BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU 1. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi
terjadi diluar rongga uterus, tuba falopi merupakan tempat
tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi dituba, jarang terjadi
implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri,
tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus.
(Sarwono Prawiroharjo, 2005)
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan
hasil konsepsi diluar endometrium kavum uteri. (Kapita Selekta
Kedokteran, 2001)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi
terjadi diluar rongga uterus. (Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatus, 2001)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur
yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium
kavum uteri. Kehamilan ekstra uterin tidak sinonim dengan
dan kanalis servikalis termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat
ektopik. (Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga, 1992)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat
implantasi/nidasi/melekatnya buah kehamilan diluar tempat yang
muncul, yakni diluar rongga rahim. Sedangkan yang disebut
sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan
ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding uterus.
2. Klasifikasi
Menurut Prawirohardjo (2005), macam macam kehamilan
ektopik berdasarkan lokasinya antara lain :
a. Kehamilan Ektopik Tuba
Pars interstisialis, isthmus, ampulla, infundibulum, fimbria.
b. Kehamilan Ektopik Uterus
Kanalis servikal, diverkulum, kornu, tanduk rudimenter.
c. Kehamilan Ovarium.
d. Kehamilan Ektopik Intraligamenter
e. Kehamilan Abdominal
f. Kombinasi Kehamilan dalam & luar Uterus
Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah
dituba, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan
ovum yang tidak dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan
a)Adanya sikatrik pada tuba
b)Gangguan kelainan bawaan pada tuba
c)Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal
3. Anatomi Fisiologi dan Anatomi
a. anatomi
.
Gambar 2. 1 organ sistem reproduksi internal wanita (Wiknjosastro,
(1999).
b. Fisiologi
Manusia baru mulai terbentuk ketika sebuah sel sperma
dari sekian juta yang keluar waktu bersenggama berhasil
membuahi sel telur (ovum). Dari berjuta-juta sel sperma yang
masuk pada ujung atas vagina, hanya beberapa ribu saja yang
itu hanya beberapa ratus yang mampu mencapai saluran telur
melalui bagian tanduk (cornu) rahim. Manusia baru sebenarnya
mulai tersusun ketika kromosom-kromosom dari sel sperma dan
sel telur itu bergabung menjadi satu. Dengan dikendalikan oleh
gen, sel kemudian membelah diri sampai terbentuk manusia baru,
seperti yang telah diuraikan di depan (Jones, 2005).
Waktu persetubuhan, cairan semen tumpah kedalam vagina
dan berjuta-juta sel mani bergerak memasuki rongga rahim lalu
masuk kesaluran telur, pembuhan sel telur oleh sperma biasanya
terjadi di bagian yang menggelumbung dari tuba falopii. Di
sekitar sel telur banyak berkumpul sperma yang banyak
mengeluarkan ragi untuk melindungi zat-zat yang melindungi
ovum, kemudian masuklah satu sel mani dan bersatu dengan sel
telur. Peristiwa ini yang disebut pembuahan (Mochtar, 1998).
Pembuahan adalah proses penyatuan gamet pria dan
wanita., terjadi di ampulla tuba falopi. Spermatozoa bergerak
dengan cepat kedalam saluran telur. Pergerakan naik ini
disebabkan oleh kontraksi otot-otot uterus didalam tuba.
Spermatozoa dapat bertahan hidup didalam saluaran reproduksi
wanita selam kira-kira 24 jam (Sadler 1997).
Ovum yang telah dibuahi ini segera membelah diri sambil
bergerak oleh rambut getar tuba menuju ruang rahim, kemudian
rahim, peristwa ini disebut nidasi (implantasi). Dari pembuahan
sampai nidasi diperlukan waktu kira-kira enam sampai tujuh hari.
Untuk menyuplai darah dan zat-zat makanan bagi mudigah dan
janin, dipersiapkan uri atau plasenta hasil dari nidasi ini adalah
blastula. Jaringan endometrium ini banyak mengandung sel-sel
desidua. Blastula ini akan masuk kedalam desidua. Bila nidasi
telah terjadi dimulailah diferensiasi sel-sel blastula
(Mochtar,1998).
Wanita memiliki sifat kewanitaannya, karena setiap sel
dalam tubuhnya memiliki 44 otosom dan dua kromosom X,
kecuali sel telurnya. Sifat kewanitaan itu di perkuat oleh tidak
adanya kromosom Y dalam sel-sel tubuh. Karena tidak memiliki
kromosom Y, maka alat kelamin akan berkembang sebagaimana
mestinya. Juga didapat bukti-bukti, dengan tidak adanya
kromosom Y membuat seorang wanita memiliki jiwa yang
feminin(Jones,2005).
Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari
korpus luteum graviditatis dan trofoblas, uterus menjadai besar
dan lembek; endometrium dapat berubah pula menjadi desidua.
Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium
yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan
intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tak
kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya
ditemukan pada sebagian kehamilan etopik. Setelah janin mati,
desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan
secara utuh. Perdarahan yang dijumpai pada kehamilan ektopik
terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan
desidua yang degrenatif (Wiknjosastro, 2007).
4. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak
diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui.
Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya menjelaskan beberapa
faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan ektopik
terganggu, yaitu:
a. Faktor Mekanis
Hal hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum
yang dibuahi kedalam kavum uteri, antara lain :
1) Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan
aglutinasi silia mukosa tuba dengan penyempitan saluran
atau pembentuk kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia
mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan
2) Adhesi Pertubal setelah infeksi paska aborsi / infeksi paska
nifas, apenditis, atau endometriasis, yang mengakibatkan
tertekuknya tuba atau penyempitan lumen.
3) Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium
asoserium dan hipoplasi.
4) Bekas operasi tuba, memperbaiki fungsi tuba atau
terkadang kegagalan usaha untuk memperbaiki potensi tuba
pada sterilisasi.
5) Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan
adanya benjolan adneksia.
6) Penggunaan IUD
b. Faktor Fungsional
1) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan
duktus mulleri yang abnormal.
2) Refluk menstruasi
3) Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon
estrogen dan progesteron.
c. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum
yang dibuahi.
d. Hal lain seperti : riwayat KET dan abortus induksi
5. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu
tergantung pada lokasinya. Tanda dan gejalanya sangat
bervariasi tergantung pada ruptur atau tidaknya kehamilan
tersebut. Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium
antara lain :
a. Amenore
b. Gejala kehamilan muda
c. Nyeri perut bagian bawah pada ruptur tuba nyeri terjadi
tiba-tiba danhebat, menyebabkan penderita pingsan sampai
shock. Pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi,
menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai diafragma bisa
menyebabkan nyeri bahu dan bila terjadi hematokel retrouterina
terdapat nyeri defekasi.
d. Perdarahan pervagina bewarna coklat
e. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks
digerakkan, nyeri pada perabaan dan kavum douglasi
menonjol karena ada bekuan darah
Gejala lain antara lain :
a. Syock Hipovolemia
b. Nyeri bahu dan leher
c. Nyeri pada palpasi : perut penderita biasanya tegang dan
agak kembung.
d. Nyeri pada toucher
e. Pembesaran Uterus
f. Tumor dalam rongga panggul
g. Gangguan berkemih
h. Perubahan darah
6. Patofisiologi
Pada kehamilan normal, proses pembuahan (pertemuan sel
telur dengan sperma) terjadi pada tuba, kemudian sel telur
yang telah dibuahi digerakkan dan berimplantasi pada
endometrium rongga rahim. Kehamilan ektopik yang dapat
disebabkan antara lain faktor di dalam tuba dan luar tuba,
sehingga hasil pembuahan terhambat atau tidak bisa masuk ke
rongga rahim, sehingga sel telur yang telah dibuahi tumbuh dan
berimplantasi (menempel) di beberapa tempat pada organ
reproduksi wanita selain rongga rahim, antara lain di tuba falopii
(saluran telur), kanalis servikalis (leher rahim), ovarium (indung
telur), dan rongga perut. Yang terbanyak terjadi di tuba falopii
Gambar 2.2 : Pathways Keperawatan
Sumber : Doengoes (2001), Mochtar (1998), Wiknjosastro (1999), Bobak )2000) 7. Pathways
Faktor Tuba Faktor Ovarium
Faktor Uterus ovarium dextra
Insisi abdomen Fisiologi post
operasi nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Kelemahan fisik
Nyeri akut Serabut saraf
8. Komplikasi
Komplikasi dari kehamilan ektopik antara lain :
a. Pada pengobatan konservatif, yaitu jika ruptur tuba telah
lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang
(recurrent bledding). Ini merupakan indikasi operasi.
b. Infeksi
c. Sub-ileus karena massa pelvis
d. Sterlitas
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : kadar hemoglobin, leukosit, tes
kehamilan bila baru terganggu.
b. Dilatasi kuretase
c. Kuldosentesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk
mengetahui apakah didalam kavum Douglasi terdapat darah.
Teknik Kuldosentesis:
a) Baringkan pasien dalam posisi litotomi
b) Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptik
c) Pasang speculum dan jepit bibir belakang porsio
dengan cunam serviks, lakukan traksi kedepan
d) Suntikkan jarum spinal no.18 kekavum Douglasi
dan lakukan pengisapan dengan spuit 10ml.
e) Bila pada pengisapan keluar darah, perhatikan
apakah darahnya berwarna coklat sampai hitam
yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang
merupakan tanda hematokel retrouterina.
d. Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan
kantong gestasi diluar uterus
e. Laparoskopi atau laparatomi sebagai pendekatan diagnosa
terakhir. ( Kapita Selekta Kedokteran,2001 )
10. Penanganan Tindakan Bedah Pada Kasus Kehamilan Ektopik
Dalam menangani kasus kehamilan ektopik, beberapa hal
harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita
pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ pelvis,
kemampuan teknik bedah dokter operator, dan kemampuan
teknologi fertilisasiinvitro setempat. Hasil pertimbangan ini
menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif
dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis
Salpingektomi dapat dilakukan dalam beberapa kondisi
yaitu:
a. Kondisi penderita buruk, misal dalam keadaan syok.
b. Kondisi tuba buruk, terdapat jaringan parut yang tinggi
resikonya akan kehamilan ektopik berulang.
c. Penderita menyadari kondisi fertilitasnya dan menginginkan
fertilisasi invitro, maka dalam hal ini salpingektomi
mengurangi resiko kehamilan ektopik pada prosedur
fertilisasi invitro.
d. Penderita tidak ingin punya anak lagi.
Apabila tindakan konservatif dipikirkan, maka harus
dipertimbangkan:
a. Kondisi tuba yang mengalami kehamilan ektopik, yaitu
berapa panjang bagian yang rusak dan berapa panjang bagian
yang masih sehat, berapa luas mesosalping yang rusak, dan
berapa luas pembuluh darah tuba yang rusak.
b. Kemampuan operator akan teknik bedah mikro dan
kelengkapan alatnya, oleh karena itu pelaksanan teknik
pembedahan harus sama seperti penatalaksanaan bedah
mikro.
1. Setelah peritoneum dibuka dan tuba yang sakit telah
diidentifikasi, maka tuba dipegang dengan ibu jari dan jari
telunjuk, kemudian diangkat keatas agar pembuluh-pembuluh
darah tuba didaerah mesosalping menjadi jelas.
2. Mesosalping dijepit dengan 2 buah klem Kelly mulai dari arah
bagian fimbria tuba, sedekat mungkin dengan tuba, untuk
menghindari perusakan pembuluh darah yang ke ovarium.
3. Mesosalping di antara kedua klem Kelly digunting atau
disayat dengan pisau. Klem pertama disisi tuba dibiarkan
tetap menjepit untuk mencegah pendarahan balik dan
mempermudah mengangkat tuba. Jaringan disisi klem kedua
diikat dengan jahitan cat-gut kromik.
4. Prosedur tersebut diulangi menyusuri tuba sampai di daerah
tuba memasuki kornu uterus.
5. Operator mengangkat tuba sedemikian rupa sehingga insersi
tuba di daerah kornu uterus tampak jelas. Dilakukan jahitan
matras ke dalam otot uterus di bawah insersi tuba. Jahitan ini
dibiarkan lepas, tidak diikat dulu.
6. Tuba dipotong didaerah insersinya dalam sayatan baji.
Jahitan matras diikat dan pendarahan akan berhenti.
7. Tunggul-tunggul ikatan pada mesosalping dibenamkan dalam
lipatan peritoneum dengan menggunakan jahitan satu persatu
8. Ligamentum rotundum didekatkan ke kornu dan dijahitkan ke
dinding belakang uterus, sehingga menutupi daerah luka
operasi tuba.
9. Keuntungan reseksi tuba di daerah kornu ialah mengurangi
sisa tuba, sehingga mencegah kemungkinan kehamilan di
daerah itu. Kerugiannya ialah menimbulkan titik lemah di
uterus yang dapat menjadi faktor predisposisi ruptur uteri
pada kehamilan berikutnya. (Ilmu Bedah Kebidanan, 1989)
11.Diagnosa dan intervensi keperawatan
Menurut Nanda (2012), diagnosa keperawatan yang muncul
pada klien kehamilan ektopik antara lain :
a. Nyeri akut berhubunganagen injury fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam diharapkan nyeri dapat
terkontrol.
Kriteria hasil :
NOC
1) Skala nyeri berkurang
2) Wajah tampak rileks
3) Tidak menunjukan nyeri baik verbal dan non verbal
NIC :
Pain Management :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien.
4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan.
5) Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6) Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
7) Tingkatkan istirahat.
8) Kolaborasi pemberian anagetik untuk mengurangi
nyeri.
b. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan
dengan keterbatasan kognitif.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 x 30 menit diharapkan pengetahuan
Kriteria hasil :
NOC
1) Familier dengan nama penyakit
2) Mendeskripsikan pengertian penyakit
3) Mendeskripsikan faktor penyebab
4) Mendeskripsikan tanda dan gejala
5) Mendeskripsikan faktor resiko
6) Mendeskripsikan komplikasi penyakit
7) Mendeskripsikan tindakan pencegahan untuk mencegah
komplikasi
NIC
Teaching : Disease process
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik
2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi
3) Gambarkan tanda & gejala yang biasa muncul pada
penyakit
4) Identifikasi kemungkinan penyebab dari penyakit
5) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan
6) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi atau proses
pengontrolan penyakit.
7) Kuatkan informasi yang disediakan oleh anggota tim
kesehatan lain dengn cara yang tepat
c. Defisit Perawatan Diri : Mandi/kebersihan diri, makan,
toileting b.d kelemahan fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2 x 24 jam diharapkan klien dapat melakukan
perawatan diri.
Kriteria hasil :
NOC
Klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri
meliputi makan, berpakaian, ambulasi, toileting, dsb.
NIC
Self Care Asisstance:ADL
1) Pantau kemampuan klien untuk melakukan
perawatan diri secara mandiri
2) Pantau kebutuhan klien untuk penggunaan penyesuain
alat untuk personal hygiene
4) Bantu klien untuk mandiri dan berikan bantuan seminimal
mungkin
5) Menentukan aktifitas perawatan diri yang sesuai
B. NYERI
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan
kerusakan jaringan (IASP (International Association for the
Study of Pain, 1979)).
Nyeri adalah Suatu sensori yang tidak menyenangkan dari
satu pengalaman emosional yang disertai kerusakan jaringan
secara aktual/potensial. (Medical Surgical Nursing ).
Nyeri akut adalah pengalaman emosional dan sensori yang
tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan serangan
mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat yang
dapat diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan
2. Etiologi
a. Agen cedera fisik adalah penyebab nyeri karena trauma fisik.
b. Agen cedera biologi adalah penyebab nyeri karena
kerusakan fungsi organ atau jaringan tubuh
c. Agen cedera psikologi adalah penyebab nyeri yang bersifat
psikologi seperti kelainan organik neurosis trumatik,
skizofreniad.
d. Agen cedera kimia adalah penyebab nyeri karena bahan zat
kimia
Tidak hanya satu stimulus yang menghasilkan suatu yang
spesifik dari nyeri, tetapi nyeri memiliki suatu etiologi
multimodal. Nyeri biasanya dihubungkan dengan beberapa
proses patologis spesifik. Kelainan yang mengakibatkan rasa
nyeri, mencangkup : infeksi, keadaan inflamasi, trauma, kelainan
degenerative, keadaan toksik metabolik atau neoplasma. Nyeri
dapat juga timbul karena distorsi mekanis ujung-ujung saraf
3. Patofisiologi
Konduks impuls noriseptif pada prinsipnya ada 2 tahap
yaitu:
a. Melalui system noriseptif
Reseptor di perifer → lewat serabut aferen, masuk medulla
spinalis → kebatang otak oleh mesenfolan/midbrain
b. Melalui tingkat pusat
Impuls noriseptif mesenfalon ke korteks serebri di korteks
asosiasinya → sensasi nyeri dapat dikenal karakteristiknya.
Impuls – impuls nyeri disalurkan ke sumsum tulang
belakang oleh 2 jenis serabut bermeielin rapat A delta dan C dari
syaraf → kespinal dan sel raat dan sel horn → SG melepas P
(penyalur utama impuls nyeri) → Impuls nyeri menyeberangi
sumsum belakang pada interneuron – interneuron bersambung
dengan jalur spinalis asenden. Paling sedikit ada 6 jalur ascenden
untuk impuls-impuls nosireseptor yang letak pada belahan
vencral dari sumsum belakang yang paling u t a m a : S S T
(s p i n a t a h a m i c t r a c t = j a l u r s p i n a r e t i c u l e r) →
impuls-impuls ke batang otak dan sebagian ke thalamus
mengaktifkan respon automik dan limbik (pada kulit otak ) →
4. Manifestasi klinis
a. Klien melaporkan nyeri secara verbal atau non verbal
b. Tingkat laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas panjang, mengeluh)
c. Menunjukan kerusakan pada bagian tubuhnya
d. Posisi untuk mengurangi nyeri
e. Ada gerakan untuk melindungi
f. Tingkah laku berhati – hati
g. Fokus pada diri sendiri dan penurunan interaksi dengan
lingkungan
h. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
5. Klasifikasi
a. Berdasarkan lokasi/letak
1) Cutaneus/superficial
Nyeri yang mengenai kulit /jaringan subkutan.
Contoh : terkena ujung pisau/gunting, jarum suntik
2) Deep somatic/nyeri dalam
Nyeri yang muncul dari ligamen, pembuluh darah tendon,
Contoh : sensasi pukul, sensasi terbakar misalnya ulkus
lambung.
3) Nyeri alih
Merupakan fenomena umum dalam nyeri visceral karena
banyak organ tidak memiliki reseptor.
Contoh : infark miokard yang menyebabkan nyeri alih ke
rahang, lengan kiri dan bahu kiri, batu empedu yang dapat
mengalihkan nyeri ke selangkangan.
4) Radiasi
Sensasi yang meluas dan tempat cedera ke bagian tubuh
yang lain.
Contoh : nyeri punggung bagian bawah akibat diskuc
intravetebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi.
b. Berdasarkan penyebabnya
1) Fisik : bisa terjadi karena stimulus fisik (contoh : fraktur
femur)
2) Psycogenic
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi,
Contoh : orang yang marah, tiba-tiba merasa nyeri didadanya.
c. Berdasarkan lama/durasinya
Menurut Smeltzer (2001), nyeri diklasifikasikan
berdasarkan durasinya yaitu :
1) Nyeri akut
Merupakan kumpulan pengalaman yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan sensori, persepsi dan
emosi serta berkaitan dengan respon autonomi psikologi dan
perilaku.
Contoh : actual nyeri akut adalah nyeri pasca bedah, nyeri
akibat prosedur pengobatan atau trauma dan nyeri oleh karena
adanya penyakit yang bersifat actual.
2) Nyeri kronik
Situasi atau keadaan pengalaman nyeri yang menetap atau
kontinyu selama beberapa bulan atau tahun setalah fase
d. Berdasarkan intensitasnya (Alat Pengukur Nyeri)
Terdiri dari nyeri berat, sedang, ringan. Masing – masing
diukur berdasarkan skala dan bersifat subyektif.
Macam-macam skala pengukur nyeri :
1) Anak-anak
Gambar 2.3 : Alat pengukur skala nyeri untuk anak-anak.
2) Dewasa
a) Skala intensitas nyeri deskritif
b) Skala identitas nyeri numerik
Gambar 2.5 : Skala Nyeri Numerik
c) Skala analog visual
Gambar 2.6 : Skala Analog Visual
d) Skala nyeri menurut bourbanis
Gambar 2.7 : Skala Nyeri Bourbanis
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi
4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Kultur
d. Ansietas
e. Efek placebo
f. Pengalaman masa lalu
g. Pola koping
h. Support keluarga dan social
7. Pathways
Gambar 2.8 : Pathways Nyeri
Sumber : NANDA (2011) Trauma
Neoplasma peradangan
Nyeri Gangguan
sirkulasi dan kelainan darah
Trauma psikologis
8. Penatalaksanaan
a) Manajemen nyeri non farmakologi
Pendekatan non farmakolog biasanya menggunakan terapi
perilaku (hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi,
akupuntur, terapi kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi,
imajinasi dan terapi fisik. Nyeri bukan hanya unik karena sangat
berbeda satu dengan yang lainnya mengingat sifatnya yang
individual, termasuk dalam penanganannya pun kita seringkali
menemukan keunikan tersebut, baik itu yang memang dapat kita
terima dengan kajian logika maupun yang sama sekali tidak bisa
kita nalar walaupun kita telah berusaha memaksakan untuk
menalarkannya.
Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa kadang-kadang,
nyeri itu dapat diselesaikan tanpa dengan medikasi sama sekali,
berikut ini adalah faktor-faktor yang mungkin dapat
menerangkan mengapa nyeri tidak mendapatkan medikasi sama
sekali.:
(1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan staf medis
Petugas kesehatan (dokter, perawat, dsb) seringkali
cenderung berpikiran bahwa pasien seharusnya dapat menahan
terlebih dahulu nyerinya selama yang mereka bisa, sebelum
meminta obat atau penangannya, hal ini mungkin dapat
nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi
secara komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri
sedang atau bahkan nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini
dapat terus dibiarkan tanpa penanganan? Apakah ketakutan untuk
terjadinya adiksi apabila mendapatkan analgetik dapat
menyelesaikan masalah/
(2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
Pasien adalah manusia yang mempunyai kemampuan
adaptif, yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial,
kultural dan spiritual
(3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan system
Sebagian pasien di rumah sakit adalah pasien dengan
asuransi, yang telah mempunyai standart tertentu di dalam paket
pelayanan mereka, terkadang pasien membutuhkan obat yang
tidak termasuk dalam paket yang telah ditentukan, sehingga ia
harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu, ceritanya menjadi lain
ketika ia tidak mempunyai dana ekstra yang dibutuhkan.
b) Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik
Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk
menangani rasa nyeri;
1) Analgetika golongan non narkotika
2) Analgetika golongan narkotika
c) Prosedur invasive
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan
memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid
melalui intraspinal, cara ini dapat memberikan efek analgesik
yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain
adalah blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan
(rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi columna
dorsalis.
9. Diagnosa Keperawatan Nyeri yang Muncul
Menurut Nanda (2012), diagnosa keperawatan yang muncul
pada klien post Salpingektomi Ovarium Dekstra antara lain :
a. Nyeri Akut
1) Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa (International Association for
the study of Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
2) Batasan Karakteristik :
a) Perubahan selera makan
c) Perubahan frekuensi jantung
d) Perubahan frekuensi pernapasan
e) Laporan isyarat
f) Diaforesis
g) Perilaku distraksi (mis : berjalan mondar mandir,
mencari orang lain dan/aktivitas lain/aktivitas berulang)
h) Mengekspresikan perilku (mis : gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
i) Masker wajah (mis : mata kurang bercahaya, gerakan
mata berpancar atau tetap paa satu fokus)
j) Perilaku berjaga-jaga/melindungi area nyeri
k) Fokus menyempit (mis : gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
l) Indikasi nyeri yang dapat diamati
m) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
n) Sikap tubuh melindungi
o) Diatasi pupil
p) Fokus pada diri sendiri
q) Gangguan tidur
3) Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis : fisik, biologis, zat kimia, psikologi)
a) Kontrol nyeri
b) Mengenali faktor penyebab
c) Mengenali lamanya obat
d) Menggunakan metode pencegahan
e) Menggunakan metode pencegahan non analgetik sesuai
kebutuhan
f) Mencari bantuan tenaga kesehatan
g) Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan
h) Menggunakan sumber-sumber yang tersedia
i) Mengenali gejala-gejala nyeri
j) Mencatat pengalaman tentang nyeri sebelumnya
k) Melaporkan nyeri yang sudah terkontrol
4) Keterangan penilaian NOC
a) Tidak dilakukan sama sekali
b) Jarang dilakukan
c) Kadang dilakukan
d) Sering dilakukan
5) NIC
a) Pain management
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan fakor presipitasi
(2) Observasi reaksi non verbal dan ketidaknyaman
(3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien
(4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
(5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
(6) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
(7) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisinagan.
(8) Kurangi faktor presipitasi nyeri
(9) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
farmakologi, dan interpersonal)
(10)Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
(11)Ajarkan tentang teknik non farmakologi
(12)Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
(13)Tingkatkan istirahat
(14)Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
(15)Monitor penerima pasien tentang manajement nyeri
b) Analgesic administration
(1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pembelian obat
(2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat
(3) Cek riwayat alergi
(4) Pilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi dan
analgesic ketika pemberian lebih dari satu
(5) Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian dan dosis
optimal
(6) Pilih rute pemberian secara IV, IM, untuk pengobatan
nyeri
(7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali
(8) Berikan analgesic tepat waktu terutama pada waktu nyeri
hebat
(9) Evaluasi aktivitas analgesic tanda dan gejala (efek
b. Nyeri Kronis
1) Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan
aktual dan potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
sedemikian rupa (International Association for the study of
Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
2) Batasan Karakteristik
a) Gangguan kemampuan untuk meneruskan aktifitas
sebelumnya
b) Anoreksia
c) Atrofi kelompok otot yang terserang
d) Perubahan pola tidur
e) Isyarat laporan
f) Depresi
g) Masker wajah (mis : mata kurang bercahaya, tampak
kacau, mata berpencar, atau tetap, meringis)
h) Letih
i) Takut terjadi cedera berulang
j) Perilaku melindungi/menjaga area nyeri
k) Iritabilitas
m) Penurunan interaksi dengan orang lain
n) Gelisah
o) Berfokus pada diri sendiri
p) Respons yang diperantarai saraf simpatik (mis : suhu,
dingin, perubahan posisi tubuh, hipersensitifitas)
q) Keluhan nyeri
3) Faktor yang berhubungan
a) Ketunadayaan fisik kronis