• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Ditulis Sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari ah IAIN Batusangkar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Ditulis Sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari ah IAIN Batusangkar"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

1

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN UMUM TERHADAP PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI PASAR BATUSANGKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

HUKUM TATA NEGARA ISLAM

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Jurusan Hukum Tata Negara

Fakultas Syari’ah IAIN Batusangkar

Oleh:

RANDES NOVIARMAN NIM. 15301500046

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Randes Noviarman. NIM 15301500046. Judul Skripsi: “Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Tata Negara Islam”. Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi fokus penelitian adalah implementasi atau penerapan pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum di tengah-tengah masyarakat tepatnya di Pasar Batusangkar.

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian lapangan (field research) adalah pendekatan dengan melihat dan mengkaji bagaimana suatu aturan diimplementasikan dilapangan, Sedangkan penelitian kepustakaan (library research) adalah penelitian yang dilakukan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik dengan buku-buku, ataupun jurnal untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi aturan hukum yang satu dengan yang lain.

Dari penelitian yang penulis lakukan ditemukan bahwa Pertama Rumusan Pasal 9, Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum tidak sesuai atau tidaklah sinkron dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu dalam hal pembuatan materi muatan, sanksi administrasi dan ketentuan pidana. Kedua Implementasi atau Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum tidak terlaksana dengan baik dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bentuk peraturan yang telah ditetapkan pemerintah, hal tersebut dapat dilihat dari pelanggaran yang mereka lakukan secara terus menerus walaupun diantara mereka sudah ada yang mendapatkan teguran namun teguran tersebut tidak diindahkan, serta petugas yang memiliki wewenang untuk melakukan penertiban tidak secara tegas melaksanakan wewenang yang dimilikinya. Ketiga Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima tidaklah sesuai dengan Hukum Tata Negara Islam. Hal itu dikarenakan dalam Hukum Tata Negara Islam telah dijelaskan bagaimana konsep penerapan Syari’ah Islam untuk kita taat kepada aturan yang telah dibuat oleh para penguasa atau pemerintah. Namun pada kenyataanya masyarakat tidak taat pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum.

(6)

ii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN TIM PENGUJI

ABSTRAK ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat dan Luara Penelitian ... 10

F. Defenisi Operasional ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

A. Landasan Teori ... 14

1. Ilmu Perundang-Undangan ... 14

a. Peristilahan ... 14

b. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan ... 15

c. Pengertian Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. .... 17

d. Fungsi Ilmu Perundang-undangan dalam Pembentukan Hukum Nasional ... 17

2. Peraturan Daerah ... 19

a. Pengertian Peraturan Daerah ... 19

b. Asas Pembentukan dan Materi Muatan Peraturan Daerah ... 20

3. Teori Penegakan Hukum ... 24

4. Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 26

a. Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 26

b. Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 28

c. Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) ... 29

(7)

iii

d. Ketentraman dan Ketertiban Umum ... 29

5. Siyasah Dusturiyah ... 31

a. Pengertian Siyasah Dusturiyah ... 31

b. Prinsip-prinsip Siyasah Dusturiyah ... 31

c. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dusturiyah ... 34

B. Penelitian yang Relevan ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Latar dan Waktu Penelitian ... 39

C. Instrumen Penelitian ... 39

D. Sumber Data Penelitian ... 39

E. Teknik Pengumpulan Data ... 41

F. Teknik Analisis Data ... 42

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data ... 42

BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Temuan Penelitian ... 43

A.1 Gambaran Umum Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas UPT Pengelolaan Pasar Kabupaten Tanah Datar...43

A.2 Temuan Hasil Penelitian di Dinas UPT Pengelolaan Pasar ... 56

A.3 Temuan Penelitian di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja ... 57

A.4 Temuan Penelitian di Lapangan Tepatnya di Pasar Batusangkar ... 61

B. Pembahasan ... 63

B.1 Sinkronisasi Rumusan Pasal 9, Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ... 63

B.2 Pelaksanaan Pasal 9 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 terkait dengan keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar. ... 73 B.3 Tinjauan Hukum Tata Negara Islam terhadap pengaturan

(8)

iv

Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman

dan Ketertiban Umum. ... 80

BAB V PENUTUP ... 88 A. Simpulan ... 88 B. Implikasi ... 89 C. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN ... 94

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Kemudian ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia berdasaratas hukum (rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat)”. Hukum memiliki arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan sebagai pedoman bertingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain (Muliadi Irwan 2017:1).

Dalam Negara hukum, hukum dijadikan sebagai dasar utama dalam menggerakkan setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu, hukum juga dijadikan sebagai sarana kontrol sosial, sehingga hukum ada untuk menjaga agar masyarakat dapat tetap berada dalam pola-pola tingkah laku yang diterima secara universal. Didalam fungsi yang demikian ini, hukum tidak hanya mempertahankan apa ada dan diterima dalam masyarakat tetapi diluar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain yaitu dengan mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat (Muliadi Irwan 2017:1-2).

Untuk dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan fungsi tersebut, maka pemerintah pusat hingga daerah harus membuat kebijakan-kebijakan publik yang berbentuk peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(10)

Bila ditingkat pusat dikenal beragam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden, maka ditingkat daerah juga dikenal beragam peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Menurut Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa:

“Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.”

Sedangkan “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota”

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, peratuan daerah mengacu kepada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang mana Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah merupakan undang-undang yang sering mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan karena : (1) struktur ketatanegaraan yang berubah melalui Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dari tahun 1999-2002 ; (2) materi muatan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah cukup banyak; (3) hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang sering mangalami ketegangan (spanning); dan (4) banyak pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sehingga beberapa materi yang ada dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah pun banyak yang berubah (Bagir Manan 2015:620). Secara keseluruhan telah terjadi beberapa kali perubahan pasca reformasi, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mengalami perubahan untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang

(11)

Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, dan yang terakhir melalui Undang-UndangNomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan hal tersebut, dasar hukum atau Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Pemerintahan Daerah terbaru, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun keberadaan Undang-Undang terdahulu yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi saat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mulai berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 409 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang berbunyi:

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar telah membentuk banyak peraturan daerah, salah satu diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Pengertian

(12)

Ketentraman dan Ketertiban Umum menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1 angka 7 adalah:

“Ketentraman dan Ketertiban Umum adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan aman, tentram, tertib dan teratur”.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum ini dibentuk dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan di era otonomi daerah, diperlukan kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap dengan menjunjung supremasi hukum. Kondisi dimana pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketentraman dan ketertiban umum yang diatur dalam peraturan daerah ini mencakup berbagai upaya untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan yang tertib, aman dan tentram di Kabupaten Tanah Datar sesuai dengan kondisi daerah yang bersendikan “Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Peraturan daerah ini diberlakukan agar generasi mendatang tidak kehilangan budaya (Lihat penjelasan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum) .

Tujuan utama dari pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum ini adalah untuk mewujudkan kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap serta perlunya pembinaan melalui segala usaha, tindakan dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan penyusunan, pembangunan, pengarahan, serta pengendalian segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban umum (Lihat penjelasan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum). Salah satu hal yang diatur dalam peraturan daerah ini adalah ketentuan larangan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar dalam Pasal 9 yang berbunyi:

(13)

Pasal 9

(1) Setiap orang atau badan usaha, pedagang kaki lima toko dan kedai dilarang:

a. berjualan dijalan, trotoar, diatas selokan/bandar, jenjang umum, gang-gang pasar dan atau tempat lain yang sejenis yang disamakan dengan itu, kecuali tempat khusus atau waktu yang telah ditentukan;

b. meninggalkan gerobak, meja kursi dan peralatan berdagang lainnya ditempat berjualan setelah selesai berdagang;

c. meletakkan barang dan berjualan dihalaman toko atau kedai;dan

d. merubah bentuk toko dan kedai kecuali setelah mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

(2) Tempat khusus atau waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Selain itu Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum ini juga memuat ketentuan sanksi administrasi dan ketentuan pidana apabila melanggar pasal-pasal yang memuat ketentuan larangan termasuk Pasal 9 yang berbunyi:

Sanksi Administrasi Pasal 23

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana, bupati atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengenakan sanksi administrasi.

(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat berupa: a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis;

c. pembatasan kegiatan usaha;

d. pembekuan kegiatan usaha dan atau pembubaran kegiatan; e. penghentian sementara sebahagian atau seluruh kegiatan; f. pengawasan dan atau pembubaran kegiatan; dan

g. paksaan pemerintah atau daya paksa polisionil. Ketentuan Pidana

Pasal 25

(1) Pelanggaran atas ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah).

(14)

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Mengingat Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang memuat norma yang mengikat secara umum khususnya masyarakat Kabupaten Tanah Datar sesuai ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka ketentuan larangan, sanksi administrasi, dan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 9 Ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah tersebut, harus atau wajib ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dalam hal ini Bupati Kabupaten Tanah Datar yang memiliki tugas antara lain memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Selain tugas Bupati Kabupaten Tanah Datar selaku Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar juga memiliki kewajiban yang sudah ditetapkan dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah salah satu diantaranya adalah menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dikaitkan dengan ajaran Islam, telah banyak dijelaskan tentang pentingnya pemerintahan yang baik yang menyangkut urusan duniawi maupun urusan ukhrawi, hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, didalamnya terdapat sistem ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial, perdagangan dan sebagainya (Anjar Kurniawan 2018:19).

Begitu pula dengan Pedagang Kaki Lima (PKL), dalam menjalankan kegiatan usahanya, para pedagang hendaknya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan usahanya, salah satu caranya yaitu menjalankan dan melaksanakan apa yang pemerintah himbau kepadanya. Pedagang ingin melaksanakan mu’amalah apapun diperbolehkan asalkan

(15)

tetap memikirkan manfaat dari apa yang mereka laksanakan. Hal ini didasarkan pada nash-nash yang bersifat umum dan khusus. Firman Allah SWT tentang mentaati Ulil Amri (pemerintah):

                               Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An-Nisa’ ayat 59).

Menurut penulis Ayat ini menjelaskan tentang penerapan Syari’ah Islam untuk kita taat kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, dan kepada para penguasa. Oleh karena itu kita wajib mengamalkan peraturan Allah SWT, perbuatan serta akhlak Rasul-Nya dan peraturan yang dibuat oleh penguasa atau pemimpin yang berupa peraturan perundang-undangan salah satunya peraturan mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL).

Penerapan Syariah Islam adalah suatu upaya untuk menjadikan Syariah Islam sebagai Konstitusi (dustur) dan undang-undang negara (qanun). Konstitusi Syariah adalah upaya untuk menjadikan Syariah Islam sebagai Undang-Undang negara, sedangkan Undang-Undang negara adalah seluruh aturan yang lahir dari konstitusi negara. Konstitusi syariah hanya memuat pokok-pokok terpenting dari Syariah Islam yang bisa menggambarkan Syariah Islam secara utuh dan menyeluruh (kamil dan syamil), meskipun dengan redaksi yang sangat global dan ringkas disitulah sebenarnya penerapan Syariah Islam dalam berbagai bidang yang dipaparkan. Sedangkan yang dimaksud dengan syariat Islam ialah apa yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya, kaum muslimin tentang suatu hukum (Nur Rohim Yunus 2015:257). Disamping itu, kajian ini juga membahas konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal

(16)

balik antara pemerintah dan warga negara serta hak-hak warga negara yang wajib dilindungi (Muhammad Iqbal, 2014:177).

Dalam survei awal yang penulis lakukan di lapangan tepatnya di Pasar Batusangkar khususnya terhadap Pedagang Kaki Lima yang berada disepanjang Jalan Soekarno-Hatta Batusangkar, ditemukan fakta masih adanya Pedagang Kaki Lima yang berjualan di trotoar, bahu jalan, atau di depan toko. Para Pedagang Kaki Lima yang berjualan di trotoar, bahu jalan, dan di depan toko tersebut merasa tidak ada masalah dengan keberadaan mereka disana, tidak ada gangguan dari pihak manapun yang bertujuan menghalangi aktivitas berjualan yang mereka lakukan.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten Tanah Datar yang berisi ketentuan larangan terhadap Pedagang Kaki Lima yang harus ditaati dan dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah, yang bertujuan untuk menciptakan Ketentraman dan Ketertiban Umum itu sendiri. Jika tidak ditaati maka didalam peraturan tersebut juga mengatur sanksi administrasi dan ketentuan pidana apabila melanggarnya. Permasalahannya adalah, meskipun Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum telah memuat aturan larangan dan sanksi baik administrasi maupun pidana terhadap yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah tersebut, kenyataannya masih ada Pedagang Kaki Lima di Pasar Batusangkar yang mengabaikan atau tidak mematuhi aturan tersebut.

Bertitik tolak dari permasalahan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna dituangkan dalam skripsi dengan judul “Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Tata Negara Islam.”

(17)

B. Fokus Penelitian

Dari latar belakang diatas maka peneliti memfokuskan penelitian pada Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum serta penerapan atau pelaksanaannya di Pasar Batusangkar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian yang penulis paparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sinkronisasi rumusan Pasal 9, Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.?

2. Bagaimana penerapan Pasal 9 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar terkait dengan keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar.?

3. Bagaimana tinjauan Hukum Tata Negara Islam terhadap penerapan Pasal 9 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima.?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Untuk mengetahui sinkronisasi rumusan Pasal 9, Pasal 23, dan Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(18)

2. Untuk mengetahui penerapan Pasal 9 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman Dan Ketertiban Umum oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar terkait dengan keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar. 3. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Tata Negara Islam terhadap

penerapan Pasal 9 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima.

E. Manfaat dan Luaran Penelitian

Berdasarkan tujuan penulisan yang penulis paparkan diatas, maka diharapkan akan memberikan manfaat yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan pemahaman dalam penulisan karya ilmiah, sebagai sarana untuk memantapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama kuliah.

b. Dapat menjadi sumbangan pemikiran ataupun referensi bagi penelitian lain terkait pelaksanaan efektifitas peraturan daerah terhadap pedagang kaki lima (PKL).

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai salah satu hasil sumbangan pemikiran penulis bagi para pembaca dalam memahami penerapan peraturan daerah terhadap pedagang kaki lima (PKL).

b. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana S1 pada Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

3. Luaran Penelitian

Luaran penelitian ini adalah diterbitkan pada jurnal ilmiah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, diarsipkan di perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

(19)

F. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman judul, maka penulis akan menguraikan secara singkat gambaran awal serta menghindari adanya pemahaman yang berbeda dengan maksud penulis. Oleh sebab itu, perlu kiranya dijelaskan beberapa istilah penting dalam judul ini antara lain:

Implementasi yaitu :“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian kejadiannya (Nanang Thomas Putra 2009:23)”. Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan. Jadi implementasi menurut penulis berdasarkan pembahasan judul adalah suatu tindakan atau penerapan suatu program yang dinyatakan berlaku atau dirumuskan berdasarkan rencana yang telah disusun atau dibuat dengan cermat dan terperinci dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 angka 8). Jadi peraturan daerah yang dimaksud penulis adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten Tanah Datar dengan persetujuan Bupati Tanah Datar.

Ketentraman dan Ketertiban Umum adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan aman, tentram, tertib dan teratur (Peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman

(20)

dan Ketertiban Umum Pasal 1 angka 7). Artinya pemerintah dalam menerapkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 maka akan tercipta keadaan yang aman, tenang dan bebas dari gangguan atau kekacauan untuk mencapai kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat.

Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL adalah orang atau badan yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang dan bisa dipindahkan (Peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum Pasal 1 angka 14).

Hukum positif atau juga sering disebut sebagai ius constitutum, memiliki arti sebagai hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku sekarang di suatu tempat atau Negara. Indonesia dengan sistem civil law-nya menggunakan perundang-undangan, kebiasaan dan yurisprudensi sebagai sumber hukum (Alda Kartika Yudha 2017:160). Hukum Positif yang penulis maksud disini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman Dan Ketertiban Umum.

Hukum Tata Negara Islam merupakan kajian yang membahas masalah perundang-uandangan negara secara umum, disamping itu bagian ini juga membahas konsep negara hukum dalam shar’iyyah ,tujuan dan tugas-tugas negara dalam fiqh siyasah. Fiqh siyasah juga di katakan sebagai ilmu politik pemerintahan dan ketatanegaraan dalam islam yang mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan dalil-dalil umum dalam Al-Qur’an dan hadits serta tujuan dalam syariat. Taqiyuddin an-Nabhani menambahkan bahwa landasan seluruh peraturan negara, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undang-undang-undangan harus digali dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, seluruh bentuk peraturan negara ditentukan berdasarkan hukum-hukum syara’ yang digali dari akidah Islam

(21)

dengan menempatkan ijma dan qiyas sebagai pendukung (Syaiful Hidayat 2013:3).

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang penulis maksud dengan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum adalah mempelajari bagaimana penerapan atau pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 yang dibentuk oleh Dewan Perawakilan Rakyat Daerah bersama Bupati Kabupaten Tanah Datar tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Batusangkar berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan dalil-dalil umum dalam Al-Qur’an dan hadits serta tujuan dalam syariat Hukum Islam yang terdapat dalam Peraturan Daerah tersebut.

(22)

BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori

1. Ilmu Perundang-Undangan a. Peristilahan

Secara umum peraturan perundang-undangan dapat diterapkan secara luas, tetapi tidak boleh melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Ada standar dan ada prosedur yang harus dipatuhi. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan untuk membuat peraturan perundang-undangan dan dalam penyelenggaraan pemerintahan dipusat dan daerah. Adapun prosedur adalah metode atau tata cara untuk membuat peraturan perundang-undangan dan penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan di daerah (Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah2012:15).

Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau Gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Istilah legislation dapat diartikan dengan perundang-undangan dan pembuatan undang-undang, istilah wetgeving diterjemahkan dengan pengertian membentuk undang-undang, dan keseluruhan daripada undang-undang negara, sedangkan istilah Gesetzgebung diterjemahkan dengan pengertian perundang-undangan. Pengertian wetgeving dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut:

1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik ditingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah.

2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah (Maria Farida Indrati S. 2007:10)

(23)

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dirumuskan pula tentang kedua pengertian tersebut dalam pasal 1 angka 1 dan angka 2, yang dirumuskan sebagai berikut :

1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

b. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Jenis dan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4) Peraturan Pemerintah

5) Peraturan Presiden

6) Peraturan Daerah Provinsi; dan 7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki. Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang tertinggi yang harus menjadi dasar dan sumber bagi pembentukan peraturan-peraturan yang berada di bawahnya, dan peraturan yang

(24)

berada dibawah harus mendasarkan dan bersumber serta tidak boleh bertentangan pada peraturan yang berada di atasnya. (Retno Saraswati 2013: 99)

Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan hierarki perundang-undangan. Dalam membentuk dan menerapkan sebuah peraturan perundangan di pegang beberapa prinsip: Pertama, Peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah atau Asas lex superior derogat legi inferiori, apabila terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Kedua, Peraturan yang lebih baru mengalahkan peraturan yang lebih lama atau Lex posterior derogat legi priori adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru atau posterior mengesampingkan hukum yang lama atau prior. Asas ini biasanya digunakan baik dalam hukum nasional maupun internasional. Ketiga, Peraturan yang mengatur masalah khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum atau Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran nilai-nilai kebenaran tentang keadilan Pancasila. Oleh sebab itu, distribusi manfaat akan tercapai sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia (Ferry Irawan Febriansyah 2016:226).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota karena secara hierarki berkedudukan lebih rendah dari Undang-Undang, maka Peraturan Daerah Provinsi dan atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.

(25)

c. Pengertian Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amendemen) dan Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan berbagai Undang-Undang serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang berbagai aspek peraturan perundang-undangan, dapat didefinisikan sebagai berikut. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia adalah: Suatu kumpulan unsur-unsur hukum tertulis yang bersifat mengikat umum yang unsur-unsurnya saling terkait dan tergantung, saling pengaruh-mempengauhi yang yang merupakan totalitas yang terdiri atas: persiapan, penyusunan, pembahasan, pengundangan, penegakan dan pengujian, yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan definisi Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia tersebut, maka pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga yudikatif, eksekutif, dan/atau legislatif merupakan salah satu bagian/unsur dari sistem tersebut sehingga kalau tidak berjalan sebagaimana mestinya (disfunction) maka sistem tersebut akan pincang bahkan dapat tidak berjalan (stagnant) yang akan merugikan penyelenggaraan ketatanegaraan secara luas (Machmud Azis 2010:120)

d. Fungsi Ilmu Perundang-undangan dalam Pembentukan Hukum Nasional

Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia dikenal adanya bermacam-macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum tidak tertulis yang merupakan hukum adat yang beraneka ragam.Hukum Nasional Indonesia dewasa ini masih dalam proses pembentukan. Beberapa undangan nasional (dalam arti perundang-undangan yang dibentuk setelah Indonesia) memang telah ada, namun apakah perundang-undangan itu telah sesuai dengan cita-cita Hukum Nasional, kita perlu menelitinya secara cermat. Pembentukan hukum

(26)

nasional dapat diartikan dengan pembentukan hukum tidak tertulis yang berwujud hukum kebiasaan dan hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat,dapat juga diartikan dengan pembentukan hukum yang tertulis, yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang, yang berwujud peraturan perundang-undangan yang bersifat legislatif maupun bersifat administratif.

Hukum yang berlaku tersebut dapat juga dibedakan antara hukum tidak tertulis, hukum tercatat, dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis (ongeschreven recht) merupakan sinonim dari hukum kebiasaan (gewoonte recht), yang di Indonesia juga disebut dengan nama Hukum Adat (Adat berarti kebiasaan, yakni perbuatan yang diulang-ulang dengan cara atau bentuk yang sama). Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum yang tertua.

Hukum tertulis yang berlaku umum (algeemen geldend) dan mengikat orang banyak (algemeen bindend) serta yang mempunyai lingkup wilayah manusia (personengebied), wilayah ruang (ruimtegebied), dan wilayah waktu (tijdsgebied) yang lebih luas, tidak tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis.

Hukum tertulis selain merupakan wahana bagi hukum baru yang dibentuk setelah Indonesia merdeka dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan kenegaraan, kebangsaaan dan kemasyarakatan yang senantiasa berkembang, juga untuk “menjembatani”antar lingkup aneka adat dan hukum tidak tertulis lainnya, atau untuk mengatasi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis dalam hal pihak-pihak menghendakinya.

Dalam perkembangannya pembentukan hukum tertulis tidak dapat selalu diandalkan terbentuknya dengan cara kodifikasi, yang memerlukan waktu yang lama, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut pembentukan Hukum Nasional tidak dapat dilakukan dengan

(27)

cara lain kecuali dengan cara membentuk hukum yang tertulis dan dengan cara modifikasi, yang pembentukannya relatif lebih cepat.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pengembangan ilmu dibidang Perundang-undangan terasa semakin diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk Hukum Nasional, oleh karena Hukum Nasional yang dicitak-citakan akan terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Selain itu pembentukan hukum tertulis itu dirasakan sangat perlu bagi perkembangan masyarakat dan negara saat ini (Maria Farida Indrati S. 2007:13-15).

2. Peraturan Daerah

a. Pengertian Peraturan Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 angka 8, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Lihat Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).

Kewenangan membuat Peraturan Daerah merupakan wujud nyata dari pelaksanaan hak otonomi dari suatu daerah dan sebaliknya Peraturan Daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah atas persetujuan DPRD. Berhubung DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah, maka Peraturan Daerah hanya ditanda tangani oleh Kepala Daerah dan tidak ditanda tangani oleh Pimpinan DPRD.

Peraturan Daerah ditetapkan tidak saja dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi juga dalam rangka penjabaran

(28)

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Suatu Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dapat membuat ketentuan tentang pembebanan”biaya paksaan penegakkan hukum “atau” biaya paksaan pemeliharaan hukum”,seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa paksaan penegakkan hukum atau paksaan pemeliharaan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau memindahkan, mencegah, melakukan atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar.

Apabila pelanggar tidak mengindahkan, dapat diambil suatu tidakan. Pejabat yang menjalankan tindakan paksaan penegakkan hukum terhadap pelanggar harus dengan tegas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda atau biaya paksaan penegakan hukum dapat disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemahalan hidup (Rozali Abdullah,2000:41-42).

b. Asas Pembentukan dan Materi Muatan Peraturan Daerah 1. Asas Pembentukan Peraturan Daerah

Pembentukan Peraturan Daerah yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5 yang meliputi:

(29)

a. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya (Bambang Setyadi 2007:2).

2. Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan Peraturan Daerah berisi hal-hal yang merupakan kewenangan Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Materi muatan Peraturan Daerah ini

(30)

mengatur dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Pelaksanaan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan. Selain itu Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, keseluruhannya atau sebagian kepada pelanggar. Peraturan Daerah juga dapat memuat ancaman pidana kurungan (Harry Alexander 2006:26).

Tidak jauh berbeda didalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa:

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Disamping itu materi muatan Peraturan Daerah harus mengandung asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 6 sebagai berikut:

a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

(31)

d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara (Bambang Setyadi 2007:3).

(32)

Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi (Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).

3. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh

(33)

subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diripada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Jimly Asshiddiqie,2005).

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan melakukannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga harmonisasi (keselarasan, keseimbangan dan keserasian) antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil warga negara yang didasarkan pada nilai-nilai aktual di dalam masyarakat. Dengan demikian kebersamaan sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan nasional, melainkan juga penegakannya ( Kusnu Goesniadhie.2010:196).

Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan melakukannnya dengan sikap, tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan.

(34)

Ruang lingkup penegakkan hukum sebenarnya sangat luas sekali, karena mencakup hal-hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun dalam bidang penegakkan hukum. Penegakkan hukum yang tidak hanya mencakup lawenforcement, juga meliputi peace maintenance. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah penegakkan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi, hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasyarakatan atau penjara (M. Husein Maruapey, 2017)

4. Pedagang Kaki Lima (PKL)

a. Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL adalah orang atau badan yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang dan bisa dipindahkan (Peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum Pasal 1 angka 14).

Pedagang Kaki Lima adalah pedagang atau orang yang melakukan kegiatan atau usaha kecil tanpa didasari atas ijin dan menempati pinggiran jalan (trotoar) untuk menggelar dagangan. Menurut Sidharta (2002), ”Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar/pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek sosial, fisik, visual, lingkungan dan pariwisata” (Nur Fatnawati 2013:14).

Sedangkan Kartini Kartono, mendefinisikan Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai berikut:

1) Pada umumnya dapat dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) berkecimpung dalam usaha yang disebut sektor informal.

(35)

2) Perkataan kaki lima memberi pengertian bahwa mereka pada umunya menjual barang-barang dagangan pada gelaran tikar di pinggiran jalan atau di muka pertokoan yang dianggap strategis.

3) Para pedagang kaki lima pada umumnya memperdagangkan makanan, minuman dan barang konsumsi lain yang dijual secara eceran.

4) Para pedagang kaki lima pada umumnya bermodal kecil bahkan ada yang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapat komisi.Pada umunya kuantitas barang yang diperdagangkan oleh para pedagang kaki lima relatif rendah.Kualitas barang dagangan para pedagang kaki lima relatif tidak seberapa.

5) Kasus di mana pedagang kaki lima berhasil secara ekonomis sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang pedagang yang sukses agak langka.

6) Pada umumnya usaha para pedagang kaki lima merupakan usaha yang melibatkan struktur anggota keluarga.

7) Tawar-menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas dalam usahapedagang kaki lima.

8) pedagang kaki lima yang melaksanakan usaha secara musiman dan sering terlihat jenis barang dagangan juga berganti-ganti. 9) Mengingat sektor kepentingan maka pertentangan kelompok

pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok yang sulit dapat bersatu dalam bidang ekonomi walaupun perasaan setia kawan cukup kuat diantara mereka (Afdi Fadlan Hifdillah 2010:24).

Latar belakang seseorang menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL) menurut Alisjahbana adalah karena:

1) Terpaksa terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa karena tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terpaksa

(36)

harus mencukup kebutuhan hidup diri dan keluarganya, terpaksa karena tidak mempunyai tempat yang layak untuk membuka usaha, dan terpaksa karena tidak mempunyai bekal pendidikan dan modal yang cukup untuk membuka usaha formal

2) Ingin mencari rejeki yang halal daripada harus menadahkan tangan, merampok atau berbuat kriminal lain

3) Ingin mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, termasuk tidak bergantung pada orang tua

4) Ingin menghidupi keluarga, memperbaiki taraf hidup, bukan hanya sekadar pekerjaan sambilan

5) Karena di desa sudah sulit mencari penghasilan(Risman Taufiq Saragih hal.40)

b. Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang Kaki Lima (PKL) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kelompok ini merupakan pedagang yang terkadang juga menjadi produsen sekaligus, misalnya pedagang makanan dan minuman yang dimasak sendiri.

2) Perkataan Pedagang Kaki Lima memberikan konotasi bahwa mereka umumnya menjajakan barang-barang dagangannya pada gelaran tikar atau pinggir-pinggir jalan, atau di muka toko yang dianggap strategis.

3) Pedagang Kaki Lima biasanya menjual barang eceran.

4) Pedagang Kaki Lima umumnya bermodal kecil bahkan tidak jarang mereka merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payah.

5) Pada umumnya Pedagang Kaki Lima merupakan kelompok marginal bahkan ada pula yang tergolong kelompok submarginal.

(37)

6) Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh Pedagang Kaki Lima mengkhususkan diri dalam penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang lebih murah.

7) Omset penjualan Pedagang Kaki Lima ini umumnya tidak besar. Para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah.

8) Kasus dimana Pedagang Kaki Lima berhasil secara ekonomis sehingga dapat menaiki tangga dalam jenjang hirarki pedagang sukses agak langka atau jarang terjadi.

9) Barang yang ditawarkan Pedagang Kaki Lima biasanya tidak standar.(Nur Fatnawati 2013:21)

c. Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)

Ada empat faktor yang selalu mempengaruhi proses implementasi kebijakan, yaitu struktur birokrasi, sumber daya, komunikasi, dan sikap pelaksana. Hal ini mengingat pertama model tersebut dianggap mempunyai kesesuaian untuk diterapkan pada pelaksanaan kebijaksanaan dinegara-negara sedang berkembang.Kedua variabel-variabel yang terdapat didalamnya memiliki daya explanatory power yang cukup tinggi terhadap proses implementasi. Ketiga model tersebut variabel-varibelnya merupakan critical variables yang mudah dioperasionalkan dalam penelitian empiris dan karena teori ini yang paling cocok digunakan dalam penelitian tentang implementasi kebijakan, dan memang terlihat sering mempengaruhi proses implementasi. (Dicky Rahadian Trisnanto 2015:5)

d. Ketentraman dan Ketertiban Umum

Istilah ketertiban umum menurut Kollewijn memiliki sejumlah variasi pengertian. Pertama, ketertiban umum dalam hukum perikatan merupakan batasan dari asas kebebasan berkontrak. Kedua, sebagai unsur pokok dalam ketertiban dan kesejahteraan, keamanan (rust en

(38)

veiligheid). Ketiga, sebagai pasangan dari kesusilaan yang baik (goede zeden). Keempat, sebagai sinonim dari ketertiban hukum (rechtsorde), kelima, keadilan. Keenam, sebagai pengertian dalam hukum acara pidana untuk jalannya peradilan yang adil, dan terakhir kewajiban hakim untuk mempergunakan pasal-pasal dari perundang-undangan tertentu (Victor Imanuel W. Nalle. 2016:387).

Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Hukum menunjukan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum juga memberi petunjuk apa yang harus diperbuat dan mana yang tidak boleh, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan tertib dan teratur. kesemuanya itu dapat dimungkinkan karena hukum mempunyai sifat mengatur tingkah laku manusia serta mempunyai ciri memerintah dan melarang. Begitupula hukum mempunyai sifat memaksa agar hukum ditaati oleh anggota masyarakat (HerimantoWinarno2016:138).

Adapun Tujuan dari Ketentraman dan Ketertiban Umum menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2010 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum Pasal 3 adalah: 1) menerapkan prinsip atau filosofi Adat basandi Syara’,syara’

basandi kitabullah.

2) melindungi masyarakat dari adanya berbagai bentuk ganggguan ketentraman dan ketertiban umum dan penyakit masyarakat.

3) mendukung penegakkan hukum yang optimal terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan gangguan ketentraman dan ketertiban umum masyarakat.

4) meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengantisipasi, menanggulangi terjadinya gangguan ketentraman, ketertiban umum dan penyakit masyarakat.

(39)

5. Siyasah Dusturiyah

a. Pengertian Siyasah Dusturiyah

Kata “dusturi” berasal dari bahasa Persia. Semula, artinya “seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata dusturi digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penerapan kedalam bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar, dan pembinaan. Menurut istilah, dustur berati kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Siyasah Dusturiyah membahas masalah perundang-undangan negara, mengenai prinsip dasar yang berkaitan dengan bentuk pemerintahan, aturan yang berkaitan dengan hak-hak rakyat, dan mengenai pembagian kekuasaan (Jubair Situmorang,M.Ag. 2012:19)

Siyasah dusturiyah adalah bagian fiqh siyasah yang membahas masalah perundang-undangan negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting dalam perundang-undangan tersebut. Di samping itu, kajian ini juga membahas konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah dan warga negara serta hak-hak warga negara yang wajib dilindungi (Muhammad Iqbal,M.Ag. 2007:153)

b. Prinsip-prinsip Siyasah Dusturiyah

Menurut Dr. Muhammad Iqbal, (2014:27) Tujuan utama kekuasaan dan kepemimpinan dalam pemerintahan dan negara adalah menjaga sistem ketertiban agar masyarakat dapat menjalankan kehidupannya dengan wajar. Pemerintahan pada hakikatnya adalah

(40)

pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sebagai pejabat administrasi negara dalam membuat kebijakan, ada asas-asas yang harus dipegang yaitu:

1) Asas Legalitas

Setiap tindakan administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan tertulis yang melandasinya,) terlebih untuk negara hukum (Indonesia) sehingga asas legalitas merupakan hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah. 2) Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

Pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan kekuasaan negara harus berdasarkan:

a) Ketertiban dan kepastian hukum dalam pemerintahan b) Perencanan dalam pembangunan

c) Pertanggungjawaban

d) Pengabdian pada kepentingan masyarakat

e) Pengendalian yang meliputi kegiatan pengawasan, pemeriksaan, penelitian, dan penganalisaan

f) Keadilan tata usaha/administrasi negara g) Untuk sebesar-besar kemakmuran

Al-quran menetapkan bahwa ketaatan tidak boleh tidak hanya kepada Allah dan wajib mengikuti undang-undangNya. Ketaatan kepada Allah merupakan ketaatan pokok, kemudian ketaatan kepada rasul-Nya dan akhirnya ketaatan kepada Ulil Amri di antara orang-orang yang beriman, selama Ulil Amri tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Diterangkan dalam surat An-Nisa (4) ayat 59:                               

(41)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

3) Prinsip Tauhidullah

Prinsip keadilan antarmanusia adalah bahwasanya semua rakyat mempunyai persamaan hak didepan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan oleh mereka. Diterangkan dalam surat An-Nisa (4) ayat 58:                            

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

4) Asas Persamaan (Mabda Al-Musawah)

Asas persamaan memiliki arti bahwa setiap individu memiliki derajat yang sama sebagai warga negara tanpa mempertimbangkan asal-usul, ras agama, bahasa, dan status sosial. Semua orang memiliki kesamaan dalam hal menuntut dan dituntut, yaitu menuntut hak dan dituntut melaksanakan kewajiban.

5) Prinsip Musyawarah

Prinsip musyawarah bagi para pemimpin negara dan para penguasa juga masyarakat adalah tolak ukur dari dilaksanakannya sikap saling menghargai pendapat dan melepaskan diri dari sikap mengklaim kebenaran sendiri. Dalam Al-quran surat Asy-Syura (42) ayat 38, Allah SWT berfirman:

(42)

           

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

6) Prinsip Tertib Administrasi Ekonomi

7) Keseimbangan sosial (At-Tawazum Al-Ijtima’i) 8) Asas Tanggung Jawab Negara.

c. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dusturiyah

Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks. keseluruhan persoalan tersebut, dan persoalan fiqhsiyasah dusturiyah umumnya tidak lepas dari dua hal pokok: pertama, dalil-dalil kulliy yang berisikan ayat-ayat al-qur’an maupun hadist, maqashid al-shari‟ah, dan semangat ajaran Islam didalam mengatur masyarakat yang tidak akan berubah bagaimanapun perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil kulliy tersebut menjadikan didalam mengubah masyarakat dan menjadikan sebagai aturan dasar dalam menetapkan hukum. Kedua, aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, termasuk didalamnya hasil ijtihad para ulama yakni yang di sebut dengan fiqh (Anjar Kurniawan 2018:29).

(43)

B. Penelitian yang Relevan

Untuk mengetahui bahwa penelitian yang akan dilakukan ini sudah diteliti atau belum dan mengetahui perbedaan serta kesamaan dalam suatu penelitian terdahulu, maka terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan tema penelitian yang penulis pilih diantaranya sebagai berikut: 1. Dalam Skripsi yang ditulis oleh Agata Ika Febrilianawati (2010)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan judul penelitian Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Ki Hajar Dewantara Surakarta. Dalam penelitiannya, membahas tentang keefektivan kebijakan pengadaan relokasi PKL serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksaan kebijakan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan relokasi PKL di jalan Ki Hajar Dewantara Surakarta dilihat dari sisi pelaksanaanya dikatakan efektif karena tujuan kebijakan tercapai yaitu menciptakan kawasan bebas PKL di dekat Kampus UNS dan kawasan yang asri berkaitan dengan dibangunnya Solo Techno Park. Namun apabila dilihat dari sisi lain, yakni dari efisiensi dan kelompok sasaran, maka kebijakan dikatakan belum efektif karena tidak mencapai efisiensi dan masyarakat PKL merasa tidak puas dengan hasil kebijakan. Penelitian ini memiliki persamaan dengan yang penulis lakukan yaitu diantaranya, objek yang dijadikan penelitian adalah sama-sama terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) serta peraturan yang digunakan sebagai salah satu sumber dalam penelitian berasal dari Peraturan Daerah. Adapun perbedaannya adalah penelitian ini membahas mengenai dampak yang dirasakan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) setelah adanya relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan data pembanding sebelum adanya relokasi PKL, sedangkan yang penulis bahas adalah implementasi penerapan peraturan daerah terhadap Pedagang Kaki Lima.

2. Dalam Skripsi yang ditulis oleh Nur Fatnawati (2013) Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dalam skripsinya berjudul Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa bentuk praktekkontrak antara pemilik tanah dengan pengelola tanah untuk pembuatan batu bata di

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dilapangan dapat disimpulkan bahwa Implementasi fungsi-fungsi manajemen pada Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag)

Salah satu praktek muamalah yang penulis temukan dalam observasi awal di Nagari Koto Tuo Palangki yaitu masyarakat yang tanahnya mengandung emas berinisiatif untuk melakukan

Tabiat buruk pasangan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.. tersebut seperti sikap temperamental, emosional, egois, cemburu yang

Menurut penulis sebaiknya penyembelihan seekor ayam ini tidak dinamakan dengan kekah melainkan acara syukuran terhadap lahirnya seorang anak kedunia ini dan

pengaturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat, pengorganisasian dalam pengaturan untuk mewujudkan

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peramalan (forecasting) jumlah produksi Tahu berdasarkan data yang penulis peroleh dari

Kemudian sang istri dalam perkara ini menggugat balik sang suami agar diberikan ia nafkah sedang sang suami menyetujuinya dengan kesanggupannya sehingga hakim