutan dipromosikan dan dikembangkan.

Secara fisik, cagar biosfer harus terdiri atas tiga elemen, yaitu: (i) satu atau lebih zona inti yang merupakan kawasan lindung bagi konservasi keanekaragaman hayati, pemantauan ekosistem, dan tempat kegiatan penelitian yang tidak merusak serta kegiatan lainnya yang berdampak rendah (seperti pendidikan). Pengelolaan zona inti serupa dengan pengelolaan untuk cagar alam. Peraturan pengelolaan untuk kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka marga satwa) serta kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam) tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

(ii) Zona penyangga merupakan kawasan yang mengelilingi atau berdampingan dengan zona inti. Tujuan utama zona penyangga adalah menjamin perlindungan zona inti. Konsep zona penyangga versi UNESCO selaras dengan konsep daerah penyangga di Pasal 16 ayat (2) dalam UU No. 5 Tahun 1990 yakni kawasan penyangga adalah kawasan di luar kawasan suaka alam yang dibebani hak untuk menjaga keutuhan kawasan suaka alam.

(iii) Zona transisi, atau zona peralihan. Zona transisi berkaitan dengan daerah pembangunan berkelanjutan yang mungkin berisi kegiatan pertanian, pemukiman dan pemanfaatan lain (Soedjito 2004).. Salah satu kekuatan konsep cagar biosfer adalah fleksibilitas dan kreatifitasnya dalam berbagai situasi. Hal ini semata karena pendekatan dari konsep cagar biosfer dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dari wilayah yang bersangkutan.

2.3 Cagar Biosfer Cibodas

(17)

Gambar 3 Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2007 (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 2007)

TNGP merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama diumumkan di Indonesia pada tahun 1982. TNGP ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer dan sebagai Sister Parks berdasarkan kerjasama Indonesia-Malaysia. TNGP memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub Montana, Montana, sub alphin, danau, rawa dan savana. Ekosistem sub montana dicirikan oleh banyaknya pohon - pohon yang besar dan tinggi seperti jamuju (Podocarpus imbricata), dan puspa (Schima walichii). Sedangkan ekosistem sub alphin dicirikan oleh adanya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangrangensis , bunga eidelweis (Anaphalis javanica), dan lumut merah (Spagnum gedeanum). TNGP dinyatakan oleh Peraturan Menteri Pertanian No: 811/Kpts/Um/II/1980 tentang peresmian lima taman nasional. TNGP terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, memiliki temperatur udara 250 – 280C. Curah hujan rata-rata 3,600 mm/tahun dengan ketinggian tempat 1,000 – 3,000 mdpl.

Satwa langka yang dapat dijumpai di TNGP antara lain owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis aygula), lutung (Presbytis cristata), macan tutul (Panthera pardus), dan anjing hutan (Cuon alpinus). TNGP terkenal kaya akan berbagai jenis burung, yaitu

sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa dapat dijumpai di taman nasional ini. Beberapa jenis diantaranya merupakan burung langka seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan jenis burung hantu (Otus angelinae).

2.4 Zonasi Cagar Biosfer Cibodas

Secara administratif, wilayah Cagar Biosfer Cibodas dan area inti TNGP terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi dengan batas wilayah luar adalah jalan lingkar Ciawi, Puncak, Cianjur, Sukabumi, Ciawi. Sebagian besar wilayah ini adalah hutan hujan tropis dan pada wilayah penyangga merupakan wilayah pemanfaatan dan pemukiman penduduk. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar 3,000 – 4,200 mm/tahun sehingga termasuk dalam salah satu kawasan terbasah di pulau jawa. Musim hujan berlangsung dari bulan Oktober hingga Mei. Secara geografis kawasan ini terletak pada 106051‟ – 107002‟ BT dan 6041‟ – 6051‟ LS (Budianto 2006).

(18)

Gambar 4 Zonasi Cagar Biosfer Cibodas (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)

Batas luar kawasan Cagar Biosfer Cibodas adalah jalan raya antara Ciawi-Sukabumi-Cianjur-Puncak-Ciawi. Jalan raya beraspal ini dapat menjadi batas area transisi. Batas yang jelas lainnya dari Cagar Biosfer Cibodas adalah batas area inti yaitu batas TNGP. Batas area inti berupa taman nasional ini telah di tapal batas, namun zona penyangganya belum ada batasnya di lapangan. Pal batas zona panyangga memang tidak diperlukan, namun batasan prinsipnya diketahui bersama oleh pemangku kepentingan terutama yang berada di zona penyangga dan area transisi (Purwanto 2008).

Kawasan TNGP terbagi dalam tiga wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (45 %), Kabupaten Bogor (20 %), dan Kabupaten Cianjur (35 %). Taman nasional ini berjarak sekitar 110 km dari Jakarta. TNGP terdiri dari dua puncak gunung yaitu Gunung Gede dengan ketinggian 2,958 mdpl dan Gunung Pangrango dengan ketinggian 3,019 mdpl serta memiliki tingkat kelerengan yang sangat curam (Siregar 2007).

2.5 Dinamika Karbon

Karbon merupakan unsur yang berbentuk gas dengan sifat yang labil (aktif)

dan dapat selalu berpindah, sedangkan untuk menjadi unsur karbon yang stabil diperlukan waktu yang cukup lama mencapai ribuan tahun (Izhar 2009). Pergerakan karbon dapat melalui wilayah daratan dan wilayah laut. Di wilayah daratan terdapat beberapa faktor sumber pelepas karbon seperti pembakaran bahan bakar fosil, dekomposisi bahan organik, respirasi, penebangan hutan, dan hasil pembakaran industri. Sedangkan melalui laut terjadi evaporasi dan difusi yang berakibat karbon terlepas dan sebaliknya diikat oleh permukaan air.

Gambar 5 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan sekitar 6 giga ton karbon yang dilepaskan dan diserap di wilayah terestrial. Namun di wilayah lautan dapat mengikat karbon sebanyak 2 giga ton selama tahun 2000 - 2005.

Selama periode 1981 – 1990 estimasi dari FAO tentang sumber daya hutan dunia memberikan gambaran total absorpsi CO2,

yakni sebesar 830 milyar ton CO2 dikandung

ekosisten hutan dunia, 40% pada vegetasi dan 60% di dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tiap tahun dalam periode 1981-1990 hutan dalam wilayah temperate

(19)

Gambar 5 Pergerakan karbon alami (sumber : http://www.usgs.gov/)

Dixon et al. (1994) dalam Clark et al. (2001) menyatakan bahwa Hutan tropis memiliki proporsi besar dalam penyimpanan karbon dunia, karena secara tidak sebanding, hutan tropis menyimpan 59% budget karbon dunia. Namun demikian Global Forest Resources Assessment (FRA) (2010) melaporkan bahwa terjadi penurunan dalam karbon stok yang terkandung dalam biomassa hutan di Indonesia dan banyak Negara tropis lainnya di 20 tahun terakhir. Di Indonesia dilaporkan bahwa pada tahun 1990 nilai karbon stok yang terkandung dalam biomassa hutan Indonesia sebesar 16,883 juta ton. Namun pada tahun 2010 jumlahnya berkurang menjadi 13,017 juta ton. Penurunan dalam jumlah karbon stok yang terkandung dalam biomassa hutan di Indonesia dipicu oleh penurunan luas hutan Indonesia antara tahun

1990 sampai 2010. Pada tahun 1990 hutan Indonesia seluas 118,545,000 hektar dan pada tahun 2010 jumlahnya berkurang menjadi 94,432,000 hektar.

2.6 Stok dan Fluks Karbon

Proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman

(Gambar 6). Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan

ke udara lewat pembakaran.

Gambar 6 Skematis pohon sebagai penyerap CO2

melalui proses fotosintesis (Hairiah dan Rahayu 2007 :

dimodifikasi dari http://www.doga.metu.edu.tr

/yeeproject/ photosynthesis.jpg dan http://shs.starkville.k12.ms.u

(20)

Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu

ekosistem dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menduga nilai dinamika karbon yang dapat digambarkan dengan nilai stok dan fluks karbon. Metode pendugaan nilai stok dan fluks karbon dilakukan dengan beragam cara. Sebagai contoh untuk nilai pendugaan penyerapan CO2 di dalam ekosistem hutan

menggunakan nilai fluks karbon dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menduga nilai NPP hutan yang kemudian dengan menggunakan nilai konversi C ke CO2

didapatkan nilai penyerapan CO2.

2.6.1. Stok Karbon

Hairiah et al. (2011) menyatakan bahwa pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:

1. Bagian hidup (biomasa): masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting dan tajuk pohon

(berikut akar atau estimasinya),

tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

2. Bagian mati (nekromasa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau

tunggul pohon), kayu

tumbang/tergeletak di permukaan

tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terlapuk.

3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan

manusia) yang telah mengalami

pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen karbon tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

 Biomasa pohon. Proporsi terbesar

cadangan karbon di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat

diestimasi dengan menggunakan

persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (dan tinggi pohon, jika ada).

 Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan

bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.

Estimasi biomasa tumbuhan bawah

dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).

 Nekromasa. Batang pohon mati baik yang

masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat.

 Seresah meliputi bagian tanaman yang

telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. b. Karbon di dalam tanah, meliputi:

 Biomasa akar. Akar mentransfer karbon

dalam jumlah besar langsung ke dalam

tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar (akar

utama), sama dengan cara untuk

mengestimasi biomasa pohon yang

didasarkan pada diameter batang.

 Bahan organik tanah

.

Sisa tanaman, hewan

dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.

Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut:

2.6.2. Fluks Karbon

Selama proses fotosintesis tanaman mengikat CO2 dari atmosfer. Banyaknya

karbon yang diikat selama proses fotosintesis disebut dengan Gross Primary Production

(GPP). Beberapa CO2 yang diikat digunakan

oleh tanaman sendiri untuk proses metabolisme (sebagian besar untuk respirasi) dan pada proses ini, CO2 kembali lagi ke

atmosfer. Karbon yang tidak digunakan dalam proses respirasi dan digunakan untuk membentuk biomassa pada tanaman, inilah yang disebut dengan Net Primary production

(NPP) (June et al. 2006).

(21)

tanaman per satuan luas permukaan bumi. Hal oleh tumbuhan dalam fotosintesis per unit areal tanah per unit waktu. Namun, tanaman menggunakan sejumlah besar bahan organik yang mereka hasilkan untuk kebutuhan mereka sendiri seperti untuk respirasi. Produktivitas primer bersih (Net Primary Production) adalah jumlah bahan organik yang tersisa setelah respirasi. Menurut Clark (2001), NPP adalah selisih antara total fotosintesis (Gross Primary Production) dan respirasi total tanaman di suatu ekosistem. Walaupun pengertian NPP bisa dijelaskan seperti itu, namun kenyataannya di lapangan, nilai NPP tidak bisa semerta – merta di dapatkan dengan hanya mengetahui perbedaan nilai hasil fotosintesis dan respirasi. Definisi lain NPP yakni bahan organik yang diproduksi selama suatu interval tertentu. Namun demikian nilai hasil produksi ini tidak bisa langsung diukur karena proses transformasi seperti konsumsi dan dekomposisi selama interval pengukuran diestimasi berdasarkan beragam pengukuran dan asumsi yang mendasari.

NPP didefinisikan sebagai fluks karbon bersih dari atmosfer ke dalam tanaman hijau per satuan waktu. NPP mengacu pada tingkat proses seperti jumlah produksi materi dedaunan (NPP) per hari, minggu, atau tahun. NPP adalah variabel ekologi dasar, hal ini ekologi. NPP adalah komponen penting dalam siklus karbon dan indikasi dari kualitas ekosistem. NPP dikendalikan oleh radiasi matahari dan dipengaruhi oleh cahaya, curah hujan, dan suhu udara. (Imanda 2010).

Clark (2001) menambahkan bahwa NPP terdiri dari semua bahan yang bersama-sama mewakili: (1) jumlah bahan organik baru yang diproduksi oleh tanaman pada akhir interval waktu, dan (2) jumlah materi organik baik yang dihasilkan atau dihilangkan oleh tanaman selama interval waktu yang sama. Hal yang sama di ungkapkan oleh Kloeppel et al. (2007) yang menyatakan bahwa Pengukuran produktivitas primer bersih (NPP) di ekosistem hutan menyajikan berbagai tantangan karena dimensi yang besar dan

kompleksitas pohon serta kesulitan mengkuantifikasi beberapa komponen NPP. Secara umum, pengukuran NPP melibatkan penjumlahan dua set bahan organik yang berbeda: (1) yang ditambahkan dan ditahan oleh tanaman selama interval pengukuran (selisih biomassa bersih) dan (2) yang dihasilkan, namun hilang oleh tanaman selama selang yang sama.

Gambar 7 NPP global dari vegetasi selama Januari sampai Februari 2010.

(sumber :

http://earthobservatory.nasa.gov/GlobalMaps)

Gambar 7 memperlihatkan secara global, rata – rata tahunan NPP dari vegetasi selama Januari sampai Februari 2010. Dalam gambar ini, vegetasi digambarkan sebagai skala atau indeks kehijauan. Kehijauan didasarkan pada beberapa faktor yakni , jumlah dan jenis dari tanaman, seberapa rindang dan seberapa sehat tanaman tersebut. Di tempat dimana kerapatan daun – daunan dan pertumbuhan tanaman cepat, indeks menjadi tinggi, diperlihatkan dengan warna hijau yang tua. Wilayah dimana sedikit tanaman tumbuh memiliki indeks yang rendah, diperlihatkan dengan warna coklat. Pola yang dapat diperlihatkan pada gambar tersebut adalah, kehijauan vegetasi tinggi didekat khatulistiwa sepanjang tahun, dimana suhu, curah hujan, dan cahaya matahari melimpah. Antara khatulistiwa dan kutub, kehijauan vegetasi naik turun sesuai perubahan musim.

(22)

Photosynthetically Active Radiation) untuk menduga radiasi yang diserap oleh tanaman untuk mengestimasi nilai NPP. Karena model efisiensi penggunaan energi adalah model yang paling sederhana dibandingkan dengan model lainnya dan mengggunakan data penginderaan jauh, model ini yang paling banyak digunakan untuk menduga NPP (Imanda 2010).

Perkembangan teknologi penginderaan jauh menunjukkan potensi untuk menduga nilai NPP (Seaquist et al. 2003 dalam Lagergren et al 2005). Dengan mengkombinasikan model dan teknologi dari penginderaan jauh dan sistem informasi geografi, NPP dapat diduga di wilayah ekosistem yang luas (June et al. 2006). Konsep yang paling umum digunakan untuk menduga NPP dari data penginderaan jauh adalah dengan menggunakan Absorbed Photosynthetically Active Radiation (APAR) dan efisiensi penggunaan radiasi matahari (Monteith 1972 dalam Lagergren et al.

2005).

Penggunaan teknik penginderaan jauh untuk menduga NPP adalah dengan menggunakan model efisiensi penggunaan radiasi matahari yang menggunakan teknik penginderaan jauh dari fraksi radiasi fotosintesis yang diserap untuk memperkirakan nilai maksimum asimilasi karbon dan kemudian menyesuaikannya dengan kondisi iklim menggunakan serangkaian respon algoritma iklim sederhana. (Luo et al., 2004 dalam Ollinger et al., 2007). Model efisien penggunaan radiasi matahari dibangun di atas dua asumsi mendasar (Running et al. 2004 dalam Yuan

et al. 2007) : (1) bahwa GPP ekosistem secara langsung berkaitan dengan radiasi

Absorbed Photosymthetically Active Radiation

(APAR) melalui efisiensi penggunaan radiasi matahari, dimana efisiensi penggunaan radiasi matahari didefinisikan sebagai jumlah karbon yang dihasilkan per unit APAR dan (2) bahwa efisiensi penggunaan radiasi matahari dapat dikurangi di bawah nilai potensi teoritis dengan tekanan lingkungan seperti suhu rendah atau kekurangan air (Landsberg, 1986 dalam Yuan et al. 2007). Bentuk umum dari model efisiensi penggunaan radiasi matahari adalah :

GPP = fAPAR x PAR x εmax x f

Dimana PAR adalah

Photosynthetically Active Radiation (MJ m-2) per periode waktu (hari atau bulan), fAPAR

adalah fraksi PAR yang diserap oleh kanopi tanaman, εmax adalah efisiensi penggunaan

radiasi matahari potensial (g C m-2 MJ-1 APAR) tanpa adanya stress lingkungan, f adalah skala variasi yang nilainya berkisar dari 0 – 1 memperlihatkan reduksi dari efisiensi penggunaan radiasi potensial dalam membatasi kondisi lingkungan.

Pendekatan awal untuk menduga NPP pertama kali dilakukan oleh Monteith (1972;1974) yang menyatakan bahwa dC/dt (akumulasi karbon per unit waktu, saat unit waktu 1 tahun, maka dC/dt adalah NPP) sebagai hasil dari efisiensi kanopi (e, mol CO2

mol-1 PAR atau gC MJ-1), fraksi PAR (fAPAR) yang diserap oleh kanopi dan PAR harian yang mencapai bagian atas kanopi, dirumuskan sebagai berikut :

365

NPP = Σ (e * fAPAR * PARi) 1

Kemudian Ito dan Oikawa (2004) menjelaskan bahwa NPP merupakan salah satu indikasi yang mewakili fungsi ekosistem. NPP diduga berdasarkan hasil dari perbedaan antara Gross Primary Production (GPP) dengan respirasi tanaman autotrofik (AR) :

NPP = GPP – AR

Dengan demikian, rasio antara NPP/GPP yang lebih besar dibandingkan besarnya kehilangan karbon akibat respirasi mengindikasikan efektifitas dari produksi bahan kering fotosintesis.

Pengukuran NPP yang akurat sangat penting untuk pengembangan dan validasi model simulasi yang mampu memperluas skala temporal dan spasial dari prediksi dinamika ekosistem. Selain itu, pengukuran NPP dapat memberikan dasar perbandingan untuk pengukuran pertukaran karbon yang lebih aerodinamis dari sebuah ekosistem (Goulden et al, 1996 dalam Fahey dan Knapp 2007).

Simulasi GPP pada berbagai skala spasial dan temporal telah menjadi tantangan utama dalam mengukur siklus karbon global (Canadell et al. 2000 dalam Yuan et al.

(23)

2.7 Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari Efisiensi penggunaan radiasi matahari dipergunakan secara luas dalam analisis pertumbuhan tanaman dan produksi biomassa dalam beberapa model simulasi tanaman dengan lingkungan berbeda. Pada simulasi, radiasi yang diintersepsi selama periode tertentu dikalikan dengan efisiensi penggunaan radiasi matahari untuk memprediksi produksi bahan kering . Sinclair dan Horie (1989), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan radiasi matahari berbeda menurut jenis dan bervariasi antar jenis tergantung tingkat kejenuhan cahaya pada laju fotosintesis dan kandungan nitrogen daun. Selain itu, variabilitas iklim dan defisit air yang terjadi pada kondisi lapang juga akan langsung menurunkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari akibat penurunan aktifitas fotosintesis. Muchow and Davis (1988) menyatakan bahwa pengukuran efisiensi penggunaan radiasi matahari sangat membantu memahami konsekuensi kekeringan bagi tanaman dan variasinya menurut umur (Rusmayadi et al. 2008). Tabel 1 memperlihatkan beberapa model efisiensi radiasi matahari dari berbagai penelitian.

Biomassa tanaman diukur bersamaan dengan radiasi yang diintersepsinya

(Lindquist et al. 2005 dalamRusmayadi et al. 2008). Efisiensi penggunaan radiasi matahari dihitung dari dua faktor yakni faktor yang mengurangi konversi efisiensi saat suhu dingin membatasi fungsi tanaman dan faktor kedua yang mengurangi konversi efisiensi maksimum ketika tekanan uap defisit (VPD) cukup tinggi untuk menghambat fotosintesis. Hal ini diasumsikan bahwa defisit air tanah terkait dengan VPD dan bahwa VPD akan dihitung untuk stres kekeringan (Heinsch et al. 2006 dalam Yuan et al. 2007). Efisiensi penggunaan radiasi matahari dipengaruhi oleh kondisi suhu , kelembaban permukaan tanah, dan fenologi daun.

Efisiensi penggunaan radiasi matahari juga penting untuk studi penginderaan jauh, karena sebagian besar satelit berbasis perkiraan produktivitas yang bergantung antara hubungan APAR dan NPP (Kumar dan Monteith 1981 dalam Ito dan Oikawa 2004). Sebagai model mandiri atau model integrasi dari ekosistem terpadu, pendekatan efisiensi penggunaan radiasi matahari telah digunakan untuk memperkirakan Gross Primary Production (GPP) dan Net Primary Production (NPP) di berbagai skala spasial dan temporal.

Tabel 1 Struktur dan input model efisiensi radiasi matahari (Yuan et al. 2007)

Model εgatau εn

pengggunaan radiasi matahari potensial di beberapa model.

a digunakan untuk perhitungan tanaman C3 dan α adalah quantum yield (nilai kuantum hasil) b digunakan untuk perhitungan tanaman C4

c digunakan untuk perhitungan di 11 kelas bioma global d digunakan untk perhitungan di ekosistem hutan

(24)

Tabel 2 Nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari dari berbagai penelitian

Nilai e Sumber Keterangan

1.5 g MJ-1 Hirakoba et al. 1977 dalam Lestariningsih 2006

Hirano et al. 1998; Ochi dan Murai 2000 dalam supeni 2006

Kusumaningrum 2003 dalam Lestariningsih 2006

e konstan untuk estimasi produktivitas pertanian Nilai e global rata-rata

e ekosistem hutan di Sumatera Barat, Riau, Jambi

1.8 g MJ-1 Coops et al. 1998 ; June 2004 dalam Supeni 2006

Nilai e konstan yang digunakan dalam pemodelan Net Pro 0.5 g MJ-1 ORNL DAAC dalam Supeni 2006 Lokasi semak di Oregon 0.9 g MJ-1 ORNL DAAC dalam Supeni 2006 Lokasi hutan di Oregon

0.8 g MJ-1 ORNL DAAC dalam Supeni 2006 Nilai e di atas tanah di Oregon bagian barat, USA didominasi oleh hutan berdaun jarum 1.3 g MJ-1 ORNL DAAC dalam Supeni 2006 Nilai e total di Oregon bagian

barat yang didominasi oleh hutan berdaun jarum

e minimum saat musim kering; e maksimum saat musim hujan; di hutan hujan Tropis Indonesia

Tabel 2 memperlihatkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari dari berbagai penelitian. Nilai efisensi penggunaan radiasi matahari dalam tabel 2 didapatkan berdasarkan metode akumulasi biomassa yang merupakan nisbah antara akumulasi bahan kering di atas tanah (W, g m-2) dan intersepsi radiasi (Qint, MJ m-2) dari proporsi radiasi

yang ditransmisikan ke permukaan tanah (Monteith 1977 dalam Rusmayadi et al. 2008).

NPP dari penutupan vegetasi pada dasarnya sebanding dengan radiasi PAR yang diserap oleh kanopi (fAPAR, Monteith, 1972;1977 dalam Ibrom et al. 2007 ). Faktor pembandingnya disebut dengan efisiensi penggunaan PAR untuk NPP (eNPP). eNPP

merupakan turunan yang dibentuk dari model fotosintesis dari skala daun C3. Untuk menduga eNPP digunakan parameter

fotosintesis umum dengan nilai LAI untuk masing – masing wilayah kajian. LAI diturunkan dari indeks vegetasi (NDVI) hasil penginderaan jauh menggunakan persamaan linear yang dibuat oleh Ibrahim (2001) dalam Ibrom et al. (2007) : LAI = 12.74 x NDVI + 1.34

2.8 Radiasi Photosynthetically Active Radiation (PAR)

Dalam proses fotosintesis, khlorofil dalam daun menyerap energi radiasi matahari pada kisaran panjang gelombang PAR (Photosynthetically Active Radiation) antara 0.38 – 0.68 µm). Oleh sebab itu untuk menduga potensi hasil suatu tanaman umumnya adalah dengan mengkonversi total PAR yang diterima tanaman menjadi bahan kering sesuai dengan kemampuan genetik tanaman (Mardawilis 2004 dalam Anggraini 2005). Stasiun cuaca umumnya tidak mengukur radiasi PAR, melainkan radiasi surya global (Qs) pada kisaran panjang gelombang 0.3 – 3.0 µm dengan menggunakan pengukur radiasi yang disebut solarimeter. Untuk mengukur radiasi PAR diperlukan sensor radiasi khusus yang umumnya hanya untuk keperluan penelitian tertentu.

PARi digambarkan sebagai bagian dari

spektrum radiasi yang digunakan didalam proses fotosintesis. Dimana nilai PARi adalah

(25)

bahwa setengahnya diserap oleh kanopi tanaman dan setengah lagi ada yang dipantulkan dan diserap oleh permukaan tanah (June 2002 dalam Churniawan 2008).

Lamberg et al. (1995) menghubungkan antara Absorbed Photosynthetically Active Radiation (APAR) dengan NPP oleh suatu persamaan sederhana yang disebut efisiensi bersih (εn). εn memiliki satuan biomassa atau

karbon per unit APAR. Dengan adanya nilai insolasi PAR dan fAPAR, total dari APAR dapat diperoleh (Hanan et al. 1995).

Monteith (1972) menemukan bahwa produksi panen dibawah kondisi tidak stress memiliki hubungan linear terhadap jumlah dari PAR yang diserap oleh daun (APAR). Fotosintesis daun dan kanopi adalah salah satu dari proses kunci dari siklus karbon di ekosistem terrestrial dan membutuhkan PAR, CO2, air, dan nutrient. Intersepsi kanopi

tanaman bervariasi menurut jumlah dari PAR selama musim tumbuhnya karena perbedaan dalam jenis daun dan dinamika musiman dari fenologi daun seperti kesegaran daun , ekspansi daun, dan daun yang gugur. (Xiao 2006 dalam Imanda 2010).

2.9 Fraction of Photosynthetically Active Radiation (fAPAR)

fAPAR adalah fraksi PAR yang diserap oleh kanopi tanaman (Landsberg 1986 dalam Yuan et al. 2007). Dalam proses fisiologis, mempengaruhi kelerengan dari hubungan linear antara fAPAR dan NDVI. (Sugiarto 2005 dalam Imanda 2010).

Secara umum fAPAR bisa didapatkan dari data penginderaan jauh, karena adanya hubungan antara radiasi matahari yang diserap dengan spektral indeks vegetasi satelit (Myneni and Williams 1994 dalam Yuan et al. 2007). Hubungan ini ditunjukkan oleh hukum Beers yang menyatakan bahwa penyerapan cahaya sebagai faktor indeks luas daun (Running et al. 2004 dalam Yuan et al. 2007). Hubungan linier antara NDVI dan fAPAR akan menjadi sangat berguna untuk mengatasi variabilitas spasial dan temporal dalam pendugaan GPP menggunakan model efisiensi penggunaan radiasi matahari (Yuan

et al. 2007). Tabel 3 Persamaan fAPAR dari berbagai penelitian

Persamaan fAPAR Sumber

fAPAR = 1.24 NDVI - 0.168

Myneni and Williams (1994) dalam Yuan et al.

(2007)

fAPAR = 0.95x(1–Exp(-kxLAI))

LAI = 12.74 NDVI+ 1.34

Ruimy et al. (1999) dalam Yuan et al. (2007) Ibrahim (2001) dalamJune (2006)

(26)

2.10 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Indeks vegetasi atau NDVI adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band NIR (Near-Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer 1997).

Menurut Ryan (1997), perhitungan NDVI didasarkan pada prinsip bahwa tanaman hijau tumbuh secara sangat efektif dengan menyerap radiasi di daerah spektrum cahaya tampak (PAR atau Photosynthetically Aktif Radiation), sementara itu tanaman hijau sangat memantulkan radiasi dari daerah inframerah dekat. Konsep pola spektral di dasarkan oleh prinsip ini menggunakan hanya citra band merah adalah sebagai berikut :

NIR - Red NDVI =

NIR + Red Dimana :

NIR= radiasi inframerah dekat dari piksel. Red= radiasi cahaya merah dari piksel.

Nilai NDVI berkisar dari -1 (yang biasanya air) sampai +1 (vegetasi lebat). 2.11 Karakteristik Landsat TM/ETM+

Landsat TM/ETM+ merupakan satelit sumber daya bumi. Satelit yang merupakan program lanjutan Landsat ini dicirikan oleh alat penginderaan yang ditingkatkan resolusi spasial dan kepekaan radiometriknya, Laju pengiriman data yang lebih cepat, serta fokus untuk penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Sebagai tambahan terhadap empat saluran Landsat MSS (Multispectral scanning) sebelumnya, Landsat TM/ETM+ akan membawa penyiaman multispektral yang lebih maju dan disebut pemeta tematik (thematic mapper /TM). Nama tersebut berkaitan dengan tujuan terapan sistem data yang diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral yang akan menghasilkan citra terkelas (peta tematik). Pemeta tematik direncanakan memiliki tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi untuk terapan bidang pertanian. (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Sistem TM meliputi lebar sapuan (scanning) sebesar 185 km, direkam dengan menggunakan tujuh saluran panjang gelombang tampak, tiga saluran panjang gelombang infra merah dekat, dan satu saluran panjang gelombang inframerah termal. Panjang gelombang yang digunakan pada setiap saluran Landsat TM adalah :

 Saluran 1 gelombang biru (0.45 –

 Saluran 4 gelombang inframerah dekat (0.76 – 0.90) µm

 Saluran 5 gelombang inframerah pendek (1.55 – 1.75) µm

 Saluran 6 gelombang inframerah termal (10.40 – 12.50) µm

 Saluran 7 gelombang inframerah pendek (2.08 – 2.35) µm

(27)

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Desember tahun 2011, bertempat di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

intensitas radiasi Stasiun Meteorologi Pacet periode data 1 Januari 1990 – 31

Analisis data dalam studi ini menggunakan perangkat lunak ERDAS IMAGINE 9.1 dan

Arc View GIS 3.3 untuk pengolahan data citra, serta Microsoft Office 2007.

3.3. Metode Penelitian

Stok dan fluks karbon dapat didekati oleh beberapa metode pendugaan. Metode estimasi stok karbon menggunakan persamaan

allometric merupakan salah satu cara untuk mengetahui nilai dugaan dari stok karbon di suatu wilayah yang didasarkan pada pengukuran diameter batang, kerapatan kayu, dan jenis pohon.

Pada penelitian ini hanya dilakukan pendugaan nilai fluks karbon. Hal ini karena ketersediaan data stok karbon kurang lengkap. Data inventori stok karbon yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan di wilayah Cagar Biosfer Cibodas tidak didapatkan data stok karbon setiap tahun, sehingga kurang bisa dibandingkan dengan nilai fluks karbon.

Pendugaan nilai fluks karbon dilakukan dengan terlebih dahulu menduga nilai NPP. Pendugaan nilai NPP dilakukan dengan menggunakan data citra Landsat, Data iklim, dan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari (e). Data citra Landsat digunakan untuk memperoleh nilai fAPAR sebagai salah satu faktor untuk memperoleh nilai NPP dan hingga tahun 2010. Proses pengolahan semua data tersebut ditunjukkan oleh Gambar 8 diagram alur metode pengolahan data dibawah ini.

Gambar 8 Diagram alur metode pengolahan data

3.3.1. Data Intensitas Radiasi

Data radiasi yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pacet diubah satuannya ke dalam satuan MJ/m2 jika belum dalam keadaaan satuan tersebut. Setelah itu data yang satuannya telah dikonversi digunakan untuk perhitungan PARi untuk analisa NPP.

3.3.2. Klasifikasi Terbimbing

(28)

3.3.3. Menentukan Nilai NDVI

Pengolahan data citra satelit untuk mendapatkan nilai NDVI dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE 9.0 . Sebelum melakukan perhitungan NDVI, terlebih dahulu dilakukan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik yang bertujuan untuk mendapatkan kenampakan yang jelas dan akurat terhadap koordinat bumi yang sebenarnya. Setelah data sudah terkoreksi, kemudian dilakukan perhitungan NDVI (Lillisand dan Kiefer 1997) sebagai berikut :

(Band 4 – Band 3)

Setelah semua tutupan lahan diketahui nilai NDVI-nya, kemudian mencari nilai NDVI setiap wilayah zonasi Cagar Biosfer Cibodas, dengan melakukan cropping pada citra satelit Landsat berdasarkan zonasi cagar biosfernya tiap tahun kajian. Setelah dihasilkan citra satelit berdasarkan zonasi wilayah cagar biosfer. Nilai NDVI ini yang kemudian akan digunakan untuk menduga nilai fAPAR, selanjutnya nilai fAPAR digunakan untuk menduga nilai NPP.

3.3.4. Menentukan Nilai fAPAR

Nilai fAPAR yang akan di diduga mengggunakan persamaan fAPAR yang diperoleh dari penelitian Ochi and Shibasaki (1999) dalam June (2006) di Taman Nasional Lorelindu. Persamaan ini digunakan karena sifat wilayah kajian yang paling mendekati, Cagar Biosfer Cibodas dimana Taman Nasional Lorelindu merupakan salah satu wilayah hutan hujan pegunungan di Indonesia. Persamaan yang digunakan yaitu sebagai berikut :

fAPAR = -0,08 + 1,075 NDVI

3.3.5. Menentukan Nilai PARi

Nilai PAR income (PARi) diperoleh dari

unsur – unsur iklim seperti radiasi surya dan temperatur udara. Perhitungan nilai PARi (June 2002 dalam Churniawan 2008)

Efisiensi penggunaan radiasi (e) diperoleh berdasarkan metode akumulasi biomassa (g MJ-1 ; Monteith 1977 dalam digunakan adalah rata-rata nilai e pada tabel 2 yakni sebesar 1.30 g MJ-1 (Ibrom et al. 2007 ; ORNL DAAC dalam Supeni 2006 ; June 2004 dalam Supeni 2006 ; Kusumaningrum 2003 dalam Lestariningsih 2006 ; Ochi dan Murai 2000 dalam supeni 2006 ; Hirakoba et al. 1977 dalam Lestariningsih 2006)

3.3.7. Menentukan Nilai NPP

Nilai NPP diperoleh dari modifikasi persamaan Monteith (1972) dalam June (2006) . Persamaan tersebut adalah :

12

NPP (gC/m2/tahun) = Σ (e * fAPAR * PARi) 1

3.3.8. Menentukan Nilai Penyerapan CO2

(29)

(MJ/m2/bulan), suhu udara maksimum (0C), suhu udara minimum (0C), suhu udara rata – rata (0C), dan curah hujan (mm/bulan) tahun 1990 sampai dengan tahun 2010.

Grafik pada Gambar 9 menunjukkan garis trend intensitas radiasi selama 20 tahun terakhir. Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada bulan Februari garis trend berada pada posisi yang paling rendah dan pada bulan September garis trend berada pada posisi tertinggi dibandingkan dengan bulan – bulan lainnya. Pada bulan Februari nilai intensitas radiasi merupakan nilai intensitas

radiasi yang terendah yakni sebesar 284 MJ/m2/bulan, sedangkan pada bulan September nilai intensitas radiasi berada di nilai yang tertinggi yakni sebesar 490 MJ/m2/bulan. Fluktuasi tahunan dari Gambar 9 diperlihatkan dengan adanya error bar pada grafik. Fluktuasi tahunan ini juga menggambarkan nilai keragaman pada data intensitas radiasi di Stasiun Meteorologi Pacet selama tahun 1990 sampai tahun 2010. Fluktuasi tahunan terbesar terjadi pada bulan April dan terendah di bulan Februari.

A

B

(30)

A

B

Gambar 10 Grafik suhu udara : A. rata-rata bulanan tahun 1990 – 2010 ; B. bulanan tahun 1991, 2001, 2006, dan 2010 (sumber : Stasiun Meteorologi Pacet, Balitklimat).

Gambar 10 memperlihatkan grafik suhu udara selama 20 tahun terakhir. Pada grafik tersebut diperlihatkan bahwa pola grafik suhu udara menyerupai grafik intensitas radiasi, dimana pada bulan Februari grafik berada pada posisi terendah dengan nilai suhu udara sebesar 20.80C dan bulan September merupakan titik dimana grafik suhu udara memiliki posisi tertinggi dengan nilai suhu udara sebesar 22.10C. Fluktuasi tahunan juga diperlihatkan oleh grafik suhu udara. Fluktuasi terbesar terjadi pada bulan September dan yang terendah terjadi pada bulan April.

Grafik pada Gambar 11 memperlihatkan pola curah hujan selama 20 tahun terakhir.

Grafik curah hujan memiliki pola yang berbeda dari dua grafik sebelumnya. Pada grafik curah hujan, posisi tertinggi dari grafik adalah pada bulan November dengan nilai curah hujan sebesar 413 mm dan posisi grafik terendah berada pada bulan Juli yakni sebesar 114 mm. Fluktuasi tahunan yang tergambarkan dari garis – garis error bar

(31)

A

B

Gambar 11 Grafik curah hujan : A. rata-rata bulanan tahun 1990 – 2010 ;

B. bulanan tahun 1991, 2001, 2006, dan 2010 (sumber : Stasiun Meteorologi Pacet, Balitklimat).

4.2. Tutupan Lahan Wilayah Kajian Analisa tutupan lahan dan perubahan luasan di Cagar Biosfer Cibodas dilakukan dengan membuat 3 besar tipe penutupan lahan, yakni tutupan lahan oleh vegetasi, lahan terbangun dan lahan terbuka, serta badan air. Tutupan lahan bervegetasi kemudian dibagi lagi menjadi 6 subtipe tutupan lahan yakni, hutan, semak/belukar, padang rumput, perkebunan, ladang, dan sawah.

Selain tipe tutupan lahan yang telah disebutkan, pada citra tahun tertentu terdapat tutupan oleh awan dan bayangan awan serta data luas yang tidak dapat terklasifikasi, sehingga data – data tersebut juga

(32)

4.2.1. Dinamika Tutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas Tahun 1991 - 2010

Luas total Cagar Biosfer Cibodas berdasarkan hasil pengolahan data luas lahan adalah sebesar 77,656 ha. Total luas lahan Perubahan luas lahan bervegetasi ini semata – mata bukan hanya disebabkan karena adanya konversi lahan dari lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Nilai luasan lahan vegetasi di tahun 1991 dan 2001 yang kecil di bandingkan dengan tahun 2006 lebih disebabkan karena adanya tutupan awan yang besar di daerah yang banyak terdapat vegetasi seperti zona inti Cagar Biosfer Cibodas.

Luas tutupan lahan terbangun/lahan terbuka merupakan luasan terbesar setelah tutupan lahan oleh vegetasi. Luas lahan terbangun/lahan terbuka pada tahun 1991 adalah sebesar 18,918 ha atau sekitar 24% dari total luas Cagar Biosfer Cibodas. Tahun 2001 luas lahan terbangun/lahan terbuka adalah sebesar 17,712 ha (23%). Penurunan luas lahan terbangun/lahan terbuka di tahun 2001 terjadi karena adanya pemanfaatan lahan terbuka yang besar di tahun 1991 menjadi lahan vegetasi di tahun 2001.

Lahan terbuka di wilayah Cagar Biosfer Cibodas dibagi menjadi dua berdasarkan proses terbentuknya yakni lahan terbuka permanen yaitu lahan terbuka karena proses alam, lahan terbuka semacam ini banyak terdapat di daerah zona inti cagar biosfer cibodas berupa Alun-alun Suryakencana yang

merupakan lahan luas yang banyak ditumbuhi eidelweis atau tanaman rendah lain, Puncak Pangrango, Kawah Gede, dan Bumi Perkemahan. Lahan terbuka lain adalah lahan terbuka temporal, lahan terbuka semacam ini banyak terdapat di zona penyangga cagar biosfer cibodas seperti lahan milik perum perhutani yang cenderung melakukan pemulihan (Balai Besar TNGP 2012).

Luas lahan terbangun/lahan terbuka di tahun 2006 kembali meningkat seiring dengan meningkatnya kawasan terbangun di zona transisi. Luas lahan terbangun/lahan terbuka di tahun 2006 adalah sebesar 20,006 ha (26%), sedangkan luas lahan terbangun/lahan terbuka di tahun 2010 cenderung stabil sebesar 20,044 ha atau sekitar 26% dari total luas Cagar Biosfer Cibodas.

Luas tutupan lahan oleh badan air pada tahun 1991 merupakan luas terbesar dibandingkan dengan tahun kajian lain. Luas badan air di tahun 1991 mencapai 470 ha atau sekitar 0.6% dari total luas Cagar Biosfer kurang dari 1%. Data yang tidak terklasifikasi banyak terdapat di tahun 2010 yakni sebesar 1,865 ha atau sekitar 2% dari luas total Cagar Biosfer Cibodas. Data yang tidak terklasifikasi ini lebih disebabkan karena adanya garis (stripping). Di tahun kajian lain data yang tidak terklasifikasi luasannya sangat kecil atau kurang dari 0.1% dari total luas Cagar Biosfer Cibodas.

Gambar

Gambar 1 Peta kawasan konservasi indonesia : 1.Cagar Biosfer (CB) Siberut; 2.CB Gunung Leuser;
Gambar 3 Cagar Biosfer Cibodas Tahun 2007  (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango   2007)
Gambar 4  Zonasi Cagar Biosfer Cibodas (Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)
Gambar 5 Pergerakan karbon alami (sumber : http://www.usgs.gov/)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerinci Penyediaan jasa pendukung pelayanan

The current study employed a spatio-temporal disaggregation method to derive fine spatial resolution (60m) images of NDVI by integrating the information in terms of

Penyediaan jasa jaminan barang milik daerah 17

Penurunan produktivitas yang terjadi pada pelaku ekonomi tersebut pada dasarnya dapat diidentifikasi pada beberapa hal antara lain: tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang

sepiral model dari Kemmis dan Mc Taggart.Terdapat empat kali pertemuan atau dua siklus dari satu penelitian, setiap siklus terdiri atas perencanaan, tindakan,

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan adanya bentuk dorongan yang diberikan oleh guru pembimbing terhadap siswa, siswa merasakan senang mengikuti proses

Tingkat pelayanan tersebut memiliki arti ruang pada segmen I memberikan kebebeasan pejalan kaki untuk berdiri dan bergerak sesuai yang diinginkan tanpa menggangu pejalan

Apabila barang telah laku dijual oleh cabang, maka laba yang diakui oleh kantor pusat disamping selisih antara harga jual cabang dengan harga dinota, juga