• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

MENGHADAPI BERBAGAI ANCAMAN &

TANTANGAN GLOBAL

SERTA PEMBANGUNAN KEHUTANAN YANG

LESTARI

OLEH :

GusmaiLina

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN

BADAN LITBANG & INOVASI

(2)

INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI

ANCAMAN & TANTANGAN GLOBAL SERTA PEMBANGUNAN

KEHUTANAN YANG LESTARI

Oleh : Gusmailina

Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) Badan Litbang Kehutanan Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.

Email : gsmlina@gmail.com RINGKASAN

Salah satu cara untuk mendukung tercapainya berbagai tantangan global, diperlukan inovasi dan pengembangan sistem budidaya (farming) yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan rendah emisi. Sistem tersebut selain harus mampu mendukung peningkatan produksi padi, juga bisa memantapkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya, menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca) sekaligus mengembangkan energi terbarukan. Carbon farming merupakan metode kultivasi atau budidaya (pertanian, perkebunan atau kehutanan) dengan cara mengurangi atau menangkap emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi, perubahan iklim dan ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim lansekap areal budidaya. Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan tanah atau juga dengan kata lain arang sebagai pembangun kesuburan tanah, merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen. Banyak studi yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah dan murah. Pustekolah sejak tahun 1998 telah melakukan serangkain penelitian dan uji coba serta sosialisasi di lapangan baik perorangan maupun secara kelompok tentang aplikasi arang (karbon) pada berbagai jenis tumbuhan. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa peranan arang dalam rangkaian sistem kultivasi/farming (budidaya) sangat signifikan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas lahan, baik tanaman pertanian maupun kehutanan. Dalam proses karbonisasi, diterapkan teknologi tanpa/sedikit asap, sehingga diperoleh asap cair sebagai hasil samping yang mempunyai nilai dan manfaat multi fungsi. Dalam pengembangan tahap selanjutnya arang kemudian diperkaya menjadi arang kompos bioaktif, sehingga kandungan nutrisi hara lebih tinggi.

Kata kunci : karbon, farming, arang kompos, tantangan global, inovasi, pembangunan kehutanan

(3)

*) Disampaikan sebagai makalah pada pertemuan teknis di PT. Inhutani 2, Jl. Tebet Timur Raya No. 7 Jakarta Selatan pada Tanggal 9 Juni 2015.

**) Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) Badan Litbang & Inovasi, KemenLHK, Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor. Email : gsmlina@gmail.com

I. PENDAHULUAN

Komitmen bangsa Indonesia yang disampaikan oleh presiden RI pada acara G-20 Leaders Summit di Pittsburgh (USA), serta saat COP-15 di Copenhagen, Denmark akan berupaya menurunkan emisi nasional sebesar 26% dengan kemampuan sendiri serta dengan dukungan dunia internasional maka Indonesia mampu menurunkan 41% emisi nasional pada tahun 2020 (Sugardiman, 2013). Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata pembangunan Indonesia masih bertumpu pada penggunaan (alih) lahan dimana mengkonversi tutupan hutan menjadi bukan tutupan hutan. Berbeda dengan kondisi emisi total dunia yang bersumber dari energi/power sebesar 24%, industri 14%, transportasi 14%, sedangkan perubahan lahan hanya 14%. Berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), bahwa target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut sebesar 0,672 gg ton CO2 atau 87,60%, sementara emisi sektor kehutanan dan lahan gambut pada Indonesia Second National Communication tahun 2010 hanya 59,60%. Sehingga sesungguhnya besar peran kehutanan untuk nasional karena mampu membantu menurunkan emisi nasional secara nyata melalui penyerapan atau sink/sequestration (Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011).

(4)

dinamika mikroba tanah. Keuntungan jangka panjang dari carbon farming bagi ketersediaan hara tanaman berhubungan dengan stabilisasi karbon organik yang lebih tinggi dibanding bahan organik yang biasa digunakan dalam budi daya tanaman.

Sebagai deposit karbon di tanah, biochar bekerja dengan cara mengikat dan menyimpan CO2 dari udara agar mencegah terlepas ke atmosfir. Kandungan karbon yang terikat dalam tanah jumlahnya besar dan tersimpan hingga waktu yang lama, diperkirakan ratusan hingga ribuan tahun. Para ilmuwan menyatakan bahwa untuk area 250 ha mampu mengikat 1900 ton CO2 dalam setahun (JFE, 2011; Marin Carbon Project, 2013).

II. ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL

(5)

A. Ancaman dan Tantangan

Karbon yang terlepas (carbon emision) di udara bebas akan

mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat. Peningkatan suhu muka air

laut ini akan meningkatkan pencairan es kutub. Pada abad 20 diperkirakan

permukaan air laut naik sebesar 0,17 m, dan pada tahun 2100 diperkirakan

akan naik sebesar 0,18 – 0,59 m. Besarnya kenaikan muka air laut tersebut

tergantung dari kecepatan pencairan es di kutub selatan / utara (Bindoff

et al,

2007). Untuk menanggulangi global warming berdasarkan Protokol Kyoto,

menempatkan beban tanggung jawab paling banyak kepada negara-negara

maju untuk membatasi emisi karbon, dimana golongan tersebut kemudian

disebut sebagai golongan Annex I. Untuk Negara-negara berkembang, yang

selanjutnya di sebut golongan Non Annex I tidak dikenai kewajiban untuk

membatasi emisi karbon, sehingga kebijakan ini diharapkan tetap dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Pembatasan

tingkat emisi karbon pada suatu negara kemudian dituangkan dalam bentuk

sertifikat dimana ilustrasi konsepnya, apa bila setiap orang diperbolehkan

maksimal merokok lima batang maka setiap orang mendapatkan sertifikat / ijin

untuk lima batang rokok tersebut. Namun apa bila ada orang yang mau

merokok lebih dari lima batang, maka dia diwajibkan membeli sertifikat dari

pihak lain. Dengan membeli sertifikat tersebut maka pembeli sertifikat dapat

merokok lebih dari lima batang, sedangkan pihak yang telah dibeli sertifikatnya

tidak boleh merokok sebanyak lima batang, atau berkurang sebesar nilai

sertifikat yang dijualnya.0 (Ruddell, 2006).

(6)

melakukan penaksiran terhadap shadow price tegakan hutan apabila dipakai

sebagai penghasil kayu. Hal ini karena apabila hutan produksi tidak ditebang,

maka tidak dapat menghasilkan kayu sehingga pendapatan nasional dari sub

sektor kehutanan akan terhenti, karena semua proses penebangan dan efek

domino dari hasil pengolahan kayu tidak berjalan lagi.

Shadow Price dari hutan produksi yaitu berupa biaya akibat dari

kesempatan yang hilang apabila hutan tersebut digunakan oleh pengusaha

sebagai penghasil kayu hutan. Konsep Shadow Price yang dimaksudkan sama

dengan biaya kesempatan yang hilang (Opportunity Cost), dimana suatu usaha

harus mempertimbangkan pada alternatif peruntukan lain, sebagai nilai biaya

suatu usaha tersebut. Untuk itu, seharusnya nilai / harga karbon yang

dihasilkan dari hutan produksi akan dihargai berbeda dengan nilai / harga

karbon yang berasal dari tempat lain seperti dari hutan desa /hutan adat, atau

dari areal pertanian yang sengaja dibiarkan untuk menyerap karbon. Hal ini

karena adanya perbedaan biaya kesempatan yang hilang dari masing-masing

kondisi wilayah tersebut (Republika, 2007).

Nilai jual karbon di masing-masing wilayah berbeda-beda, tergantung dari

negosiasi antara pembeli dan penjualnya. Sebagai contohnya, studi di Harda,

India, menyebutkan bahwa dalam sebuah desa yang wilayahnya mempunyai

areal hutan kering campur seluas 11.000 Ha, mempunyai potensi penyerapan

karbon sebesar 3,4 ton tiap hektar. Setiap ton karbon dihargai dengan nilai 10

dolar US. Studi lain, menyebutkan sebuah proyek yang terjadi di Mexico. Proyek

tersebut melibatkan 400 petani yang kegiatannya adalah merubah kebun

campur menjadi tanaman kayu yang diperhitungkan mampu menyerap karbon

sebesar 17.000 ton, dengan kisaran harga 10-12 dolar AS per ton (Kompas,

2007).

(7)

dan sektor swasta khususnya sektor industri kehutanan serta masyarakat yang

terlibat dalam pengelolaan hutan tersebut. Apabila hutan digunakan untuk

penangkap karbon, maka hutan tidak boleh ditebang, atau ada pembatasan

jumlah tebangan sehingga pendapatan sub sektor kehutanan akan terhenti

khususnya dari proses penebangan kayu tersebut sampai dengan industri

hilirnya, yang pada akhirnya dapat dijadikan shadow price dari penjualan

tegakan hutan sebagai areal penyimpan karbon. Permasalahan yang timbul

adalah belum diketahuinya kandungan karbon pada tegakan Hutan Produksi

dan besarnya nilai shadow price/opportunity cost pada tegakan tersebut

(Republika 2007).

B. Indonesian carbon efficient farming (ICEF)

Indonesia perlu mengembangkan sistem Indonesian carbon efficient

farming atau pertanian efisien karbon atau sama juga dengan pertanian hijau

(green farming) yaitu sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal

karbon yang dikandung oleh bahan organik sisa tanaman dan limbah ternak

sehingga memberikan nilai tambah berupa peningkatan produktivitas,

pendapatan, dan efisiensi energi serta penurunan emisi gas rumah kaca serta

perbaikan lingkungan. Komponen utama ICEF adalah pemanfaatan hasil

samping (by product) pertanian, perkebunan maupun kehutanan serta

mengintegrasikan beberapa sub sistem untuk meningkatkan nilai tambah

tersebut menjadi pupuk organik, pembenah tanah (arang atau kompos), pakan

ternak dan bahan bakar terbarukan. Sistem ini perlu dikembangkan lebih jauh

karena saat ini hanya baru mulai dikembangkan pada sistem pertanian, namun

perlu dikembangkan juga pada perkebunan dan kehutanan (Lasco. 2006).

III. INOVASI CARBON FARMING DI INDONESIA

A. Carbon farming

(8)

atau menangkap emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi, perubahan iklim serta ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim lansekap areal budidaya.

Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan tanah merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen. Banyak studi yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah dan murah.

Sesungguhnya Carbon farming itu pertanian simpel, hanya bertani dengan mengandalkan carbon/arang lalu selanjutnya akan memberikan dampak terhadap pengurangan emisi atau menangkap GRK kemudian tersimpan pada vegetasi dan tanah. Sistem ini akan berpengaruh terhadap sistem pengelolaan lahan, air, tumbuhan dan hewan untuk menjawab 3 tantangan (Triple challenge) yaitu : restorasi lansekap, perubahan iklim dan ketahanan pangan. Carbon farming Ini berusaha untuk mengurangi emisi dalam proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan penyerapan karbon dalam lansekap. Merupakan sistem budidaya terpadu yang menggabungkan praktek memaksimalkan penangkapan karbon sekaligus pengurangan emisi, hanya dengan satu aksi yaitu menyertakan carbon/arang dalam proses budidaya/silvikultur atau proses produksi. Aplikasi arang sangat menarik karena arang mampu meningkatkan kesuburan tanah, karena sebagai produk yang porous (berpori) akan mampu untuk menahan air dan nutrien tanah dari pencucian. Selain itu arang mengandung mikroelement sebagai nutrisi yang dibutuhkan tanaman, sehingga produktivitas lahan dan produktivitas tanaman meningkat berkali lipat. Hal inilah yang menjadikan carbon sebagai solusi terbaik saat ini sekaligus menjawab berbagai tantangan masa datang.

(9)

meningkatkan keanekaragaman hayati, penyangga terhadap kekeringan dan efisiensi air, serta manfaat lainnya.

B. Potensi biomasa sebagai sumber carbon

Dasar dari carbon farming adalah memanfaatkan limbah biomassa sebagai sumber carbon. Limbah biomassa jumlahnya sangat melimpah, sehingga kalau tidak dikelola berpotensi mencemari lingkungan dan belum dimanfaatkan secara optimal. Luas area hutan Indonesia pada tahun 2011 sebesar 130 juta Ha (MenHut Zulkifli Hasan, 2011). Dari ekspor kayu gergajian akan menyisakan limbah berupa sawdust yang sangat besar, dan saat ini banyak dibuang ke sungai sehingga mencemari lingkungan sekitar. Sedangkan sekam padi yang komposisinya 20-23% dari gabah. Pada tahun 2009, dengan produksi gabah sekitar 63,84 juta ton menghasilkan sekam lebih dari 14,6 juta ton. Di Indonesia setiap tahun terdapat ratusan juta ton limbah produk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perhutanan. Sebagai gambaran, dari 50-an juta ton produksi padi setiap tahun dihasilkan sekitar 60 juta ton limbah berupa jerami dan sekam. Bahan organik ini mengandung karbon yang dapat diproses menjadi carbon, arang atau biochar (Gani, 2009).

Dari sektor perkebunan, cangkang sawit dan serat pada pabrik pengolahan kelapa sawit digunakan untuk bahan bakar boiler, tetapi jumlahnya berlebih dan sisanya menjadi limbah. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit nomor satu didunia pada tahun 2013 tercatat dengan produksi 21,2 juta ton dengan luas lahan 7 juta ha, dengan produktivitas lahan rata-rata 30 ton TBS/ha. Maka produksi kelapa sawit diperkirakan 140 juta ton. Dan cangkang sawit dihasilkan sebesar 9,1 juta ton, dengan sebagian misalnya 50% digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik, maka limbah cangkang sawit masih sangat besar yakni 4,55 juta ton. Selanjutnya Indonesia memiliki 3,712 juta hektar kelapa (31,4% luas kebun kelapa dunia) dan merupakan perkebunan kelapa terbesar di dunia. Dengan produksi kelapanya menduduki urutan no. 2 setelah Filipina, dengan produksi 12,915 milyar butir (24,4% produksi dunia). Dengan berat sebuah kelapa rata-rata 1,5 kg, maka potensi tempurung kelapa Indonesia yaitu 2,3 juta ton/tahun. Dan masih banyak limbah biomassa dari pengolahan limbah agroindustri lainnya yang berpeluang sebagai sumber carbon atau arang (JFE Project, 2011).

(10)

Secara sederhana penerapan carbon farming dimulai dengan penyediaan unit produksi biochar skala kecil yang murah dan mudah untuk dioperasionalkan. Hasil yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, pertanian maupun kehutanan. Pada proses pembuatan biochar, energi panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk memasak, pengeringan kayu, atau biji-bijian. Jika memungkinkan dengan penambahan suatu mesin atau turbin, selanjutnya sistem ini dapat menghasilkan energi kinetik untuk penggilingan bibji-bijian (spt padi) atau pembangkit listrik. Asap yang terbentuk pada proses produksi biochar, dikondensasikan hingga terbentuk cairan asap. Cairan asap dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari rumah tangga hingga menunjang dalam sistim kultivasi, baik sebagai biopestisida maupun sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu jelas sekali bahwa proses ini dapat mengeliminasi emisi hampir 90 persen.

Pada sektor peternakan, emisi GRK dilepaskan dari limbah yang terbentuk. Penggunaan biochar/arang selain dapat menekan pelepasan emisi ke udara, juga membuat lingkungan kandang dan ternak semakin sehat, karena arang yang porous dapat menyerap emisi, sekaligus memerangkap mikroba patogen penyebab penyakit pada ternak. Arang juga dapat dicampurkan sbagai campuran makanan ternak. Pada ternak sapi arang yang mengandung karbon dapat melancarkan proses fermentasi yang berlangsung dalam rumen ternak, sehingga kotoran yang keluar tidak bau. Pada ternak unggas campuran arang pada makanan ternak selain membuat ternak makin sehat juga membuat telur lebih awet, dan tahan pecah. Selain itu penggunaan arang pada lantai kandang ternak unggas akan membuat lingkungan kandang semakin hangat dan akan mengurangi bau. Sewaktu-waktu arang yang bercampur dengan kotoran ini dapat langsung digunakan sebagai pengganti pupuk kimia yang mulai mahal dan sulit diperoleh, apalagi untuk daerah yang sulit terjangkau. Dengan demikian carbon farming ini merupakan jawaban terhadap berbagai ancaman dan tantangan bagi pertanian, perkebunan dan kehutanan Indonesia.

IV. PENUTUP

(11)

suatu pendekatan penggunaan biochar ke dalam sistem usaha tani, perkebunan maupun kehutanan. Sehingga menjadikan usaha pengelolaan limbah menjadi sumber daya yang memiliki peluang besar. Berbagai literatur, penelitian, seminar, pelatihan dan ujicoba di seluruh dunia telah membuktikan bahwa biochar atau agrichar yakni arang yang dihasilkan dari proses pirolisis memberi manfaat yang besar bagi kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman semakin meningkat. Jepang adalah salah satu Negara yang dikenal pengguna biochar untuk lahan pertanian selama puluhan tahun. Hal tersebut membuat sejumlah wilayah Asia Tenggara juga terimbas untuk menggunakan biochar untuk memperbaiki kualitas tanahnya. Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos dan Philipina adalah sejumlah negara di Asia Tenggara yang mencoba mengaplikasikan biochar tersebut. Aktivitas ini memberikan hasil yang menggembirakan karena memberi hasil positif dan mengurangi pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan baku berbagai jenis limbah biomasa. Harapannya aktivitas penggunaan biochar ini terus meningkat dalam skala lebih besar dan berkelanjutan

Tanaman akan selalu membutuhkan pupuk sebagai nutrisinya dalam jumlah tertentu untuk pertumbuhan dan produktivitas buahnya. Sehingga menjamin pupuk sebagai sumber nutrisi yang memadai bagi tanaman tersebut adalah hal prinsip yang harus diupayakan. Pada kenyataannya untuk menyediakan jumlah yang memadai tersebut memerlukan biaya yang besar, karena berbagai faktor lingkungan spesifik lokasi tanaman itu berada. Pupuk pada umumnya akan banyak tercuci / leaching (rata-rata 50 persen) sehingga menimbulkan banyak pemborosan yang merugikan. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus dan perlu segera solusi untuk mengatasinya. Carbon farming melalui aplikasi carbon/biochar adalah salah satu solusi jitu untuk hal tersebut. Limbah biomasa berlebih akan sangat potensial digunakan untuk bahan baku biochar. Produksi biochar dengan pirolisis mampu untuk mengolah jumlah limbah biomasa tersebut. Selain menghasilkan biochar juga akan dihasilkan asap cair yang bisa digunakan untuk memacu pertumbuhan tanaman, mencegah hama tertentu serta dapat berfungsi sebagai anti bakteri.

(12)

diperkirakan merupakan hasil pengelolaan bangsa Amerindian sejak 500 tahun hingga 2.500 tahun silam. Dari buku kuno di Jepang juga diketahui istilah pupuk-api ( fire-manure) sebagai penyubur pertanian pada tahun 1697 adalah arang. Demikian juga tradisi di China menyuburkan lahan sejak lama dikembangkan melalui pembakaran biomassa, yang diikuti oleh penelitian ilmiah terhadap peran arang terhadap pertumbuhan bibit padi ternyata sudah dikembangkan sejak tahun 1915.

Carbon farming dengan produk arang/biochar akan memiliki peran yang besar untuk meningkatkan kesuburan tanah termasuk mereduksi kebutuhan pupuk kimia pada perkebunan/ hutan tanaman dan dengan biochar ini ibarat sekali merengkuh dayung dua tiga pula terlampaui, masalah limbah padat kehutanan atau perkebunan seperti sawit bisa diatasi, mendapat sumber energi dan perbaikan kesuburan tanah. Arang selain mampu menyuburkan tanah juga mampu menangkap gas karbondioksida dari atmosfer sehingga merupakan mekanisme carbon negative, Dengan demikian carbon farming merupakan sistem budidaya yang dapat menjawab berbagai tantangan global Indonesia di masa mendatang.

VII. DAFTAR BACAAN

Center for International Forestry Research. (2003). Perdagangan Karbon, Berita Warta Kebijakan No.8 Pebruari, Bogor

Climate Change Secretariat (UNFCCC). (2007). Climate Change: Impacts, Vurnerabilities and Adaptation in Developing Countries. Martin-Luther-ing-Strasse 8,53175 Bonn, Germany. Gani, A. (2009). Aplikasi Sistem Biochar di Pedesaan dan Negara Berkembang. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, vol 31 no 6.

JFE. (2011). Pengolahan Limbah Biomassa Menjadi Produk-Produk Bermanfaat Bernilai Ekonomi Tinggi . 11th November 2011.

Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. (1997). United Nations, Tokyo, Japan.

Kompas. (2007). Perdagangan Karbon Makin Menarik. Kompas, 23 Agustus, Jakarta.

Lasco, R.D. dkk., (2006). Carbon Stocks Assessment on a Selectively Logged Dipterocarp Forest and Wood Processing Mill in The Philippines. Journal of Tropical Forest Science 18(4): 166-172

(13)

agencies, and nonprofit organizations seeking to understand and demonstrate the potential of enhanced carbon sequestration in Marin’s agricultural and rangelands soils.

US Department of Agriculture/Natural Resource Conservation Service.

Nugroho, N., P., (2006). Estimate Carbon Sequestration in Tropical Rainforest Using Integrated Remote Sensing and Ecosystem Productivity Modelling, International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, Netherlands.

Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Perpres RAN – GRK)

Republika. (2007). Era Perdagangan Karbon Dimulai. Republika, 1 Desember, Jakarta.

Ruddell, S., Walsh, M.J., Kanakasabai. (2006). Forest Carbon Trading and Marketing in the United States. United States.

Rebecca Ryals and Whendee L. Silver 2013. Effects of organic matter amendments on net primary productivity and greenhouse gas emissions in annual grasslands. University of California, Berkeley, Department of Environmental Science, Policy, and Management. Ecological Applications 23:46–59

Danilo I. de Urzedo, Mariana Pires Franco, Leonardo Machado Pitombo, Janaina Braga do Carmo. (2013) Effects of organic and inorganic fertilizers on greenhouse gas (GHG) emissions in tropical forestry. Forest Ecology and Management310, 37-44.

ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA):

TEKNIK PEMBUATAN DAN APLIKASINYA PADA TANAMAN

Oleh : Gusmailina, Sri Komarayati & Gustan Pari**)

I. PENDAHULUAN

(14)

akar sehingga disebut bioaktif. Penambahan arang pada proses pengomposan bertujuan selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga akan meningkatkan jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat.

Arkoba lebih unggul dibanding dengan kompos yang dihasilkan secara konvensional, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah serta menjadi agent pembangun kesuburan tanah. Oleh sebab itu Arkoba cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah.

Arkoba dibuat melalui proses pengomposan dengan menggunakan mikroorganisme terseleksi sebagai bioaktivator yang terdiri dari bakteri Cytophaga dan fungi Trichoderma sehingga proses pengomposan berlangsung secara terkendali dan menghasilkan produk yang kualitasnya terjamin. Hasil penelitian maupun uji coba di lapangan oleh masyarakat, menunjukkan kalau penggunaan arkoba dapat meningkatkan produktivitas lahan dan hasil secara signifikan.

A. ARANG SEBAGAI PEMBANGUN KESUBURAN TANAH (PKT) 1. Penemuan Terra Preta

(15)

pembakaran biomassa, yang diikuti oleh penelitian ilmiah terhadap peran arang terhadap pertumbuhan bibit padi ternyata sudah dikembangkan sejak tahun 1915.

Gambar 1. Temuan tanah hitam atau Terra Preta di lembah Amazon (Sumber : Glaser dkk., 2001)

Penemuan terbaru tentang tanah Terra Preta di Malinau, Provinsi Kalimantan Timur oleh peneliti Cifor yang dipublikasi pada tahun 2012, memberi perhatian terhadap aplikasi arang/biochar. Diharapkan temuan ini dapat mengakselerasi implementasi dan aplikasi arang/biochar secara nasional serta menumbuhkan berbagai industri arang di berbagai daerah di Indonesia dan Asia Tenggara. Penemuan ini diperkirakan dilakukan oleh masyarakat lokal yang hidup nomaden di pedalaman Kalimantan sejak berabad silam. Hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan membakar secukupnya untuk budidaya tanaman demi memenuhi kebutuhan hidup, secara tidak sengaja meninggalkan bekas berupa tanah hitam layaknya seperti Terra preta di lembah Amazon. Ketidak sengajaan ini akibat faktor lingkungan dimana sewaktu proses slash-burn atau tebang bakar, terjadi hujan sehingga hasil pembakaran tidak berlanjut menjadi abu. Sehingga istilah bukan lagi “slash and burn” tetapi menjadi “slash and char” tebang dan arang.

2. Fungsi dan manfaat arang

(16)

memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Selain itu arang dapat meningkatkan pH tanah sehingga kondisi ini akan memberikan ruang bagi perkembangan mikroba tanah yang berfungsi dalam penyediaan unsur hara dalam tanah yang nantinya akan di serap tanaman. Oleh sebab itu arang disebut sebagai pembangun kesuburan tanah. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambhan arang pada media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan spora ekto dan endo mikoriza pada tanaman. Sehingga dapat mempercepat pertumbuhan tanaman baik di persemaian maupun di lahan. Lehmann, Professor dan Peneliti dari Cornell University dan berbagai tempat didunia telah membuktikan secara ilmiah pengaruh arang terhadap kesuburan tanah. Efek lain penggunaan arang ke dalam tanah adalah untuk mereduksi pemanasan global (global warming), yakni dengan cara mengikat gas rumah kaca dari atmosfer seperti CO2. Pengikatan CO2 ke dalam tanah juga berakibat baik bagi pertumbuhan tanaman. Teknologi untuk mereduksi global warming sedang dikembangkan saat ini dan belum ditemukan teknologi yang efektif dan bisa diaplikasikan secara masal selain menanam arang ke tanah.

3. Meningkatkan aktivitas mikrorganisme tanah dan pH tanah

Walaupun bukan sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologi tanah. Dari beberapa pengamatan ternyata penambahan arang dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak bahan organik tanah. Selain itu juga dapat meningkatkan populasi bakteri pengikat N dalam tanah. Aplikasi arang pada tanah yang berasal dari limbah sangat sesuai dengan pola pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, karena dapat menbantu menyelesaikan masalah limbah sekaligus memperbaiki lahan-lahan masam dan kritis, serta membuat tanah dalam keadaan stabil. Karakteristik arang berguna sebagai agent bagi pembangun, penyubur sekaligus menjaga stabilitas tanah, sehingga arang mempunyai peran sebagai pemberi kehidupan berjangka panjang pada tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.

(17)

mempunyai pori-pori yang luas, sehingga memberikan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme tanah yang diperlukan oleh tanaman. Aplikasi arang pada tanah sangat diperlukan di masa datang, mengingat sifat dan perannya yang cukup penting. Oleh sebab itu arang jangan dipandang sebagai komoditi energi dan ekonomi saja, namun memiliki nilai ekologis yang tinggi, sehingga perlu dikembangkan model pertanian/ peternakan dan kehutanan berbasis teknologi arang secara terpadu.

A B

Gambar 2. Pengaruh aplikasi arang terhadap kondisi ph tanah (A), dan Pengaruh penambahan arang terhadap perkembangan mikroorganisme tanah (B) (Sumber

Gusmailina, dkk. 1999; 2004)

Pemberian arang pada media tanam memberikan hasil yang nyata terhadap peningkatan jumlah mikroorganisme tanah, diantaranya bakteri tanah dan bakteri yang berfungsi sebagai pengikat N bebas (soil bacteria dan nitrogen fixation bacteria) (Gambar 3).

(18)

Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan arang di dalam tanah dapat digunakan sebagai habitat fungi dan mikroba tanah lainnya. Sebagaimana dilaporkan oleh Saito & Marumoto (2002) bahwa fungi dapat bersporulasi di dalam pori mikro arang karena di dalam pori tersebut kompetisi yang terjadi dengan saprofit lainnya cukup rendah. Oleh karena itu pemanfaatan arang sebagai bahan pembawa bioamelioran dengan bahan aktif hayati/bakteri merupakan peluang baru yang dapat menghasilkan sebuah penemuan inovasi.

II. ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA)

Arang kompos bioaktif (Arkoba) merupakan produk lanjutan dari arang, yang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian dan uji coba penggunaan arang pada berbagai jenis tanaman, dengan perolehan hasil yang sangat baik. Sehingga selanjutnya arang digunakan pada proses pengomposan dengan menggunakan mikroorganisme terseleksi sebagai bioaktivator yang terdiri dari bakteri Cytophaga dan fungi Trichoderma sehingga proses pengomposan berlangsung secara terkendali dan menghasilkan produk yang kualitasnya terjamin. Hasil penelitian maupun uji coba di lapangan oleh masyarakat, menunjukkan kalau penggunaan arkoba dapat meningkatkan produktivitas lahan dan hasil secara signifikan.

Arang kompos bioaktif mempunyai sifat yang lebih baik dari kompos konvensional karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos. Morfologi arang yang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Hara tersebut dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek

slow release). Karenanya hara tersebut tidak mudah tercuci, lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos bioaktif meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi arang kompos.

C. PEMBUATAN ARKOBA

(19)

a. Bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat arkoba cukup sederhana, dengan memanfaatkan limbah yang ada disekitar kita, antara lain limbah organik rumah tangga, limbah pertanian, seperti limbah sayuran, jerami, kulit atau tongkol jagung, kotoran hewan, bahkan sampah organik dari perkotaan juga dapat dijadikan bahan baku. Limbah asal industri yang dapat dijadikan arkoba antara lain seperti: serbuk gergaji dibuat arang sebagai pencampur dalam proses pengomposan, limbah penyulingan seperti minyak kayu putih dan minyak nilam. Pangkasan pohon dari tanaman perkotaan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, gulma dan serasah daun yang ada disekitar perumahan dan perkantoran juga juga baik dimanfaatkan sebagai bahan baku.

Gambar 4. Contoh bahan baku limbah organik

b. Tempat pengomposan.

(20)

Gambar 5. Tempat atau wadah pembuatan arkoba c. Aktivator

Berguna untuk mempercepat proses pengomposan dengan bahan aktif mikroorganisme. Jenis aktivator yang digunakan disesuaikan dengan jenis bahan baku yang akan dikomposkan. Untuk limbah yang sulit hancur (serbuk gergaji, serasah tusam dan serasah mangium) harus menggunakan aktivator yang mengandung bahan aktif khusus mikroorganisme pengurai lignoselulosa diantaranya bahan aktiv yang mengandung mikroorganisme Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp (Away, 2003 dan Goenadi & Away, 1997).

Gambar 6. Aktivator pengomposan 2. Pembuatan arang dengan tungku/kiln semi kontinyu

(21)

tempat pembakaran, leher cerobong dan cerobong. Spesifikasi tungku semi kontinyu ini dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 7. Tungku semi kontinyu dan spesifikasi

Langkah-langkah membuat arang dengan tungku semi kontinyu:

 Masukkan serpihan kayu sebanyak 5-10 kg sebagai umpan bakar di bahagian pengarangan kemudian biarkan terbakar sampai panas dan membara;

 Masukkan serbuk gergaji atau sekam padi ke bagian pembakaran sebanyak 3 kg (sekitar 35-40 kg) melalui pintu bagian belakang tungku;

 Biarkan sampai membara sambil sesekali diaduk, sehingga serbuk yang terbakar akan jatuh ke bagian tempat pengarangan;

 Biarkan terbakar sampai warna menjadi hitam, lalu ditarik ke bagian penampungan yang berisi air. Jika masih terlihat warna serbuk yang coklat, aduk sampai semua berubah menjadi arang;

 Setiap 30 menit lakukan penambahan bahan baku sebanyak 1 karung (10-15 kg);  Proses selanjutnya sama , dilakukan berulang-ulang secara kontinyu sampai

didapatkan arang sesuai dengan kebutuhan;

 Biarkan arang terendam sesaat di dalam bak penampungan, kemudian dikeringkan. Setelah kering arang siap untuk dikemas atau digunakan.

3. Langkah-langkah pembuatan Arang kompos bioaktif

(22)

 Tambahkan aktivator sebanyak 0,5-10 % tergantung jenis bahan yang akan dikomposkan, 0.5% (b/b) atau 5 kg dalam 1 ton, untuk bahan organik lunak (daun-daunan, jerami, bagas tebu, dan lain-lain); 1.25% (b/b) atau 12.5 kg per 1 ton bahan baku, untuk bahan organik berkayu ( TKKS, sisa pangkasan the/ranting pohon dan sebagainya). Penggunaan aktivator 10 % diperuntukkan bagi bahan baku yang sulit hancur atau terurai seperti serbuk gergaji.

 Aduk campuran hingga rata; lalu tambahkan air hingga kondisi kadar air campuran bahan berkisar antara 20%-30 %;

 Masukkan ke dalam bak-bak pengomposan yang dipilih sesuai dengan keinginan, lalu ditutup dengan plastik hitam ;

 Khusus untuk bahan yang sulit hancur seperti limbah kehutanan, sebaiknya pada minggu ke dua, ke tiga dan ke empat dibalik dan di aduk ulang hingga tercampur rata, apabila kondisi bahan agak kering dapat ditambahkan air secukupnya;

 Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu pertama dan ke dua suhu meningkat hingga mencapai 55 o C - 60 oC, lalu menurun pada minggu-minggu berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah stabil berarti proses pengomposan sudah selesai dan kompos dapat dibongkar;

 Proses pengomposan berlangsung antara 2 minggu sampai 10 minggu tergantung bahan baku yang digunakan. Limbah sayuran/dedaunan segar pengomposan berlangsung selama 2 minggu, pengomposan serasah dedaunan kering berlangsung selama 1 bulan, sedangkan serbuk gergaji selama 2-3 bulan;

 Secara visual kompos yang sudah matang akan mengalami perubahan warna, sedangkan indikator kompos yang siap pakai yaitu mempunyai nisbah C/N di bawah atau sama dengan 20;

 Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus kemudian dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh;

 Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.

Gambar 8. Bentuk arkoba selesai proses komposting

4. Pembuatan arang kompos di antara tegakan hutan tanaman

(23)

tertinggal dijadikan arang kemudian sebagai bahan untuk kompos adalah dedaunan segar atau serasah. Proses pengomposan dapat dilakukan dengan jalan membuat lobang persegi atau lobang sepanjang larikan sedalam 0,5 m. Lobang ini sebelumnya dialas dengan plastik agar proses pengomposan tidak ada kontak langsung dengan tanah, kemudian semua bahan yang akan dikomposkan dimasukkan ke dalam lobang lalu ditutup lagi dengan plastik, kemudian biarkan sampai kompos terbentuk. Kompos yang terbentuk kemudian dapat dibongkar lalu dipindahkan, atau dibiarkan sebagai pengganti pupuk pada penanaman berikutnya.

A B

(24)

D. APLIKASI ARKOBA

Dari beberapa aplikasi Arkoba yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi Arkoba meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi Arkoba. Aplikasi Arkoba di Ciloto (KPH Cianjur), pada tanaman pak choi, brokoli, dan wortel. Hasil yang diperoleh dalam satuan luas 400 m persegi, produksi meningkat 1, 5 kwintal, jika dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa digunakan oleh petani seperti bokasi, selain itu juga mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia sebesar 40%.

(25)

Aplikasi Arkoba pada tanaman Jati umur 5 tahun di hutan tanaman JIFPRO, Sekaroh, Mataram, Lombok memberikan hasil yang baik dan signifikan (Gambar 29).

Gambar 11. Aplikasi Arkoba pada tanaman kehutanan jati (foto dok. Gusmailina)

Pembuatan Arkoba cukup mudah untuk diterapkan pada masyarakat pedesaan dan sekitar hutan, dengan menggunakan bahan baku yang terdapat di sekitarnya. Puslitbang Hasil Hutan, sejak tahun 2000 telah melaksanakan sosialisasi/diseminasi sekaligus peragaan pembuatan Arkoba di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera antara lain di Kabupaten Serang; Ciamis; Tasikmalaya; Garut; Pandeglang; Lw Liang; Ciloto (KPH Cianjur); KRPH Jembolo Utara, Kota Semarang; dan Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi. Pada tahun 2006 kegiatan ini juga dilakukan di desa Karyasari, Kabupaten Lw Liang, Bogor. Produksi Arkoba lebih difokuskan untuk memacu produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera. Selain itu juga diaplikasikan pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata.

1. Produksi dan Aplikasi Arkoba di Desa Karyasari

(26)

A B

Gambar 12. Transfer teknologi Arang Kompos Bioaktif (Arkoba) kepada Kelompok Tani Rimba Sejahtera di Desa Karyasari, Lw. Liang, Kab Bogor, serta aplikasi pada tanaman

murbey (A), palawija, nilam dan tanaman Kehutanan (B) foto dok gusmailina

2. Produksi dan Aplikasi Arkoba dari Garut

(27)

Gambar 13. Aplikasi Arkoba pada tanaman sayuran kol (foto dok. Gusmailina)

Demikian juga aplikasi arkoba pada tanaman hias (bunga ros/mawar dan algebra) sangat bagus. Efek yang ditunjukkan adalah selain warna bunga dan daun lebih cerah dan tajam, juga lebih tahan (tidak mudah gugur), bahkan jika dibiarkan kelopak bunga sama sekali tidak rontok sampai kering (Gambar 14).

Gambar 14. Aplikasi Arkoba pada tanaman bunga (foto dok. Gusmailina)

(28)

Gambar 15. Aplikasi Arkoba pada lahan Gerhan di lokasi Ranca Salak, Kab. Garut (foto dok. Gusmailina)

Kualitas Arkoba yang diproduksi oleh beberapa kelompok yang dikoordinir oleh Lsm Gepak di Garut bervariasi setiap kali produksi. Pada tahun 2008 Arkoba yang dihasilkan 80% diserap oleh kegiatan Gerhan, sisanya dipakai sendiri oleh anggota kelompok untuk budidaya, dijual ke pedagang atau ada pesanan khusus, seperti ke Bekasi, Lampung, Bogor, dan Cianjur. Kandungan unsur hara makro yang dikandung oleh arkoba produksi Garut antara lain: C organik = 30-35 %; N total = 1,4 – 1,8 %; P total = 0,3 – 1,2 %; K = 0,5 – 1,0 5; Ca = 1,0 – 1,2 %; dan Mg = 0,4 – 1 %.

Gambar 16. Arang kompos produksi Garut

Dibandingkan dengan Pedoman Pengharkatan hara kompos (Anonimus, 2000) dan SNI (Anonimus, 2004), maka rata-rata kualitas arkoba produksi Garut sudah termasuk ke dalam kriteria sedang sampai tinggi. Demikian juga bila dibandingkan dengan SNI (Anonimus, 2004). Sehingga Arkoba produksi Garut layak untuk dikembangkan dan di pasarkan secara nasional.

Tabel 1 Perbandingan kualitas arang kompos bioaktif Garut dengan standar yang yang diakui

Parameter Arkoba

produksi

PPHK * SNI **

(29)

Garut h g x

Penggunaan Arkoba pada tanaman tembakau hasilnya sangat bagus. Tembakau yang ditanam dengan Arkoba menghasilkan daun rajangan seberat 7,5 ons, sedangkan yang tidak menggunakan Arkoba hanya mempunyai berat 3 ons. Dengan demikian daun tembakau yang ditanam dengan Arkoba memberikan hasil daun 2 kali lebih banyak dibanding daun tembakau yang tidak menggunakan Arkoba. Pengeringan daun tembakau yang ditanam dengan menggunakan Arkoba juga lebih efisien, hanya membutuhkan waktu 3-4 hari pengeringan, sedangkan yang tidak menggunakan Arkoba memerlukan waktu lebih lama. Demikian juga aroma rajangan daun tembakau yang ditanam dengan Arkoba lebih tajam dibanding dengan aroma rajangan daun yang tidak pakai Arkoba. Pada Tabel... dapat dilihat perbandingan efek penggunaan Arkoba pada tanaman tembakau dibanding dengan tembakau yang ditanam tanpa menggunakan Arkoba. Selain itu penggunaan pupuk dengan Arkoba lebih efisien, hanya 24 karung. Sedangkan tembakau yg ditanam memakai pupuk yang bukan Arkoba mencapai 40 karung.

Tabel 2 Efek penggunaan Arkoba pada tanaman tembakau

No Parameter Pakai Arkoba Tanpa Arkoba

(30)

2 Berat daun

rajangan 7,5 ons/3 pohon 3 ons/3 pohon

3 Pengeringan

daun

3-4 hari Sampai 30 hari

4 Aroma daun Lebih tajam Biasa/kurang tajam

5 Penggunaan

pupuk

24 karung 40 karung pakai

pupuk biasa

Gambar 17. Pelatihan Produksi Arkoba (ARang KOmpos Bio Aktif) Di Kabupaten Garut (foto dok. Gusmailina)

2. Aplikasi Arkoba pada Tanaman Sayuran Tumpangsari

(31)

Gambar 18. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pada tanaman sayuran di bawah tegakan Pinus di Ciloto (foto dok. Gusmailina)

3. Pembuatan dan Aplikasi Arkoba di Kabupaten Muaro Jambi

Aplikasi Arkoba pada beberapa jenis tanaman sayuran di Kabupaten Muaro Jambi, diawali dengan sosialisasi pembuatan arang dan arkoba di salah satu sawmill di tepian sungai Batang hari dengan memanfaatkan limbah serbuk gergaji (Gambar 36). Hasil yang diperoleh sangat memuaskan dan sangat nyata.

Gambar 19. Sosialisasi pembuatan Arkoba di Jambi ( foto dok. gusmaiLina)

(32)

Gambar 21. Aplikasi Arkoba pada anakan bulian dan tanaman penghasil gaharu di Jambi

( foto dok. gusmaiLina)

Gambar 22. Pengaruh pemberian Arkoba terhadap pertambahan tinggi anakan bulian (E.zwageri) dan gaharu (A.malaccensis) selama 4 bulan di kebun bibit Dishut Jambi

Hasil penelitian pemanfaatan arkoba sebagai campuran media pertumbuhan anakan bulian (Eusyderoxylon zwageri) dan anakan gaharu (Aquilaria malaccensis), dua jenis tanaman andalan setempat yang sedang dikembangkan, menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan bulian (E.zwageri) dan gaharu (A.malaccensis) pada media ASG dan ASGJ berpengaruh nyata. Pertambahan tinggi dan diameter anakan, meningkat masing-masing dapat mencapai 2-4 kali lipat dibanding dengan kontrol.

Arkoba yang dibuat dan diaplikasikan adalah Arkoba serbuk gergaji yang dicampur dengan jerami padi. Analisis Arkoba yang diperoleh adalah sebagai berikut : pH Arkoba serbuk gergaji berkisar antara 6,2 – 7,1 ; C organic 30,42 – 39,21 % ; N total 1,42 – 1,77 % ; Nisbah C/N 19,6 – 27,0 ; P 1,46 – 2,44 % ; K 0,79 – 0,98 %, Ca 1,82 – 3,06 ; Mg 0,42 – 1,32 % ; KTK 14,66 – 28,38 me/100 g dan kadar air 26,51 – 37,34 %. Hasil pengamatan selama 3 bulan menunjukkan bahwa pengaruh penambahan 40 %

(33)

Arkoba serbuk gergaji dan pupuk kandang pada tanaman Gmelina,bulian dan gaharu

dapat meningkatkan pertambahan tinggi dan diamater batang tanaman masing-masing 2,2 dan 1,6 kali lebih baik dibanding kontrol.

4. Aplikasi Arkoba pada tanaman Nilam

Penambahan Arkoba pada budidaya nilam memberikan pengaruh sangat baik terhadap rendemen minyak nilam. Pada Tabel berikut dapat dilihat pengaruh penambahan arkoba terhadap rendemen minyak hasil penyulingan nilam

Tabel 3 Pengaruh penambahan arkoba terhadap rendemen minyak nilam

No

Perlakuan penanaman

nilam

Rendemen minyak

nilam,%

1

Tanpa Arkoba

2 – 2,1

2

Memakai Arkoba

3 – 4,5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan nilam yang diberi Arkoba lebih baik dibanding pertumbuhan yang tidak diberi Arkoba yaitu lebih kokoh, daun lebih lebar, dan mengkilat dengan warna lebih cerah dan tajam. Produksi DNB (daun nilam basah) yang diberi Arkoba mencapai 120 ton/ha atau sama dengan 30 ton/ha DNK (daun nilam kering), sedangkan produksi DNB nilam yang ditanam tanpa Arkoba hanya 50 ton per hektar atau sekitar 12 ton/ha DNK. Peningkatan produksi yang diperoleh lebih dari 2 kali lipat jika budidaya menggunakan Arkoba.

Tabel 4. Pengaruh penambahan arkoba terhadap kualitas minyak nilam

Karakteristik

Hasil analisis kualitas minyak nilam Dengan

arkoba Tanpa

arkoba

Hasil penelitian Rumondang,

2004

SNI 06-2385-1998

Berat jenis

25/25oC 0,957 0,956 0,967 0,943-0,983

(34)

20oC sedangkan rendemen minyak nilam yang ditanam tanpa menggunakan arkoba hanya berkisar 2-2,3% dengan rata-rata 2%.

Kadar patchouli alkohol minyak nilam yang ditanam dengan penambahan Arkoba yaitu 40,01%, sedangkan yang tanpa diberi Arkoba hanya 32,26%. Mengacu pada syarat SNI 06-2385-1998, hasil analisis kualitas minyak nilam pada uji coba ini semua kriteria masuk ke dalam standar yang disyaratkan.

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penambahan Arkoba pada budidaya nilam memberikan pengaruh sangat baik, baik terhadap produktivitas nilam maupun terhadap kualitas minyak yang dihasilkan. Dengan demikian penggunaan Arkoba pada budidaya nilam selanjutnya sangat dianjurkan.

5. Aplikasi Arkoba pada tanaman Jati

Aplikasi arang kompos bioaktif sebagai campuran media tumbuh anakan jati di KRPH Jembolo Utara (Jawa Tengah) selama 4 bulan menunjukkan bahwa pemberian Arkoba dari serbuk gergaji dapat meningkatkan tinggi dan jumlah anakan yang hidup sebesar 100 %. Demikian juga pada percobaan penggunaan arang kompos bioaktif pada anakan Gmelina, dimana hasil yang diperoleh dapat meningkatkan pertambahan tinggi dan diamater batang tanaman masing-masing 2,2 dan 1,6 kali lebih baik dibanding kontrol.

(35)

Beberapa jenis arang kompos yang telah dibuat di Pustekolah mempunyai kandungan unsur hara makro yang bervariasi walaupun dengan kadar yang tidak jauh berbeda, tergantung jenis bahan baku yang digunakan. Pengujian mutu dan kualitas arang kompos yang dapat dilakukan di lapangan adalah penampakan secara visual berupa perubahan bentuk, warna, serta penyusutan volume. Bentuk berubah ukuran menjadi lebih halus dan hancur, sedangkan warna menjadi coklat kehitaman sampai hitam, sedangkan volume akan menyusut maksimum 20-30 %, serta tidak memberikan bau yang menyengat. Selain itu pengujian suhu dan pH arang kompos juga dapat dilakukan di lapangan. Suhu konstan berkisar antara 25 - 30 oC, sedang pH netral antara 6-7. Analisis kimia di laboratorium diperlukan sebagai upaya pendukung. untuk mengetahui apakah arang kompos telah dapat digunakan secara benar perlu diketahui rasio/nisbah C/N, yaitu perbandingan kadar C (carbon) dan kadar N (nitrogen). Arang kompos dapat digunakan apabila nisbah C/N nya 20, tergantung pada jenis tanaman. Tanaman sayuran dan bunga biasanya membutuhkan kompos dengan C/N yang rendah (dibawah 20), sedangkan tanaman perkebunan, buah-buahan, tanaman kehutanan serta tanaman keras lainnya dapat menggunakan kompos dengan C/N yang berkisar antara 20-30.

Tabel 5 : Analisis kandungan unsur hara makro dari beberapa jenis arang kompos

No Jenis unsur hara AKSr camp AKSr mangium AKSR tusam AKSG

C organik

Keterangan : AKSR camp = Arang kompos serasah daun campuram

AKSr mangium = Arang Kompos serasah daun Acacia mangium

AKSR tusam = Arang kompos serasah daun tusam ( Pinus merkusii)

AKSG = Arang kompos serbuk gergaji

(36)

Standar mutu arang kompos sampai saat ini belum ada. Untuk itu sementara ini standar yang digunakan adalah standar mutu kompos yang berlaku secara nasional, yaitu yang dikeluarkan oleh Biotrop dan Perum Perhutani, atau secara internasional (Jepang) dan lain-lain. Standar ini disajikan agar dapat digunakan sebagai pembanding terhadap mutu dan kualitas kompos yang dibuat.

(37)

Tabel 6 . Pedoman Pengharkatan Hara Kompos oleh BIOTROP

(38)

Selain standar mutu kompos yang dikeluarkan oleh BIOTROP, pada Tabel 4 juga dapat dilihat standar mutu yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani, serta standar mutu kompos yang dikeluarkan oleh Jepang. Semua standar ini disajikan sebagai pembanding.

Tabel 7. Standar mutu hara kompos

NO. PARAMETER PERHUTANI JEPANG

1 Carbon (C), % 19,6

-2 Nitrogen (N), % 1,1 > 1,2

3 Posfor (P2O5), % 0,9 > 0,5

4 Kalium (K2O), % 0,6 > 0,3

5 Kalsium (CaO), % 4,9

-6 Magnesium (MgO), % 0,7

-7 C/N 10 – 20 < 35

8 pH 7,3 5,5 – 7,5

9 Kadar air, % 35,6

-10 Berat jenis, kg/liter -

-11 Asam Humik, % -

-12 Asam Fulfik, % -

-13 KTK, meq/100 gram -

Sumber (Source) : Perhutani (1977) ; Harada et al (1993) dalam Noor dkk. (1996),

PENUTUP

(39)

produktivitas lahan menjadi lebih baik sekaligus akan meningkatkan produktivitas tanaman.

Akhir-akhir ini produk budidaya organik menempati urutan tertinggi dalam permintaan maupun harga, karena kecenderungan konsumen saat ini menginginkan pangan yang bebas dari bahan-bahan kimiawi. Namun keberadaan pupuk organik di pasaran masih terbatas. Oleh sebab itu, pembuatan arang kompos mempunyai prospek yang besar dalam menunjang sistem pertanian dan budidaya organik tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah lokasi pembuatan arang kompos sebaiknya tidak jauh dari sumber bahan baku yang akan dibuat, karena hal ini akan berpengaruh terhadap investasi biaya. Oleh sebab itu sebaiknya setiap industri pengolahan kayu mempunyai satu unit peralatan untuk membuat arang kompos, sehingga limbah yang sebelumnya dapat mencemari lingkungan, dapat dimanfaatkan menjadi produk baru yang berguna. Selain itu, membuat arang kompos dari serasah di bawah tegakan hutan tanaman sangat dianjurkan, sebagai salah satu upaya antisipasi kebakaran hutan sekaligus meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Away, Y, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Laporan. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor

Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. as activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils

(ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192. Kyoto University. Kyoto Japan.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and charcoal compost production. Laporan Kerja sama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dengan JIFPRO - Jepang

Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai

soilconditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)

Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 1999. Teknologi penggunaan arang dan arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan Proyek.Pusat Penelitian dan Pengembangan hasil Hutan. Bogor

(40)

Gusmailina, S. Komarayati dan G. Pari. 2005. Pengembangan pembuatan arang kompos dalam rangka menunjang Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Di Pandeglang, Prop. Banten. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi hasil Hutan. Badan Penelitian dan dan pengembangan Kehutanan. Bogor. ISBN: 979-3132-27

Gusmailina, Sri Komarayati dan G. Pari. Pengembangan Teknologi Arang Kompos Bioaktif di TPA (tempat Pembuanagan Akhir) Dalam Rangka Pengurangan Dampak Pemanasan Global. Makalah pada seminar MAPEKI. Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjung Pura. Kalimanatan. 2007.

Gusmailina. 2007. Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHAN Melalui Teknologi dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif. Buku panduan dalam rangka Pelatihan Peningkatan Kualitas arang Kompos Bioaktif di Kabupaten Garut. Kerjasama Dinas Kehutanan Kab Garut dengan KopKar GEPAK Wira Satria Sejati. Desember 2007.

Gusmailina. 2007. Pembuatan arang dan arang kompos dari limbah PLTB. Makalah pada Acara Gelar Teknologi PLTB (Penyiapan Lahan Tanpa Bakar). Kerjasama. Puslitbang Hutan Tanaman dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Nopember 2007

Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari, dan D. Hendra. 2002. Kajian teknologi pengolahan arang dan limbah pengolahan pulp dan kertas di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Bogor

Gusmailina & S. Komarayati. 2008. Teknologi Inovasi Penanganan Limbah Industri Pulp Dan Kertas Menjadi Arang Kompos Bio Aktif. Makalah utama pada Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008. Kerjasama antara Puslitbang Hasil Hutan, Bogor dengan PT. TEL Palembang.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 1999. Teknologi Penggunaan Arang dan Arang Aktif sebagai Soil Conditioning pada Tanaman. Laporan proyek. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Gusmailina, S. Komarayati, G Pari and H. Roliadi. 2004. Socialization and Application of Charcoal Compost. Proceeding of The International Workshop on “Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environments”. Cooperation between Research Development Center for Forest Products Technology (RDCFPT, Indonesia) and Japan International Promotion and Cooperation Center (Jifpro, Japan). Bogor.

Gusmailina dan S. Komarayati. 2003. Prospek Penggunaan Arang Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Populasi Mikroba Tanah. Prosiding Seminar Mikoriza Bandung, 16 September 2003. Bandung.

Glaser B, J Lehmann & W Zech (2002). Ameliorating physical and chemical properties of highly weathered soils in the tropics with charcoal –A review. Biol & Fertility of Soils 35, 219– 230.

Glaser, B., J. Lehmann, And W. Zech. 2002. Ameliorating physical and Chemical Properties of Highly Weathered Soils in The Tropics With Charcoal: A Review. Biology and Fertility of Soils 35:219-230

(41)

Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. as activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils

(ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192. Kyoto University. Kyoto Japan.

Komarayati S., Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 20 No. 3. Halaman 231 – 242. Bogor

Komarayati, S., Gusmailina dan E. Santoso. 2007. Teknologi produksi skala kecil pupuk organik plus arang (POA) dari sludge industri pulp dan kertas. Laporan Hasil Penelitian . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Komarayati, S. Dan G. Pari. 2012. Arang Hayati dan Turunannya Sebagai Stimulan Pertumbuhan Jabon dan Sengon. Buana Sains. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Kealaman. Volume 12 Nomor 1, 2012 (Edisi Khusus). Seminar Nasional 26-27 Juni 2012. Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Malang.

Lehmann J & S Joseph (2009). Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan-UK.p, 71-78.

Lehmann J (2007). Bio-char for mitigating climate change: carbon sequestration in the black.

Forum Geookol 18(2) 15-17.

Mindawati, N.; M.H.L. Tata; Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan ddengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Bulletin Penelitian Hutan. Bogor, No. 614 : 29 – 40

Ogawa, M. 1989. Mycorrhizza and their utilization in forestry. Report of Shortterm Research Cooperation. The Tropical Rain Forest Research Project JTA-9A (137). JICA. Japan.

Gambar

Gambar 1.  Temuan tanah hitam atau Terra Preta di lembah Amazon
Gambar  3 .  Manfaat arang (Sumber Ogawa, 2001)
Gambar 4.  Contoh bahan baku limbah organik
Gambar 5.  Tempat atau wadah pembuatan arkoba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data yang dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa peranan PKPA dalam meningkatkan kemandirian masyarakat melalui CU Sumber Rejeki Pinang Baris sangat banyak dan

Peranan humas dalam suatu lembaga dalam hal ini Pemda Sragen sangat penting untuk membangun citra yang positif, selain itu PR juga sebagai media kehumasan untuk selalu

Dalam pelaksanaan program farming gardening project para guru maupun tutor sangat menekankan pada aspek peningkatan karakter pada peserta didik.12 Untuk melihat lebih lanjut

Di Indonesia Pengaturan Hukum untuk pihak-pihak yang terlibat dalam produksi sebuah film tidak ada diatur secara terperinci sesuai dengan peranan yang ada dalam

memegang peranan yang sangat penting dalam proses produksi musik untuk program on-air dalam sebuah stasiun radio walaupun dalam menentukan keputusan tetap harus

Peranan petani transmigran dalam mengembangkan agribisnis jagung di daerah baru ini sangat penting, awalnya budidaya jagung dilakukan secara coba-coba (trial and

42 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis dapat menyimpulkan peranan kelompok tani dalam peningkatan produksi

Guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam pendidikan pada umumnya, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran, dimana proses pembelajaran merupakan inti dari