• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMMAD SHAIF ALSHAHAB NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMMAD SHAIF ALSHAHAB NIM:"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

(Tinjauan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMMAD SHAIF ALSHAHAB NIM: 11150480000061

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442H / 2020M

(2)

(Tinjauan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMMAD SHAIF ALSHAHAB NIM: 11150480000061

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442H / 2020M

(3)

(Tinjauan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Muhammad Shaif Alshahab NIM: 11150480000061

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Kamarusdiana, M.H. NIP. 197202241998031003

Hotnidah Nasution, M.A NIP. 197101311997032010

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442H / 2020M

(4)
(5)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Juli 2020

Muhammad Shaif Alshahab

(6)

Efektivitas Mediasi Pada Penyelesaian Perkara Cerai di Pengadilan Agama Sengeti (Tinjauan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020M. Ix

+ 80 halaman

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan peran hakim Pengadilan Agama Sengeti dalam proses mediasi perkara cerai dengan mengacu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Serta faktor pendukung dan penghambat keberhasilan hakim sebagai mediator pada penyelesaian perkara cerai di Pengadilan Agama Sengeti.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengkajian bahan primer yang diperoleh langsung di Pengadilan Agama Sengeti, pengkajian bahan sekunder yaitu dengan sumber data Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan serta buku-buku, jurnal, dan literasi yang berhubungan dengan skripsi ini. Peneliti juga meneliti mengenai peran hakim baik secara yuridis maupun empiris.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Sengeti telah sesuai dengan prosedur sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi Di Pengadilan, namun untuk efektivitas dari pelaksanaan mediasi tersebut masih belum dapat dikatakan maksimal, mengingat proses mediasi yang terlaksana hanya sedikit dengan tingkat keberhasilan yang minim. Mengenai hasil penelitian terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat keberhasilan mediasi pada perkara cerai di pengadilan agama Sengeti. Dalam penelitian yang menjadi faktor pendukung keberhasilan mediasi adalah Pertama, Para Pihak Beriktikad Baik. Kedua, Para pihak didukung oleh lingkungannya. Ketiga, Peran Hakim Mediator Membantu Para Pihak Mencapai Kesepakatan. Keempat, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung keberhasilan mediasi. Faktor yang menyebabkan kegagalan proses mediasi dalam mencapai perdamaian di wilayah hukum Pengadilan Agama Sengeti, diantaranya ialah: Peratama, Para Pihak Tidak Beriktikad Baik. Kedua, Konflik yang terjadi diantara pihak sudah berlarut-larut dan menjadi semakin rumit. Ketiga, Kompetensi Hakim sebagai Mediator.

Kata Kunci : Efektivitas mediasi, Mediasi di pengadilan, Perceraian. Pembimbing Skripsi : 1.Dr. Kamarusdiana, M.H.

2.Hotnidah Nasution, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. 2019

(7)

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERAN HAKIM TERHADAP EFEKTIVITAS MEDIASI PADA PENYELESAIAN PERKARA CERAI DI PENGADILAN AGAMA SENGETI (Tinjauan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan)”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman

kegelapan ke zaman yang terang benderang ini .

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Kamarusdiana, M.H. dan Hotnidah Nasution, M.A. Pembimbing Skripsi I dan II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Ayah Yanuar Akbar Syahputra dan Ibu Nuraini yang telah mendoakan, mendukung, dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

Jakarta, 1 Juli 2020

Muhammad Shaif Alshahab

(9)

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan ,dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Rancangan Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, KERANGKA TEORI, TINJAUAN (Review) KAJIAN TERDAHULU ... 13

A. Kerangka Konseptual... 13

1. Pengertian Mediasi ... 13

2. Asas-asas Umum Dalam Mediasi ... 14

3. Dasar Hukum Mediasi... 20

4. Jenis Perkara Mediasi ... 21

5. Proses Mediasi Dalam Perceraian Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ... 22

6. Prinsip-prinsip Mediasi ... 25

7. Tujuan dan Manfaat Mediasi ... 27

8. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam ... 30

B. Kerangka Teori ... 32

1. Teori Efektivitas Hukum ... 32

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 34

(10)

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA SENGETI ... 37

A. Profil Pengadilan Agama Sengeti ... 37

B. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Sengeti... 45

C. Mediator di Pengadilan Agama Sengeti ... 52

BAB IV ANALISIS MENGENAIEFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SENGETI ... 54

A. Analisis Peran Hakim Yang Bertugas Sebagai Mediator Terhadap Efektivitas Mediasi ... 54

B. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi Pada Penyelesaian Perkara Cerai ... 68

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan... ...76

B. Rekomendasi ... ...78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin tinggi supremasi hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia1,

penegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia diinstrumentasikan melalui adanya sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka guna menghormati hak asasi manusia dan prinsip due process of law2.

Hal tersebut juga diafirmasi oleh punggawa hukum Inggris, Albert Ven Dicey, ia menyatakan negara hukum dengan ciri rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum yang terjadi dalam interaksi sosial guna menegakkan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari negara hukum3. Peradilan dapat juga dimaknai sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to

enforce the truth and justice).4

Masyarakat Indonesia saat ini tengah menghadapi kenyataan bahwa ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan di Indonesia. Hal ini terbukti bahwa penyelesaian perkara membutuhkan waktu yang lama mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Disisi lain, masyarakat Indonesia yang mencari keadilan membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat, tepat dan berbiaya ringan dan bukan peradilan yang bersifat

1 MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal MPR RI, 2018), h. 6

2 Dachran Busthami, Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di Indonesia,

Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, Nomor 4, Oktober 2017, h. 338

3 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain, (Jakarta: Konstitusi Press, 2018), h. 28

4 M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(12)

formalitas serta bergerak menuju ke arah pencapaian hakikat keberadaan peradilan,5 yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini tentu sangat

bertentangan dengan asas peradilan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan dalam memeriksa perkara berasaskan pada peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Hasan Bisri menyatakan, yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan meliputi tiga aspek, Sederhana, berhubungan dengan prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara. Cepat, berhubungan dengan waktu yang tersedia dalam proses peradilan. Biaya ringan, berhubungan dengan keterjangkauan biaya perkara oleh para pencari keadilan.6 Dengan demikian tidak selalu hakim pengadilan memutuskan perkara hanya dalam hitungan waktu beberapa jam. Namun keefektifan proses dalam berperkara menjadi tuntutan masyarakat. Pengadilan harus memproses perkara sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum, karena keadilan yang tertunda ialah berupa ketidakadilan (justice delay is justice denied)7.

Sengketa hukum adalah sengketa yang menimbulkan akibat hukum, baik karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum positif atau karena adanya benturan dengan hak dan kewajiban seseorang yang diatur oleh ketentuan hukum positif. Ciri khas dari sengketa hukum adalah pemenuhannya (penyelesaiannya) dapat dituntut di hadapan institusi hukum negara (pengadilan/institusi penegak hukum lainnya).8 Alternatif penyelesaian

5 Nia Sari Sitohang, Penerapan Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan di Pengadilan

Negeri Pekanbaru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, JOM Fakultas Hukum, Volume III, Nomor 2, Oktober 2016, h. 8

6 Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),

h. 165

7 Asep Nursobah, Pemanfaatan Teknologi Informasi Untuk Mendorong Percepatan

Penyelesaian Perkara di Mahkamah Agung, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2, Juli

2015, h. 323

(13)

sengketa menjadi solusi yang dimiliki pengadilan dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur damai.9 Cara ini bukan merupakan hal yang baru,

pertama sekali diatur dalam Pasal 130 HIR jo. Pasal 154 RBG. Adapun bunyi kedua pasal berikut adalah10 Apabila hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir dengan perantara ketua siding mendamaikan mereka dan jika perdamaian tercapai, dibuat suatu akta perdamaian yang dikuatkan oleh putusan pengadilan dan akta tersebut berkekuatan layaknya putusan pengadilan, serta tidak dapat dimohonkan banding sebelum perkara dilangsungkan lebih lanjut, hakim yang menyidangkan perkara tersebut berkewajiban untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Upaya perdamaian yang dimaksudkan oleh Pasal 130 HIR bersifat imperatif.11 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sebelum dilanjutkan kepada persidangan. Banyak cara yang dapat dilakukan hakim untuk berusaha mendamaikan para pihak, tentunya dengan menggunakan cara yang baik yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan sesuai kesepakatan para pihak yang berperkara, sehingga para pihak tidak bosan dalam mengikuti proses mediasi dan terjadi perdamaian jadi tidak memakan waktu yang terlalu lama.

Mediasi menjadi salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada pihak-pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk

9 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Kemufakatan,

(Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2010), h.10

10 Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta; Sinar

Grafika, 2012), h. 46

11

M. Yahya Harahap, M. Yahya harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan,

(14)

penyelesaian sengketa di samping proses acara pengadilan yang bersifat ajudikatif (memutus).12 Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu

pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed

dispute resolution.

Prosedur mediasi di pengadilan menjadi bagian hukum acara perdata yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa. Secara normatif, mediasi berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Pelaksanaan mediasi di pengadilan merupakan bentuk kebijakan untuk mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi) ke dalam proses peradilan (litigasi) dengan mengoptimalkan lembaga mediasi yang merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya murah. Mediasi di dalam Pengadilan (court annexed mediation) mulai berlaku di Indonesia sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA ini bertujuan menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam Menerapkan Lembaga Damai sebagaimana diatur dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan Pasal 154 Rechtsreglement voor

12

Mardalena Hanifah, Kajian Yuridis: Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata di Pengadilan, Jurnal Hukum Acara Perdata Adhaper, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016,

(15)

de Buitengewesten (RBg).13

Peraturan Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi di pengadilan ini terus dilakukan penyempurnaan sebanyak 2 kali setelah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mengenai mediasi di peradilan diterbitkan guna menjawab kebutuhan-kebutuhan dalam praktik. Setelah dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 tahun 2008 Mahkamah Agung kembali mengeluarkan PERMA No. 1 tahun 2016 sebagai upaya mempercepat, mempermudah, serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi diharapkan untuk terus menjadi instrumen yang efektif yang dapat mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan

sengketa, disamping itu proses pengadilan yang bersifat memutus.14

Faktor yang menjadi salah satu pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini adalah bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan mediasi yang lebih berdayaguna dan

mampu meningkatkan keberhasilan mediasi di pengadilan.15 Selama tahun

2014 berdasarkan informasi yang diperoleh dari website Pengadilan Agama Jambi dari empat ratus lebih perkara yang diterima dan diperiksa, tercatat puluhan perkara telah menjalani proses mediasi di Pengadilan Agama (PA) Sengeti. Laporan tahunan PA Sengeti tahun 2014 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan mediasi yang dilakukan hanya mencapai 2% saja dan tergolong

13 Imam N, Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan http://www.pta-jambi.go.id/11-artikel/387 implementasi-peraturan-mahkamah-agung-ri-nomor-1-tahun-2016-tentang-prosedur-mediasi-di-pengadilan, diakses pada 19 April 2019

14 Dwi Rezki Sri Astarin, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhan, Biaya Ringan, (Bandung; Alumni, 2013), h. 141

15 Hilman Fauzi, Efektivitas Peran Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perceraian Di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Implementasi PERMA NO.1 TAHUN 2016), Skripsi UIN

(16)

minim. Bayangkan, dari 61 perkara, hanya 2 perkara yang menempuh proses

islah, hanya 2 perkara yang berhasil dan selebihnya gagal.16

Kegagalan dalam pelaksanaan mediasi tidak hanya diperlihatkan di wilayah Pengadilan Agama Sengeti saja, bahkan berdasarkan studi penelitian yang dilakukan IICCT (Indonesian Institute for Conflict Transformation) bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan AIPJ (Australia Indonesia Partnership of Justice) pada kurun waktu September - November tahun 2013 yang lalu, ditemukan fakta terkait efektivitas mediasi di pengadilan. Beberapa temuan tersebut adalah: Pertama, tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan masih sangat kecil; Kedua, mediasi belum dilaksanakan maksimal di pengadilan; Ketiga, mediasi belum secara signifikan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Apabila tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan dipresentasikan maka berdasarkan data pada tahun 2013 tersebut bahwa dari 5.573 total perkara yang dimediasi di lingkungan peradilan umum, tingkat keberhasilan sebanyak 1.194 perkara atau 21,4%. Sedangkan di lingkungan peradilan agama berjumlah 25.318 perkara yang dimediasi, tingkat keberhasilan mediasi adalah 148.241 perkara atau sebesar 17,08%. Berdasarkan informasi tersebut tingkat keberhasilan di pengadilan agama secara nasional bahkan lebih rendah dibandingkan angka keberhasilan di peradilan umum.17

Data yang diperoleh dari laporan tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukan rendahnya tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan secara nasional, baik di peradilan umum maupun di peradilan agama. Namun pada penulisan karya tulis ini peneliti tidak akan menyinggung mengenai mediasi di ranah peradilan umum, hanya berfokus pada Pengadilan Agama Sengeti. Maka dari itu peneliti memilih Pengadilan Agama Sengeti

16 Riadh, Tingkat Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama Sengeti http://pta- jambi.go.id/peraturan/peraturan-presiden/24-seputar-pa/2159-tingkat-keberhasilan-mediasi-di-pa-sengeti-11-02, diakses pada 19 April 2019

(17)

sebagai subjek penelitian dengan judul “Peran Hakim Terhadap Efektivitas

Mediasi Pada Penyelesaian Perkara Cerai di Pengadilan Agama Sengeti (Tinjauan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan).

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang diidentifikasi oleh peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Adanya perubahan yang mengatur mekanisme mediasi di pengadilan, semula Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan kemudian disempurnakan ke dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

b. Mengingat penyempurnaan regulasi mengenai mediasi di pengadilan telah mengalami penyempurnaan sebanyak 2 kali pada awal diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 tahun 2003 namun pengintegrasian mediasi ke dalam proses acara di pengadilan (khususnya pengadilan agama) belum terjadi perubahan yang signifikan terhadap angka perceraian.

c. Banyaknya hakim yang belum memiliki sertifikat mediator bertaraf nasional

d. Rendahnya tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan

2. Pembatasan Masalah

Mengingat untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka peneliti membatasinya pada penyelesaian perkara cerai melalui tahap mediasi hakim diwilayah hukum pengadilan agama Sengeti berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2016.

(18)

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan dan dipaparkan oleh peneliti, maka permasalahan utama yang menjadi fokus pembahasan adalah peran hakim sebagai mediator dalam penyelesaian perkara cerai, oleh karenanya peneliti merumuskan rincian masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian dengan uraian sebagai berikut:

a. Bagaimana peran hakim Pengadilan Agama Sengeti dalam proses mediasi perkara cerai?

b. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan hakim sebagai mediator pada penyelesaian perkara cerai di Pengadilan Agama Sengeti?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti efektivitas hakim sebagai mediator dalam penyelesaian perkara cerai di pengadilan agama. Secara khusus tujuan penelitian ini juga untuk:

a. Mengetahui efektivitas peran hakim dalam menangani perkara cerai melalui proses mediasi

b. Mengetahui faktor yang menjadi penghambat mediasi hakim dalam penyelesaian perkara cerai setelah diberlakukannya PERMA No.1 tahun 2016.

2. Manfaat Penelitian

Adapun Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

(19)

kontribusi pemikiran mengenai peran hakim sebagai mediator serta faktor dapat yang menghambat penyelesaian perkara cerai melalui mediasi di pengadilan agama

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini di harapkan mampu memperlihatkan bagaimana sesungguhnya tugas hakim sebagai mediator dan proses mediasi penyelesaian perkara cerai di pengadilan agama.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam setiap penelitian agar apa yang menjadi fokus penelitian tidak melebar. Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu sesuai masalah yang diteliti. Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh seseorang untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat luas.18

Pada hakikatnya, penelitian bertujuan untuk memberi solusi atas suatu masalah dan mendapat pengetahuan tentang suatu yang dianggap benar melalui proses observasi. Tanpa penelitian, ilmu pengetahuan tidak akan berkembang dan membuat solusi atas suatu masalah sulit dipertanggungjawabkan.19

1. Jenis penelitian

Peneliti dalam penulisan penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis empiris dengan kata lain adalah jenis penelitian hukum sosiologi dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; Universitas Indonesia Press

1986), h. 52

(20)

kenyataan di masyarakat.20 Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi dimasyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta – fakta dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian maslah.21

2. Pendekatan Penelitian

Penyususnan skripsi ini menggunakan metode pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya.22 Penelitian ini juga dikombinasikan dengan menggunakan metode pendekatan perundang – undangan (statute approach) yang dikaji dalam interprestasi harfiah yang tertuang dalam suatu peraturan ( Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016) yang kemudian dianalisis secara teori dan praktik.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini diambil dari data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas.23 dan juga merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan Perundang-undangan (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016). Sumber data diperoleh langsung dari lapangan melalui

20 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta; Sinar Grafika, 2002),

h.15

21 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta; Sinar Grafika, 2002), h.

16

22 Lexy. J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung; Remaja Rosda Karya,

2001), h. 3

23 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,

(21)

wawancara dan sumber data lain yang diperoleh di Pengadilan Agama Sengeti.

b. Sumber Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku sebagai data pelengkap sumber data primer. Sumber data sekunder penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dengan melakukan kajian pustaka seperti buku-buku ilmiah, hasil penelitian dan sebagainya.24

c. Sumber Data Tersier

Merupakan sumber data atau rujukan yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sumber data atau bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan sebagainya.

4. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistemasikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.25 Analisis data kualitatif adalah suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan data-data yang telah terkumpul, sehingga diperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

24

Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta; Hanindita Offset, 1983), h. 56

25 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2010),

(22)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017” E. Rancangan Sistematika Pembahasan

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh secara terstruktur dan sistematis maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini penelitian membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan mediasi, pengertian mediasi, proses mediasi, daya mengikat kesepakatan mediasi, tempat dan biaya mediasi, efektivitas mediasi, mediator, hakim sebagai mediator, upaya perdamaian, teori efektivitas dan teori penegakan hukum.

BAB III : Membahas profil Pengadilan Agama Sengeti, daftar hakim mediator, data perkara perceraian dan hasil mediasi.

BAB IV : Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi di dalam bab ini peneliti memaparkan hasil wawancara dan analisis penelitian mengenai peran hakim terhadap efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Sengeti berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di dalam bab ini

berisikan kesimpulan dari bab - bab sebelumnya dan juga dalam bab ini berisikan rekomendasi.

(23)

13

A. Teori Konseptual 1. Pengertian Mediasi

Mediasi diartikan secara etimologi berasal dari bahasa Latin,

mediare yang artinya berada di tengah. Arti kata di atas menunjukkan

peran mediator sebagai pihak ketiga yang berusaha menengahi masalah yang sedang dihadapi oleh kedua pihak. Arti kata di tengah menunjukkan bahwa posisi mediator netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan perselisihan atau masalah. Mediator dituntut untuk dapat melindungi kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.26

Kata mediasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.27 Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat.28

Mediasi dalam bahasa Inggris disebut dengan mediation yang artinya perantaraan. Secara istilah mediasi ialah suatu proses penyelesaian

26 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Syariah, Adat, dan Hukum Nasional, Cet I

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2

27 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Cet

II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 276

28 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Syariah, Adat, dan Hukum Nasional, Cet I,

(24)

sengketa antara kedua belah pihak melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral (mediator) yang tidak memiliki kewenangan memutus.

Takdir Rahmadi menyampaikan pendapatnya dalam sebuah buku yang berjudul Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan

Mufakat, secara terminologi mediasi adalah “suatu proses penyelesaian

sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus”.29

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi di Pengadilan menyatakan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

2. Asas-asas Umum dalam Mediasi

Mediasi dalam proses pelaksanaannya memiliki beberapa asas yang menjadi prinsip dasar dalam menjalankan mediasi. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan dalam Pasal 35 menyebutkan bahwa mediasi terpisah dengan proses litigasi, artinya proses mediasi belum termasuk pada Pasal 1 butir 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan substansi persidangan, karena pada dasarnya hakim yang menjadi mediator berbeda dengan hakim pemeriksa perkara namun kewenangannya sudah menjadi kewenangan pengadilan. untuk mengetahui bahwa ciri khas mediasi maka dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan bahwa:

1. Mediasi pada umumnya bersifat tertutup, pada Pasal 5 ayat 1 kecuali para pihak menghendaki lain.

29 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Kemufakatan,

(25)

2. Itikad baik para pihak. Pada Pasal 5 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung ini itikad baik para pihak juga menjadi pertimbangan para pihak untuk bisa melanjutkan proses mediasi atau mengakhiri proses mediasi dengan menolak gugatan dikarenakan para pihak tidak beritikad baik.

3. Mediasi bersifat informal, artinya tidak serta merta mediasi harus dilaksanakan di ruang mediasi namun bisa dilaksanakan di luar ruang sidang sesuai kesepakatan38 agar terciptanya kenyamanan sehingga menimbulkan komunikasi yang baik antar kedua belah pihak. Hal tersebut bisa dilakukan oleh seorang mediator non hakim. Untuk mediator yang menjadi hakim pengadilan atau pegawai pengadilan dilarang untuk melakukan mediasi di luar ruang mediasi.

4. Mediasi bersifat wajib. Kecuali dalam sengketa yang diselesaikan melalui peradilan niaga, hubungan Industrial, keberatan atas putusan badan penyelenggaraan konsumen dan lain sebagainya.

5. Biaya ringan. Dalam menjalankan mediasi yang menggunakan jasa mediator maka biaya yang digunakan hanya biaya pemanggilan para pihak, namun apabila menggunakan jasa mediator non hakim atau pegawai pengadilan biaya tergantung saat proses mediasi berlangsung.

6. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksaan mediasi sangat singkat yaitu selama 30 hari.

7. Kesepakatan damai merupakan akhir proses mediasi, artinya apabila pihak sepakat untuk damai maka gugatan dicabut dan dituangkan dalam bentuk akta perdamaian.

8. Mediasi menggunakan pola komunikasi, jadi antara kedua belah pihak berdialog aktif dengan dipimpin oleh mediator

9. Hasil mediasi bersifat win-win solution, tidak menang atau kalah harus bisa menerima kesepakatan yang telah dibuat.

10. Perdamaian sukarela, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, hakim pemeriksa perkara tetap membuka peluang para

(26)

pihak untuk berdamai sebelum membacakan putusan, apabila sesaat sebelum dibacakan putusan kedua belah pihak ingin berdamai maka hakim pemeriksa perkara menunjuk hakim pemeriksa perkara untuk menjalankan fungsi mediator dengan mengutamakan hakim yang bersertifikat.

Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang bersifat sukarela atau pilihan. Akan tetapi, dalam konteks Mediasi di pengadilan, ternyata Mediasi di pengadilan bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses Mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaian melalui perdamaian. Pihak-pihak yang bersengketa di muka pengadilan, terlebih dahulu harus menyelesaikan persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan yang dibantu oleh Mediator.30 Maka terdapat beberapa perbedaan prinsip antara Mediasi dengan persidangan pada umumnya antara lain adalah:

1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah pihak. Dalam Mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara sebagai pedoman proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal persidangan di pengadilan maka proses Mediasi di pengadilan bersifat semi informal. Artinya tetap terikat pada aturan hukum acara tertentu sebagai panduan dalam tahapan berjalanya proses mediasi. Proses mediasi dapat ditempuh dengan rileks, tidak perlu ada penyebutan identitas sebagai penggugat dan tergugat.

30 Rachmadi Usman, Mediasi Pengadilan dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

(27)

masing pihak dapat bebas untuk menganjurkan usulan dan penawaran, termasuk bagi mereka yang berkedudukan sebagai tergugat.

2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat dibandingkan dengan proses persidangan pada umumnya, sesuai dalam Pasal 3 Ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2016 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari berikutnya terhitung sejak berakhirnya waktu 30 hari yang pertama. Perpanjangan waktu mediasi ini harus berdasarkan atas kesepakatan para pihak. Tenggang waktu yang panjang dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan selalu dikeluhkan oleh para pencari keadilan (justitiabelen), karena dengan rentang waktu yang begitu Panjang, cenderung akan mendatangkan kerugian bagi bara pihak terutama bagi mereka yang berkedudukan sebagai penggugat.

3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya menjadi penengah atau fasilitator dan membantu para pihak memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Pada prinsipnya mediator tidak boleh melakukan intervensi secara langsung terhadap kesepakatan yang dibuat oleh para pihak melainkan hanya menjadi fasilitator agar dapat mempercepat proses pengambilan keputusan.

4. Biaya ringan dan murah. Jika pada umumnya jalur litigasi membutuhkan biaya yang tinggi baik itu disetiap tahapan pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat terakhir, dengan adanya proses mediasi ini dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan bagi para pihak sehingga asas peradilan yang berbiaya ringan dan murah dapat dilaksanakan dengan baik.

(28)

5. Proses tertutup dan bersifat rahasia, pada Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 menyebutkan bahwa “proses mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak berkehendak lain” artinya kerahasiaan selama proses mediasi akan dilaksanakan secara tertutup, disamping itu semua hasil perundingan para pihak dalam proses mediasi akan dirahasiakan oleh mediator dari akses pihak-pihak luar, hal ini dimaksud untuk menyampaikan tawaran dan kepentingan dalam setiap perundingan, terhadap sengketa yang menyangkut harga diri dan kehormatan para pihak, maka proses yang tertutup akan menghindari terbukanya aib

6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Bila para pihak menghendaki kesepakatan damai yang di tuangkan ke dalam kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dalam akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan mediator, maka gugatan perkara harus dicabut, sehingga perkara dinyatakan selesai. Selama telah memenuhi ketentuan Pasal 27 Ayat (2) yaitu bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, merugikan pihak ketiga; atau tidak dapat dilaksanakan. 7. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan dialog kepada para pihak guna mendapatkan informasi dengan pola komunikasi interaktif, peran mediator sangat penting sehingga membuat para pihak menjadi lebih nyaman dan terbuka ke Mediator, dan akhirnya akan mempermudah proses mencari solusi.

8. Penggunaan itikad baik dalam mediasi. Tujuan mediasi adalah menyelesaikan sengketa secara damai, oleh karena itu tanpa adanya itikad baik dari para pihak, perdamaian tidak akan tercapai. Untuk mencegah adanya pihak yang bersikap tidak kooperatif dan menghindari risiko berlangsungnya proses mediasi yang bersifat formalitas belaka, yakni sekedar untuk mengikuti perintah Mediasi

(29)

agar perkaranya dapat diperiksa melalui proses litigasi. Itikad baik para pihak merupakan kunci keberhasilan mediasi.

9. Hasil mediasi yang bersifat win-win solution. Ciri khas dari proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah adanya prinsip “win-win solution” yaitu suatu metode penyelesaian dimana masing-masing pihak akan mendapatkan kemanfaatan secara berimbang sesuai kehendak yang disepakati atau tidak ada para pihak yang merasa kalah atau yang menang, melainkan para pihak merasa sama-sama puas dan pihak harus patuh dan menaati kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama.

10. Akta perdamaian bersifat final dan binding. Akta perdamaian memiliki kekuatan yang sama atau setidaknya dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tepat berdasarkan analisis Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung bahwa akta perdamaian memilik kedudukan setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pendapat tersebut dibangun atas alasan bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ,asih terbuka untuk diajukan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) sedangkan akta perdamaian sama sekali tidak tertutup bagi semua upaya hukum.

Pasal 130 HIR Ayat 2 menyebut bahwa: Jika perdamaian terjadi

maka tentang hal itu harus dibuat dalam sebuah akta dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu, maka surat (akta) tersebut berkekuatan hukum dan akan dilakukan sama sebagai keputusan hakim yang biasa. Berdasarkan rumusan Pasal diatas

dapat ditarik dua intisari menyangkut kedudukan akta perdamaian antara lain :

(30)

2) Akta perdamaian memiliki kekuatan eksekutorial.31

3. Dasar Hukum Mediasi

Dalam menjalankan proses mediasi di lingkungan peradilan beberapa aturan yang dipergunakan yaitu:

1. Reglement Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesteb

Buiten Java En Madura, Staatsblad 1927:227);

2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine Inlandssch

Reglement, Staatsblad, 1941: 44);

3. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian. Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa;

4. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4958);

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 6. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 Undang –

undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.;

7. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

31 D.Y.Witanto,S.H, Hukum Acara Mediasi, dalam Perkara Perdata di Lingkungan

(31)

4. Jenis Perkara Mediasi

Pada dasarnya setiap sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Agama termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi.

Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, secara jelas mewajibkan semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama terlebih dahulu harus diupayakan penyelesaiannya melalui perdamaian dengan mendapatkan bantuan mediator, juga mengatur berkenaan dengan jenis perkara yang wajib dimediasi dalam konteks mediasi di pengadilan, yaitu: semua perkara perdata, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan Industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Namun dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 menyatakan ada beberapa sengketa perdata yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi sebagai berikut: 1. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundangundangan (seperti permohonan pembatalan putusan arbitrase).

2. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;

3. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi).

4. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;

(32)

penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

5. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016

Keberhasilan suatu mediasi dapat dilihat dari proses atau tahapan dari mediasi itu sendiri, apabila proses mediasi dilaksanakan dengan benar maka hasil yang didapatkan tentu akan baik, begitu pula sebaliknya apabila mediasi dilaksanakan dengan tidak baik atau tidak sungguh-sungguh maka hasil yang didapatkan tentu tidak akan maksimal atau bahkan gagal, untuk itu peneliti kemukakan tahapan-tahapan mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama, sebagai berikut:

1. Tahap Pra Mediasi

Tahapan yang dilakukan pertama sekali yaitu penggugat mendaftarkan gugatannya kepada kepaniteraan Pengadilan Agama. Adapun rincian tahapan pra mediasi sebagai berikut:

a. Ketua Pengadilan Agama menunjuk majelis pemeriksa perkara cerai gugat tersebut dalam sebuah surat penunjukkan majelis.

b. Kemudian apabila pada sidang pertama penggugat dan tergugat datang, maka hakim Pengadilan Agama mewajibkan untuk menempuh mediasi. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh Para Pihak, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi.

c. Kemudian hakim ketua menjelaskan kepada penggugat maupun tergugat tentang prosedur mediasi di pengadilan

(33)

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 20016.

d. Para pihak dalam hal ini penggugat atau tergugat diberikan waktu paling lama 2 (dua) hari dalam memilih mediator. e. Apabila para pihak tidak dapat memilih mediator yang telah

terdaftar di pengadilan tersebut dalam jangka waktu dua hari seperti yang tercantum pada Pasal 20 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 maka hakim ketua majelis pemeriksa perkara menunjuk hakim mediator baik yang mempunyai sertifikat sebagai mediator maupun hakim yang tidak mempunyai sertifikat sebagai mediator atau pegawai pengadilan.

2. Tahapan Proses Mediasi

Langkah-langkah proses mediasi sebagai berikut:.

a. Dalam melaksanakan mediasi, para pihak wajib menghadirinya dengan itikad baik. Para pihak dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila para pihak telah dipanggil 2 kali secara patut dan tidak menghadiri mediasi atau menghadiri mediasi dalam pertemuan pertama dan pertemuan selanjutnya tidak datang.

b. Mediator menyiapkan pertemuan mediasi kepada para pihak untuk berdialog. Proses mediasi ini dilakukan dalam waktu 30 hari kerja sejak mediator ditunjuk atau dipilih para pihak dan telah disepakati. Jangka waktu mediasi dapat diperpanjang selam 30 hari terhitung sejak habisnya jangka waktu mediasi 30 hari tersebut.

c. Dalam mendalami permasalahan yang dihadapi para pihak mediator dapat melibatkan tenaga ahli atau tokoh masyarakat tertentu sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 (1) Atas persetujuan para pihak dan/atau kuasa hukum, mediator

(34)

dapat menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat.

d. Mediator dalam upaya melakukan perdamaian juga bisa menggunakan kaukus yaitu pertemuan dengan salah satu pihak

e. Setelah ditentukannya tanggal dan hari untuk dilaksanakan mediasi, maka hakim mediator memanggil para pihak untuk melakukan mediasi di gedung Pengadilan Agama atau ditempat lain sesuai kesepakatan para pihak yang dibuat di awal. Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita pengganti pengadilan agama.

f. Dalam pertemuan pertama mediasi, mediator memberikan sambutan yang berupa penjelasan mengenai peran dan fungsinya sebagai mediator, untung rugi melaksanakan mediasi, meyakinkan para pihak yang berperkara untuk melaksanakan mediasi dengan baik. Menyusun aturan dasar mengenai aturan tahapan, menegaskan bahwa para pihak yang bersengketalah yang berhak untuk menentukan keputusan, memberikan kesempatan mediator untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kendali atas proses.

g. Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan permasalahan yang dialaminya masing-masing para pihak diberi waktu yang sama.

h. Mengidentifikasi masalah oleh mediator dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan kehendaknya yang dituangkan dalam butir-butir kesepakatan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis yang dibuat dengan bantuan mediator serta ditanda tangani oleh para pihak dan mediator. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:

(35)

1) bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;

2) merugikan pihak ketiga; atau 3) tidak dapat dilaksanakan.

i. Apabila kesepakatan yang dibuat hanya disepakati sebagiannya saja maka tetap ditanda tangani oleh para pihak dan mediator. Kesepakatan sebagian dikuatkan dengan akta perdamaian. Pengajuan gugatan dapat diajukan kembali terhadap hal-hal yang tidak disepakati.

j. Apabila mediasi tidak tercapai kesepakatan maka mediator wajib membuat laporan kepada hakim pemeriksa perkara, dalam hal:

1) Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3);

2) Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dan huruf e.

k. Mediasi berakhir apabila terjadi kesepakatan dan berakhir dengan ketidaksepakatan atau lanjut kepada sidang pengadilan.

6. Prinsip-prinsip Mediasi

Dari berbagai pengertian dan kajian-kajian literatur tentang mediasi dapat disimpulkan beberapa prinsip dari lembaga mediasi:

a. Mediasi Bersifat Sukarela

Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata. Dengan

(36)

demikian, pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.

Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut.

b. Lingkup Sengketa Pada Prinsipnya Bersifat Keperdataan

Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan.

c. Proses Sederhana

Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

d. Proses Mediasi Tetap Menjaga Kerahasiaan Sengketa Para Pihak Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghadiri sesi-sesi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.

e. Mediator Bersifat Menengahi

(37)

menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahaman yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa tersebut.32

7. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan di antara mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh para pihak.

Pertemuan secara terpisah dengan para pihak dapat lebih meyakinkan pihak yang lemah akan posisi mereka, sehingga mediator dapat berupaya mengatasinya melalui saran dan pendekatan yang dapat melancarkan proses penyelesaian sengketa. Proses mediasi dan keahlian mediator menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pencegahan dan penyalahgunaan kekuasaan.33

Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Modal utama penyelesaian

32 Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:

Telaga Ilmu Indonesia, 2009), h.44

33 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,

(38)

sengketa adalah keinginan dan itikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan itikad baik ini, kadang - kadang memerlukan bantuan pihak ketiga dalam perwujudannya. Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:34

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase.

b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak- hak hukumnya.

c. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.

e. Mediasi dapat mengubah hasil yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.

f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang

hampir selalu mengiri setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim.

Mediasi ini juga bertujuan untuk lebih menekankan tentang upaya perdamaian di pengadilan dan juga sebagai penyempurna dari

34 Syahrial Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum

(39)

peraturan yang dulu tentang adanya pelembagaan perdamaian yang selama ini upaya damai di pengadilan seakan-akan hanya sebagai formalitas saja bukan sebagai anjuran yang ditekankan oleh undang-undang dan juga sebagai landasan hukum pengadilan dalam penyelesaian perkara dan mediasi ini diambil ketika para pihak menghendaki sengketa diselesaikan secara damai.

Mengembangkan mediasi di Indonesia merupakan suatu hal yang bermanfaat. Dilihat dari kekuatan potensial mediasi yaitu:

a. Mampu memenuhi segitiga kepuasan, yaitu kebutuhan substantif, kebutuhan prosedural dan psikologis dari para pihak yang bersengketa. Kebutuhan substantif (rasional) adalah kebutuhan yang langsung mengenai pokok sengketa yang terjadi. Kebutuhan prosedural yaitu cara mediator memperlakukan para pihak yang bersengketa dalam proses mediasi. Para pihak itu sendiri yang menentukan atau yang memutuskan cara penyelesaian sengketa mereka dengan menempatkan mereka sebagai subyek bukan sebagai obyek. Kebutuhan psikologis yaitu tetap menjaga dan memelihara hubungan pertemanan antara para pihak, meskipun kedua belah pihak pernah bersengketa. Dan hubungan pertemanan itu masih akan tetap terjaga oleh karena penyelesaian mereka win-win solution..

b. Penyelesaian mediasi lebih murah, cepat, dan efisien meski hal tersebut sifatnya relatif tapi berpotensi.

c. Kesertaannya, di sini kesertaan dalam mediasi tidak terbatas pada orang yang merugikan saja. Dalam kasus-kasus publik misalnya terdapat sengketa atau konflik antara perusahaan iklan rokok atau media cetak, sebagai contoh dalam persoalan rokok melibatkan banyak pihak.35

35 Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional Dan Internasional,

(40)

8. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam

Islam sejak dahulu telah mengajarkan tentang Mediasi, sejak zaman Nabi Muhammad dalam sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi di kalangan sahabat dan masyarakat dalam bentuk negosiasi, mediasi, adjudikasi, rekonsiliasi arbitrase dan penyelesaian sengketa lembaga peradilan (litigasi).36 Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 107 Allah

menegaskan

(Q.S. Al-anbiya’ (107))

َن

يِمَلََٰعْلِ ل ًةَمْح َر الَِّإ َكََٰنْلَس ْرَأ ٓاَم َو

yang artinya “ tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk

menjadi rahmat bagi sekalian alam “.Ayat ini mengungkapkan bahwa

kehadiran Nabi Muhammad Saw melalui risalah islam bertujuan mewujudkan damai, menyelesaikan konflik atau sengketa dan menjadikan manusia sebagai mahkluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai (peacemaker).

Mohammed Abu Nimer dalam bukunya yang telah di kutip oleh Syahrizal Abbas bahwa beliau meyakini Islam telah meletakkan prinsip dan nilai damai dalam Al-Qur’an yaitu penerapan prinsip dan nilai damai yang diderivasi dari tradisi ajaran Islam, akan mampu menyelesaikan konflik, baik dalam lapangan sosial maupun politik. Kemudian beliau merumuskan ada 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang ada dalam Al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi Muhammad, yakni Perwujudan keadilan, Pemberdayaan sosial, Universalitas dan martabat kemanusiaan , Prinsip kesamaan, Melindungi kehidupan manusia, Perwujudan damai, Pengetahuan dan kekuatan logika, Kreatif dan inovatif, Saling memaafkan, Tindakan nyata, Pelibatan melalui tanggung jawab individu, Sikap sabar, Tindakan bersama (kolaboratif) dan solidaritas, Inklusif dan proses partisipatif dan Pluralisme dan keragaman.

Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad menawarkan proses

36 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ...,

(41)

penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta (adjudikatif) dan penyelesaian sengketa melalui perdamaian (islah atau Sulh). Sulh adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat bukti. Anjuran Sulh mengantarkan pada ketentraman hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturrahmi para pihak yang bersengketa. Oleh karenanya, hakim harus senantiasa mengupayakan para pihak yang bersengketa untuk menempuh jalur damai (islah), karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak. Sulh dilakukan secara sukarela, tidak ada paksaan dan hakim hanya memfasilitasi para pihak agar mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan demi mewujudkan kedamaian. Sulh adalah kehendak para pihak yang bersangkutan untuk membuat kesepakatan damai.37

Perkara atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur sulh adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak manusia (haq

al-‘ibad) dan bukan perkara yang menyangkut hak Allah (haq

Allah).Dalam kategorisasi hukum, perkara atau sengketa yang dapat diajukan upaya damai atau sulh adalah perkara yang berkaitan dengan hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga (mu’malah wa ahwal al-syakhsiyah).

Keberadaan pihak ketiga sangat penting dalam proses islah, guna menjembatani para pihak yang bersengketa. Para pihak umumnya memerlukan bantuan pihak lain untuk mencari solusi tepat bagi penyelesaian sengketa mereka. Pihak ketiga amat berperan melakukan fasilitas, negosiasi, mediasi, dan arbitrase diantara para pihak yang bersengketa. Fasilitas, negosiasi, mediasi dan arbitrase merupakan bentuk teknis penyelesaian sengketa dengan menggunakan pola sulh. Pola sulh

37 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,

(42)

dapat dikembangkan dalam alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi (wastha), arbitrase (tahkim), dan lain-lain.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Sulh telah diterapkan sejak zaman Rasulullah dan manfaat dari Sulh itu sendiri sangat banyak salah satunya untuk tetap menjaga silaturahmi diantara para pihak dan menyelesaikan masalah dengan jalan yang damai sehingga tidak ada penyesalan.

B. Kerangka Teori

1. Teori Efektivitas Hukum

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata efektif mengandung arti efek, pengaruh, akibat atau dapat membawa hasil. Jadi, efektifitas adalah keaktifan, daya guna, adanya kesesuaian dalam suatu kegiatan orang yang melaksanakan dengan sasaran yang dituju. Efektifitas pada dasarnya menunjukkan pada taraf tercapainya hasil.

Istilah teori efektifitas hukum berasal dari terjemah Inggris, yaitu

effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan effectiviteit van de juridische theorie, bahasa Jerman, yaitu wirkssamkeit der rechtlichen theorie.38

Hans Kelsen menyajikan definisi tentang efektifitas hukum. Ia mengemukakan bahwa:39

“Efektifitas hukum adalah apakah orang-orang yang pada kenyataannya berbuat menurut sesuatu cara untuk menghindari sanksi yang diancam oleh norma hukum atau bukan, apakah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi.”

Teori efektifitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa

38

Salim HS dan Erlis Septiana N, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, Cet. Ke-1, (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2013), h. 301

39 Salim HS dan Erlis Septiana N, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. Ke-1, (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2013), h.302

(43)

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:40 a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-undang).

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dapat dikatakan tidak efektif.

Efektivitas merupakan hubungan antara kontribusi (output) dengan hasil (out come), semakin besar kontribusi (output) terhadap pencapaian tujuan / hasil (out come) maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan.41 Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa efektivitas mempunyai hubungan timbal balik antara kontribusi dengan pencapaian tujuan, semakin besar kontribusi maka semakin efektif suatu program atau kegiatan.

Efektifitas berfokus pada hasil (outcome), program atau kegiatan yang dinilai efektif apabila kontribusi yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan atau dikatakan spending wisely, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah mengenai hubungan arti

40 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 8

41

Mahmudi. Manajemen Kinerja Sektor Publik, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 92.

Gambar

Gambar 1. Peta wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Sengeti
Gambar 2. Tampak depan kantor Pengadilan Agama Sengeti

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Menimbang, bahwa hukum dasar dalam pembagian harta bersama adalah dibagi dua sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan hukum majelis hakim pengadilan tingkat pertama,

Maksud tersirat dari dalil diatas, bahwa jika ingin menikah, maka hendaklah melihat atau mengetahui kekurangan dari pasangan. Maka dari itu, upaya pemerintah Provinsi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Amil dan Pegawai pencatat nikah dari KUA dalam mengatasi nikah tidak tercatat di kecamatan Sawangan Kota Depok

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan syarat- syarat yang wajib dipenuhi

Pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan analisis berupa Kontrak baku pada situs crowdfunding berbasis utang piutang yang beroperasi di Indonesia, yaitu pada

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

.Menurut Imam Soepomo Imam Soepomo, kesehatan kerja mengacu pada aturan dan upaya yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kerusakan yang dilakukan seseorang