• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet Secara Multikomponen dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet Secara Multikomponen dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

DALAM SEDIAAN TABLET SECARA MULTIKOMPONEN DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

SKRIPSI

OLEH: FAULA HASTIA

NIM 071524024

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

DALAM SEDIAAN TABLET SECARA MULTIKOMPONEN DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: FAULA HASTIA

NIM 071524024

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN DAN ISONIAZID

DALAM SEDIAAN TABLET SECARA MULTIKOMPONEN DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

OLEH: FAULA HASTIA

NIM 071524024

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal : Desember 2010

Pembimbing I,

(Dra. Salbiah, MSi., Apt.) NIP. 194810031987012001

Pembimbing II,

(Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt.)

NIP. 195306191983031001

Medan, Desember 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) NIP. 195311281983031002

Panitia Penguji,

(Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt.) NIP 194809041974122001

(Dra. Salbiah, MSi., Apt.) NIP. 194810031987012001

(Dra. Sudarmi, MSi., Apt.) NIP. 195409101983032001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat,

rahmat, karunia dan ridhoNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul "Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet Secara

Multikomponen dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet". Skripsi ini

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Salbiah, M.Si., Apt. dan

Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt. yang telah banyak

memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini

berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.

Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara dan dosen pembimbing akademik yang telah memberikan fasilitas,

bimbingan dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian, juga kepada Ibu

Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt., Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. dan Bapak Drs.

Syafruddin, MS, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan

dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

tulus kepada kedua orang tua, Ayahanda H. M. Fauzi dan Ibunda Hj. Hasni

tercinta, adik-adikku tersayang Reza, Fanni dan Rendi atas doa, dorongan dan

pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Juga

kepada sahabat-sahabatku Ahmad Tarmizi dan Anoy dkk yang selalu ada

memberi semangat dan pikiran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman stambuk

2007 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas segala dorongan

motivasi dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

(5)

PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN DAN ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET SECARA MULTIKOMPONEN DENGAN METODE

SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET Abstrak

TBC merupakan penyakit infeksi yang paling mematikan dan penyebab

kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Jumlah penderita TBC di Indonesia

sebanyak 583.000 orang, Cina 2 juta dan India 1,5 juta. Tablet kombinasi

rifampisin dan isoniazid merupakan salah satu sediaan obat yang sering digunakan

dalam pengobatan TBC. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan kadar

rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang beredar di pasaran secara

spektrofotometri ultraviolet.

Penetapan kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dilakukan

dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara multikomponen menggunakan

pelarut asam klorida 0,1 N pada panjang gelombang 230 nm dan 266 nm. Diukur

validitasnya berdasarkan parameter akurasi (metode penambahan baku) dan

presisi. Rifampisin dan isoniazid baku (PT. Indofarma) sebelum digunakan

terlebih dahulu diidentifikasi menggunakan spektrofotometer FTIR. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa baku yang ditentukan adalah rifampisin dan

isoniazid.

Dari hasil penelitian diperoleh kadar rifampisin yaitu campuran baku (PT.

Indofarma) 100,73% ± 0,07%, tablet generik (PT. Indofarma) 100,19% ± 0,21%,

tablet Rimactazid® (PT. Sandoz) 101,13% ± 0,23%, sedangkan kadar isoniazid yaitu campuran baku (PT. Indofarma) 99,48% ± 0,07%, tablet generik (PT.

Indofarma) 100,63% ± 0,25%, tablet Rimactazid® (PT. Sandoz) 98,96% ± 0,30%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rifampisin dan isoniazid dalam

sediaan tablet yang diteliti memenuhi persyaratan tablet menurut The United

States Pharmacopeia 30 yaitu tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110%

dari jumlah yang tertera pada etiket.

(6)

DETERMINATION OF RIFAMPICIN AND ISONIAZID IN THE TABLET DOSAGE FORM BY ULTRAVIOLET SPECTROPHOTOMETRY

METHOD Abstract

Tuberculosis is the most deadly infectious diseases and the number two

cause of death after heart disease. The number of tuberculosis patients in

Indonesia as many as 583,000 people, China 2 million and 1.5 million Indians.

Combination of rifampicin and isoniazid in the tablet is one of the drugs which is

usually use for TBC treatment. The aim of this study is to determination value of

rifampicin and isoniazid in the tablet which circulates in the general by ultraviolet

spectrophotometry.

The determination of rifampicin and isoniazid in the tablet has been done

by ultraviolet spectrophotometry using hydrochloric acid 0,1 N as a solvent at 230

nm and 266 nm wavelength. It is validity measured based on parameter accuracy

(standard addition method) and precision parameters. Identification of raw

material of rifampicin and isoniazid (PT. Indofarma) has been done by FTIR

spectrophotometer. The result of research that raw material are rifampicin and

isoniazid.

The result of research it has been found that amount of rifampicin has the

mix raw material (PT. Indofarma) 100,73% ± 0,07%, the generic tablet (PT.

Indofarma) 100,19% ± 0,21%, the Rimactazid® tablet(PT. Sandoz) 101,13% ± 0,23%, and that amount of isoniazid has the mix raw material (PT. Indofarma)

99,48% ± 0,07%, the generic tablet (PT. Indofarma) 100,63% ± 0,25%, the

Rimactazid® tablet (PT. Sandoz) 98,96% ± 0,30.

The result of research indicate that determining of rifampicin and isoniazid

in the tablet which researched was fulfilled requirement of The United States

Pharmacopeia 30, not less than 90,0% and not more 10,0% of the labelled

amount.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan ... 4

(8)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Alat- alat ... 5

BAB II METODOLOGI PENELITIAN ... 5

2.1 Alat- alat ... 5

2.2 Bahan-bahan ... 5

2.3 Pengambilan Sampel ... 5

2.4 Prosedur Penelitian ... 6

2.4.1 Pembuatan Pereaksi ... 6

2.4.1.1 Pembuatan Larutan Asam Klorida 0,1 N ... 6

2.4.2 Uji Identifikasi Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 6

2.4.2.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah ... 6

2.4.2.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet ... 6

2.4.3 Uji Identifikasi Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 7

2.4.3.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah ... 7

2.4.3.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet ... 7

2.4.4 Penetapan Kadar Sampel Secara Spektrofotometri Ultraviolet ... 8

2.4.4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku ... 8

(9)

2.4.4.1.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazid Baku (BPFI) ... 8

2.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum... 8

2.4.4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Rifampisin ... 8

2.4.4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Isoniazid ... 8

2.4.4.3 Penentuan Absorptivitas ... 9

2.4.4.3.1 Penentuan Absorpivitas Rifampisin (15 mcg/ml) ... 9

2.4.4.3.2 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (10 mcg/ml) ... 9

2.4.4.3.3 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (15 mcg/ml) ... 9

2.4.4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 10

2.4.4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifampisin ... 10

2.4.4.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazid ... 10

2.4.4.5 Penetapan Kadar Sampel ... 10

2.4.4.5.1 Penetapan Kadar Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 10

2.4.4.5.2 Penetapan Kadar Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 11

2.4.4.5.3 Penetapan Kadar Campuran Rifampisin Baku dan Isonazid Baku (PT. Indofarma) ... 11

2.4.4.5.4 Penetapan Kadar Sampel Tablet Generik Rifampisin dan Isoniazid (PT. Indofarma) ... 12

(10)

2.5 Uji Validasi dengan Parameter Akurasi, Presisi, Batas Deteksi dan

Batas Kuantitasi ... 13

2.5.1 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali (% Recovery) ... 13

2.5.2 Uji Presisi ... 14

2.5.3 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) ... 14

2.6 Analisis Data secara Statistik ... 15

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

3.1 Uji Identifikasi Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 16

3.1.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah ... 16

3.1.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet ... 17

3.2 Uji Identifikasi Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 19

3.2.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah ... 19

3.2.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet ... 20

3.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 22

3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Rifampisin ... 22

3.3.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Isoniazid ... 23

3.3.3 Penggabungan Kurva Serapan Rifampisin dan Isoniazid ... 24

3.4 Penentuan Absorptivitas ... 25

(11)

3.4.2 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (10 mcg/ml) ... 26

3.4.3 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (15 mcg/ml) ... 27

3.5 Penentuan Kurva Kalibrasi ... 28

3.5.1 Penentuan Kurva Kalibrasi Rifampisin Baku (ARS) ... 28

3.5.2 Penentuan Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku (BPFI)... 29

3.6 Penetapan Kadar Rifampisin Baku dan Isoniazid Baku PT. Indofarma ... 31

3.7 Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet ... 31

3.8 Uji Validasi Metode Analisis ... 32

3.8.1 Uji Validasi secara Spektrofotometri Ultraviolet ... 33

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

4.1 Kesimpulan ... 35

4.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Panjang Gelombang Serapan Maksimum Rifampisin Baku

(ARS) ... 22

Tabel 2. Data Panjang Gelombang Serapan Maksimum Isoniazid Baku (BPFI) ... 24

Tabel 3. Nilai Absorptivitas Rifampisin ... 26 Tabel 4. Data Absorbansi Rifampisin Baku (ARS) dan Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang 230 nm ... 26

Tabel 5. Nilai Absorptivitas Isoniazid ... 26 Tabel 6. Data Absorbansi Rifampisin Baku (ARS) dan Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang 266 nm ... 27

Tabel 7. Nilai Absorptivitas Isoniazid ... 27 Tabel 8. Data Absorbansi Isoniazid Baku (BPFI) pada

Panjang Gelombang 230 nm ... 27

Tabel 9. Data Absorbansi Isoniazid Baku (BPFI) pada

Panjang Gelombang 266 nm ... 28

Tabel 10. Data Kurva Kalibrasi Rifampisin Baku (ARS) ... 29 Tabel 11. Data Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku (BPFI) ... 30 Tabel 12. Hasil Penetapan Kadar Rifampisin Baku dan Isoniazid Baku (BPFI) .. 31 Tabel 13. Kadar Rata-rata Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet ... 32 Tabel 14. Data Hasil Pengujian Perolehan Kembali Rifampisin dan Isoniazid

dengan Metode Penambahan Bahan Baku

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Spektrum Inframerah Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 16 Gambar 2. Spektrum Inframerah Rifampisin pada Literatur Pharmaceutical Sub Stance (UV/IR) ... 17

Gambar 3. Kurva Serapan Rifampisin Baku PT. Indofarma

(konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 18

Gambar 4. Kurva Serapan Rifampisin Baku ARS

(konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 18

Gambar 5. Spektrum Inframerah Isoniazid Baku (PT. Indofarma)... 19 Gambar 6. Spektrum Inframerah Isoniazid pada Literatur Pharmaceutical Sub Stance (UV/IR) ... 20

Gambar 7. Kurva Serapan Isoniazid Baku PT. Indofarma

(konsentrasi 11 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 21

Gambar 8. Kurva Serapan Isoniazid Baku BPFI

(konsentrasi 11 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 21

Gambar 9. Kurva Serapan Rifampisin Baku ARS

(konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 22

Gambar 10. Kurva Serapan Isoniazid Baku BPFI

(konsentrasi 11 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 23

Gambar 11. Kurva Serapan Overlay Rifampisin Baku (ARS) dan

Isoniazid Baku (BPFI) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 25 Gambar 12. Kurva Kalibrasi Rifampisin Baku (ARS) dengan

Berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 230 nm ... 28 Gambar 13. Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku (BPFI) dengan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spektrum Inframerah Rifampisin pada Literatur Pharmaceutical Sub Stance (UV/IR) ... 37

Lampiran 2. Spektrum Inframerah Isoniazid pada Literatur Pharmaceutical

Sub Stance (UV/IR) ... 38

Lampiran 3. Perhitungan Persamaan Regresi Rifampisin Baku (ARS) ... 39

Lampiran 4. Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) Rifampisin Baku (ARS) ... 40

Lampiran 5. Perhitungan Persamaan Regresi Isoniazid Baku (BPFI) ... 41

Lampiran 6. Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) Isoniazid Baku (BPFI) ... 42

Lampiran 7. Hasil Penetapan Kadar Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 43

Lampiran 8. Contoh Perhitungan untuk Mencari Kadar Rifampisin Baku

(PT. Indofarma) ... 44

Lampiran 9. Perhitungan Statistik Kadar Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 45 Lampiran 10. Hasil Penetapan Kadar Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 47 Lampiran 11. Contoh Perhitungan untuk Mencari Isoniazid Baku

(PT. Indofarma) ... 48 Lampiran 12. Perhitungan Statistik Kadar Isoniazid Baku

(PT. Indofarma) ... 49 Lampiran 13. Data Kadar Rifampisin dan Isoniazid Sediaan Tablet ... 52 Lampiran 14. Perhitungan Pencampuran Rifampisin Baku dan Isoniazid Baku

(PT. Indofarma) ... 53

Lampiran 15. Perhitungan Konsentrasi Pengukur an Campuran Rifampisin Baku dan Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 55

(15)

Lampiran 17. Perhitungan Statistik Kadar Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 60

Lampiran 18. Perhitungan Konsentrasi Pengukuran Rifampisin dan Isoniazid Generik (PT. Indofarma) ... 63

Lampiran 19. Perhitungan Statistik Kadar Rifampisin (PT. Indofarma) ... 66

Lampiran 20. Perhitungan Statistik Kadar Isoniazid (PT. Indofarma) ... 68

Lampiran 21. Perhitungan Konsentrasi Pengukuran Rimactazid® (PT. Sandoz) ... 70

Lampiran 22. Perhitungan Statistik Kadar Rifampisin (PT. Sandoz) ... 73

Lampiran 23. Perhitungan Statistik Kadar Isoniazid (PT. Sandoz) ... 75

Lampiran 24. Data Hasil Persen Perolehan Kembali Rifampisin dan Isoniazid dalam Sediaan Tablet Rimactazid® dengan Metode Penambahan Bahan Baku (Standard Addition Method) ... 77

Lampiran 25. Contoh Perhitungan Persentase (%) Perolehan Kembali ... 78

Lampiran 26. Contoh Perhitungan % Recovery dengan Metode Penambahan Baku (Standard Addition Method) ... 81

Lampiran 27. Perhitungan Konsentrasi Pengukuran ... 82

Lampiran 28. Contoh Perhitungan Nilai Absorptivitas Rifampisin dan Isoniazid ... 83

Lampiran 29. Nilai Distribusi t ... 84

Lampiran 30. Sertifikat Analisis Rifampisin Baku (ARS)... 85

Lampiran 31. Sertifikat Analisis Isoniazid Baku (BPFI) ... 86

Lampiran 32. Sertifikat Analisis Rifampisin Baku (PT. Indofarma) ... 87

Lampiran 33. Sertifikat Analisis Isoniazid Baku (PT. Indofarma) ... 88

Lampiran 34. Sertifikat Analisis Amylum Manihot (PT. Varia Sekata) ... 89

Lampiran 35. Sertifikat Analisis Magnesium Stearat (PT. Varia Sekata) ... 90

Lampiran 36. Sertifikat Analisis Laktosa (PT. Varia Sekata) ... 91

(16)

PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN DAN ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET SECARA MULTIKOMPONEN DENGAN METODE

SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET Abstrak

TBC merupakan penyakit infeksi yang paling mematikan dan penyebab

kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Jumlah penderita TBC di Indonesia

sebanyak 583.000 orang, Cina 2 juta dan India 1,5 juta. Tablet kombinasi

rifampisin dan isoniazid merupakan salah satu sediaan obat yang sering digunakan

dalam pengobatan TBC. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan kadar

rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang beredar di pasaran secara

spektrofotometri ultraviolet.

Penetapan kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dilakukan

dengan metode spektrofotometri ultraviolet secara multikomponen menggunakan

pelarut asam klorida 0,1 N pada panjang gelombang 230 nm dan 266 nm. Diukur

validitasnya berdasarkan parameter akurasi (metode penambahan baku) dan

presisi. Rifampisin dan isoniazid baku (PT. Indofarma) sebelum digunakan

terlebih dahulu diidentifikasi menggunakan spektrofotometer FTIR. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa baku yang ditentukan adalah rifampisin dan

isoniazid.

Dari hasil penelitian diperoleh kadar rifampisin yaitu campuran baku (PT.

Indofarma) 100,73% ± 0,07%, tablet generik (PT. Indofarma) 100,19% ± 0,21%,

tablet Rimactazid® (PT. Sandoz) 101,13% ± 0,23%, sedangkan kadar isoniazid yaitu campuran baku (PT. Indofarma) 99,48% ± 0,07%, tablet generik (PT.

Indofarma) 100,63% ± 0,25%, tablet Rimactazid® (PT. Sandoz) 98,96% ± 0,30%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rifampisin dan isoniazid dalam

sediaan tablet yang diteliti memenuhi persyaratan tablet menurut The United

States Pharmacopeia 30 yaitu tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110%

dari jumlah yang tertera pada etiket.

(17)

DETERMINATION OF RIFAMPICIN AND ISONIAZID IN THE TABLET DOSAGE FORM BY ULTRAVIOLET SPECTROPHOTOMETRY

METHOD Abstract

Tuberculosis is the most deadly infectious diseases and the number two

cause of death after heart disease. The number of tuberculosis patients in

Indonesia as many as 583,000 people, China 2 million and 1.5 million Indians.

Combination of rifampicin and isoniazid in the tablet is one of the drugs which is

usually use for TBC treatment. The aim of this study is to determination value of

rifampicin and isoniazid in the tablet which circulates in the general by ultraviolet

spectrophotometry.

The determination of rifampicin and isoniazid in the tablet has been done

by ultraviolet spectrophotometry using hydrochloric acid 0,1 N as a solvent at 230

nm and 266 nm wavelength. It is validity measured based on parameter accuracy

(standard addition method) and precision parameters. Identification of raw

material of rifampicin and isoniazid (PT. Indofarma) has been done by FTIR

spectrophotometer. The result of research that raw material are rifampicin and

isoniazid.

The result of research it has been found that amount of rifampicin has the

mix raw material (PT. Indofarma) 100,73% ± 0,07%, the generic tablet (PT.

Indofarma) 100,19% ± 0,21%, the Rimactazid® tablet(PT. Sandoz) 101,13% ± 0,23%, and that amount of isoniazid has the mix raw material (PT. Indofarma)

99,48% ± 0,07%, the generic tablet (PT. Indofarma) 100,63% ± 0,25%, the

Rimactazid® tablet (PT. Sandoz) 98,96% ± 0,30.

The result of research indicate that determining of rifampicin and isoniazid

in the tablet which researched was fulfilled requirement of The United States

Pharmacopeia 30, not less than 90,0% and not more 10,0% of the labelled

amount.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

TBC merupakan penyakit infeksi yang paling mematikan dan penyebab

kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Menurut laporan Penanggulangan

TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC

pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan

46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru (Anonim, 2010). Penyakit

ini merupakan salah satu penyakit rakyat, yang tiap tahun mengambil banyak

korban. Jumlah penderita di Indonesia sebanyak 583.000 orang menduduki

peringkat ketiga terbesar setelah Cina dan India (2 dan 1,5 juta) dengan angka

kematian sebesar 140.000 per tahun dan kasus baru 262.000 per tahun (Berita

DepKes R.I. PPM & PL 23 Maret 2001). Kawasan Indonesia Timur merupakan

daerah yang banyak penderitanya. Penyakit ini ditemukan terutama diantara

rakyat jelata yang gizi makanannya belum sempurna dan hidup dalam keadaan

sosial-ekonomi dan higienis di bawah normal (Tjay dan Rahardja, 2002).

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok

obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer, yaitu isoniazid, rifampisin,

etambutol, streptomisin dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi

dengan toksisitas yang dapat diterima. Antituberkulosis sekunder adalah

etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin dan kanamisin

(19)

Salah satu persyaratan mutu adalah kadar yang terkandung harus

memenuhi persyaratan kadar seperti yang tercantum dalam Farmakope Indonesia

atau buku resmi lainnya. Informasi studi literatur penetapan kadar bahan baku

rifampisin menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dan The United States

Pharmacopeia 30, ditentukan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

menggunakan fase gerak campuran air:asetonitril:dapar fosfat:asam sitrat 1,0 M:

natrium perklorat 0,5 M (510:350:100:20:20), sedangkan monografi untuk sediaan

tablet tidak tercantum. Penetapan kadar bahan baku isoniazid menurut Farmakope

Indonesia Edisi IV dan The United States Pharmacopeia 30, ditentukan secara

titrimetri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan fase gerak

campuran natrium dokusat:metanol:air (4,4 g:600 ml:400 ml) dan monografi

untuk sediaan tablet sama seperti bahan baku. Metode KCKT ini memerlukan alat

dan biaya operasional yang relatif mahal serta waktu analisis yang relatif lama.

Dilihat dari struktur rifampisin dan isonazid yang mempunyai gugus

kromofor, maka senyawa ini dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet.

Menurut Moffat, (2004) rifampisin memiliki serapan maksimum dalam larutan

asam pada panjang gelombang 231 nm (A11=320a), 263 nm, 336 nm (A11=250a),

sedangkan isoniazid memiliki serapan maksimum dalam larutan asam pada

panjang gelombang 266 nm (A11=390a) dan dalam larutan basa pada panjang

gelombang 298 nm.

Mengingat hal tersebut maka diperlukan metode alternatif yang

memerlukan alat dan biaya operasional yang lebih murah serta lebih mudah dalam

(20)

yang baik. Adapun metode yang dipilih yaitu secara spektrofotometri ultraviolet.

Metode ini memiliki keuntungan antara lain dapat digunakan untuk analisis suatu

zat dalam jumlah kecil, pengerjaannya cepat, sederhana, cukup sensitif dan selekif

serta mudah dalam interpretasi hasil yang diperoleh.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk memeriksa kadar

rifampisin dan isoniazid pada sediaan tablet secara multikomponen dengan

spektrofotometri ultraviolet. Adapun uji validasi yang digunakan yaitu uji akurasi

dengan parameter % perolehan kembali, uji presisi dengan parameter SD (Standar

Deviasi) dan RSD (Relative Standar Deviasi), limit deteksi dan limit kuantitasi.

1.2Perumusan Masalah

1. Apakah kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dapat

ditentukan secara multikomponen dengan metode spektrofotometri

ultraviolet?

2. Apakah kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang beredar di

pasaran memenuhi persyaratan menurut The United States Pharmacopeia

30 tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110%?

1.3Hipotesis

1. Kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet dapat ditentukan

secara multikomponen dengan metode spektrofotometri ultraviolet.

2. Kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang beredar di

pasaran memenuhi persyaratan menurut The United States Pharmacopeia

(21)

1.4Tujuan

1. Menentukan kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang

beredar di pasaran secara multikomponen dengan metode spektrofotometri

ultraviolet.

2. Menentukan kadar rifampisin dan isoniazid dalam sediaan tablet yang

beredar di pasaran memenuhi persyaratan menurut The United States

Pharmacopeia 30 tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110%.

1.5 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar rifampisin dan

isoniazid sehingga dengan kadar yang tepat obat dapat memberikan efek terapi

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

2.1.1 Rifampisin

2.1.1.1 Sifat Fisikokimia

Rumus Struktur :

Rumus molekul : C43H58N4O12

Nama kimia :

5,6,9,17,19,21-Heksahidroksi-23-metoksi-2,4,12,16,18,20,22-

heptametil-8-[N-(4-metil-1-piperazinil)formimidoil]-2,7-

(epoksipentadeka[1,11,13]trienimino]nafto[2,1-b]furan-1,11-(2H)-dion 21-asetat [13292-46-1]

Berat molekul : 822,95

Pemerian : Serbuk hablur, coklat merah.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam kloroform; larut

(23)

2.1.1.2 Farmakologi

Antibiotikum ini adalah derivat semisintetis dari rifamisin B yang dihasilkan oleh

Streptomyces mediterranei. Rifampisin bersifat bakterisid luas terhadap fase

pertumbuhan M. tuberkulosae dan M. leprae, baik yang berada di luar maupun di dalam

sel. Obat ini mematikan kuman yang dormant selama fase pembelahan yang singkat.

Maka, obat ini sangat penting untuk membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya

TBC.

Rifampisin juga aktif terhadap kuman gram-positif dan kuman gram-negatif.

Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri

RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.

Resorpsinya di usus sangat tinggi, distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga

baik. Plasma t1/2 nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan

fungsi hati. Di lain pihak, masa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan waktu

menggunakan isoniazid. Dalam hati terjadi desasetilasi dengan terbentuknya

metabolit-metabolit dengan kegiatan antibakteriil. Ekskresinya melalui empedu (Tjay dan Rahardja,

2002).

2.1.1.3 Efek Samping

Menimbulkan warna oranye yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata

dan lensa mata. Efek samping yang sering terjadi termasuk kulit kemerahan,

trombositopenia, nefritis dan gangguan fungs hati (Katzung, 1998).

2.1.1.4 Dosis

Oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, selalu diberikan dalam

kombinasi dengan isoniazid 300 mg dan untuk 2 bulan pertama ditambah pula dengan

(24)

2.1.2 Isoniazid

2.1.2.1 Sifat Fisikokimia

Rumus Struktur :

Rumus molekul : C6H7N3O

Nama kimia : Asam isonikotinat hidrazida [54-85-3]

Berat molekul : 137,14

Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak

berbau, perlahan-lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya.

Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut

dalam kloroform dan dalam eter (Ditjen POM, 1995).

2.1.2.2 Farmakologi

Derivat asam isonikotinat ini berkhasiat tuberkulostatis paling kuat terhadap M.

tuberkulosae dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Aktif

terhadap kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel

(ekstraseluler).

Mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang

(25)

kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosa dan selalu dalam bentuk

multiple terapi dengan rifampisin dan pirazinamid.

Resorpsinya dari usus sangat cepat, difusinya ke dalam jaringan dan cairan tubuh

baik sekali, bahkan menembus jaringan yang sudah mengeras. Penetrasi yang cepat ini

sangat penting dalam pengobatan tuberculous meningitis. Di dalam hati, isoniazid

diasetilasi oleh enzim asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. Plasma t1/2 nya antara 1

dan 4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi. Ekskresinya melalui ginjal (Tjay dan

Rahardja, 2002).

2.1.2.3 Efek Samping

Gatal-gatal, ikterus, polineuritis, perasaan tidak sehat, letih dan lemah, anoreksia,

kadang-kadang terjadi kerusakan hati dengan hepatitis dan ikterus yang fatal (Tjay dan

Rahardja, 2002).

2.1.2.4 Dosis

Oral/i.m. dewasa dan anak-anak 1 dd 4-8 mg/kg/hari sehari atau 1 dd 300-400

mg, atau sebagai single dose bersama rifampisin, pagi hari a.c. atau sesudah makan bila

terjadi gangguan lambung (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2 Spektrofotometri Ultraviolet

2.2.1 Teori Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi

elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering

digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak,

inframerah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet

adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm, daerah inframerah dekat

(26)

Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk

terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi

molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi. Jika suatu

molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan

menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul

dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron dari

tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya

terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada molekul, maka

hanya akan terjadi satu absorpsi yang merupakan pita spektrum. Terjadinya dua atau

lebih pita spektrum diberikan oleh molekul dengan struktur yang lebih kompleks karena

terjadi beberapa transisi sehingga mempunyai lebih dari satu panjang gelombang

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat dan daerah

tampak disebut gugus kromofor dan hampir semua gugus ini mempunyai ikatan tak

jenuh. Pada kromofor jenis ini transisi terjadi dari π → π*, yang menyerap pada panjang

gelombang maksimum kecil dari 200 nm (tidak terkonyugasi), misalnya pada >C=C<

dan –C ≡ C–. Kromofor ini merupakan tipe transisi dari sistem yang mengandung

elektron π pada orbital molekulnya. Untuk senyawa yang mempunyai sistem konyugasi,

perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan tereksitasi menjadi lebih kecil

sehingga penyerapan terjadi pada panjang gelombang yang lebih besar (Dachriyanus,

2004).

Gugus fungsi seperti –OH, -O, -NH2, dan –OCH3 yang memberikan transisi n →

π* disebut gugus auksokrom. Gugus ini adalah gugus yang tidak dapat menyerap radiasi

ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor

mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran

(27)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet:

a. Pemilihan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang

gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang gelombang

maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan

panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

b. Pembuatan kurva kalibrasi

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur,

kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.

Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi merupakan garis lurus.

c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini

berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut, kesalahan fotometrik

yang terjadi adalah paling minimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.2.2 Hukum Lambert-Beer

Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang

disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi, ini

berlaku untuk radiasi monokromatis dalam larutan yang sangat encer. Kedua pernyataan

ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan

berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dengan

persamaan :

A= a.b.c (g/liter) atau A= ε. b. c (mol/liter)

(28)

a = absorptivitas

b = ketebalan sel

c = konsentrasi

ε = absorptivitas molar

Hukum Lambert-Beer menjadi dasar aspek kuantitatif spektrofotometri dimana

konsentrasi dapat dihitung berdasarkan rumus di atas. Absorptivitas merupakan suatu

tetapan dan spesifik untuk setiap molekul pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.

Menurut Roth dan Blaschke (1981), absorptivitas spesifik juga sering digunakan

untuk menggantikan absorptivitas. Harga ini, memberikan serapan larutan 1 % (b/v)

dengan ketebalan sel 1 cm, sehingga dapat diperoleh persamaan:

A = A11. b. c

Dimana : A11= absorptivitas spesifik

b = ketebalan sel

c = konsentrasi senyawa terlarut (g/100ml larutan)

2.2.3 Penggunaan Spektofotometri Ultraviolet

Analisis kualitatif

Secara eksperimental, sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang

diserap oleh suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi. Suatu grafik yang

menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (atau panjang

gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi yang dibolehkan untuk suatu

molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga spektrum

absorpsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektrum dapat digunakan sebagai bahan

(29)

Analisis kuantitatif

Penggunaan utama spektrofotometri ultraviolet adalah dalam analisis kuantitatif.

Apabila dalam alur spektrofotometer terdapat senyawa yang mengabsorpsi radiasi, akan

terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai detektor. Parameter kekuatan energi

radiasi yang diabsorpsi oleh molekul adalah absorban (A) yang dalam batas konsentrasi

tertentu nilainya sebanding dengan banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi.

Senyawa yang tidak mengabsorpsi radiasi ultraviolet-sinar tampak dapat juga ditentukan

dengan spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak, apabila ada reaksi kimia yang dapat

mengubahnya menjadi kromofor atau dapat disambungkan dengan suatu pereaksi

kromofor (Satiadarma, 2004).

Analisis kuantitatif secara spektrofotometri ultraviolet dapat dilakukan dengan

metode regresi dan pendekatan.

1. Metode Regresi

Analisis kuantitatif dengan metode regresi yaitu dengan menggunakan persamaan

regresi yang didasarkan pada harga serapan dan konsentrasi standar yang dibuat dalam

beberapa konsentrasi, paling sedikit menggunakan 5 rentang konsentrasi yang meningkat

yang dapat memberikan serapan yang linier, kemudian diplot menghasilkan suatu kurva

yang disebut dengan kurva kalibrasi. Konsentrasi suatu sampel dapat dihitung

berdasarkan kurva tersebut.

2. Metode Pendekatan

Analisis kuantitatif dengan cara ini dilakukan dengan membandingkan serapan

standar yang konsentrasinya diketahui dengan serapan sampel. Konsentrasi sampel dapat

dihitung melalui rumus perbandingan C = As. Cb / Ab dimana As = serapan sampel, Ab

= serapan standar, Cb = konsentrasi standar, dan C = konsentrasi sampel (Holme dan

(30)

2.2.4 Peralatan Untuk Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitans atau serapan suatu

sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan penggabungan

dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum

dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukur intensitas

cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Day dan Underwood, 1981).

Unsur -unsur terpenting suatu spektrofotometer adalah sebagai berikut:

1. Sumber-sumber lampu: lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang

gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten

digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 350- 900 nm.

2. Monokromotor: digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.

Alatnya dapat berupa prisma maupun grating. Untuk mengarahkan sinar

monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian.

3. Kuvet (sel): digunakan sebagai wadah sampel untuk menaruh cairan ke dalam berkas

cahaya spektrofotometer. Kuvet itu haruslah meneruskan energi radiasi dalam daerah

spektrum yang diinginkan. Pada pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca atau kuvet

kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah ultraviolet kita

harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.

Kuvet tampak dan ultraviolet yang khas mempunyai ketebalan 1 cm, namun tersedia

kuvet dengan ketebalan yang sangat beraneka, mulai dari ketebalan kurang dari 1

milimeter sampai 10 cm bahkan lebih.

4. Detektor: Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya

pada berbagai panjang gelombang.

5. Suatu amplifier (penguat) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik

(31)

6. Sistem pembacaan yang memperlihatkan besarnya isyarat listrik (Day and Underwood,

1981).

2.3 Validasi

Validasi adalah suatu tindakan terhadap parameter tertentu pada prosedur

penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi

persyaratan untuk penggunaannya (WHO, 1992).

Parameter analisis yang ditentukan pada validasi adalah akurasi, presisi,

kespesifikan, limit deteksi, limit kuantitasi, linieritas dan rentang.

Akurasi (kecermatan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil

analisis dengan kadar analit sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan

kembali (% recovery) analit yang ditambahkan dan dapat ditentukan melalui dua cara

yaitu metode simulasi (spiked placebo recovery) dan metode penambahan bahan baku

(standard addition method). Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali

dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya.

% Perolehan Kembali = x100% C

B A

Keterangan :

A = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan baku

B = konsentrasi sampel sebelum penambahan baku

C = konsentrasi baku yang ditambahkan

Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya

diekspresikan sebagai relatif standar deviasi (RSD) dari sejumlah sampel yang berbeda

(32)

Batas deteksi (limit of detection) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah

dalam sampel yang masih dapat terdeteksi. Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

Batas deteksi =

Slope xSB

3

Batas kuantitasi (limit of quantitation) didefinisikan sebagai konsentrasi analit

terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat

diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

Batas Kuantitasi =

Slope xSB

10

Kelinieran suatu metode analisis adalah kemampuan untuk menunjukkan bahwa

nilai hasil uji langsung atau setelah diolah secara matematika, proporsional dengan

konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu.

Rentang suatu metode analisis adalah interval antara batas konsentrasi tertinggi

dan konsentrasi terendah analit yang dapat ditentukan dengan presisi, akurasi dan

(33)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Penelitian

ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif dan Laboratorium

Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer

inframerah (Shimadzu), spektrofotometer ultraviolet (UV mini 1240 Shimadzu),

oven, neraca analitik (Vibra AJ), dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di

laboratorium.

3.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rifampisin baku

(ARS), isoniazid baku (BPFI), rifampisin baku (PT. Indofarma), isoniazid baku

(PT. Indofarma), amilum manihot (PT. Varia Sekata), talkum (PT. Varia Sekata),

magnesium stearat (PT. Varia Sekata), laktosa (PT. Varia Sekata), KBr

(Shimadzu), asam klorida (E.Merck) dan akuades (Laboratorium Kimia Farmasi

Kuantitatif Fakultas Farmasi USU). Sampel yang digunakan adalah tablet generik

rifampisin dan isoniazid (PT. Indofarma) dan tablet Rimactazid® (PT. Sandoz).

3.3 Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang dilakukan adalah sampling purposif

(34)

Pengambilan sampel secara purposif, tanpa membandingkan sampel antara satu

tempat dengan tempat yang lain, karena pengambilan sampel dianggap homogen.

Sampel yang digunakan adalah tablet generik rifampisin dan isoniazid (PT.

Indofarma) dan tablet Rimactazid® (PT. Sandoz).

3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pembuatan Pereaksi

3.4.1.1 Pembuatan Larutan Asam Klorida 0,1 N (Ditjen POM, 1979)

Dimasukkan kira-kira 250 ml akuades ke dalam wadah, lalu ditambahkan

8,3 ml asam klorida pekat melalui dinding wadah biarkan dingin, kemudian

dicukupkan sampai 1000 ml.

3.4.2 Uji Identifikasi Rifampisin Baku (PT. Indofarma)

3.4.2.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah

Dicampur 10 mg rifampisin baku (PT. Indofarma) dengan 90 mg serbuk

KBr dalam lumpang digerus hingga halus dan homogen, campuran tersebut

diletakkan pada sampel pan, kemudian dipasangkan pada DRS 8000 dan dianalisa

pada bilangan gelombang 4000-500 cm-1. Spektrum inframerah yang diperoleh

dibandingkan dengan literatur (hasil dapat dilihat pada gambar 1 halaman 16).

3.4.2.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet

Sejumlah lebih kurang 50 mg rifampisin baku (PT. Indofarma) ditimbang

seksama, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dengan HCl 0,1

N lalu dicukupkan sampai garis tanda dengan HCl 0,1 N dan dikocok homogen,

(35)

dipipet sebanyak 1,3 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan

diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 13 mcg/ml, diukur serapannya

pada panjang gelombang 200-400 nm dan dibandingkan dengan kurva serapan

rifampisin baku (ARS) (hasil dapat dilihat pada gambar 3 halaman 18).

3.4.3 Uji Identifikasi Isoniazid Baku (PT. Indofarma)

3.4.3.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah

Dicampur 10 mg isoniazid baku (PT. Indofarma) dengan 90 mg serbuk

KBr dalam lumpang digerus hingga halus dan homogen, campuran tersebut

diletakkan pada sampel pan, kemudian dipasangkan pada DRS 8000 dan dianalisa

pada bilangan gelombang 4000-500 cm-1. Spektrum inframerah yang diperoleh

dibandingkan dengan literatur (hasil dapat dilihat pada gambar 5 halaman 19).

3.4.3.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet

Sejumlah lebih kurang 50 mg isoniazid baku (PT. Indofarma) ditimbang

seksama, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dengan HCl 0,1

N lalu dicukupkan sampai garis tanda dengan HCl 0,1 N dan dikocok homogen,

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 mcg/ml. Dari larutan ini,

dipipet sebanyak 1,1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan

diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 11 mcg/ml, diukur serapannya

pada panjang gelombang 200-400 nm dan dibandingkan dengan kurva serapan

(36)

3.4.4 Penetapan Kadar Sampel Secara Spektrofotometri Ultraviolet 3.4.4.1 Pembuatan Larutan Induk Baku

3.4.4.1.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Rifampisin Baku (ARS)

Sejumlah lebih kurang 50 mg rifampisin baku (ARS) ditimbang seksama,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dengan HCl 0,1 N lalu

dicukupkan sampai garis tanda dengan HCl 0,1 N dan dikocok homogen,

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 mcg/ml larutan induk baku.

3.4.4.1.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazid Baku (BPFI)

Sejumlah lebih kurang 50 mg isoniazid baku (BPFI) ditimbang seksama,

dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dengan HCl 0,1 N lalu

dicukupkan sampai garis tanda dengan HCl 0,1 N dan dikocok homogen,

sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 mcg/ml larutan induk baku.

3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

3.4.4.2.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Rifampisin

Dipipet sebanyak 1,3 ml larutan induk baku rifampisin, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda,

dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 13 mcg/ml,

diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm (hasil dapat dilihat pada

(37)

3.4.4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Isoniazid

Dipipet sebanyak 1,1 ml larutan induk baku isoniazid, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda,

dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 11 mcg/ml,

diukur serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm (hasil dapat dilihat pada

gambar 10 halaman 23 dan tabel 2 halaman 24).

3.4.4.3 Penentuan Absorptivitas

3.4.4.3.1 Penentuan Absorptivitas Rifampisin (15 mcg/ml)

Dipipet sebanyak 1,5 ml larutan induk baku rifampisin, dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda,

dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 15 mcg/ml,

diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum rifampisin dan panjang

gelombang maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat pada tabel 3 halaman 26).

3.4.4.3.2 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (10 mcg/ml)

Dipipet sebanyak 1 ml larutan induk baku isoniazid, dimasukkan ke dalam

labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda,

dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 mcg/ml,

diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum rifampisin dan panjang

gelombang maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat pada tabel 5 halaman 26).

3.4.4.3.3 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (15 mcg/ml)

Dipipet sebanyak 1,5 ml larutan induk baku isoniazid, dimasukkan ke

(38)

dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 15 mcg/ml,

diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum rifampisin dan panjang

gelombang maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat tabel 7 halaman 27).

3.4.4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi

3.4.4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifampisin

Dari larutan induk baku rifampisin (500 mcg/ml) dipipet masing-masing

sebanyak 0,6; 0,9; 1,2; 1,5 dan 1,8 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml

dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen

hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 6; 9; 12; 15 dan 18 mcg/ml, diukur

serapannya pada panjang gelombang maksimum rifampisin (hasil dapat dilihat

pada gambar 12 halaman 28 dan tabel 10 halaman 29).

3.4.4.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazid

Dari larutan induk baku isoniazid (500 mcg/ml) dipipet masing-masing

sebanyak 0,6; 0,8; 1; 1,2 dan 1,4 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml

dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen

hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 6; 8; 10; 12 dan 14 mcg/ml, diukur

serapannya pada panjang gelombang maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat

pada gambar 13 dan tabel 11 halaman 30).

3.4.4.5Penetapan Kadar Sampel

3.4.4.5.1 Penetapan Kadar Rifampisin Baku (PT. Indofarma)

Timbang seksama lebih kurang 100 mg rifampisin baku (PT. Indofarma),

(39)

100 ml dan dilarutkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai

homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 mcg/ml. Dari larutan

tersebut, dipipet 5 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan

dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen hingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 100 mcg/ml. Dari larutan tersebut, dipipet 3,4 ml

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N

sampai garis tanda, dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan

konsentrasi 13,6 mcg/ml. Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum

rifampisin (hasil dapat dilihat pada tabel 12 halaman 31).

3.4.4.5.2 Penetapan Kadar Isoniazid Baku (PT. Indofarma)

Timbang seksama lebih kurang 100 mg isoniazid baku (PT. Indofarma),

dilakukan sebanyak 6 kali. Masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur

100 ml dan dilarutkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai

homogen hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 mcg/ml. Dari larutan

tersebut, dipipet 5 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan

dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen hingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 100 mcg/ml. Dari larutan tersebut, dipipet 2,8 ml

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N

sampai garis tanda, dikocok sampai homogen hingga diperoleh larutan dengan

konsentrasi 11,2 mcg/ml. Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum

(40)

3.4.4.5.3 Penetapan Kadar Campuran Rifampisin Baku dan Isoniazid Baku (PT. Indofarma)

Homogenkan rifampisin baku dan isoniazid baku (PT. Indofarma),

tambahkan laktosa, amilum manihot, talkum dan magnesium stearat. Sejumlah

serbuk timbang seksama setara 231 mg rifampisin dan 154 mg isoniazid, lakukan

sebanyak 6 kali. Masing-masing masukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan

dilarutkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen.

Saring dengan kertas saring, 10 ml filtrat pertama dibuang. Dari larutan tersebut,

dipipet 10 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan diencerkan dengan

HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Dari larutan tersebut,

dipipet 3,3 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan

HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Ukur serapan pada

panjang gelombang maksimum rifampisin dan pada panjang gelombang

maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat pada tabel 13 halaman 32).

3.4.4.5.4 Penetapan Kadar Sampel Tablet Generik Rifampisin dan Isoniazid (PT. Indofarma)

Sejumlah 20 tablet ditimbang dan diserbukkan homogen. Sejumlah serbuk

timbang seksama setara 150 mg rifampisin dan 150 mg isoniazid, lakukan

sebanyak 6 kali. Masing-masing masukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan

dilarutkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen.

Saring dengan kertas saring, 10 ml filtrat pertama dibuang. Dari larutan tersebut,

dipipet 10 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan diencerkan dengan

HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Dari larutan tersebut,

dipipet 5,1 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan

(41)

panjang gelombang maksimum rifampisin dan pada panjang gelombang

maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat pada tabel 13 halaman 32).

3.4.4.5.5 Penetapan Kadar Sampel Tablet Rimactazid® (PT. Sandoz)

Sejumlah 20 tablet ditimbang dan diserbukkan homogen. Sejumlah serbuk

timbang seksama setara 231 mg rifampisin dan 154 mg isoniazid, lakukan

sebanyak 6 kali. Masing-masing masukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan

diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen.

Saring dengan kertas saring, 10 ml filtrat pertama dibuang. Dari larutan tersebut,

dipipet 10 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan diencerkan dengan

HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Dari larutan tersebut,

dipipet 3,3 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan

HCl 0,1 N sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Ukur serapan pada

panjang gelombang maksimum rifampisin dan pada panjang gelombang

maksimum isoniazid (hasil dapat dilihat pada tabel 13 halaman 32).

3.5 Uji Validasi dengan Parameter Akurasi, Presisi, Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

3.5.1 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali (% Recovery)

Uji akurasi dilakukan dengan metode penambahan baku (Standard

Addition Method) yaitu dengan membuat konsentrasi 3 analit dengan rentang

spesifik 80%, 100% dan 120%, dimana masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali

replikasi. Setiap rentang spesifik mengandung 70% analit dan 30% baku,

kemudian dianalisa dengan perlakuan yang sama seperti pada penetapan kadar

(42)

Persen perolehan kembali (% recovery) dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

% Recovery = x C

B

A

100%

Keterangan :

A = Konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan baku.

B = Konsentrasi sampel sebelum penambahan baku.

C = Konsentrasi baku yang ditambahkan.

3.5.2 Uji Presisi

Uji presisi (keseksamaan) ditentukan dengan parameter RSD (Relative

Standard Deviasi) dengan rumus :

RSD = x100% X

SD

Keterangan:

RSD = Relatif Standar Deviasi

SD = Standar Deviasi

X = Kadar rata-rata sampel

(43)

3.5.3 Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)

Untuk menentukan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dapat

digunakan rumus:

LOD=

SB = Simpangan Baku

LOD = Batas Deteksi

LOQ = Batas Kuantitasi

3.6 Analisis Data Secara Statistik

Untuk menghitung Standar Deviasi (SD) digunakan rumus:

Untuk mengetahui apakah data diterima atau ditolak digunakan rumus

(44)

t =

n SD

X X

Dasar penolakan data jika thitung ≥ ttabel dan bila thitung mempunyai nilai

negatif, data ditolak jika t hitung ≤ -ttabel.

Untuk mencari kadar sebenarnya dengan taraf kepercayaan 99%, dengan

derajat kebebasan dk = n -1, digunakan rumus:

μ =

X

± t

(

11/2α

)

dk x SD / n

Keterangan:

μ = interval kepercayaan

X = kadar rata-rata sampel

X = kadar sampel

t = harga t tabel sesuai dengan dk = n -1

α = tingkat kepercayaan

dk = derajat kebebasan

SD = standar deviasi

(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Identifikasi Rifampisin Baku (PT. Indofarma)

4.1.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah

Rifampisin baku yang diperoleh dari PT. Indofarma sebelum digunakan

sebagai pembanding terlebih dahulu diidentifikasi menggunakan spektrofotometer

FTIR pada rentang bilangan gelombang 4000–500 cm-1 dengan metode pellet

KBr.

Spektrum inframerah rifampisin baku (PT. Indofarma) dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Peak (cm-1)

(46)

Gambar 1. Spektrum Inframerah Rifampisin Baku (PT. Indofarma)

Gambar 2. Spektrum Inframerah Rifampisin pada Literatur Pharmaceutical Sub Stance (UV/IR)

Dari hasil spektrum rifampisin diperoleh bentuk spektrum yang hampir

sama dengan spektrum pembanding yang terdapat pada library (dapat dilihat pada

gambar 2). Bilangan gelombang pada daerah sidik jari juga hampir sama dengan

bilangan gelombang yang terdapat pada literatur yaitu pada bilangan gelombang

1250, 1567, 976, 1098, 1064, 1650 cm-1.

Dari data spektrum yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa baku

yang diidentifikasi adalah rifampisin.

4.1.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet

Pada penelitian ini, dianalisis spektrum rifampisin baku (PT. Indofarma)

dan dibandingkan dengan panjang gelombang serapan maksimum rifampisin baku

(47)

Gambar 3. Kurva Serapan Rifampisin Baku PT. Indofarma (konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N

Gambar 4. Kurva Serapan Rifampisin Baku ARS (konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N

Dari hasil pengukuran diperoleh puncak yang sama dengan puncak

rifampisin baku (ARS). Panjang gelombang serapan maksimum rifampisin baku

(48)

Indofarma) yaitu 231 nm, hal ini berarti baku dari PT. Indofarma adalah

rifampisin. Menurut Farmakope Indonesia Ed IV, suatu penetapan kadar atau

pengujian mengenai panjang gelombang serapan maksimum tersebut tepat pada

atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan.

4.2 Uji Identifikasi Isoniazid Baku (PT. Indofarma)

4.2.1 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Inframerah

Isoniazid baku yang diperoleh dari PT. Indofarma sebelum digunakan

sebagai pembanding terlebih dahulu diidentifikasi menggunakan spektrofotometer

FTIR pada rentang bilangan gelombang 4000–500 cm-1 dengan metode pellet

KBr.

Spektrum inframerah isoniazid baku (PT. Indofarma) dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Peak (cm-1)

677,01 844,82 995,27 1552,7 1631,78 1651,07

(49)

Gambar 6. Spektrum Inframerah Isoniazid pada Literatur Pharmaceutical Sub Stance (UV/IR)

Dari hasil spektrum isoniazid diperoleh bentuk spektrum yang hampir

sama dengan spektrum pembanding yang terdapat pada library (dapat dilihat pada

gambar 6). Bilangan gelombang pada daerah sidik jari juga hampir sama dengan

bilangan gelombang yang terdapat pada literatur yaitu pada bilangan gelombang

1653, 1541, 1621, 676, 992, 845 cm-1.

Dari data spektrum yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa baku

yang diidentifikasi adalah isoniazid.

4.2.2 Uji Identifikasi Berdasarkan Data Spektrum Ultraviolet

Pada penelitian ini dianalisis spektrum isoniazid baku (PT. Indofarma) dan

dibandingkan dengan panjang gelombang serapan maksimum isoniazid baku

(50)

Gambar 7. Kurva Serapan Isoniazid Baku PT. Indofarma (konsentrasi 11 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N

Gambar 8. Kurva Serapan Isoniazid Baku BPFI (konsentrasi 11 mcg/ml)

dalam Pelarut HCl 0,1 N

Dari hasil pengukuran diperoleh puncak yang sama dengan puncak

(51)

(BPFI) dan isoniazid baku (PT. Indofarma) sama yaitu 266 nm, hal ini berarti

baku dari PT. Indofarma adalah isoniazid.

4.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

4.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Rifampisin

Pada penelitian ini digunakan baku rifampisin dari Asean Reference

Substance (ARS). Hasil dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Kurva Serapan Rifampisin Baku ARS (konsentrasi 13 mcg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N

(52)

Dari hasil pengukuran secara spektrofotometri ultraviolet diperoleh tiga

puncak, yaitu pada panjang gelombang 230 nm, 263 nm dan 334 nm. Menurut

Moffat, (2004) rifampisin memiliki serapan maksimum dalam larutan asam 231

nm. Serapan maksimum pada panjang gelombang 230 nm masih dapat ditoleransi.

Menurut Farmakope Indonesia Ed IV, suatu penetapan kadar atau pengujian

mengenai panjang gelombang serapan maksimum tersebut tepat pada atau dalam

batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Berdasarkan hal tersebut,

peneliti memilih panjang gelombang serapan maksimum 230 nm dengan serapan

0,4081.

4.3.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Isoniazid

Pada penelitian ini digunakan isoniazid baku dari Badan Pengawasan Obat

dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Hasil dapat dilihat pada gambar

10.

(53)

Tabel 2. Data Panjang Gelombang Serapan Maksimum Isoniazid Baku (BPFI)

Dari hasil pengukuran secara spektrofotometri ultraviolet diperoleh dua

puncak, yaitu pada panjang gelombang 215 nm dan 266 nm. Menurut Moffat,

(2004) isoniazid memiliki serapan maksimum dalam larutan asam 266 nm.

Menurut Farmakope Indonesia Ed IV, suatu penetapan kadar atau pengujian

mengenai panjang gelombang serapan maksimum tersebut tepat pada atau dalam

batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Berdasarkan hal tersebut

peneliti memilih panjang gelombang serapan maksimum 266 nm dengan serapan

0,4353.

4.3.3 Penggabungan Kurva Serapan Rifampisin dan Isoniazid

Kurva overlay antara rifampisin baku (ARS) dan isoniazid baku (BPFI)

(54)

Gambar 11. Kurva Serapan Overlay Rifampisin Baku (ARS) dan Isoniazid Baku (BPFI) dalam Pelarut HCl 0,1 N

Dari hasil pengukuran secara spktrofotometri ultraviolet diperoleh bahwa

pada pengukuran rifampisin terjadi gangguan yang disebabkan dari pengukuran

isoniazid dan sebaliknya pada pengukuran isoniazid terjadi gangguan yang

disebabkan dari pengukuran rifampisin, sehingga kurva serapan overlay

rifampisin baku (ARS) dan isoniazid baku (BPFI) merupakan spektrum absorpsi

saling tindih dua-jalan. Saling tindih dua-jalan artinya tidak ada panjang

gelombang yang masing-masing senyawa dapat di ukur tanpa mengalami

gangguan oleh yang lainnya. (Jr, R. A. Day dan Linderwood, A. L., 1990)

4.4 Penentuan Absorptivitas

4.4.1 Penentuan Absorptivitas Rifampisin (15 mcg/ml)

Pada penelitian ini digunakan rifampisin baku (ARS) yang diukur pada

panjang gelombang rifampisin (230 nm) dan isoniazid (266 nm). Hasil dapat

(55)

Tabel 3. Nilai Absorptivitas Rifampisin

NO Sampel Panjang

Gelombang

Absorbansi (A)

Absorptivitas (a)

1 Rifampisin (15 mcg/ml)

230 0,4733 0,0315

2 266 0,4276 0,0285

(perhitungan nilai absorptivitas dapat dilihat pada lampiran 28 halaman 81)

Tabel 4. Data Absorbansi Rifampisin Baku (ARS) dan Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang 230 nm

4.4.2 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (10 mcg/ml)

Pada penelitian ini digunakan isoniazid baku (BPFI) yang diukur pada

panjang gelombang rifampisin (230 nm) dan isoniazid (266 nm). Hasil dapat

dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Nilai Absorptivitas Isoniazid

NO Sampel Panjang

Gelombang

Absorbansi (A)

Absorptivitas (a)

1 Isoniazid (10 mcg/ml)

230 0,2336 0,0234

2 266 0,3887 0,0389

(56)

Tabel 6. Data Absorbansi Rifampisin Baku (ARS) dan Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang 266 nm

4.4.3 Penentuan Absorptivitas Isoniazid (15 mcg/ml)

Pada penelitian ini digunakan rifampisin baku (ARS) yang diukur pada

panjang gelombang rifampisin (230 nm) dan isoniazid (266 nm). Hasil dapat

dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Nilai Absorptivitas Isoniazid

NO Sampel Panjang

Gelombang

Absorbansi (A)

Absorptivitas (a)

1 Isoniazid (15 mcg/ml)

230 0,2800 0,0187

2 266 0,5493 0,0366

(57)

Tabel 8. Data Absorptivitas Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang

230 nm

Tabel 9. Data Absorptivitas Isoniazid Baku (BPFI) pada Panjang Gelombang

(58)

4.5 Penentuan Kurva Kalibrasi

4.5.1 Penentuan Kurva Kalibrasi Rifampisin Baku (ARS)

Pembuatan kurva kalibrasi rifampisin baku (ARS) dilakukan dengan

membuat berbagai konsentrasi pengukuran yaitu 6 mcg/ml, 9 mcg/ml, 12 mcg/ml,

15 mcg/ ml dan 18 mcg/ml, kemudian diukur serapannya pada panjang

gelombang 230 nm. Linearitas kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar 12 (data

pengamatan dan perhitungan pada lampiran 3 halaman 37).

Gambar 12. Kurva Kalibrasi Rifampisin Baku (ARS) dengan Berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 230 nm

(59)

Dari hasil pembuatan kurva kalibrasi rifampisin baku (ARS) diperoleh

hubungan yang linier antara konsentrasi dan serapan dengan koefisien korelasi

(r)=0,9998 dan persamaan regresi Y= 0,032714 X – 0,00214. Koefisien korelasi

yang diperoleh memenuhi kriteria penerimaan untuk korelasi adalah r ≥ 0,995

(Shargel, 1995).

4.5.2 Penentuan Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku (BPFI)

Pembuatan kurva kalibrasi isoniazid baku (BPFI) dilakukan dengan

membuat berbagai konsentrasi pengukuran yaitu 6 mcg/ml, 8 mcg/ml, 10 mcg/ml,

12 mcg/ml dan 14 mcg/ml, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang

266 nm. Linearitas kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar 13 (data pengamatan

dan perhitungan pada lampiran 5 halaman 39).

(60)

Tabel 11. Data Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku (BPFI)

Dari hasil pembuatan kurva kalibrasi isoniazid baku (BPFI) diperoleh

hubungan yang linier antara konsentrasi dan serapan dengan koefisien korelasi

(r)=0,9998 dan persamaan regresi Y= 0,039681 X + 0,004326. Koefisien korelasi

yang diperoleh memenuhi kriteria penerimaan untuk korelasi adalah r ≥ 0,995

(Shargel, 1995).

4.6 Penetapan Kadar Rifampisin dan Isoniazid Baku (PT. Indofarma)

Dilakukan penetapan kadar rifampisin baku dan isoniazid baku secara

spektrofotometri ultraviolet, menggunakan pelarut HCl 0,1 N. Hasil dapat dilihat

Gambar

gambar  di bawah ini:
Gambar 1. Spektrum Inframerah Rifampisin Baku (PT. Indofarma)
Gambar 4. Kurva Serapan Rifampisin Baku ARS (konsentrasi 13 mcg/ml)
gambar  di bawah ini:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode spektrofotometri ultraviolet dapat digunakan untuk penetapan kadar ketoprofen dalam sediaan tablet karena pada hasil uji validasi, metode ini menunjukkan akurasi dan

Hasil uji validasi yang didapat menunjukkan bahwa metode spektrofotometri ultraviolet dapat digunakan untuk penetapan kadar ofloksasin dalam sediaan tablet, karena

Berdasarkan uraian diatas, dalam penelitian ini akan dilakukan penetapan kadar deksklorfeniramin maleat dan betametason pada sediaan tablet secara spektrofotometri

Penelitian ini dilakukan menggunakan dua jenis metode, yaitu menggunakan metode spektrofotometri sinar tampak untuk penetapan kadar rifampisin, dilakukan pada panjang gelombang

Penetapan kadar ofloksasin dalam sediaan tablet dilakukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet menggunakan pelarut metanol pada panjang gelombang 297,5 nm dan diuji

Metode spektrofotometri ultraviolet dapat digunakan untuk menetapkan kadar ofloksasin dalam sediaan tablet dan memenuhi syarat uji validasi metode. Kadar

Penetapan kadar domperidone dalam sediaan tablet dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet dengan pelarut metanol dan diukur serapannya pada panjang gelombang 286 nm.. Kadar

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakukan penetapan kadar domperidone secara spektrofotometri ultraviolet dengan pelarut metanol untuk menentukan apakah sediaan