• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sikap Dan Preferensi Konsumen Dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu Di Kota Ambon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sikap Dan Preferensi Konsumen Dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu Di Kota Ambon"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN

DALAM MENGKONSUMSI TEPUNG SAGU

DI KOTA AMBON

SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sikap dan Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG. Analisis Sikap dan Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon. Dibimbing oleh SUHARNO dan SITI JAHROH.

Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan adalah Sagu. Di Provinsi Maluku, sagu memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan pangan alternatif guna mengurangi ketergantungan beras. Hal ini karena Maluku merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia dan hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Maluku tersebar lahan sagu.

Masih terbatasnya teknologi pengolahan dan diversifikasi sagu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sagu kurang diminati masyarakat, sehingga kurang dapat bersaing dengan beras maupun gandum (terigu) yang semakin dominan dalam pola konsumsi masyarakat. Sebagai salah satu upaya dalam penganekaragaman konsumsi pangan, dibutuhkan sebuah inovasi teknologi dalam mengembangkan sagu, sehingga dapat mengurangi ataupun mengimbangi ketergantungan konsumsi beras. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah kemudian mengembangkan agroindustri sagu untuk memproduksi tepung sagu, yang selanjutnya dipasarkan oleh petani/pengusaha sagu. Dalam memasarkan tepung sagu produsen maupun penjual dalam menghasilkan dan memasarkan tepung sagu belum mengetahui dengan jelas apakah produk yang dipasarkan telah sesuai dengan keinginan/kebutuhan konsumen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses keputusan pembelian konsumen, dan menganalisis sikap, dan preferensi konsumen dalam mengkonsumsi tepung sagu. Penelitian dilakukan di Pasar Mardika Kota Ambon Provinsi Maluku. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling), berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan pasar terbesar yang ada di Kota Ambon dan merupakan wilayah sentra pemasaran tepung sagu. Metode penarikan atau pengambilan sampel yang digunakan adalah metode non probability sampling dengan pendekatan judgement sampling, yaitu berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh peneliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan sampel yang mengkonsumsi tepung sagu minimal dua kali dalam tiga bulan terakhir.

(6)

biasanya konsumen membeli sebagian konsumen menyatakan akan mencari tepung sagu di tempat lain, namun ada juga konsumen yang akhirnya tidak jadi melakukan pembelian. Setelah melakukan pembelian tepung sagu, konsumen memanfaatkannya sebagai bahan pelengkap ataupun substitusi tepung lain dalam rangka membuat aneka pangan ataupun penganan. Berdasarkan analisis sikap Multiatribut Fishbein diketahui atribut tepung sagu yang dinilai sangat penting dan penting oleh konsumen berturut-turut adalah harga, warna, dan ukuran. Secara keseluruhan sikap konsumen terhadap tepung sagu adalah netral (biasa). Berdasarkan hasil analisis Conjoint, disimpulkan bahwa responden konsumen menginginkan produk tepung sagu dengan harga Rp10 000/kg, pada kemasan terdapat keterangan/informasi, berukuran 2 kg, dan berwarna putih.

(7)

SUMMARY

SEPTIANTI PERMATASARI PALEMBANG. Analysis of Consumers’ Attitudes and Preferences in Consuming Sago Starch in Ambon City. Supervised by SUHARNO and SITI JAHROH.

One local food resources that can be used as an alternatives food in efforts to diversify food consumption is Sago. In the Province of Maluku, sago has great potential to be used as an alternative food in order to reduce dependence on rice. This is because Maluku is one of the main areas of sago in Indonesia and land of sago spread almost all districts/cities in Maluku.

The limited of sago processing technology and diversification is one of the factors that cause sago less interested in the community, making it less able to compete with both rice and wheat (flour) that increasingly dominant in the patterns of consumption. As one of the efforts in the diversification of food consumption, it’s need a technological innovation in developing sago, so as to reduce or offset the dependence on rice consumption. Based on this, the local government then develop sago agro-industry to produce (dry) sago starch, which is subsequently marketed by farmers/sago entrepreneurs. In marketing sago starch, producers and sellers do not know clearly whether a product marketed in accordance with the wishes/needs of consumers.

This research aims to assess the consumers’ buying decision process, and analyze the consumers’ attitudes, and preferences in consuming sago starch. This research conducted at Mardika Market in the city of Ambon in Maluku Province. Research location determined purposively, based on the consideration that the location is the largest market in the city of Ambon and a marketing center area of sago starch. The sampling method is non-probability sampling with judgment sampling approach, which is based on certain criteria that have been set in advance by researcher. The samples used in this research were ever consume sago starch at least twice in the last three months.

(8)

Based on the results of Conjoint analysis, the consumers like sago starch at a price of Rp10 000 / kg, on the packaging there is information, volume 2 kg, and the color of sago starch is white.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN

DALAM MENGKONSUMSI TEPUNG SAGU

DI KOTA AMBON

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ratna Winandi, MS

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena atas rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul “Analisis Sikap dan Preferensi Konsumen dalam Mengkonsumsi Tepung Sagu di Kota Ambon” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr Ir Suharno, MADev selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Siti Jahroh BSc MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala

bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam perbaikan penulisan tesis.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

4. Teman-teman seperjuangan Magister sains agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

5. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bapak Husein Palembang SH dan Ibu Madrawatty Rasyad SH MH, serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya.

6. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Fadly Usman SP dan anak Syakila Ainun Mahya yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Gambaran Umum Sagu 7

Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya 10

Pengolahan dan Pemasaran Sagu 12

Pengembangan Produk 15

Perilaku Konsumen 16

Sikap Konsumen terhadap Produk 17

Preferensi Konsumen terhadap Atribut Produk 18

3 KERANGKA PEMIKIRAN 20

Kerangka Pemikiran Teoritis 20

Konsep Perilaku Konsumen 20

Konsep Pemasaran 23

Konsep Produk dan Atribut Produk 24

Konsep Sikap Konsumen 26

Konsep Preferensi Konsumen 29

Kerangka Pemikiran Operasional 32

4 METODE PENELITIAN 34

Lokasi dan Waktu Penelitian 34

Jenis dan Sumber Data 34

Metode Pengambilan Sampel 34

Metode Pengolahan dan Analisis Data 34

Uji Validitas 35

Uji Reliabilitas 35

Analisis Deskriptif 36

Model Sikap Multiatribut Fishbein 36

Analisis Conjoint 39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 41

(18)

Proses Keputusan Pembelian Tepung Sagu 45

Pengujian Kuisioner 50

Analisis Sikap Konsumen Tepung Sagu 51

Analisis Preferensi Konsumen Tepung Sagu 55

Rekomendasi Strategi Pemasaran 57

6 SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 67

RIWAYAT HIDUP 73

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi pangan (padi-padian & umbi-umbian) penduduk

Provinsi Maluku tahun 2007-2011 2

2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan 10

3 Hasil uji lab terhadap produk tepung sagu 14

4 Atribut produk tepung sagu untuk analisis Multiatribut Fishbein 37

5 Atribut dan taraf atribut tepung sagu 39

6 Kombinasi atribut dan taraf atribut tepung sagu berdasarkan kartu

stimuli 41

7 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci per kecamatan di

Kota Ambon Tahun 2013 42

8 Sebaran karakteristik responden konsumen tepung sagu 44 9 Hasil uji validitas terhadap kuisioner kepentingan konsumen 50 10 Hasil uji validitas terhadap kuisioner kepercayaan konsumen 51 11 Penilaian kepentingan (ei) atribut tepung sagu 52 12 Penilaian kepercayaan atribut (bi) tepung sagu 53

13 Hasil analisis Multiatribut Fishbein 54

14 Hasil analisis Conjoint atribut tepung sagu 56

DAFTAR GAMBAR

1 Pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon

untuk bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian 5

2 Diagram alir proses pengolahan sagu basah dan tepung sagu kering

dengan teknologi sederhana 14

3 Model pengambilan keputusan pembelian konsumen dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya 21

4 Kerangka pemikiran operasional 33

5 Motivasi utama mengkonsumsi tepung sagu 45

(19)

7 Pernah tidaknya melihat promosi/iklan terkait tepung sagu 46

8 Sumber informasi terkait tepung sagu 47

9 Hal yang menarik dari tepung sagu 47

10 Pertimbangan awal pembelian tepung sagu 47

11 Pengaruh pengambilan keputusan 48

12 Cara memutuskan pembelian produk 48

13 Jumlah tepung sagu setiap kali pembelian 48

14 Kepuasan konsumen terhadap tepung sagu 49

15 Perilaku apabila produk tepung sagu tidak tersedia 49

16 Pemanfaatan tepung sagu setelah pembelian 50

17 Kendala dalam membeli produk tepung sagu 50

18 Nilai kepentingan relatif atribut tepung sagu 55

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skema pemanfaatan sagu 67

2 Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 3729:2008 68

3 Uji reliabilitas terhadap kuisioner evaluasi konsumen 69 4 Uji reliabilitas terhadap kuisioner kepercayaan konsumen 70 5 Profil tepung sagu dengan informasi/keterangan (merek, komposisi,

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi kekayaan pangan lokal yang amat besar, yang dapat diangkat untuk mewujudkan kemandirian pangan dan mempercepat tercapainya ketahanan pangan nasional. Kekayaan pangan tersebut diantaranya memiliki 77 spesies tanaman sumber karbohidrat seperti serealia (jagung, sorghum, hotong, jali, jawawut dll), ubi-ubian (singkong, ubi jalar, talas, sagu, ganyong, garut, gembili, gadung dll), dan buah (sukun, pisang, labu kuning, buah bakau, dll). Pangan sumber karbohidrat tersebut tersedia dan tumbuh subur di seluruh Indonesia, dan secara tradisional dikonsumsi sebagai pangan pokok maupun kudapan (BKP 2012). Berdasarkan potensi sumber daya pangan yang dimiliki, maka penganekaragaman konsumsi pangan dengan menekankan pada sumber daya pangan lokal (non beras) merupakan suatu langkah arif dan bijak guna mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap jenis pangan seperti beras dan gandum (terigu).

Sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, bahwa upaya penganekaragaman konsumsi pangan harus berbasis sumber pangan setempat atau khas daerah. Hal ini agar diartikan bahwa pengurangan konsumsi beras tidak dapat digantikan dengan konsumsi gandum/terigu yang hampir seluruhnya diimpor. Sementara konsumsi umbi-umbian bukan hanya sebagai pangan pilihan pengganti padi-padian namun juga sebagai pangan berpati (starchy foods) yang banyak mengandung serat dan dibutuhkan tubuh untuk dikonsumsi setiap hari (BKP 2012).

Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif dalam upaya penganekaragaman konsumsi pangan adalah Sagu (Metroxylon spp.). Menurut Alfons (2006), sagu berpotensi menjadi sumber pangan alternatif karena kandungan karbohidrat dan kalori yang tinggi, kemampuan substitusi tepung dalam industri pangan, peluang peningkatan produktivitas, potensi areal dan perluasannya, serta kemungkinan diversifikasi produk. Menurut Bintoro (1999) sagu memiliki peran penting dalam mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan yang berbasis sumber daya lokal dan dapat mengurangi ketergantungan sebagian masyarakat Indonesia terhadap beras.

Di Provinsi Maluku, sagu memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan pangan alternatif dalam upaya penganekaragaman konsumsi pangan. Hal ini karena Maluku merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia dengan luas areal ± 53 866 ha (BPS–Prov. Maluku 2013). Hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Maluku tersebar lahan sagu. Selain itu pertanian sagu di Maluku merupakan “way of life” dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan, pemasok pangan (sumber karbohidrat tradisional) utama dan telah terbukti mampu menjadi salah satu bahan pangan dalam mengatasi masalah pangan lokal di wilayah Maluku tempo dulu (Bustaman dan Susanto 2007).

(22)

sagu/ha dengan jumlah pohon siap panen ± 40-42 pohon MT/ha/thn dan per pohon menghasilkan ± 200-250 kg pati kering. Berdasarkan hal tersebut maka produktivitas sagu dalam satu hektar lahan sagu di Maluku rata-rata sekitar 8–10 ton/ha/thn. Adapun dari 6 000 ha luas areal sagu yang dikelola menghasilkan sekitar 48 ribu – 60 ribu ton pati kering/ha/thn. Kehilangan hasil di hutan sagu sekitar 431 ribu ton/ha/thn.

Berdasarkan hal tersebut, maka pemanfaatan sagu dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan di Maluku merupakan suatu langkah yang tepat. Hal ini setidaknya agar dapat mengimbangi ataupun mengurangi konsumsi pangan penduduk yang semakin didominasi oleh produk pangan berbasis beras ataupun terigu. Adapun besarnya konsumsi pangan penduduk Provinsi Maluku khususnya bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Konsumsi pangan (padi-padian & umbi-umbian) penduduk Provinsi tingkat konsumsi beras penduduk di Provinsi Maluku sangat tinggi dibandingkan dengan jenis pangan yang lain. Selain itu jumlah konsumsinya per hari cenderung meningkat tiap tahun. Perbedaan jumlah konsumsi beras yang signifikan dengan pangan yang lain mengindikasikan bahwa beras telah mendominasi pola konsumsi pangan masyarakat dan dapat dikatakan bahwa beras kini merupakan pangan utama penduduk Maluku. Sebaliknya, sagu yang merupakan bahan pangan lokal utama di Maluku, tingkat konsumsinya per hari sangat rendah bila dibandingkan dengan beras dan singkong, selain itu jumlah konsumsinya per hari cenderung menurun tiap tahun. Adapun terigu, tingkat konsumsi per harinya masih cukup rendah dibandingkan sagu namun berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Kemudian untuk singkong, tingkat konsumsi per harinya masih cukup tinggi dibanding sagu. Kemungkinan singkong masih digunakan sebagai pangan tambahan selain beras untuk sebagian penduduk yang ada di desa-desa. Konsumsinya pun cenderung meningkat tiap tahun namun berfluktuasi.

(23)

bentuk yang tidak mengalami perubahan dari sejak dahulu. Misalnya seperti sagu tumang1: pati sagu yang dihasilkan dari hasil ekstraksi masih berupa sagu basah dan dikemas dengan menggunakan kemasan tradisional (tumang). Sagu tumang kemudian juga diolah sebagai makanan pokok (staple food) dalam bentuk papeda, sagu lempeng, sinoli, dan tutupola. Selain itu digunakan dalam industri rumah tangga untuk pembuatan penganan tradisional seperti bagea, sagu gula, sarut, sagu tumbuk, dll (Alfons dan Bustaman 2005; Malawat et al. 2008).

Oleh karena itu sebagai salah satu upaya dalam penganekaragaman konsumsi pangan, dibutuhkan sebuah inovasi teknologi dalam mengembangkan sagu. Hal ini agar produk sagu yang dihasilkan mempunyai nilai lebih atau paling tidak sama dengan produk pangan berbasis beras/terigu, sehingga dapat mengimbangi ataupun mengurangi ketergantungan akan sumber pangan tersebut.

Berdasarkan salah satu sasaran program peningkatan ketahanan pangan pemerintah daerah Provinsi Maluku yakni meningkatnya keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan dan menurunnya konsumsi beras perkapita, maka pemerintah daerah Provinsi Maluku melalui Dinas Pertanian Provinsi Maluku bekerja sama dengan LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian, serta petani/pelaku usaha sagu untuk mengembangkan pangan lokal sagu. Salah satu hasil dari kerjasama tersebut yaitu pengembangan sagu pada sub-sistem agroindustri berbasis rumah tangga di pedesaan yang memiliki potensi sagu. Kegiatan pengembangan yang dilaksanakan tahun 2009 tersebut berupa diseminasi teknologi tepat guna kepada para petani/pelaku usaha sagu untuk melaksanakan product development sagu, yakni mengolah pati sagu untuk dijadikan tepung sagu (kering).

Melalui diseminasi teknologi tepat guna, sebagian petani/pelaku usaha sagu di Maluku khususnya di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat, telah dapat memproduksi tepung sagu meski masih berupa industri skala rumah tangga. Tepung sagu diproduksi dan dikemas secara sederhana, menggunakan kemasan plastik, ada yang diberi merek ataupun keterangan dan ada yang tidak. Produk tepung sagu tersebut pun kemudian dipasarkan di Kota Ambon.

Perumusan Masalah

Pengembangan pati sagu menjadi tepung sagu merupakan salah satu upaya diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan beras ataupun terigu dalam pola konsumsi masyarakat, sehingga diharapkan kedepannya dapat terwujud kemandirian pangan lokal yang menunjang tercapainya ketahanan pangan nasional. Selain itu di lain sisi, pengembangan tepung sagu dapat meningkatkan nilai tambah komoditi sagu yang diusahakan petani/pengusaha sagu.

Polnaya dan Timisela (2008) mengemukakan, keuntungan pengolahan sagu menjadi tepung sagu adalah: 1) dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama; 2) lebih mudah untuk disimpan; 3) tidak terjadi perubahan sifat dengan ”pati sagu basah” (lebih praktis dibandingkan dengan sagu basah apabila ingin diolah menjadi papeda/makanan pokok tradisional); 4) lebih mudah penanganan dalam transportasi; 5) menarik perhatian konsumen untuk membeli dan menyimpan pati sagu di rumah, dan sebagainya.

1

(24)

Tepung sagu merupakan produk antara (product intermediate), yang memudahkan konsumen untuk mengolah lebih lanjut menjadi aneka pangan olahan yang sesuai dengan selera dan tuntutan masyarakat/konsumen masa kini. Tepung sagu tetap dapat diolah menjadi pangan pokok/tradisional, dan dapat digunakan sebagai bahan dasar, pelengkap/substitusi tepung lainnya dalam membuat penganan ataupun makanan modern. Selain itu, menurut Sialana (2008) tepung sagu dapat diolah menjadi minuman bernutrisi yang bermanfaat bagi kesehatan. Hal ini berbeda dengan sagu tumang yang selama ini lebih dikenal oleh konsumen. Sagu tumang hanya dapat dimanfaatkan sebatas menjadi pangan pokok/tradisional.

Tepung sagu diproduksi oleh petani/pengusaha sagu dalam hal ini industri pengolahan sagu berbasis rumah tangga di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat yang telah mendapatkan manfaat dari kegiatan diseminasi teknologi tepat guna. Tepung sagu yang diproduksi tersebut kemudian dijual ke luar daerah yaitu ke Kota Ambon, khususnya ke para penjual penganan sagu yang ada di kota tersebut. Oleh para penjual penganan sagu, tepung sagu dijual bersama-sama dengan produk penganan sagu seperti bagea, sagu lempeng, sagu tumbuk dll. Adapun tepung sagu dipasarkan di Kota Ambon oleh karena selain merupakan ibukota provinsi dan pusat pemerintahan, juga karena Ambon merupakan pusat perekonomian dan perdagangan, serta memiliki jumlah dan kepadatan penduduk yang terbanyak dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Provinsi Maluku.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, diketahui bahwa produsen maupun penjual dalam menghasilkan dan memasarkan tepung sagu belum mengetahui dengan jelas apakah produk yang dipasarkan telah sesuai dengan keinginan/kebutuhan konsumen. Selain itu, diketahui juga bahwa dalam sebulan (untuk tiap penjual) rata-rata tepung sagu yang terjual sekitar 8–12 kg. Tepung sagu dijual dengan harga yang bervariasi yaitu Rp12 500–Rp15 000/kg. Angka penjualan tepung sagu tersebut apabila dibandingkan dengan sagu basah ternyata sangat rendah. Sagu basah dalam sebulan dapat terjual sekitar 500–800 kg (setara dengan 300–480 kg berat kering) dan dijual dengan eceran seharga Rp1 000 per 200 gram2.

Adapun bila ditinjau dari segi pengeluaran pangan masyarakat Kota Ambon, diketahui bahwa pengeluaran rata-rata perkapita per bulan untuk bahan pangan padi-padian (beras, jagung, terigu) lebih besar dibandingkan untuk bahan pangan umbi-umbian (sagu, singkong, dan umbi lainnya). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1, yakni pada periode 2010 hingga 2013 pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk kedua kelompok bahan pangan memiliki perbedaan yang signifikan.

2

(25)

Gambar 1 Pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian Sumber: BPS-Kota Ambon 2012; 2014

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 pengeluaran rata-rata masyarakat Kota Ambon untuk bahan pangan padi-padian berfluktuasi namun diatas Rp50 000 perkapita per bulan dan cenderung meningkat. Adapun pengeluaran rata-rata untuk bahan pangan umbi-umbian juga berfluktuasi dan cenderung meningkat, namun pengeluaran rata-rata yang terbesar hanya mencapai sekitar Rp14 000 perkapita per bulan. Meningkatnya pengeluaran pangan masyarakat perkapita per bulan untuk kedua bahan pangan dikarenakan meningkatnya harga dari kedua bahan pangan tersebut tiap tahunnya. Secara garis besar dapat dikatakan pengeluaran pangan rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk bahan pangan padi-padian lebih besar (4-5 kali lipat) dibandingkan untuk bahan pangan umbi-umbian.

Apabila lebih diperinci, bahan pangan padi-padian terdiri dari beras, jagung, dan terigu. Bila dikaitkan dengan konsumsi pangan utama masyarakat maka pengeluaran paling besar yaitu untuk pangan beras. Sedangkan bahan pangan umbi-umbian terdiri dari sagu, singkong, dan umbi lainnya. Besarnya alokasi pengeluaran untuk tiap jenis pangan dari bahan pangan umbi-umbian tidak diketahui, namun dilihat dari jumlah pengeluaran pangan rata-rata perkapita per bulan yang sangat kecil dibandingkan bahan pangan padi-padian, maka pengeluaran untuk sagu (pati sagu basah, tepung sagu, atau produk pangan lainnya dari sagu) pastinya juga sangat kecil. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran pangan rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota Ambon untuk pangan sagu memiliki porsi yang sangat kecil dibandingkan untuk pangan beras.

(26)

dengan selera konsumen. Selain itu tepung sagu pun masih dapat dikatakan produk baru dan belum begitu familiar bagi masyarakat/konsumen.

Berdasarkan uraian tersebut maka dalam menjalankan upaya pemasaran tepung sagu, produsen/penjual perlu memiliki pengetahuan mendasar mengenai konsumen. Produsen/penjual perlu mengetahui perilaku konsumen dalam mengkonsumsi produk tepung sagu, serta sikap konsumen terhadap produk tersebut. Adapun sikap mempengaruhi perilaku konsumen. Oleh karena itu dengan mengetahui sikap konsumen terhadap tepung sagu yang digambarkan dari penilaian konsumen terhadap atribut tepung sagu, maka dapat dapat dirumuskan strategi yang tepat dalam memasarkan produk tepung sagu. Dalam merumuskan strategi pemasaran tepung sagu, produsen/penjual perlu mengetahui dan menyediakan produk yang sesuai dengan keinginan/kebutuhan konsumen. Oleh karena itu perlu dilihat preferensi/kesukaan konsumen dari atribut-atribut produk yang melekat pada tepung sagu, yang pada akhirnya nanti akan membentuk sebuah produk yang diinginkan konsumen. Berdasarkan informasi tersebut maka produsen/penjual dapat menyediakan produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.

Kedepannya diharapkan produk tepung sagu yang dipasarkan semakin diminati dan permintaannya semakin meningkat. Lebih lanjut, dengan meningkatnya permintaan tepung sagu maka diharapkan pola konsumsi masyarakat yang dominan beras ataupun terigu dapat diimbangi dengan produk olahan dari tepung sagu. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji beberapa permasalahan diantaranya:

1. Bagaimana proses keputusan pembelian tepung sagu yang dilakukan konsumen ?

2. Bagaimana sikap konsumen terhadap tepung sagu ?

3. Bagaimana preferensi konsumen terhadap atribut tepung sagu ? Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis proses keputusan pembelian tepung sagu yang dilakukan konsumen.

2. Menganalisis sikap konsumen terhadap tepung sagu.

3. Menganalisis preferensi konsumen terhadap atribut tepung sagu. Manfaat Penelitian

(27)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sikap dan preferensi konsumen dalam mengkonsumsi tepung sagu secara umum tanpa dipengaruhi oleh merek dari tepung sagu tersebut, namun seluruh tepung sagu yang dipasarkan. Selain itu penelitian ini hanya mengkaji sikap konsumen untuk tepung sagu itu sendiri, dan tidak melakukan perbandingan antara tepung sagu dengan tepung lainnya.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Sagu

Potensi Sumber Daya

Indonesia memiliki areal pertanaman/hutan sagu terluas di dunia, serta diversitas genetik yang terkaya. Luas areal sagu Indonesia diperkirakan sekitar 1.398 juta hektar atau 56.51 persen dari 2.474 juta hektar areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea sebesar 41.23 persen. Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia (bahkan sudah membuat perkebunan sagu) dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas 1.82 persen dan 0.12 persen (Flach 1997; Louhenapessy et al. 2010).

Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan 5 juta ton pati kering per tahun (dapat ditingkatkan apabila hutan sagu direhabilitasi menjadi perkebunan sagu dan diikuti dengan tindakan budidaya) tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan dan hingga kini potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal. Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena hal ini berkaitan dengan luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per tahun, dan produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam. Konsumsi pati sagu dalam negeri saat ini hanya sekitar 210 ribu ton atau baru 4–5 persen dari potensi produksi (Sumaryono 2007).

Daerah Maluku merupakan salah satu kawasan utama sagu di Indonesia dengan luas areal sagu sekitar 53 866 ha. Hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Maluku tersebar lahan sagu. Areal sagu terluas yaitu 35 811 ha (66.48%) terdapat di Kabupaten Seram Bagian Timur, menyusul Kabupaten Seram Bagian Barat 8 410 ha (15.61%), Kabupaten Maluku Tengah 5 228 ha (9.71%), Kepulauan Aru 1 318 ha (2.45%), Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan berturut-turut 1 312 ha (2.44%) dan 1 287 ha (2.39%). Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat memiliki areal sagu terkecil hanya 255 ha (0.47%) dan 245 ha (0.45%) (BPS–Prov. Maluku 2013).

(28)

Botani dan Habitat

Sagu (Metroxylon spp.) secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbunga dan berbuah satu kali (Hapaxanthic) dan tanaman sagu yang berbuah dan berbunga dua kali atau lebih (Pleonanthic). Golongan yang pertama sangat penting nilai ekonominya karena kandungan patinya tinggi (Haryanto dan Pangloli 1992). Sagu dari golongan Hapaxanthic terdiri dari lima varietas penting antara lain: Metroxylon sagu Rottboell (sagu Molat); Metroxylon rumphii Martius (sagu Tuni); M. sylvestre Mart. (sagu Ihur); M. longispinum Mart. (sagu Makanaru); dan M. microcanthum Mart. (sagu Duri rotan) (Haryanto dan Pangloli 1992). Dari kelima varietas tersebut, berdasarkan sifat morfologinya dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang batangnya tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb.) dan yang batangnya berduri (Metroxylon rumphii Mart.) (Bintoro 1999).

Secara umum sagu tumbuh dalam bentuk rumpun, memiliki bentuk pohon tegak dan tinggi batang bebas daun sekitar 10–20 m. Pada rumpun sagu rata-rata terdapat 1–8 batang sagu (Flach 1977 dalam Alfons dan Bustaman 2005). Batang sagu merupakan bagian terpenting dari tanaman sagu karena merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat pati. Ukuran batang sagu serta kandungan pati yang terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur, dan habitat pertumbuhannya. Semakin tua umur tanaman sagu maka kandungan pati dalam empulur semakin besar, dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga, sehingga para petani sagu dengan mudah dapat mengenali saat rendemen pati sagu mencapai maksimum. Pada umur 3-5 tahun empulur batang belum banyak mengakumulasi pati, tetapi pada umur 11 tahun keatas atau sekitar umur panen empulur sagu mengandung pati 15-20 persen (Haryanto dan Pangloli 1992).

Sagu dapat tumbuh baik pada daerah rawa air tawar, rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah marjinal dan lahan kritis yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (Suryana 2007 dalam Botanri et al. 2011).

Usaha Budidaya

Tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia umumnya masih merupakan hutan yang tumbuh liar. Kalaupun terdapat usaha budidaya sagu, masih dilakukan secara sangat terbatas, yaitu hanya dilakukan penanaman, setelah itu tidak ada tindakan budidaya lainnya, misalnya pemupukan. Karena usaha budidaya secara optimal belum dilakukan, maka hasil sagu yang diperoleh selama ini berasal dari pengolahan pohon-pohon sagu yang masih tumbuh liar pada kawasan yang letaknya terpencil di pedalaman (Taridala 1999).

(29)

Selain itu, penjarangan anakan juga berfungsi untuk mendukung pertumbuhan induk tanaman (Jong 2007 dalam Dewi 2009).

Di Maluku tumbuhan sagu merupakan komoditi kehutanan karena tumbuh secara alami dan belum dibudidayakan (Hutuely dan Bustaman 2008; Alfons 2011). Adapun tindakan pemeliharaan tanaman sagu dilakukan secara terbatas hanya pada rumpun yang dipanen batangnya untuk pengolahan empulur, atau saat pengambilan daun untuk atap rumah dan “gaba-gaba/pelepah untuk dinding rumah. Tindakan pemeliharaan yang dilakukan petani/penggarap adalah membersihkan gulma, memotong pelepah daun yang sudah tua, dan membersihkan pangkal pohon apabila hendak ditebang. Tindakan budidaya lainnya seperti pemupukan, pengaturan drainase, pemberantasan hama dan penyakit belum dilaksanakan (Alfons 2011).

Status Kepemilikan Lahan

Henanto (1992) dalam Taridala (1999) melaporkan mengenai hasil penelitiannya di daerah-daerah pertumbuhan sagu utama, bahwa pada umumnya hutan (kebun) sagu merupakan milik “keluarga”, marga (clan), dan hutan sagu milik desa. Setiap keluarga atau clan memiliki kebun sagu yang dikuasai sepenuhnya oleh keluarga atau marga atas dasar warisan dari orang tua. Anggota keluarga atau marga dapat mengolah sagu di areal milik keluarga masing-masing. Kebun sagu diwariskan secara patrilineal sesuai dengan sistem garis keturunan yang dianut. Sedangkan untuk lahan milik desa, masing-masing warga memiliki hak ulayat atas penggunaan tanah tersebut untuk keperluan berladang, berburu binatang hutan, dan pengumpulan hasil hutan lainnya.

Demikian pula menurut Pemda–Prov. Maluku (2008), di Maluku status lahan hutan sagu masyarakat dapat berupa tanah pusaka, tanah dati dan tanah negeri. Pada awalnya tanah sagu merupakan milik pemerintahan negeri (desa), kemudian berkembang menjadi tanah sagu yang diberikan kepada sekelompok marga. Dalam hal ini tanah sagu memiliki status tanah pemerintahan negeri atau tanah milik marga. Dalam perkembangannya, tanah dati semakin banyak berubah menjadi tanah pusaka yang dimiliki oleh individu. Hal ini terjadi manakala ada pembagian lahan dikalangan anggota keluarga atau marga tertentu, sehingga lahan yang ada (termasuk sagu) dibagikan kepada tiap individu.

Produksi dan Komposisi Kimia

Umumnya secara alamiah sagu bisa dipanen setelah berumur 8–10 tahun, namun jika dibudidayakan dengan baik umur panen ini bisa dipersingkat menjadi 6–7 tahun (Flach 1980 dalam Bustaman dan Susanto 2007). Setelah itu dengan kemampuan selalu menumbuhkan tunas-tunas baru, sagu dapat terus-menerus berproduksi secara ekonomis tanpa penanaman baru (Jong dan Widjono 2007).

(30)

mencapai setinggi 25 ton/ha/thn. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa komoditas pangan lainnya.

Menurut Tarigan (2001) dalam Alfons (2006), sagu sebagai bahan pangan memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 85.9 g/100 g dibandingkan bahan pangan beras (80.4 g), jagung (71.7 g), ubi kayu (23.7 g), dan kentang (23.7 g). Disamping karbohidrat yang tinggi, kandungan kalori sagu sekitar 357 kalori, relatif sama dengan kandungan kalori jagung (349 kalori) maupun kalori beras (366 kalori). Berlina dan Karouw (2003) dalam Malawat et al. (2008) menambahkan, bahwa komposisi kimia pati sagu hampir sama dengan tepung singkong, tetapi kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung singkong. Adapun kandungan kimia pati sagu per 100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan

Komponen Jumlah

Kalori (Kkal) 357

Protein (g) 0.7

Lemak (g) 0.2

Karbohidrat (g) 84.7

Air (g) 14

Fosfor (mg) 13

Kalsium (mg) 11

Besi (mg) 1.5

Vitamin B1 (mg) 0.01

Sumber: Berlina dan Karouw 2003 dalam Malawat et al. 2008

Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya

Agroindustri atau disebut juga agribisnis hilir merupakan bagian dari suatu kompleks sistem agribisnis, yakni merupakan salah satu subsistem agribisnis yang saling terkait satu sama lain dengan subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis usahatani, dan subsistem jasa penunjang. Agroindustri adalah kegiatan terkait langsung dengan pertanian primer (on-farm business), karena agroindustri merupakan kegiatan industri yang mengolah produk primer sektor pertanian menjadi produk olahan (intermediate, finished product) beserta perdagangannya (whole seller, retailer) dan konsumennya (Saragih 2010).

(31)

Adapun agroindustri adalah kegiatan dengan ciri-ciri: (a) meningkatkan nilai tambah; (b) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan; (c) meningkatkan daya simpan; dan (d) menambah pendapatan dan keuntungan produsen (Hicks 1995 dalam Tarigan dan Ariningsih 2007). Struktur agroindustri menurut kriteria jumlah tenaga kerja terdiri dari: (1) Industri Rumah Tangga dengan tenaga kerja berjumlah 1–4 orang; (2) Industri Kecil, 5–19 orang; (3) Industri Menengah, 20–99 orang; dan (4) Industri Besar, 100 orang ke atas (Supriyati dan Suryani 2006).

Berdasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan agroindustri termasuk pada kegiatan yang melakukan perubahan bentuk. Sagu yang diolah dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri. Menurut Taridala (1999), sagu dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri modern baik industri pangan maupun industri non-pangan, yaitu sebagai substitusi dari penggunaan jenis tepung lain yang selama ini banyak dipenuhi kebutuhannya dari kegiatan impor. Bahkan hasil ikutan ataupun limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan sagu masih dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan (Lampiran 1).

Sebagai bahan makanan pokok (staple food), di Maluku sagu dikonsumsi sehari-hari dalam bentuk papeda, sagu lempeng, sinoli, dan tutupola (Louhenapessy et al. 2010). Pati sagu yang diolah sebagai makanan pokok biasanya dikonsumsi bersama-sama dengan sayuran maupun lauk-pauk (terutama ikan, daging, dan sumber protein lainnya yang nilai gizinya sangat tinggi). Dengan demikian secara kualitas kandungan gizi lauk pauk yang dikonsumsi dengan makanan pokok dari sagu dapat menutupi kandungan gizi yang relatif rendah dari sagu (Taridala 1999). Selain itu, pati sagu juga digunakan dalam industri rumah tangga untuk pembuatan makanan ringan seperti bagea, bangket sagu, sagu gula, sarut, dan sagu tumbuk. Serta dapat juga diolah menjadi penganan basah berupa buburnee, dan bubur sagu (Alfons dan Bustaman 2005; Malawat et al. 2008).

Dalam industri pangan lainnya, tepung sagu dapat digunakan sebagai bahan baku makanan ringan (empek-empek, bakso, onde-onde, dodol, cendol, serta berbagai penganan lainnya), mie, minuman sagu bernutrisi, dan sebagai substitusi tepung gandum dalam memproduksi kue, roti tawar, biskuit, dan cracker. Hal ini memungkinkan berkurangnya impor terigu dari tahun ke tahun sehingga akan menghemat devisa negara (Louhenapessy et al. 2010; Djoefrie et al. 2013).

(32)

Pengolahan dan Pemasaran Sagu

Pengolahan Sagu Menjadi Pati Sagu Basah

Sebelum dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan, pati sagu terlebih dulu harus diekstrak dari batang sagu. Pengolahan pati sagu dapat dilakukan secara tradisional, semi-mekanis dan mekanis (Ratnaningsih et al. 2010). Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, proses pengolahan pati sagu yang dilakukan di Maluku dapat dikelompokkan atas pengolahan secara tradisional dan semi mekanis (Alfons dan Bustaman 2005).

Tahapan proses pengolahan pati sagu secara tradisional meliputi penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan batang, penokokan atau penghancuran empulur, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan pati sagu. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan pati sagu secara tradisional masih sederhana, yaitu terdiri atas: (1) kapak dan parang untuk penebangan pohon; (2) nani untuk penghancuran empulur sagu; dan (3) goti untuk proses ekstraksi pati sagu (pemerasan, penyaringan, dan pengendapan). Nani terbuat dari bambu dan kayu, sedangkan goti terdiri atas: (1) tawaer terbuat dari kulit batang sagu (waa) sebagai wadah pengendapan pati sagu; (2) sahani (bagian pangkal daun sagu) dan runut kelapa (leaves basket, semacam jala yang membungkus pelepah kelapa) sebagai wadah pemerasan dan penyaringan pati sagu (Alfons dan Bustaman 2005).

Tahapan akhir dari proses pengolahan pati sagu yakni pengemasan. Pati yang dihasilkan masih dalam keadaan basah, kemudian dikemas dalam wadah yang disebut tumang. Tumang terbuat dari anyaman daun sagu, berbentuk silinder dengan diameter alas lebih besar dibandingkan dengan diameter atas dan bagian alas tertutup. Ukuran tumang bervariasi dengan panjang 25–50 cm, diameter alas 20–30 cm, dan diameter atas 15–25 cm. Berat tumang yang terisi pati basah berkisar 10–15 kg (Alfons dan Bustaman 2005).

Pengolahan pati sagu secara semi-mekanis prinsip kerjanya sama dengan pengolahan secara tradisional, hanya pada bagian tertentu menggunakan alat mesin. Misalnya penebangan pohon sagu menggunakan mesin “chainsow” dan penghancur empulur sagu menggunakan mesin parut, sedangkan proses pemerasan serbuk empulur dan pengendapan pati sagu tetap menggunakan wadah/alat yang sama yaitu “goti”. Adapun pengolahan pati sagu secara semi mekanis lebih efisien dalam penggunaan tenaga dan waktu dibandingkan dengan pengolahan secara tradisional (Alfons dan Bustaman 2005). Sedang pengolahan secara mekanis, semua komponen dan peralatan digerakkan secara mekanis dalam suatu sistem terintegrasi yang berkesinambungan. Pengolahan ini biasanya dilakukan oleh pabrik-pabrik pengolah sagu berkapasitas besar (Alfons dan Bustaman 2005; Ratnaningsih et al. 2010).

Pengolahan Pati Sagu Basah Menjadi Tepung Sagu

(33)

harus dipahami adalah bahwa pati sagu basah dapat berubah bentuk menjadi jel oleh karena peningkatan suhu secara drastis dan dalam waktu yang melebihi kecepatan penguapan partikel airnya (Sialana 2008).

Sagu basah yang dipergunakan dalam memproduksi tepung sagu harus kembali dibersihkan dengan air tawar dari sumber yang terjamin kebersihannya. Air sungai yang dipakai dalam proses pembuatan sagu basah belum terjamin bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.

Proses selanjutnya adalah evaporasi. Proses evaporasi dilakukan sebanyak dua tahap dalam pembuatan produk tepung sagu dan harus dilakukan dengan benar dan tepat. Evaporasi tahap pertama terdiri dari dua metode yakni metode suhu kamar dan atau metode panas. Metode suhu kamar menggunakan meja evaporasi kayu, sementara metode panas menggunakan meja evaporasi papan dan seng serta lampu petromax sebagai sumber panasnya.

Pada metode suhu kamar pati dibiarkan tersebar di atas meja atau media datar tertentu, ditutupi pada bagian atasnya, dan tidak secara langsung dikenai sinar matahari. Pati kemudian dibiarkan selama minimal 15 jam. Sedangkan metode panas dilakukan dengan bantuan tungku pemanas. Metode ini sebenarnya mengadopsi teknik sederhana yang biasa dilakukan masyarakat Maluku untuk mengeringkan produk perikanan atau pertanian pada musim penghujan. Tungku terbuat dari kayu dan papan atau triplex, yang pada bagian atasnya ditutupi dengan lapisan seng datar. Pada bagian bawah tungku, diberi ruang untuk meletakkan sumber panas. Dalam proses ini, sumber panas sebaiknya berasal dari alat atau media yang mudah dikontrol. Secara sederhana, proses ini sangat efektif bila menggunakan lampu petromax sebagai sumber panasnya. Perlakuan ini diberlakukan hingga tepung menjadi setengah kering.

Evaporasi tahap kedua adalah pengeringan dengan menggunakan oven pengering. Oven terbuat dari bahan alumunium yang memungkinkan produk bebas dari kontaminasi material korosif. Tahapan ini merupakan proses pemanasan dan penguapan yang dilakukan secara terus menerus dalam rentang waktu pengeringan pati sagu hingga menjadi kering (berkadar air 12%). Untuk mempertahankan rendemen, maka perhitungan lama pemanasan harus dilakukan dengan tepat (Sialana 2008). Adapun diagram alir proses pengolahan sagu basah menjadi tepung sagu dengan teknologi sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.

(34)

Gambar 2 Diagram alir proses pengolahan sagu basah dan tepung sagu kering dengan teknologi sederhana

Terkait dengan keamanan dan mutu produk, tepung sagu telah melalui proses uji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM. Hasil uji mikrobiologi dan kimia yang dilakukan di laboratorium pengujian pangan BPOM-Ambon terhadap produk tepung sagu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3 Hasil uji lab terhadap produk tepung sagu Hasil pemerian Uji kimia Uji mikrobiologi Bentuk : serbuk, halus lainnya. Oleh karenanya penentuan standar mutu tepung sagu diperlukan agar dalam penggunaannya sebagai bahan makanan dapat menjamin keselamatan konsumen. Mengenai hal tersebut Badan Standarisasi Nasional pun telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu tepung sagu yang dapat dilihat pada Lampiran 2.

Sumber: Diolah dari Alfons dan Bustaman 2005; Sialana 2008

(35)

Pemasaran Sagu

Astana et al. (1992) dalam Taridala (1999) mengemukakan bahwa pasar sagu dalam negeri selama ini belum berkembang. Umumnya produksi sagu di daerah-daerah produsen hanya dipasarkan untuk mencukupi kebutuhan daerah produsen itu sendiri, kecuali daerah Riau dan Maluku. Produksi sagu kedua daerah ini, disamping dikonsumsi sendiri, juga dipasarkan ke Jawa melalui Cirebon, Surabaya, dan Gresik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produksi sagu yang beredar di pasaran seluruhnya hanya dikonsumsi oleh rumahtangga dan industri skala kecil. Menurut Taridala (1999), pemasaran dari hasil sagu yang dihasilkan umumnya dalam bentuk “basah”, masih dilakukan secara lokal, yaitu dibawa dari lokasi produksi di pedesaan ke perkotaan di daerah yang sama. Kalaupun dibawa ke daerah lain, ini digunakan bukan sebagai bahan konsumsi pokok, tetapi sebagai bahan baku pada industri-industri pangan skala kecil.

Menurut Timisela (2006), di Maluku pemasaran produk sagu hanya terjadi antar daerah di Maluku dan sebagian kecil sudah dipasarkan ke luar Maluku. Produk sagu dipasarkan dengan rantai pemasaran yang bervariasi dan tingkat harga rata-rata sama untuk semua produsen. Alfons dan Bustaman (2005) mengemukakan, pemasaran hasil pati sagu basah oleh produsen biasanya dijual ke tetangga, pedagang pengumpul, pasar kecamatan, pasar kabupaten, dan atau pasar provinsi. Disamping sagu basah, produk ikutan dari tepung sagu yang dipasarkan berupa kue-kue/makanan jajanan seperti sagu lempeng, sarut, bagea, dan sagu tumbuk.

Pengembangan Produk

Menurut Tjiptono (2008), dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan penjualan, setiap perusahaan perlu mengadakan usaha pengembangan produk yang dihasilkan ke arah yang lebih baik, sehingga memberikan daya guna, daya pemuas dan daya tarik yang lebih besar. Cara dan penyediaan produk yang tepat bagi pasar yang dituju, dapat memuaskan para konsumennya dan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang melalui peningkatan penjualan.

Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan perusahaan dalam mengembangkan produk barunya. Pertama, produk yang dikembangkan secara kreatif, artinya produk dikembangkan dari produk yang sudah ada. Kedua, produk yang muncul pertama kali dari penemuan-penemuan para pendahulu yang dianggap sebagai penemuan inovatif. Pada produk consumer goods, produk kreatif juga berarti produk yang diciptakan dengan cara meniru produk yang sudah ada dari perusahaan itu sendiri maupun perusahaan lain. Produk diubah menjadi produk yang lebih banyak isinya, kemasan produk diubah, atau teknologi produksinya diubah dengan menggunakan mesin yang lebih modern (Royan 2007 dalam Wirawan 2009).

(36)

menciptakan efek “produk baru”. Jika konsumen mengenali perbedaannya, maka itu merupakan produk baru bagi mereka.

Menurut Kotler (2005) pengembangan produk memerlukan pendefinisian manfaat-manfaat yang ingin ditawarkan. Manfaat-manfaat tersebut kemudian dikomunikasikan dan disampaikan melalui atribut-atribut produk, seperti kualitas, fitur, serta gaya, dan desain. Kualitas produk didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk melakukan fungsi-fungsinya. Kemampuan itu meliputi daya tahan, kehandalan, ketelitian yang dihasilkan, kemudahan dioperasikan dan diperbaiki, dan atribut lain yang berharga pada produk secara keseluruhan.

Sialana (2008) mengemukakan bahwa inovasi pada faktor produk dibutuhkan untuk mempercepat akselerasi ketertarikan konsumen terhadap produk sagu. Kegiatan ini diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan dan turn-over produk dari produsennya (petani sagu atau masyarakat desa).

Sejatinya produk tepung sagu kering merupakan produk orisinil (pati sagu basah) yang kemudian dimodifikasi dari segi atribut tekstur maupun atribut kemasan sehingga menimbulkan efek produk baru. Adapun manfaat yang ditawarkan dari tepung sagu diantaranya selain sebagai bahan pembuat pangan, dapat juga sebagai bahan campuran adonan kue serta minuman bernutrisi, praktis dalam penyajian, mudah disimpan, dan fleksibel untuk dibawa (Polnaya dan Timisela 2008; Sialana 2008).

Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen merupakan hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Secara sederhana, studi perilaku konsumen meliputi hal-hal tentang apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membelinya, kapan, dan di mana membelinya, berapa sering mereka membelinya, dan seberapa sering konsumen menggunakannya (Sumarwan 2011). Engel et al. (1994) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Demikian pula menurut Schiffman dan Kanuk (2000), istilah perilaku konsumen diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.

Proses keputusan pembelian oleh konsumen dimulai dengan adanya pengenalan kebutuhan. Dengan adanya kebutuhan yang harus dipenuhi maka konsumen akan berusaha untuk mencari produk yang dapat mengatasi masalah yang mereka rasakan. Misalnya pada konsumen teh dalam botol, alasan utama mereka untuk membeli adalah adanya rasa haus yang dapat dihilangkan dengan mengkonsumsi produk tersebut (Agustina 2004), dan konsumen virgin coconut oil (VCO) yang mengkonsumsi produk karena adanya kebutuhan untuk mengobati penyakit (Prawaka 2007). Demikian pula dengan konsumen beras organik (Rusma 2005), ikan segar (Gunawan 2006), dan daging ayam buras (Nylidia 2007), alasan utama mereka membeli dan mengkonsumsi produk karena untuk menjaga kesehatan serta memenuhi kebutuhan gizi dan protein hewani.

(37)

didapatkan dari berbagai sumber, misalnya dari penjual (Yoesdiarti 2003), media cetak maupun elektronik (Agustina 2004; Atmojo 2012), teman dan tetangga (Rusma 2005; Prawaka 2007), pengalaman sendiri (Gunawan 2006), dari keluarga (Nylidia 2007). Tahap selanjutnya, konsumen akan melakukan evaluasi alternatif yakni dengan menetapkan kriteria-kriteria yang relevan untuk mengambil keputusan. Kriteria yang dijadikan pertimbangan awal dalam memilih produk antara lain manfaat/khasiat kesehatan, lokasi penjualan (Yoesdiarti 2003; Prawaka 2007), rasa (Agustina 2004; Rusma 2005; Nylidia 2007; Atmojo 2012), serta harga dan mutu (Gunawan 2006),

Pada tahap pembelian, ada yang dilakukan secara terencana, maupun disaat persediaan sudah habis (Rusma 2005; Nylidia 2007; Atmojo 2012), serta ada juga yang tidak terencana/mendadak (Yoesdiarti 2003; Agustina 2004), tempat pembelian yang biasanya didatangi adalah pasar tradisional (Nylidia 2007), pasar moderen (Gunawan 2006; Atmojo 2012), dan penjual langsung (Yoesdiarti 2003; Rusma 2005). Setelah melakukan pembelian, konsumen akan mengevaluasi apakah hasil yang didapat memuaskan atau tidak. Jika memuaskan maka terjadi peningkatan loyalitas terhadap produk dan adanya pembelian ulang. Sebagian besar dari penelitian yang telah dilakukan tersebut, mayoritas responden/ konsumen menyatakan puas terhadap produk yang dikonsumsi.

Sikap Konsumen terhadap Produk

Sikap memiliki peranan penting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi keputusan konsumen. Istilah pembentukan sikap konsumen seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan dan perilaku. Kepercayaan dan perilaku konsumen juga terkait dengan konsep atribut produk (product attribute). Atribut produk adalah karateristik dari suatu produk. Konsumen biasanya memiliki kepercayaan terhadap atribut suatu produk. Kepercayaan konsumen adalah pengetahuan konsumen mengenai suatu objek, atribut dan manfaatnya (Mowen dan Minor 1998).

Adapun penelitian terkait sikap konsumen terhadap suatu produk telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Yoesdiarti (2003), Agustina (2004), Nylidia (2007), dan Atmojo (2012). Agustina (2004) dan Atmojo (2012) menganalisis sikap konsumen terhadap produk minuman teh. Agustina (2004) menganalisis sikap konsumen terhadap produk teh dalam botol, sedangkan Atmojo (2012) meneliti sikap konsumen terhadap teh celup merek Sarimurni.

(38)

Demikian pula penelitian sikap konsumen terhadap teh celup merek Sarimurni (Atmojo 2012), pada pembahasannya dibandingkan dengan teh celup merek Sosro. Berdasarkan analisis sikap Fishbein, konsumen memberikan nilai kepentingan yang tinggi secara berurutan pada atribut rasa, aroma, kejelasan tanggal kedaluwarsa, khasiat, dan kemudahan mendapatkan, sedangkan atribut iklan mendapatkan nilai kepercayaan yang terendah dari konsumen. Sikap responden terhadap kedua merek adalah baik. Namun oleh konsumen merek Sarimurni dinilai lebih baik dibandingkan merek Sosro karena unggul pada kinerja atribut warna, aroma, kejelasan informasi komposisi, kejelasan tanggal kedaluwarsa, desain kemasan, khasiat, iklan, dan tidak unggul pada atribut pilihan rasa, harga, merek, dan kemudahan mendapatkan.

Yoesdiarti (2003) menganalisis sikap konsumen terhadap atribut susu fermentasi kefir merek Biokefir. Analisis sikap Angka Ideal menyimpulkan bahwa lima atribut yang dianggap paling penting oleh konsumen sampai dengan yang paling tidak penting adalah manfaat kesehatan, higienitas, kualitas/daya tahan, kemudahan memperoleh, dan harga. Menurut konsumen, lima atribut produk yang dianggap paling mendekati ideal sampai dengan yang paling tidak mendekati ideal adalah rasa manis, rasa asam, cita rasa buah, aroma, dan kekentalan. Analisis terpisah antara laki-laki dan perempuan menghasilkan bahwa konsumen laki-laki lebih mendukung Biokefir daripada perempuan.

Adapun Nylidia (2007) menganalisis sikap konsumen terhadap daging ayam buras. Berdasarkan analisis Fishbein, sikap responden baik terhadap keseluruhan atribut daging ayam buras. Daging ayam buras dinilai lebih baik dibandingkan dengan daging ayam broiler karena disukai oleh konsumen terutama rasa, kadar lemak, dan kepadatan daging yang menjadi alasan utama dalam membeli, namun demikian sikap positif pun dimiliki daging ayam broiler yaitu ketersediaan, kemudahan memperoleh, dan harga yang lebih terjangkau.

Preferensi Konsumen terhadap Atribut Produk

Preferensi konsumen berhubungan dengan harapan konsumen akan suatu produk yang disukainya. Menurut Adiyoga dan Nurmalinda (2012) karakteristik kualitas suatu produk yang diinginkan konsumen dapat diperoleh melalui pengkajian terhadap perilaku konsumen berdasarkan pendekatan konsep atribut produk.

Adapun preferensi konsumen akan atribut produk yang disukai dapat diestimasi dengan menggunakan metode Conjoint. Metode analisis Conjoint

didasarkan pada gagasan responden memberikan penilaian suatu produk dengan menggabungkan jumlah nilai yang berbeda dari masing-masing atribut. Analisis Conjoint secara luas telah digunakan dalam menganalisis preferensi konsumen di sektor pertanian dan pangan, misalnya untuk udang (Harrison et al. 1998), apel (Wang dan Sun 2003; Cerda et al. 2012), susu (Wang dan Sun 2003; Nasution 2009), minyak goreng (Ginting 2011), daging domba (Imami et al. 2011), dan daging broiler (Kwadzo et al. 2013).

(39)

Serikat. Hasil analisis Conjoint menunjukkan bahwa responden memiliki preferensi yang relatif kuat untuk atribut bentuk, yakni berupa produk daging udang segar (never frozen) yang dicincang sebagai bahan dasar sup. Selanjutnya atribut harga menempati urutan yang kedua. Demikian juga untuk isian menu seafood yang lain, atribut bentuk menempati urutan pertama, selanjutnya adalah atribut harga. Adapun atribut rasa oleh responden dianggap kurang penting. Harga yang diinginkan antara 30% dan 50% dari harga udang segar. Khusus untuk isian menu seafood yang lain, produk beku menunjukkan hasil yang juga signifikan dan positif. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat juga preferensi untuk produk yang storable. Oleh karena itu, produk beku untuk isian (menu

seafood yang lain) dapat diterima pembeli jika karakteristik kualitas produk segar dipertahankan.

Wang dan Sun (2003) meneliti preferensi dan permintaan konsumen akan pangan organik khususnya apel organik dan susu di Vermont. Hasil analisis Conjoint menunjukkan bahwa harga dianggap sebagai atribut yang penting bagi konsumen apel, diikuti oleh metode produksi, dan lokasi produksi. Bagi konsumen pangan organik, lokasi produksi (yakni di Vermont) merupakan faktor penting bagi mereka dan menganggap harga tidak terlalu penting serta bersedia membayar lebih untuk apel organik. Sementara bagi konsumen yang bukan konsumen pangan organik harga merupakan faktor penting bagi mereka. Adapun untuk produk susu, atribut yang dianggap penting bagi konsumen adalah lokasi produksi, serta disertifikasi oleh NOFA. Demikian juga dengan Cerda et al. (2012) menganalisis tentang preferensi konsumen akan apel organik. Hasil analisis Conjoint menunjukkan bahwa konsumen menginginkan apel dari varietas Fuji, produksi dengan metode organik, rasa yang manis, dengan harga yang paling murah.

Nasution (2009) menganalisis preferensi konsumen dalam mengkonsumsi susu cair. Berdasarkan hasil analisis Conjoint diketahui bahwa responden susu cair lebih menyukai susu cair dengan karakteristik rasa yang manis, memiliki label halal, tidak mengandung pengawet, memiliki kisaran harga antara Rp10 000–Rp15 000 per liter, dan dengan kemasan karton. Adapun Ginting (2011) menggunakan analisis Conjoint guna menganalisis preferensi konsumen terhadap minyak goreng padat. Analisis Conjoint menunjukkan hasil bahwa konsumen akan tertarik membeli minyak goreng jika minyak goreng tersebut memiliki kandungan nutrisi yang lengkap seperti Vitamin A, Vitamin B, dan kandungan nutrisi lainnya, dikemas dalam kemasan dua kilogram, dengan harga di bawah Rp25 000.

(40)

atribut harga yang rendah (GHS 6.00/2 kg daging), rasa daging yang lebih bercita rasa, tersedia secara teratur, dan akses penjualan yang dekat (500 m).

Pada dasarnya penelitian tentang sikap dan preferensi konsumen yang akan diteliti tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu yaitu belum ada penelitian yang mengkaji sikap dan preferensi konsumen terhadap produk tepung sagu (kering). Persamaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah alat analisis yang digunakan relatif sama. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, untuk mengidentifikasi karakteristik konsumen dan proses pengambilan keputusan pembelian. Kemudian analisis Multiatribut Fishbein untuk menganalisis sikap konsumen dalam mengkonsumsi tepung sagu. Selanjutnya analisis Conjoint untuk mengukur preferensi konsumen terhadap atribut tepung sagu. Melalui analisis ini akan diperoleh kombinasi atau komposisi atribut-atribut dari tepung sagu yang paling disukai konsumen.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sikap dan preferensi konsumen khususnya masyarakat Kota Ambon dalam mengkonsumsi tepung sagu. Sikap konsumen dapat mempengaruhi perilaku konsumen. Perilaku konsumen merupakan gambaran bagi produsen/penjual tepung sagu tentang keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen tepung sagu. Adapun proses keputusan pembelian konsumen tepung sagu dilakukan melalui beberapa tahapan. Agar produsen/penjual tepung sagu dapat menjual produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen, maka perlu diketahui atribut-atribut yang dipertimbangkan konsumen dalam keputusan pembelian tepung sagu. Atribut yang paling dipertimbangkan konsumen dari hasil Multiatribut Fishbein dapat dijabarkan lagi secara lebih spesifik dengan tarafnya (level) masing-masing sehingga diperoleh bentuk produk hipotetik (kombinasi atribut) yang akan dinilai berdasarkan kesukaan/keinginan konsumen. Produsen harus menyediakan produk yang lebih disukai/diinginkan konsumen, sehingga dengan demikian dapat muncul sikap yang baik/positif dari konsumen terhadap tepung sagu.

Konsep Perilaku Konsumen

Engel et al. (1994) menjelaskan perilaku konsumen sebagai suatu tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan barang dan jasa termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan tersebut. Tujuan mempelajari perilaku konsumen secara spesifik adalah agar dapat diketahui tingkah laku, kebiasaan, serta karakteristik konsumen. Dengan memperoleh informasi tersebut dapat disusun strategi dan program untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.

(41)

Proses Keputusan Pembelian

Menurut Engel et al. (1994), keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan pembelian tidak muncul begitu saja, akan tetapi melalui lima tahap proses keputusan, yaitu; pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, dan hasil dari keputusan pembelian.

1. Pengenalan kebutuhan

Pengenalan kebutuhan muncul ketika konsumen menghadapi suatu masalah, yaitu suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya terjadi. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal (Sumarwan 2011). Kebutuhan harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum dapat dikenali. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengaktifan kebutuhan diantaranya waktu, perubahan situasi, pemilikan produk, konsumsi produk, perbedaan individu, dan pengaruh pemasaran (Engel et al. 1994).

2. Pencarian informasi

Menurut Engel et al. (1994) pencarian informasi adalah aktivasi termotivasi dari pengetahuan yang tersimpan di dalam ingatan atau pemerolehan informasi dari lingkungan internal dan eksternal. Menurut Sumarwan (2011) pencarian informasi mulai dilakukan ketika konsumen memandang bahwa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dengan membeli dan mengkonsumsi suatu produk. Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan di dalam ingatannya (pencarian internal) dan mencari informasi dari luar (pencarian eksternal). Jika informasi yang didapat dari pencarian internal telah memadai untuk memberikan arah tindakan yang memuaskan, maka pencarian eksternal tidak diperlukan. Tetapi jika informasi dari pencarian internal belum mencukupi, konsumen

Gambar 3 Model pengambilan keputusan pembelian konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Budaya, Kelas sosial, Pengaruh Pribadi, Keluarga, Situasi

(42)

mungkin memutuskan untuk mengumpulkan informasi tambahan dari lingkungan (Engel et al. 1994).

Adapun sumber-sumber informasi konsumen terdiri dari empat kelompok (Kotler 2005):

a. Sumber pribadi: keluarga, teman, tetangga, kenalan

b. Sumber komersial: iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan, pajangan di toko c. Sumber publik: media massa, organisasi penentu peringkat konsumen d. Sumber pengalaman: penanganan, pemeriksaan, pemakaian produk. 3. Evaluasi alternatif

Evaluasi alternatif merupakan tahap konsumen mengevaluasi berbagai alternatif pilihan produk dan merek, dan memilihnya sesuai dengan yang diinginkan. Pada proses evaluasi alternatif, konsumen membandingkan berbagai pilihan yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam pemilihan alternatif, konsumen menggunakan dimensi atau atribut tertentu yang disebut dengan kriteria evaluasi yang terdiri dari harga, rasa, kemudahan memperoleh produk, kandungan gizi dan kriteria asal yang bersifat hedonik (prestise dan status). Kriteria ini biasanya bervariasi sesuai dengan kepentingan relatif mereka. Penentuan kriteria evaluasi tertentu yang akan digunakan oleh konsumen selama pengambilan keputusan akan bergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah pengaruh situasi, kesamaan alternatif pilihan, motivasi, keterlibatan dan pengetahuan. Setelah menentukan kriteria yang biasa digunakan untuk menilai alternatif, maka konsumen memutuskan alternatif mana yang akan dipertimbangkan. Tahap ini terdiri dari menentukan alternatif-alternatif pilihan, menilai alternatif-alternatif pilihan dan terakhir menyeleksi kaidah keputusan (Engel et al. 1994).

Seberapa rumit proses evaluasi alternatif yang dilakukan konsumen sangat tergantung kepada model pengambilan keputusan yang dijalani konsumen. Jika pengambilan keputusan adalah kebiasaan (habit), maka konsumen hanya membentuk keinginan untuk membeli ulang produk yang sama seperti yang telah dibeli sebelumnya. Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan mengenai produk yang akan dibelinya, mungkin konsumen lebih mengandalkan rekomendasi dari teman atau kerabatnya mengenai produk yang akan dibelinya (Sumarwan 2011).

4. Pembelian

Jika konsumen telah memutuskan alternatif yang akan dipilih dan mungkin penggantinya jika diperlukan, maka ia akan melakukan pembelian. Pembelian meliputi keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, apakah membeli atau tidak, kapan membeli, di mana membeli, dan bagaimana cara membayarnya. Menurut Sumarwan (2011), yang harus diperhatikan disini adalah keinginan yang sudah bulat untuk membeli suatu produk seringkali harus dibatalkan karena beberapa alasan, yaitu:

a. Motivasi yang berubah, konsumen mungkin merasakan bahwa kebutuhannya bisa terpenuhi tanpa harus membeli produk tersebut, atau ada kebutuhan lain yang lebih diprioritaskan.

b. Situasi yang berubah, misalnya tiba-tiba nilai dolar menjadi mahal, sehingga uang yang tersedia menjadi tidak cukup untuk membeli produk tersebut. c. Produk yang akan dibeli tidak tersedia, bisa menjadi penyebab konsumen

Gambar

Gambar 1 Pengeluaran rata-rata perkapita per bulan masyarakat Kota  Ambon untuk bahan pangan padi-padian dan umbi-umbian  Sumber: BPS-Kota Ambon 2012; 2014
Tabel 2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Gambar  2  Diagram  alir  proses  pengolahan  sagu  basah  dan  tepung  sagu  kering  dengan teknologi sederhana
Gambar 3 Model pengambilan keputusan pembelian konsumen dan faktor- faktor-faktor yang mempengaruhinya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengidentifikasi atribut-atribut mutu produk AMDK yang mempengaruhi konsurnen dalam n~emilth beberapa merek dagang produk air rninurn dalarn kemasan yang banyak

Maksud dari tabel di atas yaitu pada stimuli satu kombinasi bunga krisan yang mungkin menjadi preferensi konsumen adalah bunga krisan standart, warna merah, tampilan

produk atau jasa baik baru maupun lama yang paling disukai

Mengetahui kombinasi level atribut bunga krisan yang paling sesuai dengan. preferensi konsumen bunga krisan di

Maksud dari tabel diatas yaitu pada stimuli satu kombinasi andaliman yang mungkin menjadi preferensi konsumen adalah andaliman warna merah, kepadatan buah padat, ukuran

Harga yang paling tidak disukai oleh konsumen adalah harga > Rp18.000 yang menunjukkan nilai utility taraf atribut harga > Rp18.000 bernilai (-2,456).Grafik

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi konsumen, menganalisis preferensi konsumen serta untuk menganalisis kombinasi atribut yang paling disukai konsumen

Artinya: Bapak/ Ibu/Sdr/i menyatakan bahwa sangat suka dengan kombinasi level yang terdapat pada atribut bawang Merah segar yaitu Bawang merah dengan ukuran yang sedang,