• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA ILMIAH AKHIR. Disusun Oleh : MIA FATMA EKASARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARYA ILMIAH AKHIR. Disusun Oleh : MIA FATMA EKASARI"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI MODEL “SEKOLAH BERKIBARR” DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

DI MTS NURUL HUDA PASIRGUNUNG SELATAN

KARYA ILMIAH AKHIR

Disusun Oleh :

MIA FATMA EKASARI

0906504846

PROGRAM STUDI SPESIALI S KEPERAWATAN KOMUNITAS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA 2012

(2)

APLIKASI MODEL “SEKOLAH BERKIBARR” DALAM UPAYA

MENINGKATKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI MTS NURUL HUDA PASIRGUNUNG SELATAN

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Komunitas

MIA FATMA EKASARI

0906504846

PROGRAM STUDI SPESIALI S KEPERAWATAN KOMUNITAS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA 2012

(3)
(4)
(5)
(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan perlindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir yang berjudul Aplikasi Model “Sekolah BERKIBARR” dalam Upaya Meningkatkan Kesehatan Reproduksi Remaja Di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners Spesialis Keperawatan Komunitas di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak banyaknya kepada yang terhormat :

1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN, selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

3. Bapak Sigit Mulyono, SKp, MN selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan ide, bimbingan, perhatian, motivasi, dan semangat pada penulis dalam proses penyusunan karya ilmiah akhir ini.

4. Ibu Ns. Henny Permatasari, M.Kep., Sp.Kom, selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, pengertian, motivasi, perhatian, dan semangat selama proses penyusunan karya ilmiah akhir ini. 5. Direktur Poltekkes Kemenkes Jakarta III, Ibu Hj. Heryati,SKp,M.Kes beserta

seluruh keluarga besar Poltekkes Kemenkes Jakarta III yang telah memberikan doa, dukungan, dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan. 6. Seluruh staf pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia, khususnya bagian keilmuan keperawatan komunitas, yang telah banyak memberikan ilmunya, motivasi, bimbingan dan arahannya. 7. Orangtua, suami, anak-anakku (Dzia, Hisyam, Cinta) serta seluruh keluarga

besar atas segala doa, pengorbanan dan dukungannya, yang menjadikan motivasi bagi penulis dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini dan untuk segera menyelesaikan pendidikan.

(7)

”I Love U dad.... Aku bangga jadi anakmu...”

9. Teman-teman seperjuangan di pendidikan spesialis keperawatan komunitas angkatan tahun 2009 yang selalu memberikan semangat serta doanya untuk keberhasilanku dalam menyelesaikan pendidikan ini. Cerita indah (baik suka maupun duka) yang terukir selama pendidikan bersama kalian tak akan pernah terlupakan.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penulisan karya ilmiah ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga penulisan ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan, khususnya dalam perawatan kesehatan remaja. Penulis menyadari penulisan ini jauh dari sempurna., oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan ini.

Depok, Juni 2012 Penulis

(8)

PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN KOMUNITAS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

Karya Ilmiah Akhir, Juni 2012 Mia Fatma Ekasari

Aplikasi Model Sekolah BERKIBARR dalam upaya meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan

ABSTRAK

Remaja berada pada masa transisi yang digambarkan pula sebagai masa pencarian identitas diri dan lingkungan terkait dengan perubahan secara fisik, emosi, dan sosial remaja, sehingga remaja dimasukkan ke dalam kelompok berisiko. Karya ilmiah akhir ini bertujuan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok melalui aplikasi model “Sekolah BERKIBARR”. Karya ilmiah akhir ini telah diaplikasikan dalam manajemen pelayanan keperawatan komunitas, asuhan keperawatan komunitas, dan keluarga dengan mengintegrasikan teori dan model manajemen pelayanan kesehatan, comprehensive school health model, family center nursing model, dan

transcultural nursing model. Partisipan adalah siswa MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan. Hasil aplikasi ini menggambarkan aplikasi model sekolah BERKIBARR dapat meningkatkan sikap, pengetahuan dan perilaku siswa terhadap masalah kesehatan reproduksi serta menurunkan angka dari jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan reproduksi. Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi dasar program promosi kesehatan reproduksi remaja berbasis sekolah.

Kata kunci:

Model Sekolah BERKIBARR, Kesehatan Reproduksi Remaja Referensi (58: 1997 – 2011)

(9)

POSTGRADUATED PROGRAM-NURSING FACULTY Paper, June 2012

Mia Fatma Ekasari

ABSTRACT

Adolescents are in a transition period which is described also as the search for identity and the environment associated with changes in physical, emotional and social, so the teen put into risk groups. This final scientific work aimed at improving adolescent reproductive health in MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan, Cimanggis Depok through the application of the model "BERKIBARR School". This final scientific work has been applied in the management of community nursing services, community and family nursing process by integrating theory and models of health service management, comprehensive school health model, family nursing center model, and Transcultural nursing model. Participants were students MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan. The results of this application describes that model BERKIBARR schools can improve attitudes, knowledge and behavior of students towards reproductive health issues and reduce the number of students who experienced reproductive health problems. The results of this final scientific work is expected to be the basis of the promotion program of school-based adolescent reproductive health. Key words:

Model School BERKIBARR, Adolescent Reproductive Health References (58: 1997 to 2011)

(10)

HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN ORSINALITAS………. HALAMAN PERSETUJUAN... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR LAMPIRAN... ii iii iv v vi vii x xii BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang... 1.2Tujuan Penulisan... 1.2.1 Tujuan Umum ………... 1.2.2 Tujuan Khusus …………... 1.3 Manfaat Penulisan...

1.3.1 Bagi Pelayanan Keperawatan Komunitas……… 1.3.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan………... 1.3.3 Bagi Pihak sekolah……….. 1.3.4 Bagi Keluarga………. 1.3.5 Bagi Remaja……….... 1 13 13 13 14 14 14 14 15 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 16

2.1. Konsep remaja sebagai At Risk……… 2.1.1 Pengertian populasi At Risk ……….. 2.1.2 Remaja sebagai populasi At Risk………... 2.2. Konsep Remaja……….. 2.2.1Pengertian dan Batasan Remaja……….……….. 2.2.2 Tumbuh Kembang Remaja dan permasalahannya………. 2.3 Strategi intervensi keperawatan komunitas pada remaja dengan

masalah kesehatan reproduksi……….. 2.3.1 Pendidikan Kesehatan………. 2.3.2 Pathnership……….. 2.4 Peran Perawat Komunitas Pada kelompok At Risk Remaja …… 2.5 Model Intervensi keperawatan komunitas pada aggregate dengan

dengan tumbuh kembang kesehatan reproduksi………. 2.5.1 Comprehensive School Health Model……… 2.4.2 Teori Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas pada

aggregate remaja………. 2.4.3 Family Center Nursing Model……… 2.4.4Model Transcultural Nursing dalam keperawatan

Komunitas……….. 2.4.5 Model Intervensi Sekolah BERKIBARR………..

16 16 16 19 19 20 22 23 23 24 26 26 28 29 30 32

(11)

BAB 4 PENGELOLAAN PELAYANAN KEPERAWATAN KOMUNITAS DI MTS NURUL HUDA PASIR GUNUNG SELATAN CIMANGGIS DEPOK

37 4.1 Analisi Situasi ………. 4.1.1 Perencanaan………. 4.1.2 Pengorganisasian………. 4.1.3 Pengarahan ………. 4.1.4 Pengawasan………. 4.2 Masalah, Alternatif Penyelesaian dan Evaluasi ………. …

4.2.1 Masalah……… 4.2.2 Prioritas masalah………... 4.2.3 Perencanaan………. 4.2.4 Implementasi dan Evaluasi……….. 4.3Asuhan Keluarga dengan Masalah Kesehatan Reproduksi

Remaja………. 4.3.1 Analisis situasi………... 4.3.2 Perencanaan……… 4.3.3 Implementasi,Evaluasi dan rencana Tindak Lanjut…… 4.4Asuhan Keperawatan Komunitas pada aggregate remaja di MTs

Nurul Huda Pasir Gunung Selatan……….. 4.4.1 Analisis situasi………... 4.4.2 Perencanaan……… 4.4.3 Implementasi,Evaluasi dan rencana Tindak Lanjut……

37 37 38 38 38 39 39 40 40 42 44 45 49 51 55 56 60 62 BAB 5 PEMBAHASAN 66

5.1 Analisis Pencapaian dan Kesenjangan ……… 5.1.1 Manajemen Pelayanan Kesehatan Komunitas………… 5.1.2 Asuhan Keperawatan……… 5.2 Keterbatasan Penulisan ……….

5.2.1 Penyediaan Sarana Prasarana………. 5.2.2 Alokasi waktu kegiatan………..

5.2.3 Budaya………

5.3 Implikasi Untuk Keperawatan ……….. 5.3.1 Implikasi terhadap pelayanan keperawatan komunitas… 5.3.2 Implikasi terhadap perkembangan ilmu keperawatan…. 5.3.3 Implikasi terhadap pembuat kebijakan kesehatan……….

66 66 72 86 86 86 87 87 88 88 88 89

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 91

6.1 Simpulan ……… 6.2 Saran ………. 6.2.1 Bagi Dinas Kesehatan……….. 6.2.2 Bagi Sekolah………. 6.2.3 Bagi Keluarga………. 91 92 92 92 92

(12)

DAFTAR PUSTAKA 94 DAFAR LAMPIRAN

(13)

Lampiran 1 Penapisan Masalah Pengelolaan Manajemen Keperawatan Lampiran 2 Penapisan Masalah Keperawatan Keluarga

Lampiran 3 Penapisan Masalah Keperawatan Komunitas Lampiran 4 Kuesioner Perilaku Kesehatan Remaja Lampiran 5 Kuesioner Karakteristik Keluarga

Lampiran 6 Pedoman Wawancara dengan kepala sekolah Lampiran 7 Pedoman Wawancara dengan PJ UKS Lampiran 8 Pedoman Wawancara dengan Guru Lampiran 9 Kontrak Perkuliahan Semester 1 Lampiran 10 Kontrak Perkuliahan Semester 2

(14)

Karya Ilmiah Akhir, Juni 2012 Mia Fatma Ekasari

Aplikasi Model Sekolah BERKIBARR dalam upaya meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan

ABSTRAK

Remaja berada pada masa transisi yang digambarkan pula sebagai masa pencarian identitas diri dan lingkungan terkait dengan perubahan secara fisik, emosi, dan sosial remaja, sehingga remaja dimasukkan ke dalam kelompok berisiko. Karya ilmiah akhir ini bertujuan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok melalui aplikasi model “Sekolah BERKIBARR”. Karya ilmiah akhir ini telah diaplikasikan dalam manajemen pelayanan keperawatan komunitas, asuhan keperawatan komunitas, dan keluarga dengan mengintegrasikan teori dan model manajemen pelayanan kesehatan,

comprehensive school health model, family center nursing model, dan transcultural nursing model. Partisipan adalah siswa MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan. Hasil aplikasi ini menggambarkan aplikasi model sekolah BERKIBARR dapat meningkatkan sikap, pengetahuan dan perilaku siswa terhadap masalah kesehatan reproduksi serta menurunkan angka dari jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan reproduksi. Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi dasar program promosi kesehatan reproduksi remaja berbasis sekolah.

Kata kunci:

Model Sekolah BERKIBARR, Kesehatan Reproduksi Remaja Referensi (58: 1997 – 2011)

(15)

Paper, June 2012 Mia Fatma Ekasari

ABSTRACT

Adolescents are in a transition period which is described also as the search for identity and the environment associated with changes in physical, emotional and social, so the teen put into risk groups. This final scientific work aimed at improving adolescent reproductive health in MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan, Cimanggis Depok through the application of the model "BERKIBARR School". This final scientific work has been applied in the management of community nursing services, community and family nursing process by integrating theory and models of health service management, comprehensive school health model, family nursing center model, and Transcultural nursing model. Participants were students MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan. The results of this application describes that model BERKIBARR schools can improve attitudes, knowledge and behavior of students towards reproductive health issues and reduce the number of students who experienced reproductive health problems. The results of this final scientific work is expected to be the basis of the promotion program of school-based adolescent reproductive health.

Key words:

Model School BERKIBARR, Adolescent Reproductive Health References (58: 1997 to 2011)

(16)

Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang, tujuan dan manfaat Model “Sekolah BERKIBARR” sebagai inovasi dari intervensi keperawatan komunitas dalam masalah kesehatan reproduksi remaja (KRR) di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok.

1.1Latar Belakang

Remaja (adolescence) adalah generasi penerus bangsa yang turut menentukan kualitas hidup bangsa di masa yang akan datang. Pada masa remaja, seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya yang diikuti pula dengan berbagai perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, sehingga akan menimbulkan pula berbagai macam masalah (Hurlock, 1998). Kehidupan remaja digambarkan sebagai fase pencarian identitas diri dan lingkungan terkait dengan perubahan secara fisik, emosi, dan sosial remaja, sehingga remaja dimasukkan ke dalam kelompok berisiko (McMurray, 2003).

Remaja sangat beresiko untuk mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksinya. Pada masa pubertas, seorang individu mulai mengalami kematangan organ reproduksi yang memberikan konstribusi terhadap semakin menyatunya seksualitas ke dalam sikap dan perilaku gender remaja (Santrock, 2003). Hal ini juga diungkapkan oleh Hyde (1990) yang menjelaskan bahwa pada masa pubertas remaja secara fisiologis akan mengalami perubahan mekanisme hormon yang dapat mengaktifkan dorongan dan gairah seksual dan secara fisik mampu melakukan aktifitas reproduksi.

Saat ini, sekitar 1 milyar manusia atau hampir 1 diantara 6 manusia di bumi ini adalah remaja dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang

(17)

10 dan 19 tahun adalah 1,2 miliar. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbesar generasi muda dalam sejarah (WHO, 2009). Jumlah populasi remaja di Indonesiapun sangat besar tercatat pada tahun 2007 sekitar 64 juta jiwa atau 28,6% dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja (BKKBN, 2009). Data proyeksi penduduk Jawa Barat juga menunjukkan jumlah populasi remaja yang cukup besar yaitu 15.150.647 jiwa atau 24.9 % dari total penduduk (LDUI, 1995). Gambaran jumlah populasi remaja yang cukup

besar tampak pula di kota Depok yang merupakan salahsatu kota di Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan kota Jakarta yaitu 253.777 jiwa

atau 16.5% dari total populasi penduduk kota Depok (Profil Kota Depok, 2009).

Jumlah populasi remaja yang cukup besar akan mempengaruhi pula kondisi kesehatan masyarakat. Yayasan Pelita Ilmu mendapatkan data tentang

perilaku hubungan seks pra nikah pada pelajar di kota Jakarta bahwa 42% dari 117 remaja 13-20 tahun pernah berhubungan seks dan lebih dari

separuh diantaranya masih aktif berhubungan seks dalam 1-3 bulan terakhir (Conrad, 2000). Data gambaran perilaku seks pra nikah pelajar SMA di Manado mendapatkan persentase 20% pada remaja laki-laki melakukan seks pranikah dan 6% pada pada remaja perempuan (Utomo, dkk, 1998).

Gambaran masalah kesehatan reproduksi remaja lainnya adalah setiap

tahunnya hampir 15 juta remaja yang berusia 15-24 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100 juta remaja terinfeksi penyakit

menular seksual (UNFA, 2000). Hasil survei yang dilakukan pada remaja didapatkan 7% remaja yang berusia 13-19 tahun di Jawa Barat dan 5% di Bali mengalami kehamilan pada remaja. DepKes (2005) mengungkapkan bahwa lima sampai sepuluh persen wanita dan delapan belas sampai tiga puluh delapan persen pria muda berusia 16-24 tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan yang seusia mereka 3-5 kali.

(18)

Berbagai permasalahan kesehatan reproduksi remaja timbul dikarenakan gairah seksual dan daya tarik seksual remaja mulai muncul, tetapi pengetahuan dan pengalaman remaja tentang masalah kesehatan reproduksi masih sangat terbatas (Shell, 2001). Remaja yang tidak memiliki pengetahuan yang lengkap dan kesadaran tentang beberapa aspek kesehatan reproduksi lebih beresiko untuk mengalami masalah kesehatan reproduksi (Panda & Seagal, 2009). Media, lingkungan, dan kelompok sebaya juga mempengaruhi pemahaman dan pengalaman remaja, sehingga jika informasi yang didapatkannya kurang benar dan cenderung salah berdampak tidak baik bagi perkembangan seksualitas dan kesehatan reproduksinya (Setyaningsih, 2006).

Gambaran tentang kurangnya pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi remaja terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) di empat provinsi Indonesia (Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung) pada tahun 1999 yaitu hanya 24% remaja yang mengetahui tentang IMS; 55% remaja yang mengetahui tentang proses kehamilan; 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat mengakibatkan kehamilan. Tingkat pengetahuan remaja tentang pengetahuan Penyakit Menular Seksual (PMS) juga masih sangat rendah

yaitu pemahaman remaja tentang raja singa 37%, kencing nanah 12%, herpes genitalis 3%, klamida/ kandidiasis 2%, jengger ayam 0.3%, kecuali

mengenai HIV-AIDS yaitu sekitar 95%, (LDUI, 2005).

Berdasarkan hasil survey kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI)

tahun 2002-2003 gambaran tingkat pengetahuan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi juga masih rendah (BKKBN, 2008). Hal ini di dukung oleh data yang menggambarkan bahwa remaja perempuan

dan remaja laki-laki yang mengetahui risiko kehamilan jika melakukan

hubungan seksual sekali masing-masing baru mencapai 49,5% dan 45,5%. Remaja perempuan dan remaja laki-laki usia 14-19 tahun yang mengaku

mempunyai teman pernah melakukan hubungan seksual pra nikah masing-masing mencapai 34,7% dan 30,9%. Data lain yang didapatkan dari hasil

(19)

survey ini adalah jumlah orang hidup dengan HIV dan AIDS sampai dengan bulan September 2008 mencapai 15.136 kasus, 54,3% dari angka

tersebut adalah remaja, sedangkan jumlah penyalahguna Narkoba sebesar 1,5% dari penduduk Indonesia atau 3, 2 juta penduduk Indonesia didapati sebagai penyalahguna NAPZA, 78% diantaranya adalah remaja kelompok umur 20-29 tahun.

Aide Medicale Internationale (AMI, 2007) mengungkapkan hasil survey yang dilakukan di beberapa negara menyatakan bahwa beberapa penyebab dari kurangnya pengetahuan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi adalah 1) kurangnya informasi tentang jenis layanan apa saja yang tersedia dan bagaimana memperolehnya; 2) tempat pelayanan yang tidak mudah dijangkau (jauh dari rumah); 3) biaya yang mahal; 4) pelayanan yang tidak ramah atau tidak bersahabat; 4) tenaga yang memberikan pelayanan bukan tenaga terampil; 5) pelayanan yang diberikan tidak memberikan jaminan kerahasiaan atau privacy serta tersedianya pelayanan kesehatan remaja yang memperhatikan kebutuhan remaja sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya; 6) kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak serta pandangan keluarga yang masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah kesehatan reproduksi pada remaja. Keadaan ini mengakibatkan remaja mencari alternatif sumber informasi lain seperti informasi dari teman sebaya ataupun media massa.

Hasil survey tersebut dikuatkan pula oleh hasil penelitian Syarifah & Waas (1997) yang mengungkapkan bahwa remaja mengatakan mereka membutuhkan informasi tentang kesehatan reproduksi. Saat ini, informasi kesehatan tersebut lebih banyak didapatkan dari teman sebayanya. Remaja juga mengatakan mereka lebih banyak mengungkapkan permasalahan kesehatan reproduksinya pada temannya. Orang tua juga menyadari bahwa mereka belum banyak memberikan informasi kesehatan reproduksi pada remajanya dengan berbagai alasan seperti malu, dianggap tidak sopan dan anak di anggap belum dewasa.

(20)

Upaya pencegahan terhadap perilaku berisiko terjadinya kehamilan remaja di SMP Ratu Jaya Kota Depok yang dilakukan oleh Mulyadi (2009) dengan cara pemberian informasi kesehatan kepada remaja melalui peer edukator dengan metode adolescent friendly dapat memberikan pengaruh yang positif dalam perubahan perilaku remaja. Hal yang sama juga terjadi pada proses pembelajaran remaja yang difasilitasi dalam kegiatan kelompok sebaya melalui model Remaja Untuk Remaja (RUR) yang dilakukan oleh Tantut (2011) pada remaja kelurahan Tugu Cimanggis Depok. Model RUR juga memberikan pengaruh yang positif dalam perubahan perilaku remaja. Hal ini dikarenakan remaja lebih terbuka dan lebih merasakan nyaman pada kelompok sebayanya (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999).

Saat ini, pemerintah Indonesia telah melaksanakan beberapa program yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi remaja seperti pembentukan Pusat Informasi Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) dan Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) (BKKBN, 2008; DepKes, 2008). Semua program ini menerapkan Adolescent Friendly Sexual and Reproductive Health Services (AFSRHS) sebagai dasar pelaksanaan kegiatannya. Adolescent-friendly adalah program WHO yang ditujukan dari, oleh, dan untuk remaja dengan tujuan untuk menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja yang aman, efektif, dan terjangkau (UNPFA, 2009).

Pelaksanaan kegiatan PIK KRR memiliki dampak yang cukup baik terhadap peningkatan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi. Hasil penelitian Aryani (2010) tentang efektifitas PIK-KRR terhadap peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di SMU Swasta Medan mengungkapkan bahwa pengetahuan remaja sebelum mengikuti PIK-KRR sebagian sebagian kurang yaitu sebanyak 18 responden (60 %) dan pengetahuan remaja setelah mengikuti PIK-KRR sebagian besar baik yaitu sebanyak 29 responden (96,7 %). Afrina (2011) juga mengungkapkan siswa

(21)

yang menerima terhadap PIK-KRR dan mempunyai sikap positif terhadap kesehatan reproduksi akan meningkatkan pemanfaatan PIK-KRR sebanyak 1,4 kali dibandingkan siswa yang tidak menerima PIK-KRR, sehingga pemanfaatan PIK-KRR di sekolah mempunyai hubungan dengan akseptabilitas, kebutuhan dan sikap terhadap kesehatan reproduksi.

Pelaksanaan kegiatan PKPR pada sekolah yang dilakukan pembinaan mampu meningkatkan pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi (Noor, Mahyudin, 2007). Hasil penelitian Noor (2007) menunjukkan bahwa 54.1% siswa yang di bina PKPR memiliki tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi baik dan 89.2% siswa memiliki sikap baik terhadap seks pranikah. Hasil penelitian Muflihati (2005) juga menggambarkan bahwa proses pelaksanaan penyuluhan dan konseling KRR yang dilakukan oleh guru di sekolah membuat siswa dapat menjaga perilaku seksualnya dengan tidak melakukan seks pranikah dalam pacaran, meskipun sebenamya para guru menekankan agar tidak berpacaran.

Praktik asuhan keperawatan pada aggregate remaja dengan setting sekolah memandang bahwa semua unsur atau komponen yang ada disekolah berpengaruh terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja. Upaya promosi kesehatan berbasis sekolah dilakukan secara komprehensif dengan menerapkan Comprehensive School Health Model (CSHM) (Stanhope &Lancaster, 2004). CSHM terdiri dari 8 (delapan) komponen yaitu Pendidikan Kesehatan di Sekolah, Pelayanan Kesehatan di Sekolah, Kesehatan Lingkungan Sekolah sehat, Latihan Fisik/Olahraga, Layanan Makanan dan Gizi Sekolah, Bimbingan dan Konseling, Promosi Kesehatan bagi staff, dan Kemitraan Sekolah dengan Orangtua dan Masyarakat.

Keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja. Family Center Nursing Model (FCNM) merupakan model yang mengidentifikasi tugas perkembangan keluarga dengan anak remaja dalam pemenuhan kebutuhan reproduksi yang dapat dipengaruhi oleh struktur, fungsi

(22)

keluarga, stres dan koping serta tingkat kemandirian keluarga. Allender & Spradley (2001) mengungkapkan bahwa penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan family-centered nursing salah satunya menggunakan Friedman Model. Pada tahap pengkajian, Friedman Model

melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat. Proses keperawatan keluarga meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. Pada hasil penelitian Gusmiarni (2000) didapatkan data bahwa variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku seksual remaja adalah komunikasi dalam keluarga dan sikap terhadap hubungan seksual pranikah.

Nilai dan budaya keluarga sangat mempengaruhi keluarga untuk dapat memenuhi tugas perkembangan keluarga dengan anak remaja (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Oleh sebab itu diperlukan suatu model yang memandang kesehatan reproduksi remaja dalam konteks budaya masyarakat.

Transcultural Nursing Model dapat digunakan sebagai model pendekatan kepada keluarga, sehingga penanganan masalah kesehatan reproduksi remaja akan lebih dapat diterima oleh nilai dan budaya masyarakat setempat (Leininger, 2002). Variabel yang digunakan dalam praktik ini adalah suku, nilai, kepercayaan, pandangan hidup, dan budaya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja.

Perawat perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dalam mengatasi berbagai permasalahan remaja berdasarkan fenomena yang ada (Allender & Spardley, 2001). Pendekatan yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas dalam mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan kesehatan reproduksi pada kelompok remaja adalah dengan mengintegrasikan ketiga model di atas yaitu CSHM, FCNM dan Transcultural Nursing Model dengan model manajemen pelayanan kesehatan komunitas. Penerapan model pelayanan

kesehatan komunitas dilakukan dengan menerapkan proses manajemen

yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian

(23)

(Gillies, 2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006) yang berkaitan dengan Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).

Menurut Anderson (2004) strategi yang digunakan dalam implementasi di komunitas adalah pendidikan kesehatan, proses kelompok, kemitraan dan pemberdayaan. Pada pelaksanaan program model Sekolah BERKIBARR strategi implementasi yang telah dilakukan adalah pendidikan kesehatan dan kemitraan. Pendidikan kesehatan yang dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan kesehatan kepada remaja dan juga orangtua. Materi penyuluhan kesehatan yang diberikan antara lain tentang tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi remaja, IMS, komunikasi efektif antara orangtua dan remaja serta keterampilan dalam bersikap asertif (Allender & Spardley, 2001).

Partnership atau kemitraan merupakan bentuk kerjasama aktif antara perawat komunitas, masyarakat, maupun lintas sektor dan program. Bentuk kegiatan dari kemitraan berupa kolaborasi, negosiasi dan sharing antara dua pihak yang saling menguntungkan (Sthanhope & Lancaster, 2004; Hitchock, Schuber & Thomas, 1999). Kemitraan dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh dukungan dari berbagi pihak dalam menjalankan program Sekolah BERKIBARR.

Kemitraan yang sudah dilakukan antara lain kemitraan dengan pihak Puskesmas Kelurahan Pasir Gunung Selatan dalam bentuk pemberian dukungan berupa bantuan obat-obatan P3K, kartu KMS, pelaksanaan program pembinaan konselor sebaya dan pelaksanaan sistem rujukan; kemitraan dengan pihak Badan Narkotika Kelurahan Pasir Gunung Selatan dalam bentuk pemberian informasi tentang narkotika, HIV AIDS dan masalah kesehatan remaja secara rutin minimal 3 bulan sekali serta pemberian buku-buku dan video; serta kemitraan dengan BEM FIK UI dalam bentuk pemberian informasi dan pelaksanaan konsultasi melalui media jejaring sosial facebook.

(24)

Gambaran masalah kesehatan reproduksi remaja yang terjadi di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok adalah masih kurangnya tingkat pengetahuan dan sikap siswa MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan dalam masalah kesehatan reproduksi remaja. Gambaran tersebut terlihat dari hasil yaitu dari 61 siswa 49.4% siswa memiliki pengetahuan kurang baik tentang masalah kesehatan reproduksi remaja dan 40% siswa memiliki sikap kurang baik terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja.

Pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi remaja siswa MTs Nurul Huda menyebabkan 44% siswa mengalami keputihan, 36% siswa

mengalami gatal-gatal disekitar alat kelamin, 6.8% sakit saat buang air kecil (BAK), 15.9% mengalami nyeri pada saat menstruasi dan 24% mengalami menstruasi tidak teratur (Ekasari, 2011). Gambaran perilaku pacaran yang biasa dilakukan oleh siswa MTs Nurul Huda akibat kurangnya pengetahuan yaitu 75.3% siswa pernah memiliki pacar, 1.2% siswa mengatakan pertama kali pacaran pada usia 8 tahun, 25.9% siswa mengatakan pertamakali pacaran pada usia 12 tahun. Perilaku pacaran siswa 64% siswa dengan ngobrol-ngobrol berdua, 34.1% siswa dengan nonton berdua, 58.8% siswa dengan jalan-jalan berdua, 60% siswa dengan berpegangan tangan, 23.5% siswa dengan berpelukan, 22.4% siswa dengan mencium/dicium pipi, 9.4% siswa dengan mencium/dicium daerah leher, 3.5% siswa dengan meraba daerah sensitif (Ekasari, 2011).

Sumber informasi kesehatan reproduksi remaja bagi siswa di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan berdasarkan angket yang disebarkan kepada 85 siswa yaitu 31% bersumber dari media on line, 33% bersumber dari video porno dan 35% bersumber dari bacaan porno, sedangkan asal sumber informasi tersebut 17.6% siswa mendapatkan video porno dengan cara meminjam dari teman dan 23.5% siswa mendapatkan bacaan porno dari teman. Akibat dari sumber informasi yang tidak tepat tersebut, informasi yang didapatkanpun seringkali salah sehingga memungkinkan remaja untuk berperilaku menyimpang seperti

(25)

melakukan seks pranikah, merokok, minum-minuman keras, penyalahgunaan obat serta tawuran ( Nies & Mc Ewen, 2001).

Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Damarini (2001) yang mendapatkan data bahwa ada hubungan bermakna antara media cetak dan media elektronik dengan perilaku seksual remaja di komunitas. Murniati (2004) juga menjelaskan ada hubungan antara pajanan media komunikai massa dengan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS, sedangkan informasi dari guru sekolah, informasi dari orang tua/anggota keluarga lain, informasi dari teman/kelompok sebaya, informasi dari tetangga serta informasi dari narasumber bukan merupakan perancu bagi hubungan tersebut.

MTs Nurul Huda adalah satu-satunya sekolah setingkat SMP di wilayah Pasir Gunung Selatan. MTs Nurul Huda tidak memiliki UKS, tetapi telah memiliki guru konselor serta peer educator yang telah dilatih oleh dinas kesehatan. Kegiatan PKPR di sekolah tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan pihak sekolah tidak memiliki kebijakan yang dapat mendukung berjalannya kegiatan PKPR dan guru konselor yang telah mendapatkan pelatihanpun tidak memiliki program konseling bagi siswa. Pemberian informasi kesehatan bagi siswa sekolah di MTs Nurul Huda diberikan pada saat pelaksanaan program orientasi siswa baru yang dilakukan setiap awal tahun ajaran.

MTs Nurul Huda sebagai sekolah yang memiliki kurikulum pembelajaran agama yang lebih besar daripada pembelajaran umum. MTs Nurul Huda berada di lingkungan masyarakat Betawi yang memiliki nilai-nilai bahwa berbicara tentang seks dan kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu. Hal ini menyebabkan informasi yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi hanya disampaikan secara terbatas oleh guru melalui pembelajaran fiqh, biologi dan pendidikan jasmani.

(26)

Pada dasarnya orangtua memiliki keterlibatan langsung dalam mendidik anak berdasarkan tumbuh kembang agar mereka mampu melaksanakan praktik hidup sehat baik di dalam maupun di luar rumah (Lindsay et.al, 2006). Hal ini tidak dilakukan oleh orangtua siswa MTs Nurul Huda. Orangtua menganggap masalah seks dan kesehatan reproduksi sangat tabu untuk dibicarakan kepada anak remaja mereka. Orangtua juga yakin bahwa di sekolah anak-anak sudah diajarkan oleh gurunya mengenai seks dan kesehatan reproduksi.

Orangtua siswa MTs Nurul Huda juga mengatakan mereka tidak memiliki pola komunikasi yang baik dengan anak remaja mereka. Berdasarkan hasil pengumpulan data dari angket yang disebarkan kepada 61 orangtua siswa MTs Nurul Huda didapatkan data bahwa 68.2 % tidak memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan orangtua, 22.8% memutuskan permasalah di dalam keluarga tanpa dimusyawarahkan, 10.5% remaja mengatakan waktu berkumpul mereka dengan orangtua lebih sering pada saat malam hari, 24.6% orangtua mengatakan tidak terlalu sering komunikasi dengan anak remaja mereka, hanya sebatas pembicaraan umum saja, 17.3% remaja mengatakan kalau mereka memiliki masalah mereka lebih sering menyendiri, 24.6% orangtua mengatakan anak remaja mereka tidak pernah bercerita kalau ada masalah dan 24.6% orangtua mengatakan kalau memberikan saran terkadang anak remaja mereka sulit menerima, remaja hanya berespon diam atau menjawab iya dan pergi ke kamarnya atau ke luar rumah (Ekasari, 2011).

Menurut kepala sekolah dan guru pembina PKPR, masalah kesehatan reproduksi remaja pada siswa MTs Nurul Huda semakin besar karena 98.2% orangtua siswa MTS Nurul Huda berpendidikan rendah dan 96.7% kondisi ekonomi yang kurang. Orangtua siswa banyak yang tidak tamat sekolah dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Makarao (1996) bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, jumlah anggota dalam keluarga, pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, kelompok sebaya, organisasi dan komunikasi dengan

(27)

pengetahuan remaja tentang reproduksi dan dengan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi.

Permasalah yang timbul akibat situasi dan kondisi yang ada di MTs Nurul Huda pasir Gunung Selatan adalah 1) Belum tersusunnya rencana kegiatan jangka panjang dan jangka pendek pelaksanaan program pelayanan kesehatan peduli remaja di MTs Nurul Huda; 2) Belum optimalnya peran guru konselor dan konselor sebaya dalam melaksanakan konseling dan pemberian informasi tentang KRR kepada siswa MTs Nurul Huda a; 3) Pola asuh tidak efektif pada keluarga Bp.M khususnya pada An. W; 4) Resiko terjadinya perilaku seksual remaja yang tidak sehat pada keluarga Bp.M khususnya An.W ; 5) Resiko terjadinya peningkatan jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan reproduksi remaja; keputihan, gatal-gatal sekitar alat kelamin, nyeri menstruasi pada siswa MTs Nurul Huda dan 6) Perilaku seksual yang tidak sehat pada siswa MTs Nurul Huda.

Allender & Spardley (2001) mengungkapkan bahwa untuk menghindari perilaku beresiko dan sukses dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan remaja, maka dibutuhkan perhatian, bimbingan, pengawasan maupun perencanaan pelayanan yang baik terkait dengan masalah kesehatan reproduksi remaja. Salahsatunya dengan mengintegrasikan beberapa teori ke dalam suatu model penanganan masalah kesehatan reproduksi remaja berbasis sekolah dalam suatu model yang dinamakan model Sekolah BERKIBARR (BERperan dalam Konsultasi dan Informasi BAgi Remaja tentang Reproduksi).

Model “Sekolah BERKIBARR” mengintegrasikan program PIK KRR ke dalam program PKPR dengan menggunakan Comprehensive School Health

Model (CSHM) sebagai bentuk intervensi. CSHM menjadi pondasi untuk kesehatan siswa di sekolah karena dapat memfasilitasi hubungan kerjasama siswa, orangtua dan masyarakat dalam upaya promosi kesehatan siswa di sekolah. CSHM terbukti efektif untuk menangani masalah kesehatan siswa

(28)

(Green & Kreuter, 2005). Hal ini didukung pula dari hasil penelitian Gomes & Horta (2010) yang dilakukan di sembilan sekolah di Brazil, tepatnya di wilayah Belo Horizonte Barat bahwa pelaksanaan program promosi kesehatan berbasis sekolah dengan menggunakan CSHM dapat meningkatkan kualitas kesehatan remaja.

Bentuk intervensi yang dilakukan oleh perawat komunitas adalah pelaksanaan Model “Sekolah BERKIBARR” yang dimulai dengan mengidentifikasi masalah kesehatan reproduksi remaja di sekolah, mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan UKS di sekolah; memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, melaksanakan pelatihan, melakukan konseling, coaching

dan guidance; memberikan keterampilan hidup pada remaja terutama kemampuan dalam bersikap aserif, membuat layanan konseling dan informasi KRR; menjalin kemitraan; serta melaksanakan sistem rujukan.

Pelaksanaan model Sekolah BERKIBARR di MTs Nurul Huda memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan masalah kesehatan reprodukasi siswa. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja serta terjadinya penurunan jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan repoduksi.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok melalui aplikasi model “Sekolah BERKIBARR”

1.2.2 Tujuan Khusus

Setelah diterapkan model sekolah BERKIBARR diharapkan :

1.2.2.1 Kegiatan layanan konseling dan pemberian informasi KRR di MTs Nurul Huda Kelurahan Pasir Gunung Selatan berjalan efektif

(29)

1.2.2.2 Terjadinya peningkatan nilai rata-rata pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa MTs Nurul Huda terkait KRR sebelum dan sesudah diaplikasikannya model Sekolah BERKIBARR

1.2.2.3 Terjadinya peningkatan kemandirian keluarga terhadap masalah KRR setelah diaplikasikannya model Sekolah BERKIBARR

1.2.2.4 Pola komunikasi orangtua dan remaja menjadi efektif setelah diaplikasikannya model Sekolah BERKIBARR

1.2.2.5 Peningkatan kemampuan siswa MTs Nurul Huda dalam bersikap asertif setelah diaplikasikannya model Sekolah BERKIBARR

1.2.2.6 Penurunan jumlah siswa MTs Nurul Huda yang mengalami masalah KRR setelah diaplikasikannya model Sekolah BERKIBARR

1.3. Manfaat

1.3.1 Bagi Pelayanan Keperawatan Komunitas

Dapat digunakan sebagai landasan dalam pengembangan program pembinaan dan pendidikan kesehatan reproduksi pada kelompok remaja yang efektif, ramah dan mudah diakses oleh remaja dengan model Sekolah BERKIBARR

1.3.2 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Diharapkan dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas dalam mengembangkan model pelayanan keperawatan bagi remaja dengan masalah kesehatan reproduksi pada setting sekolah.

1.3.3 Bagi Pihak Sekolah

Diharapkan dapat memberikan motivasi dan dasar penyusunan kebijakan sekolah serta pelaksanaan program UKS terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi remaja

(30)

1.3.4 Bagi Keluarga

Diharapkan dapat menjalin komunikasi yang baik dengan remaja dan dapat mampu memfasilitasi secara mandiri kebutuhan remaja yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi

1.3.5 Bagi Remaja

Diharapkan dapat meningkatan kesehatan reproduksi secara optimal dan memperluas pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja yang dimilikinya.

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini penulis memaparkan beberapa konsep yaitu konsep at risk, konsep remaja, strategi intervensi , peran dan fungsi perawat serta model konseptual yang mendasari praktik keperawatan komunitas pada aggregate remaja.

2.1Konsep Remaja Sebagai At Risk 2.1.1 Pengertian Populasi At Risk

At risk dalam istilah Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai risiko (Echols & Shadily, 1992). Risiko atau “risk” memiliki pengertian awal

probability of a particular adverse effect yang berarti prediksi kemungkinan buruk (kondisi kesehatan seseorang). Menurut Botorfft (1995), At risk memiliki pengertian yaitu seseorang yang beresiko terpaparnya penyakit, bahaya, ketakutan, ketidaknyamanan, ataupun penyiksaan.

Kelompok atau masyarakat yang beresiko terpaparnya penyakit, bahaya, bencana, ketakutan dan ketidaknyamanan dinamakan population at risk (Hayes, 1992). Menurut Clemen-Stone, et.al (2002) populasi at risk adalah sekumpulan individu atau kelompok yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik tertentu untuk mengalami penyakit, cedera, atau masalah kesehatan lainnya dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa populations at risk atau populasi risiko adalah peluang munculnya suatu kejadianpenyakit pada suatu kelompok dalam periode waktu tertentu.

2.1.2 Remaja sebagai Populasi At Risk

Faktor-faktor yang berisiko menimbulkan masalah kesehatan terdiri dari beberapa kategori antara lain biologic risk, social risk, economic risk, life-style risk dan life event risk ( Stanhope & Lancaster, 2004).

(32)

2.1.2.1 Biologic risk merupakan faktor genetik atau ciri fisik yang berkontribusi terjadinya risiko (Stanhope &Lancaster, 2004). Transisi biologis remaja sering dikatakan sebagai masa pubertas yang merupakan tanda bahwa masa remaja telah dimulai. Menurut Santrock (2003) pubertas atau puberty

adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terutama terjadi selama masa remaja awal.

Perubahan biologis pada remaja juga ditandai dengan adanya perubahan hormonal dalam tubuh remaja. Perubahan hormon tersebut menyebabkan mulai tumbuhnya dorongan seksual remaja terhadap lawan jenis. Wong (2000) mengemukakan tentang hubungan dan percintaan pada masa remaja. Selama masa remaja, hubungan dengan lawan jenis merupakan hal baru yang penting. Pada saat inilah kebanyakan remaja mulai melakukan percobaan aktivitas seksual. Insidensi aktivitas seksual remaja tinggi dan meningkat sesuai dengan pertambahan usia mereka.

Beberapa data menggambarkan bahwa banyak remaja yang telah melakukan aktifitas seksual. Data tersebut antara lain 42% dari 117 remaja pelaja di Jakarta yang berusia 13-20 tahun pernah berhubungan seks dan lebih dari separuh diantaranya masih aktif berhubungan seks dalam 1-3 bulan terakhir (Conrad,2000). Data gambaran perilaku seks pra nikah pelajar SMA di Manado mendapatkan persentase 20% pada remaja laki-laki melakukan seks pranikah dan 6% pada pada remaja perempuan (Utomo , dkk, 1998).

2.1.2.2 Social risk merupakan faktor kehidupan yang tidak teratur, tingkat kriminal yang tinggi, lingkungan yang terkontaminasi oleh polusi udara, kebisingan, zat kimia yang berkontribusi untuk terjadinya masalah (Stanhope & Lancaster, 2004). Pada periode remaja awal, remaja dihadapkan pada krisis identitas kelompok yang dilanjutkan dengan mengembangkan identitas dirinya. Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat.

(33)

2.1.2.3 Economic risk adalah tidak seimbangnya antara kebutuhan dengan penghasilan, krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga berpengaruh terhadap kebutuhan perumahan, pakaian, makanan, pendidikan, dan kesehatan (Sthanhope & Lancaster, 2004). Sarwono (2010) mengungkapkan masa remaja adalah masa dimana terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Masa remaja merupakan masa transisi dari ketergantungan sosial ekonomi di keluarga dan masyarakat untuk mencapai kemandirian (WHO, 1975; Population Repport, 1995; dalam Situmorang, 2003). Remaja akan berusaha untuk mulai melepaskan ketergantungannya dari orangtua. Remaja berusaha untuk lebih mandiri sehingga mereka dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa (Soetjiningsih, 2004). Pada kondisi seperti ini, sering pula terjadi konflik pada hubungan antara orangtua dan remaja yang menyebabkan timbulnya kenakalan-kenakalan remaja.

2.1.2.4 Life-style risk merupakan kebiasaan atau gaya hidup yang dapat berdampak terjadinya risiko, termasuk keyakinan terhadap kesehatan, kebiasaan sehat, persepsi sehat, pengaturan pola tidur, rencana aktifitas keluarga, norma tentang perilaku yang berisiko (Sthanhope & Lancaster, 2004). Wong (2009) menjelaskan bahwa pada masa remaja adanya perasaan atau tekanan untuk memiliki suatu kelompok menjadi semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang sangat penting. Remaja berpendapat bahwa

menjadi bagian dari suatu kelompok dapat menunjukkan identitas diri mereka dan juga memberikan mereka status.

2.1.2.5 Life-event risk adalah kejadian dalam kehidupan yang dapat berisiko terjadinya masalah kesehatan, seperti; pindah tempat tinggal, adanya anggota keluarga baru, adanya anggota keluarga yang meninggalkan rumah dapat berpengaruh pada pola komunikasi (Sthanhope & Lancaster, 2004). Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif dan remaja cenderung akan terus berusaha mencoba sesuatu hal yang baru dan aktivitas yang menantang. Semakin terbukanya arus informasi berdampak pula pada perilaku remaja.

(34)

Informasi negatif yang diterima oleh remaja seperti melakukan hubungan seksual pra nikah, minum-minuman keras, menggunakan obat terlarang (Narkoba) dapat mendorong remaja berperilaku negatif yang mempengaruhi kesehatannya (Lembaga Demografi-FEUI, 2002). Perilaku remaja yang berisiko tersebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kesehatan reproduksi remaja seperti melakukan seks pra nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, dan infeksi saluran kemih dan reproduksi atau HIV (Mepham, 2001).

2.2Konsep Remaja

2.2.1 Pengertian dan Batasan Remaja

Menurut klasifikasi World Health Organization (WHO), batasan usia remaja adalah usia antara 10 sampai 19 tahun, sementara United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengatakan bahwa orang muda adalah antara umur 15 dan 24

tahun (istilah “orang muda” merujuk kepada penggabungan kelompok umur 10-24 tahun) (AMI, 2007). Batasan usia remaja menurut UU No. 22 tahun 2003 tentang perlindungan anak adalah 10 sampai dengan 18 tahun. Batasan remaja menurut Kozier et. al (2004) membagi masa remaja menjadi tiga

periode yaitu masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (14-17 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun).

Santrock (2003) mengemukakan masa remaja terbagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal (early adolescence) dan masa remaja akhir (late adolescence). Masa remaja awal (early adolescence) diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama. Masa remaja akhir (late adolescence) terjadi setelah seseorang berusia di atas 15 tahun. Masa remaja yang merupakan masa perkembangan transisi seorang individu antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional yang diikuti pula dengan timbulnya berbagai masalah akibat perubahan-perubahan tersebut (Hurlock, 1998).

(35)

2.2.2 Tumbuh Kembang Remaja dan permasalahannya

Pada masa remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang ditandai dengan adanya berbagai perubahan baik secara biologis, emosi, kognitif, maupun sosial (APA, 2002).

2.2.2.1 Perubahan Biologis

Perubahan biologis pada remaja meliputi pertumbuhan Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB) yang sangat cepat serta adanya perlambatan pertumbuhan linear yang tiba-tiba khususnya pada remaja putri. Pertumbuhan fisik remaja perempuan diawali pada usia 10-14 tahun dan berakhir pada usia 17-19 tahun. Remaja laki-laki mengalami permulaan pertumbuhan fisik dimulai pada usia 12-14 tahun dan berakhir pada umur 20 tahun (Hofmann & Greydanus, 1997; dalam APA, 2002).

Pertumbuhan fisik remaja ditandai dengan kemunculan tanda-tanda pubertas. Pubertas pada remaja perempuan ditandai dengan pertumbuhan ovarium, uterus, dan buah dada yang dialami pada usia 10 tahun atau lebih awal dan menstruasi yang biasanya terjadi pada umur 12 atau 13 tahun. Pubertas remaja laki-laki ditandai dengan pembesaran testis pada umur 11 atau 12 dan ejakulasi atau mimpi basah terjadi pada umur 12-14 tahun. Pubertas sekunder remaja laki-laki ditandai dengan pertumbuhan bulu badan dan perubahan suara (Allender & Spardley, 2001).

Menurut Wong (2008), kematangan organ seks pada remaja putri ditandai dengan adanya perubahan payudara, pertumbuhan rambut pubis, penampakan rambut aksila, dan menstruasi yang biasanya dimulai pada 2 tahun setelah munculnya tanda pertama pubertas. Kematangan organ seks pada remaja putra ditandai dengan adanya pembesaran testis, tumbuh rambut pubis, rambut aksila, kumis, bulu pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Rambut pada wajah biasanya muncul kira-kira 2 tahun setelah penampakan rambut pubis.

Perubahan biologis pada remaja juga ditandai dengan adanya perubahan hormonal dalam tubuh remaja. Perubahan hormon tersebut menyebabkan mulai tumbuhnya

(36)

dorongan seksual remaja terhadap lawan jenis. Wong (2000) mengemukakan tentang hubungan dan percintaan pada masa remaja. Selama masa remaja, hubungan dengan lawan jenis merupakan hal baru yang penting. Jenis dan tingkat keseriusan hubungan sangat bervariasi. Tahap awal hubungan biasanya tidak memiliki komitmen.

2.2.2.2 Perubahan emosional

Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, sehingga pada masa ini remaja seringkali mengalami perubahan emosional. Remaja akan belajar untuk merespon terhadap stress dan perubahan emosi berkaitan dengan status emosionalnya (Santrock, 2005). Status emosional remaja juga masih terombang-ambing antara perilaku yang sudah matang dengan perilaku seperti anak-anak. Status emosional remaja yang mudah berubah mengakibatkan remaja dikatakan sebagai orang yang tidak stabil, tidak konsisten dan sulit diterka (Wong, 2008).

Remaja membutuhkan model harga diri yang positif untuk mengajarkan tentang identitas diri dan membantu remaja membentuk koping yang positif dalam kehidupan (APA, 2002). Selain status emosional remaja yang masih labil, perubahan emosional yang dialami remaja lainnya adalah pencarian identitas diri yang berhubungan dengan kepercayaan diri dan harga diri remaja.

2.2.2.3 Perubahan Kognitif

Remaja tidak hanya dibatasi pada hal-hal yang konkret dan aktual saja. Remaja sudah dapat membayangkan suatu rangkaian peristiwa yang mungkin terjadi, dan akibatnya. Remaja mulai berfikir secara konkrit, meskipun lebih banyak berfikir secara abstrak. Remaja mulai dapat menganalisis situasi secara logis terhadap masalah dan akibat serta mulai menarik kesimpulan terhadap situasi dengan menggunakan simbol, seperti perumpamaan dan gambaran (Piaget, 1950; dalam Stuart, 2009).

Perkembangan kognitif di antara remaja berbeda. Perkembangan kognitif remaja yang dikatakan baik, jika remaja memiliki kemampuan unuk mencari alasan yang

(37)

efektif, pemecahan masalah, berfikir abstrak dan refleksi diri, dan merencanakan masa depan (APA, 2002). Tingkat cara berfikir remaja yang paling tinggi pada remaja adalah saat remaja sudah mampu memikirkan masa depan, mengevaluasi alternatif pilihan, dan tujuan pribadi (Keating, 1990; dalam Stuart, 2009).

2.2.2.4 Perubahan Sosial

Masa remaja adalah masa dengan kemampuan sosialisasi yang kuat. Perkembangan sosial berhubungan dengan kelompok, keluarga, sekolah, pekerjaan, dan komunitas. Perkembangan sosial berdasarkan hasil riset tergantung dari budaya dan etnik masing-masing daerah dan negara (APA, 2002). Proses kematangan interpersonal atau perkembangan sosial remaja perlu didukung dengan adanya penerimaan oleh teman sebaya, beberapa teman dekat, dan jaminan rasa cinta dari keluarga (Wong, 2008).

Perkembangan sosial remaja ditandai dengan adanya keinginan remaja untuk dianggap dewasa dan bebas dari orang tua. Remaja mulai mengurangi kontak dengan keluarga dan menganggap kelompoknya adalah bagian terpenting dalam kehidupan remaja (O’Koon, 1997; dalam APA, 2002). Selama masa remaja, hubungan antara orang tua-anak sering menimbulkan ketegangan karena remaja sudah menginginkan lepas kendali dari orang tua, dan dari sini konflik dapat muncul (Wong, 2008).

2.3 Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas Pada Remaja dengan Masalah Kesehatan Reproduksi

Anderson (2004) mengungkapkan ada empat strategi intervensi dalam keperawatan komunitas yaitu pendidikan kesehatan, proses kelompok, kemitraan dan pemberdayaan. Pada aplikasi model Sekolah BERKIBARR di MTs Nurul Huda, penulis hanya menggunakan dua strategi intervensi keperawatan komunitas pendidikan kesehatan dan kemitraan.

(38)

2.3.1 Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan strategi intervensi yang dilakukan melalui

penyebaran informasi. Tujuan dilakukannya pendidikan kesehatan adalah 1) meningkatkan motivasi masyarakat untuk berperilaku sehat; 2) untuk

meningkatkan kesejahteraan; 3) mengurangi ketidakmampuan; serta 4) sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi kesehatan dari individu, keluarga, komunitas dan masyarakatt (Sthanhope & Lancaster, 2004).

Pada aplikasi model Sekolah BERKIBARR, strategi pendidikan kesehatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan pada remaja dan orangtua. Materi yang diberikan dalam pelaksanaan penyuluhan kesehatan antara lain tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi remaja, IMS, komunikasi efektif antara orang tua dan remaja serta tentang keterampilan hidup bagi remaja dalam meningkatkan kemampuan bersikap asertif (Allender & Spardley, 2001).

2.3.2 Partnership

Departemen Kesehatan (2003) mendefinisikan kemitraan sebagai hubungan kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (memberikan manfaat) untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peran masing masing. Strategi intervensi kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama antara perawat komunitas, masyarakat, serta lintas sektor dan program yang dilakukan secara aktif. Bentuk kegiatan dari kemitraan adalah kolaborasi, negosiasi dan sharing

dilakukan untuk saling menguntungkan (Sthanhope & Lancaster, 2004; Hitchock, Schuber & Thomas, 1999).

Partnership adalah intrervensi keperawatan komunitas dalam bentuk kerjasama dengan pihak terkait untuk membina, mengawasi, dan mencegah permasalahan komunitas (Ervin, 2002). Pihak yang telah menjalin kemitraan dengn MTs Nurul Huda dalam aplikasi model sekolah BERKIBARR adalah Puskesmas Pasir Gunung Selatan, Badan Narkotika Kelurahan (BNK) serta Badan Ekseskutif Mahasiswa FIK UI.

(39)

2.4Peran Perawat Komunitas pada kelompok At Risk Remaja

Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok At Risk remaja baik masalah bio, psiko, sosial dan spiritual membutuhkan tindakan nyata perawat dalam berbagai bentuk untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa peran perawat yang dapat dilakukan yaitu perawat dapat berperan sebagai: case finder, health educator, counselor, direct care provider, population health advocate, community assessor and developer, case manager, advocate, health program planner, participant in developing health policies (Stanhope& Lancaster, 2004).

Perawat berperan sebagai case finder antara lain menemukan kasus-kasus masalah kesehatan reproduksi melalui pelaksanaan kegiatan screening dan melakukan rujukan ke pelayanan kesehatan jika diperlukan. Perawat melakukan perannya sebagai health educator saat perawat melakukan pendidikan kesehatan tentang masalah kesehatan reproduksi remaja kepada remaja, keluarga ataupun masyarakat. Peran perawat dalam memberikan informasi dapat sebagai sumber

support bagi remaja, keluarga ataupun masyarakat yang mengalami masalah kesehatan reproduksi remaja.

Peran sebagai counselor dilakukan perawat ketika memberikan konseling kepada remaja dan keluarga yang mengutarakan permasalahan terkait masalah kesehatan reproduksi remaja yang dihadapinya. Konseling, yang dilakukan kepada remaja dan keluarga bertujuan untuk membantu remaja dan keluarga agar mampu memutuskan masalah kesehatan reproduksi yang dihadapinya. Pada saat konseling, perawat juga membantu memberikan beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil untuk mengatasi masalahnya.

Peran direct care provider oleh perawat dilakukan dengan memberikan langsung tindakan keperawatan. Hal tersebut dilakukan oleh perawat jika saat berinteraksi dengan remaja ataupun saat perawat melakukan kunjungan keluarga, perawat menemukan masalah kesehatan khusus yang harus ditangani segera saat itu. Peran sebagai population health advocate atau advokat kesehatan bagi populasi adalah peran perawat dalam memberikan advokasi kepada keluarga/kelompok antara lain

(40)

terkait masalah-masalah kesehatan reproduksi remaja yang mengakibatkan disparitas dalam mendapatkan pelayanan kesehatan seperti masalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

Peran sebagai community assessor and developer adalah peran dimana perawat harus dapat mengkaji kebutuhan komunitas dan mengambangkan program di komunitas. Program yang disusun dapat meliputi program terkait pencegahan primer, sekunder, maupun tersier.

Peran sebagai case manager dilakukan perawat ketika menangani kasus kesehatan yang timbul sebagai efek masalah kesehatan reproduksi remaja. Masalah kesehatan dapat termasuk masalah kesehatan fisik maupun psikologis. Peran ini dilaksanakan perawat dengan mengatur sedemikian rupa sehingga semua permasalahan terkait pemenuhan kebutuhan fisik maupun psikologis remaja dan keluarga dengan masalah kesehatan reproduksi remaja terpenuhi.

Peran sebagai health program planner dilakukan perawat dengan berperan serta dalam menentukan program yang akan diterapkan untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan reproduksi pada kelompok remaja. Peran sebagai

participant in developing health policies dilakukan perawat ketika perawat harus menetapkan kebijakan terkait kesehatan di level pimpinan. Perawat dapat berpartisipasi dalam menyumbangkan pikiran dan idenya dalam membuat kebijakan terkait penanganan remaja berisiko, atau remaja dengan permasalahan tertentu.

(41)

2.5Model Intervensi Keperawatan Komunitas Pada Aggregate Remaja dengan Tumbuh Kembang Kesehatan Reproduksi

2.5.1 Comprehensive School Health Model (CSHM)

Gambar 1. Comprehensive School Health Model (Stanhope &Lancaster, 2004)

Praktik asuhan keperawatan pada aggregate remaja dengan setting sekolah memandang bahwa semua unsur atau komponen yang ada disekolah memiliki pengaruh terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja. Upaya promosi kesehatan berbasis sekolah dilakukan secara komprehensif dengan menerapkan

Comprehensive School Health Model (CSHM) yang terdiri dari 8 (delapan) komponen yaitu Pendidikan Kesehatan di Sekolah, Pelayanan Kesehatan di Sekolah, Kesehatan Lingkungan Sekolah sehat, Latihan Fisik/Olahraga, Layanan Makanan dan Gizi Sekolah, Bimbingan dan Konseling, Promosi Kesehatan bagi staff, dan Kemitraan Sekolah dengan Orangtua dan Masyarakat.

Aggregate Remaja di sekolah Pelayanan Kesehatan Layan an Gizi Bimbingan Konseling Lingkungan Sekolah Sehat PromKes bagi staff Peran Serta ortu&masy mayarakat Pendidikan Kesehatan Sekolah komprehe Latihan Fisik/olah raga

(42)

Pendidikan kesehatan terhadap upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi bertujuan agar setiap siswa MTs Nurul Huda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat digunakan dalam membuat keputusan dan praktik kesehatan yang tepat terkait dengan masalah kesehatan reproduksinya..

Kegiatan pendidikan jasmani menjadi salahsatu mata ajar di dalam kurikulum pembelajaran MTs Nurul Huda dengan jumlah jam pelajaran yaitu 2 jam/minggu. Hal ini dirasakan kurang berdampak dalam meningkatkan stamina dan kebugaran siswa. Pelayanan kesehatan terhadap pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan tentang masalah kesehatan reproduksi remaja di MTs Nurul Huda belum berjalan karena sekolah belum memiliki sarana prasarana dan tenaga terlatih untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan di sekolah.

Nutrisi memainkan peranan penting dalam kemampuan siswa untuk belajar. Para siswa membutuhkan dukungan dari nutrisi yang komprehensif, tetpi sekolah belum memiliki program layanan gizi. Program konseling di sekolah dilakukan sebagai media siswa untuk berkonsultasi berbagai macam permasalahan kesehatan remaja khususnya masalah kesehatan reproduksi remaja. Konseling dilakukan di ruang konseling dan diberikan oleh guru konselor dan konselor sebaya yang telah dilatih.

Program promosi kesehatan bagi semua masyarakat sekolah (guru, staf TU, penjaga sekolah) belum berjalan. Seorang siswa siap untuk belajar dan menjadi sehat ketika semua orang, keluarga mereka, sekolah dan masyarakat bekerja sama untuk mendukung pertumbuhan mereka. CSHM mendorong kemitraan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mengaktifkan semua kesehatan dan pendidikan sumber daya yang mungkin.

(43)

2.5.2 Teori manajemen pelayanan keperawatan komunitas pada aggregate remaja

Menurut Gillies (2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006) fungsi manajemen terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengawasan (controlling). Fungsi utama dari seluruh aktifitas manajemen adalah perencanaan. Pada perencanaan dilakukan beberapa aktifitas seperti analisis, pengkajian suatu sistem, penyusunan tujuan jangka panjang (strategi) dan jangka pendek (operasional) serta memprioritaskan kegiatan dan menentukan kegiatan alternatif (Gillies, 2000; Swansburg, 1999). Empat elemen perencanaan strategis dalam proses manajemen pelayanan yaitu 1) adanya pernyataan misi organisasi yang jelas; 2) identifikasi agensi di luar organisasi atau steakholders dan menentukan tujuan serta aktivitas dari organisasi; 3) menyusun tujuan strategis secara umum dan khusus dalam perencanaan 3-5 tahun; serta 4) pengembagan strategis untuk pencapaian tujuan (Berry, 1994; dalam Marquis & Huston, 2000).

Fungsi pengorganisasian dilakukan melalui pembagian aktivitas-aktivitas kerja, penentuan tanggung jawab dan wewenang, dan pembuatan hubungan kerja dalam mencapai tujuan bersama. Penyusunan struktur organisasi digunakan agar komunikasi di dalam suatu organisasi menjadi lebih efektif (Gillies, 2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006). Pengorganisasian dapat dilihat dari struktur kerja suatu organisasi (Marquis & Huston, 2000). Adapun karakteristik

dari pembagian struktur kerja dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut 1) adanya pembagian ketenagaan yang jelas, dengan menempatkan seseorang

kedalam suatu unit yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya; 2) Jalur

birokrasi dari atas dan ke bawah dan jenjang karir atau jabatan jelas terlihat ; 3) adanya uraian tugas dan fungsi masing-masing dari setiap bagian yang ada

dalam suatu organisasi; 4) adanya prosedur atau aturan dalam bekerja.

Fungsi pengarahan lebih menekankan pada kemampuan seorang manajer dalam mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati yang meliputi proses pendelegasian, pengawasan, koordinasi dan

(44)

pengendalian implementasi rencana organisasi (Gillies, 2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006). Pengarahan dapat dilakukan pula dengan memberikan motivasi melalui komunikasi yang baik dalam suatu organisasi, sehingga pengarahan dalam pendelegasian tugas akan berjalan baik dan mencegah terjadinya konflik dalam suatu organisasi (Marquis & Huston, 2000)

Fungsi pengawasan dilakukan sebagai suatu proses untuk mengevaluasi sejauhmana implementasi rencana kegiatan yang telah dilakukan, pemberian masukan atau feedback, pembuatan standar, melakukan penilaian dengan membandingkan kinerja terhadap standar yang dibuat dan memperbaiki kekurangan. Tujuan dari fungsi pengawasan adalah mengefektifkan tugas staf dan mengefesienkan penggunaan sumber daya. Pengawasan dilakukan melalui kegiatan kontrol organisasi dengan menentukan kriteria standar evaluasi, menginformasikan setiap penyusunan standar kerja organisasi; dan melakukan kegiatan monitor dan evaluasi dari setiap pencapaian standar yang ditentukan (Marquis & Huston, 2000).

2.5.3 Family Centered Nursing Model

Family centered nursing model (FCNM) menjadikan praktik keluarga sebagai pusat keperawatan yang memandang keluarga sebagai unit dasar untuk perawatan individu dari anggota keluarga dan dari unit yang lebih luas (Friedman, Jones & Bowden, 2003). Keluarga merupakan suatu unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat, yang menggambarkan adanya perbedaan budaya, rasial, etnik, dan sosioekonomi. Penerapan FCNM juga mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya saat perawat melakukan pengkajian dan perencanaan, implementasi, dan evaluasi perawatan pada anak dan keluarga (Hitchcock, Schubert, Thomas, 1999).

FCNM mengkaji bagaimana pola dan proses komunikasi, struktur kekuatan, struktur peran, struktur nilai, fungsi keluarga serta strategi koping dan kemampuan keluarga beradaptasi terhadap perkembangan remaja dan masalah kesehatan reproduksi remaja. Pada hasil penelitian Gusmiarni (2000) didapatkan

Gambar

Gambar 1. Comprehensive School Health Model (Stanhope &Lancaster, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Data dalam penelitian ini adalah data primer yang meliputi karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota keluarga, pendidikan,

- Nama dan alamat kepala rumah tangga, jumlah keluarga, dan jumlah anggota rumah tangga, dan hubungan denga kepala rumah tangga , - Jenis kelamin, umur, status

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman, luas lahan, dan kepemilikan

Dimana penelitian ini melihat apakah faktor jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, harga daging kuda, barang subsitusi,

pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (Purposive sampling).Hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin, jenjang pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga sangat berhubungan

Hubungan Pendidikan Pengelolaan Keuangan Keluarga, Kebiasaan Pengeluaran dan Jenis Kelamin dengan Literasi Finansial Mahasiswa Pendidikan Ekonomi IKIP PGRI

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan variabel jenis kelamin, umur, status dalam keluarga, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dan pekerjaan

Hasil uji simultan, menunjukkan bahwa variabel independen yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pendapatan berpengaruh terhadap WTP kesediaan