PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUM ATERA UTARA
TESIS
Oleh
FLORA NAINGGOLAN
077005008/HK
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FLORA NAINGGOLAN
077005008/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Flora Nainggolan
Nomor Pokok : 077005008
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a
(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 9 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH
ABSTRAK
Kanwil Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal, dimana salah satu kewenangannya adalah turut serta dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Prinsip otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yakni otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, termasuk memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan. Hal ini mengakibatkan pelibatan instansi vertikal dalam membuat kebijakan daerah akan semakin sulit.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pembentukan Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. Data yang terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis dan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara logis sistematis dengan metode deduktif dan induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dapat dicermati dalam UUD 1945,UU Pemerintahan Daerah dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Propinsi memiliki tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah khususnya Peraturan Daerah. Hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang pelibatannya dalam pembentukan Peraturan Daerah adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatannya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah serta kurangnya koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Sehingga dilakukan upaya untuk mendorong dibentuknya suatu payung hukum yang kuat sebagai dasar pelibatannya serta ditingkatkannya koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah perlu dibuat suatu Undang-undang sebagai payung hukum atau landasan yang kuat sebagai dasar kewenangan pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan daerah.
ABSTRACT
The Regional Office of Law and Human Rights Departement as a vertical instance in which one of it’s authorites is to participate in drafting the regional regulations. The principle of regional autonomy by decentralization system, i.e., the regional autonomy in widest sense, has been delegated some authority to arrange for and regulate all government activities, including to have the authority in making the regional policies such as regulations. This makes the involvement of vertical instance in formulation of regional policies more difficult.
The research had been conducted to know the formulation of regional regulation related to the regional office role of law and human rights departement north sumatera. This was a normative yuridical research. The library materials and document study had been made as a primary material. While field data through interview should be made as supporting data or complementary data. The data collected was singled out and analyzed yuridically and the qualitative data was interpreted by logic sytematically with deductive and inductive method.
The result of research indicated that the authority of regional government in formulation of regional regulation was the manifestation of autonomic right implementation and assitance task as contained in constitution 1945. The statute of regional government and regulation formulation of statutes. The regional office of law and human rights departement in north Sumatera as a vertical instance in scope of law and human rights departement north Sumatera took a great responsibility as lengthhand of law and human rights departement in formulation process of regional regulations. The obstacles facing to regional office of law and human rights departement in involvement in formulation of regional regulation included the weak yuridical foundation regarding the involvement in formulation process of the statues in region and the lack of coodination with related instancies. So some attempt had been made to support the formulation of a strong law foundation for it’s involvement in coordination with related instancies. To support the implementation of core task and function of regional office of law and human rights departement in north Sumatera as a vertical law and human right departement in process of law and human right counselling in regions, there should be a firm law foundation as a basis for authority of regional office involvement of law and human rights departemen north Sumatera in process of regional regulation formulation.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan segala hormat bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas
kuasa pengasihan-Nya memberikan rahmat dan hikmat bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pembentukan Peraturan Daerah
Dikaitkan Dengan Peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera
Utara”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh daripada sempurna
oleh karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada diri Penulis. Untuk itu, dengan
segala kerendahan hati Penulis mengharapkan berbagai masukan saran ataupun
kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan dikemudian hari.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, Penulis sampaikan
kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
SpA(K), Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH,
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan
pendidikan Sekolah Pascasarjana.
2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH selaku Ketua,
beserta Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum dan Ibu Dr. Sunarmi, SH,
MHum selaku Anggota, yang membimbing Penulis dengan sabar dan
memberikan banyak masukan dan koreksi serta meminjamkan berbagai literatur
dan buku-buku disepanjang penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Prof. Dr.
Budiman Ginting, SH, MH dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MH sebagai
3. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kepala Kanwil
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung
Sugiono, BcIP, SH, MH yang memberikan kepercayaan, kesempatan dan
rekomendasi bagi Penulis untuk mendapatkan beasiswa penuh dalam mengikuti
pendidikan Sekolah Pascasarjana di USU. Juga kepada para Pejabat struktural di
Kanwil Dep. Hukum dan HAM Sumatera Utara, khususnya Bapak M. Noor Aziz,
SH, MH, MM, Bapak Sahat Sinaga, SH, MH, MBL, Bapak Drs Rosman Siregar
SH, MH, MM, Bapak Adi Putra Harahap, SE, Saudara Kurniaman T, SH, MH.
Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus, hormat dan penuh haru Penulis
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan orang-orang tercinta di
keluarga Penulis istimewa Papa Pendeta H. Nainggolan, Mama Nurhaisyah Harianja
dan Sweet little Angel S.Nugrah Pratama yang selalu berkata ...mama belajarlah
supaya ’lauser’ mama senang kalo mama pinter kayak abang...di lain waktu juga
mengatakan...bilang sama ’lauser’ mamalah, supaya nggak banyak-banyak kerjaan
mama...kan bisa bikin capek itu...
Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama bagi
Penulis sendiri, kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberkati.
Medan, Mei 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
N a m a : FLORA NAINGGOLAN
Tempat/Tgl Lahir : Medan, 28 Juli 1976
Jenis Kelamin : Perempuan
A g a m a : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan :
Sekolah Dasar Negeri 173265 Onanhasang, lulus tahun
1989.
Sekolah Menengah Pertama Negeri Pahae Julu, lulus
tahun 1992.
Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Plus Soposurung, lulus
tahun 1995.
Fakultas Hukum Universitas Simalungun, lulus tahun
1999.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR SINGKATAN... ix
BAB I PENDAHULUAN………...……….. 1
A. Latar Belakang ………...….……….. 1
B. Permasalahan ………...……… 23
C. Tujuan Penelitian ……….………. 24
D. Manfaat Penelitian ... 24
E. Keaslian Penelitian ... 25
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 25
1. Kerangka Teori ... 25
2. Konsepsi ... 34
G. Metode Penelitian ... ... 35
BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…...…….... 40
A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Konsepsi Otonomi Daerah ... 40
1. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah...…… 50
2. Persiapan dan Perumusan Rancangan
Peraturan Daerah …………...………… 57
a. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah 57
b. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah... 69
c. Rancangan Peraturan Daerah dari Partisipasi
masyarakat... 79
BAB III KEWENANGAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN
HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH……….. 85
A. Kewenangan Departemen Hukum dan HAM di Bidang
Peraturan Perundang-undangan... 85
B. Kewenangan Kanwil Departemen Hukum dan HAM
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah... 94
1. Tahap Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah… 94
2. Tahap Persiapan dan Teknik Penyusunan serta
Perumusan Rancangan Peraturan Daerah …...… 98
a. Pelibatan dalam Penyusunan Naskah Akademik.. 98
b. Pelibatan dalam Harmonisasi Rancangan
Peraturan Daerah/Peraturan Daerah... 104
c. Inventarisasi, Analisa dan Evaluasi
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…. 119
A. Hambatan...…… 119
1. Di Bidang Substansi Hukum... 119
2. Di Bidang Struktur Hukum... 122
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana... 126
B. Upaya yang Dilakukan ………...……… 127
1. Di Bidang Substansi Hukum... 127
2. Di Bidang Struktur Hukum... 128
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana... 131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………...………….. 132
A. Kesimpulan...…… 132
B. Saran... 135
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk
dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara
hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan
pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis.
Oleh karena itu pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-20091 di Bidang Hukum khususnya, antara lain
ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan
kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan
hierarki peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada
permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan
perundang-undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan
pelaksanaannya.2 Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum
1
Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
2
nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya
konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.3 Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan
sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di
tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem,
asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan
dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.
Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level
pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority
model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat
melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.4 Namun
demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan
bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah
pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap
pemerintah pusat.5 Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter
3
Ibid, bagian “sasaran”.
4
Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur
Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2001), hal.5
5
Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,(Bandung: Alumni, 1978), hal.150-151.
hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang
terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan
pemerintah pusat.6 Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung
secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan
suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam
memberikan keleluasaan kepada daerah.7 Dalam hubungan inilah pemerintah
melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan
istilah desentralisasi. 8
Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep
pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang
diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua
sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam
suatu negara. Bentuk dan susunan suatu negara terkait dengan pembagian
kekuasaan.9 Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam
negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian
hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut
urusan pemerintahan pusat (federal) maupun urusan pemerintahan lokal (negara bagian) telah ditentukan dalam konstitusi dengan jelas dan terperinci.
6
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara,
(Jakarta: Rajawali, 1981), hal. 52. Menurut Strong, negara kesatuan adalah negara yang berada di bawah satu pemerintahan pusat, yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut, daerah (otonom) tidak mempunyai kekuasaan asli, tetapi diperoleh dari pemerintahan pusat.
7
Bambang Yudoyono, Op. cit.
8
Ibid hal. 20.
9
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah
masing-masing.10
Secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari
perspektif administratif dan perspektif politik.11 Berdasarkan perspektif administratif,
mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif sedang
perspektif desentralisasi politik merupakan devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah.12 Hal senada juga disampaikan oleh Maddick, Brian
Smith dan Philip Mawhood yang memaknai desentralisasi sebagai desentralisasi
politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi).13
Desentralisasi dimaknai dalam pembentukan pemerintahan daerah otonom
dan penyerahan kewenangan. Pembentukan daerah otonom merupakan ”perintah”
(amanat) konstitusi, sedangkan penyerahan kewenangan merupakan ”delegasi” dari
Undang-undang organik pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah sebagai
aspek pengakuan kewenangan pemerintahan daerah.14 Penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
10
Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah, (Bogor: Ghalia, 2007), hal. 5.
11
Lili Romli,Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2007), hal.4-5.
12
Ibid. Hal. 6.
13
Syamsuddin Haris,Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,(Jakarta : LIPI Press, 2005), hal. 41.
14
Benyamin Hoessein, “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara”,
asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran,
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia melaksanakan politik
desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping tetap
menjalankan politik dekonsentrasi.16 Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32
Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.17 Sedang
dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.18 Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national
15
Konsideran menimbang Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
16
E. Koswara, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,(Jakarta :Yayasan
PARIBA, 2001), hal.13.
17
UU No. 5/1974 menegaskan dalam Pasal 1 huruf (b) bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tngganya. UU No. 22/1999 menegaskan dalam Pasal 1 huruf € bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal. 89. Dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau
goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai
bentuk pendekatan. Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit
pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan
pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah
daerah dalam menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah
mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah
kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan
kapasitas teknis dan managerial.20
Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8
tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang
Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah21
lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada
pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
19
Oentarto SM, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Format Otonomi Daerah Masa Depan,
(Jakarta: Samitra Media Utama, 2004), hal. 8-9.
20
Syaukani, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid,Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan,(Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2004), hal.34-35.
21
mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat
dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan
aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran
serta dan pemberdayaan masyarakat.22
Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.23
Otonomi bukanlah sekedar penyerahan kekuasaan kepada daerah, melainkan
daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur
dirinya sendiri sangat penting untuk kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah
harus membentuk Peraturan daerah, guna memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat
daerahnya.24
Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya
untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan
22
Ibid, hal.76
23
Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
24
Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Ryaas
Rasyid, ”Pemerintah Serius laksanakan Desentralisasi”, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor
kebutuhan masyarakat, dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu
instrumen untuk mencapai tujuan.25
Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.26 Penjelasan Umum
Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan supaya otonomi daerah juga harus
mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya
harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
25
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 6-7.
26
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.27
Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan penerapan otonomi daerah
dilaksanakan didasarkan pada prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Prinsip otonomi daerah menurut Laica tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang
luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah
yang seluas-luasnya.28 Penjelasan umum Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan bahwa otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas,
wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak
ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat daerah. Sementara Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi
seluas-luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk
menjadi urusan rumah tangga sendiri.29 Otonomi nyata berarti menangani urusan
pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.30 Otonomi yang
bertanggung jawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan
27
Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
28
Sebagaimana dikutip oleh Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah Kajian Politik
dan Hukum,(Bogor: Ghalia, 2007), hal.109.
29
Soehino,Perkembangan Pemerintahan di Daerah,(Yogyakarta: Liberty, 1980), hal.50.
30
dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan
kesejahteraan rakyat.31
Kewenangan membuat Peraturan daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan
hak otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah,32 juga merupakan suatu
kewenangan atribusi (attributie van wetgevings-bevoegdheid),33 yaitu kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet atau wet
kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian
suatu daerah dan memberdayakan masyarakat.34
Peraturan perundang-undangan di daerah dibuat berdasarkan Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan
bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah
selanjutnya disebut Perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan,35menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
31
Rozali Abdullah,Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Desa Secara
Langsung,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.4-6
32
Ibid, hal 131
33
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hal 102.
34
Ibid, hal.133
35
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.36 Secara tegas, ketentuan ni dijelaskan dalam
Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyebutkan bertentangan dengan kepentingan umum ialah kebijakan yang
berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan
umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif. Sementara Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Selain itu Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.37
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-perundang-undangan yang pada
dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan”. Hal tersebut tentunya
36
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
37
berlaku pada seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan
peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.38
Mengingat peranan Perda yang demikian penting dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat
hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat
dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang
jelas yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut
Prolegda.39 Oleh karena itu, instrumen Prolegda sebagai bagian dari tahap
perencanaan pembentukan Perda sangat diperlukan.
Terdapat beberapa alasan pentingnya Prolegda dalam pembentukan Perda,
yaitu :40
1. untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Perda;
2. untuk menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Perda untuk jangka waktu panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD dan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda;
3. untuk menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah;
4. untuk mempercepat proses pembentukan Perda dengan memfokuskan kegiatan penyusunan Rancangan Perda menurut skala prioritas yang ditetapkan;
5. menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Perda.
Mekanisme pembentukan Perda selain prolegda pada tahap perencanaan,
masih melalui beberapa tahapan lanjutan seperti penyusunan Naskah Akademik,
38
Maria Farida Indrati Soeprapto,Op. cit.
39
Lihat Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
40
A.A Oka Mahendra, “Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”,
Makalah, yang disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah selanjutnya disebut Ranperda, upaya
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan,
konsultasi publik, pembahasan Ranperda dan penetapan serta pengundangannya.
Oleh karena itu unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dituntut
kemampuannya untuk dapat menetapkan kebijakan-kebijakan daerah dalam
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan
selanjutnya menterjemahkannya ke dalam peraturan-peraturan daerah yang
memenuhi unsur filosofis, yuridis dan sosiologis.41 Untuk mendukung pembentukan
peraturan perundang-undangan, termasuk Perda diperlukan tenaga perancang
peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang
bertugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan rancangan peraturan
perundang-undangan.42 Tenaga ahli yang menguasai substansi Perda dan sumber daya manusia
pada jajaran birokrasi di daerah turut menentukan keberhasilan pengelolaan Prolegda.
Tenaga fungsional hendaknya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar filosofis bangsa dan negara,
konstitusi, asas-asas peraturan perundang-undangan serta teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan.43 Berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan
seksama dalam proses pembentukan Undang-undang agar semua ketentuan yang
41
Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa,Otonomi Daerah Evaluasi dan
Proyeksi, (Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003), hal. 64.
42
Lihat Penjelasan umum UU No. 10 Tahun 2004.
43
A.A. Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan
diatur benar, tepat dan dapat dilaksanakan.44 Merancang peraturan
perundang-undangan juga menyangkut perancangan materi hukum yang merupakan sarana untuk
menggerakkan perubahan sosial secara tertib.45 Hal senada juga diungkapkan oleh
Suroyo bahwa lazimnya Undang-undang bersifat material dan formil.46
Tenaga fungsional perancang yang berkualitas perlu memiliki kemampuan
untuk berpikir jernih dan logis, berkomunikasi secara efektif, mengidentifikasikan isu
hukum yang berkembang dalam masyarakat secara nyata, mengambil keputusan,
menyerap aspirasi masyarakat, melakukan riset hukum, mengorganisir proses
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dan merumuskan rancangan
secara jernih dan efektif.47
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan juga menyatakan untuk menunjang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan diperlukan peran tenaga perancang sebagai tenaga fungsional
yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan
suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan.48 Menteri Hukum dan HAM telah
menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.73.K.P.04.12 Tahun
2006 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya pesertanya diambil dari seluruh
44
Iman Sudarwo,Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang tentang
Protokol,(Surabaya :Penerbit Indah, 1988), hal, 7.
45
A.A. Oka Mahendra,op.cit, hal, 324.
46
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Gunung Agung, 1969), hal, 44.
47
A.A. Oka Mahendra, Loc.cit, hal 96
48
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang tentunya untuk mendukung
pembentukan Peraturan Perundang-undangan di daerah yang taat asas.
Pembentuk Perda seyogyanya harus menguasai tata cara penyusunan Perda
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
peraturan Tata Tertib DPRD.49 Dalam Pasal 146 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa untuk melaksanakan suatu Perda,
Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan/atau Keputusan Kepala
Daerah.
Pembangunan hukum sebagai bagian integral dari sistem pembangunan
nasional, secara strategis merupakan landasan dan menjadi perekat bidang
pembangunan lainnya serta sebagai faktor integratif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan RI melalui pembangunan sistem hukum
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.
Pembangunan hukum yang dilaksanakan secara komprehensif mencakup
substansi hukum, kelembagaan hukum dan budaya hukum serta dibarengi dengan
penegakan hukum secara tegas, konsisten dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi
manusia, akan mampu mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan, instrumen penyelesaian masalah secara adil serta
sebagai pengatur perilaku masyarakat untuk menghormati hukum.
49
Fungsi peraturan perundang-undangan di dalam negara yang berdasar atas
hukum bukan untuk menciptakan kodifikasi melainkan menciptakan modifikasi atau
perubahan dalam kehidupan masyarakat, maka diharapkan bahwa suatu
Undang-undang itu tidak lagi berada di belakang dan kadang-kadang ketinggalan, tetapi dapat
berada di depan dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat.50
Teraktualisasinya fungsi hukum akan memastikan tegaknya wibawa hukum
yang akan memperkokoh peranan hukum dalam pembangunan. Pembangunan
nasional dapat berjalan tertib, terarah dan konsekuensi dari berbagai kebijakan dapat
diprediksi berdasarkan kepada asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.51 Pasal 1 angka 2 UU
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan
bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan
dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Rencana
pembangunan jangka menengah kementerian/lembaga yang selanjutnya disebut
Rencana strategis kementerian/lembaga ditetapkan dengan peraturan pimpinan
kementerian/lembaga setelah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka
50
Maria Farida Indrati Soeprapto, op. cit, hal. 2.
51
Menengah Nasional (RPJM)52 yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi
kementerian/lembaga tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen dalam Pasal 1
Ayat (1) dan ayat (2) menyatakan Departemen dalam Pemerintahan Negara Republik
Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri Negara
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 12 Keputusan
Presiden tersebut juga menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 13 huruf c Keputusan
Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,
susunan organisasi, dan tata kerja departemen disebutkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi53
pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu
serta penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka
mendukung kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Pasal 14
52
Pasal 19 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
53
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang
Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 11. Logemann mengartikan fungsi sebagai
lingkungan kerja tertentu dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Fungsi itu dalam hubungan
huruf f Keputusan Presiden itu juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan
fungsinya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan
pembinaan hukum dan peraturan perundang-undangan nasional.
Tugas unit-unit utama Departemen Hukum dan HAM di antaranya
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis
perundang-undangan serta pembinaan di bidang hukum nasional.54 Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 selain menentukan Program Legislasi Nasional sebagai instrumen
perencanaan pembentukan undang-undang juga memberikan peran yang strategis
kepada Departemen Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam penyusunan
Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah55 dan dalam pengharmonisan,
pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
Presiden agar dapat dibentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan
asas, prinsip-prinsip dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagai-mana ditentukan dalam Undang-undang.56
Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia di daerah dilaksanakan oleh instansi vertikal.57 SM. Oentarto menyebutnya
54
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Hukum dan HAM.
55
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004.
56
Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004.
57
sebagai refleksi dari pengedepanan kebijakan sentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.58 Instansi vertikal di lingkungan Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia adalah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia di Propinsi.59 Unit organisasi ini diberikan tanggung jawab besar sebagai
perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah (law making process)
khususnya Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah. 60
Dalam menjalankan fungsinya itu timbulnya permasalahan selalu
dimungkinkan. Salah satu permasalahan itu adalah lemahnya landasan yuridis tentang
pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal
Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan di daerah.
Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab itu Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM khususnya bidang Hukum melakukan inventarisasi
peraturan perundang-undangan daerah yang berasal dari Pemerintah Daerah, baik dari
Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota
(Pemkab/Pemko). Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan
58
SM. Oentarto dkk, Op. cit, hal. 9. Sebagai illustrasi, pada masa orde baru, pemerintah lebih
memberikan kewenangan kepada Kanwil sebagai perpanjangan tangan Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk menyediakan pelayanan publik.
59
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
60
undangan di daerah61 termasuk harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda
dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjaga agar setiap
Perda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.62
Istilah harmonisasi berasal dari kata harmoni, yang sebenarnya merupakan
peristilahan dalam musik untuk menunjukkan adanya keselarasan atau keserasian dan
keindahan nada-nada.63 Istilah ini menjadi relevan untuk digunakan dalam bidang
hukum, khususnya peraturan perundang-undangan mengingat perundang-undangan
juga memerlukan suatu keselarasan atau keserasian agar dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.64 Pengharmonisasian merupakan upaya untuk menyelaraskan suatu
peraturan perundang-undangan dengan berbagai kepentingan yang ada dan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun
yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis, tidak tumpang tindih.65
Dengan pengharmonisasian maka tergambar dengan jelas dalam pemikiran
atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian
integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Oleh
61
Ibid.
62
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah.
63
Wicipto Setiadi,”Mekanisme Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, pada
Seminar Harmonisasi Perundang-undangan tanggal 21 September 2006 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI.
64
Ibid.
65
karenanya harus ada skala prioritas, mana yang paling penting di harmonisasi, yang
menyangkut hajat hidup masyarakat luas.66
Pada akhir tahun biasanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil dari
analisis dan tanggapan Tim Panitia yang dibentuk dengan mengundang
wakil-wakil/peserta yang mewakili Kantor wilayah, Biro Hukum dan Dinas-dinas terkait
dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan Dinas-dinas terkait di
lingkungan Pemkab/Pemko. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Biro Hukum dan
dinas terkait dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan
Dinas-dinas terkait di lingkungan Pemerintah kabupaten/Pemerintah kota.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli
2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah angka 7
menyatakan para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para
Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing
untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. Hal ini
dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan
undangan termasuk Peraturan daerah dengan peraturan
perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, sehingga tersusun secara
sistematis dan tidak tumpang tindih (overlaping).67
66
Baldwin Simatupang, ”Harmonisasi Peraturan Daerah Dalam rangka Pelaksanaan
RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007, hal. 14.
67
Harkristuti Harkrisnowo , ”Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6,
Lahirnya Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dimaksudkan untuk
meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.68 Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan disebabkan karena masih adanya egoisme sektoral, dan belum mantapnya
landasan yuridis yang mengatur tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan
dan akses publik untuk berpatisipasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.69 Akibatnya tidak sedikit peraturan perundang-undangan yang tumpang
tindih, tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dengan yang sederajat dan masih belum berwawasan gender dan
HAM serta masih terdapatnya peraturan yang sulit dilaksanakan karena kurang jelas
sehingga dapat terjadi perbedaan interpretasi dan kurang responsif terhadap aspirasi
masyarakat. Permasalahan lainnya adalah peraturan pelaksanaan undang-undang
tidak segera dibentuk atau sangat terlambat pembentukannya sehingga menghambat
implementasinya secara efektif.
Arahan Presiden di depan Sidang Paripurna DPD-RI Tanggal 23 Agustus
2006, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi
pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Perda itu menjadi lebih baik jika
dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung
maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi. Namun
68
Sebagaimana dimaksudkan dalam konsideran menimbang huruf b UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
69
didaerah tentunya tidak semua daerah yang melaksanakan arahan ataupun Surat
Edaran yang diterbitkan.
Dari gambaran keadaan dan permasalahan pembentukan peraturan
perundang-undangan khususnya pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam
pembentukan Perda yang telah dikemukakan, maka Penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dan melakukan analisis dengan judul, ”Pembentukan
Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
HAM Sumatera Utara”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan
dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan
Daerah?
2. Bagaimana kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah?
3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dan upaya apa yang dilakukan oleh
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan
Peraturan Daerah.
2. Untuk mengetahui kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya yang
dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara
dalam pembentukan Peraturan Daerah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih
lanjut dan bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang peraturan
perundang-undangan khususnya pembentukan peraturan daerah.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk
pemahaman khususnya bagi perancang perundang-undangan dalam pembentukan
peraturan daerah dan umumnya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana
peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam
E. Keaslian Penelitian
Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara
pribadi dengan melihat perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum
masyarakat khususnya pada permasalahan pembentukan suatu peraturan daerah.
Tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis
orang lain.
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, penelitian mengenai pembentukan peraturan daerah dikaitkan dengan peranan
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara , belum pernah
dilakukan.
Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Karena itu keaslian penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang
mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran
teoritis”.70
Tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban
merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi
masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia,
masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan.71 Agar tercapai
ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian
disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.
Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama
adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah
adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.72
Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya
berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah
suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah
hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah
hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya.73
Menurut teori jenjang norma hukum (stufentheorie), Hans Kelsen berpendapat
bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada
70
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37.
71
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42.
72
Ibid.
73
norma yang lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya
(inferior).74
Adolf Merkl mengembangkan stufentheorie dengan mengemukakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz) dimasa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskraht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang di atasnya itu dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.75
Hans Nawiasky salah seorang murid Hans Kelsen berpendapat, selain norma
hukum berlapis dan berjenjang, norma hukum dalam suatu negara juga
berkelompok-kelompok.76
Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas :
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ’Formal’)
Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom)77
Istilah Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonegoro dalam
pidatonya pada acara Dies natalis Universitas Airlangga (10 Nopember 1955) dengan
’Pokok Kaidah Fundamentil Negara’,78 Kemudian Joeniarto, disebut dengan istilah
74
Hans Kelsen, General Theory of Law and State,(New York : Russell & Russel, 1945), hal,
113
75
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 26
76
Ibid, hal. 27
77
Ibid,sebagaimana dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als Syatem lichen
Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31.
78
Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok
’Norma Pertama’,79sedangkan oleh A. Hamid S. Attamimi disebut dengan istilah
’Norma Fundamental Negara’.80
Aturan dasar atau aturan pokok negara ini merupakan landasan bagi
pembentukan Undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan yang lebih rendah,81
seperti peraturan pelaksana dan peraturan otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan
Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya.82
Aturan dasar atau aturan pokok negara Indonesia tertuang dalam Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang
sering disebut konvensi ketatanegaraan dan peraturan pelaksana dan peraturan
otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan
Otonom lainnya.
Tesis ini didasarkan pada teori jenjang norma hukum (stufentheorie) bahwa
suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya (inferior),
karena dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) didasarkan pada asas bahwa
79
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta : Bina Aksara,
1982) hal. 6.
80
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah negara” (studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi
pengaturan dalam kurun waktu Pelita I Pelita VI), Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta,1990, hal.359.
81
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 30.
82
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau hirarki perundang-undangan
sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasanUmum
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7
ditegaskan pula bahwa “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah
lain.
Sebagai salah satu sumber hukum dalam hirarki perundang-undangan
Indonesia 83 Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa
83
Sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan Jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah;
suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah.84 Perda pada
dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.85 Kewenangan
membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh
suatu daerah86 dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan
memberdayakan masyarakat87 UU No. 32 tahun 2004 menciptakan konteks politik
yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara Pemerintah
daerah dan DPRD membentuk kebijakan publik yang menentukan.88
Kesemua hal yang berkaitan dengan itu (pembentukan Peraturan Daerah)
berlangsung dalam proses perundang-undangan.89 Tentang proses
perundang-undangan M. Solly Lubis90 menyebutkan sebagai proses pembuatan peraturan negara.
Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan,
pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan.
Proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu
keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya.91 Maka peraturan
perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah
84
Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
85
Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
86
Rozali Abdullah, op. cit hal 131.
87
ibid , hal. 133
88
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 232.
89
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,(Jakarta : Raja
Grafindo Persada,1996), hal.185.
90
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: PT Alumni, 1983),
hal 13.
91
produk atau hasil dari kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. Peraturan
perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari
kegiatan perundang-undangan.92
Selanjutnya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan merumuskan pengertiannya, yakni proses pembuatan peraturan
perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan. Sedang Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah.
Dari defenisi pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan
dan pendapat beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Pembentukan Peraturan
Daerah adalah:
1. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan;
2. Dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan;
3. Dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
92
M Solly Lubis, ”Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah,
disampaikan pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi sebagai pelaksanaan Hak
Secara politik, kedudukan Peraturan Daerah tidak lain merupakan produk
hukum lembaga legislatif daerah.93 Peraturan Daerah sebagaimana produk hukum
pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan.94Pemerintah, termasuk Pemerintah daerah, dalam merumuskan
suatu kebijakan kadangkala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang
penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung mengumpulkan berbagai
preferensi daripada untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari satu atau
sektor lain.95 Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan
bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya, sehingga
penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai
aspek, kepentingan dan kewenangan.96
Tentu saja tidak diinginkan adanya Perda yang menunjukkan fungsi
instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa
daripada fungsi-fungsi lainnya,97yang akan mengakibatkan Perda yang dilahirkan
semakin tidak otonom dari pengaruh politik.
Asas keterbukaan perlu diperhatikan dalam pembentukannya, artinya dalam
dalam penyusunan prolegda sebagai tahap perencanaan, pembentukan Peraturan
93
Ni’matul Huda, Op cit. hal 238-239
94
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2001), hal. 9.
95
Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,(Jakarta : Pusat
Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005),hal. 263.
96
Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan
Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1997), hal. 10.
97
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,(Jakarta :
daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan kesempatan berpatisipasi
dalam penyusunan prolegda agar prolegda benar-benar aspiratif.98
Penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah dilakukan secara
terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja dengan instansi lain yang
terkait. sebagaimana arahan Presiden pada sidang paripurna Dewan Perwakilan
Daerah Tahun 2006 yang menyatakan, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah
dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan
Peraturan Daerah itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah
departemen itu yang ada di setiap Provinsi.99
Upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan termasuk
Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi,
sederajat, sehingga tersusun secara sistematis dan tidak tumpang tindih perlu
melibatkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya
masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda
tersebut.100
Dengan landasan teori yang dikemukakan diatas, maka analisa dan
pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini akan terjawab dengan baik secara
98
Lihat Pasal 5 huruf g dan Penjelasan UU No. 10 tahun 2004.
99
Dikutip dari Arahan Presiden pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2006.
100