PREVALENSI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PADA ANAK DENGAN SINDROMA DOWN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2005-2009
Oleh: RAHMI 070100027
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PREVALENSI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PADA ANAK DENGAN SINDROMA DOWN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2005-2009
Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh: RAHMI 070100027
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Prevalensi Penyakit Jantung Bawaan pada Anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2009
Nama: Rahmi NIM: 070100027
Pembimbing Penguji
(dr. Muhammad Ali, Sp.A (K)) (dr. Juliandi Harahap, M.A.) NIP: 19690524 199903 1 001 NIP: 19700702 199802 1 001
(dr. Bintang Sinaga, Sp.P) NIP: 19720228 199903 2 002
Medan, 29 November 2010 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Latar belakang: Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling
sering terjadi pada bayi baru lahir. Meskipun banyak kelainan yang dimiliki, penyakit jantung bawaan adalah kondisi yang berpengaruh langsung pada prognosis dan kelangsungan hidup pasien, dan menjadi penyebab tertinggi dari morbiditas dan mortalitas selama dua tahun pertama kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit jantung bawaan (PJB) pada anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data penelitian ini diambil
dari rekam medis di Divisi Endokrin dan Divisi Jantung Ilmu Kesehatan Anak, RSUP H. Adam Malik Medan. Populasi penelitian ini adalah semua pasien anak yang telah didiagnosis Sindroma Down mulai Januari 2005 sampai Desember 2009. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan metode total sampling. Dari data tersebut kemudian dilihat apakah terdapat PJB atau tidak. Diagnosis PJB tersebut berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi. Data yang telah diperoleh diolah dengan SPSS.
Hasil: Dari 82 pasien terdapat 43 laki-laki dan 39 perempuan. PJB yang paling
sering adalah ventricular septal defect (VSD) yaitu sebanyak 29%. Prevalensi PJB pada Sindroma Down pada tahun 2008 adalah 35,5% dan tahun 2009 adalah 32%. Kelompok usia terbanyak yang didiagnosis PJB adalah usia 1-12 bulan (54,8%) dan sebagian besar adalah laki-laki (58,1%).
Kesimpulan: Prevalensi PJB pada Sindroma Down pada tahun 2008 adalah
35,5% dan tahun 2009 adalah 32%. Jenis PJB yang paling sering adalah VSD (29%).
ABSTRACT
Background: Down’s Syndrome is the most common abnormality chromosome among newborns. Although many of malformations mentioned may define these children’s clinical course, congenital heart disease are conditions that have a direct influence on both the patients’ prognosis and survival, being the highest cause of morbidity and mortality during the first two years of life. This study is aimed to determine prevalence of congenital heart disease (CHD) in children with Down’s Syndrome at the RSUP H. Adam Malik Medan 2005-2009.
Method: This is a descriptive study. The data were collected from medical records at Division Endocrinology and Divison Cardiology, Departement of Pediatric, H.Adam Malik General Hospital Medan. Population in this study was all the children that had been diagnosed with Down’s Syndrome from January 2005 to December 2009. The sampel in this study collected using total sampling method. From the data, had be seen whether there was CHD or not. The diagnosis of CHD was based on echocardiographic examination. All the collected data were calculated with SPSS.
Result: From 82 patients, there were 43 male and 39 female. The most frequent CHD was ventricular septal defect (29%). Prevalence of CHD in Down’s Syndrome in 2008 and 2009 is 35,5% and 32%. The largest age group diagnosed CHD was 1-12 months of age (54,8%) and most were male (58,1%).
Conclusion: Prevalence of CHD in Down’s Syndrome in 2008 and 2009 is 35,5% and 32%. The most frequent CHD was ventricular septal defect (29%).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan
sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Prevalensi Penyakit Jantung Bawaan
pada Anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2009“. Dalam penulisan karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat
bimbingan, arahan, saran, dan bantuan yang sangat berguna dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Muhammad Ali, SpA(K), selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberi arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
3. dr. Juliandi Harahap, M.A. dan dr. Bintang Sinaga, Sp.P selaku dosen penguji
karya tulis ilmiah atas pengarahan yang diberikannya sehingga karya tulis
ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik
4. Bagian Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) RSUP H. Adam Malik
Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitan
5. Bagian Poliklinik Endokrin dan Poliklinik Jantung Ilmu Kesehatan Anak,
serta Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan yang merupakan
lokasi penelitian ini.
6. Ibunda dan abang-abang tercinta yang telah banyak mendukung penulis dan
memberikan kasih sayang kepada penulis.
7. Teman-teman seperjuangan yang bersama melewati masa-masa sulit dalam
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya tulis ilmiah ini.
Untuk itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti
bagi kesempurnaan karya tulis ini. Penulis juga berharap semoga karya tulis ini
dapat memberikan manfaat dan sumbangan pikiran yang berguna bagi kita semua.
Medan, 22 November 2010
Penulis,
Rahmi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN...………..i
ABSTRAK...ii
ABSTRACT...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI….……….vi
DAFTAR TABEL...ix
DAFTAR GAMBAR...x
DAFTAR LAMPIRAN...xi
BAB 1 PENDAHULUAN………..1
1.1.Latar Belakang...1
1.2.Rumusan Masalah...2
1.3.Tujuan Penelitian...2
1.4.Manfaat Penelitian...2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...4
2.1. Sindroma Down...4
2.1.1. Sejarah...4
2.1.2. Etiologi...4
2.1.3. Genetika...6
2.1.4. Manifestasi Klinis...8
2.1.5. Skrining Prenatal dan Diagnosis...11
2.1.6. Manajemen...12
2.1.7. Prognosis...14
2.2. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada Sindroma Down...14
2.2.3. Atrial Septal Defects (ASDs)………..16
2.2.4. Patent Ductus Arteriosus (PDA)………17
2.2.5. Tetralogy of Fallot (TF)...17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL………...19
3.1. Kerangka Konsep Penelitian………...19
3.2. Definisi Operasional...19
BAB 4 METODE PENELITIAN...20
4.1. Jenis Penelitian...20
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...20
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian...20
4.4. Metode Pengumpulan Data...20
4.5. Metode Analisis Data...20
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...21
5.1. Hasil Penelitian...21
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...21
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden...21
5.1.3. Prevalensi PJB pada Sindroma Down...23
5.1.4. Pasien Sindroma Down dengan PJB...23
5.2. Pembahasan...25
5.2.1. Sindroma Down...25
5.2.2. PJB pada Sindroma Down...26
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...29
6.1. Kesimpulan...29
DAFTAR PUSTAKA...30
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
5.1. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down berdasarkan
usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2005 – 2009………22
5.2. PJB pada pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2005 – 2009………..……..23
5.3. Jenis PJB pada pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik
Medan tahun 2005 – 2009……….…..24
5.4. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down dengan PJB
berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
5.1. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2. Formulir Penelitian
Lampiran 3. Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan Penelitian
Bidang Kesehatan
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian
Lampiran 5. Data Induk
ABSTRAK
Latar belakang: Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling
sering terjadi pada bayi baru lahir. Meskipun banyak kelainan yang dimiliki, penyakit jantung bawaan adalah kondisi yang berpengaruh langsung pada prognosis dan kelangsungan hidup pasien, dan menjadi penyebab tertinggi dari morbiditas dan mortalitas selama dua tahun pertama kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit jantung bawaan (PJB) pada anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data penelitian ini diambil
dari rekam medis di Divisi Endokrin dan Divisi Jantung Ilmu Kesehatan Anak, RSUP H. Adam Malik Medan. Populasi penelitian ini adalah semua pasien anak yang telah didiagnosis Sindroma Down mulai Januari 2005 sampai Desember 2009. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan metode total sampling. Dari data tersebut kemudian dilihat apakah terdapat PJB atau tidak. Diagnosis PJB tersebut berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi. Data yang telah diperoleh diolah dengan SPSS.
Hasil: Dari 82 pasien terdapat 43 laki-laki dan 39 perempuan. PJB yang paling
sering adalah ventricular septal defect (VSD) yaitu sebanyak 29%. Prevalensi PJB pada Sindroma Down pada tahun 2008 adalah 35,5% dan tahun 2009 adalah 32%. Kelompok usia terbanyak yang didiagnosis PJB adalah usia 1-12 bulan (54,8%) dan sebagian besar adalah laki-laki (58,1%).
Kesimpulan: Prevalensi PJB pada Sindroma Down pada tahun 2008 adalah
35,5% dan tahun 2009 adalah 32%. Jenis PJB yang paling sering adalah VSD (29%).
ABSTRACT
Background: Down’s Syndrome is the most common abnormality chromosome among newborns. Although many of malformations mentioned may define these children’s clinical course, congenital heart disease are conditions that have a direct influence on both the patients’ prognosis and survival, being the highest cause of morbidity and mortality during the first two years of life. This study is aimed to determine prevalence of congenital heart disease (CHD) in children with Down’s Syndrome at the RSUP H. Adam Malik Medan 2005-2009.
Method: This is a descriptive study. The data were collected from medical records at Division Endocrinology and Divison Cardiology, Departement of Pediatric, H.Adam Malik General Hospital Medan. Population in this study was all the children that had been diagnosed with Down’s Syndrome from January 2005 to December 2009. The sampel in this study collected using total sampling method. From the data, had be seen whether there was CHD or not. The diagnosis of CHD was based on echocardiographic examination. All the collected data were calculated with SPSS.
Result: From 82 patients, there were 43 male and 39 female. The most frequent CHD was ventricular septal defect (29%). Prevalence of CHD in Down’s Syndrome in 2008 and 2009 is 35,5% and 32%. The largest age group diagnosed CHD was 1-12 months of age (54,8%) and most were male (58,1%).
Conclusion: Prevalence of CHD in Down’s Syndrome in 2008 and 2009 is 35,5% and 32%. The most frequent CHD was ventricular septal defect (29%).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini, Sindroma Down telah mendapat perhatian
khusus, sebab pada kenyataannya ini adalah abnormalitas kromosom yang paling
sering terjadi pada bayi baru lahir. Insidennya secara umum adalah 1 per 600
sampai 1000 kelahiran, tetapi angka ini dapat bervariasi berdasarkan umur ibu.
Pada ibu yang berumur lebih dari 45 tahun, insidensi Sindroma Down ini dapat
mencapai 1 per 30 kelahiran (Boas et al., 2009).
Di Amerika Serikat, Sindroma Down diperkirakan terjadi pada 1 dalam
732 bayi (Sherman et al., 2007). Sedangkan prevalensi Sindroma Down dari 1979
sampai 2003 meningkat 31,1% di 10 daerah di Amerika Serikat (Shin et al.,
2009).
Di Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya, kelainan ini belum
mendapat cukup perhatian. Yayasan Persatuan Orangtua Anak dengan Down
Syndrome (POTADS) melaporkan terdapat sekitar 300 ribu kasus Sindroma
Down di Indonesia (POTADS, 2003). Pada penelitian di Laboratorium Biologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tercatat 1987 penderita Sindroma
Down yang dilakukan analisis kromosom tahun 1992-2004 (Idris et al., 2006).
Manifestasi klinis Sindroma Down sangat banyak dan dapat terjadi di
berbagai sistem tubuh. Sebagian besar pasien mengalami gangguan intelektual,
postur pendek, penyakit jantung bawaan, kelainan saluran cerna, dan abnormalitas
ortopedi (Figueroa et al., 2003).
Studi akhir-akhir ini mengindikasikan kira-kira 5% dari seluruh penyakit
jantung bawaan berhubungan dengan berbagai bentuk abnormalitas kromosom,
yang mayoritas adalah Sindroma Down (Steeg, 1993). Laporan insiden penyakit
jantung bawaan pada pasien Sindroma Down bervariasi, tetapi diperkirakan
mencapai 40%-60% dan pada autopsi pasien Sindroma Down ditemukan hampir
Meskipun banyak malformasi yang dialami, penyakit jantung bawaan
adalah kondisi yang berpengaruh langsung pada prognosis dan kelangsungan
hidup pasien, dan menjadi penyebab tertinggi dari morbiditas dan mortalitas
selama dua tahun pertama kehidupan. Menurut Calderon-Colmenero et al. (2004)
dalam Boas et al. (2009), dalam sebuah studi retrospektif, menunjukkan
pentingnya diagnosis klinis awal dan konsekuensi koreksi bedah; jika kelainan
jantung dikoreksi bedah lebih awal, pasien mempunyai ketahanan hidup lebih
baik dibandingkan yang tidak melakukan koreksi bedah. Beberapa studi
menunjukkan bahwa 87% pasien Sindroma Down tanpa penyakit jantung bawaan
dapat mencapai usia 5 tahun dan 79% dapat berumur 30 tahun. Tetapi dengan
adanya penyakit jantung bawaan, ketahanan hidup pasien Sindroma Down dapat
berkurang menjadi 62% yang dapat mencapai usia 5 tahun dan hanya 50% yang
dapat berumur 30 tahun (Wells et al., 1994). Oleh karena itu, diperlukan suatu
penelitian mengenai prevalensi penyakit jantung bawaan pada anak dengan
Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik yang merupakan rumah sakit rujukan
di Sumatera Utara.
1.2Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah
berapakah prevalensi penyakit jantung bawaan pada anak dengan Sindroma Down
di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit jantung bawaan
pada anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun
2005-2009.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui jumlah anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam
Malik Medan tahun 2005-2009
2. Untuk mengetahui jenis-jenis penyakit jantung bawaan pada anak dengan
Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan kepada tenaga medis, terutama
dokter spesialis anak mengenai prevalensi penyakit jantung bawaan pada anak
dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009
2. Dengan adanya data ini diharapkan agar setiap bayi baru lahir dengan
Sindroma Down menjalani pemeriksaan jantung untuk memastikan ada
tidaknya penyakit jantung bawaan.
3. Sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan peneliti
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Sindroma Down 2.1.1 Sejarah
Sejarahnya berawal pada tahun 1866, ketika seorang dokter bernama John
Langdon Down, mempublikasikan sebuah esai di Inggris, di mana ia
mendeskripsikan sekelompok anak yang memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan anak-anak lainnya dengan retardasi mental. Down adalah kepala
sebuah rumah sakit untuk anak-anak dengan retardasi mental di Surrey,
Inggris ketika ia membuat perbedaan pertamanya antara anak dengan
kreatinisme (kemudian ditemukan mengalami hipotiroidisme) dan apa yang ia
maksudkan sebagai “Mongloid”.
Nama yang rasial itu membuat peneliti genetika Asia marah pada awal
tahun 1960an. Kemudian istilah itu tidak dipakai lagi dalam penggunaan
ilmiah dan diganti menjadi “Down’s Syndrome”. Sebuah istilah ilmiah revisi
Amerika, mengubahnya menjadi lebih sederhana menjadi “Down Syndrome”,
meski “Down’s Syndrome” masih dipakai di Inggris dan beberapa negara di
Eropa.
Pada awal abad ke dua puluh, banyak sekali spekulasi mengenai
penyebab Sindroma Down. Orang pertama yang berspekulasi bahwa itu
mungkin disebabkan oleh adanya kelainan kromosom adalah Waardenburg
dan Bleyer pada tahun 1930an. Tetapi kemudian pada tahun 1959, Jerome
Lejeune dan Patricia Jacobs pertama kali menemukan penyebabnya adalah
trisomi pada kromosom ke dua puluh satu. Kasus mosaik dan translokasi
dipaparkan tiga tahun kemudian (Leshin, 2003).
2.1.2 Etiologi
Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang paling
sering pada bayi baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe
tambahan pada kromosom 21, diperkirakan 94%. Translokasi Robertsonian
pada kromosom 21, sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah
penyusunan seluruh lengan pada kromosom akosentrik (kromosom manusia
13-15, 21, dan 22) dan juga bisa berupa sebuah translokasi antara kromosom
21 (atau ujung 21q saja) dan sebuah kromosom nonakrosentrik. Trisomi 21
mosaikisme (47, +21/46), terjadi pada 2-3% kasus. Pada bentuk ini, terdapat
dua kelompok sel: sebuah sel normal dengan 46 kromosom dan kelompok lain
dengan trisomi 21.
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh
nondisjunction, sebuah kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah
kegagalan kromosom homolog untuk pemisahan selama meosis I atau meosis
II. Oleh karena itu, satu anak sel menurunkan tiga kromosom pada kromosom
yang terkena dan menjadi trisomi, sedangkan anak sel lainnya menurunkan
satu kromosom yang menyebabkan monosomi.
Kesalahan dalam meosis yang menyebabkan nondisjunction sebagian
besar diturunkan dari ibu; hanya sekitar 5% terjadi selama spermatogenesis.
Kesalahan pada meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu.
Kesalahan yang diturunkan dari ibu paling sering terjadi pada meosis I
(76-80%) dan terjadi pada 67-73% pada kasus trisomi 21. Kesalahan yang
diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada meosis II dan mungkin diakibatkan
oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka terjadi pada 18-20%
kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah biasanya terjadi
pada meosis II.
Mekanisme nondisjunction masih belum jelas. Hal itu mungkin
berhubungan dengan kegagalan pada rekombinasi, di mana proses alami
pemecahan dan penggabungan kembali susunan DNA selama meosis untuk
membentuk kombinasi baru pada gen agar menghasilkan variasi genetik.
Pada beberapa studi, peningkatan risiko pada nondisjunction meosis
telah dihubungkan dengan polimorfik maternal pada gen yang mengkode
Diperkirakan 5% kasus kromosom ekstra 21 muncul diakibatkan oleh
kesalahan pada mitosis. Kasus ini tidak berkaitan dengan meningkatnya umur
ibu.
Translokasi trisomi 21, yaitu ketidakseimbangan translokasi
Robertsonian, seluruh lengan panjang pada sebuah kromosom
ditranslokasikan ke lengan panjang pada sebuah kromosom akosentrik melalui
penggabungan sentral. Pada Sindroma Down, bentuk yang paling umum
adalah translokasi yang mengenai kromosom 14 dan 21. Individu yang
memiliki 46 kromosom, tetapi kromosom 14 mengandung lengan panjang
kromosom 14 dan 21. Hal ini memberikan tiga salinan pada lengan panjang
kromosom 21 (dua berasal dari kromosom 21 dan yang ketiga berasal dari
lengan panjang yang ditranslokasikan dari kromosom 14).
Mayoritas translokasi Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21
adalah mutasi yang baru. Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi
terutama selama oogenesis. Sindroma Down yang disebabkan oleh mekanisme
ini tidak berhubungan dengan umur ibu (Roizen et al., 2009).
Sejauh ini, tidak ditemukan hubungan antara Sindroma Down dan diet,
obat-obatan, ekonomi, status, ataupun gaya hidup. Risiko Sindroma Down
juga tidak meningkat meskipun memiliki saudara dengan Sindroma Down.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Sindroma Down sedikit lebih umum
terjadi pada keluarga dengan penyakit Alzheimer dalam satu atau lebih
anggota keluarga yang lebih tua (Benke et al., 1995).
2.1.3 Genetika
Menurut Hattori et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),
hampir seluruh rangkaian DNA pada lengan panjang kromosom 21 (21q) telah
berhasil ditentukan dan dipublikasikan dalam Nature. Hal ini menunjukkan
sebuah pencapaian baru dalam penelitian Sindroma Down, yang sangat
membantu dalam mengidentifikasikan setiap gen dan rangkaian nonkode pada
Panjang dari 21q adalah 31,5 Mb dan diperkirakan 3% dari
rangkaiannya mengkode beberapa protein. Analisis pertama dari 21q
menunjukkan terdapat 225 gen dan 59 pseudogen. Menurut Gardiner et al.
(2003) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), meskipun katalog gen yang
tepat belum dapat disimpulkan, mereka telah memperkirakan 364 gen dan
sangkaan gen dari rangkaian yang selesai dari kromosom 21. Protein yang
dikode oleh gen ini mempunyai beberapa kategori fungsi yaitu faktor
transkripsi, regulator, dan modulator (Sommer dan Henrique-Silva, 2008).
Dalam trisomi 21, kehadiran gen ekstra menyebabkan overexpression
pada gen yang terlibat sehingga meningkatkan produk-produk tertentu. Pada
sebagian besar gen, efek overexpression tersebut memiliki efek yang sedikit
karena tubuh memiliki mekanisme regulasi. Tetapi gen yang terlibat pada
Sindroma Down tampaknya merupakan pengecualian.
Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal meyebutkan
bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya dibutuhkan
untuk membuat efek pada Sindroma Down, yang disebut sebagai critical
region. Kromosom 21 memegang 200-250 gen, tetapi diperkirakan hanya
beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada Sindroma Down
(Leshin, 2003).
Adanya Down Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen
kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab
pada ciri-ciri utama Sindroma Down, telah mendominasi penelitan Sindroma
Down pada tiga dekade terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4Mb
ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan DSCR 2 (Sommer dan
Henrique-Silva, 2008).
Menurut Davies et al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva
(2008), DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of
Calcineurin 1) di overexpress dalam otak fetus Sindroma Down dan
berinteraksi secara fisik dan fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik
banyak diekspresikan di otak dan jantung menunjukkan overexpression itu
berhubungan pada patogenesis Sindroma Down, terutama retardasi mental dan
/ atau kelainan jantung. Menurut Vidal-Taboada et al., (2000) dalam Sommer
dan Henrique-Silva (2008), sedangkan DSCR2 lebih banyak diekspresikan
pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan fetus, testis,
dan sel kanker.
Gen-gen yang terlibat dalam Sindroma Down adalah:
•
dini dan menurunnya fungsi sistem imun. Gen ini berperan dalam
demensia pada tipe Alzheimer
•
•
•
•
gangguan metabolisme dan perbaikan DNA
•
•
•
DNA
•
mempengaruhi sistem imun dan organ sistem lainnya (Lewis, 2008).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan
mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai
gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut.
• Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja
artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
napas atas ke paru mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal
itu sering mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia.
• Tingkah laku: spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami
kecemasan dan keras kepala.
• Gangguan kejang: spasme infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
• Penuaan dini: berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran,
hipotiroidisme yang berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit
vaskular degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya
demensia tipe Alzheimer.
• Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic
suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus
maksilaris.
• Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%),
strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis,
kongenital katarak (3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat
(30-60%), dan keratokonus pada orang dewasa.
• Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar.
• Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah, pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi,
malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada
pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi
gigi, dan maloklusi.
• Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas
yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid
berpindah ke belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis.
• Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-50%); hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down
yang berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering
terjadi pada kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung
bawaan yang sering terjadi adalah endocardial cushion defect (43%),
ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%).
Sekitar 30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi yang paling
sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%).
Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan
Sindroma Down.
• Abdomen: rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi.
• Sistem saluran cerna (12%): atresia atau stenosis duodenum. Penyakit Hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
• Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan kriptorkoidisme.
• Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan lipatan fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak
antara dua jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
• Sistem endokrin: tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat pada pasien Sindroma
Down. Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi.
• Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia
mieloid. Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar
Disease (TMD) adalah abnormalitas hematologi yang sering mengenai
bayi Sindroma Down yang baru lahir. TMD dikarakteristikkan dengan
proliferasi mieoblas yang berlebihan di darah dan sumsum tulang.
Diperkirakan 10% bayi dengan Sindroma Down mengalami TMD.
• Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
• Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis, alopesia areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang (Tarek, 2005).
2.1.5 Skrining Prenatal dan Diagnosis
Sindroma Down adalah abnormalitas kromosom yang paling sering terjadi
pada bayi baru lahir. Umur ibu merupakan satu-satunya faktor risiko untuk
terjadi sindrom ini. Pada ibu dengan umur lebih dari 35 tahun, risikonya akan
meningkat 4 kali. Oleh karena itu, diharapkan semua ibu hamil dengan usia di
atas 35 tahun melakukan skrining prenatal untuk Sindroma Down (Barrs et al.,
2009).
Sebuah penelitian trial telah membandingkan skrining trimester
pertama untuk Sindroma Down dengan skrining trimester kedua (pemeriksaan
yang standard saat ini) dan skrining pada kedua trimester tersebut. Hasilnya
menunjukkan bahwa skrining trimester pertama memiliki efektifitas yang
tinggi, tetapi kombinasi pengukuran pada trimester pertama dan kedua
mempunyai angka deteksi yang lebih tinggi dan angka kesalahan semu yang
lebih rendah (Malone et al., 2005).
Tes integrasi serum memiliki nilai deteksi yang paling tinggi di mana
pengukuran nuchal translucency tidak digunakan. Sedangkan tes quadruple
adalah skrining terbaik pada trimester kedua.
Hasil skrining yang negatif berarti risiko untuk mempunyai bayi
dengan Sindroma Down lebih kecil dari tingkat spesifik cut-off, tetapi itu tidak
konsultan genetika untuk memberikan informasi yang lengkap dan pilihan
manajemen.
Determinasi kariotip fetus adalah diagnosis defenitif. Pada trimester
pertama, kariotip didapat dari sampel khorionik vili. Pada trimester kedua,
dilakukan amniosintesis untuk analisis kromosom (Barrs et al., 2009).
Metode analisis sitogenik yang banyak digunakan adalah in situ
hybridization (FISH) pada nukleus interfase, menggunakan spesifik probe dari
kromosom 21. Metode alternatif yang saat ini dilakukan di beberapa negara
adalah quantitative fluoresence PCR (QF-PCR). Pada metode ini, penanda
polimorfik DNA (mikrosatelit) pada kromosom 21 digunakan untuk
menentukan adanya tiga alel yang berbeda. Metode lainnya adalah dengan
mengukur salinan rangkaian DNA termasuk pada multiple amplifiable probe
hybridization (MAPH) dan multiplex probe ligation assay (MPLA)
(Antonarakis, 2005).
2.1.6 Manajemen
Semua bayi dengan Sindroma Down harus dievaluasi mengenai penyakit
jantung bawaan dengan mengkonsultasikan ke ahli kardiologi anak.
Ekhokardiogram direkomendasikan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak
memiliki gejala ataupun tidak tampak pada pemeriksaan fisik. Evaluasi klinis
jantung harus berkesinambungan karena risiko prolaps katup mitral dan
regurgitasi aorta yang tinggi pada masa remaja dan dewasa muda.
Pendengaran: bayi baru lahir harus dinilai pendengarannya dan, jika
ada kelainan, maka dibutuhkan evaluasi brainstem auditory evoked response
dan otoacoustic emission. Pendengaran harus dievaluasi secara teratur sejak
masa kanak-kanak.
Ganggua n oftalmologi: penilaian oftalmologi harus dilakukan pada
bayi baru lahir atau paling tidak pada umur 6 bulan untuk menilai strabismus,
nistagmus, dan katarak. Anak-anak yang mengalami hal tersebut harus
Fungsi tiroid: tes fungsi tiroid harus dilakukan pada saat bayi baru
lahir. American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan agar
skrining harus diulang pada umur 6 dan 12 bulan, dan kemudian setiap tahun.
Tinggi dan berat badan harus diukur setiap tahun karena adanya kombinasi
deselerasi dari pertumbuhan linear berkaitan dengan pertambahan berat badan
adalah indikator yang sensitif untuk hipotiroid.
Hematologi: pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan pada saat
lahir untuk mengevaluasi kelainan mieloproliferatif dan polisitemia. Bayi
dengan TMD harus diikuti setiap 3 bulan sampai umur 3 tahun dan setiap 6
bulan sampai umur 6 tahun.
Penyakit periodontal: penyakit periodontal sering pada anak-anak dan
dewasa dengan Sindroma Down. Mekanisme ini diperkirakan karena
perubahan flora normal pada mulut, dengan frekuensi Actinobacillus
actinomycetemcomitansi yang lebih tinggi. Gigi yang tumpang tindih,
kurangnya kebersihan gigi, dan defisiensi sistem imun juga berpengaruh.
Atlantoaksial yang tidak stabil: AAP merekomendasikan pemeriksaan
radiografi pada keadaan atlantoaksial yang tidak stabil atau subluksasio pada
umur 3 sampai 5 tahun. Selain itu, juga dibutuhkan evaluasi neurologis untuk
menilai adanya kerusakan medula spinalis. Skrining ini sebaiknya dilakukan
paling tidak setiap tahun. Anak yang mempunyai gejala neurologis harus
dilakukan pemeriksaan MRI untuk mengetahui apakah terdapat kompresi
medula spinalis dan harus diperlukan pengobatan defenitif.
Pengobatan alternatif: stres oksidatif, ketidakseimbangan produksi dan
pembuangan oksigen, dapat mempengaruhi beberapa gejala dan ciri dari
Sindroma Down, seperti menurunnya sistem imun, penuaan dini, gangguan
fungsi mental, dan keganasan. Suplemen dengan nutrisi antioksidan telah
diajukan untuk terapi Sindroma Down. Suplemen yang dimaksud mencakup
zink, selenium, megavitamin dan mineral, vitamin A, vitamin B6, dan
koenzim Q10. Tetapi dari hasil penelitian, hal ini tidak memberikan pengaruh
Konseling: konseling dapat dimulai sejak diagnosis prenatal ataupun
pada kasus yang dicurigai. Diskusi tersebut sebaiknya mencakup tentang
variabilitas dari manifestasi dan prognosis. Pengobatan medis dan edukasi dan
juga penting untuk dibicarakan (Roizen et al., 2009).
2.1.7 Prognosis
Prognosisnya sangat bergantung pada adanya dan keparahan dari cacat
jantung. Kemungkinan pasien untuk mengalami penyakit saluran napas
meningkat dan dapat terjadi akut leukemia. Apabila sindroma ini mengenai
laki-laki maka akan menjadi infertil. Hampir 80% pasien tanpa cacat jantung
dapat mencapai umur 30 tahun; 60% dari semua pasien masih hidup pada usia
50 tahun. Tinggi badan pada umur 18 tahun antara 136-145 cm untuk wanita
dan 140-162 cm untuk laki-laki. Dari usia dekade keempat, penyakit
Alzheimer harus diperhatikan (Weidemann, 1995).
2.2Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada Sindroma Down
Sangat penting untuk mengetahui insidensi dan karateristik anatomi dari PJB pada
Sindroma Down, sebab PJB merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi
kelangsungan hidup pasien tersebut (Hayes et al., 1997). Pengetahuan itu juga
berguna untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan yang sesuai sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Secara umum insidensi PJB pada populasi umum adalah 0,8 persen.
Insidensi PJB pada anak dengan Sindroma Down dapat mencapai 50 persen. Tipe
cacat jantung pada anak dengan Sindroma Down dapat dibagi menjadi tiga
kategori umum:
1. Atrioventricular septal defects (AVSD)
2.
Atrioventricular septal defects paling sering terjadi pada pasien ini, yaitu sekitar
60% dari seluruh PJB yang ditemukan pada Sindroma Down. Ventricular septal
defect, ASD, dan PDA terjadi pada 20 persen dari kasus, meskipun cacat ini lebih
sering terjadi pada populasi umum dibandingkan AVSD. Penyakit jantung bawaan
kompleks lainnya adalah
kiri.
Sebagai tambahan pada PJB pada Sindroma Down, peningkatan tekanan
darah pada paru (hipertensi pulmonal) memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada
pasien dengan Sindroma Down. Tekanan yang tinggi ini mungkin berkaitan
dengan malformasi jaringan paru, meskipun penyebab pastinya tidak diketahui.
Tekanan yang lebih tinggi itu dapat mengurangi aliran darah ke paru
sehingga mengurangi gejala yang mirip gagal jantung kongestif pada bayi dengan
AVSD lengkap atau VSD yang besar (Cincinnati Children's Hospital Medical
Center, 2006).
2.2.1 Atrioventricular Septal Defects (AVSDs)
Pada kelainan ini tidak terjadi pemisahan antara cincin katup mitral dan katup
trikuspid sehingga terdapat satu lubang besar cincin katup atrioventrikuler
yang menghubungkan kedua atrium dan kedua ventrikel secara bersamaan
(Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Kelainan ini sering menyertai Sindroma
Down. Kemungkinan terjadinya AVSD ini meningkat 1000 kali dibandingkan
pada anak tanpa Sindroma Down (Sherman, 2007).
Karena tingginya tekanan pada ventrikel kiri yang memompa darah ke
seluruh tubuh, maka darah akan merembes ke ventrikel kanan melewati
lubang di dinding pusat jantung (septum) ketika ventrikel berkontraksi. Hal ini
akan meningkatkan tekanan di ventrikel kanan sehingga akan menyebabkan
hipertensi pulmonal.
Gejala awal adalah berupa sulit makan, penambahan berat badan,
pernapasan cepat dan tidak teratur, serta derajat sianosis di mulut, jari tangan
diagnosis ‘gagal jantung’ dapat terjadi. Hal ini disebabkan aliran darah dari
satu sisi ke sisi lain, sehingga jantung harus memompa lebih berat dari
keadaan biasa. Akibatnya jantung gagal memompa. Tidak semua anak
menunjukkan gejala pada masa awal kehidupan dan tidak semua juga
memiliki gejala seperti ini (NACD, 2009).
Mayoritas kasus AVSD membutuhkan intervensi bedah pada 6 bulan
pertama kehidupan, karena tingginya angka kematian di atas usia 1 tahun dan
hipertensi pulmonal yang terjadi lebih awal. Anak dengan Sindroma Down
yang menderita AVSD memiliki kelangsungan hidup yang paling jelek (Hayes
et al., 1997).
2.2.2 Ventricular Septal Defects (VSDs)
Terdapat lubang di antara dinding ventrikel. Karena tingginya tekanan di
ventrikel kiri, hal ini menyebabkan darah yang kaya oksigen akan mengalir ke
ventrikel kanan dan kembali ke paru-paru. Jumlah darah yang mengalir
bergantung ukuran lubang dan tekanan antara kedua ventrikel. Adanya aliran
abnormal tersebut mengakibatkan terdengar murmur.
Secara umum, pasien dengan VSD yang kecil tidak menunjukkan
gejala dan dapat ditemukan ketika terdengar murmur pada pemeriksaan rutin.
Pasien dengan VSD sedang terlihat bernapas dengan cepat, penambahan berat
badan yang buruk, dan lambat ketika makan (NACD, 2009).
Pasien dengan defek kecil tidak memerlukan pengobatan apapun,
kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif. Jika
pada umur 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terdapat pembesaran
jantung maka dianjurkan penutupan defek (Soeroso dan Sastrosoebroto,
1994).
2.2.3 Atrial Septal Defects (ASDs)
Pada cacat ini terdapat lubang di atrium. Akibat tingginya tekanan di sisi
sebelah kiri jantung, maka darah yang kaya oksigen akan mengalir ke kanan
Terdapat tiga tipe ASD; yang paling sering adalah lubang di tengah
dari septum. Lubang di bagian bawah septum sering dikaitkan dengan masalah
katup mitral yang lemah. Dan yang lebih jarang adalah lubang di atas dari
septum.
Biasanya pasien dengan ASD tidak menunjukkan gejala dan dapat
ditemukan ketika terdengar murmur pada pemeriksaan rutin. Anak dengan
masalah ini dapat mengalami berat badan yang tidak bertambah dan gagal
tumbuh.
Lubang yang kecil biasanya tidak menimbulkan masalah. Jika terdapat
di bagian tengah maka dapat menutup dengan sendirinya. Tetapi, lubang yang
sedang dan besar tidak dapat menutup. Oleh karena itu, pembedahan
dianjurkan pada tahun pertama kehidupan (NACD, 2009).
2.2.4 Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada cacat ini terdapat hubungan langsung antara aorta dan arteri pulmonal,
yang seharusnya menutup setelah lahir. Hal ini menyebabkan tingginya
tekanan di jantung kiri dan meningkatkan jumlah darah yang masuk ke
paru-paru (NACD, 2009).
Jika hanya terdapat sedikit hubungan maka bayi tidak akan
menunjukkan gejala. Defek yang besar akan menimbulkan gagal jantung
kongestif, nadi lebar, dan kebanyakan nadi arterial sangat melambung. Bayi
akan sulit bernapas, lelah, dan buruknya penambahan berat badan.
Tanpa memandang umur, penderita dengan PDA memerlukan
penutupan dengan pembedahan. Pada penderita dengan PDA kecil,
kebijaksanaan untuk menutup adalah untuk mencegah endarteritis atau
komplikasi lambat lainnya. Pada penderita dengan PDA sedang dan besar,
penutupan diselesaikan untuk menangani gagal jantung kongestif (Bernstein,
2.2.5 Tetralogy of Fallot (TF)
Kelainan ini mencakup empat masalah jantung yang berbeda, yaitu defek
septum ventrikel perimembranous, stenosis pulmonal infundibular, overriding
aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru
lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh.
Manifestasi klinis TF mula-mula dapat mirip dengan defek septum ventrikel
dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga
anak masih kemerahan. Apabila derajat stenosis bertambah, akan timbul
sianosis.
Pengobatan operatif terdiri dari 2 jenis, yakni operasi paliatif untuk
menambah aliran darah paru, dan bedah korektif. Bedah paliatif dilakukan
dengan melakukan shunt procedur, yang tujuannya adalah untuk menambah
aliran darah ke paru. Bedah korektif adalah dengan koreksi total pada pasien
TF dilakukan dengan cara menutup defek septum ventrikel dan eksisi
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pada penelitian ini, kerangka konsep tentang prevalensi PJB pada anak dengan
Sindroma Down dapat dijabarkan sebagai berikut:
3.2 Definisi Operasional
• Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang terjadi bila ada 3 gambaran kromosom utama di samping 2 kromosom biasa pada
kromosom 21 atau disebut trisomi 21 (Shapiro, 2000). Pada penelitian ini,
penegakkan diagnosis Sindroma Down hanya berdasarkan gejala klinis.
• Anak adalah setiap manusia yang berusia kurang dari 18 tahun kecuali terdapat hukum tertentu yang berlaku terhadap anak tersebut, kedewasaan
dicapai lebih awal (UNICEF, 1989). Anak pada penelitian ini adalah
semua pasien rawat inap dan rawat jalan yang berumur kurang dari 18
tahun yang telah didiagnosis sebagai penderita Sindroma Down di RSUP
H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.
• Penyakit jantung bawaan adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat proses pembentukan jantung yang kurang sempurna
(Dhania, 2009). Penyakit jantung bawaan yang dinilai pada Sindroma
Down adalah AVSD, VSD, ASD, PDA, dan TF. Penegakan diagnosis PJB
adalah berdasarkan hasil ekokardiogram.
• Prevalensi adalah proporsi subjek yang sakit pada waktu tertentu (kasus lama dan kasus baru) (Ghazali, 2008). Prevalensi pada penelitian ini
dihitung dengan membandingkan jumlah pasien Sindroma Down yang
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menghitung prevalensi PJB pada
anak dengan Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Divisi Endokrin, Divisi Jantung Ilmu Kesehatan Anak,
dan instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian telah
dilakukan selama satu bulan, yaitu 17 Juli ‒ 17 Agustus 2010.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah pasien anak dengan Sindroma Down di RSUP H.
Adam Malik Medan tahun 2005-2009. Sampel pada penelitian ini diambil dengan
menggunakan teknik total sampling, dimana semua pasien anak dengan Sindroma
Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009 dimasukkan ke dalam
sampel penelitian. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 82 orang.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh dari Divisi Endokrin, Divisi Jantung Ilmu Kesehatan Anak, dan
instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009. Instrumen
pada penelitian ini berupa formulir penelitian sebagai alat bantu dalam
pengumpulan data.
4.5. Metode Analisis Data
Semua data yang diperoleh telah dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
bantuan program SPSS ver.17.0 for Windows. Data yang telah dianalisis kemudian
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan yang terletak di Jalan
Bunga Lau No.17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan.
Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP H. Adam Malik Medan telah
memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang
kompeten. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit
rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh,
Sumatera Barat, dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang
yang sangat bervariasi. Rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit pendidikan
bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Rumah sakit ini memiliki berbagai departemen, salah satunya adalah
departemen Ilmu Kesehatan Anak yang terletak di lantai dua. Departemen tersebut
memiliki divisi endokrin dan divisi jantung. Kedua divisi ini merupakan lokasi
pengambilan data. Selain itu, data penelitian ini juga diambil dari instalasi rekam
medis yang terletak di lantai satu.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Jumlah pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009
adalah 82 orang. Pada gambar di bawah ini (gambar 5.1.) dapat dilihat distribusi
pasien Sindroma Down selama tahun 2005-2009. Jumlah pasien Sindroma Down
terbanyak adalah pada tahun 2008 yaitu 31 orang (37,8%) dan yang paling sedikit
Gambar 5. 1. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005 – 2009
Tabel 5.1. menggambarkan karakteristik pasien berdasarkan kelompok
usia dan jenis kelamin. Kelompok usia pasien terbanyak adalah kelompok usia
1-12 bulan (36,6%). Kemudian diikuti oleh pasien dengan kelompok usia kurang
dari 1 bulan (24,4%), usia lebih dari 1 tahun sampai 5 tahun (17,1%), dan usia di
atas 5 tahun (13,4%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, persentase laki-laki
[image:37.595.119.506.503.734.2](52,4%) sedikit lebih besar dari pada wanita (47,6%).
Tabel 5. 1. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005 – 2009
Karakteristik n (%)
Usia
< 1 bulan 20 (24,4)
1-12 bulan 30 (36,6)
>1 tahun-5 tahun 14 (17,1)
>5 tahun 11 (13,4)
Tidak terdata 7 (8,5)
Total 82 (100)
Jenis Kelamin
Laki – Laki 43 (52,4)
Perempuan 39 (47,6)
5.1.3. PJB pada Pasien Sindroma Down
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari pasien Sindroma Down, maka
dapat dilihat distribusi frekuensi pasien Sindroma Down yang mengalami PJB di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009. Pada tahun 2008 terdapat 11
orang yang mengalami PJB dari 31 penderita Sindroma Down. Dan pada tahun
2009 terdapat 8 orang yang mengalami PJB dari 25 penderita Sindroma Down.
[image:38.595.103.520.317.498.2]Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2. di bawah ini:
Tabel 5. 2. PJB pada pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005-2009
Tahun
PJB
Total Ada
n (%)
Tidak ada n (%)
2005 0 (0) 1 (100) 1 (100)
2006 3 (37,5) 5 (62,5) 8 (100)
2007 9 (52,9) 8 (47,1) 17 (100)
2008 11 (35,5) 20 (64,5) 31 (100)
2009 8 (32) 17 (68) 25 (100)
Total 31 (37,8) 51 (62,2) 82 (100)
5.1.4 Pasien Sindroma Down dengan PJB
Berdasarkan hasil yang didapat, dari 31 pasien Sindroma Down yang mengalami
PJB, jenis PJB yang paling banyak adalah VSD (29%), kemudian diikuti oleh
ASD (12,9%). Jenis PJB yang ditemukan sangat bervariasi dan terdapat
Tabel 5. 3. Jenis PJB pada pasien Sindroma Down di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2005 – 2009
Jenis PJB n (%)
1. VSD 9 (29)
2. ASD 4 (12,9)
3. PFO 3 (9,7)
4. AVSD 2 (6,5)
5. ASD+VSD 2 (6,5)
6. PDA 2 (6,5)
7. TOF 2 (6,5)
8. TOF+ASD 1 (3,2)
9. AVSD+VSD 1 (3,2)
10.PDA+PFO 1 (3,2)
11.PDA+VSD 1 (3,2)
12.PDA+AVSD 1 (3,2)
13.PDA+ASD+VSD 1 (3,2)
14.PS 1 (3,2)
Total 31 (100)
PJB = penyakit jantung bawaan; AVSD = atrio-ventricular septal defect; ASD =
atrial septal defect; VSD = ventricular septal defect; PDA = patent ductus arteriosus; PFO = patent foramen ovale; TOF = tetralogy of Fallot; PS = pulmonal stenosis
Pada tabel 5.4. dapat dilihat karakteristik 31 pasien Sindroma Down yang
memiliki PJB. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 1-12 bulan
(54,8%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, persentase laki-laki (58,1%) lebih
Tabel 5. 4. Distribusi frekuensi pasien Sindroma Down dengan PJB berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2005 – 2009
Karakteristik n (%)
Usia
< 1 bulan 5 (16,1)
1-12 bulan 17 (54,8)
>1 tahun-5 tahun 3 (9,7)
>5 tahun 3 (9,7)
Tidak terdata 3 (9,7)
Total 31 (100)
Jenis Kelamin
Laki – Laki 18 (58,1)
Perempuan 13 (41,9)
Total 31 (100)
5.2. Pembahasan 5.2.1. Sindroma Down
Dari 82 pasien tersebut, kelompok usia yang paling banyak didiagnosis Sindroma
Down adalah kelompok usia 1-12 bulan (36,6%). Hal tersebut berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Al Harasi (2010) di Oman dimana pasien
Sindroma Down kebanyakan didiagnosis pada umur kurang dari 1 bulan (55,5%).
Diagnosis Sindroma Down sebaiknya dilakukan lebih awal. Hal ini penting agar
setiap bayi yang menderita Sindroma Down dilakukan penilaian medis yang
komprehensif untuk mengetahui kelainan apa saja yang dialaminya (Marder dan
Dennis, 2001). Dugaan diagnosis Sindroma Down dapat dilakukan pada periode
pre dan postnatal dan dikonfirmasi dengan analisis kromosom (pemeriksaan
kariotipe). Investigasi sitogenik penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis
dan untuk menentukan risiko berulangnya Sindroma Down dan membantu proses
konseling genetik (Bertelli et al., 2009). Namun, pada penelitian ini, diagnosis
Sindroma Down hanya berdasarkan manifestasi klinis saja. Menurut Devlin dan
Pada penelitian ini, pasien Sindroma Down kebanyakan adalah laki-laki
(52,4%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Al Harasi
(2010) di Oman, dengan persentasi laki-laki lebih banyak yaitu 57,2%. Penelitian
yang dilakukan oleh Hayes et al. (1997) di Irlandia juga menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak (53%). Tetapi pada penelitian di Qatar oleh Al Ali et al. (2006)
menyebutkan jumlah perempuan lebih banyak yaitu 51,1%. Dan perbedaan jenis
kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap angka mortalitas (Day et al.,
2005).
5.2.2. PJB pada Sindroma Down
Diagnosis PJB pada Sindroma Down pada penelitian ini paling banyak pada umur
1-12 bulan (54,8%). Diagnosis PJB pada Sindroma Down memang harus sesegara
mungkin dilakukan. Hal itu dikarenakan PJB adalah kondisi yang berpengaruh
langsung pada prognosis dan kelangsungan hidup pasien, dan menjadi penyebab
tertinggi dari morbiditas dan mortalitas selama dua tahun pertama kehidupan
(Boas et al., 2009). Menurut Weijerman et al. (2007) PJB adalah penyebab utama
dari mortalitas bayi dengan Sindroma Down terutama selama periode
postneonatal (70% kasus). Pada populasi umum, mortalitas biasanya terjadi
selama periode neonatal. Pada Sindroma Down, seperti populasi umumnya,
mortalitas neonatus diakibatkan oleh faktor neonatus seperti asfiksia, berat badan
lahir rendah, dan prematuritas. Peningkatan teknik bedah untuk penatalaksanaan
PJB dan koreksi bedah yang dilakukan pada umur yang lebih muda akan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi dengan Sindroma Down.
Pada penelitian ini, pasien Sindroma Down yang mengalami PJB
kebanyakan berjenis kelamin laki-laki (58,1%). Menurut Murdoch (1985) dan
Baird (1987) dalam Hayes et al. (1997) pasien Sindroma Down perempuan
dengan PJB memiliki angka ketahanan hidup yang lebih rendah. Tetapi pada
penelitian yang dilakukan oleh Hayes et al. (1997) angka ketahanan hidup pada
kedua jenis kelamin sama, meskipun lebih banyak perempuan yang mengalami
Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 jumlah sampel yang diperoleh terlalu
sedikit sehingga tidak representatif untuk menggambarkan prevalensi PJB pada
anak dengan Sindroma Down dalam kurun waktu tersebut. Oleh karena itu, pada
penelitian ini hanya memfokuskan pembahasan pada prevalensi PJB pada anak
dengan Sindroma Down pada tahun 2008 dan 2009.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, prevalensi PJB pada
Sindroma Down tahun 2008 adalah 35,5% dan tahun 2009 adalah 32%. Angka ini
termasuk rendah dan berada di bawah batasan perkiraan yang terdapat di literatur,
yaitu PJB terjadi pada 40-60% penderita Sindroma Down (Korenberg et al.,
2002). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Boas et al. (2009)
di Pelotas, Brazil yang menyebutkan 46,8% pasien Sindroma Down mengalami
PJB. Hasil penelitian selama 13 tahun di Turki didapatkan angka kejadiannya
sangat tinggi, yaitu 77,6% (Nisli et al., 2008). Penelitian di Israel oleh Mihci et al.
(2010) juga menunjukkan angka kejadian yang tinggi, yaitu sebanyak 72,7%
pasien Sindroma Down mengalami PJB. Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Keckler et al. (2008) di Kansas menunjukkan angka yang lebih
rendah, yaitu 39,3%.
Sebenarnya prevalensi pada penelitian ini dapat lebih tinggi, sebab tidak
semua pasien Sindroma Down dilakukan ekokardiografi, hanya pada pasien yang
memiliki gejala kelainan jantung saja. Sehingga pasien yang asimptomatik
mungkin saja memiliki PJB, tetapi tidak terdiagnosis. Menurut Hoe et al. (1990)
50% pasien Sindroma Down dengan PJB tidak menunjukkan gejala. Menurut
Seale dan Shinebourne (2004) bayi Sindroma Down yang baru lahir dengan
AVSD dan VSD dapat asimptomatik dan tanpa murmur. Penelitian Wells et al.
(1994) juga menunjukkan beberapa anak Sindroma Down yang memiliki kelainan
jantung yang parah tidak memiliki murmur, sedangkan yang memiliki murmur
tidak mempunyai kelainan jantung. Sehingga ada tidaknya murmur tidak boleh
dijadikan kriteria untuk memutuskan apakah anak tersebut harus dilakukan
ekokardiogram. Oleh karena itu, semua bayi dengan Sindroma Down harus
merekomendasikan agar setiap neonatus Sindroma Down dilakukan pemeriksaan
rutin ekokardiografi meskipun tidak ada murmur.
Jenis PJB yang paling sering pada penelitian ini adalah VSD (29%). Hasil
ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Naples, Itali oleh
Paladini et al. (2000) dengan persentase VSD sebanyak 48%. Begitu juga pada
penelitian di Jepang oleh Sonoda et al. (2000) yang menunjukkan bahwa VSD
adalah jenis yang paling sering (31,3%). Namun, hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan olen Vida et al. (2005) di Guatemala yang
menyebutkan jenis yang paling sering adalah PDA (54,1%). Sedangkan hasil
penelitian oleh Figueroa et al. (2003) di Meksiko menyebutkan jenis PJB yang
paling sering adalah ASD. Hasil yang berbeda juga ditemukan pada penelitian
yang dilakukan oleh Freeman et al. (1998) di Atlanta dan Wells et al. (1994) di
Birmingham yang menunjukkan bahwa AVSD merupakan tipe yang paling
sering.
Menurut The National Association for Child Development (NACD) (2009)
jenis PJB yang paling sering pada Sindroma Down adalah AVSD. Jenis kelainan
ini memang lebih sering dijumpai pada Sindroma Down, kemungkinan terjadinya
AVSD ini meningkat seribu kali dibandingkan pada anak tanpa Sindroma Down
(Sherman, 2007). Menurut Hayes et al. (1997) pasien Sindroma Down yang
dengan AVSD memiliki prognosis yang paling buruk dan angka ketahanan hidup
pasien AVSD yang dilakukan koreksi bedah lebih baik dibandingkan dengan yang
tidak dikoreksi bedah. AVSD adalah jenis defek jantung yang paling sering pada
Sindroma Down, tetapi distribusi PJB pada anak dengan Sindroma Down dapat
bervariasi berdasarkan lokasi geografiknya. Pada penelitian epidemiologi di
Ameriksa Serikat dan Eropa, AVSD merupakan tipe yang paling banyak, yaitu
mengenai 60% pasien. Sedangkan di Asia, VSD dilaporkan sebagai jenis yang
paling sering yaitu terdapat pada 40% pasien. Di Amerika Latin, ASD menjadi
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Prevalensi PJB pada anak dengan Sindroma Down pada tahun 2008
adalah 35,5%
2. Prevalensi PJB pada anak dengan Sindroma Down pada tahun 2009
adalah 32%
3. Jenis PJB yang paling sering terjadi adalah VSD (29%)
4. Distribusi frekuensi terbesar pasien Sindroma Down yang didiagnosis
mengalami PJB berdasarkan usia adalah kelompok usia 1-12 bulan
(54,8%)
5. Distribusi frekuensi terbesar pasien Sindroma Down yang mengalami
PJB berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki (58,1%)
6.2. Saran
1. Setiap penderita Sindroma Down sebaiknya dilakukan pemeriksaan
jantung terutama ekokardiografi
2. Sebaiknya pasien Sindroma Down yang mengalami PJB segera
ditentukan penatalaksanaannya, apakah perlu dilakukan koreksi bedah
atau tidak, dan perlu pemantauan mengenai perkembangan PJB yang
dialaminya tersebut
3. Diharapkan agar orang tua yang mempunyai anak dengan Sindroma
DAFTAR PUSTAKA
Al Ali, K., Afifi, N.M., Habboub, L., Al Sayed, M.A., 2006. Congenital
Anomalies in Down Syndrome Among Qatari Population. Qatar Univ. Sci. J.,
26: 113-122
Al Harasi, Salma Mohamed, 2010. Down Syndrome in Oman: Etiology, Prevalence and Potential Risk Factors. A Cytogenetic, Molecular Genetic and Epidemiological Study. Diunduh dari:
Antonarakis, S.E., Lyle, R., Dermitzakis, E.T, Reymond, A., Deutsch, S., 2005.
Chromosome 21 and Down Syndrome: from Genomics to Pathophysiology.
Nature Reviews Genetics, 5: 725-738.
Barrs, V.A., Messerlian, G.M., Canick, J.A., Wilkins-Haug, L.W., Falk, S.J.,
2009. Overview of Prenatal Screening and Diagnosis of Down Syndrome.
Diunduh dari:
Benke, P.J., Carver, V., Donahue, R., 1995. Risk and Recurrence Risk of Down
Syndrome. Diunduh dari:
Bernstein, D., 2000. Sistem Kardiovaskular. Dalam: Wahab, A.S., ed. Ilmu
Bertelli, E.C.P, Biselli, J.M., Bonfim, D., Goloni-Bertollo, E.M., 2009. Clinical
profile of children with down syndrome treated in a genetics outpatient service
in the Southeast of Brazil. Rev Assoc Med Bras, 55(5): 547-52
Boas, L.T.V., Albernaz, E.P., Costa, R.G., 2009. Prevalence of Congenital Heart
Defects in Patients with Down Syndrome in The Municipality of Pelotas,
Brazil. J. Pediatr. (Rio J.), 85 (5): 403-407.
Cincinnati Chlidren’s Hospital Medical Center, 2006. Down Syndrome: Trisomy
21. Diunduh dari:
Day, S.M., Strauss, D.J., Shavelle, R.M., Reynolds, R.J., 2005. Mortality and
causes of death in persons with Down syndrome in California. Developmental
Medicine & Child Neurology, 47: 171–176
Devlin, L., dan Morrison, P.J., 2004. Accuracy of the clinical diagnosis of Down
Syndrome. The Ulster Medical Journal, 73 (1): 4-12
Dhania, 2009. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Orang Tua tentang
Penyakit Jantung Bawaan dengan Optimisme Kesehatan pada Anak Mereka yang Memiliki Penyakit Jantung Bawaan di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Diunduh dari:
2010]
Figueroa, J. R, Magana, B.P., Hach, J.L.P., Jimenez, C.C., Urbina, R.C., 2003.
Heart Malformation in Children with Down Syndrome. Rev. Esp. Cardiol, 56:
Freeman, et al., 1998. Population-Based Study of Congenital Heart Defects in
Down Syndrome. American Journal of Medical Genetics, 80: 213–217
Ghazali, M.V., Sastromihardjo, S., Soedjarwo, R., Soelaryo T., Pramulyo H.S.,
2008. Studi Cross-Sectional. Dalam: Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., ed.
Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto, 122.
Hayes, C. et al., 1997. Ten-Year Survival of Down Syndrome Births.
International Journal of Epidemiology, 26 (4): 822-829.
Hoe, T.S., Chan, K.C., Boo, N.Y., 1990. Cardiovascular Malformations in
Malaysian Neonates with Down’s Syndrome. Singapore Med J, 31: 474-476
Idris, R., Anggoro, B., Hartamto, H., 2006. Penderita Sindrom Down
Berdasarkan Analisis Kromosom di Laboratorium Biologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia antara Tahun 1992-2004. Profesi Medika, 6
(1): 35.
Keckler, S.J., St.Peter, S.D., Spilde, T.L., Ostlie, D.J., Snyder, C.L., 2008. The
influence of trisomy 21 on the incidence and severity of congenital heart
defects in patients with duodenal atresia. Pediatr Surg Int, 24: 921–923
Korenberg, J.R. et al., 2002. The Genetic Origin of Cognition and Heart Disease
in Down Syndrome. In: Cohen, W.I., Nade, L., Madnick, M.E., ed. Down
Syndrome Vision for The 21st Century. Canada: Wiley-Liss, Inc., 284.
Leshin, Len, 2003. Trisomy 21: The Story of Down Syndrome. Diunduh dari:
Lewis, Ricki., 2008. Chromosomes. In: Lewis, Ricki, ed. Human Genetics:
Concepts and Applications Eight Edition. United States: The McGraw-Hill
Malone, et al., 2005. First-Trimester or Second-Trimester Screening, or Both,
for Down’s Syndrome. N Engl J Med, 353: 19.
Marder, E. dan Dennis, J., 2001. Medical Management of Children with Down’s
Syndrome. Current Paediatrics, 11: 57-63
Mihci, et al., 2010. Evaluation of congenital heart diseases and thyroid
abnormalities in children with Down syndrome. Anadoulu Kardiyol Derg, 10:
440-445
Nisli, K., 2008. Congenital heart disease in children with Down's syndrome:
Turkish experience of 13 years.. Acta Cardiol, 63(5): 585-589 {abstract}
Nisli, K., 2009. Prevalence of Congenital Heart Defect in Patients with Down’s
Syndrome. Jornal de Pediatria, 85 (5): 377-378
NACD, 2009. Congenital Heart Disease in Children with Down Syndrome.
Diunduh dari:
Paladini, D., et al., 2000. The association between congenital heart disease and
Down syndrome in prenatal life. Ultrasound Obstet Gynecol, 15: 104–108
POTADS, 2003. Mengenal Down Syndrome. Diunduh dari:
Pradoso, A.M., 1994. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Dalam: Sastroasmoro,
Sudigdo dan Madiyono, Bambang, ed. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta:
Binarupa Aksara, 240-246.
Seale, A., dan Shinebourne, E.A., 2004. Cardiac problems in Down syndrome.
Current Paediatrics, 14: 33–38
Shapiro, L.J., 2000. Genetika Manusia. Dalam: Wahab, A.S., ed. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Vol. II. E/15. Jakarta: EGC, 392.
Sherman, Stephanie L., Emily G. Allen, Lora H. Bean, and Sallie B. Freeman.,
2007. Epidemiology of Down Syndrome. Mental Retardation and
Developmental Disabilities Research Reviews, 13: 221-227.
Shin, Mikyong, et al., 2009. Prevalence of Down Syndrome Among Children and
Adolescents in 10 Regions of the United States. Pediatrics, 124: 1565-1571.
Soeroso, S. dan Sastrosoebroto, H., 1994. Penyakit Jantung Bawaan
Non-Sianotik. Dalam: Sastroasmoro, Sudigdo dan Madiyono, Bambang, ed. Buku
Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Binarupa Aksara, 192-214.
Sommer, C.A. dan Henrique-Silva, F., 2008. Trisomy 21 and Down Syndrome -
A Short Review. Braz. J. Biol., 68 (2): 447-452.
Sonoda, T., Kouna, K., Sawada, K., Koizumi, H., Takagi, J., Yamasaki, S., 2000.
Increasing Incidence of Congenital Heart Disease in Patients with Down
Syndrome. Congenital Anomalies, 40: 112-116
Steeg, Carl N., 1993. Congenital Heart Disease in Down Syndrome. Pediatr. Rev.,
14: 488-514.
UNICEF (United Nation International Children’s Fund), 1989. Definition of
Child. Diunduh dari:
2010]
Vida, V.L., Barnoya, J., Larrazabal, L.A., Gaitan, G., de Maria Garcia, F.,
Castaneda, A.R., 2005. Congenital Cardiac Disease in Children with Down’s
Syndrome in Guatemala. Cardiol Young, 15 (3): 286-290 {abstract}
Wells, G.L., Barker, S.E., Finley, S.C., Colvin, E.V., Finley, W.H., 1994.
Congenital Heart Disease in Infants Down’s Syndrome. Southern Medical
Journal, 87 (7): 724-727. .
Wiedemann, H.R., Kunze, J., Grosse, F-R., 1995. Down Syndrome. In:
Wiedemann, H.R. dan Kunze, J., ed. Clinical Syndromes Third Edition.
London: Times Mirror International Publisher Limited, 100.
Weijerman et al., 2007. Prevalence, Neonatal Characteristics, and First-Year
Mortality of Down Syndrome: A National Study. Journal of Pediatrics, 9
LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rahmi
Tempat/ Tanggal Lahir : Kisaran/ 8 April 1989
Agama : Islam
Alamat : Jl. Takwa No. 2A Medan Sunggal
Riwayat Pendidikan : SD Negeri 1 Langsa (1995-2001)
SMP Negeri 1 Langsa (2001-2004)
SMA Negeri 1 Medan (2004-2007)
Riwayat Pelatihan : Seminar dan Workshop RJPO TBM FK USU
Seminar dan Workshop A-CPR TBM FK USU
Riwayat Organisas