• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH FILSAFAT KETUHANAN PANTEISME OLE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH FILSAFAT KETUHANAN PANTEISME OLE"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FILSAFAT KETUHANAN

PANTEISME

OLEH:

MUHAMMAD AL KAHFI

1106061535

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN AJARAN 2013/2014

(2)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pandangan terhadap panteisme dalam konsep teologis merupakan salah satu isu yang hangat diperbincangkan dan secara diskursus perdebatannya mewadahi banyak aspek dalam perkembangan isu mengenai paradigma ketuhanan. Mulai dari afirmasi saintifik seperti sel tuhan, opositif yang diajukan kaum teistik, hingga beberapa sistem kepercayaan yang mengandaikan tuhan yang imanen.

Terlepas dari pemahaman mengenai panteisme sebagai sebuah sistem kepercayaan, panteisme sebagai salah satu isu dalam kajian teologis membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam serta kajian yang lebih radikal secara konseptual. Penulis merasakan adanya urgensi untuk mengangkat persoalan panteistik ini dalam kajian teologis berdasar pada pemikiran Spinoza dalam bukunya Ethics. Buku ini mendapat tempat cukup besar dan dianggap sebagai salah satu turning point dalam pemikiran mengenai panteisme. Pergerakan ini kemudian dikembangkan secara diskursif namun kemudian tercecer oleh perkembangan sains yang masif dan panteisme hanyalah sebatas sistem kepercayaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu panteisme?

2. Bagaimana posisi panteisme terhadap teisme?

3. Bagaimana panteisme menjelaskan persoalan kreasionisme dan persoalan evil?

BAB II

(3)

2.1 Panteisme

Dalam masalah pengertian akan panteisme banyak pihak yang mengartikan panteisme secara berbeda sehingga pergerakannya defenitifnya bergerak sangat liar. Sebagai pengantar, penulis memposisikan diri pada paradigma bahwa pandangan panteistik dan ateistik sama sekali berbeda, namun sekaligus berbeda dengan pandangan teistik. Panteisme adalah salah satu posisi religius sekaligus metafisis. Mengutip H.P. Owen,

“God is everything and everything is God…the world is either identical with God or in some way a self-expression of his nature”1

Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang Alasdair MacIntyre sebut sebagai Unity, bagimana dia menjelaskan bahwa segala hal berhubungan dalam sebuah bentuk kesatuan atau unity namun sekaligus terdefenisi dan terdeterminasi sebagai hal-hal yang berbeda.2

Jika kita melihat pada posisi teistik, maka kita akan sampai pada defenisi bahwa Tuhan terdefenisi sebagai satu bentuk personal yang terlepas dari dunia atau apa yang disebut sebagai konsep transenden. Transendensi inipun kemudian memiliki beberapa tatanan lebih lanjut, sebagain percaya bahwa Tuhan sepenuhnya transenden dan terlepas dari konsep holistik keduniawian dan sebagian lagi beranggapan bahwa Tuhan personal tersebut tidak sepenuhnya terlepas dari dunia dan dunia merupakan pancaran dari Tuhan atau yang dalam kajian teologis disebut sebagai imanensi. Imanensi ini juga kemudian menjadi salah satu keberpijakan dalam pandangan panteisme.

Tuhan dalam bentuk personal inilah yang kemudian bagi banyak pandangan panteisme tidak diterima. Sebagai alternatif, panteisme pun tidak mengafirmasi bentuk Tuhan yang berada dalam kondisi sepenuhnya transenden, sepenuhnya secara ontologis berbeda dengan dunia ini. Salah satu isu yang menjadi kontraposisi panteistik terhadap transendensi Tuhan yang absolut adalah jika Tuhan diandaikan secara ontologis berada dalam sesuatu yang melewati dunia

1 H.P. Owen, Concepts of Deity (London: Macmillan, 1971) p. 74.

(4)

dan semesta, maka bagaimana mungkin adanya pengetahuan tentang Tuhan, indikasinya, jika sistem pengetahuan tentang tuhan tidak mungkin adanya, bagaimana seseorang berbicara atau bahkan mengkonseptualisasikan Tuhan itu sendiri.

Maka diskursus ini telah dibawa tidak hanya pada level metafisis atau teologis, namun juga mencakup persoalan ontologi serta epistemologi atau sistem pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri. Namun, jika universalitas serta konsep Tuhan yang imanen dalam pandangan panteistik pun berindikasi sama. Jika Tuhan adalah suatu konsep yang imanen dan hadir dalam setiap hal secara unitas namun terbagi, akan muncul pertanyaan epistemik yang sama. Bagaimana sistem kepercayaan ini bisa dimasukkan dalam diskursus jika basis epistemiknya sendiri berada dalam lingkaran paradoksal. Kita bisa menerima panteisme sebagai salah satu alternatif dan open-paradigm dalam hal teologis dan sistem religi sebagaimana penulis sebutkan di atas, namun, terlalu prematur untuk menutup diskursus mengenai panteisme sebagai sebuah kajian ontologis dan epistemologis.

2.2 Teisme dalam Pandangan Panteisme

Dalam melihat hubungan antara panteisme dan teisme, kita harus melihat fakta bahwa panteisme mengafirmasi eksistensi Tuhan sebagaimana teisme mengakui keberadaan Tuhan. Namun panteisme berposisi non-teistik atau dalam pemahaman bentuk tuhan personal dalam monoteisme. Panteisme kemudian juga tidak serta merta menjadi bebal dan tidak peka terhadap nilai-nilai ketuhanan sebagaimana dalam pandangan ateistik. Yang coba ditolak oleh panteisme adalah ide tentang Tuhan yang dimanifestasikan kalangan teistik dalam bentuk persona. Namun kemudian pertanyaannya adalah, bagaimana kalangan teistik melihat panteisme sendiri. Menurut Robert Oakes3, secara konsekuensial panteisme adalah

salah satu jawaban yang dibutuhkan oleh teisme, ini dikarenakan pada keberpijakan teisme secara psikologis mengandaikan Tuhan itu adalah manifestasi

(5)

kemahaan yang transenden dan tidak bisa dicapai manusia dan berada pada bentuk konstruksional yang namun pada akhirnya akan sampai pada pemahaman bahwa secara teori kreasionisme dan konsep kejahatan, transendensi Tuhan dianggap tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut sehingga panteisme adalah alternatif paling mungkin.

Jika kita melihat panteisme sebagai bentuk sistem kepercayaan, Buddha adalah salah satu contoh paling mendekati, walaupun dalam Buddha tidak memiliki konsep Tuhan sebagaimana panteisme, namun paham naturalis yang dipegang, pemahaman terhadap kebaikan semesta serta keterikatan antar benda merepresentasikan setidaknya lapisan terluar dari panteisme. Atau jika kita merujuk lebih radikal tanpa harus mengait-ngaitkan fakta secara induktif, ajaran monisme inipun sudah menjadi salah satu sistem kepercayaan yang berimplementasi dalam kehidupan beberapa masyarakat di timur seperti India.4

Menyoal bagaimana pandangan teistik dalam melihat panteisme, mengutip Michael P. Levine dalam bukunya Pantheism, A Non-theistic Concept of Deity,

“This is not meant to deny that the doctrine is pantheistic in some ways. After all, it is arguing for a kind of Unity of all things. Indeed, the point of the doctrine seems to be to adopt a kind of pantheistic outlook—with its accrued benefits—while maintaining as much as possible of the classical theistic metaphysic. It is the most common theistic version of “pantheism” and it explicitly or implicitly acknowledges various “defects” (call them what you will) of theism.”5

2.3 Permasalahan di Dalam Panteisme

4 Wainwright, “God’s Body,” p. 479.

(6)

“The ideas both of creation and of evil which have appeared in this section are important in considering the relation of God to the world in the context of classical theistic metaphysics.”6

Jika kita berbicara dalam tatanan panteisme maka kita akan sampai pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana Tuhan dan dunia ini memiliki keterikatan. Keterikatan ini telah dibahas sejak lama dan mengemuka dan terartikulasi terutama dalam pembahasan kreasionisme dan persoalan evil.

Dalam konteks kreasionisme, posisinya adalah, mengutip Jantzen,

“Whatever the doctrine of creation is, it is not a scientific explanation for the origin of universes…creation ex nihilo is…a theistic label to the mystery of why there should be something rather than nothing…

“He that formed the eye, shall he not see…” (Psalm 94:9–10 AV)…the one who originated our ability to perceive can hardly be without that ability himself; the creator of persons is personal.”7

Jika kita mengandaikan bahwa panteisme adalah salah satu alternative yang diajukan terhadap pandangan teisme, maka kita akan sampai pada pertanyaan tentang demarkasi pembedaan antara yang teis dan yang panteis, dan seharusnya, panteisme itu adalah konsekuensi yang tidak terelakkan dan kemudian, sebagai alternatif, bagaimana panteisme menyikapi hal-hal seperti teori kreasionisme yang dalam pandangan teistik ke-ada-an Tuhan dan semesta ini adalah sebuah necessary, dan semesta adalh ciptaan yang dibuat dari ketiadaan. Dalam hal ini sendiri panteisme memiliki banyak pertimbangan dan terlihat kebingungan memposisikan diri serta menjadi isu problematis sekaligus misterius di bawah bayang-bayang paham creation ex nihilo itu sendiri.sedangkan dalam teistik, kreasionisme adalah salah satu aspek penting dalam perkembangan sistem kepercayaan agama monoteistik.

Namun kemudian sains seakan memberi ruang bagi panteisme dalam menyikapi persoalan kreasionisme ini. Teori evolusi yang dikembangkan Darwin

6 Ibid, p. 168

(7)

yang meskipun tidak membawa kepentingan sistem kepercayaan seakan mengafirmasi kedudukan panteisme dalam teori kreasionisme. Meskipun kemudian terjadi banyak pertimbangan dan opositif dari kalangan panteisme sendiri, teori evolusi memberi jawaban diskursif bagi panteisme dalam menyikapi teori kreasionisme, bagaimana kehadiran Tuhan dalam setiap aspek, dalam setiap sel, dalam semua benda dan bagaimana penemuan sel Tuhan pada era kontemporer telah membawa panteisme pada pemahaman yang sama sekali baru terlepas dari sel Tuhan hanyalah sebatas penamaan dan permasalahan bahasa dalam ilmu sains.

Namun ketika seakan-akan panteisme telah menemukan jawaban akan permasalahan kreasionisme, panteisme sebenarnya berhadapan dengan permasalahan yang lebih masif dan kompleks yang bahkan tidak bisa dijawab oleh teistik itu sendiri, yaitu permasalahan evil atau kejahatan. Mengutip H.P. Owen,

“Pantheists are bound to find the fact of evil (and especially moral evil) an enormous embarrassment. It is difficult enough to square this fact with belief in an omnipotent and infinitely loving Creator. It is much more difficult to square it with the view that an evil world is an actual expression of God’s perfect nature.”8

Asumsi awal dari permasalahan evil ini adalah, jika Tuhan itu adalah kesempurnaan dan bentuk ke-maha-an tertinggi, maka kenapa kejahatan itu masih ada jika Tuhan itu adalah yang maha baik. Owen sendiri mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap Tuhan personal kaum teistik mengenai ke-maha-annya tidak sebanding dengan bagaimana permasalahan evil ini dihadapkan dengan panteisme, dimana Tuhan itu adalah bentuk kesempurnaan dari yang alamiah, maka, jika semesta adalah manifestasi dari Tuhan yang sempurna, berarti kejahatan atau evil

itu sendiri dibawa dan berkembang di dalam kesempurnaan alam yang merupakan Tuhan itu sendiri.

Namun dalam pembahasan kontemporer, panteisme berdiri bukan lagi pada paradigma teistik, permasalahan menyoal evil ini adalah term yang digunakan dalam teisme klasik. Namun pun demikian, panteisme tidak bisa

(8)

terlepas begitu saja dari permasalahan ini. Panteisme tetap memiliki tanggung jawab memberikan penjelasan dalam menyikapi persoalan ini. Tempat berdiri pertama dari panteisme adalah fakta bahwa term evil yang digunakan disini bukanlah sebagai konsep moral melainkan sebuah kajian metafisis. Meskipun dia dikaji sebagai sebuah kajian konsep moral, dia adalah komitmen metafisis dari teisme.

(9)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Alasdair MacIntyre, Pantheism, Encyclopedia of Philosophy. New York: Macmillan and Free Press, 1967.

Grace Jantzen, God’s World, God’s Body. Philadelphia: Westminster, 1984.

H.P. Owen, Concepts of Deity. London: Macmillan, 1971.

Michael P. Levine, Pantheism, a Non-theistic Concept of Deity. London: Routledge, 1994.

Robert Oakes, Does Traditional Theism Entail Pantheism? American Philosophical Quarterly, 1983.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan begini, pekerjaan manusia akan menjadi semakin mudah, dengan kita menyimpan data pekerjaan di salah satu server cloud storage, maka kita tidak perlu khawatir lagi

Jika menjawab “TIDAK” pada salah satu pertanyaan menjawab “TIDAK” pada salah satu pertanyaan   di atas, maka   di atas, maka pelajarilah kembali materi tersebut

b) Menetapkan posisi awal : Disini masing-masing pihak mengemukakan apa yang diinginkannya. Jika negosiasi itu menyangkut masalah tuntutan salah satu pihak, maka

Teori ini menyatakan bahwa jika suatu pernyataan sesuai dengan fakta, maka pernyataan itu benar, jika tidak maka pernyataan itu salah menerangkan bahwa

Lalu salah satu dari mereka mengatakan, 'Sebaiknya kita membolongi tempat kita ini sehingga kita tidak mengganggu orang lain.' Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan

Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang

Jika kita jujur, maka kita akan terus dibaharui dan satu waktu jika YESUS datang kembali kedua kalinya, kita akan dibaharui sampai menjadi sama mulia dengan Dia dan kita

Maka dari itu, filsafat pendidikan sebagai salah satu bukan satu-satunya ilmu terapan, adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada penerapan pendekatan