• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN HABITS OF MIND PADA SISWA. Muhammad Fendrik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN HABITS OF MIND PADA SISWA. Muhammad Fendrik"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN HABITS

OF MIND PADA SISWA

Muhammad Fendrik

(2)

DAN HABITS OF MIND PADA SISWA

Author :

Muhammad Fendrik

Layouter :

Nurul Khasanah Ahlan Tulaska Editor :

Nurul Azizah Design Cover : Azizur Rachman

copyright©2019 Penerbit Media Sahabat Cendekia Pondok Maritim Indah Blok PP-7, Balas Klumprik, Wiyung, Kota Surabaya 60222

Telp. 0881-3223-878 penerbitmsc@gmail.com

Anggota IKAPI No. 228/JTI/2019

ISBN : 978-623-7373-15-5

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit

(3)

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1) Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)

2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

4) Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/

atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah)

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas karunia dan kesempatan yang telah diberikan, sehingga buku yang berjudul

“Pengembangan Kemampuan Koneksi Matematis dan Habits Of Mind Pada Siswa” ini dapat diselesaikan.

Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dalam menyelesaikan program Magister Pendidikan Dasar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Dalam penelitian tersebut penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. H. Tatang Herman, M.Ed.,Bapak Prof. Turmudi, M.Sc., M.Ed., Ph.D., Bapak Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A.,Bapak Dr. Sufyani Prabawanto, M.Ed.,Ibu Dr. Hj. Ernawulan Syaodih, M.Pd., kepala SD Islam tempat penelitian, Ibu Ardini Suryati, S.Si.,dan guru matematika di SD Islam tempat penelitian, Ibu Ety Andrijana, S.Pi. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua teman-teman seper- juangan mahasiswa program studi S2 Pendidikan Dasar Angkatan 2012 Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis hingga terwujudnya buku ini.

Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua kami, Ibu Fatmawati dan Bapak Junaidi (alm) serta kepadaAndi Apriwansyah, S.T., Norvelly, S.Pd., dan adik kami Tika

(6)

pendidikan di Universitas Pendidikan Indoensia. Terima kasih secara khusus juga kami ucapkan kepada istri Eka Armis Nopriani, SKM, dan anak tercinta kami Almira Syakirah Zalfa, yang telah mendukung dalam penyelesaian buku ini.

Penulis berharap penyusunan buku ini dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita. Penulis menyadari buku ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat berharap saran dari berbagai pihak. Kiranya buku ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi dunia pendidikan.

Pekanbaru, 16 Juli 2019

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II KONSEP DASAR KEMAMPUAN KONEKSI MATE- MATIS DAN HABITS OF MIND ... 11

A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar ... 11

B. Kemampuan Koneksi Matematis ... 14

C. Kemampuan Habits Of Mind ... 20

BAB III KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN HABITS OF MIND PADA SISWA ... 29

A. Kemampuan mengintegrasikan informasi ... 31

B. Membuat koneksi dalam dan atau luar materi Matematika ... 34

C. Menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah ... 36

D. Memecahkan masalah tidak rutin ... 39

BAB IV PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN HABITS OF MIND PADA SISWA .. 59

A. Faktor yang mendorong munculnya kemampuan koneksi matematis siswa ... 57

B. Faktor yang mendorong munculnya kemampuan habits of mind siswa ... 60

(8)

muncul pada siswa ... 64

D. Indikator kemampuan habits of mind yang sulit muncul pada siswa ... 65

E. Faktor yang membuat siswa kesulitan dalam mengembangkan kemampuan koneksi matematis ... 68

F. Faktor yang membuat siswa kesulitan dalam mengembangkan kemampuan habits of mind ... 69

G. Kesulitan dihadapi guru dalam mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa ... 70

H. Kesulitan yang dihadapi guru dalam mengembangkan kemampuan habits of mind siswa ... 71

I. Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa ... 72

J. Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan habits of mind siswa ... 74

BAB V PENUTUP ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 83

TENTANG PENULIS ... 89

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang mempunyai pengaruh sangat penting dalam kehidupan, karena matematika dapat mempersiapkan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir logis, luwes, dan tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah yang terjadi di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Mencermati pentingnya matematika itu, penulis memahami bahwa tujuan pembelajaran matematika mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hendaklah meliputi hal-hal berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keter- kaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;

(2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan mani- pulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) meme- cahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

(10)

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menaf- sirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, per- hatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006, hlm.

346).

Selanjutnya Mulyana (2008, hlm. 2) menyebutkan United Na- tions Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan empat pilar pembelajaran yang dapat dijadikan pe- doman dalam pembelajaran matematika, yaitu: (1) learning to know yang bermakna bahwa proses pembelajaran harus meng- antarkan siswa untuk menguasai teknik dalam memperoleh penge- tahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan; (2) learning to do yang bermakna bahwa proses pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam memecahkan sebuah masalah; (3) learning to live together yang bermakna pembelajaran harus menuntut terjadinya kerjasama antar sesama untuk mencapai tujuan; dan (4) learning to be yang bermakna bahwa proses pem- belajaran harus menjadikan siswa yang berkepribadian, ber- tanggung jawab, dan mandiri.

Berdasarkan empat pilar UNESCO di atas, maka melalui learn- ing to know, diharapkan siswa dapat mengetahui dan memahami matematika secara komprehensif dan bermakna. Dimana siswa di- harapkan dapat memahami matematika secara menyeluruh, mulai dari tujuan pembelajaran matematika, konsep matematika, strategi pembelajaran, mengaitkan dan menghubungkan antar konsep ma- tematika dan alasan yang mendasarinya, serta manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses learning to do, di- harapkan siswa dapat benar-benar mengembangkan kemampuan

(11)

berpikir kritis, kreatif, cermat, cerdas, efektif, dan efisien dalam menyelesaikan sebuah permasalahan matematika. Melalui proses learning to live together, diharapkan siswa memiliki sikap sosial yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Serta selanjutnya, melalui proses learning to be, diharapkan siswa memiliki sikap-sikap posi- tif terhadap matematika yang ditunjukkan dengan sikap menghar- gai matematika, ulet, bertanggung jawab, bekerja keras, cermat, mempunyai motivasi, percaya diri dan prestasi yang tinggi dalam pembelajaran matematika.

Sayangnya, tujuan pembelajaran matematika yang ideal menu- rut KTSP dan UNESCO tidak diikuti dengan realitas di lapangan. Pa- ra guru di lapangan banyak yang menganggap bahwa mengajar ma- tematika hanya merupakan rutinitas saja. Guru menyampaikan ba- han ajar matematika secara monolog, memberikan penjelasan seca- ra informatif, memberikan soal, kemudian memberikan latihan- latihan. Menurut Rusman (2011, hlm. 187) sejauh ini pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai fak- ta untuk dihapal. Pada dasarnya pengetahuan bukan hanya sekedar teoritis saja akan tetapi bagaimana pengetahuan tersebut menjadi sebuah pengalaman belajar yang dapat menyelesaikan permasalah- an-permasalahan aktual yang terjadi di dalam lingkungan kehidup- an kita.

Dalam kegiatan pembelajaran matematika konvensional biasa- nya kegiatan pembelajaran terpusat kepada guru, mereka selalu menggunakan metode tanya jawab, di mana pertanyaan jarang muncul dari siswa, dan aktivitas di dalam kelas didominasi dengan kegiatan catat mencatat yang dapat mengakibatkan anak menjadi pasif dan kurang/tidak mampu mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan habits of mind para siswa dalam proses pembelajaran. Karena, dengan kebiasaan pembelajaran konven- sional tersebut membuat siswa kesulitan dalam menemukan keter- kaitan pembelajaran matematika dengan kehidupan yang ditemui

(12)

dalam lingkungannya sehari-hari. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa hal, diantaranya: siswa lebih mudah mengerjakan soal matematika yang berbentuk isian langsung daripada mengerjakan soal cerita yang juga merupakan kemampuan membaca pemaham- an siswa. Di dalam soal yang berbentuk cerita, selain siswa harus mampu menguasai materi matematika siswa juga dituntut untuk memahami bahasanya sehingga dapat menyelesaikan soal yang mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah letak ke- mampuan koneksi matematis dan habits of mind untuk menyelesai- kan masalah yang dihadapi siswa dalam pembelajaran matematika.

Pada hakekatnya matematika merupakan suatu ilmu yang cara bernalarnya deduktif formal dan abstrak. Soejadi (dalam Heruman, 2007, hlm. 1) mengungkapkan bahwa matematika memiliki objek dan tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wahyudin (2012, hlm. 199) bahwa seharusnya anak-anak belajar melalui ber- buat (doing) sehingga mereka memerlukan banyak pengalaman langsung dalam memanipulasi, mengkaji, mendiskusikan, dan ber- bagi ide-ide matematis. Oleh karena itu, matematika sangat diper- lukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam meng- hadapi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) se- hingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap peserta didik sejak SD, bahkan sejak anak itu memasuki sekolah Taman Kanak- Kanak (TK).

Menurut Heruman (2007, hlm. 1) siswa SD usianya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Mereka berada pa- da fase operasional konkret, kemampuan yang tampak pada fase ini adalah anak akan dapat berpikir secara logis mengenai peristi- wa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Piaget (dalam Desmita, 2011, hlm. 101). Selanjutnya Wahyudin (2012, hlm. 198) menam- bahkan bahwa pada tahap ini, anak mulai membangun sistem

(13)

pemikiran tetapi masih berfungsi pada tingkat konkret dan belajar berdasarkan urutan. Hal ini menyatakan bahwa anak pada usia sekolah dasar sudah memiliki kemampuan untuk bisa mengaitkan pengetahuan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari dengan berpikir secara logis menge- nai peristiwa-peristiwa konkret melalui pembelajaran yang di- dapatkannya di sekolah.

Dilihat dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih ter- ikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca inder- anya. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memer- lukan alat bantu pembelajaran berupa media dan alat peraga yang dapat lebih memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru se- hingga dapat lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.

Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, semi abstrak, dan selanjutnya menuju taha- pan abstrak.

Berdasarkan karakteristik siswa SD tersebut, penulis melihat bahwa pada pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep pem- belajaran yang akan diajarkan oleh guru sehingga siswa dapat mengasimilasi informasi baru dalam pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman (2007, hlm. 48) bahwa siswa ha- rus diarahkan agar mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki (prior knowledge), mengasimilasi informasi baru, dan mengkonstruksi pemahaman sendiri. Oleh ka- rena itu, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk mem- pelajari matematika dengan mengerjakan permasalahan yang mun- cul pada konteks di luar matematika dengan menerapkan gagasan- gagasan matematis yang penting di dalam bidang studi lainnya.

Di antara berbagai kompetensi matematis yang diharapkan muncul sebagai dampak dari pembelajaran matematika ialah kemampuan koneksi matematis yang bermakna kemampuan

(14)

menghubungkan pengetahuan dalam pembelajaran matematika yang disertai dengan penjelasan cara penyelesaiannya. Kemam- puan ini meliputi kemampuan siswa dalam mengaitkan antara topik yang sedang dipelajari, mengaitkan antara konsep dengan mata pelajaran lainnya dan mengaitkan antara konsep dengan aplikasi kehidupan nyata.

“Pembelajaran matematika tidak hanya mengembangkan aspek kognitif saja, melainkan juga pada aspek afektif, karena dalam proses pembelajaran guru juga dituntut untuk terus mengembangkan nilai-nilai kehidupan” (Usman, 2009, hlm. 6).

Artinya dalam diri siswa pengembangan aspek afektif (sikap) merupakan aspek penting yang harus dibentuk pada diri siswa. Hal ini sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 yang menjelaskan bahwa sikap siswa yang identik dengan karakter merupakan bagi- an terintegrasi dengan aspek kognitif dan psikomotorik yang me- mungkinkan individu untuk memahami dan menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya.

Pembelajaran di dalam kelas, kebiasaan berpikir (habits of mind) menjadi landasan siswa dalam pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran siswa akan dihadapkan pada permasalahan untuk diselesaikan. Maka dari itu siswa harus memiliki kebiasaan berpikir yang baik agar mampu merespon setiap permasalahan yang muncul dalam pembelajaran sehingga dapat menyelesaikan permasalahan sesuai dengan yang di harapkan.

Memiliki kemampuan habits of mind yang baik berarti memiliki watak perilaku cerdas (to be have intelligently) ketika menghadapi masalah atau jawaban yang tidak segera diketahui. Dalam meme- cahkan masalah yang kompleks dituntut strategi penalaran, wawa- san, ketekunan, dan keahlian dari siswa. Tidak hanya perlu menge- tahui bagaimana siswa menjawab berdasarkan apa yang diketahui- nya saja, akan tetapi lebih mengetahui bagaimana siswa berperi- laku ketika mereka dihadapkan pada apa yang tidak mereka

(15)

ketahui. Jadi, dengan membentuk dan mengembangkan kemam- puan habits of mind pada diri siswa berarti guru mendidik siswa agar menjadi pribadi yang memiliki karakter yang unggul, peduli, tekun, jujur, kritis dan kreatif.

Costa dan Kallick (2012) mengemukakan bahwa terdapat 16 karakteristik habits of mind yaitu: (1) gigih, ulet, pantang menye- rah; (2) mengetahui kapan terus bekerja dan kapan harus ditunda dulu; (3) mau mendengarkan pendapat orang lain; (4) berpikir fleksibel; (5) memikirkan apa yang dipikirkan (metakognitif); (6) memeriksa akurasi; (7) mempertanyakan dan menemukan per- masalahan; (8) menerapkan situasai masa lalu pada situasi yang baru; (9) berpikir dan berkomunikasi dengan jelas dan cermat;

(10) mencari data dengan semua indra; (11) berkarya, berimaji- nasi, berinovasi; (12) menanggapi dengan kekaguman dan kehe- ranan; (13) berani mengambil resiko; (14) humoris; (15) dapat bekerja dan belajar dengan orang lain dalam tim; dan (16) belajar berkelanjutan.

Selanjutnya Marzano (1993, hlm. 24) menyatakan bahwa pengembangan habits of mind dalam bukunya dimensions of learn- ing yang meliputi: (dimensi 1) sikap positif dan persepsi terhadap belajar, (dimensi 2) memperoleh dan mengintegrasikan penge- tahuan baru, (dimensi 3) memperluas dan menghaluskan penge- tahuan, (dimensi 4) menggunakan pengetahuan secara bermakna, dan (dimensi 5) memanfaatkan kebiasaan berpikir produktif ( ha- bits of mind).

Nurmaulita (2012) menyampaikan bahwa habits of mind juga dapat dikatakan sebagai suatu perilaku positif yang ditunjukkan oleh siswa yang dilakukan secara berulang-ulang dari waktu ke waktu secara otomatis. Artinya habits of mind bukan merupakan bakat alamiah atau faktor bawaan melainkan suatu kebiasaan per- ilaku yang dipelajari dengan sengaja dan sadar selama beberapa waktu dengan cara pembiasaan. Habits of mind dapat juga diguna-

(16)

kan sebagai respon terhadap pertanyaan dan jawaban sebuah ma- salah yang tidak segera diketahui sehingga guru dapat mengamati bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan dari pada hanya mengingat pengetahuan tersebut.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan indikasi yang berbeda, pembelajaran matematika yang mengarah kepada me- ningkatnya kedua kemampuan ini relatif masih sangat rendah. Be- berapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa di Indonesia masih kurang baik. Survei yang dila- kukan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa penekanan pembelajaran matema- tika di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan da- sar, hanya sedikit sekali penekanan penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari (Herman, 2006, hlm. 5). Selanjutnya penelitian yang dilakukan Idris (2013) mengungkapkan bahwa habits of mind siswa masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kerami dalam Nasir (2008) yang menyatakan bahwa guru saat ini cenderung mengajarkan siswa belajar dengan cara menghapal dan kurang inovatif di dalam pembelajaran. Tentunya hasil pembelajaran seperti itu dapat kita lihat hasilnya sekarang, di mana hasil belajar siswa sangatlah ren- dah sehingga dapat mengurangi motivasi dan minat siswa terhadap pembelajaran matematika itu sendiri.

Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa sekolah dasar saat ini adalah mereka belum mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari di dalam kelas dengan kehidupan mereka sehari- hari dan bagaimana pengetahuan itu dapat digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperoleh informasi dari guru tentang kemampuan koneksi matematis dan habits of mind siswa masih rendah. Para siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep- konsep pembelajaran matematika, karena strategi yang digunakan oleh guru hanya terbatas pada pembelajaran konvensional. Di sisi

(17)

lain tentunya siswa tahu apa yang mereka pelajari saat ini akan sangat berguna bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, yaitu saat mereka bermasyarakat maupun pada saat di dunia kerja kelak.

Selanjutnya apabila merujuk kepada hasil tersebut diatas, penulis menyimpulkan pembelajaran matematika yang mengarah kepada meningkatnya kemampuan koneksi dan habits of mind matematis siswa sudah semestinya diupayakan dan diiplementasi- kan sehingga penyelesaian masalah pada pembelajaran mate- matika dapat diselesaikan dengan baik oleh siswa dan memberikan pengetahuan yang luas kepada siswa dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Siswa usia SD dituntut untuk dapat mengaitkan konsep penge- tahuan yang mereka miliki dengan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pembelajaran yang mereka peroleh di sekolah dapat lebih bertahan lama dalam ingat- annya dan mengetahui kegunaan pembelajaran matematika di dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wahyudin (2012, hlm. 534) bahwa apabila para siswa dapat menghubungkan gaga- san-gagasan matematis, pemahaman mereka pada pembelajaran matematika akan lebih dalam dan lebih bertahan lama. Mereka dapat melihat hubungan matematis saling berpengaruh terhadap topik-topik matematis dan dalam konteks yang menghubungkan matematika pada pelajaran lain, serta dalam pengalaman yang pernah atau akan mereka jumpai sendiri. Lewat pembelajaran yang menekankan pada saling keterhubungan dari gagasan-gagasan ma- tematis, para siswa tidak saja belajar matematika secara teori/

ilmu, akan tetapi mereka juga belajar tentang kegunaan matema- tika dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagaimana yang ditekankan dalam prinsip belajar, bahwa pemahaman melibatkan pembuatan hubungan-hubungan. Para guru mesti membangun pengetahuannya di atas pengalaman-

(18)

pengalaman para siswa di waktu sebelumnya dan jangan mengu- lang apa yang sudah dilakukan siswa. Selama proses pembelajaran siswa diharapkan dapat bertanggung jawab terhadap apa yang su- dah mereka pelajari, penggunaan pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan terhadap gagasan-gagasan baru. Sehingga pembelajar- an bermakna yang diharapkan dapat terimplementasikan dalam setiap proses pembelajaran dan bukan hanya sekedar belajar menghafal pengetahuan yang bisa mengurangi motivasi dan hasil belajar siswa.

Ruseffendi (dalam Heruman, 2007, hlm. 5) membedakan anta- ra belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar meng- hafal, siswa dapat belajar dengan menghafalkan apa yang sudah diperolehnya. Sedangkan belajar bermakna adalah belajar me- mahami apa yang sudah diperolehnya, dan dikaitkan dengan ke- adaan lain sehingga apa yang ia pelajari akan lebih dimengerti. Su- parno (dalam Heruman, 2007, hlm. 5) menambahkan bahwa bela- jar bermakna terjadi apabila siswa mencoba menghubungkan fe- nomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka dalam setiap penyelesaian masalah. Melihat fenomena tersebut, penulis me- nyimpulkan bahwa sudah seharusnya permasalahan pada proses pembelajaran matematika mendapat perhatian serius dalam hal peningkatan kualitas pembelajaran matematika khususnya pada anak usia sekolah dasar.

(19)

BAB II

KONSEP DASAR

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN

HABITS OF MIND

A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Belajar adalah kata dasar dari pembelajaran. Kata pembelajaran sendiri diambil dari bahasa Inggris yaitu “learning”. “Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku akibat dari pengalaman dan latih- an yang diberikan guru” (Sanjaya, 2010, hlm. 112). Sementara itu, Sanjaya (2010, hlm. 104) mengatakan bahwa pembelajaran menun- jukkan pada usaha siswa mempelajari bahan pelajaran akibat dari perlakuan guru di dalam kelas.

Sedangkan menurut Wahyudin (2008, hlm. 106) pembelajaran adalah wahana yang digunakan untuk menyampaikan pengetahuan, kecakapan, konsep, dan nilai-nilai yang ingin kita tanamkan kepada

(20)

para siswa. Pendapat ini bermakna bahwa dalam pembelajaran ma- tematika guru harus menguasai metode dan pendekatan pembelajar- an yang terintegrasi, komprehensif, dan holistik dan tidak hanya mampu menguasai materi ajar saja.

Pembelajaran matematika diharapkan mampu memberikan sua- tu pemahaman siswa yang terintegrasi, komprehensif dan holistik tentang materi yang telah disajikan. Pemahaman yang dimaksud tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan pembelajaran matematika secara substantif saja, namun dapat memberikan manfaat yang berarti kepa- da siswa.

Berdasarkan teori perkembangan Piaget bahwa anak usia SD ber- ada pada concrete operational period atau masa operasional konkret yang berada pada usia antara 7-12 tahun. Di mana pada periode ini anak mulai mampu me-ngonservasi pengetahuan tertentu. “Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika mes- kipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret” (Nuri- hsan dan Agustin, 2011, hlm. 29).

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang mengandung dua jenis kegiatan yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu belajar dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan disaat pembelajaran ma- tematika sedang berlangsung (Nirmala, 2009, hlm. 15). Selanjutnya menurut Bahri dan Zain (2010, hlm. 37) bahwa kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Guru yang mengajar dan siswa yang belajar. Dari perpaduan kedua unsur manusiawi ini, maka lahirlah interaksi edukatif yang menggunakan media pembelajaran sebagai bahan belajarnya sehingga dapat me- nimbulkan dan mengembangkan kemampuan belajar siswa.

(21)

Salah satu faktor penentu yang sangat dominan dalam dunia pendidikan pada umumnya adalah guru, karena guru memegang peranan yang cukup besar dalam proses pembelajaran, dimana pro- ses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara kese- luruhan. Menurut Rusman (2011, hlm. 58) bahwa proses pembelajar- an mengandung serangkaian multiperan dari guru dan siswa atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Peranan guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana pembelajaran, supervisor, motivator, dan sebagai evaluator dalam pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa sama-sama menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran dalam mengembangkan pengetahuannya. Suatu pengetahuan yang baik biasanya tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dari orang lain saja, melainkan “dibentuk dan dikonstruksi” oleh indi- vidu itu sendiri, sehingga siswa tersebut mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya. Menurut Sagala (2012, hlm. 63) pembela- jaran mempunyai dua karakteristik, yaitu: (1) pembelajaran melibat- kan proses mental siswa secara maksimal, siswa tidak hanya sekedar mendengar atau mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas proses berpikir siswa; (2) adanya suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkat- kan kemampuan berpikir siswa yang dapat membantu siswa mem- peroleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa proses pembelajaran matemat- ika bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dari guru kepada siswa, melainkan suatu proses interaksi kegiatan pembelajaran yang terjadi antara guru dengan siswa dan juga diharapkan adanya interaksi anta- ra siswa dengan siswa lainnya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Helmaheri (2004, hlm. 5) yang mengatakan bahwa pembelajaran ma- tematika hendaknya tidak menganut paradigma transfer of know-

(22)

ledge, yang mengandung makna bahwa siswa merupakan objek dari belajar. Tetapi hendaknya siswa menjadi subyek dalam belajar agar dapat mengaitkan dan menyelesaikan masalah dari pengalaman bela- jar terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

B. Kemampuan Koneksi Matematis

Kompetensi matematis yang diharapkan muncul sebagai dampak dalam mengaitkan dan menyelesaikan permasalahan pada pembela- jaran matematika ialah kemampuan koneksi matematis. Koneksi ma- tematis memberikan gambaran tentang keterkaitan dan banyak memiliki relevansi yang bermanfaat dengan bidang lain, baik dengan mata pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sehu- bungan dengan hal itu menurut Supriatin (2009, hlm. 18) bahwa da- lam pembelajaran matematika perlu adanya penekanan kepada mate- ri yang mengarah kepada adanya keterkaitan baik dengan matema- tika sendiri maupun dengan bidang lain.

NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) mem- populerkan kemampuan koneksi matematis (mathematical connec- tion) sebagai salah satu standar dalam kurikulum. Menurut NCTM (1989, hlm. 84) tujuan koneksi matematis disekolah adalah “...To help student broaden their perspective, to view mathematics as an integra- ted whole rather than as an isolated set of topics, and to knowledge its relevance and usefulness both in and out of school”.

Dari pernyataan NCTM di atas, maka terdapat tiga tujuan ke- mampuan koneksi matematis pada pembelajaran matematika di sekolah, yaitu memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi bukan se- bagai materi yang berdiri sendiri serta mengenal relevansi dan kegunaan matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan umum diberikannya matematika pa- da jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam Ga- ris-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) matematika yakni mem-

(23)

persiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dalam mempelajari ber- bagai ilmu pengetahuan (Supriatin, 2009).

Kusumah (2008, hlm. 19) mengungkapkan bahwa koneksi ma- tematis dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain, baik dengan bidang studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari. Melalui peningkatan kemampuan koneksi ma- tematis diharapkan kemampuan berpikir dan wawasan siswa ter- hadap pembelajaran matematika dapat menjadi semakin baik dan lu- as.

Kegiatan mengimplementasikan pembelajaran matematika da- lam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu indikator penerapan kemampuan koneksi matematis. Dimana kegiatan pembelajaran ma- tematika yang tergolong pada kemampuan koneksi matematis menurut Sumarmo (2010, hlm. 6) diantaranya adalah: (1) mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; (2) me- mahami hubungan antar topik matematika; (3) menerapkan ma- tematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari; (4) memahami representasi ekuivalen suatu konsep; (5) mencari hu- bungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; (6) menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika.

Indikator kemampuan koneksi matematis di atas, menunjukkan betapa pentingnya kemampuan ini untuk dikembangkan pada pem- belajaran matematika. Pada indikator ke tiga dari kemampuan ko- neksi matematis yang disampaikan oleh Sumarmo di atas, diharapkan siswa dapat merasakan keberadaan dan kedekatan matematika da- lam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, siswa yang memiliki kemampuan koneksi yang baik akan mudah dalam mempelajari banyak materi pembelajaran, yaitu

(24)

dengan cara menghubungkan materi tersebut satu sama lain. NCTM (2000, hlm. 275) membenarkan pernyataan tersebut dan mengemu- kakan bahwa tanpa kemampuan koneksi matematis siswa harus bela- jar mengingat banyak konsep pembelajaran. Dilanjutkan NCTM (2000, hlm. 355) ketika siswa mampu menghubungkan suatu konsep ke konsep yang lain, maka mereka telah mengembangkan pandangan matematika sebagai integrasi yang utuh. Hal ini berarti, tujuan ko- neksi matematis dimaksudkan untuk memperluas wawasan siswa, melihat matematika sebagai satu kesatuan yang utuh bukan berdiri sendiri, serta mengenal hubungan dan manfaat matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Kemampuan siswa dapat dikatakan pada kemampuan koneksi ketika siswa mampu menghubungkan atau mengaitkan suatu gagasan matematis dengan gagasan matematis lain. Terdapat dua tipe koneksi matematika menurut NCTM (1989, hlm. 146), yaitu modeling connec- tions dan mathematical connections. Modeling connections adalah hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematiknya, se- dangkan mathematical connections adalah hubungan antara dua re- presentasi yang ekuivalen dan antara proses penyelesaian dari ma- sing-masing representasi.

NCTM (dalam Yaniawati, 2001, hlm. 24) membagi koneksi ma- tematis menjadi tiga macam, yaitu: (1) koneksi antar topik matemat- ika, (2) koneksi dengan disiplin ilmu yang lain, dan (3) koneksi dalam kehidupan sehari-hari. Pembagian ini senada dengan pendapat Mikovch dan Monroe (dalam Supriatin, 2009, hlm. 20) yang menya- takan bahwa tiga koneksi matematis yaitu koneksi dalam matematika, koneksi untuk semua kurikulum, dan koneksi dengan konteks dunia nyata.

Dalil konektivitas menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat dalam pembelajaran matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi

(25)

rumus-rumus yang digunakan (Suherman dkk, 2003, hlm. 47). Pem- belajaran matematika perlu menekankan pada materi yang mengarah pada adanya keterkaitan dengan matematika sendiri maupun dengan bidang lain agar pemahaman siswa lebih bertahan lama dalam ingat- annya. Menurut Wahyudin (2008, hlm. 534) apabila para siswa dapat menghubungkan gagasan-gagasan matematis, pemahaman mereka akan lebih dalam dan lebih bertahan lama. Melalui koneksi matematis diupayakan pembelajaran di kelas dapat saling dihubungkan dengan pembelajaran lain sehingga siswa tidak berpandangan sempit ter- hadap pelajaran matematika.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematis tidak hanya mencakup masalah yang berhubungan dengan matematika saja, namun juga dengan pelajaran lain dan dalam kehidupan sehari-hari. Koneksi matematis yang di- maksud dalam penelitian ini meliputi koneksi internal dan koneksi eksternal sesuai dengan pernyataan Kusumah. Sedangkan kemam- puan koneksi yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan topik matematika yang sedang dibahas dengan topik ma- tematika lainnya, dengan mata pelajaran lain maupun dengan ke- hidupan sehari-hari. Kemampuan tersebut secara umum dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi, baik soal koneksi internal maupun soal koneksi eksternal.

1. Koneksi internal (koneksi antar topik matematika)

Banyak di antara topik matematika yang sebenarnya memiliki koneksi satu sama lain pada suatu permasalahan dalam pembelajaran matematika. Misalnya dapat kita lihat pada contoh soal berikut ini.

Contoh Soal: Diketahui panjang suatu persegi panjang adalah 10 cm dan lebarnya adalah setengah dari panjangnya. Berapa dm kah keliling persegi panjang tersebut!

Topik-topik matematika yang terkait dengan soal di atas adalah ge- ometri bangun datar yaitu persegi panjang dan satuan pengukuran.

(26)

2. Koneksi eksternal (koneksi topik matematika dengan topik diluar matematika)

Koneksi eksternal terdiri dari koneksi dengan mata pelajaran lain maupun koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Matematika sebagai suatu disiplin ilmu sangat bermanfaat baik bagi pengembangan disiplin ilmu lain, maupun dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh Soal: Ibu Ita pergi ke pasar membeli 3 kg beras dengan harga Rp. 8.500/kg, gula pasir ½ kg dengan harga Rp. 3.000, 3 ikat sayur kangkung dengan harga Rp. 1.000. Pergi dan pulangnya Ibu Ita naik becak dengan ongkos Rp. 4.000.

Berapakah total uang yang harus Ibu Ita keluarkan?

Topik matematika tersebut terkait dengan permasalahan sehari-hari dan disiplin ilmu lain yaitu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan topik kegiatan jual beli.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koneksi matema- tika merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran atau topik lain, yaitu meliputi: memahami hubungan antar topik matematika;

menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau dalam ke- hidupan sehari-hari; menggunakan koneksi antar topik matematika;

dan antar topik matematika dengan topik lain.

Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan koneksi matematis dalam penelitian ini, meliputi kegiatan: 1) meng- integrasikan informasi; 2) membuat koneksi dalam dan atau luar materi matematika; 3) menetapkan rumus (tools) yang akan diguna- kan untuk menyelesaikan masalah; dan 4) memecahkan masalah tidak rutin.

Sedangkan yang dimaksud dengan mengukur kemampuan koneksi matematis pada penelitian ini dalam mengintegrasikan informasi adalah kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan yang diberikan guru baik itu secara lisan maupun secara tulisan di da- lam pembelajaran pada saat guru melakukan apersepsi, diskusi,

(27)

presentasi, dan penyampaian ide atau gagasan, serta kegiatan menu- liskan hasil diskusi baik pada lembar kerja maupun di papan tulis.

Kemampuan membuat koneksi dalam dan atau luar materi mate- matika maksudnya ialah kemampuan siswa dalam mengaitkan atau menghubungkan idenya sesuai dengan kemampuannya dalam mengerjakan latihan soal yang ada di dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) maupun lembar ulangan harian. Selanjutnya kemampuan menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesai- kan masalah ialah kemampuan siswa dalam memahami soal yang akan diselesaikan sehingga bisa mengerjakan soal dengan baik dan benar. Kemudian kemampuan memecahkan masalah tidak rutin mak- sudnya adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan semua soal yang ada pada LKS dan lembar ulangan harian yang diberikan oleh guru.

Berikut adalah contoh cuplikan dialog antara siswa dan guru (di- ambil dari Juliah, 2012) pada saat mengaitkan atau menghubungkan idenya sesuai dengan kemampuannya pada saat pembelajaran ma- tematika tentang waktu:

Guru : Waktu, apakah yang terlintas di pikiran kalian tentang pembelajaran waktu?

Siswa : Jam, menit, detik (beberapa siswa serempak menjawab).

Guru : Jam, menit, detik berarti apa?

Siswa : Satuan waktu.

Guru : Kalian sudah belajar di kelas II membaca jam dan di kelas III tentang satuan waktu. Saat ini, Ibu akan coba untuk mengingatkan lagi tentang alat ukur waktu.

Siapa yang tahu apa saja alat ukur waktu itu? Sebutkan jenis-jenisnya?

Siswa : Siswa terdiam sejenak.

Guru : Tiba-tiba guru memegang model jam sambil berkata,

(28)

perhatikan apa yang Ibu pegang?

Siswa : Jam (siswa serempak menjawab).

Guru : Siapa yang tahu jenis jam itu apa saja?

Siswa : Jam digital, jam matahari, jam pasir, jam atom, dan jam analog.

Dialog di atas merupakan contoh gambaran tentang kemampuan koneksi matematis siswa yang akan dibahas dalam buku ini, sehingga dapat membantu penulis dalam menemukan indikator yang terkan- dung di dalam kemampuan koneksi matematis siswa pada saat be- rada di lapangan.

C. Kemampuan Habits of Mind

“Tujuan dari pengembangan kurikulum 2013 adalah meng- hasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi dalam diri siswa” (Mulyasa, 2013, hlm. 65). Mengacu pada pada Peraturan Men- teri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 tentang standar kelulusan siswa dapat dilihat pada tabel berikut ini:

(29)

Tabel 2.1. Kompetensi Lulusan SD/MI

Dimensi Kualifikasi Kemampuan

Sikap

Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Pengetahuan

Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Keterampilan

Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.

Berdasarkan standar kompetensi lulusan pada tabel di atas, ter- lihat bahwa lulusan pendidikan kita harus memiliki pengetahuan yang faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif sehingga pem- belajaran di sekolah harus melatih siswa agar bisa memenuhi standar tersebut. Begitu juga pada dimensi keterampilan terlihat bahwa siswa harus memiliki kemampuan berpikir dan bertindak efektif yang jika kita kemas dengan dimensi sikap berhubungan dengan akhlak siswa yang ingin dicapai maka idealnya lulusan pendidikan kita menjadi manusia yang memiliki karakter yang baik dan kuat.

Dalam bahasa Inggris kebiasaan disebut dengan “habit” yang ber- arti sesuatu yang dilakukan secara teratur mengalir begitu saja atau setiap melakukan sebuah kegiatan hampir tidak memikirkan apa-apa.

(30)

Konsep ini menunjukkan bahwa suatu kegiatan yang telah menjadi kebiasaan akan dengan mudah untuk dilakukan secara berulang- ulang, karena tidak memerlukan suatu konsentrasi atau aktivitas kognitif yang sulit. Russel (dalam Costa dan Kallick, 2012) menga- takan bahwa sebagian besar pengetahuan kita adalah kebiasaan. Ke- biasaan dapat dibentuk melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran hendaknya mampu membangun kebiasaan siswa untuk berpikir dalam menyelesaikan sebuah masalah.

Costa dan Kallick (dalam Sumarmo, 2010) mendefinisikan kebiasaan berpikir adalah kecenderungan untuk berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi masalah, khususnya masalah yang tidak dengan segera diketahui solusinya. Ketika siswa dihadapkan pada suatu masalah, maka ia akan membentuk suatu pola perilaku intelektual tertentu yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Habits of mind terbentuk ketika siswa merespon jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah yang jawabannya tidak segera mereka ketahui, sehingga kita bisa mengobservasi tidak hanya bagaimana siswa mengingat sebuah pengetahuan akan tetapi lebih kepada bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan. Kecer- dasan manusia tidak hanya dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya saja, tetapi dilihat juga dari bagaimana seseorang individu bertindak (Costa & Kallick, 2012, hlm. 198).

(31)

Gambar 2.1. Dimensions of Learning Marzano

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa posisi habits of mind pada dimensions of learning menjelaskan hubungan antara dimensi belajar yang saling berkaitan dan bekerja sama, semua dimensi bela- jar dipengaruhi oleh sikap dan persepsi (attitudes and percepsion) pa- da dimensi pertama dan kebiasaan berpikir cerdas (habits of mind) pada dimensi kelima. Dimensi pertama dan kelima adalah faktor yang sangat penting yang harus diperhatikan ketika proses belajar berlang- sung. Bila diperhatikan secara seksama latar belakang yang terdapat pada gambar tersebut adalah pada dimensi pertama dan kelima. Oleh karena itu, siswa harus memiliki sikap dan persepsi yang kondusif dalam belajar menggunakan kebiasaan berfikir secara efektif. Dimensi belajar ini mentranslasikan bagaimana seseorang belajar dan berpikir (dimensions of thinking) ke dalam suatu kerangka kerja praktik (prac- tical framework) sehingga dapat digunakan oleh guru untuk mening- katkan kualitas pembelajaran matematikanya.

Tahapan dalam dimensi belajar ini dimulai dengan tugas pertama siswa pada dimensi kedua, yaitu “mengumpulkan dan mengintegrasi- kan pengetahuan” (Acquiring and Integrating Knowledge). Melalui di- mensi ini siswa dituntut dapat mengintegrasikan pengetahuan baru dan keterampilan-keterampilan yang telah diketahuinya terlebih da-

(32)

hulu sehingga terjadi proses subjektif berupa interaksi dari informasi lama dan informasi baru. Selanjutnya pada dimensi ketiga, siswa di- harapkan dapat mengembangkan pengetahuan barunya untuk “mem- perluas dan memperhalus pengetahuannya” (Extending and Refining Knowledge) melalui sebuah kegiatan, dan pada dimensi keempat atau akhir tujuan pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan dengan cara bermakna” (Using Knowledge Meaningfully). Seperti ter- lihat pada gambar 2.1., dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja saling berkaitan, di mana antara satu tahapan dengan tahapan yang lain tidak dapat terpisahkan.

Selanjutnya Marzano (1993, hlm. 23) membagi habits of mind ke dalam tiga kategori yaitu: self regulation, critical thinking dan creative thinking. Self regulation meliputi: (a) menyadari pemikirannya sendiri;

(b) membuat rencana secara efektif; (c) menyadari dan menggunakan sumber-sumber informasi yang diperlukan; (d) sensitive terhadap umpan balik; dan (e) mengevaluasi keefektifan tindakan. Critical thinking meliputi: (a) akurat dan mencari akurasi; (b) jelas dan men- cari kejelasan; (c) bersifat terbuka; (d) menahan diri dari sifat impul- sif; (e) mampu menempatkan diri ketika ada jaminan; dan (f) bersifat sensitif dan tahu kemampuan temannya. Creative thinking meliputi:

(a) dapat melibatkan diri dalam tugas meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak; (b) melakukan usaha maksimal sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya; (c) membuat, menggunakan, memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri; (d) meng- hasilkan cara baru melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya.

Apabila kita cermati indikator-indikator dari habits of mind yang dikemukakan oleh Marzano (1993) terlihat bahwa Indikator-indi- kator tersebut membekali individu dalam mengembangkan kebiasaan mental yang menjadi tujuan penting pendidikan agar siswa dapat belajar mengenai apapun yang mereka inginkan dan mereka butuh- kan untuk mengetahui segala yang berkaitan dengan hidupnya.

(33)

Bahkan Costa dan Kallick serta Campbell (dalam Sriyati, 2011) mengklaim habits of mind sebagai karakteristik perilaku berpikir cer- das yang paling tinggi dalam memecahkan masalah dan merupakan indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan so- sial.

Adapun indikator atau aspek habits of mind yang akan diukur da- lam penelitian ini adalah kemampuan self regulation, maksudnya ialah kemampuan siswa dalam menyadari pemikirannya sendiri, memikir- kan apa yang harus dipikirkan (metakognitif) serta menyadari dan menggunakan sumber-sumber informasi yang diperlukan. Kemudian kemampuan critical thinking yang termasuk dalam pembahasan ini adalah kemampuan siswa dalam mempertanyakan dan menemukan permasalahan, bersifat terbuka, menanggapi dengan kekaguman dan keheranan suatu permasalahan, serta dapat bekerja dan belajar dengan orang lain dalam sebuah kelompok. Selanjutnya maksud ke- mampuan creative thinking pada penelitian ini adalah berpikir fleksi- bel, menghasilkan cara baru dalam melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya, serta melakukan usaha yang maksimal sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya.

Berikut adalah contoh cuplikan dialog tentang kemampuan habits of mind siswa tentang self regulation di dalam pembelajaran matemat- ika (diambil dari Juliah, 2012):

Guru : Bagaimanakah menurut pendapatmu tentang soal-soal yang terdapat pada LKS dan lembar ulangan harian tadi?

Siswa : Lumayan, ada yang sulit dan ada yang mudah.

Guru : Soal manakah yang kamu anggap mudah dan soal manakah yang kamu anggap sulit dalam mengerjakan?

Siswa : Yang mudah adalah soal membaca jam dan yang sulit adalah yang harus menghitung dasawarsa, windu, tahun, dan bulan.

Guru : Kenapa soal tersebut dianggap sulit oleh kamu?

(34)

Siswa : Karena perhitungannya banyak, saya lupa lagi persamaan tentang abad, dasawarsa, dan windu.

Cuplikan dialog tersebut menggambarkan tentang kemampuan self regulation, hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menyadari pemikirannya sendiri seperti dialog yang dimulai dengan pertanyaan peneliti“ bagaimanakah menurut pendapatmu tentang soal-soal yang terdapat pada LKS dan lembar ulangan harian tadi?”

lalu siswa menjawab” lumayan, ada yang sulit dan ada yang mudah”, selanjutnya kemampuan memikirkan apa yang harus dipikirkan (me- takognitif) dari percakapan peneliti kepada siswa” Soal manakah yang kamu anggap mudah dan soal manakah yang kamu anggap sulit da- lam mengerjakan?”, kemudian siswa tersebut menjawab“ yang mudah adalah soal membaca jam dan yang sulit adalah yang harus menghi- tung dasawarsa, windu, tahun, dan bulan”, kemudian kemampuan menyadari dan menggunakan sumber-sumber informasi yang diper- lukan dapat tergambar dari pertanyaan guru” kenapa soal tersebut dianggap sulit oleh kamu?” lalu siswa tersebut menjawab” karena perhitungannya banyak, saya lupa lagi perhitungan tentang abad, da- sawarsa, dan windu”. Hal ini menunjukkan bahwa siswa harus me- mahami tentang materi tentang waktu dan cara menghitungnya, ter- lebih dahulu siswa harus memahami konsep tentang abad, dasawarsa, dan juga windu untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajar- an ini. Selanjutnya cuplikan dialog tentang kemampuan critical think- ing dan kemampuan creative thinking berikut ini:

Guru : Mengapa satu hari satu malam jarum pendek jam berputar 12 kali?

Siswa : Karena waktu itu dimulai dari angka 1-12, jadi berputarnya 12 kali.

Siswa : Karena satu kali putaran ada 12 kali dan sehari semalam itu berputarnya 2 kali karena 2 x 12 kan 24

(35)

jam.

Siswa : Kenapa notasinya 24 jam, tidak lebih menjadi 25?

Siswa : Karena sehari semalam adalah 24 jam.

Siswa : Kenapa pada notasi 24 jam berubah angkanya, sedangkan pada notasi 12 jam tidak?

Siswa : Karena di tambah 12, jadi 1 pada notasi 24 jam di tambah 12 jadi 13.

Siswa : Kenapa notasi 24 jam tidak memakai keterangan waktu?

Siswa : Karena tanpa menggunakan keterangan waktu pun sudah berbeda angkanya.

Dialog di atas, menggambarkan tentang kemampuan habits of mind siswa dalam pembelajaran mengenai waktu. Kemampuan criti- cal thinking yang dimaksud dalam cuplikan dialog di atas adalah dia- log yang dimulai dengan pertanyaan dari guru untuk memancing pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai waktu dalam jam, yai- tu” mengapa satu hari satu malam jarum pendek jam berputar 12 kali? lalu seorang siswa laki-laki mencoba menjawab sesuai dengan pemahamannya, dengan menjawab” karena satu kali putaran ada 12 kali dan sehari semalam itu berputarnya 2 kali karena 2 x 12 kan 24 jam”, kemudian seorang siswa perempuan juga mencoba menjawab sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya, yaitu dengan menjawab” karena satu kali putaran ada 12 kali dan sehari semalam itu berputarnya 2 kali karena 2 x 12 kan 24 jam”. Sedangkan untuk kemampuan creative thinking yang dimaksud dari dialog terse- but adalah kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan yang coba diberikan oleh temannya sendiri seperti dialog percakapan” kenapa notasinya 24 jam, tidak lebih menjadi 25?” kemudian siswa lain men- coba menjawabnya” karena sehari semalam adalah 24 jam”. Selanjut- nya pertanyaan “kenapa pada notasi 24 jam berubah angkanya, se- dangkan pada notasi 12 jam tidak?” siswa lain menjawab “karena di

(36)

tambah 12, jadi 1 pada notasi 24 jam di tambah 12 jadi 13. Kemudian ada juga seorang siswa bertanya“ kenapa notasi 24 jam tidak me- makai keterangan waktu?” lalu salah seorang siswa juga mencoba menjawabnya dengan jawaban” karena tanpa menggunakan kete- rangan waktu pun sudah berbeda angkanya”.

(37)

BAB III

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN

HABITS OF MIND PADA SISWA

Sekolah Dasar (SD) islam tempat penelitian dilakukan merupa- kan sekolah yang mengembangkan system fullday school yang men- jadi salah satu pilihan sekolah masa kini. Rentang waktu yang pan- jang di sekolah memungkinkan pengembangan potensi dan karak- ter siswa yang lebih terpadu. Pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa dibangun melalui program-program yang terintegrasi dalam membentuk karakter siswa berakhlak mulia, calon pemimpin masa depan melalui leadership lifeskill dan bertanggungjawab terhadap lingkungan melalui green education.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi diarahkan kepa-

(38)

da keteram-pilan siswa dan guru dalam mengembangkan media dan sumber belajar.

Pembelajaran yang menyenangkan dapat tercipta melalui keakraban dan suasana yang menyenangkan, program fun learning activity, outing, supercamp, dan pendekatan pembelajaran scientific menjadi program unggulan sekolah ini. Nilai-nilai syariat Islam terpadu dikenalkan di dalam kegiatan keseharian melalui asmaul husna, tata cara berwudhu, shalat berjamaah, tilawati Al-Quran, hafalan surat dan doa, serta tadabbur alam.

Tuntutan untuk memberikan yang terbaik pada siswa adalah bagian dari prioritas layanan pendidikan di sekolah. Jadwal belajar di SD dilaksanakan selama lima hari, yaitu hari Senin sampai dengan hari Kamis pada pukul 07.30 sampai pukul 16.00, dan pada hari Jum'at pukul 07.30 sampai dengan pukul 14.00.

Kurikulum yang digunakan di SD Islam merupakan gabungan dari kurikulum nasional, kurikulum agama, kurikulum leadership, serta kurikulum green education. Penggabungan ini diupayakan agar senantiasa dapat saling mengisi dalam membentuk pola pikir dan pola sikap anak didik yang sangat bermanfaat dalam ke- hidupannya kelak di tengah masyarakat.

Salah satu sekolah dasar (SD) Islam berupaya untuk mencip- takan suasana sekolah yang kondusif dan demokratis dalam mem- bantu mengembangkan bakat, minat, nilai, dan kompetensi siswa- nya secara optimal. Sebagai sekolah yang mempunyai misi mem- bangun dan menyelenggarakan sistem pendidikan komprehensif yang menyiapkan lulusannya untuk membentuk generasi muslim yang berkemampuan sebagai khalifatullah fil ardhi yang rahmatan lil’alamin dan menyelenggarakan pendidikan jenjang SD yang mengembangkan landasan kehidupan islami para siswa sesuai dengan visi lembaga. Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi pada analisis data pembelajaran matematika khususnya mengenai kemampuan koneksi matematis dan habits of mind siswa.

(39)

A. Kemampuan mengintegrasikan informasi

Berdasarkan hasil pengamatan, kemampuan mengintegrasikan informasi muncul pada saat guru melakukan apersepsi melalui kegiatan tanya jawab, dimana beberapa orang siswa mencoba un- tuk memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang diberi- kan oleh guru.

Dari hasil pengamatan diperoleh data sebagian besar siswa be- rusaha menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan oleh guru baik secara lisan maupun secara tulisan. Data tersebut didukung oleh gambar yang terlihat di bawah ini:

Gambar 3.1. Foto Siswa Saat Merespon Pertanyaan Guru

Gambar di atas memperlihatkan bagaimana antusias siswa saat merespon pertanyaan dari guru dengan cara mengacungkan ta- ngan terlebih dahulu. Selain itu terlihat ada beberapa orang dianta- ra siswa yang masih ragu-ragu untuk mengungkapkan ide/pen- dapat dalam menjawab pertanyaan dari guru. Namun secara kese- luruhan respon siswa terhadap pertanyaan yang diberikan guru sudah cukup baik, terlihat dari antusias siswa saat menjawab be- berapa pertanyaan yang diberikan guru. Dalam kegiatan ini guru

(40)

memberikan giliran kepada siswa dalam mengemukakan ide/pen- dapatnya. Berikut adalah cuplikan dialog antara siswa dan guru saat pembelajaran berlangsung dengan konsep menentukan per- bandingan senilai:

Guru Adakah yang sudah mulai mencoba membaca buku : tentang perbandingan di rumah? Ayo silahkan.

Siswa (Seorang siswa mengacungkan tangan, dan berkata) : sudah Bu.

Guru Iya silahkan..Apa sih perbandingan itu dan apa : contohnya?

Siswa Perbandingan itu menyederhanakan. :

Guru Contohnya menyederhanakan itu seperti apa? :

Siswa Ada kertas merah dan kertas biru. Kertas merahnya : 20 kertas birunya 25 lalu dikecilkan/sederhanakan sehingga menjadi 4 berbanding 5.

Guru Bagus. Itu adalah salah satu contoh masalah sehari-: hari yang berkaitan dengan perbandingan anak- anak. Ada kertasnya 20 warna merah ada kertas birunya 25 klo misalkan disederhanakan akan muncul 4 dan 5 karena masing-masing dibagi berapa anak-anak?

Siswa (Dengan serentak anak-anak menjawab) 5 (lima). :

Selain dari data di atas, kemampuan siswa dalam menginte- grasikan informasi terlihat juga pada saat presentasi di mana be- berapa orang siswa mencoba menjelaskan tentang apa yang dita- nyakan oleh temannya dari kelompok lain, walaupun beberapa orang siswa masih terlihat malu dan ragu-ragu saat menjawab per- tanyaan tersebut.

Berdasarkan data hasil observasi, indikator kemampuan ko- neksi matematis ini muncul pada saat siswa menanggapi per-

(41)

tanyaan dari guru dan mengerjakan soal latihan yang ada dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Seperti nampak pada gambar/foto beri- kut ini:

Gambar 3.2. Kemampuan Siswa Mengintegrasikan Informasi

Gambar di atas merupakan foto kegiatan siswa saat menuang- kan ide mereka secara tulisan dalam mengerjakan LKS. Berdasar- kan catatan lapangan pada saat diskusi berlangsung, beberapa ke- lompok melakukan pembagian tugas dalam kegiatan ini, maksud- nya secara bergiliran masing-masing anggota kelompok menulis- kan hasil diskusi pada LKS yang tersedia.

(42)

Gambar 3.3. Siswa Bekerjasama dengan Kelompok Diskusinya

Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bagaimana aktivitas siswa saat menyatakan ide/pendapat secara tulisan dengan teman kelompok diskusinya. Di sana terlihat jelas pembagian tugas ma- sing-masing anggota kelompok, sebagian membacakan hasil disku- sinya dan yang lain mencatat hasil diskusi kelompoknya.

Dari ketiga gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya kemampuan koneksi matematis dalam mengintegrasi- kan informasi ini muncul pada seluruh siswa. Hal ini ditunjukkan oleh wujud mengintegrasikan informasi secara tertulis yang mere- ka tuliskan dalam LKS seperti yang terlihat pada gambar di atas.

B. Membuat koneksi dalam dan atau luar materi matematika Indikator kemampuan koneksi matematis ini dianalisis dengan indikator pembelajaran siswa dapat menentukan jarak pada peta jika diketahui skala dan jarak sebenarnya.

Berdasarkan hasil observasi diperoleh gambaran bahwa siswa tidak mendapatkan kesulitan dalam menentukan jarak pada peta jika diketahui skala dan jarak sebenarnya. Hal ini di dukung dengan data studi dokumentasi bahwa hasil ulangan harian dan pengerjaan

(43)

LKS menunjukkan semua siswa dapat mengerjakan soal dengan baik. Seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 3.4. Hasil Pekerjaan Siswa Pada Lembar Ulangan Harian

Gambar tersebut merupakan hasil pekerjaan siswa pada ulangan harian yang dilakukan guru pada pertemuan kelima ten- tang menentukan jarak pada peta jika diketahui skala dan jarak sebenarnya.

Gambar 3.5. Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS

(44)

Gambar di atas, merupakan hasil pekerjaan siswa pada LKS yang mengandung indikator menentukan jarak pada peta jika diketahui skala dan jarak sebenarnya untuk kemampuan membuat koneksi dalam dan atau luar materi matematika. Dalam soal terse- but terlihat kaitan antara soal dengan kehidupan sehari-hari yang mungkin akan ditemui oleh mereka sehari-hari.

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa indikator ke- mampuan koneksi matematis ini dikuasai dengan baik oleh siswa.

Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal yang terdapat pada LKS seperti yang nampak pada gambar di atas, di mana berdasarkan rangkuman hasil jawaban siswa di- peroleh gambaran bahwa hampir semua kelompok menyelesaikan dengan benar semua soal dalam LKS tersebut.

C. Menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, hampir seluruh soal yang diberikan guru pada perbandingan dan skala mengandung masalah kontekstual/peristiwa sehari-hari dengan tujuan memu- dahkan siswa dalam menyimak dan memahami isi soal yang ditan- yakan. Secara rinci lembar soal LKS dapat dilihat pada lampiran A.

Dari empat kali pertemuan, berdasarkan observasi maka per- temuan yang kedua dengan indikator pembelajaran menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan perbandingan, lebih mengungkap tentang indikator kemampuan koneksi matematis siswa untuk menetapkan rumus (tools) yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Berikut adalah gambar/foto LKS tersebut:

(45)

Gambar 3.6.

LKS yang Memuat Indikator Menetapkan Rumus (Tools) yang Akan Digunakan untuk Menyelesaikan Masalah.

Jika mengamati gambar/foto tentang nilai siswa dalam hasil pengerjaan LKS, hanya delapan orang (dua kelompok) yang men- dapatkan nilai 100, sementara empat kelompok lainnya mem- peroleh nilai 80, dan satu kelompok mendapatkan nilai 60. Maka penulis melakukan analisis bahwa kebanyakan dari siswa salah da- lam memaknai soal sehingga berdampak pada kesalahan saat me- netapkan rumus, salah satunya tampak pada gambar di atas.

Selain itu, jika penulis amati gambar di atas maka analisis penulis bahwa soal tersebut benar-benar membutuhkan pema- haman siswa tentang satuan pengukuran, sehingga apabila konsep dasar skala tentang kesetaraan ukuran yang meliputi kilometer, hektometer, dekameter, meter, desimeter, centimeter, dan milime- ter belum dikuasai siswa, maka hal ini dapat menghambat hasil pekerjaan siswa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan da- lam memahami soal sangat berpengaruh terhadap kemampuan koneksi matematis siswa dalam menetapkan rumus (tools) yang

(46)

akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Analisis tersebut didukung oleh data hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada beberapa orang siswa tentang soal-soal yang ada pada LKS setelah pembelajaran. Berikut cuplikan dialog guru dengan seorang siswa.

Guru Ketika dalam menjawab soal, apakah kamu merasa ada : soal yang mudah dan sulit untuk dikerjakan?

Siswa Iya ada. :

Guru Soal seperti apa yang dianggap mudah oleh kamu? :

Siswa Soal tentang perbandingan dan mencari jarak sebenarnya : pada skala.

Guru Kemudian, soal seperti apa yang dianggap sulit oleh : kamu?

Siswa Soal cerita tentang skala. :

Guru Kenapa soal tersebut terasa sulit oleh kamu? :

Siswa Karena susah dimengerti, misalnya kayak mencari berapa : jarak pada peta.

Menyimak dialog tersebut ternyata tidak semua siswa mengua- sai konsep dasar tentang kesetaraan ukuran, ada diantara siswa yang lupa sehingga secara individu mereka mendapatkan kesulitan dalam mengisi jawaban. Berbeda pada saat mengerjakan soal pada LKS karena dikerjakan secara berkelompok, dimana terjadi per- tukaran ide/pendapat dengan teman kelompoknya maka kesalahan pun hanya terjadi pada satu atau dua soal dari soal yang diberikan guru. Hal ini didukung pula dengan banyaknya soal yang ada dalam LKS tersebut sehingga siswa memiliki alternatif dalam memberikan kemungkinan jawabannya.

D. Memecahkan masalah tidak rutin

Berdasarkan hasil pengamatan pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan LKS yang digunakan guru selama kegiatan

(47)

pembelajaran berlangsung, maka dapat diidentifikasi bahwa pada umumnya soal-soal yang diberikan guru pada LKS, memungkinkan siswa untuk memunculkan indikator kemampuan koneksi matema- tis siswa dalam memecahkan masalah tidak rutin, namun dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada indikator pembelajaran ten- tang menentukan jarak sebenarnya jika diketahui skala dan jarak pada peta. Berikut adalah gambaran soal pada LKS tersebut:

Gambar 3.7.

LKS Tentang Menentukan Jarak Sebenarnya Jika Diketahui Skala dan Jarak Pada Peta.

Gambar di atas adalah hasil pekerjaan siswa secara berke- lompok pada saat mengerjakan LKS untuk menghitung jarak sebenarnya jika diketahui skala dan jarak pada peta. Dalam hasil pekerjaan tersebut nampak kekeliruan siswa saat menghitung ja- rak sebenarnya. Ini menunjukkan kekurang hati-hatian siswa da- lam membaca dengan pemahaman suatu soal dalam matematika.

Jika diamati soal yang terdapat pada gambar yang ada dalam LKS tadi, jelas membutuhkan kemampuan siswa dalam memaha- minya, sehingga ketika siswa kurang hati-hati bisa berdampak pa- da kesalahan seperti diperlihatkan pada gambar di atas, di sana

(48)

siswa terlihat kurang teliti dalam mengkali atau membagi angka- angka tersebut.

Dari hasil penilaian LKS pada indikator menentukan jarak sebenarnya jika diketahui skala dan jarak pada peta, empat kelom- pok menjawab dengan benar soal-soal tersebut dan tiga kelompok lainnya salah dalam perhitungan matematis dan menyimpulkan- nya. Secara rinci rangkuman jawaban dan perolehan nilai siswa dapat dilihat pada lampiran C.

Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kemampu- an memecahkan masalah tidak rutin ini tidak semua siswa dapat menjawabnya, hal tersebut lebih dikarenakan kekurangtelitian siswa dalam membaca dengan pemahaman suatu soal matematika hingga mampu menjawabnya dengan baik dan benar.

Berdasarkan hasil observasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung dapat terlihat bahwa pada umumnya siswa sudah memiliki kemampuan habits of mind yang cukup baik. Adapun in- dikator kemampuan habits of mind siswa yang muncul selama kegiatan pembelajaran tentang perbandingan dan skala, yaitu meliputi: self regulation, critical thinking, dan creative thinking.

Dari hasil pengamatan diperoleh data bahwa indikator habits of mind siswa muncul pada tahapan pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Berikut di bawah ini adalah tabel kemunculan indikator kemampuan habits of mind siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung:

Referensi

Dokumen terkait

buku bertahan berjualan di sisi timur Lapangan Merdeka untuk bertahan hidup. Lokasi tempat pemindahan yaitu Jl. Pegadaian juga tidak banyak diketahui oleh. masyarakat Medan atau

Mengikuti perkuliahan dan ujian mata kuliah (atau tugas-tugas setara dari komisi pembimbing) yang isinya berupa perkembangan ilmu mutakhir dalam bidangnyab. Isinya menyajikan

9 Pelaksanaan proses pembelajaran: jumlah jam real yang digunakan untuk kegiatan praktikum, praktek, atau PKL (=J jam real ) dari

Yang dimaksud dengan ”nilai perlindungan dan keselamatan pasien” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi

Sedangkan pada metode lossy citra yang dihasilkan hampir sama degnan citra semula, akan tetapi ada informasi yang hilang akibat pemampatan tapi masih bisa ditolerir oleh persepsi

Di sisi lain, pada Zn 1- δ O, bentuk rapat keadaan elektron spin up dan spin down tidak simetris yang menunjukkan sifat setengah logam ferromagnetik dengan nilai momen magnetik total

Untuk Peserta yang mewakili/dikuasakan membawah Surat Kuasa dari Pimpinan Perusahaan yang namanya tercantum dalam Akta Pendirian atau Akta Perubahan (apabila ada

Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis) sebab menurut pandangan ini suatu