Perbandingan Kedalaman Kurva Spee Maloklusi Klas I, II dan III pada Pasien
RSGMP FKG USU
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
TAN YAN YU NIM: 130600204
Pembimbing
Prof. H. Nazruddin, drg., C. Ort., Ph.D., Sp. Ort
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2017
Tan Yan Yu
Perbandingan Kedalaman Kurva Spee Maloklusi Klas I, II dan III pada Pasien RSGMP FKG USU
x + 37 halaman
Kurva Spee merupakan salah satu karakteristik penting pada lengkung mandibula. Sesuatu oklusi yang optimal harus memiliki kedalaman kurva Spee yang datar sampai kelengkungan paling dalam 1,5mm. Maka, pertimbangan kedalaman kurva Spee penting dalam diagnosa dan rencana perawatan ortodonsia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk serta perbedaan nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I, II dan III pada pasien RSGMP FKG USU.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan cross-sectional yang menggunakan 100 model studi RSGMP FKG USU yang terdiri dari 40 model Klas I, 49 model Klas II dan 11 model Klas III. Sampel penelitian berupa model studi pasien sebelum perawatan ortodonsia dengan teknik purposive sampling. Pada model studi diukur jarak antara puncak cusp yang paling dalam dengan bidang datar yang menyentuh tepi insisal gigi insisivus dan puncak cusp distal dari gigi paling posterior pada lengkung mandibula dengan penggaris dan digital caliper. Kedalaman kurva Spee diambil dari rerata hasil pengukuran pada kedua sisi lengkung model studi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada 100 sampel didapatkan rerata nilai
kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I adalah 2,74 mm, pada maloklusi Klas II
divisi 1 adalah 3,83 mm, pada maloklusi Klas II divisi 2 adalah 4,65 mm, pada Klas
II subdivisi adalah 3,41 mm serta pada maloklusi Klas III adalah 2,34 mm. Pada
kelompok kurva Spee yang datar, Klas I (53,8%) sedangkan Klas III (46,2%). Pada
kelompok kurva Spee yang normal, Klas I (50,0%), Klas II divisi 1 (29,7%), Klas II divisi 2 (3,1%), Klas II subdivisi (9,4%) serta Klas III (7,8%). Pada kelompok kurva Spee yang dalam, Klas I (4,3%), Klas II divisi 1 (56,5%), Klas II divisi 2 (34,8%), Klas II subdivisi (4,3%) sedangkan tidak ada pada Klas III. Kesimpulan penelitian adalah kurva Spee paling dalam pada maloklusi Klas II divisi 2 diikuti maloklusi Klas II divisi 1, Klas II subdivisi, Klas I dan Klas III.
Daftar Rujukan : 28 ( 1972-2017 )
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 24 Mei 2017
TIM PENGUJI
KETUA :Prof. H. Nazruddin, drg., C. Ort., Ph.D., Sp. Ort ANGGOTA : 1. Siti Bahirrah, drg.Sp.Ort
2. Hilda Fitria Lubis, drg. Sp.Ort
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa memberikan berkat, anugerah dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Selama proses pembuatan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, saran, bantuan serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati dan dengan tulus mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tersayang, Tan Boon Kiong, Yiow Wei Kwan, Tan Yi Ling, dan Tan Yan Qi atas segala perhatian, dukungan, motivasi, harapan dan cinta kasih yang telah diberikan selama ini.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes. Sp. RKG (K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort. sebagai pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K)., sebagai Ketua Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai koordinator skripsi dan dosen penguji skripsi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberi masukan kepada penulis di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
5. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort., sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.
6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ortodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan motivasinya.
7. Rahmi Syaflida, drg., Sp. BM sebagai dosen pembimbing akademik atas motivasi dan bantuannya kepada penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
8. PPDGS Ortodonsia yang telah meminjamkan model studi kepada penulis untuk digunakan sebagai sampel penelitian.
9. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Gwee Shi Hao, Koh Sheng Zhe, Low Pey Shem, Chu Huey Woon, Joselin, Ivanna Sundary Ongko dan seluruh teman-teman Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara angkatan 2013 serta lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, atas doa, dukungan moral dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ortodonsia: Wilson Hartanto, Meylia Purba dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu- persatu yang telah memberi semangat dan masukan-masukan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima dengan terbuka berbagai kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan buah pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu kedokteran gigi dan masyarakat.
Medan, 24 Mei 2017 Penulis,
...
(Tan Yan Yu)
NIM: 130600204
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... . ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oklusi Normal ... 5
2.1.1 Definsi Oklusi Normal ... 5
2.2Maloklusi ... 6
2.2.1 Definsi Maloklusi ... 6
2.2.2Etiologi Maloklusi ... 6
2.2.3 Klasifikasi Maloklusi... 6
2.3 Analisa Model ... 12
2.4 Perkembangan Kurva Spee ... 13
2.4.1 Karakteristik Umum ... 13
2.4.2 Faktor-faktor Mempengaruhi Perkembangan Kurva Spee... 15
2.4.3 Kegunaan Kurva Spee ... 16
2.4.4 Klasifikasi Kurva Spee... 17
2.4.5 Cara Mengukur Kedalaman Kurva Spee………... 17
2.4.6 Perataan Kurva Spee... ... 19
2.5 Kerangka Teori ... 21
2.6 Kerangka Konsep ... 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23
3.2.1 Tempat ... 23
3.2.2 Waktu ... 23
3.3Sampel dan Besar Sampel Penelitian ... 23
3.3.1 Populasi Penelitian ... 23
3.3.2 Sampel Penelitian ... 23
3.3.3 Besar Sampel ………. .. 24
3.3.4 Kriteria Inklusi... 24
3.3.5 Kriteria Eksklusi……… ... 24
3.4 Variabel Penelitian ... 25
3.4.1 Variabel Bebas ... 25
3.4.2 Variabel Tergantung ... 25
3.4.3 Variabel Terkendali ... 25
3.4.4 Variabel Tidak Terkendali……… 25
3.5 Definisi Operasional ... 25
3.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 27
3.6.1 Bahan Penelitian ... 27
3.6.2 Alat Penelitian ... 27
3.7 Proses Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 28
3.8 Skema Alur Penelitian ... 29
3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 30
3.10 Etika Penelitian………. 30
BAB 4 HASIL PENELITIAN... 31
BAB 5 PEMBAHASAN... 34
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 37
6.2 Saran... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Distribusi sampel penelitian ... 31 2 Rerata nilai kedalaman kurva Spee pada pasien RSGMP FKG USU. 32 3Distribusi maloklusi berdasarkan nilai kedalaman kurva Spee pasien
RSGMP FKG USU ... 33
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Oklusi Normal ... 5
2a Oklusi Pre-normal ... 7
2b Oklusi Post-normal... . 7
3 Deepbite... . 8
4a Anterior Openbite ... 8
4b Posterior Openbite... 8
5 Crossbite... . 9
6 Maloklusi Klas I Angle... 10
7a Maloklusi Klas II Divisi 1 Angle... .. 11
7b Maloklusi Klas II Divisi 2 Angle... . 11
8 Maloklusi Klas III Angle... .. 12
9 Orientasi Studi Model... 13
10 Kurva Spee... 14
11 Pengukuran Kedalaman Kurva Spee menurut Bishara... 18
12 Pengukuran Kedalaman Kurva Spee menurut Baldridge... 18
13 Perataan Kurva Spee Membutuhkan Ruang... 19
14 Model Studi... 27
15 Alat Penelitian... 27
16 Pengukuran Kedalaman Kurva Spee menurut Baldridge... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat Komisi Etik (Ethical Clearance)
2. Surat Persetujuan Penelitian di Instalasi PPDGS Ortodonsia FKG USU
3. Hasil Pengukuran Nilai Kedalaman Kurva Spee pada Pasien RSGMP FKG USU 4. Hasil Uji Statistik Deskriptif Rata- rata Nilai Kedalaman Kurva Spee berdasarkan Maloklusi Angle pada Pasien RSGMP FKG USU
5. Data Personalia Peneliti
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Maloklusi adalah ketidakteraturan dari gigi atau malrelasi dari lengkung rahang yang menyimpang dari normal. Maloklusi merupakan bentuk masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering ditemui. Menurut World Health Organization (WHO) maloklusi menduduki tingkat ketiga setelah penyakit karies dan penyakit periodontal.
1Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk masalah gigi dan mulut di Indonesia adalah sebesar 25,9% pada tahun 2013 dibandingan 23,4% pada tahun 2007.
2,3Prevalensi maloklusi di Indonesia juga masih tinggi yaitu 80% dari jumlah penduduk.
4Penelitian yang dilakukan oleh Wijarnako juga menemukan bahwa prevalensi maloklusi pada anak usia 12-14 tahun di Sekolah Menengah Pertama di Jakarta mencapai 83.3%.
5Penelitian Wijayanti dkk menyatakan bahwa distribusi maloklusi pada anak usia 9 hingga 11 tahun di Jakarta adalah 65,3% dengan Klas I maloklusi, 31,6%
dengan Klas II maloklusi dan 3,1% Klas III maloklusi dari 98 sampel penelitian.
Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa 76,5% dari sampel penelitian membutuhkan perawatan ortodonsia.
5Penelitian Jamilian dkk terhadap 350 subjek penelitian pada murid dengan usia 14 hingga 17 tahun di Iran menyatakan prevalensi maloklusi adalah 83,7% dimana 16,3% tidak membutuhkan perawatan, 35,7%
membutuhkan perawatan ortodonsia minor, 35,4% membutuhkan perawatan ortodontsia sedang serta 5,2% hingga 7,4% membutuhkan perawatan ortodonsia ekstrim berdasarkan Index of Treatment Need (IOTN).
6Maloklusi gigi akan menyebabkan masalah psikososial, masalah fungsi oral
dan trauma serta masalah gigi pada penderitanya.
7Penelitian Majid dan Abidia
menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap penampilan yang lebih tinggi dijumpai
pada orang yang menderita maloklusi sehingga mempunyai potensi untuk memberi
dampak negatif pada Oral Health Related Quality of Life (OHRQoL).
8Andrews FL
dalam “The Six Keys to Normal Occlusion” menyatakan suatu oklusi normal harus memenuhi keenam karakteristik dan salah satunya adalah kurva Spee yang datar sampai kelengkungan paling dalam 1,5mm serta interkuspasi yang baik hanya terjadi apabila dataran oklusalnya relatif datar.
9Dari aspek sagital, jika suatu garis imaginasi ditarik dari puncak cusp bukal pada gigi posterior mengikuti dataran oklusal maka akan terbentuk suatu garis kurva yang cembung terhadap lengkung maksila dan cekung terhadap lengkung mandibula. Kurva ini digambarkan oleh Spee pada tahun 1980 sehingga disebut sebagai kurva Spee.
10Beliau menyatakan bahwa salah satu tujuan perawatan ortodonsia adalah untuk meratakan kurva Spee. Kedalaman kurva Spee harus dipertimbangkan serta diukur dalam prosedur pengelolaan ruang agar menghindari incisor flaring dan penampilan estetika yang tidak memuaskan pada akhir perawatan. Pertimbangan kurva Spee berhubungan dengan hasil akhir perawatan serta fungsinya. Analisa kurva Spee mungkin dapat membantu dokter gigi dalam menyusun gigi-geligi dalam arah sagital dari suatu rahang tersebut. Kurva Spee dapat digunakan sebagai referensi untuk restorasi prostetik dan perawatan ortodonsia. Manajemen kurva Spee dalam bidang prostodonsiajuga penting untuk mencapaistabilitas dari gigitiruan penuh dan restorasi yang implant-supported.
11Dalam perawatan rehabilitasi mulut penuh, kurva Spee harus berada pada kedalaman yang ideal agar incisal guidance dapat terpelihara.
12Penelitian Batham dkk mengatakan bahwa subjek dengan diskrepansi maksilo-mandibula yang lebih tinggi akan memiliki kurva Spee yang lebih dalam.
Sudut ANB menunjukkan korelasi positif dengan kedalaman kurva Spee sehingga
semakin besar angka sudut ANB, semakin meningkat kedalaman kurva Spee. Maka,
kedalaman kurva Spee lebih pendek pada subjek dengan sudut ANB yang kecil
seperti pada subjek maloklusi skeletal Klas I sedangkan lebih tinggi pada subjek
maloklusi skeletal Klas II. Batham Cit Cheon dkk dan Orthlieb mengatakan
kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas III adalah lebih kurang dibandingkan
maloklusi Klas II.
13Kurva Spee juga berperan menentukan posisi gigi dari bidang
sagital sehingga sesuai dengan penelitianOrthlieb’s yang menyatakan radius kurva Spee lebih pendek pada maloklusi Klas II dibandingkan maloklusi Klas III.
12Penelitian Ahmed dkk menunjukkan kurva Spee adalah paling dalam pada maloklusi Klas II divisi 2 dan datar pada maloklusi Klas III sehingga mengatakan bahwa kurva Spee pada lengkung mandibula dipengaruhi oleh posisi anterioposterior dari mandibula. Ahmed cit. Farella dkk menemukan bahwa kurva Spee lebih dalam pada orang dengan tipe wajah pendek sedangkan datar pada orang dengan tipe wajah panjang. Hasil penelitiannya seuai penelitian Ahmed dkkyang mengatakan kurva Spee adalah paling dalam pada maloklusi Klas II divisi 2 dengan karakteristik overbite parah dan tinggi wajah pendek (low angle) sedangkan kurva Spee adalah datar pada maloklusi Klas III yang memiliki kedua-dua high and low angle variants.
11Kedalaman kurva Spee merupakan prosedur yang harus diperhatikan dalam perawatan ortodonsia karena deviasi dari dataran oklusal yang datar mempunyai risiko praktis ketika mempertimbangkan jumlah ruangan dari lingkar lengkung gigi yang dibutuhkan untuk meratakan kurva tersebut.
12Curved arch mempunyai lingkaran yang lebih besar dibandingkan flat arch. Namun demikian, jumlah dari lingkar lengkung gigi yang dibutuhkan untuk meratakan kurva tersebut masih tidak jelas. Menurut Baldridge, additional arch length required for levelling (AALL) diperkirakan 1 mm lengkung gigi untuk meratakan setiap millimeter dari kurva Spee.
Germane dkk memperkirakan AALL yang dibutuhkan untuk meratakan setiap millimeter kurva Spee tersebut kurang dari 1 millimeter. Sedangkan menurut Woods, jumlah lingkar lengkung gigi yang diperlukan bervariasi sehingga tergantung pada tipe mekanik yang digunakan.
14Kesadaran terhadap nilai standard dari kurva Spee maksila dan mandibula
akan membantu para klinisi dalam membentuk oklusi pada bidang sagital serta
berguna pada proses rehabilitatif untuk pasien dengan gangguan oklusal. Meskipun
kurva Spee merupakan syarat kunci oklusi normal yang keenam dan perataan kurva
Spee juga harus ditangani oleh seorang spesialis ortodonsia, namun belum ada
penelitian yang mengenai kedalaman kurva Spee pada tipe-tipe maloklusi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti perbandingan kedalaman kurva Spee dalam maloklusi Klas I, II dan III pada pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I pada pasien RSGMP FKG USU?
2. Bagaimanakah bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas II pada pasien RSGMP FKG USU?
3. Bagaimanakah bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas III pada pasien RSGMP FKG USU?
4. Apakah ada perbedaan antara kedalaman kurva Spee dalam maloklusi Klas I, II dan III pada pasien RSGMP FKG USU?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I pada pasien RSGMP FKG USU.
2. Untuk mengetahui bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas II pada pasien RSGMP FKG USU.
3. Untuk mengetahui bentuk dan rerata nilai kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas III pada pasien RSGMP FKG USU.
4. Untuk mengetahui perbedaan kedalaman kurva Spee dalam maloklusi Klas I, II dan III pada pasien RSGMP FKG USU.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat praktis dalam penelitian ini yakni sebagai tambahan informasi untuk klinisi dalam menentukan diagnosa dan rencana perawatan ortodonsia yang tepat.
Sedangkan manfaat teoritis yang diperoleh antara lain:
1. Pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang ilmu ortodonsia.
2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lainnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oklusi Normal
2.1.1 Definisi Oklusi Normal
Oklusi normal pertama kali didefinisikan oleh Angle pada tahun 1899 sebagai oklusi dimana gigi molar rahang atas dan bawah mempunyai hubungan ketika cusp mesiobukal gigi molar rahang atas beroklusi pada groove bukal gigi molar rahang bawah serta seluruh gigi berada dalam suatu garis kurva yang lancar (Gambar 1).
Houston dkk, (1992) mendefinisikan oklusi normal sebagai suatu oklusi yang berada dalam kriteria oklusi ideal serta tidak menyebabkan masalah fungsional dan estetik.
15Andrews (1972) menyebut enam karakteristik yang ditemui secara konsisten pada pasien ortodonsia yang memiliki oklusi yang normal dimana relasi molar rahang atas dan bawah yang benar, angulasi dan inklinasi mahkota yang benar, tidak adanya rotasi gigi yang tidak diinginkan, tidak terdapat celah di antara gigi dan bidang oklusal yang datar dimana kedalaman kurva Spee tidak melebihi kelengkungan dan
paling dalam 1.5mm. Oltramari,
PVP dkk (2007) menyatakan bahwa
perawatan ortodonsia sukses
ketika seluruh hubungan statik dan
fungsional dari suatu oklusi dapat tercapai
serta terciptanya relasi sentrik yang
stabil dengan seluruh gigi pada
posisi interkuspasi maksimum.
15Gambar 1. Oklusi Normal15
2.2 Maloklusi
2.2.1 Definisi Maloklusi
Maloklusi merupakan “deviasi dari oklusi normal gigi-geligi”. Gigi-geligi berada dalam posisi abnormal antara hubungan terhadap tulang basal dari prosessus alveolaris, gigi tetangga serta gigi antagonis.
52.2.2 Etiologi Maloklusi
Maloklusi merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara beberapa faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang. Etiologi maloklusi dibagi kepada beberapa faktor diantaranya etiologi spesifik, herediter dan pengaruh dari lingkungan sehingga menimbulkan dampak seperti masalah psikososial yang disebabkan gangguan estetik dentofasial, gangguan fungsi oral seperti proses mastikasi, pengunyahan dan fonetik serta lebih rentan terhadap trauma dan penyakit periodontal. Etiologi spesifik terdiri dari gangguan pada perkembangan embrio, disfungsi muskular, gangguan perkembangan skeletal dan gangguan perkembangan dental sedangkan pengaruh lingkungan terdiri dari kebiasaan buruk seperti thumb sucking dan tongue thrusting, efek keseimbanganserta fungsi mastikasi.
162.2.3 Klasifikasi Maloklusi
Klasifikasi maloklusi adalah mengelompokan berbagai jenis maloklusi
sehingga digabungkan menjadi kelompok yang lebih kecil dan sederhana. Klasifikasi
maloklusi ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:
17a. Membantu dalam hal diagnosis dan rencana perawatan yang tepat untuk pasien.
b. Membantu dalam visualisasi dan pemahaman masalah yang berhubungan dengan maloklusi.
c. Membantu dalam komunikasi masalah.
d. Membantu dalam perbandingan berbagai jenis maloklusi dengan mudah.
Secara terminologi, maloklusi dibagikan kepada 3 jenis, yaitu:
171. Maloklusi intra-lengkung
2. Maloklusi inter-lengkung 3. Maloklusi skeletal
Maloklusi intra lengkung merupakan malposisi antara gigi individu dalam lengkung yang sama. Gigi individu dikatakan malposisi ketika terjadinya displacement dan inklinasi gigi yang abnormal sertaspacing dan crowding dalam lengkung gigi. Inklinasi abnormal merupakan kondisi dimana terjadinya tipping mahkota tetapi akar masih pada posisi normal, sedangkan displacement gigi abnormal merupakan ketidaksesuaian posisi mahkota disertai akar pada arah yang sama.
17Maloklusi inter-lengkung merupakan hubungan abnormal antara dua gigi atau kelompok gigi pada satu lengkung dengan lengkung gigi yang lain. Maloklusi inter- lengkung terjadi pada bidang sagital, vertikal dan transversal. Maloklusi bidang sagital merupakan hubungan rahang atas dan rahang bawah dalam arah sagital yang abnormal pada saat posisi oklusi sentrik.
17Maloklusi bidang sagital dibagi kepada dua jenis yaitu oklusi pre-normal(Gambar 2a)dan oklusi post-normal (Gambar 2b).
Oklusi pre-normal adalah hubungan oklusi dimana rahang mandibula berada di posisi
lebih anterior ketika gigi berkontak pada oklusi sentrik sedangkan oklusi post-normal
adalah hubungan oklusi dimana rahang mandibula berada di posisi lebih posterior
ketika gigi berkontak pada oklusi sentrik.
18Maloklusi bidang vertikal merupakanhubungan vertikal yang abnormal yang dipengaruhi oleh derajat tumpang tindih antara gigi maksila dan mandibula seperti deepbitedan openbite. Pada kasus deepbite, derajat tumpang tindih secara vertikal
adalah lebih dari normal (Gambar 3)
sedangkan pada kasus openbite,
terdapat celah antara gigi maksila
dan mandibula ketika posisi oklusi
sentrik. Gejala openbite dapat
terlihat pada regio anterior atau
posterior (Gambar 4a dan 4b).
18Gambar 2. Oklusi18 (a). Prenormal (b). Postnormal
(b)
18
(a)
Maloklusi bidang
transversal merupakan
hubungan transversal
antara rahang atas dan rahang
bawah seperti crossbite
(Gambar 5).
17Secara normal,
posisi gigi maksila berada labial
atau bukal terhadap gigi mandibula.
Namun demikian, hubungan ini dapat berubah karena konstriksi lengkung gigi
sehingga satu atau lebih gigi maksila berada pada posisi palatal atau lingual dari gigi mandibula. Gejala ini berbeda dari segi intensitas, posisi serta jumlah gigi yang terlibat.
18Gambar 3. Deepbite18
(a) (b)
Gambar 4. Openbite18 (a). Anterior (b). Posterior
Maloklusi skeletal merupakan abnormalitas pada maksila dan mandibula.
Kecacatan dapat berupa dalam bentuk ukuran, posisi atau hubungan antara rahang.
Maloklusi skeletal juga dapat terjadi pada tiga bidang yaitu sagital, vertikal dan transversal. Pada bidang sagital, penempatan maju dari rahang disebut prognathism, sedangkan penempatan mundur dari rahang disebut retrognathism. Pada bidang transversal, penyempitan dan pelebaran dari rahang sering terjadi. Akhirnya, variasi abnormal pada ukuran vertikal rahang dapat mempengaruhi tinggi wajah bawah pada bidang vertikal.
17Pada tahun 1899, Edward Anglemenggolongkan maloklusi berdasarkan relasi mesio-distal dari gigi, lengkung gigi dan rahang. Beliau menganggap gigi molar pertama maksila sebagai titik anatomi yang tetap dalam suatu rahang dan sebagai kunci oklusi. Klasifikasi maloklusi beliau adalah berdasarkan hubungan gigi molar pertama maksila terhadap gigi yang lain pada rahang mandibula. Klasifikasi Angle mudah dipahami dan digunakan serta dapat menyampaikan persepsi secara tepat yaitu dengan hubungan antara gigi mandibula terhadap gigi molar pertama maksila. Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga Klas dan diwakili oleh numerik Romawi yaitu I, II dan III.
181. Maloklusi Klas I Angle
Lengkung mandibula memiliki hubungan mesio-distal yang normal terhadap lengkung maksila dimana cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila beroklusi pada groove bukal gigi molar pertama mandibula sedangkan cusp mesiopalatal beroklusi pada oklusal fossa gigi molar pertama mandibula ketika gigi dalam posisi oklusi sentrik (Gambar 6).
20Gambar 5. Crossbite19
Gambar 6. Maloklusi Klas I Angle20
2. Maloklusi Klas II Angle
Lengkung mandibula
memiliki hubungan distal terhadap
lengkung maksila dimana cusp
mesiobukal gigi molar pertama maksila
beroklusi pada ruang antara cusp
mesiobukal gigi molar pertama
mandibula dengan aspek distal gigi premolar kedua mandibula. sedangkan cusp
mesiopalatal gigi molar pertama maksila beroklusi lebih mesial terhadap cusp
mesiolingual gigi molar pertama mandibula.
20Pada maloklusi Klas II dibagi menjadi
tiga yaitu Klas II divisi 1, Klas II divisi 2 dan Klas II subdivisi dimana relasi molar
pada maloklusi Klas II divisi 1 adalah seperti maloklusi Klas II Angle dengan gigi
insisivus sentralis maksila berada pada posisi labioversi (Gambar 7a) sedangkanrelasi
molar pada maloklusi Klas II divisi 2 adalah seperti maloklusi Klas II Angle dengan
inklinasi gigi insisivus sentralis lebih linguoversi sedangkan inklinasi gigi insisivus
lateralis maksila lebih ke labial (Gambar 7b).
20PadaKlas II subdivisi, relasi molar
Klas II hanya terjadi pada salah satu sisi lengkung gigi, maloklusi ini disebut sebagai
subdivisi dari divisinya.
(a) (b)
Gambar 7. Maloklusi Klas II Angle20(a).
Divisi 1
(b). Divisi 2
3. Maloklusi Klas III Angle
Lengkung mandibula memiliki hubungan mesial terhadap lengkung maksila
dimana cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila beroklusi pada ruang interdental
di antara aspek distal dari cusp distal gigi molar pertama mandibula dengan aspek
mesial dari cusp mesial gigi molar kedua mandibula (Gambar 8).
20Pada maloklusi
Klas III dibagi kepada dua yaitu Pseudoklas III dan Klas III subdivisi.Pada
pseudoklas III, gambaran klinis mirip seperti maloklusi Klas III Angle tetapi bukan
maloklusi Klas III yang benar. Mandibula migrasi ke anterior pada fossa glenoidalis
karena kontak prematur dari beberapa gigi ketika rahang bertemu pada posisi oklusi
sentrik. Pada maloklusi Klas III subdivisi, relasi molar Klas III hanya terjadi pada
salah satu sisi lengkung gigi, maloklusi ini disebut sebagai subdivisi dari divisinya.
Gambar 8. Maloklusi Klas III Angle20
Pada tahun 1915, Dewey memodifikasi klasifikasi dari Angle, yaitu denganmembagi Klas I menjadi 5 tipe dan Klas III menjadi 3 tipe.
18Modifikasi Klas I, yaitu:
a. Tipe 1 yaitu maloklusi Klas I dengan gigi berjejal pada anterior maksila b. Tipe 2 yaitu maloklusi Klas I dengan gigi insisivus rahang atas protrusi c. Tipe 3 yaitu dengan gigitan silang di anterior
d. Tipe 4 yaitu dengan gigitan silang di posterior
e. Tipe 5 yaitu bergesernya gigi molar permanen ke mesial karena kehilangandini gigi molar desidui atau premolar dua
Modifikasi Klas III, yaitu:
a. Tipe 1 yaitu hubungan edge to edge pada gigi insisivus anterior
b. Tipe 2 yaitu gigi insisivusmandibula berjejal dan berada dibelakang gigi insisivus maksila.
c. Tipe 3 yaitu gigi insisivus atas berjejal dan berada di belakang gigi insisivus mandibula.
2.3 Analisa Studi Model
Analisa studi model adalah studi mengenai studi model yang membantu
dalam mempelajari oklusi gigi dari tiga dimensi dan menganalisa derajat keparahan
maloklusi serta membantu dalam penegakkan diagnosa dan pembuatan rencana
perawatan. Analisa model studi intra-lengkung dari tiga bidang yaitu transversal, sagital dan vertikal (Gambar 9). Kegunaan studi model adalah untuk:
201. Menghitung analisis total ruang 2. Menilai dan mencatat anatomi dental 3. Menilai dan mencatat interkuspasi 4. Menilai dan mencatat bentuk lengkung
5. Menilai dan mencatatkurva oklusi (analisis kurva oklusal) 6. Mengevaluasi oklusi fungsional dengan bantuan artikulator
7. Sebagai penentu untuk menilai progres selama perawatan ortodonsia
8. Menemukan abnormalitas seperti pembesaran lokal dan distorsi bentuk lengkung
9. Mencatat evaluasi sebelum perawatan dan pasca-perawatan untuk perbaikan rencana perawatan jangka panjang
Gambar 9. Orientasi Studi Model21
2.4 Perkembangan Kurva Spee 2.4.1 Karateristik Umum
Kurva spee pertama kali ditemui oleh Ferdinand Graf Von Spee pada tahun 1890. Beliau menggunakan tengkorak dengan gigi yang terabrasi untuk menetapkan satu garis oklusi. Garis ini terletak pada silinder yang menyinggung batas anterior dari kondilus, permukaan oklusal gigi molar dua dan permukaan insisal gigi insisivus mandibula. Spee menetapkan tengah dari silinder tersebut pada dataran midorbital sehingga silinder mempunyai radius sekitar 6.5-7.0 cm. Secara klinis, kurva Spee dipengaruhi oleh distal marginal ridge pada gigi posterior dalam lengkung dan tepi insisal pada gigi insisivus sentralis (Gambar 10). Fungsi signifikan dari kurva tersebut masih belum dapat dipahami. Namun demikian, kurva Spee dapat meningkatkan rasio crush-shear antara gigi posterior dan efisiensi tekanan oklusal ketika mastikasisehingga dikatakan mempunyai fungsi biomekanikal dalam pengolahan makanan.
22Gambar 10. Kurva Spee23
Pada gigi desidui umumnya memiliki kurva spee yang berbentuk dari datar
hingga lekukan yang ringan, sedangkan kurva Spee pada dewasa lebih dalam
dibandingkan gigi desidui.
8Andrews mengatakan kurva Spee memiliki tendensi alami untuk mendalam seiring penuaan yang disebabkan oleh pertumbuhan mandibula melebihi maksila yang mengakibatkan gigi insisivus mandibula dibatas oleh gigi insisivus maksila terpaksa untuk bergerak ke arah posterior dan atas sehingga terjadinya gigi anterior mandibula berjejal, overbite parah serta kurva Spee yang dalam. Kedalaman kurva Spee yang bervariasi adalah hal yang sering ditemukan dalam pengaturan oklusal dan merupakan kunci oklusi yang keenam. Namun demikian, kurva Spee dalam ilmu klinikal ortodonsia berbeda secara substansial dari kurva Spee yang didefinisikan oleh Spee dan definisi kurva Spee yang diberikan pada literatur prostodonsia. Secara klinis, kurva Spee mengacu pada kurvatura oklusal dari gigi mandibula yang menyinggung puncak cusp bukal gigi molar posterior hingga tepi insisal gigi insisivus anterior ketika dilihat dari arah sagital.
112.4.2 Faktor-faktor Mempengaruhi Perkembangan Kurva Spee
Secara umum, perkembangan kurva Spee dipengaruhi oleh kombinasi dari beberapa faktor seperti waktu erupsi gigi, variasi kraniofasial dan faktor neuromuskular.
9a) Faktor Dental
Gigi insisivus dan molar mandibula yang erupsi lebih awal dari gigi antagonisnya dapat mempengaruhi kurva Spee karena dapat erupsi sehingga melebihi dataran oklusal yang sebenarnya.
b) Fase Pergantian Gigi
Dataran oklusal adalah datar pada gigi desidui. Namun demikian, kurva Spee mendalam seiring waktu erupsi gigi insisvus sentralis dan molar satu permanen mandibula ketika fase gigi bercampur. Kurva Spee akan mencapai kedalaman yang maksimum dengan erupsi gigi molar dua permanen dan menjadi relatif stabil sampai usia dewasa.
c) Maloklusi
Kurva Spee adalah paling dalam pada penderita maloklusi Klas II divisi 2
diikuti maloklusi Klas II divisi 1, Klas I serta paling datar pada maloklusi Klas III.
d) Tipe wajah
Kurva Spee yang dalam sering dijumpai pada pederita yang memiliki tipe wajah yang jenis brachycephalicdan badan mandibula yang pendek.
2.4.3 Kegunaan Kurva Spee
Kurva Spee pada lengkung gigi alami yang ideal memungkinkan tercapainya hubungan harmoni antara gigi anterior dan condylar guidance. Kurva ini dapat terlihat pada bidang sagital dan paling baik dilihat dari aspek lateral. Kurva ini memastikan disklusi total posterior pada gerakan protrusi mandibula serta memberi bimbingan kepada gigi anterior secara tepat.
9Selainitu, kurvatura oklusal yang normal dibutuhkan agar sistem mastikasi dapat berfungsi dengan efisien. Kurva Spee yang dalam sering ditemui pada maloklusi yang disertai dengan gigitan dalam yang parah maka keadaan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan muskular sehingga menjurus ke oklusi fungsional yang abnormal.
25Kurva Spee memiliki beberapa kepentingan seperti berikut:
91. Fungsi Biomekanikal yang Tepat
Ketika proses pengolahan makanan, kurva Spee dipercayai dapat meningkatkan rasio crush/shear antara gigi posterior dan efisiensi dari tekanan oklusal ketika proses mastikasi.
2. Keseimbangan fungsi otot
Kedalaman kurva Spee yang berlebihan akan mengubah keseimbangan muskular sehingga menyebabkan oklusi fungsional yang tidak tepat.
3. Menahan tekanan oklusi
Dari segi mekanikal, keberadaan kurva Spee telah memungkinkan lengkung gigi untuk menahan tekanan oklusi ketika proses mastikasi.
4. Kunci oklusi normal
Kurva Spee yang dalam menyebabkan relasi kaninus Klas I tidak dapat tercapai serta dapat menimbulkan gangguan oklusal ketika mandibula berfungsi.
Menurut Andrews, kurva Spee pada subjek dengan oklusi yang baik berkisar dari
datar hingga lekukan ringan dan interkuspasi statik yang baik terjadi ketika bidang oklusalnyarelatif datar.
5. Pergerakan fungsional normal dari mandibula
Kurva Spee yang dalam menyebabkan ruangan terbatas pada gigi rahang atas. Kurva Spee yang datar adalah paling ditemui pada oklusi normal serta kurva Spee yang terbalik menyebabkan ruangan yang terlalu banyak untuk gigi.
2.4.4 Klasifikasi Kurva Spee
Kurva Spee dibagi kepada tiga kelompok berdasarkan kedalamannya yaitu datar, normal dan dalam. Ketiga kelompok tergolong seperti berikut:
22, 23a. Kelompok Datar : Kedalaman < 2mm b. Kelompok Normal : Kedalaman 2- 4mm c. Kelompok Dalam : Kedalaman > 4mm
Menurut penelitian Ahmed dkk menunjukkan kurva Spee adalah paling dalam pada maloklusi Klas II divisi 2 yang memiliki overbite yang parah sedangkan lebih datar pada maloklusi Klas III. Ahmed Cit Shannon dan Nanda juga mengatakan maloklusi Klas II memiliki kurva Spee yang lebih dalam dibandingkan maloklusi Klas I sebelum perawatan ortodonsia.
11Penelitian Nayar dkk juga mengatakan bahwa kurva Spee adalah paling dalam pada subjek maloklusi Klas II sedangkan lebih datar pada subjek maloklusi Klas III.
122.4.5 Cara Mengukur Kedalaman Kurva Spee
Terdapat banyak metode dalam cara pengukuran kedalaman kurva Spee.
Menurut Bishara dkk, kedalaman kurva Spee diukur dengan mengambil rerata dari
jumlah jarak perpendikular terhadap puncak cusp masing-masing (Gambar 11)
sedangkan Braun dan Schmidt mengambil jumlah dari kedalaman maksimum pada
kedua sisi lengkung.
11,24Gambar 11. Pengukuran kedalaman kurva Spee menurut Bishara dkk24
Menurut Baldridge, kedalaman kurva Spee diukur dengan kaliperdigital sebagai jarak tegak lurus antara puncak cusp yang paling dalam dengan satu bidang datar yang menyentuh tepi insisal dari gigi insisivus sentralis dan puncakcusp distal dari gigi paling posterior pada lengkung mandibula (Gambar 12).
11Pengukuran kedalaman kurva Spee dilakukan pada sisi kanan dan kiri lengkung gigi sampai ketelitian 0.01mm.Nilai kedalaman kurva Spee dari kedua sisi tersebut dicatat serta rata-rata antara kedua pengukuran tersebut diambil sebagai nilai kedalaman kurva Spee.
25Pada penelitian ini, metode Baldridge telah digunakan dalam pengukuran nilai kedalaman kurva Spee.
2.4.6 Perataan Kurva Spee
Andrews mengatakan dataran oklusal pada subjek yang memiliki oklusi yang normal adalah datar sampai kelengkungan paling dalam 1,5mm. Kurva Spee yang
Gambar 12. Pengukuran kedalaman kurva Spee menurut Baldridge11
dalam pada mandibula akan mengakibatkan ruangan yang terbatas untuk gigi maksila sehingga oklusi normal tidak dapat tercapai. Interkuspasi yang paling menguntungkan hanya dapat terjadi apabila kurva Spee datar. Andrews memasukkan dataran oklusal sebagai kunci keenam bagi sesuatu oklusi normal sehingga perataan kurva Spee harus menjadi tujuan perawatan ortodonsia.
26Perataan kurva Spee berhubungan dengan peningkatan panjang lengkung gigi (Gambar 13). Semakin dalam kurva Spee, additional arch lengthrequired for leveling kurva Spee (AALL) juga meningkat.
Kurva Spee juga dapat dilihat sebagai crowding atau arch length discrepancy yang diperlihatkan pada aspek vertikal. Pertimbangan AALL adalah penting pada kasus kurva Spee yang dalam. Namun demikian, jumlah dari AALL tidak mudah diprediksi. Teori popular yang memperkirakan AALL mengatakan 1mm dari lengkung gigi dibutuhkan untuk untuk meratakan setiap millimeter dari kedalaman kurva Spee. Teori ini adalah berdasarkan studi yang dilakukan oleh Baldridge yang menggunakan model studi dengan kedalaman kurva Spee yang berbeda untuk menghasilkan suatu rumus untuk memperkirakan AALL. Germane dkk juga mengembangkan rumus untuk memperkirakan AALL dari model matematis.
27Gambar 13. Perataan kurva Spee membutuhkan ruang20
Terdapat beberapa teknik perataan kurva Spee yaitu ekstrusi gigi molar,
intrusi gigi insisivus atau kombinasi kedua-duanya. Teknik yang dipilih bukan hanya
berdasarkan karakteristik maloklusi pada pasien namun juga berdasarkan proporsi
kraniofasial secara keseluruhan.
25BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional yang bertujuan untukmelihat apakah ada perbedaan kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I, II dan III pada pasien RSGMP FKG USU.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSGMP FKG USU Departemen Ortodonsia yang bertempat di Jl. Alumni No.2 Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai Mei 2017.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah model studi di RSGMP FKG USU yang usia ≥ 15 tahun yaitu sebanyak 428 sampel.
3.3.2 Sampel Penelitian
Pada penelitian ini sampel dipilih dengan metode purposive sampling yaitu
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel berupa model studi yang
merupakan data sekunder di RSGMP FKG USU. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi
dalam pemilihan sampel adalah sebagai berikut:
3.3.3 Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan rumus berikut:
n = Zα
2. σ
2d
2Keterangan:
n: Besar sampel
σ
2: Standar deviasi dari penelitian sebelumnya yaitu 0,679
2Zα: Derajat kepercayaan untuk α = 5% maka Zα: 1,96 d
2: presisi mutlak ditetapkan sebesar 15% maka 0,15 sehingga,
n = 1,96
2. 0,679
2(0,15)
2n = 78,72
Dari perhitungan diperoleh jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 79 sampel. Untuk memperoleh data yang lebih valid, maka jumlah sampel ditambah dari jumlah sampel yang ada menjadi 100 orang.
3.3.4 Kriteria Inklusi a. Usia ≥ 15 tahun
b. Hubungan molar Klas I, II dan III
c. Semua gigi permanen erupsi kecuali molar tiga d. Belum pernah mendapat perawatan ortodonsia e. Tidak ada karies oklusal dan insisal
3.3.5 Kriteria Eksklusi
a. Terdapat gangguan kraniofasial yang parah seperti celah palatum b. Gigi hilang
c. Model studi yang tidak jelas
3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas
- Maloklusi gigi Klas I - Maloklusi gigi Klas II - Maloklusi gigi Klas III 3.4.2 Variabel Tergantung
- Kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I - Kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas II - Kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas III 3.4.3 Variabel Terkendali
- Usia
3.4.4 Variabel Tidak Terkendali - Suku/Ras
- Kebiasaan buruk pasien - Kondisi otot-otot
3.5 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skala Ukur
Alat Ukur
1. Maloklusi gigi Suata ketidaksesuaian dari hubungan gigi atau hubungan rahang yang menyimpang dari normal
Maloklusi Klas I:
Cusp mesiobukal dari molar permanen pertama maksila beroklusi dari groove bukal pada molar permanen pertama mandibula
Maloklusi Klas II:
Ordinal Visual
Cusp mesiobukal dari molar permanen pertama beroklusi lebih ke mesial dari groove bukal pada molar permanen pertama mandibular
Maloklusi Klas III:
Cusp mesiobukal dari molar permanen pertama beroklusi lebih ke distal dari groove bukal pada molar permanen pertama mandibula
Millimeter (mm)
Rasio 2. Kedalaman kurva
Spee
Jarak perpendikular antara tonjol cusp paling dalam dengan satu dataran yang
Digital
Caliper
menghubungkan tepi insisal gigi insisivus dengan tonjol cusp paling distal pada gigi posterior mandibula
Tahun
Ordinal
Visual 3. Usia Lama hidup seseorang
sejak lahir sampai
sekarang
3.6 Bahan dan Alat Penelitian 3.6.1 Bahan Penelitian
- Model studi
Gambar 14. Model Studi
3.6.2 Alat Penelitian - Digital Caliper - Pulpen
- Pensil - Penghapus - Penggaris
Gambar 15. Alat Penelitian
3.7 Proses Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak penanggungjawab di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU.
2. Sampel penelitian dipilih dengan teknik purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
3. Peneliti mempersiapkan alat-alat untuk melakukan pemeriksaan model studi.
4. Peneliti melakukan pengukuran kedalaman kurva Spee dengan digital caliperdan ruler menurut metode Baldridge. (Gambar 16)
5. Untuk mendapatkan data yang valid, dilakukan pengukuran kedalaman kurva spee pada sisi kiri dan kanan rahang bawah untuk memperoleh nilai tengah.
6. Data yang didapatkan kemudian diisi pada lembar pemeriksaan.
7. Dalam satu hari, pengukuran hanya dilakukan sebanyak 15 model gigi untuk menghindari kelelahan mata peneliti waktu melakukan pengukuran.
8. Data yang diperoleh dilakukan analisis dan pengolahan data.
Gambar 16. Pengukuran kedalaman kurva Spee menurut metode Baldridge
3.8 Skema Alur Penelitian
Pengurusan Surat Ethical Clearance
Pengumpulan Studi Model dari RSGMP FKG USU
Persiapan Alat-alat
Pengukuran Kedalaman Kurva Spee
Pencatatan Data
Analisis Data
3.9 Pengolahan dan Analisis Data 3.9.1 Pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan secara komputerisasi dengan ditampilkan dalam bentuk tabel.
3.9.2 Analisis data
a. Dihitung perbedaan rata-rata kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I, II dan III.
b. Dihitung distribusi maloklusi berdasarkan nilai kedalaman kurva Spee
3.10 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup:
1. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada
Komisi Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan ketentuan etik yang bersifat
internasional dan nasional.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Medan dengan menggunakan model studi pasien yang dirawat di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU. Sampel penelitian berjumlah 100 model studi yang terdiri dari 40 model Klas I, 49 model Klas II dan 11 model Klas III di RSGMP FKG USU yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (metode purposive sampling). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui perbedaan kedalaman kurva Spee antara maloklusi Klas I, II dan III. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan pada model studi, selanjutnya dilakukan uji statistik deskriptif pada data-data hasil pengukuran.
Tabel 1. Distribusi sampel penelitian pada pasien RSGMP FKG USU
Maloklusi Jumlah Persentase (%)
Klas I 40 40,0
Klas II Divisi 1 32 32,0
Klas II Divisi 2 10 10,0
Klas II Subdivisi 7 7,0
Klas III 11 11,0
Jumlah 100 100,0
Tabel 1 menunjukkan distribusi sampel penelitian dari 100 pasien RSGMP FKG USU. Dari penelitian diperoleh jumlah pasien Klas I adalah 40%, pasien Klas II divisi 1 adalah 32%, pasien Klas II divisi 2 adalah 10%, pasien Klas II subdivisi adalah 7% serta pasien Klas III adalah 11%.
Tabel 2. Perbedaan nilai rerata kedalaman kurva Spee pada maloklusi Klas I, II dan III pada pasien RSGMP FKG USU
Tabel 2 menunjukkan hasil penelitian rerata nilai kedalaman kurva Spee berdasarkan klasifikasi maloklusi Angle, Klas I (2,74 mm), Klas II divisi 1 (3,83 mm), Klas II divisi 2 (4,65 mm), Klas II subdivisi (3,41 mm) dan Klas III (2,34 mm).
Tabel 3. Distribusi Maloklusi berdasarkan Nilai Kedalaman Kurva Spee pasien RSGMP FKG USU
Maloklusi N Rerata Standar Deviasi
Klas I 40 2,74 0,70046
Klas II divisi 1 32 3,83 0,92539
Klas II divisi 2 10 4,65 1,41071
Klas II subdivisi 7 3,41 0,64179
Klas III 11 2,34 0,95723
Jumlah 100 3,30 1,12474
Maloklusi
Kedalaman Kurva Spee
<2mm (Datar) 2-4mm (Normal) >4mm (Dalam)
N % N % N %
Klas I 7 53,8 32 50,0% 1 4,3%
Klas II Div 1 0 0,0% 19 29,7% 13 56.5%
Tabel 3 menunjukkan 13 pasien memiliki kurva Spee yang datar, 64 pasien memiliki kurva Spee yang normal serta 23 pasien memiliki kurva Spee yang dalam.
Pada kelompok kurva Spee yang datar, Klas I (53,8%) sedangkan Klas III (46,2%).
Pada kelompok kurva Spee yang normal, Klas I (50,0%), Klas II divisi 1 (29,7%), Klas II divisi 2 (3,1%), Klas II subdivisi (9,4%) serta Klas III (7,8%). Pada kelompok kurva Spee yang dalam, Klas I (4,3%), Klas II divisi 1 (56,5%), Klas II divisi 2 (34,8%), Klas II subdivisi (4,3%) sedangkan tidak ada pada Klas III.
0 0,0% 2 3,1% 8 34,8%
0 0,0% 6 9,4% 1 4,3%
Klas III
6 46,2% 5 7,8% 0 0,0%
Jumlah 13 100 64 100 23 100
Div 2 Subdiv