• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesiapan mahasiswa profesi apoteker dalam menghadapi standar kompetensi farmasis Indonesia dalam sudut pandang mahasiswa profesi apoteker di dua perguruan tinggi di Jawa Barat periode April 2006 - Juni 2006 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kesiapan mahasiswa profesi apoteker dalam menghadapi standar kompetensi farmasis Indonesia dalam sudut pandang mahasiswa profesi apoteker di dua perguruan tinggi di Jawa Barat periode April 2006 - Juni 2006 - USD Repository"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

KESIAPAN MAHASISWA PROFESI APOTEKER DALAM MENGHADAPI STANDAR KOMPETENSI FARMASIS INDONESIA DALAM SUDUT

PANDANG MAHASISWA PROFESI APOTEKER DI DUA PERGURUAN TINGGI DI JAWA BARAT

PERIODE APRIL 2006 - JUNI 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Heribertus Dwi Hartanto NIM : 02 8114 092

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2006

(2)

(3)
(4)

Evangelizare pauperibus missit me

ku persembahkan kepada Bapa,kepada keluarga kudus,

kepada keluargaku,kepada kekasihku, dan kepada almamaterku.

(5)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul “Kesiapan Mahasiswa Profesi Apoteker Dalam Menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia Dalam Sudut Pandang Mahasiswa Profesi Apoteker Di Dua Perguruan Tinggi Di Jawa Barat Periode April 2006 - Juni 2006”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

2. Bapak Edi Joko Santoso, S,Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini, dan pembimbing kami meski hanya beberapa waktu. Terima kasih atas waktu, motivasi, kritik, dan saran yang telah diberikan.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan.

5. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan.

(6)

6. Bapak Ign.Y.Kristio Budiasmoro, M.Si. Terima kasih atas segala kritik, masukan dan bimbingan yang diberikan selama penulis belajar berorganisasi.

7. Dekan dan Kaprodi Profesi Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat yang bersedia memberikan ijin untuk melakukan pengambilan data.

8. Pak Dudi, Pak Teddy dan Lintang Sakti. Terima kasih banyak atas segala bantuan yang diberikan, sehingga proses pengumpulan data berjalan dengan lancar.

9. Teman-teman Mahasiswa Profesi Apoteker di dua perguruan tinggi di Jawa Barat yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner dan wawancara.

10.Keluargaku : Bapak Giya, Ibu Sutinah, Pranti, Purnomo, Bang Kemantau dan istri, keponakanku Dian dan Fitri. Aku mengasihi kalian semua.

11.Keluarga angkatku di Wlingi : Bapak Dan Ibu Lamidjan, dan Mbak Tyas. Terima kasih atas semangat dan dukungan tiada habisnya yang diberikan saat aku “hancur” dulu.

12.Shinta Dewi Akhirnawati. Terimakasih atas kasihmu.

13.Ema. terimakasih atas bantuannya selama kuliah. Terlebih lagi atas kesediaan dan kerelaannya menjadi “pembimbing 3” skripsi ini.

14.Teman-teman seperjuangan : AriNawa, Ema, Hendra, Rio atas kerjasama, masukan, motivasi, kebersamaan, keceriaan dan literaturnya.

15.Teman-teman komunitas WAGU Jogja dan angkatan 51 Seminar Garum . Terima kasih atas persaudaraan kita.

16.Vibriani dan Yustina Suswanti. Terima kasih atas dukungan kalian.

(7)

17.Keluarga Squadra Viola Farmasi : Chris Oktavius, Lado Angin, Marcell, Opik, Mas Dhany, Wawan, Wiwid, Artanto, Rio, Firmanta, Egi, Yudha, Adistyawan, Hosea, Joewi Angkasa, John Kobun, Rudi, Irwan, Eko, Broto Hartanto, Arry, Edi, Budi, Boris, Rian, Tintus, Brian, Fajar, Robert, Edvan, Rudi, Ari Sadhar, Yoyok, Erik, Adhit, Naning, Uut, Victoria, Ayu, Chandy, dan Ade. Terima kasih atas kerjasama, semangat dan kebersamaan selama ini. Untuk kemenangan Farmasi Sanata Dharma!!!

18.Vincentius Anjar, AriNawa, Nugraha Widhi, Septa Hutama, Doni, Rio, Hendra, Bayu, Patrisius, Ardhyan, Artanto, Edi, Adistyawan, Afu, Theodorus Gopa, Mardoni, Ferry, Albert, Handi, Yulius, Tjun Liong, Arry, Firmanta, Hartanto, Broto Hartanto, Lukas Eko, Thomas, Danu, Ratna, Dinta, Astu, Ema, Meita, Puri, Rina, Novita Widhi, Fretty, Victoria Hapsari, dan Novi, terima kasih atas kebersamaan, kebahagiaan, kesedihan, semangat, kritik, dan saran.

19.Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2002 khususnya kelas B dan kelompok D atas kerjasama dan kebersamaan selama kuliah dan praktikum.

20.Rekan-rekan FKPMKS Sintang. Terima kasih atas bantuannya.

21.Tondy, Fransiskus, Eka, Tata, Hiasintus, Marcela, Erick, Haris, Lusi, dan Reni. Terima kasih atas persahabatan kita dan segala bantuan dan dukungannya.

22.Teman-teman kostku lama : Mas Novan, Mas Doni, Mas Albert, Mas Benny, Mas Haryo, Budi, Agus, Opiek, dan Wiwid. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

23.Teman-teman di Akiyama, terima kasih atas jasa dan waktu yang diberikan. 24.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(8)

Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 14 November 2006

Penulis

(9)
(10)

INTISARI

Farmasis Indonesia saat ini dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan kefarmasian berdasarkan asuhan kefarmasian. Standar kompetensi farmasis merupakan suatu standar ukuran kualitas pelayanan farmasis kepada pasien atau masyarakat dalam kaitannya dengan konsep pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan kefarmasian. Pengetahuan dan kemampuan farmasis menentukan kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikannya. Pengetahuan dan kemampuan ini salah satunya diperoleh farmasis melalui suatu proses pendidikan tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan mahasiswa program profesi farmasi dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dan melihat pola distribusi minat mahasiswa profesi apoteker di tiga bidang pelayanan kefarmasian, yaitu industri, rumah sakit, dan apotek. Penelitian ini termasuk dalam penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Subyek dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang baru menyelesaikan kurikulum inti pendidikan farmasi yang sifatnya teori pada jenjang pendidikan profesi apoteker periode April 2006-Juni 2006 dan belum mengucapkan Sumpah Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat dan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,97% responden berminat di bidang rumah sakit; 21,05% berminat di bidang apotek, dan 42,98% responden berminat di bidang industri. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang rumah sakit sebesar 82,93%, responden yang tidak siap sebesar 14,63%. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang apotek sebesar 83,33%, sedangkan 16,67% responden tidak siap melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam bidang pelayanan kefarmasian di industri, responden yang menyatakan siap sebesar 81,63%, dan responden yang tidak siap sebesar 18,37%.

Kata kunci : Sudut Pandang, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Mahasiswa Profesi Apoteker

(11)

ABSTRACT

Indonesian pharmacist nowadays was demanded to have capabilities to handle pharmacy job based on pharmaceutical care. Pharmacist competency standard was a quality measurement standard of pharmacist services to their patients or societies in relation with pharmacy services concepts in accordance to pharmaceutical care. Pharmacist knowledges and skills determined the quality of the pharmacy services given. The knowledges and skills was obtained by studying in high education.

The aim of this research were to know the readiness of the of Professional Pharmacist Students in order to Face the Standar Kompetensi Farmasis Indonesia

and to see the interest distribution pattern of Professional Pharmacist Students in three pharmacy service fields, which were industrial pharmacy, hospital, and drugstore. This research was categorized as non eksperiment research with descriptive research design. Subjects of this research was Professional Pharmacist Students who just finished all theories in the pharmacy education curriculum of apotechary profession degree in period April 2006 - June 2006 and they have not conducted Pharmacist Oath in two universities in West Java by using quesionnaire as research instrument. The analysis was descriptive statistics.

The result showed that 35.97% of respondents were interested in hospital, 21.05% chose interest in apotechary, and 42.98% of respondents chose interest in industrial pharmacy. Respondents who stated their readiness to do the pharmacy service in hospital was about 82.93%, respondents who not ready were about 14.63%. Respondents who stated their readiness in apotechary field were about 83.33%, while 16.67% of respondents were not ready to do the services in apotechary in the field of industrial pharmacy, 81.63% of respondents stated their readiness, while 18.37% of respondents stated otherwise.

Keywords: Perception, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Professional Pharmacist Students.

(12)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ix

INTISARI... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xxii

DAFTAR LAMPIRAN... xxiii

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang... 1

1. Rumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelititan... 4

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Perubahan Konsep Pelayanan Kefarmasian... 5

B. Profesi... 6

(13)

C. Apoteker... 7

D. Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia... 11

E. Standar Profesi... 14

F. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia... 15

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Rumah Sakit... 15

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian……… 16

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi... 20

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi... 22

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi……… 26

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi……… 28

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian……. 30

H. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Apotek... 33

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian……… 34

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi... 37

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi... 38

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi……… 40

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi……… 42

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian……. 43

I. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Industri... 46

1. Quality Management (Manajemen Mutu)……… 46

2. Production Management (Manajemen Produksi)……… 48

3. Product Development (Pengembangan Produk)………. 49

4. Material Management (Manajemen Persediaan)………. 50

(14)

5. Material Management (Manajemen Persediaan)……….. 50

J. Organisasi Profesi... 51

K. Pendidikan Farmasi... 52

L. Keterangan Empiris... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 56

B. Batasan Operasional Penelitian... 56

C. Subyek Penelitian ... ... 58

D. Instrumen Penelitian... ... 59

E. Tata Cara Penelitian... 61

1. Analisis situasi... 61

2. Pembuatan kuisioner... 62

3. Penyebaran dan pengumpulan kuisioner... 64

4. Wawancara... 64

5. Pengolahan hasil... 64

F. Tata Cara Pengolahan Data... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Mahasiswa Profesi Apoteker... 66

1. Jenis kelamin... 66

2. Tempat menempuh pendidikan strata satu farmasi... 67

3. Minat... 68

(15)

B. Tingkat Kesiapan Mahasiswa Profesi Apoteker Dalam Menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia Dalam Sudut Pandang

Mahasiswa Profesi Apoteker... 72

1. Bidang Rumah Sakit ... 72

a. Asuhan kefarmasian ... 73

b. Akuntabilitas praktek farmasi... 74

c. Manajemen praktis farmasi... 75

d. Komunikasi farmasi... 77

e. Pendidikan dan pelatihan farmasi... 78

f. Penelitian dan pengembangan kefarmasian... 79

2. Bidang Apotek... 82

a. Asuhan kefarmasian... 82

b. Akuntabilitas praktek farmasi... 84

c. Manajemen praktis farmasi... 85

d. Komunikasi farmasi... 86

e. Pendidikan dan pelatihan farmasi... 87

f. Penelitian dan pengembangan farmasi... 87

3. Bidang Industri... 90

a. Quality Management (Manajemen Mutu)... 90

b. Production Management (Manajemen Produksi)... 92

c. Product Development (Pengembangan Produk)... 92

d. Material Management (Manajemen Persediaan)... 93

(16)

e. Regulatory and Product Information (Regulasi dan

Informasi Produk)... 93

C. Rangkuman Pembahasan... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 99 A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA... 101

LAMPIRAN... 105

BIOGRAFI PENULIS... 128

(17)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel I Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik

Apoteker/Farmasis Indonesia………. 31

Tabel II Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang apotek dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang Perubahan atas Permenkes No.922 tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia……... 43 Tabel III Kurikulum inti pendidikan profesi apoteker………. 53 Tabel IV Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006

Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Rumah Sakit……….. 53 Tabel V Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006

Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Industri………... 54 Tabel VI Struktur Kurikulum Program Profesi Apoteker di salah

satu perguruan tinggi di Jawa barat... 55

(18)

Tabel VII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A (Asuhan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 74 Tabel VIII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B

(Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 75 Tabel IX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C

(Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……… 76 Tabel X Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D

(Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit... 77 Tabel XI Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E

(Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……… 78 Tabel XII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F

(Penelitian dan Pengembangan kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit……….. 79 Tabel XIII Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan

responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Rumah Sakit……….. 81

(19)

Tabel XIV Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit………... 81 Tabel XV Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A

(Asuhan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 83 Tabel XVI Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B

(Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 84 Tabel XVII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C

(Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……… 85 Tabel XVIII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D

(Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek... 86 Tabel XIX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E

(Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……… 87 Tabel XX Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F

(Penelitian dan Pengembangan kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek……….. 88

(20)

Tabel XXI Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Apotek………... 89

Tabel XXII Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di Apotek………... 89 TabelXXIII Kesiapan responden dalam fungsi industrial Quality

Management di Industri………... 91

Tabel XXIV Kesiapan responden dalam fungsi industrial Production

Management di Industri………... 92

Tabel XXV Kesiapan responden dalam fungsi industrial Product

Development di Industri………... 93

Tabel XXVI Kesiapan responden dalam fungsi industrial Material

Management di Industri………... 93

Tabel XXVII Kesiapan responden dalam fungsi industrial Regulatory and Product Information di Industri……… 94 Tabel XXVIII Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan

responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian

di Industri……….. 95

(21)

Tabel XXIX Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian di

Industri……….. 96

(22)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Jenis kelamin responden di Jawa Barat ... 66 Gambar 2. Perguruan tinggi tempat menempuh pendidikan strata satu

farmasi dan pendidikan profesi Apoteker di Jawa Barat... 67 Gambar 3. Distribusi minat responden pada tiga bidang pelayanan

kefarmasian di Jawa Barat ... 69 Gambar 4. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Rumah Sakit

secara umum…………... 80 Gambar 5. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Apotek secara

umum... 88 Gambar 6. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Industri secara

umum... 95 Gambar 7. Distribusi minat responden pada tiga bidang pelayanan

kefarmasian di Jawa Barat ... 97 Gambar 8. Gambaran umum kesiapan responden... 98

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian... 105

Lampiran 2. Kuisioner Penelitian... 106 Lampiran 3. Hasil Wawancara... 122 Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian... 126

(24)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan manusia yang dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama sebagai suatu organisasi. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu sub sistem dari sistem pelayanan kesehatan, ditinjau dari segi fungsi, yang berkaitan dengan obat atau pengobatan (Anonim, 2004a). Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik jika masing-masing profesi/tenaga kesehatan memberikan pelayanannya secara terpadu didasarkan pada standar profesi, etika, dan norma masing-masing, termasuk juga profesi farmasi. Oleh karena itu, profesi farmasi juga diharapkan mampu untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah menetapkan pemberlakuan buku Standar Kompetensi Farmasis Indonesia sebagai suatu standar dan acuan bagi apoteker Indonesia dalam melaksanakan aktivitas keprofesiannya. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan upaya ISFI untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan apoteker Indonesia kepada masyarakat sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Harapannya, setiap bidang pelayanan farmasi baik di industri, apotek, rumah sakit dan komunitas klinis lainnya tetap dipegang oleh apoteker (Anonim, 2004a).

Salah satu faktor penentu kemampuan profesi farmasi memenuhi kebutuhan masyarakat adalah program pendidikannya. Drs. Ahaditomo, M.S., menyatakan

(25)

bahwa keahlian farmasi diperoleh selama pendidikan tinggi kefarmasian (Anonim, 2004a). Walaupun demikian, Eddie Lembong melihat bahwa mata ajaran

yang diajukan tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan pemakai/konsumen/masyarakat. Kesenjangan antara materi dengan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan sangat terasa di Indonesia, dimana sebagai suatu profesi sangat terasa bahwa farmasi tidak sangat mampu memenuhi kebutuhan riil di masyarakat. Hal ini terkemuka setelah ia melakukan pengkajian secara selintas kurikulum pendidikan farmasi di beberapa lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia yang tertuang di dalam buku peringatan 50 tahun pendidikan farmasi Institut Teknologi Bandung.

(26)

1. Rumusan masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan muncul beberapa permasalahan. a. Bagaimana pola distribusi minat mahasiswa program profesi apoteker di dua

perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pelayanan kefarmasian di bidang industri, rumah sakit dan apotek?

b. Apakah mahasiswa program profesi apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat siap menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia?

2. Keaslian penelitian

Penelitian tentang Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang sudah dilakukan adalah mengkaji tentang sikap apoteker di apotek terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Sepengetahuan penulis, penelitian yang berkaitan dengan kesiapan mahasiswa program profesi apoteker menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan berhubungan dengan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

a. Sikap Apoteker di Apotek pada Kecamatan Depok Kabupaten Sleman terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (Nurjaman, 2004).

(27)

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas mengenai kesiapan para calon apoteker untuk menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. Data yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak terkait dalam menentukan tindak lanjut mengenai pengetahuan dan kemampuan calon apoteker sehingga setiap calon apoteker siap untuk menghadapi dan memenuhi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

(28)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Perubahan Konsep Pelayanan Farmasi

Pada awalnya, apoteker berfungsi sebagai peracik obat untuk diserahkan

kepada pasien di Apotek. Berkembangnya industri untuk memproduksi obat berskala

besar mengubah peranan apoteker dari peracik obat menjadi pendistribusi obat.

Perkembangan ini dipicu oleh meningkatnya jumlah kebutuhan obat, berkembangnya

ilmu pengetahuan dan teknologi, tekanan kompetisi perdagangan, inovasi dalam

penemuan obat baru, lahirnya berbagai penyakit baru dan berbagai hal lain. Pada

situasi ini, arah pelayanan kefarmasian adalah pemenuhan terhadap kebutuhan

masyarakat akan obat, yang selanjutnya disebut drug oriented. Berdasarkan hasil

evaluasi penggunaan obat, diketahui terjadi banyak pemasalahan yang timbul

berkenaan dengan penggunaan obat. Walaupun demikian, makna obat sebagai media

untuk proses kesehatan tidak berubah. Hal ini kemudian mendorong dan

membelokkan arah orietasi pelayanan kefarmasian menjadi patient oriented

(Anonim, 2004a). Terjadinya perubahan konsep pola penyakit, penatalaksanaannya

ke pola hidup sehat dan promosi kesehatan ikut menjadi faktor terjadinya perubahan

pola pelayanan kefarmasian ini (Sudjaswadi, 2002).

Saat ini, pelayanan kefarmasian berorientasi pada pasien dan mengacu pada

filosofi asuhan kefarmasian. Asuhan kefarmasian adalah tanggung jawab profesi

dalam hal farmakoterapi dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan

menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan

sehingga dapat mencapai keluaran yang dapat menjaga atau meningkatkan kualitas

(29)

hidup pasien. Dalam konsep ini, apoteker diajak untuk mewujudkan pengobatan

rasional bagi masyarakat, yang menyeimbangkan aspek klinis dan ekonomi

berdasarkan kepentingan pasien. Apoteker tidak lagi sekedar menjual obat kepada

pasien atau masyarakat, tetapi juga harus menjamin tersedianya obat yang berkualitas

dalam jumlah yang cukup, aman, nyaman digunakan, dan harga terjangkau serta

pada saat pemberiannya disertai informasi yang memadai, diikuti pemantauan pada

saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (Anonim, 2004a).

B. Profesi

Profesi adalah suatu kelompok pekerjaan yang memiliki karakteristik

khusus, termasuk di dalamnya tehnik keahlian dengan tingkat tertinggi, berkomitmen

untuk pelayanan kemasyarakatan, melakukan monopoli dalam pekerjaannya dan

punya otonomi atas semua pekerjaannya. Seorang dengan pekerjaan profesi akan

mendapatkan tingkat sosial dan status yang tinggi. Profesionalisme lebih bermakna

sebagai strategi dari satu kelompok pekerjaan untuk mencapai dan memelihara

profesinya (Harding dkk, 1994). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan

adalah suatu profesi, antara lain

1. Unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan

merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain

atau bidang yang berbeda.

2. Pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan

mementingkan kepentingan orang lain)

(30)

4. Memiliki kode etik

5. Memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk

dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992)

6. Memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan

peraturan perundang-undangan lain)

7. Memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja)

8. Memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional

9. Bersifat otonomi dan independensi

10.Bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita

11.Confidental relationship dalam pelayanannya.

(Sulasmono, 1997)

C. Apoteker

Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek memberikan definisi Apoteker sebagai

“sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker”.

Apoteker adalah satu-satunya profesi yang memiliki otoritas profesi dalam

proses kefarmasian. Otoritas yang melekat pada diri farmasis/apoteker adalah

sebagai akibat penguasaan atas keahliannya dibidang iptek kefarmasian melalui

pengalaman belajar-mengajar di pendidikan tinggi kefarmasian dan pengalaman

(31)

bentuk keprofesian sehari-hari. Dan pada hakekatnya peristiwa pembuatan obat

merupakan peristiwa iptek, manajemen, etik, moral dan obligasi kemanusiaan

(Ahaditomo, 2000).

Farmasi dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan

beberapa ciri khusus.

1. Monopoli pekerjaan (Monopoly of Practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh negara (Harding, 1993).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur

mengenai pekerjaan kefarmasian.

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah

lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di

Indonesia sebagai Apoteker.

Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 dan Keputusan Menteri

Kesehatan No. 1027 tahun 2004 ini menjadi bukti itu bahwa profesi farmasi

memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia. Seseorang yang apoteker tidak

diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

(32)

spesialisasi tinggi. Untuk menjadi lulusan farmasi membutuhkan masa

pendidikan empat sampai lima, kemudian diikuti dengan satu tahun pendidikan

profesi untuk mendapatkan gelar apoteker. Pada saat menempuh masa

pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang

disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan

penggunaan obat secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi

farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian

pada masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).

3. Berorientasi pada pelayanan (Service Orientations). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk

memenuhi keinginan client. Anggota profesi tidak diperbolehkan untuk memaksa

client dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya pribadi. Pelayanan yang

dilakukan oleh apoteker termasuk di dalamnya adalah menyediakan obat-obatan

dan perlengkapannya, membantu terapi pada penyakit ringan, dan memberikan

informasi tentang kesehatan (Harding, 1993).

4. Pengaturan diri (Self-regulation). Profesi merupakan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan yang lain sehingga profesi diberikan kebebasan dalam mengatur

dirinya sendiri. Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem

pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi

anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam

menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993). Asuhan kefarmasian merupakan

bukti pengaturan profesi farmasi terhadap standar pelayanan yang dapat

(33)

diwujudkan dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker yang diatur dalam peraturan

pemerintah nomor 20 tahun 1962, Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia yang

diatur dalam keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor: 007/KONGRES

XVII/ISFI/2005 dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang diterbitkan

tahun 2004.

Peranan profesi farmasi juga telah digariskan oleh WHO yang dikenal

dengan istilah seven stars pharmacist.

1. Care-giver. Apoteker merupakan pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Saat memberikan

pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun

kelompok. Apoteker juga harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem

pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasis yang

dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisiensi terhadap seluruh penggunaan

sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dan

lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan ketrampilan apoteker

perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan

pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus

(34)

meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar, dan kemampuan menulis

dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan.

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang

empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola

keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain

dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi, apoteker mendatang harus tanggap

terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai

obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak kuliah dan semangat

belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa

keahlian dan ketrampilan yang selalu baru (up-date) untuk melakukan praktek

profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih

apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu

pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh

pengalaman dan peningkatan ketrampilan (Anonim, 2004).

D. Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

Ciri suatu profesi diantaranya adalah memiliki kode etik (Sulasmono,1997).

(35)

sebagai landasan ukuran tingkah laku (Salim, 1991). Kode Etik Apoteker Indonesia

adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang Apoteker

dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan

martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Isi kode etik

apoteker/farmasis Indonesia berdasarkan keputusan kongres nasional XVII ISFI

nomor : 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 pada tanggal 18 Juni 2005.

KODE ETIK APOTEKER/FARMASIS INDONESIA Mukamadiah

Bahwasanya seorang Apoteker/Farmasis di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa

Apoteker/Farmasisdidalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker/Farmasis

Menyadari akan hal tersebut Apoteker/Farmasis di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu:

BAB I Kewajiban Umum

Pasal 1: sumpah/janji

Setiap Apoteker/Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis

Pasal 2

Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

Pasal 3

Setiap Apoteker/Farmasis harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya

Pasal 4

Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya

Pasal 5

Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian

Pasal 6

(36)

Pasal 7

Seorang Apoteker/Farmasis harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya

Pasal 8

Seorang Apoteker/Farmasis harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

BAB II

Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita

Pasal 9

Seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani

BAB III

Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat

Pasal 10

Setiap Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan

Pasal 11

Sesama Apoteker/Farmasis harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik

Pasal 12

Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

BAB IV

Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya

Pasal 13

Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.

Pasal 14

Setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.

BAB V Penutup

Pasal 15

(37)

sehari-hari. Jika seorang Apoteker/Farmasis baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia, maka dia wajib mengkui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa

E. Standar Profesi

Menurut penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang

tenaga kesehatan pada pasal 21 ayat (1), standar profesi tenaga kesehatan adalah

pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam

menjalankan profesinya secara baik. Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29

tahun 2004 tentang praktik kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi adalah

batasan kemampuan (knowledge, skill, and profesional attitude minimal) yang harus

dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada

masyarakat secara mandiri.

Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi dibuat oleh organisasi profesi.

Menurut Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada

pasal 21 ayat (52), standar profesi tanaga kesehatan ditetapkan oleh menteri. Pada

penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan

pada pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa dalam menetapkan standar profesi untuk

masing-masing jenis tenaga kesehatan, Menteri dapat meminta pertimbangan dari

para ahli di bidang kesehatan dan atau yang mewakili ikatan profesi tenaga

kesehatan. Pada Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan

pada pasal 24 disebutkan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga

(38)

F. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia

Standar Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan suatu standar yang

berisi ukuran kualitas pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan

kefarmasian, sehingga apoteker Indonesia dapat memberikan pelayanan yang

seragam kepada konsumen atau masyarakat, baik yang dilakukan di rumah sakit,

apotek, lembaga riset dan industri. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia berguna

untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan farmasis seseuai

prkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat akan selalu mendapatkan

pelayanan terbaik dari profesi apoteker (Anonim, 2004a).

Berdasarkan surat keputusan badan pimpinan pusat Ikatan Sarjana Farmasi

Indonesia nomor: 031008/BPP/SK.09 tanggal 8 Oktober 2003, maka Standar

Kompetensi Farmasis Indonesia telah diberlakukan sebagai standar dan acuan bagi

Apoteker Indonesia dalam menjalankan aktivitas keprofesiannya. Pemberlakuan

Standar Kompetensi Farmasis Indonesia ini semakin menguatkan kedudukan farmasi

sebagai sebuah profesi. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia meliputi tiga bidang

pelayanan kefarmasian, yaitu Rumah Sakit, Apotek dan Industri.

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Rumah Sakit

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,

Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang

beredar di Rumah Sakit tersebut. Pelayanan farmasi diselenggarakan dan dikelola

(39)

Rumah Sakit. Personalia yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit

dipersyaratkan terdaftar di Departemen Kesehatan, terdaftar di asosiasi profesi,

mempunyai ijin kerja dan mempunyai Surat Keputusan (SK) penempatan.

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi

profesional yang berwenang berdasarkan undang-undang, memenuhi persyaratan

baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun dengan kuantitas

dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap

keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan

pelanggan.

Berikut adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker

yang akan bekerja di rumah sakit yang didasarkan pada Standar Kompetensi

Farmasis Indonesia yang disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan

dilihat kesesuaiannya dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

dan Kode Etik Apoteker / Farmasis Indonesia.

1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian

a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat di Rumah Sakit yang

tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit

pada bab VI adalah mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien. Resep adalah

(40)

menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.

Pada bab VI bagian 2.1. menyebutkan tentang pengkajian resep. Kajian resep

meliputi kegiatan yang dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan

farmasi dan persyaratan klinis. Persyaratan administrasi meliputi nama, umur,

jenis kelamin dan berat badan pasien; nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;

tanggal resep; ruangan/unit asal resep persyaratan farmasi meliputi bentuk dan

kekuatan sediaan; dosis dan jumlah obat; stabilitas dan ketersediaan; aturan, cara

dan teknik penggunaan. Persyaratan klinis meliputi ketepatan indikasi, dosis, dan

waktu penggunaan obat; duplikasi pengobatan; alergi, interaksi, dan efek

samping obat; kontra indikasi dan efek aditif.

b. Memberikan pelayanan kepada pasien atas permintaan pasien itu sendiri dalam rangka ingin melakukan pengobatan mandiri.

c. Memberikan pelayanan informasi obat. Pada bab VI bagian 2.4. mengenai pelayanan informasi obat disebutkan bahwa

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Tujuan :

i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga

kesehatan di lingkungan Rumah Sakit

ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang

berhubungan dengan obat, terutama Panitia/Komite Farmasi dan Terapi

iii. Meningkatkan profesionalisme Apoteker iv. Menunjang terapi obat yang rasional.

Kegiatan :

i. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara

aktif dan pasif

ii. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui

(41)

iv. Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.

d. Memberikan konsultasi/konseling obat. Pada bab VI bagian 2.5. mengenai konseling disebutkan bahwa

Konseling merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.

Tujuan :

Memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara penggunaan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat lain.

e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi. Kompetensi ini disebutkan pada bab VI bagian dispensing sediaan farmasi

khusus

Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya :

a. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi merupakan kegiatan

pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.

Kegiatan :

1) mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan perorangan

2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi

b. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril melakukan

pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan.

Kegiatan :

1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus

2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan

pelarut yang sesuai

(42)

f. Melakukan monitoring efek samping obat. Pada bab VI bagian 2.3.disebutkan mengenai pemantauan dan pelaporan efek samping obat.

Pemantauan dan pelaporan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.

Kegiatan :

i. kegiatan menganalisa laporan efek samping obat

ii. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko

tinggi mengalami efek samping obat iii. mengisi formulir efek samping obat

iv. melaporkan ke panitia Efek Samping Obat Nasional.

g. Pelayanan klinik berbasis farmakokinetika. Salah satu bentuk pelayanan klinis berbasis farmakokinetika adalah pemantauan kadar obat dalam darah. Hal ini

tercantum pada bab VI bagian 2.6.

Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.

Tujuan:

1. mengetahui kadar obat dalam darah

2. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat

Kegiatan:

1. memisahkan serum dan plasma darah

2. memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan alat

TDM

3. membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan

Faktor-faktor yang diperhatikan: 1. alat Therapeutic Drug Monitoring 2. reagen sesuai obat yang diberikan

h. Penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. Pada Bab II dijelaskan bahwa salah satu pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat

dan alat kesehatan adalah melakukan penanganan obat kanker. Pada Bab VI

dijelaskan tentang dispensing sediaan farmasi berbahaya termasuk didalamnya

(43)

Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga kecelakaan terkendali

Kegiatan:

1. melakukan perhitungan dosis secara akurat

2. melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai

3. mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan

4. mengemas dalam kemasan tertentu

5. membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku

i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. Pada bab VI bagian 2.8. disebutkan mengenai pengkajian penggunaan obat

Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif dan terjangkau oleh pasien. Tujuan :

i. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat

pada pelayanan kesehatan/dokter tertentu

ii. Membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan

kesehatan/dokter satu dengan yang lain

iii. Penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik

iv. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat

Pada bab III juga disebutkan perlunya tinjauan terhadap penggunaan obat di

Rumah Sakit dengan mengkaji medical record dibanding dengan standar

diagnosa dan terapi.

2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi

a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. Pada bab II diatur bahwa tugas pokok farmasi Rumah Sakit adalah

menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur

(44)

dalam penggunaan obat dan alat kesehatan disebutkan juga bahwa salah satu

peran Apoteker adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut

obat kepada staf medis dan perawat.

b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. Pada bab II tertulis

Semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan prosedur yang ada harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir yang sesuai dengan peraturan dan tujuan dari pada pelayanan farmasi itu sendiri.

Kriteria kebijakan dan prosedur dibuat oleh kepala instansi, panitia/komite farmasi dan terapi serta para Apoteker.

Dalam pengelolaan perbekalan farmasi, kebijakan dan prosedur meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, pembuatan/produksi, penyimpanan, pendistribusian dan penyerahan.

Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi menunjang peningkatan mutu pelayanan.

c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Pada bab II menyebutkan bahwa

Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di Rumah Sakit tersebut. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum dan peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang farmasi.

Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.

(45)

pembuangan limbah harus mengikuti prosedur yang berlaku sehingga keamanan

lingkungan dapat dikendalikan.

e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”. Pada bab I disebutkan

Mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit adalah pelayanan farmasi yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang ditetapkan serta sesuai dengan kode etik profesi farmasi.

Pengendalian mutu adalah suatu mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil, sehingga terbentuk proses peningkatan mutu pelayanan farmasi yang berkesinambungan.

3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi

a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi dibidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di farmasi rumah sakit

berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal,

regional, nasional maupun internasional. Pada bab III disebutkan bahwa

Panitia Farmasi dan Terapi ikut membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di Rumah Sakit sesuai peraturan-peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.

Hal ini juga disebutkan pada pasal 8 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia,

yaitu bahwa seorang apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan

perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi

(46)

b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan farmasi rumah sakit yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan

strategi, kebijakan, program dan menerjemahkan ke dalam rencana kerja (plan of

action). Pada bab VI tentang pengelolaan perbekalan farmasi disebutkan bahwa

Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.

Pada bab II mengenai fungsi pengelolaan farmasi tertulis

1. memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan Rumah

Sakit

2. merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal

3. mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan

yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku

4. memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit

5. menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesisfikasi dan

ketentuan yang berlaku

6. menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan

persyaratan kefarmasian

7. mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di

Rumah Sakit

c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi,

perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan

persediaan, perancangan dan pelaksanaan sistem distribusi, melakukan

dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada

pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu

pelayanan. Pada bab VI disebutkan bahwa salah satu tujuan pelayanan

(47)

pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi

penggunaan obat. Pada bab II mengenai fungsi pelayanan kefarmasian dalam

penggunaan obat dan alat kesehatan tertera kegiatan-kegiatan yang dilakukan

1) mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien

2) megidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat

dan alat kesehatan

3) mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan

alat kesehatan

4) memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat

kesehatan

5) memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga

6) memberi konseling kepada pasien/keluarga

7) melakukan pencampuran obat suntik

8) melakukan penyiapan nutrisi parenteral

9) melakukan penanganan obat kanker

10)melakukan penentuan kadar obat dalam darah 11)melakukan pencatatan setiap kegiatan

12)melaporkan setiap kegiatan

d. Merancang organisasi kerja yang meliputi ; arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen. Pada bab III disebutkan

Bagan organisasi merupakan bagan yang menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan wewenang serta fungsi. Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan harus selalu dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai harapan pelanggan.

Pada bab II tertulis

(48)

e. Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian. Pada bab VI disebutkan

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Pedoman perencanaan :

1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit,

ketentuan setempat yang berlaku

2. Data catatan medik

3. Anggaran yang tersedia 4. Penetapan prioritas 5. Siklus penyakit 6. Sisa persedian

7. Data pemakaian periode yang lalu

8. Rencana pengembangan

f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun klinis yang mengarah pada kepuasan konsumen. Pada bab I disebutkan bahwa

Evaluasi adalah proses penilaian kinerja pelayanan farmasi di Rumah Sakit yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian kepada pasien/pelayanan farmasi klinik.

Pada bab VIII tertulis

Tujuan khusus kegiatan evaluasi :

1. menghilangkan kinerja pelayanan yang substandar

2. terciptanya pelayanan farmasi yang menjamin efektifitas obat dan

keamanan pasien

3. meningkatkan efisiensi pelayanan

4. meningkatkan mutu obat yang diproduksi di Rumah Sakit sesuai

CPOB ( Cara Pembuatan Obat yang Baik)

5. meningkatkan kepuasan pelanggan

(49)

Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, sibagi tiga jenis program evaluasi:

1. prospektif : program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan. Contoh : pembuatan standar, perijinan

2. konkuren : program dijalankan bersamaan dengan pelayanan

dilaksanakan

Contoh : memantau kegiatan konseling Apoteker, peracikan resep oleh Asisten Apoteker

3. retrospektif : program pengendalian yang dijalankan setelah

pelayanan dilaksanakan

Contoh : survei konsumen, laporan mutasi barang Metode evaluasi :

1. audit (pengawasan) : dilakukan terhadap proses hasil kegiatan

apakah sudah sesuai standar

2. review (penilaian) : terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya, penulisan resep

3. survei : untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau wawancara langsung

4. observasi : terhadap kesepatan pelayanan antrian, ketepatan

penyerahan obat.

4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi

a. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien. Pada bab VI disebutkan tentang Ronde/visite pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim

dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Salah satu tujuannya adalah menilai

kemajuan pasien. Pada pasal 9 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

disebutkan bahwa seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak

asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.

(50)

pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan

tenaga kesehatan lainnya. Tujuan lain yang dapat dilihat dari kegiatan ini adalah

bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk menilai kemajuan pasien. Pada

bab III mencantumkan salah satu bentuk kerjasama profesional antara farmasis

dengan tenaga kesehatan lainnya, yaitu di dalam Panitia Farmasi dan Terapi.

Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan

komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, dimana anggotanya terdiri

dari dokter yang mewakili pesialisasi-spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, dan

Apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Pada

pasal 13 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap

Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun

dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan

menghormati sejawat petugas kesehatan. Pada pasal 14 juga disebutkan bahwa

setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau

perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan

masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.

c. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan

bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian. Pada bab IV

mengenai tenaga fungsional, Apoteker dituntut untuk memiliki kemampuan

dalam mengelola manajemen praktis farmasi dan kemampuan melakukan

akuntabilitas praktek kefarmasian.

d. Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling

(51)

Pada pasal 10 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap

Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri

ingin diperlakukan. Dan pada pasal 12 disebutkan bahwa setiap

Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam

memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa

saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi

a. Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasis dalam penerapan asuhan kefarmasian. Pada bab II pada bagian pengembangan staf dan program pendidikan telah mengatur tentang

penyelenggaraan pendidikan, meliputi penggunaan obat dan penerapannya,

pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi dan praktikum farmasi bagi siswa

farmasi dan pasca sarjana farmasi. Pada bab II ini juga disebutkan bahwa

Apabila ada pelatihan kefarmasian bagi mahasiswa fakultas farmasi atau tenaga farmasi lainnya, maka harus ditunjuk Apoteker yang memiliki kualifitasi pendidik/pengajar untuk mengawasi jalannya pelatihan tersebut.

.

Pada bab VI disebutkan tentang tujuan dari kegiatan pendidikan dan pelatihan

Tujuan umum :

1. mempersiapkan sumber daya manusia farmasi untuk dapat

melaksanakan rencana strategi instalasi Rumah Sakit di waktu mendatang

2. menghasilkan calon Apoteker, ahli madya farmasi, asisten Apoteker yang dapat menampilkan potensi dan produktifitasnya secara optimal di bidang kefarmasian

Tujuan khusus :

1. meningkatkan pemahaman tentang farmasi Rumah Sakit

(52)

3. meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan di bidang kefarmasian

Ruang lingkup kegiatan : 1. pendidikan formal

2. pendidikan berkelanjutan (internal dan eksternal) 3. pelatihan

4. pertemuan ilmiah (seminar, simposium) 5. studi banding

6. praktek kerja lapangan

b. Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. Pada Bab II bagian pengembangan staf dan program pendidikan disebutkan bahwa

Setiap staf Rumah Sakit harus mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. Staf harus dibantu secara aktif untuk mengikuti program yang diadakan oleh organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait.

Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi :

i. Penggunaan obat dan penerapannya

ii. Pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi

Penambahan pengetahuan disesuaikan dengan tanggungjawab, sedangkan peningkatan keterampilan disesuaikan dengan tugas.

c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. Pada bab IV mengenai kompetensi Apoteker sebagai pimpinan, disebutkan bahwa

1. Mempunyai kemampuan dan kemauan mengelola dan

mengembangkan pelayanan farmasi

2. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri

Pada pasal 4 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa Setiap

Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang

(53)

d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan

umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan

masyarakat.

6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian

a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain. Pada bab VII mencantumkan hal-hal mengenai penelitian dan pengembangan.

7.2.1 Penelitian

Penelitian yang dilakukan Apoteker di Rumah Sakit yaitu:

a. Penelitian farmasetik, termasuk pengembangan dan menguji bentuk

sediaan baru. Formulasi, metode pemberian (konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh (Drug Release System)

b. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil Outcomes dari terapi obat dan regimen pengobatan.

c. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk

penelitian perilaku dari sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-benefit dalam pelayanan farmasi

d. Penelitian operasional (operation research) seperti studi waktu, gerakan, dan evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.

7.2.2 Pengembangan

Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit pemerintah kelas A dan B (terutama Rumah Sakit pendidikan) dan Rumah Sakit swasta sekelas, agar mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinis.

b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. Pada bab VII bagian 2 mengenai penelitian dan pengembangan menyebutkan

(54)

pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat diterima oleh pimpinan dan staf medik Rumah Sakit.

Inti dari kesesuaian antara Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang

rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode etik Apoteker/Farmasis

Indonesia dapat dilihat pada tabel II berikut.

Tabel I. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

No. Kompetensi (Kegiatan)

Kepmenkes 1197 tahun

2004

Kode Etik 1. Kompetensi A : Asuhan Kefarmasian

a.

Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.

√ √

b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat

yang ingin melakukan pengobatan mandiri. - √

c. Memberikan pelayanan informasi obat. √ √

d. Memberikan konsultasi obat. √ √

e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang

mendukung proses terapi. √ √

f. Melakukan monitoring efek samping obat. √ √

g. Pelayanan klinis berbasis farmakokinetik. √ √ h. Penatalaksanaan obat sitostatistika dan obat atau bahan

yang setara √ √

i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. √ √

2. Kompetensi B : Akuntabilitas Praktek Farmasi a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah

dan etika profesi. √ √

b.

Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.

√ -

c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan

Gambar

Tabel II Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di
Tabel VII Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A
Tabel XV Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A
Tabel XXI Alasan-alasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kejahatan kerah putih dan terorisme mempunyai hubungan yang erat dan berjalin berkelindan. Kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum

Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat antara variabel bebas tingkat stres dan variabel terikat nilai SDLR dengan metode Spearman diperoleh nilai signifikansi

Hasil penelitian menunjukkan stratifikasi sosial terdiri atas: (a) ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas;

Upaya Mengurangi Gerakan Flapping Pada Anak Autis Melalui Permainan Puzzle.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

[r]

Nama Pekerjaan : Belanja Penyedia Jasa Pelaksanaan Pameran Promosi Dalam Rangka HUT Kota Cimahi.. Sumber Anggaran : APBD

Berdasarkan penetapan pemenang, Pekerjaan Pengadaan Konstruksi Ruang Pertemuan/Ruang Serba Guna pada Kantor Ketahanan Pangan Kota Cirebon Tahun Anggaran 2012 nomor:

Finding a competent and, above all, real psychic is essential to gaining a useful understanding of these matters.. Because psychic ability cannot be measured in a scientific