Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
EVA SOFWATUN NIDA Nim: 108011000010
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
ABSTRAK
Eva Sofwatun Nida, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2013, Judul: Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) di MAN Tarumajaya.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
vii
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...iii
ABSTRAK ...iv
KATA PENGANTAR ...v
DAFTAR ISI ...vii
DAFTAR TABEL ...x
DAFTAR GRAFIK ...xi
DAFTAR LAMPIRAN ...xii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi Masalah ...4
C. Pembatasan Masalah ...5
D. Perumusan Masalah ...5
E. Tujuan Penelitian ...5
F. Kegunaan Penelitian ...5
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ...7
A. Deskripsi Teoritik...7
1. Teori Konsruktivisme ...7
a. Pengertian Teori Konstruktivisme ...7
b. Model-model Pembelajaran Konstruktivisme ...9
c. Prinsip Pembelajaran Kontruktivisme ...15
2. Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL) ...17
a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)...17
b. Tokoh Konstruktivistik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) ...18
c. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) ...19
viii
3. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) ...27
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam ...27
b. Tujuan Dan Fungsi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ...28
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ...30
d. Pengertian Mata Pelajaran Fiqih ...30
B. Hasil Penelitian yang Relevan ...31
C. Kerangka Berpikir ...32
D. Hipotesis Penelitian ...33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...34
A. Gambaran Umum Madrasah Aliyah MAN Tarumajaya ...34
1. Profil Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya...34
2. Sejarah Berdirinya Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya……….34
3. Visi dan Misi MAN Tarumajaya...36
4. Data Guru dan Pegawai………... 37
5. Kegiatan Kesiswaan………. 37
B. Tempat dan Waktu Penelitian ...38
C. Metode Penelitian dan Desain Penelitian ...38
D. Populasi dan Sampel ...39
E. Teknik Pengumpulan Data ...39
1. Observasi ...39
2. Tes Kognitif (Tes Pengetahuan) ...39
3. Kuesioner (Angket) ...40
F. Kontrol terhadap Validitas Internal ...40
1. Validitas ...40
ix
1. Uji Prasyarat ...43
2. Uji Hipotesis ...46
H. Hipotesis Statistik ...47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...48
A. Deskripsi Data ...48
1. Data Peningkatan Hasil Belajar ...48
2. Hasil Pretest dan Posttest dilihat dari Rata-Rata (Mean), Varian dan Standar Deviasi ...48
a. Data Kelompok Kelas Eksperimen ...48
b. Data Kelompok Kelas Kontrol ...50
c. Deskripsi Hasil belajar Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...52
d. Angket Mengenai Umpan Balik Siswa Atas Fasilitator Pelaksanaan Proses PBL ...52
B. Pengujian Prasyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ...54
1. Uji Normalitas ...54
2. Uji Homogenitas ...54
3. Uji Hipotesis ...55
C. Pembahasan terhadap Temuan Penelitian ...56
BAB V PENUTUP ...59
A. Kesimpulan ...59
B. Implikasi ...60
C. Saran-saran ...60
x
Tabel 2.2 Perbedaan PBL vs Metode lain ...25
Tabel 3.1 Data Guru dan Pegawai ...37
Tabel 3.2 Desain Penelitian ...38
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Validitas ...41
Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Realibilitas...41
Tabel 3.5 Kelompok Tingkat Kesukaran ...42
Tabel 3.6 Klasifikasi Daya Pembeda ...43
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Relative Pretest Kelompok Eksperimen ...49
Tabel 4.2: Distribusi Relatif Posttest kelas Eksperimen ...49
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Relatif Pretest Kelompok Kontrol ...50
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Posttest Kelas Kontrol ...51
Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol dan Eksperimen ...52
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ..54
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Homogenitas Pretest dan Uji Fisher ...55
Tabel 4.8 Hasil Pengujian Homogenitas Posttest dengan Uji Fisher ...55
xi
Grafik 4.2 Distribusi Relatif Posttest kelas Eksperimen ...49
Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Relatif Pretest Kelompok Kontrol ...50
Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Posttest Kelas Kontrol ...51
xii
PBL ...63
Lampiran 2 : Jumlah Jawaban Angket Siswa Secara Keseluruhan ...64
Lampiran 3 : Persentase Hasil Angket ...65
Lampiran 4 : Data Pretest Kelompok Kontrol ...66
Lampiran 5 : Data Pretest Kelompok Eksperimen ...68
Lampiran 6 : Data Posttest Kelompok Kontrol ...70
Lampiran 7 : Data Posttest Kelompok Eksperimen ...72
Lampiran 8 : Perhitungan Uji Normalitas Data Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...74
Lampiran 9 : Perhitungan Uji Homogenitas Data Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...75
Lampiran 10 : Perhitungan Uji Homogenitas Data Postest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...77
Lampiran 11 : Perhitungan Uji Validitas ...79
Lampiran 12 : Perhitungan Koefisien Realibilitas Uji coba Variabel X ...80
Lampiran 13 : Analisa Indeks Kesukaran dan Daya Pembeda ...81
Lampiran 14 : Analisis Daya Pembeda ...82
Lampiran 15 : Perhitungan Uji Hipotesis Penelitian (Data Pretest) ...83
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa
agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang
beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang, jujur, adil, disiplin, dan bertanggung jawab baik
personal maupun sosial. Proses pendidikan merupakan aktifitas yang sangat
panjang dan penuh dengan perencanaan yang matang dengan tujuan yang jelas.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta martabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Perancang pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam melakukan
tugasnya dapat menggunakan pandangan teori belajar dan teori pembelajaran
untuk dijadikan landasan atau acuan dalam memilih, menetapkan, dan
mengembangkan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tepat sesuai
karakteristik peserta didik.
“Pada dasarnya Pendidikan Agama Islam merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam
1
mengembangkan pandangan hidup Islami (bagaimana akan menjalani dan
memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam),
sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup
sehari-hari.”2
Akan tetapi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) masih
banyak menekankan pada aspek penalaran atau hapalan akan sangat berpengaruh
terhadap sikap yang dimunculkan anak. Menghafal tentu ada gunanya. Namun
kalau kemudian menjadi dominan dan seluruh mata pelajaran harus dihafal, maka
akan melahirkan anak-anak didik yang kurang kreatif dan tidak berani
mengungkapkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
kemudian siswa menjadi malas dan kurang bersemangat dalam mata pelajaran ini.
Dalam proses belajar mengajar berlangsung banyaknya siswa yang masih
merendahkan suatu mata pelajaran yang mereka anggap pelajaran itu mudah,
padahal pada kenyataannya mereka banyak yang belum mengerti apa yang telah
dipelajarinya. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik dapat memberikan
penjelasan yang jelas kepada anak didiknya serta memberikan contoh yang dapat
dipahami oleh siswa. Dalam menentukan model pembelajaran, seorang pendidik
juga harus menyesuaikan model pembelajaran dengan meteri yang akan diajarkan
oleh siswa, karena apabila model pembelajaran tersebut tidak sesuai dengan
meteri yang diajarkan akan mengakibatkan keadaan kelas tidak kondusif.
Penggunaan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MAN
atau Sederajat masih banyak menggunakan metode tradisional, yaitu ceramah
monoton, lepas dari sejarah, cenderung normatif. Pada proses belajar mengajar di
kelas guru selalu lebih aktif sedangkan siswa hanya sebagai pendengar saja. Oleh
karena itu perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pemelajar
(learner centered), yakni pendekatan tersebut dapat memberikan bekal
kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan dari
waktu ke waktu. Sedangkan pendekatan yang berpusat pada pendidik (teacher centered) sudah dianggap tradisional dan perlu diubah karena di dalam proses
2
pembelajaran tersebut peserta didik kurang aktif, sulit untuk mengembangkan
berpikir, kecakapan interpersonal dan kecakapan beradaptasi dengan baik.
Dan penggunaan media yang ada di sekolah tidak dimanfaatkan dengan
baik oleh guru padahal media tersebut dapat digunakan guru untuk menyampaikan
pesan atau informasi dalam proses belajar-mengajar agar merangsang perhatian
dan minat siswa dalam belajar.
“Pendidikan Agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik
dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar, dan tertarik untuk
terus-menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui
bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai
pengetahuan.”3
Dengan demikian, belajar Pendidikan Agama Islam sesuai dengan
kondisi yang ada untuk mencapai yang diharapkan.
Berdasarkan kenyataan diatas maka seorang pendidik harus dapat
merancang pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman
dan pengetahuan awal siswa hingga memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
Salah satunya adalah teori pembelajaran kontruktivisme.
Pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan pembelajaran yang
berbasis konstruktivistik yang dikenalkan oleh John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berbasis masalah (PBL)
terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna,
yang dapat memberi kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan
dan inkuiri.
“Pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan salah satu model
pembelajaran inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada peserta didik
dalam kondisi nyata. Karena dalam proses belajar mengajar tersebut keaktifan
siswa sangat ditekankan sedangkan guru menjadi fasilator yang mengarahkan
siswa dalam proses pembelajaran.”4
Dengan demikian pembelajaran berbasis
masalah ini menuntut siswa untuk mendalami tentang permasalahan tersebut
3
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2001), hal. 183
4
sehingga siswa dapat memberi kesimpulan sendiri atas situasi yang sedang terjadi
dan akhirnya siswa dapat menemukan pemecahan untuk masalah tersebut.
Model pembelajaran kontruktivisme akan membuat siswa dapat berpikir atau mengemukakan dengan bebas hal yang mereka ketahui mengenai konsep
yang sedang dipelajari yang telah ada sebelumnya, termotivasi, tidak merasa
jenuh untuk belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) dan mengkonstruk
pemahamannya sendiri. Dengan diberikannya kesempatan siswa untuk
mengkonstruk pengetahuannya dan mempertanggungjawabkan pemikirannya
maka siswa akan terlatih untuk menjadi pribadi yang kritis, kreatif serta
pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu konsep akan berlangsung lama.
Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran berbasis masalah (PBL)
dilihat dari segi kognitif dan afektif mengenai salah satu konsep Pendidikan
Agama Islam, yang mengambil judul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) di
MAN Tarumajaya”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat didefinisikan masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan konvensional yang dilakukan oleh guru cenderung satu arah
sehingga tidak memberikan keluasan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya sendiri.
2. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) masih banyak menekankan
pada aspek pengayaan pengetahuan (kognitif pada tingkat rendah),
pembentukan sikap (afektif), serta pembiasaan (psiko-motorik). Sehingga
tujuan untuk membentuk siswa agar memiliki pengetahuan tentang ajaran
agama Islam serta mampu mengaplikasikan dalam bentuk akhlak yang
3. Siswa merasa jenuh ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih)
berlangsung dan jarang mendengar penjelasan guru sehingga hasil belajar
selalu rendah.
4. Media yang ada disekolah tidak dimanfaatkan dengan baik oleh guru
C. Pembatasan Masalah
1. Penelitian ini akan melakukan penelitian mengenai teori konstruktivisme
difokuskan pada model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian, yaitu:
1. Adakah pengaruh hasil belajar antara pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan pendekatan
konvensional?
2. Apakah pengaruh model pembelajaran barbasis masalah (PBL) dapat
meningkatkan hasil belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) siswa?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan model pembelajaran berbasis masalah (PBL)
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih)
2. Untuk meningkatkan hasil belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) siswa
melalui model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
3. Untuk meningkatkan khazanah dalam bidang pembelajaran, terlebih pada
bidang Pendidikan Agama Islam.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru maupun
1. Bagi peneliti, Sebagai pengetahuan peneliti selama pelaksanaan dan
penyususnan skripsi.
2. Bagi guru ataupun calon guru, sebagai masukan dalam melaksanakan
proses pembelajaran Fiqih dengan memvariasikan berbagai strategi, model
pembelajaran, dan memanfaatkan media pembelajaran agar proses belajar
mengajar lebih hidup.
3. Bagi siswa, sebagai motivasi dalam proses belajar siswa baik dikelas
7 BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik 1. Teori Konsruktivisme
a. Pengertian Teori Konstruktivisme
“Teori kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri.”1
Secara sederhana kontruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu adalah konstruksi (bentukan) dari seseorang yang mengetahui
sesuatu karena pengetahuan bukanlah suatu fakta yang langsung dapat ditemukan
akan tetapi melalui dari suatu perumusan yang diciptakan seseorang yang sedang
mempelajari pengetahuan tersebut.2
Bahwa pengetahuan tersebut tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh
masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena
pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi akan tetapi suatu proses yang berkembang terus menurus. Jadi seorang belajar itu membentuk pengertian. “Teori pembelajaran yang didasarkan pada gagasan-gagasan ini disebut teori
pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning).”3
1
Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), cet ke-14, hal. 37
2
Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar,…. hal. 37
3
Anderson, dkk menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Robert E.
Slavin bahwa: “Inti teori kontruktivis ialah gagasan bahwa pelajar masing-masing
harus menemukan dan mengubah informasi yang rumit kalau mereka ingin
menjadikannya milik sendiri.”4 “Revolusi
konstruktivis mempunyai akar yang jauh dalam sejarah penddikan. Pendekatan itu sangat mengandalkan karya Piaget
dan Vygotsky sebagai sumber, yang keduanya menekankan bahwa perubahan
kognisi terjadi hanya ketika pengertian sebelumnya mengalami proses
ketidakseimbangan dari sudut informasi baru. Piaget dan Vygotsky juga
menekankan sifat sosial pembelajaran.”5
“Teori Pieget maupun Vygotsky adalah teori kontruktivis, yang
menekankan bahwa anak secara aktivis mengkontruksi atau menyusun
pengetahuan dan pemahaman, bukan penerima pasif.”6
Karena menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar merekonstruksi makna sesuatu, entah itu dari teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain.7
Sehubungan dengan itu maka ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar, yaitu: (1) Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami, (2) Konstruksi makna adalah proses yang terus-menerus, (3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu, (4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi yang baik untuk memacu belajar, (5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subyek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya, (6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subyek belajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.8 Jadi menurut teori kontruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. subyek juga mencari
sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
4
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,….. hal. 6
5
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,…. hal. 6
6
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet ke-3 hal. 66
7
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: KANISIUS, 1997), hal. 61
8
b. Model-model Pembelajaran Konstruktivisme 1) Pembelajaran Tindakan
a) Inglish menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis
Yamin bahwa: “Definisi action learning adalah proses pembelajaran dengan pertama kali mengumpulkan orang-orang
untuk mencari solusi dari suatu masalah, dan dalam proses
mencari solusi atau pemecahan masalah tersebut individu
ataupun kelompok ikut berkembang seiring dengan berjalannya
proses pembelajaran.”9
Dengan demikian pembelajaran ini menuntut siswa untuk
mencari solusi dari suatu permasalahan dikerjakan baik secara
individu atau kelompok adanya klien atau (orang yang
masalahnya dipecahkan), supervisor kelompok (orang yang
berhubungan langsung dengan klien untuk menumbuhkan kerja
sama dengan baik didalam untuk untuk memecahkan masalah),
proses (didalam proses tersebut mengamati masalah refleksi,
perumusan hipotesa dan tindakan).
b)“Pembelajaran tindakan banyak dipakai disekolah bisnis dan
sekolah keperawatan, misalnya Harvard Business, dan juga paling banyak digunakan dalam program pasca sarjana yang
khusus berkonsentrasi pada pengembangan sumber daya
manusia.”10
2) Pembelajaran Otentik
a) Smith dan Reagan menyatakan sebagaimana dikutip oleh H.
Martinis Yamin bahwa: “Dalam pembelajaran otentik,
pembelajar memberikan contoh atau soal yang dihadapi peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari dan situasi-situasi contoh
9
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 20
10
yang digunakan situasi-situasi dalam kehidupan nyata.”11
Dengan demikian, pembelajaran ini menuntut siswa untuk
memilah mana-mana informasi atau pengetahuan yang mereka
inginkan sesuai dengan keinginan peserta didik.
b)Ciri-ciri belajar sebagimana dikatakan Young didalam buku H.
Martinis Yamin, yaitu:
(1) Materi tersebut disesuaikan untuk mengatasi
masalah-masalah atau soal-soal yang biasa dihadapi dalam
kehidupan nyata.
(2) Peserta didik memilah informasi atau pengetahuan mana
yang mereka inginkan.12
3) Pembelajaran Berbasis Kasus
Smith dan Reagan menyatakan sebagaimana dikutip oleh H.
Martinis Yamin bahwa: Pembelajaran berbasis kasus hampir sama
dengan pembelajaran dengan menggunakan metode studi kasus,
bedanya peserta didik adalah orang yang memiliki masalah atau
problem bukan orang lain seperti dalam studi kasus. Untuk
memecahkan masalah tersebut, peserta didik memilih beberapa
teori atau prinsip lalu menggunakannya untuk memecahkan
masalah.13
Dengan demikian, pembelajaran ini biasanya digunakan apabila
ada suatu masalah yang sukar untuk dicari permasalahannya.
Menuntut peserta didik untuk mencari beberapa teori atau prinsip
untuk memecahkan masalah kasus tersebut juga dituangkan dalam
bentuk tulisan yang berisi informasi tentang kasus yang ingin
dipecahkan agar peserta didik mudah untuk mengikuti
perkembangan kasus tersebut.
11
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 22
12
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 22
13
4) Magang Kognitif
a) “Istilah ini merujuk pada proses yang digunakan seorang
pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian melalui
interaksi dengan pakar, apakah orang dewasa atau teman yang
lebih tua atau lebih maju.” 14
Dengan demikian, menuntut
peserta didik untuk melihat dan mendengarkan para ahli yang
memiliki kemampuan kognitif yang sedang didemonstrasikan.
b) “Para ahli teori konstruktivis menyarankan agar guru
mengalihkan model pengajaran dan pembelajaran yang
berlangsung lama dan sangat efektif ini ke kegiatan sehari-hari
diruang kelas, dengan melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang
rumit maupun membantu mereka melalui tugas-tugas ini.”15
5) Pembelajaran Kolaboratif
a) Robleyer, Edwars, dan Havriluk menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran kolaboratif atau sering juga disebut pembelajaran kooperatif
banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan konstruktif
dalam belajar.”16
b) “Pembelajaran kolaboratif atau kooperatif yakni pembelajaran
yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk
saling membantu dalam belajar. Kelompok belajar ini
bervariasi ukurannya, meskipun biasanya terdiri dari empat
orang.”17
Dengan demikian, pembelajaran ini siswa diajak untuk bekerja
sama dengan kelompok-kelompoknya untuk mencari
14
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hal. 7
15
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,…. hal. 7
16
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 25
17
pemahaman, makna, solusi dari pembelajaran yang sedang
dipelajarinya. Karena pembelajaran ini didasarkan pada model,
bahwa pengetahuan dapat dibuat dalam populasi dimana
anggota aktif berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan
mengambil asimetris peran.
6) Pembelajaran Penemuan
“Pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah komponen
penting pendekatan konstruktivis modern yang mempunyai sejarah
panjang dalam inovasi pendidikan.”18
Bergstrom, O’Brien dan Wilcox menyatakan sebagaimana dikutip
oleh Robert E. Slavin bahwa: Siswa didorong untuk terutama
belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mempunyai
pengalaman dan melakukan eksperimen yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip bagi diri sendiri.19 Dengan
demikian, pembelajaran penemuan ini menuntut siswa untuk
mengkaji, mencari dan menemukan informasi secara mandiri
terhadap suatu permasalahan yang timbul terkait dengan materi
pelajaran.
7) Permainan Epistemik
“Permainan epistemik adalah satu formulasi belajar struktur masyarakat untuk menciptakan pengetahuan. Aturan-aturan
permainan dapat mengambarkan perdefinisian pola budaya.
Kerjasama yang dilakukan untuk menghasilkan pola-pola budaya
18
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hal. 10
19
tertentu, pola yang dimaksud adalah peran serta dalam permainan
efistemik.”20
Dengan demikian, pembelajaran ini siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya. Karena pola epistemik itu bersifat “menyeluruh” didalam pola-pola tersebut berisikan pengetahuan-pengetahuan
yang baru dan dapat diterima oleh masyarakat.
8) Pembelajaran Generatif
Duffy dan Jonassen sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran generatif adalah pembelajaran yang dimulai dari pembelajar, pembelajar memberikan suatu masalah
atau soal yang harus dipecahkan oleh peserta didik, dan
menentukan strategi-strategi pemecahan masalah.”21 Dengan
demikian, dalam pembelajaran ini menuntut siswa untuk
menghubungkan gagasan baru terhadap pengetahuan awal dalam
memaknai bahan baru.
9) Microworld/Simulasi
a) Dell menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis
Yamin bahwa: “Simulasi adalah model-model dunia nyata
yang sederhana sampai model sintetik atau rekaan, namun
dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta didik
pindah dari model simulasi satu ke model yang lain, atau
bisa disebut dunia pengganti.”22
Dengan demikian, dalam menggunakan proses pembelajaran
ini tidak menggunakan benda atau kegiatan yang
sebenarnya, malainkan kegiatan yang bersifat pura-pura.
20 9
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 27
21
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,….hal. 28
22
Selain itu siswa juga diajak untuk berkompetensi dengan
lainnya, berpikir kritis dalam pengambilan keputusan.
b) Sedangkan menurut Wina Sanjaya bahwa: “Simulasi dapat
diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan
menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang
konsep, prinsip atau keterampilan tertentu.”23 Oleh karena
itu untuk megembangkan pemahaman dan penghayatan
terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat
bermanfaat.
10) Pembelajaran Berbasis Masalah/Problem Based Learning a) Hsiao menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis
Yamin bahwa: “PBL peserta didik belajar dengan diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.
Dalam proses ini, pembelajaran dimulai dengan pembelajar
membelajarkan isi pelajaran seperti pada belajar konvensional
yang biasa ditemui.”24
Dengan demikian, masalah tersebut mendorong siswa untuk
mencari, berpikir kritis dan berbagi informasi yang sesuai
dengan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan permasahan
tersebut mereka dapat belajar secara berkelompok atau
individual.
b) Agar proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) berjalan
dengan efektif, maka kelompok satu dengan kelompok
lainnya dapat bekerja sama, saling memotivasi, bertukar
pikiran, dan bersemangat dalam mengikuti kegiatan tersebut.
23
Wina sanjaya, Startegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pedidikan, (Jakarta: Kenacana, 2006), cet ke-6 hal.157
24
c) Duffy dan Cunningham menyatakan dalam buku H. Martinis
Yamin bahwa lima strategi dalam menggunakan
pembelajaran berbasis masalah (PBL):
(1) Permasalah sebagai satu kajian. Yakni, dalam proses belajar mengajar permasalah tersebut dipersentasikan
pada awal pembelajaran untuk menarik perhatian peserta
didik.
(2) Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.
Yakni, terlebih dahulu peserta didik membaca
permaslahan yang akan dipersentasikan atau
didiskusikan, kemudian dipergunakan untuk menjajaki
pemahaman mereka.
(3) Permasalahan sebagai contoh. Yakni, permasalahan tersebut didintegrasikan kedalam materi agar dapat
mengilustrasikan suatu konsep, prinsip dan prosedur.
(4) Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses. Yakni, permasalahan digunakan untuk mendorong peserta didik berpikir secara kritis dalam
memecahkan permasalahan tersebut.
(5) Permasalahan sebagai stimulus aktivitas otentik.
Yakni, permasalahan digunakan untuk mengembangkan
keterampilan seorang siswa dalam memecahkan
masalah, 25
c. Prinsip Pembelajaran Kontruktivisme
Pada abad 21 teori pembelajaran mengalami pergeseran paradigma
baik dari lembaga sekolah maupun perguruan tinggi mengarah tujuan
pembelajaran pada teori prilaku. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman
para pakar pembelajaran menyadari bahwa proses yang dilakukan adalah
menciptakan peserta didik belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar
25
untuk berbuat (learning to do), belajar untuk hidup bersama-sama (life to life together).26
“Vygotsky mengembangkan konsep zone of proximal development Peserta
didik memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda: Tingkat perkembangan pertama adalah perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.” Dengan demikian dalam tingkatan pertama adalah siswa tersebut menentukan
fungsi intelektualnya untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Sedangkan pada tingkatan perkembangan kedua si anak dapat mempelajari
sesuatu dapat bertanya kepada guru, orang tua, teman sebaya atau dengan orang
yang ahli pada bidangnya.
“Jean Piaget adalah seorang psikolog pertama yang menggunakan filsafat
konstruktivisme dalam proses belajar. Beliau menjelaskan bagaimana proses seseorang dalam teori perkembangan intelektual.”27 Dengan demikian
pembelajaran konstruktivisme itu adalah mempermudah siswa dalam belajar. Karena dalam proses pembelajaran dikelas menekankan keaktifan siswa itu lebih
penting dalam menentukan kesuksesan belajar sedangkan guru adalah sebagai
fasilator dan mengarahkan agar siswa tidak bingung dalam mengerjakan sesuatu
yang sedang dipelajarinya. Jean Piaget dan Lev Vygotsky mengembangkan
konsep konstruktivis yang dijadikan sandaran pendidikan abad 21.
“Kontruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun (to contruct) pengetahuan dan pemahaman. Menurut pandangan
kontruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan
pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.”28
26
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 13
27
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: KANISIUS, 1997), hal. 30
28
2. Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Metode sangat memegang peranan penting dalam pengajaran. Apapun
pendekatan dan model yang digunakan dalam proses belajar mengajar, maka harus
difasilitasi oleh metode mengajar. Menurut Nana Sudjana sebagaimana dikutip
oleh Darwyn Syah bahwa: “Metode ialah cara yang dipergunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran.”29
Miarso menyatakan sebagaimana dikutip oleh Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relative menetap pada diri orang
lain.”30
Dengan demikian pembelajaran tersebut sebagai usaha yang dilakukan oleh
pendidik atau orang dewasa lainnya untuk membuat siswa dapat belajar dan
mencapai hasil belajar yang maksimal.
“Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), merupakan
salah satu model pembelajaran inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada
peserta didik dalam kondisi dunia nyata.”31 “Salah satu metode yang banyak
diadopsi untuk menunjang pendekatan learner centered dan yang memberdayakan pemelajar adalah metode Problem Based Learning (PBL).”32 Oleh karena itu pendekatan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) ini bersumber dari
dimensi kreatif seseorang. Banyak terungkap bahwa setiap individu memiliki
potensi kreatif yang begitu besar dalam dirinya.
Tan, Wee dan Kek menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir
bahwa: “Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah (PBL) dimulai dengan
pemberian masalah, biasanya masalah memiliki konteks dengan dunia nyata,
pemelajar secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi
kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang
29
Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 2, hal. 133
30
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 70
31
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran…. hal. 146
32
terkait dengan masalah dan melaporkan masalah. Sementara pendidik lebih
banyak memfasilitasi.”33
Arends menyatakan tiga hasil belajar pembelajaran berbasis masalah
(PBL) sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin, yaitu:
1) Penyelidikan dan keterampilan melakukan pemecahan masalah
2) Belajar model pendekatan orang dewasa (androgogi) 3) Keterampilan belajar mandiri.34
b. Tokoh Konstruktivistik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
1) John Dewey, berpendapat bahwa dalam proses belajar mengajar peserta didik harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Peserta didik harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan
yang diberikan oleh guru. Akan tetapi peserta didik senantiasa
merasa haus akan pengetahuan.35
2) Jean Piaget, membenarkan bahwa anak-anak memiliki sifat keingintahuan dan terus menerus berusaha memahami di
sekelilingnya. Oleh karena itu peserta didik mengkonstruksikan
secara aktif refresentasi-refresentasi dibenaknya mengenai apa
yang telah peserta didik pelajari.36
3) Lev Semyonovich Vygotsky, “mengajukan teori yang dikenal
dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan dimensi psikologis. ZPD adalah jarak antara tingkat
perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial.”37
33
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 12
34
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 146
35
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 147
36
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 149
37
c. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
“Pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah lebih sulit karena
membutuhkan banyak latihan dan harus mengembalikan keputusan tertentu
salama perencanaan dan pelaksanaannya. Pembelajaran berbasis masalah (PBL)
mempesiapkan peserta didik untuk banyak berpikir untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan dalam kehidupan dunia nyata.”38
Dalam hal ini terdapat 7 (Tujuh) langkah pembelajaran pembelajaran
berbasis masalah (PBL), yaitu:
Langkah 1: Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas
Langkah pertama ini terlebih dahulu setiap anggota memahami
berbagai istilah dan konsep yang ada dalam masalah.39
Langkah 2: Merumuskan masalah
Fenomena yang ada dalam masalah menuntut penjelasan
hubungan-hubungan apa yang terjadi di antara fenomena itu. Karena
kadang-kadang masih ada yang harus diperjelas atau ada hubungan yang
masih belum nyata antara fenomenanya.40
Langkah 3: Menganalisis masalah
Langkah ketiga ini anggota mengeluarkan pengetauhan terkait apa
yang sudah dimiliki anggota tentang masalah. Adanya diskusi yang
membahas informasi yang tercantum dalam masalah dan ada pula
informasi yang ada dalam pemikiran anggota. Anggota kelompok
tersebut mendapat kesempatan untuk melatih bagaimana
menjelaskan, melihat alternatif, atau hipotesis yang terkait dengan
masalah.41
38
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 150
39
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke- 1, hal. 24
40
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 24
41
Langkah 4: Menata gagasan anda dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam
“Bagian yang telah dianalisis dilihat keterkaitannya satu sama lain, dikelompokkan; mana yang saling menunjang, mana yang
bertentangan dan sebagainya.”42
Langkah 5: Memformulasikan tujuan pembelajaran
“Kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok sudah tahu pengetahuan mana yang masih kurang, dan
mana yang masih belum jelas. Tujuan pembelajaran akan dikaitkan
dengan analisis masalah yang dibuat.”43
Langkah 6: Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi kelompok)
Langkah keenam ini si kelompok sudah tahu informasi apa yang
tidak dimiliki dan sudah mempunyai tujuan pembelajaran. Kini
saatnya mereka harus mencari informasi tambahan dimana setiap
anggota harus mampu belajar sendiri dengan efektif untuk tahapan
ini agar mendapatkan informasi yang relevan. Keaktifan setiap
anggota harus terbukti dengan laporan yang harus disampaikan oleh
setiap individu atau sekelompok yang bertanggung jawab atas setiap
tujuan pembelajaran.44
Langkah 7: Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru
“Pada langkah ketujuh ini kelompok sudah dapat membuat sintesis; menggabungkannya dan mengkombinasikan hal-hal yang relevan.”45
Ditahap ini, keterampilan yang dibutuhkan adalah bagaimana sisiwa
tersebut meringkas, mendiskusikan, dan meninjau ulang hasil diskusi
untuk nantinya dipersentasikan dalam bentuk paper atau makalah.
42
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 24
43
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 25
44
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 25
45
Dari sinilah kemampuan menulis dan mempersentasikan sangat
dibutuhkan dan sekaligus dikembangkan.
Untuk memfasilitasi ketujuh langkah-langkah pembelajaran
proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) dapat digunakan
pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
dimanfaatkan untuk memfasilitasi setiap langkah pembelajaran
berbasis masalah (PBL) dapat dilihat pada tabel 2.1 46
Tabel 2.1 Contoh-contoh Pertanyaan untuk Memfasilitasi (PBL)
Langkah 1:
Mengklarifikasi
istilah dan konsep
yang belum jelas
1) Apa yang Anda pikirkan atas pernyataan ini?
2) Apa yang terlintas pada pikiran Anda?
3) Apa yang sudah Anda ketahui atas masalah ini?
4) Apa pernyataan yang berupa fakta yang dapat kita
identifikasi?
5) Menurut Anda, apa maksud kalimat….?
6) Bisa Anda jelaskan lebih jauh tentang (konsep
1) Bagaimana Anda mengatakan dengan kalimat
sendiri….?
2) Bisa Anda gambarkan dengan kalimat sendiri….?
menata gagasan
3) Apakah kita bisa memastikan bahwa ….?
4) Anda bisa pikirkan hal yang lain, seperti.…?
5) Apakah kaitannya itu dengan yang anda katakan?
6) Apakah Anda sudah mempertimbangkan
kemungkinan yang ada?
7) Apakah kita punya data/pengetahuan yang cukup
untuk mengatakan bahwa?
2) Sudahkah Anda mendaftar semua pertanyaan
kunci?
3) Mengapa Anda anggap isi/tujuan ini penting?
4) Mengapa Anda menyertakan hal…?
5) Sumber apa saja yang Anda anggap bisa
2) Jelaskan apa yang Anda pahami atas….?
3) Apa yang anda maksudkan dengan…., bisa lebih
spesifik?
4) Bisa anda elaborasi lagi tentang….?
5) Seberapa valid dan dapat diandalkan (reliable) hal tersebut?
6) Seperti apa cara berfungsinya?
8) Jelaskan strategi yang anda buat!
9) Apa taruhannya kalau kita melakukan/tidak
melakukan itu?
3) Seberapa beda yang terjadi, kalau seandainya….
4) Sumber baru apa/mana yang Anda peroleh?
5) Solusi apa yang Anda usulkan untuk memenuhi
kriteria berikut?
6) Bagaimana cara menerapkannya di situasi yang
lain?
Amir bahwa: “Pendidikan bukanlah tujuan kita. Pendidikan harus mempersiapkan pemelajar untuk hidup. Maka dengan pembelajaran berbasis
masalah (PBL) peserta didik dapat membangun kecakapan hidup (life skills), terbiasa mengatur dirinya sendiri (self directed), berpikir metakognitif (reflektif
dengan pikiran dan tindakannya), berkomunikasi dan berbagai kecakapan
terkait.”47
Menurut Sudjana sebagaimana dikutip oleh Triatno bahwa: “Manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah.
47
Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan
menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku,
tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.”48
e. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Tan menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir berikut
dapat merangkum karakteristik yang tercakup dalam proses PBL:
1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran
2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang
disajikan secara mengembang (ill-strucured)
3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspective). Solusinya menuntut pemelajar menggunakan dan mendapatkan konsep dari
beberapa bab atau lintas ilmu ke bidang lainnya.
4) Masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di
ranah pembelajaran yang baru
5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning)
6) Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci
penting.
7) Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pemelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.49
Salah satu bedanya PBL dengan metode belajar yang konvensional. Bahwa
yang namanya belajar tidak hanya sekedar: mengingat (menghafal), meniru,
mencontoh. Dalam PBL yang namanya “masalah” tidak sekedar “latihan” yang
diberikan setelah contoh-contoh soal disajikan. Akan tetapi “masalah” dalam PBL
menuntut penjelasan atas sebuah fenomena.
48
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hal. 70-71
49
Savin, Badin & Moust Bouhuijs, Schmint menyatakan sebagaimana
dikutip oleh M. Taufiq Amir bahwa: “Pendekatan PBL berbeda dengan
pendekatan lain yang biasanya diberikan pendidik pada umumnya:”50
Tabel 2.2 Perbedaan PBL vs Metode Lain
Metode Belajar Deskripsi
1) Ceramah Informasi dipresentasikan dan didiskusikan oleh
pendidik dan pemelajar.
2) Kasus atau Studi Kasus Pembehasan kasus biasanya dilakukan diakhir
pembelajaran dan selalu disertai dengan pembahasan
dikelas tentang materi (dan sumber-sumbernya) atau
konsep terkait dengan kasus. Berbagai materi terkait
dan pertanyaan diberikan pada pemelajar.
3) PBL Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan
sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana
pemelajar mengidentifikasikan isu pembelajaran
sendiri untuk memecahkan masalah. Materi dan
konsep yang relevan ditemukan oleh pemelajar
sendiri.
f. Keunggulan PBL Ada di Perancangan Masalah
Wee dan Kek menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir bahwa: “Masalah yang diberikan haruslah dapat merangsang dan memicu pemelajar untuk menjalankan pembelajaran dengan baik. Masalah yang disajikan
oleh pendidik Dalam proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang baik,
memiliki ciri khas, yaitu:
1) Punya keaslian seperti di dunia kerja. Yakni masalah yang disajikan tidak jauh dari cerminan masalah yang dihadapi di dunia kerja. Oleh karena itu
50
peserta didik dapat memanfaatkannya apabila menjadi lulusan yang akan
bekerja.
2) Dibangun dengan memperhitungkan pengetahuan sebelumnya. Yakni masalah yang dirancang, dapat membangun kembali pemahaman si peserta
didik yang telah didapat sebelumnya. Maksudnya pengetahuan yang baru itu
dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dipelajarinya.
3) Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif. Masalah dalam PBL akan membuat pemelajar terdorong melakukan pemikiran yang
metakognitif. Peserta didik menjalankan proses pembelajaran berbasis
masalah (PBL) sekaligus menguji pemikirannya, mempertanyakannya,
mengkritisi gagasannya sendiri serta menjelajahi hal yang baru.
4) Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran. Yakni membuat suatu rancangan masalah tersebut dikemas dengan menarik agar si peserta
didik yang tadinya pasif menjadi aktif dan bertekad untuk menyelesaikan
permasalahannya.51
g. Kelemahan PBL
Selain adanya keunggulan dari pembelajaran berbasis masalah (PBL),
metode ini juga mempunyai kelamahan-kelemahan. Sebagaimana dikutip dalam
buku Darwyn Syah bahwa kelemahan pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu:
1) Sulit menetukan tingkat masalah yang disesuaikan dengan tingkat
pemahaman dan perkembangan siswa
2) Memakan waktu yang lama dan menyita waktu yang dipergunakan untuk jam
pelajaran lain.
3) Sulit mengubah pola belajar siswa dari menjadikan guru sebagai sumber
belajar utama kepada belajar utama kepada belajar dengan berpikir yang
membutuhkan lebih banyak lagi sumber belajar.52
51
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,…. hal. 32
52
“Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah (PBL) lebih sulit karena membutuhkan banyak latihan dan harus mengambil keputusan tertentu
selama perencanaan dan pelaksanaannya.”53
3. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam hendaklah ditanamkan sejak ia dalam lahir terlebih
pada masa kandungan. Sebab pendidikan pada masa kanak-kanak adalah masa
yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya untuk mencapai cita-cita yang
diinginkan sesuai dengan bakat dan minat anak itu sendiri.
“Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragam
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.”54
Zakiyah Daradjat menyatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid dan
Dian Andayani bahwa: “Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah suatu usaha untuk
membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran
agam Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya
dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.”55
Jadi,
Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik
agar tercapainya tujuan yang telah ditetapkan melalui pengajaran bimbingan atau
pelatihan bagi peserta didik untuk menyakini, memahami dan mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
“Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah pada dasarnya lebih
diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya
53
H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 150
54
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 130
55
berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.”56
Pendidikan atau pembelajaran adalah salah satu wahana yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. Jadi dalam
konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada hakikatnya tidak
seorangpun yang dapat membuat seseorang menjadi manusia yang bertaqwa,
cerdas dan lain-lain. Akan tetapi seseorang itu sendiri yang memilih, memutuskan
dan mengembangkan jalan hidupnya atas izin Allah SWT.57
b. Tujuan Dan Fungsi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
GBPP PAI 1994 menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk
bahwa: “Secara umum, Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk
“Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”58 Dengan demikian, tujuan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) menuntut siswa untuk menjadi
seorang muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia
bagi dirinya sendiri, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1999
sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk, bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam
(PAI) tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “Agar siswa memahami, menghayati
menyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim
yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”.59
56
Muhaimin, Haji, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Perkembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 313
57
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 184.
58
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,…. hal. 78
59
Pendidikan Agama Islam (PAI) di lingkungan sekolah atau madrasah
bertujuan untuk menumbuhkembangkan keimanan seseorang melalui pemberian
dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengamalan peserta didik
mengenai agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang
dalam keimanan, ketakwaan, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Jadi tujan pendidikan agama Islam itu adalah agar
siswa menjadi manusia yang muslim, bertaqwa dan beriman kepada Allah swt.
Pendidikan Agama Islam (PAI) haruslah menanamkan nilai-nilai islam, etika dan
moralitas agara mendapatkan keberhasilan hidup baik didunia maupun diakhirat.60
Departemen Agama menyatakan sebagaimana dikutip oleh Darwyn Syah,
dkk, bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam khususnya di Madrasah
berfungsi untuk:
1) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup
didunia dan akhirat.
2) Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak
mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu
dalam lingkungan keluarga.
3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial
melalui Pendidikan Agama Islam (PAI).
4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam
keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari
budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari.
6) Pengajaran tentang informasi dan pengetahuan Pendidikan Agama Islam,
serta sistem dan fungsionalnya.
7) Penyaluran siswa untuk mendalami Pendidikan Agama Islam ke lembaga
pendidikan yang lebih tinggi.61
60
Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 135
61
c. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
“Secara nasional untuk satuan pendidikan sekolah terdiri atas: Al
-Qur’an dan Hadist, Akidah Akhlak, Fiqih serta Tarikh dan kebudayaan Islam. Sedangakan ruang lingkup pendidikan agama Islam di Madrasah meliputi bidang
studi atau mata pelajaran: Al-Qur’an Hadist, Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah
Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.”62
Kurikulum 1994 menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk,
bahwa: “Ruang lingkup materi Pendidikan Agama Islam (PAI) pada dasarnya
mencakup tujuh unsur pokok, yaitu al-Qur’an Hadist, keimanan, syariah, ibadah,
muamalah, akhlak, dan tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkembagan politik.”
Pada kurikulum tahun 1999 menyatakan sebagaimana dikutip oleh
Muhaimin, dkk, bahwa: “Dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an,
keimanan, akhlak, Fiqih dan bimbingan ibadah, serta tarikh atau sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.”63
Dengan demikian, ruang lingkup pembelajaran PAI, yaitu:
Al-qur’an hadist, akidah akhlak, fiqih dan sejarah (tarikh). Masing-masing mata
pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi.
Peneliti membatasi penelitian ini dengan memilih salah satu dari bidang
studi Pendidikan Agama Islam (PAI), yakni mata pelajaran Fiqih.
d. Pengertian Mata Pelajaran Fiqih
“Secara bahasa fiqih berarti: Paham, atau pengertian yang mendalam, tentang maksud dan tujuan suatu perkataan dan perbuatan, bukan hanya sekedar
mengetahui lahiriah perkataan dan perbuatan itu”.64
Pengertian ini dipahami dari
kata fiqih yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah SWT:
62
Darwyn Syah, dkk, Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam,…. hal. 31
63
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 79
64
yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu
seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami." (QS. Huud: 91).
“Fiqih secara istilah syar’I, tidak jauh berbeda dengan pengertian lughowi tersebut. Hanya saja pengertian istilah ini, lebih terarah kepada pengertian khusus,
dari pada pengertian umum, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, yaitu:”65
ْك لا ةي علا ةيع ْرَّلا اكْحاْلاب عْلا اهتَلدا ن بست
“Ilmu tentang hukum-hukum syar’I, yang bersifat amaliah (praktis) yang diisbathkan dari dalil-dalilnya secara terperinci.”
Jadi, bahan pelajaran untuk Madrasah Aliyah dimaksudkan untuk
memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran
Islam, aspek hukum baik yang berupa ajaran ibadah maupun yang muamalah.
B. Hasil penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terkait pembelajaran dengan model pembelajaran
berbasis masalah (PBL), diantaranya sebagai berikut:
1. Hasil penelitian Eka Triyuningsih (106016100574), yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) diperoleh hasil rata-rata
ketercapaian indikator berpikir kritis yang lebih tinggi daripada hasil rata-rata
ketercapaian indikator kemampuan berpikir kritis sebelum digunakannya
model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL). Hal ini menunjukkan bahwa
65
pada perhitungan uji “t”, diperoleh harga thitung > ttabel (3,43 > 2,00) pada
derajat kebebasan (dk) = 70 dengan tarif signifikansi 5%.
2. Hasil penelitian Dwi Nurcahaya (107016201633), yang berjudul Pengaruh Problerm Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Mata Pelajaran Kimia. Melaksanakan penelitian yang menunjukan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah (PBL) berpengaruh positif terhadap
kemampuan berpikir siswa pada pembelajaran kimia. Secara umum
berdasarkan uji hipotesis yang didapat yaitu thitung sebesar 7,64 dan ttabel
sebesar 2,064 dengan taraf signifikasi = 0,05, karena thitung > ttabel maka Ha
diterima yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan strategi
PBL terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran kimia.
Sedangkan dari nilai N-gain diperoleh nilai sebesar 0,66 yang berarti
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran kimia cukup
baik atau sedang.
C. Kerangka Berpikir
Dari pembahasan terdahulu maka peneliti mempunyai argumentasi bahwa
pada proses belajar mengajar di kelas guru selalu lebih aktif sedangkan siswa
hanya sebagai pendengar saja. Oleh karena itu perlunya pendekatan yang menjadi
bekal kompetensi, ilmu pengetahauan dan kecakapan-kecakapan yang mereka
miliki agar beradaptasi dengan baik.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) membutuhkan pemahaman
dalam mempelajarinya, diharapkan siswa mampu menguasai materi yang
diberikan oleh guru, sehingga untuk menguasai materi pelajaran secara baik maka
guru harus bisa mengubah suasana belajar yang menyenangkan, maka dengan
pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran
inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada peserta didik dalam kondisi
nyata. Karena dalam proses belajar mengajar tersebut keaktifan siswa sangat
ditekankan sedangkan guru menjadi fasilator yang mengarahkan siswa dalam
Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah (PBL) ini menuntut
siswa untuk mendalami tentang permasalahan tersebut sehingga siswa dapat
memberi kesimpulan sendiri atas situasi yang sedang terjadi dan akhirnya siswa
dapat menemukan pemecahan untuk masalah tersebut. Upaya tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan siswa untuk melibat seluruh potensi siswa dalam
bentuk diskusi kelompok, mengeluarkan pendapat, tanya jawab, dan saling
bekerja sama. Karena dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak
hanya menyentuh ranah kognitif saja namun menyentuh ranah afeksi, yang
dimana diharapkan setelah siswa menguasai materi secara baik maka peserta didik
dapat merelisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
D. Hipotesis Penelitian
Untuk menguji ada atau tidaknya hubungan variabel X {model
pembelajaran berbasis masalah (PBL)} dengan variabel Y {mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (Fiqih)}, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai
berikut :
Ha = Terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan dengan model
pembelajaran berbasis masalah (PBL)
Ho = Tidak terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan dengan model
34 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya
1) Profil Madrasah Aliyah Negeri (MAN)Tarumajaya
Nama Sekolah : Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya
NSM : 131132160004
Kabupaten / Kota : Kabupaten Bekasi
Alamat : Jl. Tarumajaya Perumahan Fortune Garden Kp. Pomahan, Desa Setiamulya Kec. Tarumajaya
Telepon : (021) 98521632
Kode Pos : 17213
Status Madrasah : Negeri
Tahun Berdiri : 2007
Tahun Penegrian : 2009
Terakreditasi : -
Status Tanah : Hak Guna Pakai
2) Sejarah Berdirinya Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya
a. Pada tanggal 24 November 2006, sekolah tersebut didirikan atas
persetujuan Kepala Desa Tarumajaya dan Tokoh-Tokoh Masyarakat
setempat dan Pengawas Sekolah/Kepala KUA/Komite Sekolah.
b. Pada tanggal 27 November 2006, permohanan restu dengan mengirim
Tarumajaya. no. MA, i/062/PP.006/102/2006, dan mengirim surat
rekomendasi pendirian filial MAN 2 Bekasi yang berlokasi di Kec.
Tarumajaya. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten Bekasi, no.
MA.i/062/PP.006/224/2006. Serta mengirim surat rekomendasi
pendirian filial MAN Bekasi kepada Kepala Kanwil Departemen
Agama Propinsi Jawa Barat. No. MA.i/062/PP.006/224/2006.
c. Kurikulum MAN Kejuruan Negri Tarumajaya Bekasi
(Tanggal 1 Maret 2007), team sukses mendapat edaran dari Kepala
Mapenda Islam kantor wilayah provinsi Jawa Barat no.
Kw.10.4/3/PP.003/752/2007 tentang pendirian MAN. Maka sejak ada
edaran tersebut filial MAN 2 Tarumajaya berubah menjadi MAN
Tarumajaya, Bekasi.
(Tanggal 1 April 2007), penyelesaian dewan guru beserta tata usaha
MAN dirumah kediaman bpk. Ilyas Bustamiluddin, MA. Kp. Kelapa
Rt.01/10 Desa. Segara Jaya Tarumajaya. Dengan agenda acara
pengisian biodata dewan guru serta persyaratan kesediaan untuk
mengajar.
(Tanggal 24 April 2007), untuk lebih memantapkan keberadaan guru
MAN Tarumajaya, Bekasi. Maka diadakan rapat dewan guru yang
bertempat digedung SDN 02 Setia Mulia Tarumajaya.
(Tanggal 10 Mei 2007), team sukses mengadakan studi banding terkait
dengan kurikulum MAN, bertempat di SMK Negri 49 Jakarta.
(Tanggal 13 Juni 2007), proses kelengkapan administrasi guru yang
bertempat dikantor MAN. Kelengkapan guru meliputi: Surat lamaran,
daftar riwat hidup, fhoto copy, ijazah, dan transkip nilai, kartu kuning,
kartu keluarga, photo copy KTP dan pas fhoto 3 x 4, 4 x 6
masing-masing 2 lembar.
d. Rencana lokasi permanen MAN Bekasi (Madrasah Aliyah Keguruan
Tarumajaya, Bekasi).
(Tanggal 26 Februari 2007), mengirimkan surat permohonan kepada