• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (Pbl) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) Di Man Tarumajaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (Pbl) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) Di Man Tarumajaya"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

EVA SOFWATUN NIDA Nim: 108011000010

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Eva Sofwatun Nida, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2013, Judul: Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) di MAN Tarumajaya.

Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

(6)
(7)
(8)

vii

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GRAFIK ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...4

C. Pembatasan Masalah ...5

D. Perumusan Masalah ...5

E. Tujuan Penelitian ...5

F. Kegunaan Penelitian ...5

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ...7

A. Deskripsi Teoritik...7

1. Teori Konsruktivisme ...7

a. Pengertian Teori Konstruktivisme ...7

b. Model-model Pembelajaran Konstruktivisme ...9

c. Prinsip Pembelajaran Kontruktivisme ...15

2. Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL) ...17

a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)...17

b. Tokoh Konstruktivistik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) ...18

c. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) ...19

(9)

viii

3. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) ...27

a. Pengertian Pendidikan Agama Islam ...27

b. Tujuan Dan Fungsi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ...28

c. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ...30

d. Pengertian Mata Pelajaran Fiqih ...30

B. Hasil Penelitian yang Relevan ...31

C. Kerangka Berpikir ...32

D. Hipotesis Penelitian ...33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...34

A. Gambaran Umum Madrasah Aliyah MAN Tarumajaya ...34

1. Profil Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya...34

2. Sejarah Berdirinya Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya……….34

3. Visi dan Misi MAN Tarumajaya...36

4. Data Guru dan Pegawai………... 37

5. Kegiatan Kesiswaan………. 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian ...38

C. Metode Penelitian dan Desain Penelitian ...38

D. Populasi dan Sampel ...39

E. Teknik Pengumpulan Data ...39

1. Observasi ...39

2. Tes Kognitif (Tes Pengetahuan) ...39

3. Kuesioner (Angket) ...40

F. Kontrol terhadap Validitas Internal ...40

1. Validitas ...40

(10)

ix

1. Uji Prasyarat ...43

2. Uji Hipotesis ...46

H. Hipotesis Statistik ...47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...48

A. Deskripsi Data ...48

1. Data Peningkatan Hasil Belajar ...48

2. Hasil Pretest dan Posttest dilihat dari Rata-Rata (Mean), Varian dan Standar Deviasi ...48

a. Data Kelompok Kelas Eksperimen ...48

b. Data Kelompok Kelas Kontrol ...50

c. Deskripsi Hasil belajar Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...52

d. Angket Mengenai Umpan Balik Siswa Atas Fasilitator Pelaksanaan Proses PBL ...52

B. Pengujian Prasyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ...54

1. Uji Normalitas ...54

2. Uji Homogenitas ...54

3. Uji Hipotesis ...55

C. Pembahasan terhadap Temuan Penelitian ...56

BAB V PENUTUP ...59

A. Kesimpulan ...59

B. Implikasi ...60

C. Saran-saran ...60

(11)

x

Tabel 2.2 Perbedaan PBL vs Metode lain ...25

Tabel 3.1 Data Guru dan Pegawai ...37

Tabel 3.2 Desain Penelitian ...38

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Validitas ...41

Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Realibilitas...41

Tabel 3.5 Kelompok Tingkat Kesukaran ...42

Tabel 3.6 Klasifikasi Daya Pembeda ...43

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Relative Pretest Kelompok Eksperimen ...49

Tabel 4.2: Distribusi Relatif Posttest kelas Eksperimen ...49

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Relatif Pretest Kelompok Kontrol ...50

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Posttest Kelas Kontrol ...51

Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelas Kontrol dan Eksperimen ...52

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ..54

Tabel 4.7 Hasil Pengujian Homogenitas Pretest dan Uji Fisher ...55

Tabel 4.8 Hasil Pengujian Homogenitas Posttest dengan Uji Fisher ...55

(12)

xi

Grafik 4.2 Distribusi Relatif Posttest kelas Eksperimen ...49

Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Relatif Pretest Kelompok Kontrol ...50

Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Posttest Kelas Kontrol ...51

(13)

xii

PBL ...63

Lampiran 2 : Jumlah Jawaban Angket Siswa Secara Keseluruhan ...64

Lampiran 3 : Persentase Hasil Angket ...65

Lampiran 4 : Data Pretest Kelompok Kontrol ...66

Lampiran 5 : Data Pretest Kelompok Eksperimen ...68

Lampiran 6 : Data Posttest Kelompok Kontrol ...70

Lampiran 7 : Data Posttest Kelompok Eksperimen ...72

Lampiran 8 : Perhitungan Uji Normalitas Data Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...74

Lampiran 9 : Perhitungan Uji Homogenitas Data Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...75

Lampiran 10 : Perhitungan Uji Homogenitas Data Postest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ...77

Lampiran 11 : Perhitungan Uji Validitas ...79

Lampiran 12 : Perhitungan Koefisien Realibilitas Uji coba Variabel X ...80

Lampiran 13 : Analisa Indeks Kesukaran dan Daya Pembeda ...81

Lampiran 14 : Analisis Daya Pembeda ...82

Lampiran 15 : Perhitungan Uji Hipotesis Penelitian (Data Pretest) ...83

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa

agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang

beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk

menghasilkan manusia yang, jujur, adil, disiplin, dan bertanggung jawab baik

personal maupun sosial. Proses pendidikan merupakan aktifitas yang sangat

panjang dan penuh dengan perencanaan yang matang dengan tujuan yang jelas.

Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta martabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Perancang pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam melakukan

tugasnya dapat menggunakan pandangan teori belajar dan teori pembelajaran

untuk dijadikan landasan atau acuan dalam memilih, menetapkan, dan

mengembangkan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tepat sesuai

karakteristik peserta didik.

“Pada dasarnya Pendidikan Agama Islam merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam

1

(15)

mengembangkan pandangan hidup Islami (bagaimana akan menjalani dan

memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam),

sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup

sehari-hari.”2

Akan tetapi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) masih

banyak menekankan pada aspek penalaran atau hapalan akan sangat berpengaruh

terhadap sikap yang dimunculkan anak. Menghafal tentu ada gunanya. Namun

kalau kemudian menjadi dominan dan seluruh mata pelajaran harus dihafal, maka

akan melahirkan anak-anak didik yang kurang kreatif dan tidak berani

mengungkapkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itu tidak mengherankan jika

kemudian siswa menjadi malas dan kurang bersemangat dalam mata pelajaran ini.

Dalam proses belajar mengajar berlangsung banyaknya siswa yang masih

merendahkan suatu mata pelajaran yang mereka anggap pelajaran itu mudah,

padahal pada kenyataannya mereka banyak yang belum mengerti apa yang telah

dipelajarinya. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik dapat memberikan

penjelasan yang jelas kepada anak didiknya serta memberikan contoh yang dapat

dipahami oleh siswa. Dalam menentukan model pembelajaran, seorang pendidik

juga harus menyesuaikan model pembelajaran dengan meteri yang akan diajarkan

oleh siswa, karena apabila model pembelajaran tersebut tidak sesuai dengan

meteri yang diajarkan akan mengakibatkan keadaan kelas tidak kondusif.

Penggunaan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MAN

atau Sederajat masih banyak menggunakan metode tradisional, yaitu ceramah

monoton, lepas dari sejarah, cenderung normatif. Pada proses belajar mengajar di

kelas guru selalu lebih aktif sedangkan siswa hanya sebagai pendengar saja. Oleh

karena itu perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pemelajar

(learner centered), yakni pendekatan tersebut dapat memberikan bekal

kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan dari

waktu ke waktu. Sedangkan pendekatan yang berpusat pada pendidik (teacher centered) sudah dianggap tradisional dan perlu diubah karena di dalam proses

2

(16)

pembelajaran tersebut peserta didik kurang aktif, sulit untuk mengembangkan

berpikir, kecakapan interpersonal dan kecakapan beradaptasi dengan baik.

Dan penggunaan media yang ada di sekolah tidak dimanfaatkan dengan

baik oleh guru padahal media tersebut dapat digunakan guru untuk menyampaikan

pesan atau informasi dalam proses belajar-mengajar agar merangsang perhatian

dan minat siswa dalam belajar.

“Pendidikan Agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik

dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar, dan tertarik untuk

terus-menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui

bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai

pengetahuan.”3

Dengan demikian, belajar Pendidikan Agama Islam sesuai dengan

kondisi yang ada untuk mencapai yang diharapkan.

Berdasarkan kenyataan diatas maka seorang pendidik harus dapat

merancang pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman

dan pengetahuan awal siswa hingga memperoleh hasil belajar yang lebih baik.

Salah satunya adalah teori pembelajaran kontruktivisme.

Pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan pembelajaran yang

berbasis konstruktivistik yang dikenalkan oleh John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berbasis masalah (PBL)

terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna,

yang dapat memberi kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan

dan inkuiri.

“Pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan salah satu model

pembelajaran inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada peserta didik

dalam kondisi nyata. Karena dalam proses belajar mengajar tersebut keaktifan

siswa sangat ditekankan sedangkan guru menjadi fasilator yang mengarahkan

siswa dalam proses pembelajaran.”4

Dengan demikian pembelajaran berbasis

masalah ini menuntut siswa untuk mendalami tentang permasalahan tersebut

3

Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2001), hal. 183

4

(17)

sehingga siswa dapat memberi kesimpulan sendiri atas situasi yang sedang terjadi

dan akhirnya siswa dapat menemukan pemecahan untuk masalah tersebut.

Model pembelajaran kontruktivisme akan membuat siswa dapat berpikir atau mengemukakan dengan bebas hal yang mereka ketahui mengenai konsep

yang sedang dipelajari yang telah ada sebelumnya, termotivasi, tidak merasa

jenuh untuk belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) dan mengkonstruk

pemahamannya sendiri. Dengan diberikannya kesempatan siswa untuk

mengkonstruk pengetahuannya dan mempertanggungjawabkan pemikirannya

maka siswa akan terlatih untuk menjadi pribadi yang kritis, kreatif serta

pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu konsep akan berlangsung lama.

Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik untuk mengadakan

penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran berbasis masalah (PBL)

dilihat dari segi kognitif dan afektif mengenai salah satu konsep Pendidikan

Agama Islam, yang mengambil judul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) di

MAN Tarumajaya”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat didefinisikan masalah-masalah

sebagai berikut:

1. Pendekatan konvensional yang dilakukan oleh guru cenderung satu arah

sehingga tidak memberikan keluasan kepada siswa untuk mengemukakan

gagasannya sendiri.

2. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) masih banyak menekankan

pada aspek pengayaan pengetahuan (kognitif pada tingkat rendah),

pembentukan sikap (afektif), serta pembiasaan (psiko-motorik). Sehingga

tujuan untuk membentuk siswa agar memiliki pengetahuan tentang ajaran

agama Islam serta mampu mengaplikasikan dalam bentuk akhlak yang

(18)

3. Siswa merasa jenuh ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih)

berlangsung dan jarang mendengar penjelasan guru sehingga hasil belajar

selalu rendah.

4. Media yang ada disekolah tidak dimanfaatkan dengan baik oleh guru

C. Pembatasan Masalah

1. Penelitian ini akan melakukan penelitian mengenai teori konstruktivisme

difokuskan pada model pembelajaran berbasis masalah (PBL).

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan

masalah penelitian, yaitu:

1. Adakah pengaruh hasil belajar antara pembelajaran yang menggunakan

model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan pendekatan

konvensional?

2. Apakah pengaruh model pembelajaran barbasis masalah (PBL) dapat

meningkatkan hasil belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) siswa?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan model pembelajaran berbasis masalah (PBL)

dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih)

2. Untuk meningkatkan hasil belajar Pendidikan Agama Islam (Fiqih) siswa

melalui model pembelajaran berbasis masalah (PBL).

3. Untuk meningkatkan khazanah dalam bidang pembelajaran, terlebih pada

bidang Pendidikan Agama Islam.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru maupun

(19)

1. Bagi peneliti, Sebagai pengetahuan peneliti selama pelaksanaan dan

penyususnan skripsi.

2. Bagi guru ataupun calon guru, sebagai masukan dalam melaksanakan

proses pembelajaran Fiqih dengan memvariasikan berbagai strategi, model

pembelajaran, dan memanfaatkan media pembelajaran agar proses belajar

mengajar lebih hidup.

3. Bagi siswa, sebagai motivasi dalam proses belajar siswa baik dikelas

(20)

7 BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik 1. Teori Konsruktivisme

a. Pengertian Teori Konstruktivisme

“Teori kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang

menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita

sendiri.”1

Secara sederhana kontruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu adalah konstruksi (bentukan) dari seseorang yang mengetahui

sesuatu karena pengetahuan bukanlah suatu fakta yang langsung dapat ditemukan

akan tetapi melalui dari suatu perumusan yang diciptakan seseorang yang sedang

mempelajari pengetahuan tersebut.2

Bahwa pengetahuan tersebut tidak dapat ditransfer begitu saja dari

seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh

masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena

pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi akan tetapi suatu proses yang berkembang terus menurus. Jadi seorang belajar itu membentuk pengertian. “Teori pembelajaran yang didasarkan pada gagasan-gagasan ini disebut teori

pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning).”3

1

Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), cet ke-14, hal. 37

2

Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar,…. hal. 37

3

(21)

Anderson, dkk menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Robert E.

Slavin bahwa: “Inti teori kontruktivis ialah gagasan bahwa pelajar masing-masing

harus menemukan dan mengubah informasi yang rumit kalau mereka ingin

menjadikannya milik sendiri.”4 “Revolusi

konstruktivis mempunyai akar yang jauh dalam sejarah penddikan. Pendekatan itu sangat mengandalkan karya Piaget

dan Vygotsky sebagai sumber, yang keduanya menekankan bahwa perubahan

kognisi terjadi hanya ketika pengertian sebelumnya mengalami proses

ketidakseimbangan dari sudut informasi baru. Piaget dan Vygotsky juga

menekankan sifat sosial pembelajaran.”5

“Teori Pieget maupun Vygotsky adalah teori kontruktivis, yang

menekankan bahwa anak secara aktivis mengkontruksi atau menyusun

pengetahuan dan pemahaman, bukan penerima pasif.”6

Karena menurut kaum

konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar merekonstruksi makna sesuatu, entah itu dari teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain.7

Sehubungan dengan itu maka ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar, yaitu: (1) Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami, (2) Konstruksi makna adalah proses yang terus-menerus, (3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu, (4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi yang baik untuk memacu belajar, (5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subyek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya, (6) Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subyek belajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.8 Jadi menurut teori kontruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. subyek juga mencari

sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.

4

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,….. hal. 6

5

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,…. hal. 6

6

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet ke-3 hal. 66

7

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: KANISIUS, 1997), hal. 61

8

(22)

b. Model-model Pembelajaran Konstruktivisme 1) Pembelajaran Tindakan

a) Inglish menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis

Yamin bahwa: “Definisi action learning adalah proses pembelajaran dengan pertama kali mengumpulkan orang-orang

untuk mencari solusi dari suatu masalah, dan dalam proses

mencari solusi atau pemecahan masalah tersebut individu

ataupun kelompok ikut berkembang seiring dengan berjalannya

proses pembelajaran.”9

Dengan demikian pembelajaran ini menuntut siswa untuk

mencari solusi dari suatu permasalahan dikerjakan baik secara

individu atau kelompok adanya klien atau (orang yang

masalahnya dipecahkan), supervisor kelompok (orang yang

berhubungan langsung dengan klien untuk menumbuhkan kerja

sama dengan baik didalam untuk untuk memecahkan masalah),

proses (didalam proses tersebut mengamati masalah refleksi,

perumusan hipotesa dan tindakan).

b)“Pembelajaran tindakan banyak dipakai disekolah bisnis dan

sekolah keperawatan, misalnya Harvard Business, dan juga paling banyak digunakan dalam program pasca sarjana yang

khusus berkonsentrasi pada pengembangan sumber daya

manusia.”10

2) Pembelajaran Otentik

a) Smith dan Reagan menyatakan sebagaimana dikutip oleh H.

Martinis Yamin bahwa: “Dalam pembelajaran otentik,

pembelajar memberikan contoh atau soal yang dihadapi peserta

didik dalam kehidupan sehari-hari dan situasi-situasi contoh

9

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 20

10

(23)

yang digunakan situasi-situasi dalam kehidupan nyata.”11

Dengan demikian, pembelajaran ini menuntut siswa untuk

memilah mana-mana informasi atau pengetahuan yang mereka

inginkan sesuai dengan keinginan peserta didik.

b)Ciri-ciri belajar sebagimana dikatakan Young didalam buku H.

Martinis Yamin, yaitu:

(1) Materi tersebut disesuaikan untuk mengatasi

masalah-masalah atau soal-soal yang biasa dihadapi dalam

kehidupan nyata.

(2) Peserta didik memilah informasi atau pengetahuan mana

yang mereka inginkan.12

3) Pembelajaran Berbasis Kasus

Smith dan Reagan menyatakan sebagaimana dikutip oleh H.

Martinis Yamin bahwa: Pembelajaran berbasis kasus hampir sama

dengan pembelajaran dengan menggunakan metode studi kasus,

bedanya peserta didik adalah orang yang memiliki masalah atau

problem bukan orang lain seperti dalam studi kasus. Untuk

memecahkan masalah tersebut, peserta didik memilih beberapa

teori atau prinsip lalu menggunakannya untuk memecahkan

masalah.13

Dengan demikian, pembelajaran ini biasanya digunakan apabila

ada suatu masalah yang sukar untuk dicari permasalahannya.

Menuntut peserta didik untuk mencari beberapa teori atau prinsip

untuk memecahkan masalah kasus tersebut juga dituangkan dalam

bentuk tulisan yang berisi informasi tentang kasus yang ingin

dipecahkan agar peserta didik mudah untuk mengikuti

perkembangan kasus tersebut.

11

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 22

12

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 22

13

(24)

4) Magang Kognitif

a) “Istilah ini merujuk pada proses yang digunakan seorang

pelajar untuk secara bertahap memperoleh keahlian melalui

interaksi dengan pakar, apakah orang dewasa atau teman yang

lebih tua atau lebih maju.” 14

Dengan demikian, menuntut

peserta didik untuk melihat dan mendengarkan para ahli yang

memiliki kemampuan kognitif yang sedang didemonstrasikan.

b) “Para ahli teori konstruktivis menyarankan agar guru

mengalihkan model pengajaran dan pembelajaran yang

berlangsung lama dan sangat efektif ini ke kegiatan sehari-hari

diruang kelas, dengan melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang

rumit maupun membantu mereka melalui tugas-tugas ini.”15

5) Pembelajaran Kolaboratif

a) Robleyer, Edwars, dan Havriluk menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran kolaboratif atau sering juga disebut pembelajaran kooperatif

banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan konstruktif

dalam belajar.”16

b) “Pembelajaran kolaboratif atau kooperatif yakni pembelajaran

yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk

saling membantu dalam belajar. Kelompok belajar ini

bervariasi ukurannya, meskipun biasanya terdiri dari empat

orang.”17

Dengan demikian, pembelajaran ini siswa diajak untuk bekerja

sama dengan kelompok-kelompoknya untuk mencari

14

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hal. 7

15

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik,…. hal. 7

16

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 25

17

(25)

pemahaman, makna, solusi dari pembelajaran yang sedang

dipelajarinya. Karena pembelajaran ini didasarkan pada model,

bahwa pengetahuan dapat dibuat dalam populasi dimana

anggota aktif berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan

mengambil asimetris peran.

6) Pembelajaran Penemuan

“Pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah komponen

penting pendekatan konstruktivis modern yang mempunyai sejarah

panjang dalam inovasi pendidikan.”18

Bergstrom, O’Brien dan Wilcox menyatakan sebagaimana dikutip

oleh Robert E. Slavin bahwa: Siswa didorong untuk terutama

belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan

prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mempunyai

pengalaman dan melakukan eksperimen yang memungkinkan

mereka menemukan prinsip-prinsip bagi diri sendiri.19 Dengan

demikian, pembelajaran penemuan ini menuntut siswa untuk

mengkaji, mencari dan menemukan informasi secara mandiri

terhadap suatu permasalahan yang timbul terkait dengan materi

pelajaran.

7) Permainan Epistemik

“Permainan epistemik adalah satu formulasi belajar struktur masyarakat untuk menciptakan pengetahuan. Aturan-aturan

permainan dapat mengambarkan perdefinisian pola budaya.

Kerjasama yang dilakukan untuk menghasilkan pola-pola budaya

18

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Indeks, 2009), hal. 10

19

(26)

tertentu, pola yang dimaksud adalah peran serta dalam permainan

efistemik.”20

Dengan demikian, pembelajaran ini siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya. Karena pola epistemik itu bersifat “menyeluruh” didalam pola-pola tersebut berisikan pengetahuan-pengetahuan

yang baru dan dapat diterima oleh masyarakat.

8) Pembelajaran Generatif

Duffy dan Jonassen sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran generatif adalah pembelajaran yang dimulai dari pembelajar, pembelajar memberikan suatu masalah

atau soal yang harus dipecahkan oleh peserta didik, dan

menentukan strategi-strategi pemecahan masalah.”21 Dengan

demikian, dalam pembelajaran ini menuntut siswa untuk

menghubungkan gagasan baru terhadap pengetahuan awal dalam

memaknai bahan baru.

9) Microworld/Simulasi

a) Dell menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis

Yamin bahwa: “Simulasi adalah model-model dunia nyata

yang sederhana sampai model sintetik atau rekaan, namun

dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta didik

pindah dari model simulasi satu ke model yang lain, atau

bisa disebut dunia pengganti.”22

Dengan demikian, dalam menggunakan proses pembelajaran

ini tidak menggunakan benda atau kegiatan yang

sebenarnya, malainkan kegiatan yang bersifat pura-pura.

20 9

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 27

21

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,….hal. 28

22

(27)

Selain itu siswa juga diajak untuk berkompetensi dengan

lainnya, berpikir kritis dalam pengambilan keputusan.

b) Sedangkan menurut Wina Sanjaya bahwa: “Simulasi dapat

diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan

menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang

konsep, prinsip atau keterampilan tertentu.”23 Oleh karena

itu untuk megembangkan pemahaman dan penghayatan

terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat

bermanfaat.

10) Pembelajaran Berbasis Masalah/Problem Based Learning a) Hsiao menyatakan sebagaimana dikutip oleh H. Martinis

Yamin bahwa: “PBL peserta didik belajar dengan diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.

Dalam proses ini, pembelajaran dimulai dengan pembelajar

membelajarkan isi pelajaran seperti pada belajar konvensional

yang biasa ditemui.”24

Dengan demikian, masalah tersebut mendorong siswa untuk

mencari, berpikir kritis dan berbagi informasi yang sesuai

dengan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan permasahan

tersebut mereka dapat belajar secara berkelompok atau

individual.

b) Agar proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) berjalan

dengan efektif, maka kelompok satu dengan kelompok

lainnya dapat bekerja sama, saling memotivasi, bertukar

pikiran, dan bersemangat dalam mengikuti kegiatan tersebut.

23

Wina sanjaya, Startegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pedidikan, (Jakarta: Kenacana, 2006), cet ke-6 hal.157

24

(28)

c) Duffy dan Cunningham menyatakan dalam buku H. Martinis

Yamin bahwa lima strategi dalam menggunakan

pembelajaran berbasis masalah (PBL):

(1) Permasalah sebagai satu kajian. Yakni, dalam proses belajar mengajar permasalah tersebut dipersentasikan

pada awal pembelajaran untuk menarik perhatian peserta

didik.

(2) Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.

Yakni, terlebih dahulu peserta didik membaca

permaslahan yang akan dipersentasikan atau

didiskusikan, kemudian dipergunakan untuk menjajaki

pemahaman mereka.

(3) Permasalahan sebagai contoh. Yakni, permasalahan tersebut didintegrasikan kedalam materi agar dapat

mengilustrasikan suatu konsep, prinsip dan prosedur.

(4) Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses. Yakni, permasalahan digunakan untuk mendorong peserta didik berpikir secara kritis dalam

memecahkan permasalahan tersebut.

(5) Permasalahan sebagai stimulus aktivitas otentik.

Yakni, permasalahan digunakan untuk mengembangkan

keterampilan seorang siswa dalam memecahkan

masalah, 25

c. Prinsip Pembelajaran Kontruktivisme

Pada abad 21 teori pembelajaran mengalami pergeseran paradigma

baik dari lembaga sekolah maupun perguruan tinggi mengarah tujuan

pembelajaran pada teori prilaku. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman

para pakar pembelajaran menyadari bahwa proses yang dilakukan adalah

menciptakan peserta didik belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar

25

(29)

untuk berbuat (learning to do), belajar untuk hidup bersama-sama (life to life together).26

“Vygotsky mengembangkan konsep zone of proximal development Peserta

didik memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda: Tingkat perkembangan pertama adalah perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.” Dengan demikian dalam tingkatan pertama adalah siswa tersebut menentukan

fungsi intelektualnya untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

Sedangkan pada tingkatan perkembangan kedua si anak dapat mempelajari

sesuatu dapat bertanya kepada guru, orang tua, teman sebaya atau dengan orang

yang ahli pada bidangnya.

“Jean Piaget adalah seorang psikolog pertama yang menggunakan filsafat

konstruktivisme dalam proses belajar. Beliau menjelaskan bagaimana proses seseorang dalam teori perkembangan intelektual.”27 Dengan demikian

pembelajaran konstruktivisme itu adalah mempermudah siswa dalam belajar. Karena dalam proses pembelajaran dikelas menekankan keaktifan siswa itu lebih

penting dalam menentukan kesuksesan belajar sedangkan guru adalah sebagai

fasilator dan mengarahkan agar siswa tidak bingung dalam mengerjakan sesuatu

yang sedang dipelajarinya. Jean Piaget dan Lev Vygotsky mengembangkan

konsep konstruktivis yang dijadikan sandaran pendidikan abad 21.

“Kontruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun (to contruct) pengetahuan dan pemahaman. Menurut pandangan

kontruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan

pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.”28

26

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 13

27

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: KANISIUS, 1997), hal. 30

28

(30)

2. Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Metode sangat memegang peranan penting dalam pengajaran. Apapun

pendekatan dan model yang digunakan dalam proses belajar mengajar, maka harus

difasilitasi oleh metode mengajar. Menurut Nana Sudjana sebagaimana dikutip

oleh Darwyn Syah bahwa: “Metode ialah cara yang dipergunakan guru dalam

mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran.”29

Miarso menyatakan sebagaimana dikutip oleh Martinis Yamin bahwa: “Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relative menetap pada diri orang

lain.”30

Dengan demikian pembelajaran tersebut sebagai usaha yang dilakukan oleh

pendidik atau orang dewasa lainnya untuk membuat siswa dapat belajar dan

mencapai hasil belajar yang maksimal.

“Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), merupakan

salah satu model pembelajaran inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada

peserta didik dalam kondisi dunia nyata.”31 “Salah satu metode yang banyak

diadopsi untuk menunjang pendekatan learner centered dan yang memberdayakan pemelajar adalah metode Problem Based Learning (PBL).”32 Oleh karena itu pendekatan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) ini bersumber dari

dimensi kreatif seseorang. Banyak terungkap bahwa setiap individu memiliki

potensi kreatif yang begitu besar dalam dirinya.

Tan, Wee dan Kek menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir

bahwa: “Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah (PBL) dimulai dengan

pemberian masalah, biasanya masalah memiliki konteks dengan dunia nyata,

pemelajar secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi

kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang

29

Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 2, hal. 133

30

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 70

31

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran…. hal. 146

32

(31)

terkait dengan masalah dan melaporkan masalah. Sementara pendidik lebih

banyak memfasilitasi.”33

Arends menyatakan tiga hasil belajar pembelajaran berbasis masalah

(PBL) sebagaimana dikutip oleh H. Martinis Yamin, yaitu:

1) Penyelidikan dan keterampilan melakukan pemecahan masalah

2) Belajar model pendekatan orang dewasa (androgogi) 3) Keterampilan belajar mandiri.34

b. Tokoh Konstruktivistik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

1) John Dewey, berpendapat bahwa dalam proses belajar mengajar peserta didik harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Peserta didik harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan

yang diberikan oleh guru. Akan tetapi peserta didik senantiasa

merasa haus akan pengetahuan.35

2) Jean Piaget, membenarkan bahwa anak-anak memiliki sifat keingintahuan dan terus menerus berusaha memahami di

sekelilingnya. Oleh karena itu peserta didik mengkonstruksikan

secara aktif refresentasi-refresentasi dibenaknya mengenai apa

yang telah peserta didik pelajari.36

3) Lev Semyonovich Vygotsky, “mengajukan teori yang dikenal

dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan dimensi psikologis. ZPD adalah jarak antara tingkat

perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial.”37

33

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 12

34

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 146

35

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 147

36

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 149

37

(32)

c. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

“Pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah lebih sulit karena

membutuhkan banyak latihan dan harus mengembalikan keputusan tertentu

salama perencanaan dan pelaksanaannya. Pembelajaran berbasis masalah (PBL)

mempesiapkan peserta didik untuk banyak berpikir untuk memecahkan

permasalahan-permasalahan dalam kehidupan dunia nyata.”38

Dalam hal ini terdapat 7 (Tujuh) langkah pembelajaran pembelajaran

berbasis masalah (PBL), yaitu:

Langkah 1: Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas

Langkah pertama ini terlebih dahulu setiap anggota memahami

berbagai istilah dan konsep yang ada dalam masalah.39

Langkah 2: Merumuskan masalah

Fenomena yang ada dalam masalah menuntut penjelasan

hubungan-hubungan apa yang terjadi di antara fenomena itu. Karena

kadang-kadang masih ada yang harus diperjelas atau ada hubungan yang

masih belum nyata antara fenomenanya.40

Langkah 3: Menganalisis masalah

Langkah ketiga ini anggota mengeluarkan pengetauhan terkait apa

yang sudah dimiliki anggota tentang masalah. Adanya diskusi yang

membahas informasi yang tercantum dalam masalah dan ada pula

informasi yang ada dalam pemikiran anggota. Anggota kelompok

tersebut mendapat kesempatan untuk melatih bagaimana

menjelaskan, melihat alternatif, atau hipotesis yang terkait dengan

masalah.41

38

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran,…. hal. 150

39

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke- 1, hal. 24

40

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 24

41

(33)

Langkah 4: Menata gagasan anda dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam

“Bagian yang telah dianalisis dilihat keterkaitannya satu sama lain, dikelompokkan; mana yang saling menunjang, mana yang

bertentangan dan sebagainya.”42

Langkah 5: Memformulasikan tujuan pembelajaran

“Kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok sudah tahu pengetahuan mana yang masih kurang, dan

mana yang masih belum jelas. Tujuan pembelajaran akan dikaitkan

dengan analisis masalah yang dibuat.”43

Langkah 6: Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi kelompok)

Langkah keenam ini si kelompok sudah tahu informasi apa yang

tidak dimiliki dan sudah mempunyai tujuan pembelajaran. Kini

saatnya mereka harus mencari informasi tambahan dimana setiap

anggota harus mampu belajar sendiri dengan efektif untuk tahapan

ini agar mendapatkan informasi yang relevan. Keaktifan setiap

anggota harus terbukti dengan laporan yang harus disampaikan oleh

setiap individu atau sekelompok yang bertanggung jawab atas setiap

tujuan pembelajaran.44

Langkah 7: Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru

“Pada langkah ketujuh ini kelompok sudah dapat membuat sintesis; menggabungkannya dan mengkombinasikan hal-hal yang relevan.”45

Ditahap ini, keterampilan yang dibutuhkan adalah bagaimana sisiwa

tersebut meringkas, mendiskusikan, dan meninjau ulang hasil diskusi

untuk nantinya dipersentasikan dalam bentuk paper atau makalah.

42

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 24

43

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 25

44

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan,…. hal. 25

45

(34)

Dari sinilah kemampuan menulis dan mempersentasikan sangat

dibutuhkan dan sekaligus dikembangkan.

Untuk memfasilitasi ketujuh langkah-langkah pembelajaran

proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) dapat digunakan

pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat

dimanfaatkan untuk memfasilitasi setiap langkah pembelajaran

berbasis masalah (PBL) dapat dilihat pada tabel 2.1 46

Tabel 2.1 Contoh-contoh Pertanyaan untuk Memfasilitasi (PBL)

Langkah 1:

Mengklarifikasi

istilah dan konsep

yang belum jelas

1) Apa yang Anda pikirkan atas pernyataan ini?

2) Apa yang terlintas pada pikiran Anda?

3) Apa yang sudah Anda ketahui atas masalah ini?

4) Apa pernyataan yang berupa fakta yang dapat kita

identifikasi?

5) Menurut Anda, apa maksud kalimat….?

6) Bisa Anda jelaskan lebih jauh tentang (konsep

1) Bagaimana Anda mengatakan dengan kalimat

sendiri….?

2) Bisa Anda gambarkan dengan kalimat sendiri….?

(35)

menata gagasan

3) Apakah kita bisa memastikan bahwa ….?

4) Anda bisa pikirkan hal yang lain, seperti.…?

5) Apakah kaitannya itu dengan yang anda katakan?

6) Apakah Anda sudah mempertimbangkan

kemungkinan yang ada?

7) Apakah kita punya data/pengetahuan yang cukup

untuk mengatakan bahwa?

2) Sudahkah Anda mendaftar semua pertanyaan

kunci?

3) Mengapa Anda anggap isi/tujuan ini penting?

4) Mengapa Anda menyertakan hal…?

5) Sumber apa saja yang Anda anggap bisa

2) Jelaskan apa yang Anda pahami atas….?

3) Apa yang anda maksudkan dengan…., bisa lebih

spesifik?

4) Bisa anda elaborasi lagi tentang….?

5) Seberapa valid dan dapat diandalkan (reliable) hal tersebut?

6) Seperti apa cara berfungsinya?

(36)

8) Jelaskan strategi yang anda buat!

9) Apa taruhannya kalau kita melakukan/tidak

melakukan itu?

3) Seberapa beda yang terjadi, kalau seandainya….

4) Sumber baru apa/mana yang Anda peroleh?

5) Solusi apa yang Anda usulkan untuk memenuhi

kriteria berikut?

6) Bagaimana cara menerapkannya di situasi yang

lain?

Amir bahwa: “Pendidikan bukanlah tujuan kita. Pendidikan harus mempersiapkan pemelajar untuk hidup. Maka dengan pembelajaran berbasis

masalah (PBL) peserta didik dapat membangun kecakapan hidup (life skills), terbiasa mengatur dirinya sendiri (self directed), berpikir metakognitif (reflektif

dengan pikiran dan tindakannya), berkomunikasi dan berbagai kecakapan

terkait.”47

Menurut Sudjana sebagaimana dikutip oleh Triatno bahwa: “Manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah.

47

(37)

Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan

menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku,

tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.”48

e. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Tan menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir berikut

dapat merangkum karakteristik yang tercakup dalam proses PBL:

1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran

2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang

disajikan secara mengembang (ill-strucured)

3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspective). Solusinya menuntut pemelajar menggunakan dan mendapatkan konsep dari

beberapa bab atau lintas ilmu ke bidang lainnya.

4) Masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di

ranah pembelajaran yang baru

5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning)

6) Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci

penting.

7) Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pemelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.49

Salah satu bedanya PBL dengan metode belajar yang konvensional. Bahwa

yang namanya belajar tidak hanya sekedar: mengingat (menghafal), meniru,

mencontoh. Dalam PBL yang namanya “masalah” tidak sekedar “latihan” yang

diberikan setelah contoh-contoh soal disajikan. Akan tetapi “masalah” dalam PBL

menuntut penjelasan atas sebuah fenomena.

48

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hal. 70-71

49

(38)

Savin, Badin & Moust Bouhuijs, Schmint menyatakan sebagaimana

dikutip oleh M. Taufiq Amir bahwa: “Pendekatan PBL berbeda dengan

pendekatan lain yang biasanya diberikan pendidik pada umumnya:”50

Tabel 2.2 Perbedaan PBL vs Metode Lain

Metode Belajar Deskripsi

1) Ceramah Informasi dipresentasikan dan didiskusikan oleh

pendidik dan pemelajar.

2) Kasus atau Studi Kasus Pembehasan kasus biasanya dilakukan diakhir

pembelajaran dan selalu disertai dengan pembahasan

dikelas tentang materi (dan sumber-sumbernya) atau

konsep terkait dengan kasus. Berbagai materi terkait

dan pertanyaan diberikan pada pemelajar.

3) PBL Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan

sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana

pemelajar mengidentifikasikan isu pembelajaran

sendiri untuk memecahkan masalah. Materi dan

konsep yang relevan ditemukan oleh pemelajar

sendiri.

f. Keunggulan PBL Ada di Perancangan Masalah

Wee dan Kek menyatakan sebagaimana dikutip oleh M. Taufiq Amir bahwa: “Masalah yang diberikan haruslah dapat merangsang dan memicu pemelajar untuk menjalankan pembelajaran dengan baik. Masalah yang disajikan

oleh pendidik Dalam proses pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang baik,

memiliki ciri khas, yaitu:

1) Punya keaslian seperti di dunia kerja. Yakni masalah yang disajikan tidak jauh dari cerminan masalah yang dihadapi di dunia kerja. Oleh karena itu

50

(39)

peserta didik dapat memanfaatkannya apabila menjadi lulusan yang akan

bekerja.

2) Dibangun dengan memperhitungkan pengetahuan sebelumnya. Yakni masalah yang dirancang, dapat membangun kembali pemahaman si peserta

didik yang telah didapat sebelumnya. Maksudnya pengetahuan yang baru itu

dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dipelajarinya.

3) Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif. Masalah dalam PBL akan membuat pemelajar terdorong melakukan pemikiran yang

metakognitif. Peserta didik menjalankan proses pembelajaran berbasis

masalah (PBL) sekaligus menguji pemikirannya, mempertanyakannya,

mengkritisi gagasannya sendiri serta menjelajahi hal yang baru.

4) Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran. Yakni membuat suatu rancangan masalah tersebut dikemas dengan menarik agar si peserta

didik yang tadinya pasif menjadi aktif dan bertekad untuk menyelesaikan

permasalahannya.51

g. Kelemahan PBL

Selain adanya keunggulan dari pembelajaran berbasis masalah (PBL),

metode ini juga mempunyai kelamahan-kelemahan. Sebagaimana dikutip dalam

buku Darwyn Syah bahwa kelemahan pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu:

1) Sulit menetukan tingkat masalah yang disesuaikan dengan tingkat

pemahaman dan perkembangan siswa

2) Memakan waktu yang lama dan menyita waktu yang dipergunakan untuk jam

pelajaran lain.

3) Sulit mengubah pola belajar siswa dari menjadikan guru sebagai sumber

belajar utama kepada belajar utama kepada belajar dengan berpikir yang

membutuhkan lebih banyak lagi sumber belajar.52

51

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,…. hal. 32

52

(40)

“Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah (PBL) lebih sulit karena membutuhkan banyak latihan dan harus mengambil keputusan tertentu

selama perencanaan dan pelaksanaannya.”53

3. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Fiqih) a. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Islam hendaklah ditanamkan sejak ia dalam lahir terlebih

pada masa kandungan. Sebab pendidikan pada masa kanak-kanak adalah masa

yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya untuk mencapai cita-cita yang

diinginkan sesuai dengan bakat dan minat anak itu sendiri.

“Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam

menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga

mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati

penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragam

hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.”54

Zakiyah Daradjat menyatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid dan

Dian Andayani bahwa: “Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah suatu usaha untuk

membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran

agam Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya

dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.”55

Jadi,

Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik

agar tercapainya tujuan yang telah ditetapkan melalui pengajaran bimbingan atau

pelatihan bagi peserta didik untuk menyakini, memahami dan mengamalkan

ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

“Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah pada dasarnya lebih

diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya

53

H. Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Jakarta, 2011), hal. 150

54

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 130

55

(41)

berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.”56

Pendidikan atau pembelajaran adalah salah satu wahana yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. Jadi dalam

konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada hakikatnya tidak

seorangpun yang dapat membuat seseorang menjadi manusia yang bertaqwa,

cerdas dan lain-lain. Akan tetapi seseorang itu sendiri yang memilih, memutuskan

dan mengembangkan jalan hidupnya atas izin Allah SWT.57

b. Tujuan Dan Fungsi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

GBPP PAI 1994 menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk

bahwa: “Secara umum, Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk

“Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan

bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”58 Dengan demikian, tujuan

pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) menuntut siswa untuk menjadi

seorang muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia

bagi dirinya sendiri, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kurikulum 1999

sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk, bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam

(PAI) tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “Agar siswa memahami, menghayati

menyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim

yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”.59

56

Muhaimin, Haji, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Perkembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 313

57

Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 184.

58

Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,…. hal. 78

59

(42)

Pendidikan Agama Islam (PAI) di lingkungan sekolah atau madrasah

bertujuan untuk menumbuhkembangkan keimanan seseorang melalui pemberian

dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengamalan peserta didik

mengenai agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang

dalam keimanan, ketakwaan, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Jadi tujan pendidikan agama Islam itu adalah agar

siswa menjadi manusia yang muslim, bertaqwa dan beriman kepada Allah swt.

Pendidikan Agama Islam (PAI) haruslah menanamkan nilai-nilai islam, etika dan

moralitas agara mendapatkan keberhasilan hidup baik didunia maupun diakhirat.60

Departemen Agama menyatakan sebagaimana dikutip oleh Darwyn Syah,

dkk, bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam khususnya di Madrasah

berfungsi untuk:

1) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup

didunia dan akhirat.

2) Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak

mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu

dalam lingkungan keluarga.

3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial

melalui Pendidikan Agama Islam (PAI).

4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam

keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.

5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari

budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari.

6) Pengajaran tentang informasi dan pengetahuan Pendidikan Agama Islam,

serta sistem dan fungsionalnya.

7) Penyaluran siswa untuk mendalami Pendidikan Agama Islam ke lembaga

pendidikan yang lebih tinggi.61

60

Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 135

61

(43)

c. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)

“Secara nasional untuk satuan pendidikan sekolah terdiri atas: Al

-Qur’an dan Hadist, Akidah Akhlak, Fiqih serta Tarikh dan kebudayaan Islam. Sedangakan ruang lingkup pendidikan agama Islam di Madrasah meliputi bidang

studi atau mata pelajaran: Al-Qur’an Hadist, Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah

Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.”62

Kurikulum 1994 menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, dkk,

bahwa: “Ruang lingkup materi Pendidikan Agama Islam (PAI) pada dasarnya

mencakup tujuh unsur pokok, yaitu al-Qur’an Hadist, keimanan, syariah, ibadah,

muamalah, akhlak, dan tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkembagan politik.”

Pada kurikulum tahun 1999 menyatakan sebagaimana dikutip oleh

Muhaimin, dkk, bahwa: “Dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an,

keimanan, akhlak, Fiqih dan bimbingan ibadah, serta tarikh atau sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan.”63

Dengan demikian, ruang lingkup pembelajaran PAI, yaitu:

Al-qur’an hadist, akidah akhlak, fiqih dan sejarah (tarikh). Masing-masing mata

pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi.

Peneliti membatasi penelitian ini dengan memilih salah satu dari bidang

studi Pendidikan Agama Islam (PAI), yakni mata pelajaran Fiqih.

d. Pengertian Mata Pelajaran Fiqih

“Secara bahasa fiqih berarti: Paham, atau pengertian yang mendalam, tentang maksud dan tujuan suatu perkataan dan perbuatan, bukan hanya sekedar

mengetahui lahiriah perkataan dan perbuatan itu”.64

Pengertian ini dipahami dari

kata fiqih yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana

disebutkan dalam firman Allah SWT:

62

Darwyn Syah, dkk, Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam,…. hal. 31

63

Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 79

64

(44)

yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu

seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami." (QS. Huud: 91).

“Fiqih secara istilah syar’I, tidak jauh berbeda dengan pengertian lughowi tersebut. Hanya saja pengertian istilah ini, lebih terarah kepada pengertian khusus,

dari pada pengertian umum, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, yaitu:”65

ْك لا ةي علا ةيع ْرَّلا اكْحاْلاب عْلا اهتَلدا ن بست

“Ilmu tentang hukum-hukum syar’I, yang bersifat amaliah (praktis) yang diisbathkan dari dalil-dalilnya secara terperinci.”

Jadi, bahan pelajaran untuk Madrasah Aliyah dimaksudkan untuk

memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran

Islam, aspek hukum baik yang berupa ajaran ibadah maupun yang muamalah.

B. Hasil penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian terkait pembelajaran dengan model pembelajaran

berbasis masalah (PBL), diantaranya sebagai berikut:

1. Hasil penelitian Eka Triyuningsih (106016100574), yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) diperoleh hasil rata-rata

ketercapaian indikator berpikir kritis yang lebih tinggi daripada hasil rata-rata

ketercapaian indikator kemampuan berpikir kritis sebelum digunakannya

model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL). Hal ini menunjukkan bahwa

65

(45)

pada perhitungan uji “t”, diperoleh harga thitung > ttabel (3,43 > 2,00) pada

derajat kebebasan (dk) = 70 dengan tarif signifikansi 5%.

2. Hasil penelitian Dwi Nurcahaya (107016201633), yang berjudul Pengaruh Problerm Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Mata Pelajaran Kimia. Melaksanakan penelitian yang menunjukan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah (PBL) berpengaruh positif terhadap

kemampuan berpikir siswa pada pembelajaran kimia. Secara umum

berdasarkan uji hipotesis yang didapat yaitu thitung sebesar 7,64 dan ttabel

sebesar 2,064 dengan taraf signifikasi = 0,05, karena thitung > ttabel maka Ha

diterima yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan strategi

PBL terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran kimia.

Sedangkan dari nilai N-gain diperoleh nilai sebesar 0,66 yang berarti

peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran kimia cukup

baik atau sedang.

C. Kerangka Berpikir

Dari pembahasan terdahulu maka peneliti mempunyai argumentasi bahwa

pada proses belajar mengajar di kelas guru selalu lebih aktif sedangkan siswa

hanya sebagai pendengar saja. Oleh karena itu perlunya pendekatan yang menjadi

bekal kompetensi, ilmu pengetahauan dan kecakapan-kecakapan yang mereka

miliki agar beradaptasi dengan baik.

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) membutuhkan pemahaman

dalam mempelajarinya, diharapkan siswa mampu menguasai materi yang

diberikan oleh guru, sehingga untuk menguasai materi pelajaran secara baik maka

guru harus bisa mengubah suasana belajar yang menyenangkan, maka dengan

pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran

inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada peserta didik dalam kondisi

nyata. Karena dalam proses belajar mengajar tersebut keaktifan siswa sangat

ditekankan sedangkan guru menjadi fasilator yang mengarahkan siswa dalam

(46)

Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah (PBL) ini menuntut

siswa untuk mendalami tentang permasalahan tersebut sehingga siswa dapat

memberi kesimpulan sendiri atas situasi yang sedang terjadi dan akhirnya siswa

dapat menemukan pemecahan untuk masalah tersebut. Upaya tersebut dalam

rangka memenuhi kebutuhan siswa untuk melibat seluruh potensi siswa dalam

bentuk diskusi kelompok, mengeluarkan pendapat, tanya jawab, dan saling

bekerja sama. Karena dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak

hanya menyentuh ranah kognitif saja namun menyentuh ranah afeksi, yang

dimana diharapkan setelah siswa menguasai materi secara baik maka peserta didik

dapat merelisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

D. Hipotesis Penelitian

Untuk menguji ada atau tidaknya hubungan variabel X {model

pembelajaran berbasis masalah (PBL)} dengan variabel Y {mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam (Fiqih)}, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai

berikut :

Ha = Terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan dengan model

pembelajaran berbasis masalah (PBL)

Ho = Tidak terdapat peningkatan hasil belajar yang signifikan dengan model

(47)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya

1) Profil Madrasah Aliyah Negeri (MAN)Tarumajaya

Nama Sekolah : Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya

NSM : 131132160004

Kabupaten / Kota : Kabupaten Bekasi

Alamat : Jl. Tarumajaya Perumahan Fortune Garden Kp. Pomahan, Desa Setiamulya Kec. Tarumajaya

Telepon : (021) 98521632

Kode Pos : 17213

Status Madrasah : Negeri

Tahun Berdiri : 2007

Tahun Penegrian : 2009

Terakreditasi : -

Status Tanah : Hak Guna Pakai

2) Sejarah Berdirinya Madrasah Aliyah Negeri Tarumajaya

a. Pada tanggal 24 November 2006, sekolah tersebut didirikan atas

persetujuan Kepala Desa Tarumajaya dan Tokoh-Tokoh Masyarakat

setempat dan Pengawas Sekolah/Kepala KUA/Komite Sekolah.

b. Pada tanggal 27 November 2006, permohanan restu dengan mengirim

(48)

Tarumajaya. no. MA, i/062/PP.006/102/2006, dan mengirim surat

rekomendasi pendirian filial MAN 2 Bekasi yang berlokasi di Kec.

Tarumajaya. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten Bekasi, no.

MA.i/062/PP.006/224/2006. Serta mengirim surat rekomendasi

pendirian filial MAN Bekasi kepada Kepala Kanwil Departemen

Agama Propinsi Jawa Barat. No. MA.i/062/PP.006/224/2006.

c. Kurikulum MAN Kejuruan Negri Tarumajaya Bekasi

(Tanggal 1 Maret 2007), team sukses mendapat edaran dari Kepala

Mapenda Islam kantor wilayah provinsi Jawa Barat no.

Kw.10.4/3/PP.003/752/2007 tentang pendirian MAN. Maka sejak ada

edaran tersebut filial MAN 2 Tarumajaya berubah menjadi MAN

Tarumajaya, Bekasi.

(Tanggal 1 April 2007), penyelesaian dewan guru beserta tata usaha

MAN dirumah kediaman bpk. Ilyas Bustamiluddin, MA. Kp. Kelapa

Rt.01/10 Desa. Segara Jaya Tarumajaya. Dengan agenda acara

pengisian biodata dewan guru serta persyaratan kesediaan untuk

mengajar.

(Tanggal 24 April 2007), untuk lebih memantapkan keberadaan guru

MAN Tarumajaya, Bekasi. Maka diadakan rapat dewan guru yang

bertempat digedung SDN 02 Setia Mulia Tarumajaya.

(Tanggal 10 Mei 2007), team sukses mengadakan studi banding terkait

dengan kurikulum MAN, bertempat di SMK Negri 49 Jakarta.

(Tanggal 13 Juni 2007), proses kelengkapan administrasi guru yang

bertempat dikantor MAN. Kelengkapan guru meliputi: Surat lamaran,

daftar riwat hidup, fhoto copy, ijazah, dan transkip nilai, kartu kuning,

kartu keluarga, photo copy KTP dan pas fhoto 3 x 4, 4 x 6

masing-masing 2 lembar.

d. Rencana lokasi permanen MAN Bekasi (Madrasah Aliyah Keguruan

Tarumajaya, Bekasi).

(Tanggal 26 Februari 2007), mengirimkan surat permohonan kepada

Gambar

Grafik 4.5 Umpan Balik Terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) .......53
Tabel 2.1 Contoh-contoh Pertanyaan untuk Memfasilitasi (PBL)
Tabel 2.2 Perbedaan PBL vs Metode Lain
Tabel 3.1 Data Guru dan Pegawai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi siswa autis di SD Purba Adhika Sekolah Penyelenggara Inklusif,

Konsep dan Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Sistem Kredit Semester di SMA Negeri 01 Kudus .... Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan manajamen pembelajaran pendidikan agama Islam yang meliputi 2 aspek kajian, yaitu metode pembelajaran dan setting ruang kelas

Pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis multikultural di harus sesuai dengan yang telah direncanakan oleh GPAI yang ada, tempat pembalajaran biasanya dilakukan

Tujuan penelitian ini untuk melihat inovasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Prof. Hazairin, SH Bengkulu berbasis teknologi informasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran Jigsaw terintegrasi PBL ( Problem Based Learning ) berbasis Lesson Study untuk

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam materi Fiqih di kelas VII SMP IT

Integrasi sains dan agama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan menginternalisasikan nilai-nilai agama dalam diri peserta