• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien dewasa dengan penyakit jantung bawaan menunjukkan insidensi yang meningkat. Secara umum sekitar 5–10% dari pasien tersebut berkembang menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal (HAP) dengan berbagai derajat keparahan yang akan mempengaruhi kualitas hidup, morbiditas, dan mortalitas. Manifestasi paling berat dari HAP yaitu sindroma eisenmenger. Perkembangan kardiologi pediatrik dan bedah jantung membantu pencegahan HAP pada kebanyakan pasien pediatrik pada negara maju. Pasien dengan HAP berat, memiliki keterbatasan pilihan terapi yaitu paliatif atau transplantasi paru untuk kasus tertentu. Akhir-akhir ini, kemajuan pemahaman mengenai patofisiologi dan adanya terapi spesifik HAP memberikan harapan bagi pasien-pasien penyakit jantung bawaan dengan HAP (Diller dan Gatzoulis, 2007).

Salah satu penyakit jantung bawaan yang paling sering ditemukan pada dewasa adalah Defek Septum Atrium (DSA), yakni adanya komunikasi persisten antara atrium kanan dan atrium kiri. DSA sekundum yang terletak pada daerah fossa ovalis merupakan tipe DSA terbanyak (75%) (Baumgartner et al., 2010; Warnes et al., 2008). Insidensi HAP pada pasien DSA dewasa adalah 15-19%, dan secara perjalanan alamiah penyakit terjadi pada usia dekade 5 apabila tidak dilakukan penutupan defek. Tipe defek DSA primum dan sinus venosus diketahui menyebabkan kenaikan tekanan arteri pulmonal yang lebih cepat daripada DSA

(2)

sekundum (Duffels et al., 2007; Engelfriet et al., 2007; Gabriels et al., 2014; Geva et al., 2014). Di RSUP Dr. Sardjito, insiden penyakit jantung bawaan pada dewasa yaitu 3/1000 pasien pertahun dan DSA merupakan penyakit jantung bawaan terbanyak pada dewasa yaitu sebanyak 60% dengan DSA sekundum merupakan tipe DSA terbanyak (99%) (Ismail et al., 2015).

Mekanisme HAP yang terjadi pada DSA disebabkan adanya kenaikan Pulmonary Vascular Resistance (PVR) akibat peningkatan aliran darah melalui sirkulasi arteri pulmonal yang terjadi secara kronis sehingga menimbulkan disfungsi endotel arteri pulmonal. Terjadi vasokonstriksi, proliferasi dan obstruksi dari dinding pembuluh pulmonal, inflamasi dan trombosis. Vasokonstriksi luas berkaitan dengan disfungsi endotel yang secara kronik mengganggu produksi vasodilator dan agen antiproliferatif seperti oksida nitrit dan prostasiklin, disamping ekspresi yang berlebih dari substrat vasokonstriktor dan proliferatif seperti tromboksan A2 dan endotelin-1. Perubahan ini melibatkan sel endotel dan sel otot polos. Pada tunika adventisia terdapat peningkatan produksi matriks ekstraselular termasuk kolagen, elastin dan fibronektin. Sel inflamasi dan platelet (melalui jalur serotonin) juga berperan dalam HAP. Abnormalitas protrombotik terdapat pada pasien HAP, trombi terdapat pada segmen distal dan proksimal arteri pulmonal kecil. Selain itu terjadi perubahan struktur matriks ekstraseluler dan pelepasan faktor pertumbuhan. Hal ini menginduksi proliferasi dan hipertrofi sel otot polos, yang berlanjut sehingga terjadi Pulmonary Vascular Disease (PVD) (Diller dan Gatzoulis, 2007; Galie et al., 2009).

(3)

Pada beberapa tahun terakhir, pemahaman tentang mekanisme remodeling vaskular pulmonal meningkat secara substansial. Konsep mekanik (seperti tekanan, aliran dan shear stress), konsep pertumbuhan dan apoptosis, telah diteliti untuk menjelaskan apa yang mengatur proses remodeling vaskular pulmonal. Beberapa gen dan protein terlibat dalam patobiologi HAP, yang menjadi fokus pada manusia dan secara eksperimental yaitu Bone Morphogenetic Protein Receptor (BMPR) 2 dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Konsep molekular tentang mutasi BMPR2 telah diterima pada pasien HAP herediter dan non herediter, sedangkan kekuatan faktor angiogenesis, yakni VEGF belum diterima sepenuhnya dalam patobiologi HAP (Voelkel dan Arroyo, 2014).

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) adalah suatu glikoprotein dimer dengan berat molekul 34-46 kDa, yang berperan sebagai faktor mitogenik untuk stimulasi proliferasi sel endotel. Proses angiogenesis berbagai organ dipengaruhi oleh VEGF, termasuk vaskularisasi paru. VEGF akan berikatan dengan reseptornya, kemudian menjadi sinyal primer pemicu aktivitas proangiogenik (Ferrara 2001; Le Cras et al., 2002). VEGF merupakan faktor pertumbuhan pluripotent dan memiliki dampak yang luas pada fungsi sel endotel. Jaringan paru sangat kaya akan protein VEGF. VEGF sangat penting untuk perkembangan paru dan berfungsi sebagai faktor pemeliharaan selama kehidupan dewasa. Selain fungsi fisiologis dari protein ini, ada bukti bahwa VEGF juga berperan dalam beberapa penyakit paru akut dan kronis, seperti acute lung injury, HAP dan emfisema (Voelkel et al., 2006).

(4)

Peran VEGF pada HAP belum sepenuhnya dijelaskan karena memiliki peran yang berbeda ketika dibandingkan antara awal dengan akhir penyakit atau antara HAP eksperimental dengan HAP pada manusia (Voelkel et al., 2006). Level plasma VEGF meningkat pada pasien dengan HAP berat (Papaioannou et al.,2009). VEGF dan reseptornya diekspresikan pada lesi pleksiformis pasien dengan HAP (Hirose et al., 2000; Tuder et al., 2001). Namun terdapat fakta bahwa secara paradoks, terapi antiangiogenik penghambat reseptor VEGF menyebabkan HAP angiobliteratif (Voelkel dan Arroyo, 2014). Peran VEGF dalam HAP yang muncul pada pasien DSA dewasa masih belum diketahui secara menyeluruh. Penelitian untuk melihat hubungan kadar VEGF dengan HAP yang muncul pada pasien DSA sekundum belum pernah dilakukan di Indonesia, dimana penderita DSA masih banyak hingga usia dewasa, dan sebagian dari mereka mengalami HAP.

B. Perumusan Masalah Penelitian

Pasien DSA yang tidak terkoreksi dapat mengalami konsekuensi munculnya HAP seiring dengan perjalanan penyakitnya. Di RSUP Dr. Sardjito, DSA sekundum merupakan penyakit jantung bawaan terbanyak yang terjadi pada dewasa, dimana deteksi dini saat anak-anak masih kurang berjalan dengan baik sehingga pasien datang saat usia dewasa dengan komplikasi yang cukup serius, bahkan sebagian telah mengalami sindroma eisenmenger. HAP terjadi ditandai dengan adanya lesi pleksiformis dan proses angiogenesis yang dipicu oleh VEGF. Level plasma VEGF meningkat pada pasien dengan HAP. Namun terdapat fakta

(5)

bahwa terapi dengan penghambat reseptor VEGF menyebabkan HAP angiobliteratif. Patogenesis VEGF dalam HAP yang muncul pada pasien DSA sekundum dewasa masih belum diketahui secara menyeluruh.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu bagaimana hubungan antara kadar VEGF dengan HAP pada pasien DSA sekundum dewasa yang belum dilakukan penutupan defek?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar VEGF dengan HAP yang terjadi pada pasien DSA sekundum dewasa yang belum dilakukan penutupan defek.

E. Manfaat Penelitian

E. 1. Manfaat terhadap Ilmu Pengetahuan

Peran faktor angiogenik VEGF dan reseptornya dalam patologi HAP masih belum dipahami secara lengkap. Pemahaman keseimbangan antara faktor angiogenik dan antiangiogenik serta peranannya dalam patogenesis HAP akan sangat penting sebelum obat-obat antiangiogenik dipertimbangkan untuk tatalaksana HAP.

(6)

E. 2. Manfaat terhadap Aplikasi Klinik

Insidensi HAP sering ditemukan pada pasien DSA sekundum dewasa yang belum dilakukan penutupan defek. Tidak semua pasien akan memberikan respon yang sama terhadap obat-obatan HAP yang diberikan. Penelitian ini akan mendeskripsikan lebih detail mengenai mekanisme penyakit yaitu tentang kadar VEGF pada HAP terkait DSA sekundum dewasa. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai populasi khusus pasien DSA yang mengalami HAP yang akan memberikan respon terhadap terapi antiangiogenik.

F. Keaslian Penelitian

Dari studi literatur yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang mengevaluasi kadar VEGF pada pasien dengan HAP, yaitu :

1. Tunaoglu et.al. (2013) pada publikasinya dengan judul Vasoactive mediators in congenital heart disease with shunt lesions and pulmonary hypertension, mengukur kadar plasma VEGF pada 53 pasien dengan usia 5 bulan sampai 16 tahun, pasien dibagi menjadi kelompok sianosis dan asianosis, mPAP <30 mmHg sebagai non HAP dan >30 mmHg sebagai HAP, PVR rendah <2 U/m2 dan PVR tinggi >2 U/m2. Kelompok pasien asianosis dibagi kedalam sub kelompok berdasarkan mPAP. Tim peneliti dalam publikasi tersebut menemukan bahwa level VEGF meningkat pada kelompok dengan PVR tinggi. Terdapat korelasi positif antara VEGF

(7)

dengan tekanan sistolik arteri pulmonal, sehingga dapat disimpulkan bahwa VEGF memiliki peranan penting pada perkembangan HAP, sehingga evaluasi level VEGF dapat menjadi pedoman untuk manajemen terapi dan penghambat reseptor VEGF mungkin bisa digunakan pada pasien dengan HAP pada penyakit jantung asianosis dengan lesi pirau kiri ke kanan. Pada penelitian ini, populasi yang diambil hanya usia anak-anak dan memasukkan semua penyakit jantung bawaan.

2. Papaioannou et.al. (2009) pada publikasinya dengan judul Serum VEGF levels are related to the presence of pulmonary arterial hypertension in systemic sclerosis, mengukur kadar plasma VEGF pada 40 pasien dengan sklerosis sistemik dan 13 orang kontrol. Tim peneliti dalam publikasi tersebut menemukan bahwa kadar VEGF meningkat pada pasien sklerosis sistemik dengan Systolic Pulmonary Artery Pressure (SPAP) ≥35 mmHg. Serum VEGF berkorelasi positif dengan SPAP, sehingga menunjukkan peranan VEGF pada patogenesis HAP.

Menurut data diatas, sepengetahuan penulis belum ada publikasi, terutama di Indonesia, yang melaporkan hasil penelitian mengenai hubungan yang jelas antara kadar VEGF dengan HAP pada pasien DSA dewasa yang belum dikoreksi. Keaslian rencana penelitian yang diajukan penulis adalah populasi pasien dewasa yang mengalami DSA yang belum dilakukan koreksi penutupan defek dan hubungan antara VEGF dengan HAP, untuk memberikan gambaran mengenai peran VEGF terhadap HAP pada penelitian manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa jenis kateter yang paling sering digunakan pada pasien anak dengan PJB di RSUP H.Adam Malik Medan adalah gabungan dari jenis kateter

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental yang dilakukan secara observasional pada data rekam medik pasien dewasa gonore rawat jalan RSUD Dr. Pengambilan

sefala hal yang berkaitan dengan proses belajar pendidikan orang

Penelitian yang dilakukan oleh Wade, Smith &amp; Hewer (dalam Shimberg, 1998) melaporkan bahwa dari 976 penderita kelumpuhan pascastroke lebih dari 60% mengalami depresi,

Berdasarkan permasalahan nyeri dada yang dirasakan Pasien PJK, dan belum diaplikasikannya teknik Relaksasi Benson dalam pemberian intervensi keperawatan terhadap

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan adalah: Apakah terapi ticagrelor lebih efektif dibandingkan dengan klopidogrel terhadap

Apabila stabilitas jalur SLOCs terganggu atau mengalami penutupan (block), maka kapal dagang ataupun kapal militer AS akan mengalami kerugian dari segi waktu dan

lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological well-being pada individu dewasa madya yang mengalami Pemutusan. Hubungan