• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Bismillaahirrahmaanirraahiim

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi

2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini

3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan

pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah

4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!!

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

(2)

NIKAH DI UNISBA

SKRIPSI

Disusun Dalam Rangka Melengkapi Salah Satu Persyaratan Menempuh Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung

Disusun Oleh : Nama : Feri Indriyati

NPM : 10050005030

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI

BANDUNG 2014

(3)
(4)

“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” QS. Thahaa [20] : 25-26

“Karena sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

(5)

Kupersembahkan skripsi ini untuk mama dan papa tercinta yang

selalu mendoakanku secara diam-diam tanpa diminta dan

bersedia menarik tanganku, memapah serta menopangku tatkala

aku terjatuh saat salah mengambil langkah,

~

~

~

(6)

Page | i Regulation Pada Mahasiswa Yang Telah Melakukan Hubungan Seks Pra-Nikah Di Unisba.

UNISBA adalah salah perguruan tinggi di Bandung yang bernuansa Islam memiliki tujuan pendidikan mewujudkan 3M, yaitu mewujudkan mujahid (pejuang), mujtahid (peneliti), dan mujaddid (pembaharu) dalam suatu masyarakat ilmiah yang Islami, maka dalam proses pembelajaran banyak dimuati pendidikan ke-Islaman yang wajib diikuti yaitu Pendidikan Agama Islam setiap semester, mentoring Agama Islam, pesantren mahasiswa dan sarjana. Pendidikan ke-Islaman tersebut ditujukan untuk memberi bekal mahasiswa agar segala sesuatunya tidak menyimpang dari agama, salah satunya di dalam Islam mengatur bagaimana cara mengenal lawan jenis, yaitu melalui ta’aruf. Walaupun mahasiswa telah dibekali Pendidikan Agama Islam dalam perkuliahannya namun masih banyak perilaku yang tidak sesuai dengan visi-misi UNISBA. Terdapat mahasiswa yang tidak memiliki perencanaan dalam menjauhi perilaku hubungan seks pra-nikah, tidak ada target untuk menikah, tidak mampu mengendalikan perilaku sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya, tidak fokus dalam melaksanakan strategi perencanaan, tetap menggunakan cara yang sama ketika mengalami kegagalan dalam menjauhi perilaku hubungan seks pra-nikah dan tidak memiliki solusi yang lain

Self-regulation menunjukkan adanya koordinasi antara pikiran, perasaan,

dan tindakan yang telah direncanakan dan bagaimana proses tersebut disesuaikan untuk pencapaian individu agar mencapai tujuannya. Self regulation turut mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam menjauhi hubungan seks pra-nikah.

Berdasarkan hal tersebut peneliti bermaksud untuk meneliti self

regulation mahasiswa yang melakukan seks pra-nikah dengan pacar. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 21 (dua puluh satu) mahasiswa UNISBA. Pengumpulan data menggunakan kuesioner self regulation yang dikemukakan oleh Zimmerman. Alat ukur disusun peneliti dengan menggunakan metoda skala likert. Uji validitas menggunakan teknik validitas konstruk dan dari 60 item diperoleh item valid sebanyak 57 item. Item yang valid diuji reliabiltas demgan hasil 0.976.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 86% mahasiswa memiliki self

regulation yang rendah. Berdasarkan fase dari self regulation diperoleh hasil bahwa

71% mahasiswa memiliki kemampuan yang rendah dalam melakukan perencanaan (forethought), 57% mahasiswa memiliki kemampuan yang rendah dalam melaksanakan rencana (performance) dan 100% mahasiswa memiliki kemampuan yang rendah dalam melakukan evaluasi dari tindakan dan rencana yang telah disusun sebelumnya (self reflection).

(7)

Page | ii Assalamu’alaikum Wr. Wb

Maha Besar Allah yang telah memberikan ilmu kepada manusia.

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT,

karena atas izin dan limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul : Studi Deskriptif Mengenai Self Regulation Pada Mahasiswa Yang

Telah Melakukan Hubungan Seks Pra-Nikah Di Unisba.

Skirpsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai self regulation

pada mahasiswa UNISBA. Skripsi ini juga berguna bahan kajian dasar untuk

penelitian selanjutnya, terutama bagi mereka yang tertarik untuk membahas lebih

jauh tentang pengaruh ataupun hubungan self regulation dengan atribut psikologis

lainnya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti sidang sarjana

Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Selama proses penyelesaian skripsi

ini, penulis menghadapi hambatan dan rintangan yang tidak dapat dihindari, namun

Syukur Alhamdulillah berkat bimbingan, bantuan, sumbangan pikiran dan dorongan

dari berbagai pihak yang selalu menyertai penulis, akhirnya penulis dapat

merampungkan skripsi ini, walaupun masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan.

Penulis mohon maaf atas segala kekurangan, kelemahan dan keterbatasan

yang ada pada skripsi ini, karena kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah

SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat dan berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, Januari 2014 Feri Indriyati

(8)

Page | iii 1. Drs. Agus Sofyandi Kahfi, M. Si selaku pembimbing yang telah begitu

banyak membantu, memberikan banyak saran dan koreksi dalam penulisan

skripsi ini. Terima Kasih Kang sudah mau membimbing serta telah

memberikan waktu dan kesabarannya kepada Saya sampai akhirnya skripsi ini

selesai.

2. DR. Umar Yusuf selaku dekan fakultas psikologi dan dosen wali penulis yang memberikan banyak masukan.

3. Papa dan Mama serta adik-adik telah merangkul dan membantu bangkit

kembali ketika Saya putus asa.

4. Ghulbuddin Himamy, S. Psi (Imam), sahabat penulis yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan banyak memberikan masukan-masukan yang berguna kepada penulis.

5. Logy Puteri Afdanea, Intan Permatasari dan Sri Hasti, terima kasih di

semester ini kita habiskan untuk berjuang bersama dan saling menyemangati

ketika ‘down’.

6. Para subyek penelitian yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah

mau meluangkan waktu berharganya untuk membantu penulis. Terima kasih

atas kepercayaannya, insya Allah kerahasiaan Kalian akan Saya jaga.

7. Dan seluruh pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Bandung, Januari 2014 Feri Indriyati

(9)

iv

ABSTRAK …..……… i

KATA PENGANTAR ……….. ii

UCAPAN TERIMA KASIH ……… iii

DAFTAR ISI ………. iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2 Identifikasi Masalah ….………... 10

1.3 Tujuan Penelitian .……….……….. 13

1.4 Kegunaan Penelitian …..……….. 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Self Regulation ……… 14

2.1.1 Pengertian Self Regulation …….……… 14

2.1.2 Tiga Tahapan Proses Self Regulation …..….……… 15

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self Regulation ……… 22

2.1.4 Karakteristik Individu …..……….. 25

2.2 Masa Dewasa Awal …...………... 27

2.2.1 Pengertian Dewasa Awal ……….. 27

2.2.2 Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Awal ……..………….. 28

(10)

v 2.3 Pengertian Mentoring, Pesantren Mahasiswa, PAI I (Aqidah), dan PAI III

(Akhlak) ………..… 38

2.3.1 Universitas Islam Bandung (UNISBA) ..……… 38

2.3.2 Mentoring ……… 39

2.3.3 Pesantren Mahasiswa ……… 39

2.3.4 PAI I (Aqidah) ……… 42

2.3.5 PAI III (Akhlak) ……… 43

2.4 Seks Pra-nikah (Seks Bebas) ……… 43

2.4.1 Pengertian Seks Pra-nikah (Seks Bebas) ……… 43

2.4.2 Dampak Seks Pra-nikah (Seks Bebas) ……… 46

2.5 Penjelasan Ayat Al-Quran dan Hadist Mengenai Larangan Melakukan Hubungan Seks Pra-nikah ……… 46

2.6 Kerangka Pikir ………. 49

2.7 Bagan Kerangka Pikir ....………...……… 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……… 54

3.2 Identifikasi Variabel ……… 55

3.3 Operasional Variabel ……… 55

3.3.1 Definisi Konseptual ……… 55

(11)

vi

3.5.1 Cara Pengerjaan Alat Ukur ……… 61

3.5.2 Penskoran Alat Ukur ……… 61

3.5.3 Kisi-kisi Alat Ukur ……… 62

3.6 Pengujian Alat Ukur ……… 65

3.6.1 Validitas Alat Ukur ……… 66

3.6.2 Reliabilitas Alat Ukur ………... 67

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………... 69

3.8 Prosedur Penelitian ………..……….. 73

3.6.3 Tahap Persiapan ……… 73

3.6.4 Tahap Pelaksanaan ……… 73

3.6.5 Tahap Pengolahan Data ………. 74

3.6.6 Tahap Pembahasan ………..……….. 74

3.6.7 Tahap Akhir (penyelesaian) ……… 74

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ………. 75

4.1.1 Hasil Pengolahan Data Penelitian .……….……….. 75

4.1.2 Gambaran Umum Subjek Penelitian ……..……….. 75

4.1.3 Hasil Pengolahan Data Self Regulation ..……… 75

4.1.4 Hasil Pengolahan Data Self Regulation pada Setiap Fase …..… 78

(12)

vii

5.2 Saran …….………. 93

DAFTAR PUSTAKA .………. 94

(13)

Page 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan

pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut,

atau universitas. Perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang

diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota

masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang dapat

menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan

kesenian (UU 2 tahun 1989, pasal 16, ayat (1)). Tujuan didirikan perguruan tinggi

yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dunia perguruan tinggi merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan

bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Di sinilah dituntut suatu tanggung jawab

moral terhadap diri masing-masing sebagai individu untuk menjalankan kehidupan

yang bertanggung jawab dan sesuai norma dalam masyarakat. Dalam hal ini

perguruan tinggi memiliki peran yang cukup besar untuk membangun moral.

Definisi mahasiswa itu sendiri merupakan sebutan yang diberikan kepada

seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan batasan

usia antara 18-25 tahun. Sedangkan menurut Hurlock umur 20-40 tahun masuk ke

dalam masa dewasa awal. Pada masa ini, mereka memiliki tugas perkembangan

antara lain memilih teman hidup, dalam hal ini mahasiswa mulai menjalin hubungan

(14)

Page 2

dewasa awal yang telah matang fisiologis (organ seksual dan reproduksi), dimana

hormon-hormon seksnya telah matang dan telah siap melakukan tugas reproduksi,

namun karena adanya tuntutan menyelesaikan pendidikan dan belum mandiri dalam

hal ekonomi menyebabkan mereka menunda pernikahan.

Secara umum dalam struktur masyarakat, mahasiswa merupakan generasi

intelektual yang seharusnya mampu berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang

baik. Mahasiswa seharusnya lebih mampu membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk. Secara umum, tuntutan dan harapan masyarakat adalah menginginkan

agar mahasiswa menjadi manusia bermoral dan intelek sehingga mampu

membersihkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada, juga diharapkan mampu

menjadi inovator pembangunan di dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Mahasiswa merupakan generasi yang seharusnya dituntut untuk mengembangkan

profesionalisme mereka untuk membangun negara dan menegakkan norma.

Namun kondisi ini ironis dengan status tersebut berdasarkan kenyataan di

lapangan ditemukan perilaku-perilaku menyimpang yang justru dilakukan oleh

kalangan mahasiswa sendiri, seperti mabuk-mabukan, penganiayaan, pencurian,

membunuh, memeras, menjambret, berkelahi dengan senjata tajam, tawuran,

perjudian, penyalahgunaan narkoba serta perilaku seks pra-nikah

(http://sugiartoagribisnis.wordpress com).

Di kehidupan manusia, masa dewasa awal merupakan suatu tahapan transisi

dalam perkembangan yang memiliki tugas perkembangan tertentu.

Tugas perkembangan menurut Havighurt (dalam Hurlock, 1980) adalah

(15)

Page 3

tertentu. Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Dewasa awal adalah

masa peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi,

kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih

realistis. Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan

sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris

menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang

peranan penting. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001)

tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga,

mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab

sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu,

dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana

seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya.

Pada masa teknologi secanggih sekarang ini, informasi dari media massa

memainkan peranan yang cukup penting dalam pembentukan pola pikir dan perilaku.

Banyak informasi yang bisa didapat kapan pun waktunya. Efek dari hal tersebut,

seseorang menjadi lebih terbuka dengan adanya perubahan-perubahan dan lebih

terbuka untuk mencoba hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan,

termasuk hal-hal baru yang berhubungan dengan perilaku seksual. Hal ini sesuai

dengan pernyataan dari Rafsanjani (2006) bahwa setiap individu pastilah belajar.

Tidak hanya dari sekolah, tapi juga belajar informal dalam lingkungan sosial. Mereka

melihat, mendengar, menghayati, dan mencoba hal-hal baru, termasuk perilaku

seksual dalam berpacaran. Asumsi masyarakat mengenai gaya berpacaran yang tidak

(16)

Page 4

bagian dari modernisasi dan terdengar keren (

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/belia/selancar.htm).

Berdasarkan laporan hasil survei MCR-PKBI / Mitra Citra Remaja Jawa

Barat, bentuk-bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja yang berpacaran

menurut data penelitian yang dilakukan, yaitu datting, kissing, necking, peting, dan

coitus. Berdasarkan jawaban yang masuk faktor sulit mengendalikan dorongan

seksual menduduki peringkat tertinggi 63,8%; selanjutnya faktor kurang taat

menjalankan agama 55,79%; rangsangan seksual 52,63%; sering nonton “blue

movie” 49,47%; tidak ada bimbingan orang tua 9,47%; pengaruh tren 24,74%;

tekanan dari lingkungan 18,42%; dan masalah ekonomi 12,11% (Tempo, 2006).

Perkembangan peradaban manusia begitu pesat. Apalagi dengan dukungan

dari perkembangan teknologi, kehidupan manusia di seluruh dunia terasa saling

berakulturasi. Hal ini membuat budaya–budaya manusia juga ikut tercampur.

Percampuran budaya merupakan hal yang tidak negatif apabila dapat diterima dengan

bijak dan dapat dipilih oleh budaya lainnya. budaya barat mulai masuk dan sedikit

demi sedikit menggeser budaya Timur dalam berbagai bidang. Termasuk budaya

moral dan tingkah laku masyarakat. Sebagai contoh akulturasi budaya barat adalah

dengan berubahnya cara pandang masyarakat Timur dalam menata hubungan sosial

masyarakatnya. Dahulu, menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk saling

mengenal (berpacaran), merupakan hal yang tabu untuk dilakukan karena dianggap

menyalahi budaya Timur. Namun hal itu sekarang sudah tidak berlaku bagi

kebanyakan masyarakat Timur. Tiap–tiap orang diberi kebebasan untuk mencari dan

(17)

Page 5

(dalam hal ini mahasiswa dewasa awal) sekarang ini kurang diperhatikan sehingga

makna asli berpacaran berubah. Berpacaran yang seharusnya merupakan saat untuk

saling mengenal lawan jenis, disalahartikan sebagai ajang untuk saling

mengeksplorasi sumber daya pasangannya yang padahal belum tentu akan menjadi

pasangan hidupnya kelak.

Suatu hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan pasangannya ketika

mereka sudah menikah. Norma masyarakat di Indonesia yang berlaku dari dahulu

hingga sekarang, yakni hubungan seksual hanya boleh dilakukan oleh pria dengan

wanita yang telah disatukan secara sah dalam ikatan pernikahan. Hubungan seksual

yang dilakukan di luar pernikahan atau sebelum ada ikatan yang sah dalam

pernikahan disebut non marital sex. Adapun hubungan seks yang dilakukan di luar

pernikahan terdiri dari dua macam, di antaranya seks pra-nikah dan seks ekstra nikah.

Seks pra-nikah adalah hubungan seks yang dilakukan sebelum individu menikah

(Crooks & Baur, 1999). Sedangkan ekstra nikah adalah hubungan seksual dengan

seseorang selain suami atau istrinya (Bird & Melville, 1994).

Hubungan seks pra-nikah umumnya dilakukan dalam suatu hubungan,

misalnya dengan pacar. Namun demikian saat ini, ada pula orang yang melakukan

hubungan seksual dengan orang yang baru saja dikenal bahkan dengan orang yang

belum dikenalnya. Dengan kata lain, seseorang melakukan hubungan seksual dengan

orang lain didasari hanya pada ketertarikan fisik di antara mereka.

Zaman sekarang ini berhubungan seks dengan pasangan tanpa nikah sudah

(18)

Page 6

terlihat dari perilaku membiarkan, tidak menegur, dan dibebaskan dari

peraturan-peraturan pada sebagian tempat kos-kosan.

UNISBA adalah salah perguruan tinggi di Bandung yang bernuansa Islam

memiliki tujuan pendidikan mewujudkan 3M, yaitu mewujudkan mujahid (pejuang),

mujtahid (peneliti), dan mujaddid (pembaharu) dalam suatu masyarakat ilmiah yang

Islami, maka dalam proses pembelajaran banyak dimuati pendidikan ke-Islaman yang

wajib diikuti yaitu Pendidikan Agama Islam setiap semester, mentoring Agama

Islam, pesantren mahasiswa dan sarjana. Pendidikan ke-Islaman tersebut ditujukan

untuk memberi bekal mahasiswa agar segala sesuatunya tidak menyimpang dari

agama, salah satunya di dalam Islam mengatur bagaimana cara mengenal lawan jenis,

yaitu melalui ta’aruf.

UNISBA sebagai perguruan tinggi yang dikenal religius diharapkan

mempunyai kontribusi untuk mengurangi seks pranikah di kalangan mahasiswa. Pada

kenyataannya hasil interview awal menurut beberapa mahasiswa UNISBA yang

melakukan hubungan seks pra-nikah, arti keperawanan sudah bukan hal yang penting

lagi untuk dibahas, bukan lagi dipandang sebagai simbol kesucian seorang gadis. Arti

keperawanan dipandang tidak terlalu penting karena sebagian dari pria dan wanita

telah terbuai dengan asumsi terlanjur cinta. Mereka menganggap melakukan

hubungan seks pranikah adalah hak individu yang tidak menjadi sebuah larangan

karena dianggap sudah menjadi lumrah. Atas nama hak tersebut tidak ada lagi

perbedaan dan menghakimi masa lalu orang lain yang menjadi pasangannya yang

memiliki latar belakang pernah melakukan hubungan seks pranikah, termasuk dengan

(19)

Page 7

mendorong tidak terkendalinya hasrat untuk lebih berani melakukan hubungan seks

pranikah dan mengabaikan arti dari keperawanan. Keperawanan bukan menjadi

prioritas lagi. Jika ada kesempatan dan situasi mendukung mereka akan

melakukannya. Ketika mereka tidak dapat menahan hasrat seksualnya, maka mereka

langsung melakukannya dan biasanya dilakukan di tempat kost, di mobil atau di villa

yang orang tuanya memberikan kuncinya dengan bebas kepada anaknya. Mereka pun

memasukkan Test pack kehamilan dalam daftar belanja rutin yang wajib ada tiap

bulannya.

Sesungguhnya mereka mengetahui apa itu seks pra-nikah, faktor-faktor yang

melatarbelakangi seks pra-nikah, larangan seks pra-nikah dalam agama, mendapatkan

dosa jika melakukan seks nikah, resiko akibat melakukan hubungan seks

pra-nikah, dan pencegahan cara menghindari seks pra-nikah hingga cara-cara melakukan

hubungan seksual secara aman. Bahkan pengetahuan tersebut selain didapat dari

lembaga pendidikan tempat berkuliahnya, mereka juga pernah mengikuti

seminar-seminar mengenai seks bebas dan penyakit menular seksual, baik atas keinginan

sendiri maupun didaftarkan oleh orang tuanya. Walaupun demikian, mereka

mengakui masih belum mampu mengontrol hasrat seksualnya dan mulai

melakukannya semenjak masuk kuliah. Mereka melihat teman-teman dan kakak

kelasnya pun seperti itu sehingga merasa tidak melanggar norma. Informasi yang

didapat dari sebagian mahasiswa UNISBA dari masing-masing fakultas, ditemukan

bahwa terdapat sebagian besar mahasiswa yang berpacaran belum memikirkan akan

dibawa ke mana arah hubungan mereka yang terpenting menjalani saja hubungan

(20)

Page 8

maupun yang buruk, karena yang dianggap baik di lingkungan keluarga, belum tentu

dianggap baik di luar, begitu pula sebaliknya. Hal ini yang kemudian menyebabkan

para mahasiswa semakin kehilangan pegangan akan hal yang seharusnya dia merasa

malu menjadi merasa biasa, atau bahkan bangga. Dari sinilah banyak dari mahasiswa

yang kemudian terdorong untuk berani melakukan hubungan seks pra-nikah, yang

bahkan mereka tidak malu mengakuinya bahkan membanggakannya di lingkungan

pergaulannya. Informasi yang didapat mengenai hubungan seksual secara aman

dengan menggunakan “alat pengaman” (kondom) atau berhubungan seksual di saat

haid membuat mahasiswa berani dan semakin sulit mengontrol keinginan untuk

melakukan hubungan seksual.

Mereka belum berani berkomitmen serius dan mendatangi orang tua

pasangannya karena belum memiliki penghasilan tetap untuk bekal berumah tangga

sehingga ketika bertemu diam-diam (backstreet). Dalam diri mereka masih senang

main, senang-senang, dan belum ingin mencari kerja sehingga saat mendapat reaksi

penolakan menikah dari orang tua pasangannya, mereka tidak mau berjuang

mempertahankan tujuannya untuk menikah.

Sebagian mahasiswa UNISBA membawa pasangan wanitanya ke rumah untuk

diperkenalkan kepada orang tuanya dan pasangan prianya mendatangi orang tua

pasangan wanita untuk melamar serta membicarakan niat baiknya untuk menikah.

Kedua belah pihak merundingkan target tanggal pernikahannya. Mereka mengatakan

mampu untuk menahan tidak melakukan seks pra-nikah saat keinginan tersebut

(21)

Page 9

memilih untuk berpuasa ataupun mempersingkat waktu pertemuan bahkan menunda

pertemuan (tidak bertemu) dengan pacarnya. Mereka pun mengurangi waktu

pertemuan dengan cara menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan di organisasi,

bermain dengan teman, dan berolah raga. Terkadang mereka membuat kegiatan

positif, misalnya mengadakan bakti sosial, saling membantu mengerjakan tugas jika

ada kesulitan, dan berjualan bersama. Tidak semua mahasiswa berhasil mengambil

dan melunakkan hati orang tua pasangannya. Orang tua belum mengizinkan menikah

karena belum selesai kuliah, belum memiliki penghasilan tetap, dan menganggap

emosi masih belum stabil (ketakutan orang tua anaknya gagal dalam pernikahan).

Dari alasan dan pertimbangan orang tua seperti itu, maka mereka membuktikan

keseriusannya dengan cara kuliah dengan sungguh-sungguh dan mengambil mata

kuliah semester ke atas agar cepat selesai kuliahnya serta bekerja menjadi pengajar

kursus atau meminta proyekan dari dosen-dosen, berbisnis (berjualan on line),

ngeband/menyanyi dan menjadi MC mengisi di acara-acara musik. Mereka juga

saling menunjukkan perhatian dan membantu orang tua pasangannya serta mengajak

rekreasi maupun makan bersama.

Apabila fenomena tersebut dikaitkan konsep teori Zimmerman, sebagian

mahasiswa UNISBA belum memiliki perencanaan dalam mengambil suatu keputusan

untuk menjauhi hubungan seks pra-nikah (forethought), belum fokus terhadap

pernikahan dan belum menjadikan feedback sebagai insight (performance or

volitional control), serta belum mampu membandingkannya dengan standar norma,

(22)

Page 10

tindakan dan monoton atau tidak mengubah strategi dengan yang baru ketika

mengalami kegagalan untuk menjauhi hubungan seks pra-nikah dalam proses menuju

pernikahan (self reflection). Sebagian mahasiswa sisanya telah memiliki perencanaan

yang jelas dalam mengambil suatu keputusan (forethought), fokus terhadap

pernikahan dan menjadikan feedback sebagai insight (performance or volitional

control), serta mampu membandingkannya dengan standar norma, merasa puas

dengan hasil dari pelaksanaan tindakan dan mengubah variasi strategi dengan yang

baru ketika mengalami kegagalan dalam proses menuju pernikahan (self reflection).

Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa sebagian mahasiswa UNISBA pada masa

dewasa awal memiliki derajat self regulation yang rendah dan sebagian mahasiswa

lagi memiliki derajat self regulation yang tinggi.

Berdasarkan fenomena yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik meneliti

“Studi deskriptif mengenai self regulation pada mahasiswa UNISBA masa dewasa awal yang melakukan seks pra-nikah”.

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,

dalam penelitian ini terdapat satu variabel, yaitu Self regulation yang secara umum

berarti proses pengendalian dan pengaturan diri dalam mengambil keputusan untuk

bertindak.

“Self-regulation refer to self-generated thoughts, feelings, and actions that are planned and cyclically adapted to the attainment of personal goals” (Barry J.

(23)

Page 11

Zimmerman; dalam Boekarts, 2000:14). Dari pernyataan tersebut, Self-regulation

menunjukkan adanya koordinasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan yang telah

direncanakan dan bagaimana proses tersebut disesuaikan untuk pencapaian individu

agar mencapai tujuannya. Self regulation turut mempengaruhi keberhasilan

mahasiswa dalam menjauhi hubungan seks pra-nikah. Barry J. Zimmerman

menyatakan self regulation ini meliputi tiga tahapan, yaitu forethought, Performance

or volitional control, dan Self reflection.

Secara umum seks pra-nikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual terhadap lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan di luar

hubungan pernikahan mulai dari necking, petting sampai intercourse dan

bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang tidak

bisa diterima secara umum.

Sedangkan menurut Sarwono (2003) menyatakan, bahwa seks bebas adalah

segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis

maupun sesama jenis, mulai dari tingkah laku yang dilakukannya seperti sentuhan,

berciuman (kissing) berciuman belum sampai menempelkan alat kelamin yang

biasanya dilakukan dengan memegang payudara atau melalui oral seks pada alat

kelamin tetapi belum bersenggama (necking), dan bercumbuan sampai menempelkan

alat kelamin yaitu dengan saling menggesek-gesekan alat kelamin dengan pasangan

namun belum bersenggama (petting), dan yang sudah bersenggama (intercourse),

(24)

Page 12

Jadi, self-regulation menghindari hubungan seks pra-nikah pada mahasiswa

adalah pengendalian diri mahasiswa untuk tidak melakukan hubungan seks pra-nikah

dengan pasangan yang berlainan jenis (pacar) sebelum adanya ikatan pernikahan.

Peneliti menelusuri self-regulation pada mahasiswa yang berada dalam masa

dewasa awal yang telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Pada masa dewasa awal

organ-organ seksual telah matang dan hormon-hormon seks telah berfungsi sehingga

keinginan untuk melakukan hubungan seks pra-nikah pun muncul. Berdasarkan data

awal yang diperoleh menunjukkan tidak semua mahasiswa UNISBA mampu

mengendalikan diri untuk menahan tidak melakukan hubungan seks pra-nikah.

Apabila dilihat dari konsep teori Zimmerman, individu yang memiliki self

regulation yang tinggi, maka mahasiswa telah memiliki perencanaan yang matang ke

arah jenjang pernikahan sehingga mampu menjauhi hubungan seks pra-nikah

(forethought), kosentrasi dalam kegiatan positif dengan niat ibadah untuk menikah

bukan semata kesenangan akan hawa nafsu saat itu juga (performance or volitional

control), serta ketika merasa kurang puas terhadap upaya yang telah dilakukannya,

maka akan membuat dan mencoba strategi yang baru. Sedangkan individu yang

memiliki self regulation yang rendah, maka mahasiswa akan menampilkan perilaku

yang sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah :

“Bagaimana gambaran self regulation pada mahasiswa UNISBA masa dewasa awal yang melakukan seks pra-nikah?”

(25)

Page 13

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai

derajat self regulation pada mahasiswa UNISBA masa dewasa awal yang melakukan

seks pra-nikah.

1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan Praktis :

1. Memberikan informasi mengenai gambaran self regulation pada mahasiswa

UNISBA masa dewasa awal yang melakukan seks pra-nikah. Agar dapat

memberikan pendidikan dan intervensi yang efektif baik preventif maupun

kuratif mengenai seks pra nikah di kalangan mahasiswa serta treatment untuk

meningkatkan self regulation.

2. Memberikan masukan kepada pihak universitas agar dapat mengkaji ulang mata

kuliah Pendidikan Agama Islam supaya dalam penyajian materinya diterapkan

tata cara berpacaran dan berinteraksi dengan lawan jenis yang dikaitkan dengan

(26)

Page 14

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam upaya menjelaskan materi permasalahan yang terkandung di dalam

penelitian ini, maka uraian dari sisi teoritik memiliki makna dan relevansi yang cukup

penting untuk dipaparkan. Hal ini akan mengarah pada aplikasi teoritik dalam

masalah penelitian. Sehubungan dengan hal itu, bagian berikut ini akan mencoba

memberikan bahasan dan kajian tentang tinjauan teoritik seputar materi penelitian

yaitu self regulation. Untuk memudahkan pembahasan, maka tinjauan teoritis ini

akan diawali dengan membahas tentang self regulation kemudian dilanjutkan dengan

program pendidikan UNISBA, dewasa awal, dan seks pra-nikah.

2.1 Self Regulation

2.1.1 Pengertian Self Regulation

Self regulation merupakan suatu interaksi dari faktor - faktor pribadi, tingkah

laku, dan lingkungan (Bandura, 1986; dalam Boekarts, 2000:13).

Self Regulation adalah tugas seseorang untuk mengubah respon-respon seperti

mengendalikan impuls atau dorongan perilaku, menahan hasrat, mengontrol pikiran

dan mengubah emosi (Kowalski, 2000).

Regulasi diri adalah suatu sistem dari pribadi sadar seseorang yang memonitor

perilakunya dan mengevaluasi perilaku apa saja yang dapat memberikan pengaruh

pada dirinya. Self Regulasi diperlukan untuk mencapai ekuilibrasi dalam proses

(27)

Page 15

“Self-regulation refer to self-generated thoughts, feelings, and actions that are planned and cyclically adapted to the attainment of personal goals” (Barry J.

Zimmerman; dalam Boekarts, 2000:14). Self-regulation menunjukkan adanya koordinasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan yang telah direncanakan dan

bagaimana proses tersebut disesuaikan untuk pencapaian individu agar mencapai

tujuannya.

Jadi, secara umum self-regulation adalah proses pengendalian dan pengaturan

diri dalam mengambil keputusan untuk bertindak.

2.1.2 Tiga Tahapan Proses Self Regulation

Kemampuan self regulation ini meliputi tiga tahapan menurut Barry J.

Zimmerman, yaitu:

1. Forethought

Fase ini melibatkan proses yang terjadi sebelum adanya usaha-usaha

untuk bertindak dan berpengaruh terhadap usaha-usaha tersebut dengan

melakukan persiapan pelaksanaan tindakan tersebut. Ada dua sub aspek dari

fase ini, yaitu task analysis dan self motivation beliefs.

a. Task analysis, bentuk yang utama dari task analysis ialah goal setting. Goal

setting berkaitan dengan keputusan yang diambil terhadap hasil belajar atau performance (perbuatan) yang spesifik (Locke&Latham, 1990; dalam

Boekarts, 2000:17). Individu yang memiliki self regulation tinggi akan memiliki goal system yang tersusun secara hirarki dan proses tujuan-tujuan

(28)

Page 16

tersebut akan dijalankan sebagai self regulator untuk mendapatkan tujuan

atau hasil yang sama dengan hasil yang pernah dicapai. Bentuk kedua dari

task analysis ialah strategic planning (Weinstein & Mayer, 1986;

Boekaerts, 2000:17).

b. Self motivation beliefs, proses yang mendasari forethought dalam goal

setting dan strategic planning ialah proses-proses pokok dari self motivation beliefs, yaitu self efficacy, outcome expectations, intrinsic interest/value, dan goal orientation. Self efficacy mengacu pada keyakinan diri untuk belajar

ataupun bertindak secara efektif, sementara outcome expectations mengacu

pada keyakinan mengenai hasil performance (Bandura, 1997; Boekarts,

2000:17). Self efficacy beliefs mempengaruhi pencapaian tujuan seperti berikut ini: semakin mampu seseorang mempercayai diri mereka sendiri,

semakin tinggi tujuan-tujuan yang mereka kumpulkan bagi diri mereka

sendiri, dan semakin kuat mereka tetap bertahan pada tujuan-tujuan tersebut

(Bandura, 1991; Locke & Latham, 1990; dalam Boekarts, 2000:18).

Hasil yang diperoleh memberikan motivasi atau nilai-nilai intrinsik yang

dapat melengkapi dan bahkan melebihi hasil yang diperoleh (Deci, 1975;

Lepper & Hodell, 1989; dalam Boekarts, 2000:18). Goal orientation adalah motivasi dari dalam diri untuk mencapai suatu tujuan dan usaha yang

dilakukan oleh individu agar memiliki performance yang lebih baik

(29)

Page 17

2. Performance or volitional control

Performance or volitional control melibatkan proses yang terjadi

selama peristiwa itu berlangsung dan pengaruhnya terhadap persiapan yang

telah dibuat dan tindakan yang dilakukan. Pada fase ini melibatkan dua sub

aspek, yaitu self control dan self observation.

a. Self control, proses self control meliputi self instruction, imagery,

attention focus, dan task strategies. Self instruction adalah gambaran

bagaimana seseorang melakukan proses tugasnya (Schunk, 1982; dalam

Boekarts, 2000:19). Imagery atau bentuk dari gambaran mental merupakan suatu proses yang digunakan dalam self control secara luas

untuk encoding dan performance. Imagery sering digunakan oleh para

ahli psikologi olahragawan seperti pemain skate, penyelam, pesenam,

untuk membayangkan kesuksesan yang akan diperoleh terhadap rencana

mereka, sehingga dapat meningkatkan performance mereka (Garfield &

Bennet, 1985; dalam Boekarts, 2000:19). Bentuk ketiga dari self control adalah attention focus, yaitu roses yang dilakukan untuk meningkatkan

konsentrasi seseorang pada satu hal dan mengabaikan hal yang lainnya.

Proses attention focus ini dapat efektif jika seseorang dapat mengabaikan

gangguan-gangguan yang ada di sekitarnya dalam melaksanakan

rencananya dan menghindari ingatan-ingatan kesalahan pada masa

lampau (Kuhl, 1985; dalam Boekarts, 2000:19). Bentuk terakhir dari

(30)

Page 18

belajar dan pelaksanaan tugas dengan menyederhanakan suatu tugas

menjadi bagian-bagian yang penting dan mengorgansasikannya.

b. Self observation, mengacu pada pengamatan seseorang mengenai pelaksanaan tugas mereka, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang

ditimbulkan (Zimmerman & Paulsen, 1995; dalam Boekarts, 2000:19).

Berkaitan dengan self observation ini dikemukakan akan lebih baik jika

individu mengingat suatu performance yang berhasil dilakukan daripada

mengingat performance yang gagal dilakukan. Self observation meliputi

self recording dan self experimentation. Ada beberapa ciri dari self observation yang mempengaruhi keefektifannya, yaitu ciri yang pertama

adalah proximity, mengacu pada seberapa dekat feedback yang diberikan

dengan performance, merupakan variabel yang paling menentukan

(Bandura, 1986; Kadzin, 1974; dalam Boekarts, 2000:20). Ciri kedua

yang menunjukkan kualitas yang tinggi dari self observation adalah

adanya informasi dari feedback terhadap performance. Sementara yang

ketiga adalah keakuratan dari self observation, dan yang terakhir adalah

valensi dari feedback terhadap tingkah laku.

Self recording merupakan suatu teknik dari self observation yang

dapat meningkatkan proximity (kedekatan), makna, keakuratan, dan

valensi (daya tarik) dari feedback (Zimmerman & Kitsantas, 1996: 20).

Dengan merekam atau mencatat segala sesuatunya yang terjadi di

(31)

Page 19

pada saat itu juga, menyusunnya menjadi informasi yang sangat penting,

mempertahankan keakuratannya tanpa mempedulikan adanya

gangguan-gangguan dan menyediakan data-data untuk memberikan fakta yang

tajam terhadap kemajuan yang telah dicapai.

Self observation akan lebih lengkap dengan adanya self

experimentation, ketika self observation yang dilakukan secara alami dalam

tingkah laku tidak memberikan informasi diagnosa yang kuat, individu dapat

melakukan percoban sendiri secara sistematis berbagai aspek dari fungsi diri

yang dipertanyakan. Self observation yang sistematis seperti ini dapat

membuat individu memahami pribadinya dan melakukan performance or

volitional control yang lebih baik.

3. Self Reflection

Self reflection melibatkan proses yang terjadi setelah adanya

usaha-usaha pada fase performance dan mempengaruhi reaksi (tindakan)

individu terhadap pengalamannya tersebut. Bandura (dalam Boekarts,

2000:21) mengidentifikasi dua sub aspek yang pada self reflection yang berhubungan dengan self observation, yaitu self judgement dan self

(32)

Page 20

a. Self judgement

Self Judgement mencakup self evaluating terhadap performance

seseorang dan causal attributions. Self evaluation menunjukkan

perbandingan hasil pemantauan informasi yang diperoleh dengan standar

atau tujuan yang ingin dicapai. Ada 4 kriteria yang digunakan seseorang

untuk mengevaluasi diri, yaitu mastery, previous performance, normatif,

dan collaborative. Kriteria mastery meliputi penggunaan rangkaian

kelas-kelas dari ujian atau tes yang hasilnya diurutkan dari tingkat yang rendah

ke tingkat yang tinggi. Previous performance atau self criteria melibatkan

perbandingan performance tingkah laku seseorang saat ini dengan tingkah

laku sebelumnya (Bandura, 1997; dalam Boekarts 2000:21).

Sedangkan kriteria normative melibatkan perbandingan sosial dengan

performance seseorang, seperti teman maupun populasi pada lingkup

tersebut. Kriteria yang terakhir adalah collaborative, digunakan terutama

dalam kerjasama sebuah tim (Bandura, 1991; dalam Boekarts,

2000:22).

Causal attribution berkaitan dengan hasil seperti apakah performance yang buruk berkaitan dengan keterbatasan kemampuan yang

dimiliki atau karena usaha yang dilakukan belum maksimal. Attributional

judgement sangat penting peranannya pada self reflection, karena atribusi

yang salah akan mendorong individu untuk bereaksi negatif dan

(33)

Page 21

1979; dalam Boekarts, 2000: 22). Atribusi tidak otomatis memberikan

self evaluation yang positif atau negatif, tetapi lebih bergantung pada

penilaian kognitif terhadap beberapa faktor yang menunjang, seperti

persepsi terhadap keyakinan pribadi atau kondisi-kondisi yang menunjang

dari lingkungan (Bandura, 1991; dalam Boekarts, 2000:22). Proses

forethought juga memberikan pengaruh yang kuat terhadap attributional judgement. Orang-orang yang membuat rencana selama forethought

menggunakan strategi khusus dan melaksanakannya selama fase

performance, lebih mengkaitkan kegagalan yang dialaminya dengan

strategi yang digunakan daripada dikarenakan kemampuan yang

dimilikinya rendah (ketidakmampuan), dimana hal ini dapat mengganggu

kepribadian (Zimmerman & Kitsantas, 1997; dalam Boekarts, 2000:

23). b.Self reaction

Self evaluation dan attributional judgement berhubungan erat

dengan dua bentuk pokok dari self reaction, yaitu self satisfactions dan

adaptive inferences. Self satisfactions melibatkan persepsi terhadap

kepuasan atau ketidakpuasan dan menghubungkan dengan performance

seseorang. Hal tersebut penting, karena umumnya seseorang akan

mengambil tindakan yang memberikan kepuasan dan efek yang positif

dan menghindari tindakan yang mengakibatkan ketidakpuasan dan efek

(34)

Page 22

Boekarts, 2000:23). Ketika self satisfaction yang timbul sesuai dengan tujuan yang telah dicapai, orang-orang mengarahkan tindakannya dan

mendorong diri untuk tetap berusaha. Dengan demikian, motivasi

seseorang tidak hanya berasal dari tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga

dari reaksi penilaian diri sendiri terhadap tingkah laku yang dihasilkan.

Tingkat self satisfaction seseorang juga bergantung pada nilai intrinsik

dan penting atau tidaknya suatu tugas.

Adaptive or defensive inferences merupakan kesimpulan

seseorang tentang perlunya mengubah self regulatory dalam usaha

berikutnya untuk belajar atau tampil (melakukan). Adaptive inferences

sangat penting karena mengarahkan orang-orang ke bentuk performance

self regulation yang baru dan lebih baik secara potensial, seperti dengan

mengubah tujuan secara hirarki atau memilih strategi yang lebih efektif

(Zimmerman & Martines-Pons, 1992; dalam Boekarts, 2000:23). Self

reaction mempengaruhi proses forethought dan seringkali memberikan

pengaruh yang sangat kuat pada rangkaian tindakan di masa yang akan

datang terhadap tujuan individu yang paling penting dan menjauhi

individu dari rasa takut yang dalam.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Regulation

Pembelajaran Self regulation didasari oleh asumsi teori triadik

resiprokalitas. Menurut teori ini perilaku terjadi karena ada tiga determinan

(35)

Page 23

(environment) (Bandura 1997. 6.). Berkaitan dengan hal ini maka faktor-faktor

yang mempengaruhi self regulation berasal dari tiga determinan ini. Zimerman

menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self regulation sebagai berikut.

(Zimmerman ,1986. Journal of Continuing Education in Nuring, . 78-87).

a. Faktor Personal

Termasuk dalam hal ini adalah pengetahuan mahasiswa, proses

metakognisi, tujuan yang hendak dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd

membagi pengetahuan menjadi tiga yakni pengetahuan deklaratif, pengetahuan

prosedural, dan pengetahuan kondisional (Paris & Winograd 2002,

http://www.contextual.org/does/10_PAR1.pdf). Menurut Zimmerman, dari ketiga jenis pengetahuan itu yang merupakan pengetahuan bagi mahasiswa

yang melaksanakan self regulation adalah pengetahuan prosedural dan

pengetahuan kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan pengelolaan

diri bersifat interaktif. Ini artinya, dengan semakin baiknya pengetahuan

prosedural (yakni mengkomposisikan perencanaan langkah-langkah untuk

mencapai tujuan jangka pendek) dan pengetahuan kondisional (yakni

menggunakan strategi yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian target),

maka mahasiswa yang melaksanakan self regulation akan dapat mencapai

tujuannya, yaitu dapat menghindari perilaku hubungan seks pra-nikah yang

dilarang agama.

Metakognisi mengacu pada proses pembuatan dan pengambilan

keputusan yang mengatur pemilihan dan penggunaan bentuk pengetahuan.

(36)

Page 24

meliputi pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional) maka semakin

matang perilakunya dalam membuat perencanaan dalam self regulation.

Pembuatan perencanaan yang matang ini penting sekali karena perencanaan ini

mendasari perencanaan digunakan dalam memahami hal-hal apa saja yang

harus dilakukan, penyusunan tujuan, persepsi mengenai efikasi, penggunaan

pengetahuan deklaratif dan prosedural, kondisi afeksi, dan hasil kontrol

perilaku. Tujuan berpengaruh terhadap self regulation dalam hal

realistis-tidaknya tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang tidak realistis dan

memungkinkan untuk dicapai serta tidak terlalu mudah atau terlalu sukar akan

membuat seseorang termotivasi untuk mencapainya.

b. Faktor Perilaku

Hal yang termasuk dalam faktor perilaku meliputi observasi diri (self

observation), penilaian diri (self judgement), dan reaksi diri (self reaction).

Observasi diri mengacu pada respon yang berkaitan dengan pemantauan

perilakunya secara sistematis.

Penilaian diri mengacu pada respon mahasiswa yang berkaitan dengan

pembandingan secara sistematis terhadap usaha mereka dengan standar tujuan.

Mahasiswa yang melakukan ‘penilaian diri' memiliki upaya yang lebih besar,

efikasi diri yang lebih baik, dan kesadaran yang lebih baik. Mahasiswa yang

bereaksi positif terhadap upayanya maka akan dapat meningkatkan upayanya.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan berpengaruh terhadap kegiatan seseorang. Lingkungan

(37)

Page 25

regulation, dan sebaliknya pada lingkungan yang kurang kondusif akan

membuat kesulitan berkonsentrasi dalam mengerjakan program-program

(perencanaan dan strategi) yang ada. Adanya mahasiswa yang lebih dulu

melakukan hubungan seksual sebelum ada ikatan pernikahan lebih banyak

dibandingkan dengan mahasiswa yang menunda hubungan seksual hingga ada

ikatan pernikahan.

2.1.4 Karakteristik Self Regulation Individu (Zimmerman, 1989; Boekaerts, 2000:17-23)

2.1.4.1 Karakteristik Individu dengan Self Regulation Tinggi

Individu yang memiliki kemampuan Self Regulation yang tinggi akan

memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Memiliki goal system yang tersusun secara hierarki, dan proses tujuan tersebut akan

dijalankan sebagai regulator untuk mendapatkan tujuan atau hasil yang sama dengan

hasil yang pernah dicapai sebelumnya

b. Dapat memotivasi dirinya sendiri dan mampu mengarahkan tindakannya pada tujuan

yang hendak dicapai

c. Mampu melakukan manajemen waktu yang baik

(38)

Page 26

strategi yang digunakan kurang efektif. Hal ini termasuk dalam kelompok individu

yang self efficacious, yang mana mereka akan berusaha meningkatkan atau

memperbaiki usahanya

e. Tingkat self satisfaction bergantung pada nilai intrinsik atau penting tidaknya suatu

tujuan

f. Mengarah pada adaptive inferences, yang mana individu dapat mengubah

tujuannya secara hirarki atau memilih strategi yang lebih efektif

2.1.4.2 Karakteristik Individu dengan Self Regulation Rendah

Karakteristik individu yang memiliki kemampuan self regulation yang

rendah adalah sebagai berikut:

a. Goal system yang dimilikinya tidak tersusun secara hierarki. Masing-masing proses

tujuan yang ada tidak dapat berfungsi sebagai regulator, sehingga tidak dapat

mengarahkan tindakannya pada tujuan atau hasil yang sama dengan hasil yang

pernah dicapai sebelumnya.

b. Mempunyai motivasi yang rendah sehingga tidak mampu mengarahkan tindakannya

pada tujuan yang akan dicapai

c. Ketika mengalami kegagalan di dalam pencapaian tujuannya, individu cenderung

(39)

Page 27

d. Tingkat self satisfaction bergantung pada nilai ekstrinsik seperti adanya pujian atau

hadiah

e. Mengarah pada defensive inferences yang dapat melindungi dari ketidakpuasan dan

akibat-akibat yang tidak disukai pada masa yang akan datang.

2.2 Dewasa Awal

Pengertian individu dewasa (adolescence) adalah individu yang telah

menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat

bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1993;246). Hurlock membagi masa

dewasa dalam tiga tahapan berdasarkan usia, yaitu :

1. Masa dewasa awal (early adolescenceI) ; usia 18-40 tahun

2. Masa dewasa madya (middle adolescence) ; usia 40-60 tahun

3. Masa dewasa akhir (senescence) usia 60 tahun – kematian

2.2.1 Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Orang dewasa berarti individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap

menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.

Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan

menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk

(40)

Page 28

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Individu dewasa awal di harapkan

memainkan peran baru, seperti peran sebagai suami atau istri, sebagai orang tua, dan

sebagai pencari nafkah. Individu dewasa awal juga diharapkan dapat

mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan dan nilai-nilai baru serta melaksanakan

tugas-tugas baru.

2.2.2 Perkembangan Kognitif

Piaget percaya bahwa seorang remaja dan seorang dewasa berpikir dengan cara yang sama, namun beberapa ahli perkembangan percaya bahwa baru pada saat

dewasalah individu mengatur pemikiran operasional formal mereka, sehingga mereka

dapat merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah yang dialami.

Menurut Gisela Laboivie-Vief integrasi baru dari pikiran terjadi pada masa dewasa

awal. Pada masa ini akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis yang

memerlukan strategi penyesuaian diri yang sedikit mengandalkan analisis logis dalam

memecahkan masalah.

2.2.3 Tugas-Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Menurut Havighurst (Hurlock, 1997;10), yang dimaksud dengan tugas-tugas

perkembangan adalah suatu tugas yang timbul pada suatu periode dalam

perkembangan seseorang. Adapun kemampuan untuk melaksanakan tugas ini

membawa pada kebahagiaan dan kesuksesan pada tugas-tugas berikutnya, sedangkan

(41)

Page 29

menghadapi tugas berikutnya. Tugas-tugas perkembangan yang diharapkan dapat

tercapai oleh individu dewasa awal disusun oleh Havighurst (Hurlock, 1997:10),

antara lain :

1. Mulai bekerja

2. Memilih pasangan

3. Belajar hidup dengan tunangan

4. Mulai membina keluarga

5. Mengasuh anak

6. Mengelola rumah tangga

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warna negara

8. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

Dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan sekurang-kurangnya ada tiga

aspek kekuatan tersebut adalah :

1. Adanya kematangan fisik yang dimiliki individu

2. Adanya tekanan-tekanan (berupa harapan dan kewajiban-kewajiban)

cultural dari masyarakat

3. Adanya nilai-nilai dan kemauan pribadi (aspirasi seseorang)

Dalam penguasaan tugas-tugas perkembangan ini, ada beberapa faktor yang

dapat menghalanginya yaitu :

1. Tingkat perkembangan yang mundur

2. Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan

atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya.

(42)

Page 30

4. Kesehatan yang buruk

5. Cacat tubuh

6. Tingkat kecerdasan yang buruk

2.2.4 Ciri-ciri Masa Dewasa Awal

1. Masa dewasa awal sebagai masa pengaturan

Masa dewasa awal saatnya untuk menerima tanggung jawab sebagai

orang dewasa. Sesekali seseorang menemukan pola hidup yang diyakininya

dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku

sikap dan nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa

hidupnya. Setiap keharusan mengubah pola yang sudah diyakini tersebut pada

usia setengah baya atau usia lanjut maka seseorang akan mengalami kesulitan

dan akan menimbulkan gangguan emosional.

2. Masa dewasa awal sebagai usia reproduktif

Orang tua merupakan salah satu peran penting dalam hidup dewasa.

Selalu saja dicari cara agar dapat memiliki keturunan, untuk orang yang

memiliki keinginan untuk membangun karir menjadikan awal usia tiga

puluhan untuk memiliki anak, bagi orang yang cepat mempunyai anak dan

memiliki keluarga besar maka seluruh masa dewasa awal ini merupakan masa

reproduksi.

3. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah

Masalah terbesar yang dihadapi seorang muda berkutat pada masalah

(43)

Page 31

• Sedikit sekali orang muda yang mempunyai persiapan menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai seorang dewasa.

• Mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan serempak biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil.

• Orang-orang muda tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah mereka tidak seperti sewaktu mereka

dianggap belum dewasa.

4. Masa dewasa awal sebagai masa pengaturan ketegangan emosional Ketika menginjak awal dewasa pada umumnya mereka masih sekolah

dan diambang memasuki dunia pekerjaan orang dewasa, mereka memiliki

keinginan untuk merubah sesuatu terhadap pola pandangnya. Pada awal atau

pertengahan umur tiga puluhan, kebanyakan orang muda telah mampu

memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi

stabil dan tenang secara emosional. Apabila ketegangan emosi terus berlanjut

sampai usia tiga puluhan, hal ini umumnya Nampak dalam bentuk keresahan.

Hal ini diresahkan tergantung dari masalah penyesuaian diri yang harus

dihadapi.

5. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang dalam

pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan, dan rumah tangga,

hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya masa remaja menjadi

(44)

Page 32

di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kalinya

sejak bayi seorang muda, bahkan yang popular sekalipun akan mengalami

keterasingan social atau apa yang disebut sebagai “krisis keterasingan”

6. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen

Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan

tanggung jawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya bergantung pada orang

tua menjadi orang dewasa mandiri, mereka menentukan pola hidup baru,

memikul tanggung jawab baru. Meskipun pola-pola hidup, tanggung jawab

dan komitmen baru ini mungkin akan berubah juga, pola-pola ini menjadi

landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan

komitmen-komitmen di kemudian hari.

7. Masa dewasa awal sebagai masa ketergantungan

Meskipun telah resmi mencapai usia dewasa pada usia 18 tahun, dan

status ini memberikan kebebasan untuk mandiri, banyak orang muda yang

masih agak tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang

berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga

pendidikan yang memberikan beasiswa sebagian atau penuh atau pada

pemerintah kerena memperoleh pinjaman untuk membiayai pendidikan

mereka. Ada orang muda yang membenci ketergantungan ini walaupun

mereka menyadari mereka membutuhkan agar mereka berpendidikan demi

(45)

Page 33

8. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai

Beberapa alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa

dewasa awal, yang sangat umum adalah :

• Jika orang muda ingin diterima oleh anggota-anggota kelompok orang dewasa

• Orang-orang muda ini segera menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berkeyakinan konvensional dalam hal keyakinan-keyakinan

dalam perilaku seperti juga halnya dalam hal penampilan

• Orang-orang muda yang menjadi bapak-ibu tidak hanya cenderung mengubah nilai-nilai mereka lebih cepat daripada yang tidak kawin

atau tidak punya anak, tetapi mereka juga bergeser kepada nilai-nilai

yang lebih konservatif dan lebih tradisional.

9. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru

Pada masa ini paling banyak menerima perubahan, yang paling

menonjol di bidang perkawinan dan peran orang tua, pola peran seks yang

akhirnya membentuk gaya atau cara hidup baru.

10. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif

Bentuk kreatifitas yang akan terlihat sesudah ia dewasa akan

tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk

mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan

(46)

Page 34

2.2.5 Aspek-aspek Perkembangan Dewasa Awal

Berikut merupakan aspek-aspek perkembangan yang sedang dihadapi usia

mahasiswa sebagai fase usia dewasa awal (Santrock, 1995: 91-100).

a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik pada masa dewasa awal dari satu sisi merupakan

puncaknya, tetapi pada sisi lain adalah kecenderungan penurunan periode ini

sehingga fase usia dewasa awal dikatakan sebagai puncak dan penurunan

perkembangan individu secara fisik. Misalnya pendengaran relatif konstan dan

mulai mengalami penurunan pada akhir fase usia dewasa awal. Kondisi

kesehatan dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi gaya hidup yang merusak

kesehatan, nutrisi yang baik, rutinitas berolahraga.

Namun pada kehidupan sehari-hari dapat ditemukan orang pada masa

dewasa awal justru secara sadar ataupun tidak sadar seringkali mengabaikan

kesehatan mereka, misalnya dengan merokok, malas olahraga, dan sebagainya.

b. Perkembangan seksualitas

Merupakan sikap dan perilaku seksual pada individu sebagai kodrat

dan dampak dari perubahan-perubahan hormon yang terjadi. Ada dua hal tentang

sikap dan perilaku seksual yaitu ditinjau dari:

1) Sikap dan perilaku seksual secara heteroseksual. Sikap dan perilaku seksual

berdasarkan tinjauan longitudinal dari tahun 1900-1980-an, menunjukkan dua

kecenderungan penting (Darling et., 1984), yaitu:

a) Persentase dari kaum muda yang melakukan hubungan seksual meningkat

(47)

Page 35

b) Proporsi perempuan yang dilaporkan dalam berhubungan seksual

meningkat lebih cepat dari kasus laki-laki, meskipun laki-laki lebih

sering berhubungan seksual.

2) Sikap dan perilaku seksual secara homoseksual. Homoseksual, yaitu

kecenderungan memilih pasangan seksual dari jenis kelamin yang sama.

Melalui penelitian yang terdahulu (Kinsey) maupun yang baru-baru ini (Hunt),

menunjukkan bahwa 4% dari laki-laki dan 3% dari perempuan yang disurvei

adalah homoseksual.

Sesuai dengan perkembangan zaman yaitu mulai masuknya tren barat

ke Negara kita, maka semakin banyak ditemukan perilaku seksual secara

homoseksual. Akan tetapi masih lebih banyak yang cenderung heteroseksual,

yaitu menyukai dari yang berlainan jenis kelamin.

c. Perkembangan kognitif

Schaie (1997) mengemukakan bahwa tahap-tahap kognitif piaget

menggambarkan peningkatan efisiensi dalam perolehan informasi yang baru.

Misalnya pada masa dewasa awal terdapat perubahan dari mencari pengetahuan

menuju menerapkan pengetahuan, menerapkan apa yang sudah diketahui,

khususnya dalam hal penentuan karier dan mempersiapkan diri untuk

menghadapi pernikahan dan hidup berkeluarga.

d. Perkembangan karier

Tuntutan peran karier terhadap kompetensi menunjukkan sangat tinggi

(48)

Page 36

dengan peran yang baru adalah penting bagi individu pada fase ini (Heise,

1991; Smither, 1988).

Terkadang kita menemukan seseorang yang telah mendapatkan

pekerjaan namun tidak betah dengan pekerjaannya. Hal tersebut mungkin

terjadi karena tidak berhasilnya penyesuaian diri dengan peran yang baru.

e. Perkembangan sosio-emosional

Dalam menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya, pada fase

usia dewasa awal tidak hanya sekedar mampu menunjukkan jalinan

persahabatan atau percintaan, namun lebih mengarah kepada hubungan

sosio-emosional yang terikat oleh komitmen dengan menunjukkan hubungan dan niat

untuk mempertahankan dalam mempersiapkan diri menuju kehidupan bersama

melalui pernikahan dan hidup berkeluarga.

Kajian tentang perkembangan sosio-emosional pada fase usia dewasa awal ialah :

1) Fase pertama, menjadi orang dewasa dan mulai melangkah untuk hidup

mandiri. Untuk membangun identitas serta membentuk keluarga baru,

merupakan realisasi waktu bagi fase usia dewasa awal dalam menyeleksi diri

secara sosio-emosional, yaitu apa yang akan dibawa dari keluarga asal, apa

yang akan mereka tinggalkan, dan apa yang hendak mereka ciptakan bagi

dirinya ketika akan melangkah ke depan bergabung dalam membina keluarga

sebagai pasangan baru melalui pernikahan.

2) Fase kedua, adalah pasangan baru (new couple) dari siklus kehidupan keluarga.

(49)

Page 37

antara dua jenis kelamin yang berbeda, berasal dari keluarga dan latar belakang

kehidupan bahkan kebudayaan yang berbeda.

3) Fase ketiga adalah menjadi orang tua dalam kehidupan berkeluarga. Memasuki

fase ini menuntut orang dewasa untuk maju satu generasi dan menjadi pemberi

kasih sayang untuk generasi yang lebih muda. Untuk dapat melalui fase yang

panjang ini, dalam perjalanannya menuntut komitmen waktu sebagai peran

orang dewasa menuju peran sebagai orang tua, serta peran dalam memahami

dan menyesuaikan diri sebagai orang tua yang kompeten dan sumber teladan

bagi anak.

Vailant (dalam Papalia, dkk, 1998) membagi fase dewasa menjadi

tiga, yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi, dan masa transisi. Masa

pembentukan dimulai pada usia 20 sampai 30 tahun dengan tugas

perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga

dengan pernikahan, dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi, usia

30 sampai 40 tahun merupakan masa konsolidasi karier dan memperkuat ikatan

perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar usia 40 tahun merupakan masa

meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang

telah diperoleh.

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Papalia, Old,

dan Feldman (1998) masa usia menikah adalah usia dewasa awal yaitu antara 20

hingga 40 tahun. Hal ini dapat diartikan sebagaimana fungsi perkembangan

dewasa awal untuk memasuki dunia pernikahan dan dan membina bahtera

Gambar

Tabel Kisi-Kisi Alat Ukur Self-regulation pada mahasiswa UNISBA masa  dewasa awal yang melakukan seks pra-nikah
Gambar 4.1 Diagram Lingkaran Self Regulation
Gambar 4.2 Diagram Batang Penyebaran Fase-Fase Self Regulation
Gambar 4.3 Diagram Batang Penyebaran sub Fase Forethought
+4

Referensi

Dokumen terkait

All praises belong to Allah SWT to his blessing and mercies given to the researcher, she can complete her research paper entitled CLASSROOM TECHNIQUES USED BY

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada berbagai pihak mengenai pentingnya pendidikan seks bagi remaja. 2)

Apabila dalam masa pemulihan mata anda menjadi lebih sakit dari biasanya atau penglihatan anda tiba-tiba menjadi kabur kembali, anda harus segera datang ke Klinik Mata

Pemeriksaan bakteriologi dilakukan pada seluruh pasien yang telah dipasang kateter epidural, pada saat pencabutan kateter diberi tindakan aseptik serta antiseptik pada daerah

 Pengaruh Estimasi Pertumbuhan Ekonomi (ŷ) Terhadap Kemiskinan dapat dijelaskan bahwa jika terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 1 unit akibat adanya perubahan

Pada aspek kegiatan inti yang terdiri dari penyajian materi, pendalaman materi, permainan tongkat dan menarik kesimpulan, siswa memperoleh skor 20.. Pada aspek terakhir

Waktu kerja pengangkutan kayu dengan menggunakan lori yang ditarik/didorong loko adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut kayu dari betou ke logpond.. Pengukuran waktu

c. Memenuhi persyaratan teknis minimal dan berlabel. Lahan bera atau tidak ditanami dengan tanaman yang satu familli minimal satu musim tanam. Untuk tanaman rimpang lahan yang