• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) Secara Oral dan Topikal Terhadap Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) Secara Oral dan Topikal Terhadap Mencit"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK

DAUN MONDOKAKI (

Tabernaemontana divaricata

R.Br)

SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP

MENCIT

Oleh:

Tri Bintarti

NIM 067014005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK

DAUN MONDOKAKI (

Tabernaemontana divaricata

R.Br)

SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP

MENCIT

Oleh:

Tri Bintarti

NIM 067014005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS Judul :

UJI EFEK ANTI INFLAMASI DAN ANALGETIK EKSTRAK

DAUN MONDOKAKI (

Tabernaemontana divaricata

R.Br)

SECARA ORAL DAN TOPIKAL TERHADAP MENCIT

Oleh :

NIP 195301011983031004 NIP 195301011983031004

Prof. Dr.Urip Harahap, Apt.

Pembimbing II,

NIP 195311281983031002

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

NIP 195311281983031002 NIP 194908111976031001

Dr.M.PandapotanNasution,MPS.,Apt. Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 195311281983031002

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

(4)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak

terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis

dengan judul Uji Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki

(Tabernaemontana divaricata R.Br) Secara Oral dan Topikal Terhadap Mencit

sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas

Farmasi. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.

Selama penyelesaian penelitian dan tesis ini penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun

materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang

tiada terhingga kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis,

DTM&H., Sp.A(K)., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi

penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas

Farmasi.

3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., yang tiada hentinya

memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk

menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Farmasi.

4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Pembimbing I, dan Bapak Prof.

Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Pembimbing II yang telah

(5)

kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian, dan penyelesaian

tesis ini.

5. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., dan Bapak Edy Suwarso,

SU., Apt., sebagai penguji.

6. Kepala Lab. Farmakologi, Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., beserta staf

yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan sarana kepada penulis dalam

melakukan penelitian.

7. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, suami Drs. Harmel Fuaddin Nasution,

Apt., dan anak semata wayang Harnanda Wydiastanto atas segala kasih

sayang yang diberikan.

8. Kepada ananda tersayang di Laboratorium Farmakologi Farmasi Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara, Dadang, Bagus, Emil, Tata, dan Intan.

Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kiranya Allah SWT

memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan dan bantuan yang

telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir

kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu

pengetahuan khususnya bidang Farmasi.

Medan, Februari 2010

(6)

ABSTRAK

Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap kerusakan sel ataupun jaringan yang disebabkan oleh berbagai rangsangan berupa fisika, kimia, mekanis maupun akibat peningkatan kristal asam urat yang berlebihan. Pengobatan antiinflamasi dapat dilakukan secara modern, yaitu menggunakan obat sintesis, maupun pengobatan secara alternatif menggunakan bahan yang berasal dari alam seperti tumbuhan. Pengobatan modern untuk mengurangi peradangan dapat menimbulkan efek samping. Obat antiinflamasi steroid pada dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti osteoporosis, udem dan imunosupresi. Sedangkan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi lambung. Oleh karena itu, penggunaan obat untuk mengurangi peradangan beralih ke pengobatan dengan menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang digunakan masyarakat untuk mengurangi peradangan adalah tumbuhan

mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br).

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental farmakologis untuk menguji aktivitas antiinflamasi dan analgetik baik secara oral dan topikal. Pada penelitian

ini sebagai subjek adalah mencit, λ-karagenan 1% (b/v) sebagai penginduksi

radang, pembanding adalah indometasin. Sedangkan penginduksi nyeri secara fisika digunakan pelat panas, dengan pembanding antalgin, dan untuk pembanding sediaan gel adalah natrium diklofenak. Ekstrak tumbuhan sidaguri dibuat secara perkolasi dengan etanol (EES), n-heksan (En-HS), dan ethil asetat (EEAcS). Data

yang diperoleh diuji secara statistik menggunakan ANAVA (n=6; P>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEM dan EEAcM, mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sama secara statistik dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB. Sedangkan En-HM tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Sediaan EEM yang diuji menunjukkan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada dosis 600 mg/kg BB. Sediaan gel ekstrak etanol (GEEM) menunjukkan hasil yang sama secara statistik dengan gel natrium diklofenak 1%. GEEM yang di uji memberikan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada konsentrasi 3%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgetik yang sama secara statistik dengan antalgin dosis 100 mg/kg BB. Tetapi sediaan EEM menunjukkan hasil yang baik pada dosis 600 mg/kg BB sebagai analgetik.

Kata kunci: Tumbuhan Mondokaki, Tabernaemontana divaricata R.Br,

(7)

ABSTRACT

Inflammation is a defense response of the body against the damage of cell or tissue caused by various stimuli, whether it’s physical, chemical, mechanical or the excessive elevation of uric acid crystals. The anti-inflammatory treatment can be done either in the modern way, which is using synthetic drugs, or alternatively, using natural materials like plants. The modern treatment of inflammation can shows side effects, though. Steroidal Anti Inflammatory Drugs (SAIDs) in high dosage and long-term use can cause adverse effects such as ostheoporosis, oedema and immunosupression. While the Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) can cause adverse effects like gastric irritation. Because of that, the usage of drugs to ease inflammation recently shows the trend of shifting to the treatment using plant materials. One of the plants traditionally used by the people

to ease inflammation is the Mondokaki plant (Tabernaemontana divaricata R.Br).

This research was done pharmacological experimentally to test antiinflammatory activity and analgetic activity, both orally and topically. In the

research, mice were used as subject, λ-carragenin 1% (w/v) as inflammation

inductor, and indomethacin as control drug. While as for the pain inductor, physically, hot plate was used, with antalgin as control drug, and sodium-diclofenac as control for gel preparation. The Mondokaki plant extract was made with percolation method using ethanol (MEE = Mondokaki Ethanolic Extract), n-hexane (MNE = Mondokaki N-n-hexane Extract), and ethyl acetate (MEAcE = Mondokaki Ethyl Acetate Extract). The data obtained was then tested and

assessed statistically using ANOVA (n=6; P>0,05).

The result of the research showed that MEE and MEAcE both had same antiinflammatory activity statistically with indomethacin dosage 10 mg/kgBW. While MEAcE didn’t have any antiinflammatory activity. The MEE preparation tested showed good result as antiinnflammatory drug in the dosage of 600 mg/kgBW. The gel preparation of the ethanolic extract (MEEG = Mondokaki Ethanolic Extract Gel) showed same result statistically with sodium-diclofenac gel 1%. The tested MEEG showed better result as antiinflammatory in 3% concentration. In the research it was also found that MEE, MNE, and MEAcE had the same analgetic activity statistically with antalgin, dosage 100 mg/kgBW. But the MEE preparation showed good result as analgetic at the dose of 600 mg/kgBW.

Keyword(s) : Mondokaki plant, Tabernaemontana divaricata R.Br,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Uraian Singkat Tumbuhan ... 7

2.1.1 Morfologi Tumbuhan ... 7

2.1.2 Sistematik Tumbuhan ... 8

2.1.3 Nama Lokal ... 8

(9)

2.2 Ekstraksi ... 9

2.3 Inflamasi (Peradangan) ... 11

2.3.1 Gejala-gejala Peradangan ... 12

2.3.2 Mekanisme Terjadinya Radang ... 14

2.3.3 Mediator Peradangan ... 15

2.4 Obat-obat Antiinflamasi ... 18

2.4.1 Obat Antiinflamasi Steroid Adrenal (Glukokortikoida) ... 19

2.4.2 Obat Antiinflamasi Non-steroida (AINS) ... 20

2.5 Indometasin ... 21

2.5.1 Sifat Kimia ... 21

2.5.2 Sifat Fisika ... 22

2.5.2 Farmakologi ... 22

2.6 Rasa Nyeri ... 23

2.6.1 Pembagian Rasa Nyeri ... 24

2.6.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri ... 24

2.7 Analgetika ... 25

2.7.1 Pembagian Analgetika ... 25

2.7.2 Mekanisme Kerja Analgetika ... 26

2.7.3 Metode Pengujian Analgetika ... 27

2.7.3.1 Metode Panas ... 27

2.7.3.2 Metode Listrik ... 28

2.7.3.3 Metode Tekanan ... 29

2.7.3.4 Metode Kimia ... 29

(10)

2.8.1 Sifat Kimia ... 29

2.8.2 Farmakologi ... 30

2.9 Diklofenak ... 31

2.9.1 Sifat Kimia ... 31

2.9.2 Farmakologi ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Desain Penelitian ... 33

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.3 Identifikasi Tumbuhan ... 34

3.4 Tahapan Penelitian ... 34

3.5 Alat dan Bahan ... 35

3.5.1 Alat-alat yang Digunakan ... 35

3.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan ... 35

3.6 Hewan Percobaan ... 35

3.7 Sampel Penelitian ... 37

3.5.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel ... 37

3.5.2 Uji Kadar Air ... 37

3.5.2 Ekstraksi Simplisia Daun Mondokaki ... 38

3.8 Uji Farmakologi ... 39

3.8.1 Uji Efek Antiinflamasi ... 39

3.8.1.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 39

3.8.1.2 Penyiapan Bahan Uji, Obat pembanding dan Kontrol ... 39

(11)

3.8.1.4 Pembuatan SEEM, SEn-HM, SEEAcM

1% (b/v) ... 40

3.8.1.5 Pembuatan Suspensi Indometasin Dosis 10 mg/kg BB ... 40

3.8.1.6 Penyiapan Induktor Inflamasi ... 40

3.8.1.7 Persiapan Alat Pletismometer UGO Basile Cat No.71 ... 40

3.8.1.8 Uji Pendahuluan ... 41

3.8.1.9 Uji Efek Antiinflamasi per Oral ... 41

3.8.1.10 Uji Antiinflamasi Topikal ... 42

3.8.1.11 Perhitungan Persen Radang (%R) dan Inhibisi Radang (%IR) ... 43

3.10 Uji Efek Analgetik ... 44

3.11 Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Uji Antiinflamasi ... 48

4.1.1 Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki (EEM) ... 49

4.1.2 Uji Antiinflamasi Suspensi Ekstrak n-Heksana Mondokaki (SEn-HM) ... 62

4.1.3 Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Mondokaki (EEAcM) ... 73

4.1.1 Uji Antiinflamasi Topikal Gel Ekstrak Etanol Mondokaki (GEEM) ... 86

4.2 Uji Efek Analgetik ... 99

4.2.1 Uji Efek Analgetik Suspensi Ekstrak Etanol Mondokaki (SEEM) ... 100

(12)

4.2.3 Uji Efek Analgetik SEEAcM ... 117

4.3 Pembahasan ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 130

5.1 Kesimpulan ... 130

5.2 Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 132

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki

mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEEM .... 52

4.2. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-30 ... 53

4.3. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-60 .... 54

4.4. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-90 .... 55

4.5. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 55

4.6. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 56

4.7. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 57

4.8. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 57

4.9. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 58

4.10. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 58

4.11. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 59

4.12. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 60

4.13. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEn-HM ... 65

4.14. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 66

4.15. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 67

4.16. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 67

4.17. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 68

4.18. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 68

4.19. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 69

(14)

4.21. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 70

4.22. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 70

4.23. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 71

4.24. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 71

4.25. Tabel Anava perlakuan antar kelompok persen radang kaki mencit mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-360 SEEAcM ... 76

4.26. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 77

4.27. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 78

4.28. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 78

4.29. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-120 .. 79

4.30. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-150 .. 80

4.31. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-180 .. 80

4.32. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 81

4.33. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 82

4.34. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 82

4.35. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 83

4.36. Hasil uji lanjutan Duncan antar kelompok pada menit ke-330 .. 84

4.37. Tabel Anava dari menit ke-30 sampai menit ke-360 uji antiinflamasi topikal GEEM ... 89

4.38. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 90

4.39. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 91

4.40. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 91

4.41. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 92

4.42. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-150 .. 92

(15)

4.44. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-210 .. 94

4.45. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-240 .. 94

4.46. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-270 .. 95

4.47. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-300 .. 95

4.48. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-330 .. 96

4.49. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-360 .. 96

4.50. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEEM pada setiap perlakuan ... 100

4.51. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEEM Mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 102

4.52. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 103

4.53. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 103

4.54. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 104

4.55. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 105

4.56. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 105

4.57. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 106

4.58. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 106

4.59. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEn-EM pada setiap perlakuan ... 109

4.60. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEn-HM mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 111

4.61. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 112

4.62. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 113

4.63. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 113

4.64. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 114

(16)

4.66. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 115

4.67. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-120 .. 116

4.68. Rerata waktu awal mula timbul nyeri SEn-EM pada setiap perlakuan ... 118

4.69. Tabel Anava perlakuan antar kelompok uji analgetik SEEAcM mulai menit ke-10 sampai menit ke-120 ... 120

4.70. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-10 .... 121

4.71. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-20 .... 121

4.72. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-30 .... 122

4.73. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-45 .... 122

4.74. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-60 .... 123

4.75. Hasil uji lanjutan Duncan antar perlakuan pada menit ke-90 .... 124

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Diagram yang menunjukkan kerangka konsep penelitian

pembuatan ekstrak ... 3

1.2. Skema yang menggambarkan kerangka konsep uji antiinflamasi dan analgetik ekstrak daun Mondokaki ... 4

2.1. Rumus bangun taberhanine dan conophyllinine ... 9

2.2. Patogenesis dan gejala suatu peradangan ... 15

2.3. Metabolisme asam arakhidonat dan sintesis prostaglandin dan leukotrien ... 17

2.4. Rumus bangun indometasin ... 22

2.5. Rumus bangun antalgin ... 30

2.6. Rumus bangun diklofenak ... 31

3.1. Tumbuhan mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br.) . 139

3.2. Bunga tumbuhan mondokaki ... 139

3.3. Simplisia tumbuhan mondokaki ... 140

3.4. Alat penetapan kadar air... 141

3.5. Mencit galur swiss albino ... 143

3.6. Telapak kaki kiri mencit sebelum penyuntikan karagenan 1% (b/v) ... 143

3.7. Telapak kaki kiri mencit setelah penyuntikan karagenan 1% (b/v) ... 143

3.8. Pletismometer digital UGO Basile Cat.No.7140 ... 144

3.9. Alat plat panas dengan temperatur stabil ... 145

3.10. Mencit sedang menjilat kaki yang merasakan respon panas .... 145

(18)

4.1. Grafik persen radang versus waktu (mean ± SEM) pada

4.6. Grafik luas area di bawah kurva persen radang terhadap

waktu pada berbagai perlakuan SEn-HM ... 73

4.9. Grafik luas area di bawah kurva persen radang terhadap

waktu pada berbagai perlakuan SEEAcM ... 86

4.13. Grafik waktu awal mula timbul nyeri versus waktu (mean ±

(19)

4.17. Grafik waktu awal mula timbul nyeri versus waktu (mean

± SEM) pada berbagai perlakuan SEEAcM ... 119

4.18. Grafik luas area di bawah kurva waktu awal timbul nyeri

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Keterangan Komis Etik penelitian Bidang Kesehatan... 136

2. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 137

3. Bagan Penelitian Pengujian Efek Antiinflamasi dan Analgetik Ekstrak Daun Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br.) ... 138

4. Gambar Tumbuhan, Bunga dan Simplisia Mondokaki ... 139

5. Gambar Alat penetapan Kadar Air ... 141

6. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Kadar Air Simplisia ... 142

7. Gambar Mencit galur Swiss Albino, Kaki Mencit Sebelum dan Sesudah Penyuntikan λ-karagenan ... 143

8. Gambar Pletismometer digital UGO Basile Cat.No.7140 ... 144

9. Gambar Alat Plat Panas Dengan Temperatur Stabil dan Mencit Sedang Menjilat Kaki Yang Merasakan Respon Panas ... 145

10. Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang ... 146

11. Contoh Perhitungan Dosis ... 147

12. Data Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 148

13. Data Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral 152

14. Data Antiinflamasi Ekstrak n-Heksan Mondokaki per Oral .. 156

15. Data Antiinflamasi Ekstrak Etanol Mondokaki secara topikal 160

16. Data Analgetik Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 164

17. Data Analgetik Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral ... 166

(21)

19. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang

Ekstrak Etanol Mondokaki per Oral ... 170

20. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang

Ekstrak Etil Asetat Mondokaki per Oral ... 177

21. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang

Ekstrak n-Heksan Mondokaki per Oral ... 184

22. Hasil Analisis Statistik terhadap Nilai Persen Radang

Ekstrak Etanol Mondokaki secara Topikal ... 191

23. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri

Ekstrak Etanol Mondokaki ... 198

24. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri

Ekstrak Etil Asetat Mondokaki ... 203

25. Hasil Analisis Statistik terhadap Waktu Awal Timbul Nyeri

(22)

ABSTRAK

Inflamasi merupakan respon pertahanan tubuh terhadap kerusakan sel ataupun jaringan yang disebabkan oleh berbagai rangsangan berupa fisika, kimia, mekanis maupun akibat peningkatan kristal asam urat yang berlebihan. Pengobatan antiinflamasi dapat dilakukan secara modern, yaitu menggunakan obat sintesis, maupun pengobatan secara alternatif menggunakan bahan yang berasal dari alam seperti tumbuhan. Pengobatan modern untuk mengurangi peradangan dapat menimbulkan efek samping. Obat antiinflamasi steroid pada dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti osteoporosis, udem dan imunosupresi. Sedangkan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi lambung. Oleh karena itu, penggunaan obat untuk mengurangi peradangan beralih ke pengobatan dengan menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang digunakan masyarakat untuk mengurangi peradangan adalah tumbuhan

mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br).

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental farmakologis untuk menguji aktivitas antiinflamasi dan analgetik baik secara oral dan topikal. Pada penelitian

ini sebagai subjek adalah mencit, λ-karagenan 1% (b/v) sebagai penginduksi

radang, pembanding adalah indometasin. Sedangkan penginduksi nyeri secara fisika digunakan pelat panas, dengan pembanding antalgin, dan untuk pembanding sediaan gel adalah natrium diklofenak. Ekstrak tumbuhan sidaguri dibuat secara perkolasi dengan etanol (EES), n-heksan (En-HS), dan ethil asetat (EEAcS). Data

yang diperoleh diuji secara statistik menggunakan ANAVA (n=6; P>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEM dan EEAcM, mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sama secara statistik dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB. Sedangkan En-HM tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Sediaan EEM yang diuji menunjukkan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada dosis 600 mg/kg BB. Sediaan gel ekstrak etanol (GEEM) menunjukkan hasil yang sama secara statistik dengan gel natrium diklofenak 1%. GEEM yang di uji memberikan hasil yang baik sebagai antiinflamasi pada konsentrasi 3%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgetik yang sama secara statistik dengan antalgin dosis 100 mg/kg BB. Tetapi sediaan EEM menunjukkan hasil yang baik pada dosis 600 mg/kg BB sebagai analgetik.

Kata kunci: Tumbuhan Mondokaki, Tabernaemontana divaricata R.Br,

(23)

ABSTRACT

Inflammation is a defense response of the body against the damage of cell or tissue caused by various stimuli, whether it’s physical, chemical, mechanical or the excessive elevation of uric acid crystals. The anti-inflammatory treatment can be done either in the modern way, which is using synthetic drugs, or alternatively, using natural materials like plants. The modern treatment of inflammation can shows side effects, though. Steroidal Anti Inflammatory Drugs (SAIDs) in high dosage and long-term use can cause adverse effects such as ostheoporosis, oedema and immunosupression. While the Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) can cause adverse effects like gastric irritation. Because of that, the usage of drugs to ease inflammation recently shows the trend of shifting to the treatment using plant materials. One of the plants traditionally used by the people

to ease inflammation is the Mondokaki plant (Tabernaemontana divaricata R.Br).

This research was done pharmacological experimentally to test antiinflammatory activity and analgetic activity, both orally and topically. In the

research, mice were used as subject, λ-carragenin 1% (w/v) as inflammation

inductor, and indomethacin as control drug. While as for the pain inductor, physically, hot plate was used, with antalgin as control drug, and sodium-diclofenac as control for gel preparation. The Mondokaki plant extract was made with percolation method using ethanol (MEE = Mondokaki Ethanolic Extract), n-hexane (MNE = Mondokaki N-n-hexane Extract), and ethyl acetate (MEAcE = Mondokaki Ethyl Acetate Extract). The data obtained was then tested and

assessed statistically using ANOVA (n=6; P>0,05).

The result of the research showed that MEE and MEAcE both had same antiinflammatory activity statistically with indomethacin dosage 10 mg/kgBW. While MEAcE didn’t have any antiinflammatory activity. The MEE preparation tested showed good result as antiinnflammatory drug in the dosage of 600 mg/kgBW. The gel preparation of the ethanolic extract (MEEG = Mondokaki Ethanolic Extract Gel) showed same result statistically with sodium-diclofenac gel 1%. The tested MEEG showed better result as antiinflammatory in 3% concentration. In the research it was also found that MEE, MNE, and MEAcE had the same analgetic activity statistically with antalgin, dosage 100 mg/kgBW. But the MEE preparation showed good result as analgetic at the dose of 600 mg/kgBW.

Keyword(s) : Mondokaki plant, Tabernaemontana divaricata R.Br,

(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan alamnya. Kekayaan

tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Dari hasil inventarisasi,

tercatat lebih kurang 30.000 jenis tanaman hidup di Indonesia dan lebih dari

10.000 jenis tanaman sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penyembuhan,

pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh serta pengembalian

kesegaran tubuh (Mursito, 2003).

Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to

nature) dengan memanfaatkan obat-obat alam. Banyak masyarakat yang

meningkatkan derajat kesehatannya dengan mengkonsumsi produk dari bahan

alami. Hal lain yang mendorong masyarakat memilih tumbuhan obat karena relatif

lebih aman dibandingkan obat-obat kimia (Hariana, 2007).

Dewasa ini penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik di dalam

maupun di luar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang terutama

pada segi farmakologi maupun fitokimia, berdasarkan indikasi tumbuhan obat

yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara

empiris. Hasil penelitian tersebut tentunya lebih memantapkan para pengguna

tumbuhan obat akan khasiat maupun kegunaannya (Dalimartha, 2003).

Mondokaki adalah salah satu tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai

penawar racun (antitoksik), pereda demam (antipiretik), pereda nyeri (analgesik),

(25)

(ekspektoran), dan peluruh cacing usus (antelmintik). Bagian yang digunakan

untuk obat adalah akar, kulit kayu, dan daunnya. Mondokaki mengandung

alkaloid, resin, tabernaemontanin, koronarin, koronandin, dregamin, vobasin,

amirin, korin, kortin, dan lupeol (Dalimartha, 2003).

Masyarakat umumnya menggunakan tumbuhan daun Mondokaki untuk

menghilangkan bengkak dan rasa sakit dengan cara, daun segar digiling sampai

halus lalu ditempelkan pada bagian yang sakit atau bengkak, lalu dibalut.

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat

mikrogenik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktifkan atau merusak

organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat

perbaikan jaringan. Tanda-tanda inflamasi antara lain pembengkakakan,

kemerahan, panas, nyeri, dan fungsi fisiologis terganggu (Mycek, 2001).

Khasiat daun Mondokaki sebagai antiinflamasi dan penghilang rasa sakit

belum terbukti melalui penelitian yang komprehensif. Berdasarkan hal-hal yang

diuraikan di atas peneliti ingin menguji efek antiinflamasi dan penghilang rasa

sakit ekstrak etanol, n-heksana, dan etilasetat daun Mondokaki. Untuk maksud

tersebut peneliti menggunakan mencit sebagai subyek percobaan. Percobaan

dilakukan dengan cara menyuntikkan karagenan pada telapak kaki mencit radang

yang terjadi diukur dengan metode pletismograf. Sebagai pembanding positip

pada pemberian oral digunakan indometasin. Efek analgesik sebagai penginduksi

nyeri digunakan pelat panas dan sebagai pembanding positip digunakan antalgin.

Sedangkan untuk uji topikal, sebagai pembanding positip digunakan sediaan gel

(26)

1.2Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan pada latar belakang, maka kerangka

konsep penelitian adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1. dan 1.2.

Kerangka Konsep Uji Antiinflamasi

Y4

X1 Karragenan

(27)

Gambar 1.2. Skema yang menggambarkan kerangka konsep uji antiinflamasi dan analgetik ekstrak daun Mondokaki

Keterangan: EEM : Ekstrak Etanol Mondokaki

En-HM : Ekstrak n-Heksana Mondokaki

EEAcM : Ekstrak Etil Asetat Mondokaki

B : Bengkak

N : Nyeri

1.3 Perumusan masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang maka rumusan permasalahan

adalah sebagai berikut:

a. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas antiinflamasi

pada mencit yang diinduksi karagenan?

b. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai aktivitas analgesik pada

mencit yang diinduksi pelat panas?

c. apakah EEM, En-HM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan gel yang diberi

secara topikal dapat menyembuhkan radang kaki mencit yang diinduksi

karagenan?

d. apakah terdapat perbedaan efek penyembuhan EEM, En-HM, dan

EEAcM yang diberikan secara oral dan topikal pada radang kaki mencit

yang diinduksi keragenan?

1.4 Hipotesis

(28)

a. EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai efek antiinflamasi pada hewan

uji yang diinduksi keragenan.

b. EEM, En-HM, dan EEAcM mempunyai efek analgesik pada hewan uji

yang diinduksi pelat panas.

c. EEM, En-HM, dan EEAcM dalam bentuk sediaan gel yang diberikan

secara topikal dapat menyembuhkan radang kaki mencit yang diinduksi

keragenan.

d. ada perbedaan aktivitas antiinflamasi dari EEM, En-HM, dan EEAcM

baik secara oral mau pun secara topikal pada radang kaki mencit yang

diinduksi keragenan.

1.5Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. menguji efek antiinflamasi EEM, En-HM, dan EEAcM pada hewan uji

yang diinduksi karagenan

b. menguji efek analgesik EEM, En-HM, dan EEAcM pada hewan uji yang

diinduksi pelat panas.

c. menguji dan mengetahui efek antiinflamasi EEM, EnHM, dan EEAcM

dalam bentuk sediaan gel yang diberikan secara topikal terhadap radang

kaki mencit yang diinduksi keragenan.

d. mengetahui perbandingan efek antiinflamasi EEM, En-HM, dan EEAcM

(29)

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang tanaman

Mondokaki yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan analgesik, sehingga ke

depan tanaman ini dapat dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka dengan efek

samping yang relatif kecil dibanding obat antiinflamasi dan analgesik dari bahan

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Singkat Tumbuhan

Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) biasa ditanam sebagai

tanaman hias di pekarangan dan di taman-taman, berasal dari India, tersebar di

kawasan Asia Tenggara serta kawasan tropik lainnya, dan dapat ditemukan dari

dataran rendah sampai 400 m di atas permukaan laut. Bagian tanaman yang

digunakan untuk obat adalah akar, kayu, bunga dan daun. Untuk maksud

pengobatan, lazimnya dibuat dalam bentuk segar atau dari bahan yang telah

dikeringkan. Batang mengandung getah seperti susu. Perbanyakan dengan stek

atau cangkok (Dalimartha, 2003).

2.1.1 Morfologi Tumbuhan

Tumbuhan Mondokaki merupakan tanaman perdu, tegak, tinggi

0,5-3 meter. Batang bulat, berkayu, bercabang dan hijau kotor. Daun tunggal,

bulat telur ujung dan pangkal runcing, tepi rata, bertangkai silang berhadapan,

panjang 5-11 cm, lebar 1,5-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau.

Bunga tunggal, bertangkai, terletak di ketiak daun, kelopak bunga bercangap lima,

runcing, hijau, tabung mahkota kuning kehijauan, mahkota berlekatan, bulat telur,

dan berwarna putih. Buah kotak, bulat panjang, dan berbulu. Biji berdaging,

berselaput, panjang 3-7 cm, dan berwarna merah. Akar tunggang, dan berwarna

(31)

2.1.2 Sistematik Tumbuhan

Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, klasifikasi tumbuhan

Mondokaki adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Su Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Apocynales

Familia : Apocynaceae

Genus : Tabernaemontana

Species : Tabernaemontana divaricata R. Br,

Sinonim : Tabernaemontana coronaria Willd

Ervatamia divaricata [R] Burk.

Ervatamia malacensis K. et G.

2.1.3 Nama Lokal

Di beberapa daerah Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama bunga

wari (Jawa), bunga nyingin (Nusatenggara), kembang mentega, kembang susu

(Sunda), bunga manila, dan bunga susong (Maluku) (Anonim, 2005).

2.1.4 Efek Farmakologis dan Kandungan Kimia

Daun Mondokaki berasa asam dan terasa sejuk bila dibalurkan ke kulit.

Tanaman ini dapat menurunkan panas dan racun (toksin), menghilangkan sakit

(analgetik), menurunkan tekanan darah, peluruh dahak, dan sebagai obat cacing

(antelmintik). Tumbuhan ini mengandung tabernaemontanin, koronarin,

(32)

Secara farmakologi, Mondokaki berkhasiat sebagai antiinflamasi, antitumor,

antioksidan dan analgesik (Pratchayasakul, et. al., 2006). Mondokaki juga

menghambat asetilkolin neuronal pada tikus sehingga menimbukan vasodilatasi

dan penurunan tekanan darah (Chattipakorn, et. al., 2007).

Ekstrak etanol daun Mondokaki mengandung 23 alkaloid, termasuk

alkaloid aspidosperma, taberhanine, voafinine, N-methyl voafinine, voafinidine,

voalenine, dan alkaloid bisindole (canophyllinine) (Toh-Seok Kam, et. al., 2003).

Gambar 2.3 Conophylline

(33)

Gambar 2.1. Rumus bangun taberhanine dan conophyllinine

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan

penyari tertentu (Harborne, 1987). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan

kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan

pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Cara penyarian (ekstraksi) yang tepat tergantung

pada jenis senyawa yang diisolasi dan pelarut yang digunakan.

Ada beberapa metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu:

a. Cara dingin

i Maserasi adalah proses pengekstrasian simplisia menggunakan pelarut yang

statis dalam suatu wadah dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperatur kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama.

ii Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang dialirkan

dari suatu reservoar sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya

dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat).

(34)

i Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

ii Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada peratur yang

lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu temperatur 40-50o

iii Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur

terukur 96-98

C.

o

iv Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik

didih air (Ditjen POM, 2000).

C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

v Prinsip sokletasi adalah uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa

samping, lalu diembunkan kembali oleh pendingin, cairan turun ke labu

melalui tabung yang berisi serbuk simplisia, cairan penyari sambil turun

melarutkan zat aktif dari serbuk simplisia, karena adanya sifon maka setelah

cairan ini mencapai permukaan sifon seluruh cairan akan kembali ke labu,

demikian proses ini berulang-ulang sampai ekstraksi selesai (Adams, et.al.,

1970).

2.3 Inflamasi (Peradangan)

Peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan

tubuh sebagai respon jaringan terhadap apa saja yang merusak (noksi) baik

bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh dapat berupa fisika, kimia,

bakteri dan parasit. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar x, dan sinar

ultraviolet. Noksi kimia dapat berupa asam kuat, basa kuat, dan bahan kimia.

Infeksi bakteri antara lain disebabkan oleh bakteri Streptococcus, Staphylococcus

(35)

Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput

membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu

arachidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai

eicosanoid akan disintesis (Katzung, 2002). Kerusakan atau perubahan yang

terjadi pada sel dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator

atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin,

prostaglandin, dan leukotrien (Mansjoer, 1999).

2.3.1 Gejala Peradangan

Proses terjadinya peradangan ini dapat diamati dari tanda-tanda

utama peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), peningkatan panas (kalor),

pembengkakan (tumor), rasa sakit (dolor) dan adanya gangguan fungsi jaringan

(fungsio laesa) (Price dan Wilson, 1995).

a. Rubor (Kemerahan)

Rubor atau kemerahan adalah keadaan awal yang menandakan mulainya

peradangan, ini disebabkan oleh arteriol yang mensuplai darah ke daerah radang

melebar, sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal.

Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja kemudian meregang dengan

cepat dan terisi penuh dengan darah yang menyebabkan warna merah lokal karena

peradangan akut. Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh

tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat

seperti histamin (Price dan Wilson,1995).

b. Kalor (Panas)

Kalor atau panas terjadi secara bersamaan dengan kemerahan pada reaksi

peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang

hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin

dari 37ºC yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih

panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu 37ºC yang disalurkan tubuh ke

permukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah

normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena

radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti

(36)

c. Dolor (Rasa sakit)

Dolor atau rasa sakit akibat reaksi peradangan dapat terjadi dengan

berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat

merangsang ujung syaraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti

histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu,

pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal

sehingga menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1995).

d. Tumor (Pembengkakan)

Tumor atau pembengkakan merupakan hal yang paling kentara akibat

peradangan akut. Pembengkakan ini terjadi karena peningkatan permeabilitas

dinding kapiler. Permeabilitas dinding kapiler yang sehat terbatas hanya dapat

dilalui oleh cairan dan larutan garam-garam tetapi sukar dilalui oleh larutan

protein yang berupa koloid. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi

lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh protein yang akan meninggalkan

kapiler dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan bengkak

(tumor).

e. Fungsio laesa (Gangguan fungsi jaringan)

Fungsio laesa atau gangguan fungsi jaringan adalah reaksi peradangan

di mana saja terjadi pembengkakkan yang lazimnya disertai nyeri dan sirkulasi

yang abnormal. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana fungsi jaringan

tersebut terganggu (Kee dan Evelyn, 1996).

2.3.2 Mekanisme terjadinya Radang

Bila terjadi luka pada jaringan, baik karena bakteri, trauma, bahan

kimiawi, panas atau fenomena lainnya, maka jaringan yang terluka akan

melepaskan berbagai substansi yang menimbulkan perubahan sekunder yang

dramatis terhadap jaringan. Inflamasi dapat ditandai dengan:

a. vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran

darah setempat yang berlebihan.

b. kenaikan permeabilitas kapiler disertai kebocoran cairan yang berlebihan

(37)

c. fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah yang

berlebihan.

d. migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit kedalam jaringan

e. pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997).

Mekanisme terjadinya gejala peradangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler, 1999).

2.3.3 Mediator Peradangan

Banyak substansi endogen yang dikeluarkan yang telah dikenal

sebagai mediator peradangan di antaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin,

serotonin, prostaglandin, dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama Noksi

Kerusakan Sel

Gangguan Sirkulasi Lokal

Emigrasi Leukosit

Proliferasi sel Pembebasan

Bahan Mediator

Eksudasi Perangsangan

Reseptor Nyeri

Kemerahan nn

Panas Pembengkakan Gangguan

Fungsi

(38)

yang dilepaskan dari sekian banyak mediator lain dan segera muncul dalam

beberapa detik setelah diinduksi yang berperan meningkatan permeabilitas

kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang

terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru,

kulit, dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit basofil adalah

dalam bentuk tak aktif secara biologik dan disimpan terikat pada heparin dan

protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi

hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia

pembebas histamin (Mutschler, 1999).

Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal

menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan

berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 1999).

Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-HT) berasal dari asam amino esensial

triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah,

mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin

disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika

sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada

trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat

penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).

Asam arakhidonat merupakan prekursor sejumlah besar mediator radang.

Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam

keadaan bebas dengan jumlah kecil, sebagian besar berada dalam bentuk

fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu

rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2 akan

diaktivasi untuk mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak C20

Pada alur siklooksigenase, sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh

enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi

prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, dan sebagian lagi asam

arakhidonat akan diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi asam hidroperoksida

dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow Reacting Substances of

ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur utama

(39)

Anaphylaxis (SRSA). Baik prostaglandin mau pun leukotrien, bertanggung jawab

bagi sebagian besar gejala peradangan.

Mekanisme pembebasan mediator radang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Kortikosteroida posfolipase A2

Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan

mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin,

serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi

pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat terjadinya nyeri, radang,

demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien.

Mediator LTB4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear,

eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB4 menstimulasi agregasi

leukosit polimorfonuklear. Selain itu LTB4 mempunyai kemampuan

meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi dua

Posfolipida

Tromboksan Prostaglandin Prostasiklin Leukotrien:

LTB4, LTC4,

(40)

senyawa leukotrien yaitu LTC4 dan LTD4 dapat menyebabkan peradangan, reaksi

anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE4 menyebabkan gejala hipersensitivitas,

bronkokonstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas vaskular. Aktivitasnya

jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC4 dan LTD4 tetapi lebih stabil secara

biologis dari ketiga leukotrien lain (Mansjoer, 1999).

2.4 Obat-obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki

aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai

melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang

prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang ataupun

menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi

menjadi dua golongan utama (Katzung, 2002) yaitu:

a. golongan steroid adrenal

b. golongan non-steroid

2.4.1 Antiinflamasi Steroid Adrenal (Glukokortikoida)

Antiinflamasi golongan steroid adrenal bekerja dengan

menghambat enzim fosfolipase A2

Efek antiinflamasi steroid adrenal berhubungan dengan

kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat

menghambat kerja enzimatik fosfolipase A

secara tidak langsung dengan menginduksi

sintesis protein G (Campbell, 1991).

2

Steroid adrenal akan membahayakan jika tidak sesuai dengan

indikasi dan arahan penggunaannya. Penggunaan jangka panjang menyebabkan

efek samping cukup berat seperti hipokalemia, tukak lambung, penekanan

pertumbuhan, osteoporosis, muka bulat, penekanan sekresi kortikotropin, atropi sehingga mencegah pelepasan

mediator peradangan, yaitu asam arakhidonat dan metabolitnya seperti

prostaglandin, leukotrien, tromboksan dan prostasiklin. Steroid adrenal dapat

memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya

memblok alur siklooksigenase. Hal ini dapat menjelaskan mengapa steroid

(41)

kulit, memperberat penyakit diabetes melitus, mudah terkena infeksi,

glaukoma, hipertensi, gangguan menstruasi, dan perubahan mental atau tingkah

laku. Penghentian pengobatan secara tiba-tiba menyebabkan ketidakcukupan

adrenal yang akut dan menimbulkan gejala seperti otot menjadi lemah, nyeri otot,

demam, perubahan mental, mual, hipoglikemia, hipotensi, dehidrasi dan bahkan

kadang-kadang menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penghentian

glukokortikoida harus dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap

(Siswandono dan Bambang, 1995).

2.4.2 Obat Antiinflamasi Non-steroid (AINS)

AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan cara

menghambat aktivitas enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat

menjadi prostaglandin terganggu. Obat-obat ini juga dikenal sebagai penghambat

prostaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda

terutama digunakan sebagai antiinflamasi untuk meredakan peradangan dan nyeri.

Efek antipiretik golongan obat ini tidak sekuat efek antiinflamasinya. Kecuali

aspirin, penggunaan preparat-preparat AINS tidak dianjurkan untuk meredakan

sakit kepala ringan dan demam. AINS lebih sesuai digunakan untuk mengurangi

pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996).

Obat-obat AINS bekerja dengan cara menstabilkan membran

lisosomal, menghambat pembebasan dan aktivitas mediator peradangan (histamin,

serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke

tempat peradangan, menghambat proliferasi seluler, menetralisasi radikal oksigen

dan menekan rasa nyeri (Noer, 1996).

Penggolongan obat antiinflamasi menurut Goodman dan Gillman

(1996) dengan beberapa contoh senyawa yang termasuk ke dalamnya adalah

sebagai berikut:

a. Obat antiinflamasi steroida adrenal, misalnya kortison, hidrokortison,

deksametason, dan prednison.

b. Obat antiinflamasi non-steroida (AINS):

i. turunan asam salisilat, misalnya aspirin, diflunisal, sulfasalazin, dan

(42)

ii. turunan para-aminofenol, misalnya asetaminofen

iii. indol dan asam indene asetat, misalnya indometasin, sulindak dan

etodolak

iv. asam heteroaril asetat, misalnya tolmetin, diklofenak, dan ketorolak

v. asam arilpropionat, misalnya ibuprofen, naproksen, fenoprofen, dan

ketoprofen

vi. asam antranilat (fenamat), misalnya asam mefenamat, dan asam

meklofenamat

vii. asam enolat, misalnya oksikam (piroksikam, tenoksikam), dan

pirazolidin

viii. (fenilbutazon, oksifentatrazon)

ix. alkanon, misalnya nabumeton.

2.5 Indometasin 2.5.1 Sifat kimia

Nama kimia : asam

1-(p-klorobenzoil)-5-metoksi-2-metil-indola-3- asetat,

Rumus molekul : C19H16ClNO4

Berat molekul : 357,79.

Rumus bangun indometasin dapat dilihat pada Gambar 2.4. di bawah inI

CO Cl

N CH3

H3CO CH2COOH

(43)

2.5.2 Sifat Fisika

Indometasin berbentuk serbuk hablur, polimorf, berwarna kuning

pucat hingga kuning kecoklatan, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Peka

terhadap cahaya, meleleh pada suhu lebih kurang 162°C. Indometasin praktis

tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, kloroform dan dalam eter

(Anonim, 1995).

2.5.3 Farmakologi

Indometasin mulai dikenal pada tahun 1963 bekerja lebih efektif dari

aspirin atau AINS lainnya dan merupakan penghambat sintesis prostaglandin yang

terkuat. Khasiat kliniknya sebagian besar sebanding dengan fenilbutazon,

walaupun lebih unggul dalam percobaan-percobaan pada hewan. Indometasin

diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral dan sebagian besar terikat

dengan protein plasma (sekitar 90%), waktu paruh dalam plasma selama 3-11 jam,

waktu paruh kerja rata-rata 4-6 jam. Metabolisme terjadi di dalam hati,

dalam bentuk tak berubah, obat ini diekskresikan ke dalam empedu dan urin

(Katzung, 2002).

Indometasin digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, gout dan

osteoartritis. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat

ini dibatasi. Indometasin menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi

asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Juga menghambat motilitas

leukosit polimorfonuklear.

Efek samping indometasin pada dosis terapi meliputi gangguan saluran

cerna berupa nyeri abdomen, diare ulser, perdarahan lambung dan pankreatitis.

Juga menyebabkan pusing, depresi, rasa bingung, halusinasi, agranulositosis,

anemia aplastik dan trombositopenia. Karena toksisitasnya, indometasin tidak

dianjurkan diberikan pada anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatri

dan penderita penyakit lambung (Ganiswarna, 1995).

(44)

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul

bila ada jaringan yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan

cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton and John,1996).

Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa

prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik

dan kimiawi. Jadi, prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian

mediator nyeri seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan

nyeri yang nyata (Wilmana dan Gan, 2007).

2.6.1 Pembagian Rasa Nyeri

Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu rasa nyeri utama, yakni

rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa

nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1detik, sedang rasa nyeri lambat

timbul setelah 1detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama

beberapa detik dan kadang kala beberapa menit. Rasa nyeri cepat digambarkan

dengan banyak nama pengganti, seperti rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa

nyeri akut dan rasa nyeri elektris. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila ada sebuah

jarum ditusukkan kedalam kulit, bila kulit tersayat pisau atau bila kulit terbakar

secara akut. Rasa nyeri ini juga akan terasa bila subjek mendapat syok listrik.

Rasa nyeri cepat, nyeri tajam tak akan terasa disebagian besar jaringan dalam

tubuh.

Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti

rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut-denyut, nyeri mual dan

nyeri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan.

Rasa nyeri dapat berlangsung lama, menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan

yang tak tertahankan. Rasa nyeri ini dapat terasa dikulit dan hampir semua

jaringan dalam atau organ (Guyton and John, 1996).

2.6.2 Mekanisme terjadinya Nyeri

Pada umumnya rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis

rangsangan, yang meliputi rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis, dapat

(45)

2003). Jenis nyeri kimia dapat disebabkan beberapa zat kimia meliputi bradikinin,

serotonin, histamin, ion kalium, asam asetil kolin dan enzim proteolitik.

Nyeri juga akan terasa bila menerima panas dengan suhu di atas

45oC, jaringan mulai mengalami kerusakan akibat panas. Oleh karena itu, rasa

nyeri yang disebabkan oleh panas sangat terkait dengan kemampuan panas untuk

merusak jaringan (Guyton and John, 1996). Adanya rangsangan yang merusak sel,

akan mengaktivasi enzim fosfolipase A2 yang kemudian akan mengubahnya

menjadi asam arakhidonat. Asam arakhidonat yang terbentuk kemudian dengan

bantuan enzim siklooksigenase akan disintesis menjadi prostaglandin.

Prostaglandin E1 dan E2 yang terbentuk akan mensensitisasi reseptor nyeri

(nosiseptor), bradikinin, dan histamin sehingga menimbulkan nyeri yang nyata

(Wilmana, 1995; Guyton and John, 1996).

2.7 Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem

saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa

mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang

persepsi nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995).

2.7.1 Pembagian Analgetika

Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetika dibagi dua kelompok yaitu:

a. Analgetik non-narkotik, sering disebut analgetik-antipiretika. Obat golongan

ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang,

menurunkan suhu tubuh dalam keadaan suhu tinggi dan sebagai antiradang

untuk pengobatan rematik. Analgetik-antipiretik digunakan untuk pengobatan

simptomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan

atau menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Bambang, 1995).

Analgetik non-narkotik mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas

(46)

analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau

toleransi (Mycek, 2001).

b. Analgetik narkotik, adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf

pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang sedang

atau pun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh kanker, serangan

jantung, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Aktivitas analgetik

narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik nonnarkotik

(Siswandono dan Bambang, 1995). Analgetik opioid termasuk dalam

analgetik narkotik, merupakan senyawa alami atau sintetik yang

menghasilkan efek seperti morfin, penggunaan utamanya adalah untuk

menghilangkan nyeri dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi

akibat luka atau penyakit (Mycek, 2001).

2.7.2 Mekanisme Kerja Analgetika

Efek analgetik obat golongan narkotika adalah karena

pengikatannya dengan reseptor khas pada sel otak dan spinal cord, sedangkan

analgetik non-narkotik bertindak dengan cara menghambat secara langsung dan

selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengatalisis biosintesis

prostaglandin, seperti siklooksigenase, hingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri

oleh mediator-mediator nyeri, seperti bradikinin, histamin, serotonin yang dapat

merangsang nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995).

2.7.3 Metode Pengujian Analgetika

Intensitas suatu rangsang yang diperlukan untuk menginduksi

nyeri dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi metode yang paling sering

digunakan adalah menusuk kulit dengan sebuah jarum pada tekanan yang terukur,

(47)

yang terukur, atau memanaskan kulit dengan jumlah panas tertentu. Metode

terakhir telah terbukti sangat tepat dari sudut pandang kuantitatif (Guyton,1995).

Menurut Domer (1971), ada empat metode yang sering digunakan

untuk pengujian analgetika, yaitu metode panas, listrik, tekanan, dan kimia (Bars,

2001; Vogel, 2008).

2.7.3.1Metode Panas

Metode ini dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Secara

invitro dilakukan terhadap darah hewan percobaan dan diamati efek analgetiknya.

Suatu zat berkhasiat analgetika akan bekerja mencegah hemolisis, sedangkan

secara in vivo dilakukan terhadap hewan percobaan dengan suhu berkisar

50-60o

Lempeng yang dipanaskan dapat digunakan sebagai penyebab rasa

nyeri, dengan cara memberikan panas pada bagian tubuh hewan percobaan.

Hewan yang diberi suatu analgetika akan mengalami perpanjangan waktu reaksi

terhadap rangsangan panas. Waktu reaksi oleh mencit yang ditempatkan pada

lempeng panas dapat digunakan untuk pengujian analgetika. Beberapa mencit

yang ditempatkan pada lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50 C.

o

C,

memberikan respon tidak teratur selama 20 detik dan lainnya mungkin

membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada temperatur 55oC semua mencit

memberikan respon dalam waktu 30 detik sedangkan pada temperatur 60o

Metode panas yang lain adalah dengan menggunakan penangas air

sebagai perangsang panas, ini dilakukan Grotto dan Shulman, yaitu dengan cara,

mencit diletakkan dalam kotak plastik berukuran 15 x 25 x 25 cm sedemikian

rupa sehingga ekornya terjulur ke luar. Kemudian ekor mencit seluruhnya

dicelupkan kedalam penangas air pada temperatur 58

C akan

memberikan respon dalam 20 detik. Mencit memberikan respons, mula-mula

duduk dengan kaki belakang sambil menjilat-jilat kaki depan sebagai usaha untuk

mendinginkan, kemudian apabila terasa lebih panas mencit akan menendangkan

kaki belakangnya, berputar dan berusaha keluar dari dinding silinder (Domer,

1971).

o

C, di sini akan terlihat tiga

fase pergerakan ekor yang berbeda. Fase pertama gerakan lambat sebanyak 1-3

(48)

dikatakan positif bila ada sentakan atau gerakan kontinyu dari fase kedua,

sebelum terjadinya sentakan, terkadang sudah terdengar cicitan.

Pusat panas pada ekor tikus juga dapat digunakan sebagai pertanda

perangsang nyeri, bila intensitas panas tercapai, maka akan timbul respon berupa

sentakan ekor. Kemudian waktu reaksi dicatat, untuk mengetahui berapa besarnya

intensitas rangsangan yang diperlukan terhadap respon.

2.7.3.2 Metode Listrik

Metode ini dapat dilakukan secara in vivo. Sebagai penyebab rasa nyeri

digunakan aliran listrik. Ekor mencit diberi rangsangan listrik melalui dua

elektroda. Pemberian kejutan listrik dilakukan setiap satu detik sampai terdengar

cicitan mencit. Arus listrik dapat ditinggikan sesuai dengan kekuatan analgetika

yang diuji. Hewan percobaan seperti anjing, kera, kucing, kelinci dan tikus, dapat

dilakukan juga dengan metode listrik dapat dilakukan.

2.7.3.3Metode Tekanan

Metode tekanan hanya dapat dilakukan secara in vivo. Untuk

menguji efek analgetik, pemberian tekanan dilakukan dengan cara menjepit pada

bagian ujung ekor mencit. Besar tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan

rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat, diukur berdasarkan waktu sampai

timbul nyeri. Metode tekanan dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit.

2.7.3.4Metode Kimia

Metode kimia dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Secara

in vivo diberikan senyawa kimia dengan cara intraperitonial pada mencit dan

harus menimbulkan respon spesifik akibat konstriksi abdomen seperti menggeliat

dan merenggang. Senyawa kimia yang dapat digunakan adalah asam asetat,

bradikinin, kalium klorida, asetil kolin, 5-hidroksitriptamin, fenilkinon, dan

benzokinon.

Secara in vitro metode ini dapat digunakan terhadap sel mast yang

diisolasi dari cairan peritonium hewan percobaan, lalu dilihat apakah ada atau

tidak degranulasi sel mast pada saat sebelum dan sesudah pemberian obat. Hewan

percobaan yang dapat digunakan adalah anjing, tikus, merpati, ayam, dan mencit.

(49)

2.8.1 Sifat Kimia

Gambar 2.5. Rumus bangun antalgin

2.8.2 Farmakologi

Antalgin adalah obat golongan AINS, dikenal sebagai penghambat

protaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda,

biasanya preparat aspirin lebih sesuai untuk meredakan sakit kepala dan demam

(Kee dan Evelyn, 1996). Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit

atau sering disebut analgetika non-narkotik. Senyawa ini merupakan turunan

5-pirazolon yang secara umum digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada

keadaan nyeri kepala, nyeri pada spasmus, ginjal, saluran empedu dan urin, nyeri

gigi, dan nyeri pada reumatik. Efek samping yang ditimbulkan oleh turunan

5-pirazolon adalah agranulositosis (Siswandono dan Bambang, 1995).

Secara farmakologi obat ini bekerja pada periferal dan sentral.

Obat ini menimbulkan efek analgesik dengan cara menghambat langsung dan

selektif enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis protaglandin,

sehingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri oleh mediator nyeri, seperti

Gambar

Gambar 2.2.  Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler, 1999).
Gambar 2.3. Metabolisme asam arakhidonat dan sintesis prostaglandin dan
Gambar 2.5. Rumus bangun antalgin
Tabel 3.1. Rancangan Acak Lengkap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dosis 500 mg/kg BB merupakan dosis optimal dari ekstrak etanol daun tempuyung yang dapat memberikan aktivitas penurunan kadar asam urat darah mencit

Ekstrak etanol daun salam dosis 420 mg/kg BB mempunyai potensi yang sama dengan alopurinol 10 mg/kg BB dalam menurunkan kadar asam urat dalam serum mencit putih jantan

Berdasarkan hasil penelitian pada pemberian ekstrak etanol daun kelor yang dibandingkan dengan kontrol negatif CMC-Na 0,5% dengan dosis 300 mg/kg bb memberikan efek

Efek analgetik dan antiinflamasi diperoleh pada ekstrak etanol 70% daun beruwas laut (Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb) dengan dosis 12,5 mg/kgBB, 25 mg/kgBB, dan 37,5 mg/kgBB

Dibagi kedalam tiga kelompo dosis, masing- masing diberikan EEDP dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB selama satu minggu Dikawinkan Dilanjutkan

Hasil pengujian efek antifertilitas ekstrak etanol daun pacing diperoleh bahwa dosis 100 mg/kg BB dan dosis 200 mg/kg BB pada pemberian seminggu sebelum kopulasi dan pada

Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa pada kelompok infusa kulit dosis 667,5; 1335; dan 2670 mg/kg BB memiliki persen potensi relatif daya antiinflamasi yang

Penelitian yang telah dilakukan efek antiinflamasi pada ekstrak hidroetanol (etanol 95% dan air (1:1) ) dari daun asam jawa yang diberikan kepada tikus pada dosis 1000