• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Kapasitas Lokal di ‘Negeri Bersuku-suku’:

Pelajaran dari Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur,

Indonesia

Oleh: R. Yando Zakaria

Ronny So Tita Naovalita1

1. Pendahuluan

1.1. Tujuan Penelitian dan Alur Pelaporan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas institusi lokal di masing-masing desa yang diteliti. Kapasitas lokal adalah terminologi yang digunakan untuk menandai ‘kemampuan suatu komuniti dalam mengorganisasikan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah-masalah bersama’2. Penanggulangan secara bersama di sini tidak diartikan secara sempit sebagai berlangsungnya tindakan bersama (berupa gotong royong atau semacamnya), melainkan secara luas termasuk berjalannya mekanisme kepemimpinan, jaringan dan institusi, di sini disingkat LNI (dari leadership, networks, dan institutions) dalam penanggulangan persoalan itu. Demikianlah, maka usaha yang sekilas tampaknya individual dapat saja dikategorisasikan sebagai upaya kolektif jika usaha itu dilandasi oleh

1 Tersedianya data primer dan sekunder untuk penulisan laporan ini dimungkinkan oleh keterlibatan sejumlah teman yang telah turut membantu sebagai supervisor dan enumerator di dalam ketiga tahap penelitian LLI (2) ini. Masing-masing adalah Anna Marlinda Boleng, Damianus Soba, Michael Heriso, Mathilde Paulina Dhae, Florianus Lengu, Ferdinandus Hamid, Hendrik Supardi, Tiburtius Djehani, dan John Bala, yang kesemuanya adalah ‘putra-putri asli Flores’. ‘Tim NTT’ yang dipimpin R. Yando Zakaria ini patut pula berterima kasih pada para responden dan/atau informan yang sempat terlibat selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula pada para reviewer, masing-masing Drs. Haswinar Arifin, MA; Pieter J. Evers, MA; dan Hans Antlov, Ph.D. Ucapan terima kasih patut pula diberikan kepada Anna Maria Wetterberg (Ketua Tim LLI (2) ) dan Scott Guggeinheim, Ph.D, yang bertindak selaku Task Manager Proyek Penelitian LLI (2) ini. Penelitian ini dimungkin oleh dana hibah Pemerintah Norwegia yang dikoordinasikan oleh kantor World Bank Washinton, Amerika Serikat. Ucapan terima kasih patut pula diberikan pada para penyandang dana penelitian ini. Ucapan terima kasih perlu pula diberikan pada Lenny Darmawan, Ph.D (Ketua ‘Tim Jateng’); Ir. Erwin Fahmi, MURP (Ketua ‘Tim Jambi); dan seluruh anggota ‘Tim Jateng’ dan ‘Tim Jambi’ yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Secara khusus saya (R. Yando Zakaria) ingin pula mengucapkan terima kasih kepada Eduardus Sareng dan Nong Susar, serta teman-teman di SANRES lainnya (Maumere); Vincent Mosafoa dan Nico (Mbay);Lerry Mbuik (PIAR/Kupang), Leonardo Simandjuntak dan Tori

(PIKUL/Kupang); serta Kurniawan (Jakarta) dan Nona (PIAR/Kupang), kedua orang disebut terakhir adalah anggota Tim NTT untuk TTS (bagian studi yang tidak dilanjutkan). Begitu pula, saya ingin pula berterima kasih kepada Kamala Chandrakirana (Jakarta); Noer Fauzi (Bandung); dan Hendro Sangkoyo (Melbourne). Terakhir saya harus mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Hendriati Trianita, istri saya, serta Bugi dan Geri, anak-anak saya. Tanpa pengertian, kerjasama, dan ‘rasa pertemanan’ semua pihak, baik ‘peneliti’, ‘pihak yang diteliti’, maupun ‘para pihak lain yang memungkinkan berjalannya penelitian ini pada umumnya’, niscaya rangkaian kegiatan penelitian ini tidak akan berjalan dengan sukses. Tima tii woso (Terima kasih banyak, Bah. Bajawa).

2

(2)

bekerjanya LNI tertentu. Dengan kata lain, penelitian ini memberikan perhatian khusus pada kemampuan mengatur diri sendiri (self-governance) pada komuniti-komuniti yang dikaji itu3.

Berkaitan dengan suatu upaya evaluatif tentang ‘ada-tidak’ atau ‘tinggi-rendah’-nya kapasitas institusi lokal ini, sebagai ‘alat bantu’, ada baiknya menggunakan kerangka kerja yang dikemukakan Uphoff. Uphoff mengatakan bahwa kapasitas setiap organisasi, apakah ia juga dapat disebut sebagai institusi ataupun bukan, tergantung pada baiknya kinerja (1) pengambilan keputusan (baik dalam perencanaan maupun tahap evaluasi); (2) mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya; (3) komunikasi dan koordinasi; (4) dan kegiatan-kegiatan resolusi konflik4. Jika kinerja pada masing-masing hal itu tidak baik, setidaknya pada suatu tingkatan tertentu, maka sulit untuk mengatakan bahwa organisasi itu ada, meskipun wujud formalnya ada. Jika kinerja baik itu muncul secara lebih sering, lebih utuh, dan lebih efektif, kita dapat mengatakan telah ada kapasitas organisasi yang besar dan lebih potensial dalam melembagakan efektifitas kerjanya’5.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna substantif kapasitas lokal adalah mengacu pada proses dan bukan ‘suatu benda’. Karenanya pemahaman tentang kapasitas lokal secara optimal hanya dimungkinkan melalui pengamatan yang mendalam atas kejadian-kejadian yang berlangsung pada kasus-kasus yang terbatas sifatnya. Tentu saja, segera harus diberikan catatan, ini bukan berarti sama sekali tertutup kemungkinan bagi suatu upaya pemahaman lain yang lebih memberikan perhatian pada cakupan wilayah keberlakuan (sebaran kuantitatif) dari kapasitas lokal itu.

3

Dalam penelitian ini masalah bersama ini dikategorikan ke dalam 3 bidang masalah. Masing-masing adalah masalah dalam bidang keselamatan hidup; masalah dalam bidang pelayanan alam; dan masalah bidang peningkatan kesejahteraan hidup (getting ahead). Survival didefenisikan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (makanan, papan, sandang). Masalah survival, dengan demikian, adalah keadaan yang mengancam kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok itu dalam jangka waktu pendek (dalam rentang waktu hingga bulan depan). Dalam pelaksanaan di lapangan ‘definisi kerja’ untuk masalah survival ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya di lapangan. Tidak ada masalah yang dapat

dikategorikan sebagai ‘keadaan yang mengancam kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok itu jangka waktu pendek (dalam rentang waktu hingga bulan depan). Maka, masalah survival dalam penilaian ini sebenarnya ‘hanyalah’ merupakan masalah yang potensial saja. Ancamannya pun tidak akan terwujud dalam jangka waktu yang sesingkat itu (satu bulan ke depan). Sementara itu, pelayanan alam didefinisikan sebagai sistem pendukung untuk memenuhi kebutuhan pokok dan pengembangan daya hidup. Masalah pelayanan alam, dengan demikian, adalah keadaan yang mengancam kualitas dan kemampuan sistem pendukung ini dalam jangka waktu menengah dan jangka panjang (lebih dari 6 bulan). Sedangkan Pengembangan daya hidup didefinisikan sebagai perbaikan kualitas hidup setelah mampu memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, masalah pengembangan daya hidup adalah kendala-kendala untuk memperoleh saluran untuk pengembangan daya hidup. Disain terakhir mengasumsikan hanya akses pada produksi yang menjadi peningkatan kesejahteraan. Perlu dikemukakan bahwa apakah satu masalah diklasifikasikan sebagai kelompok masalah survival, pelayanan alam, atau getting ahead, sepenuhnya ditentukan sendiri oleh peserta diskusi, tentunya setelah mendapat penjelasan tentang makna masing-masing masalah dari para fasilitator. Oleh sebab itu, dapat saja terjadi dua masalah yang sama dikategorikan secara berbeda oleh masing-masing kelompok.

4

Uphoff, op.cit., menekankan bahwa keempat hal itu bukanlah organisasi itu sendiri melainkan aktifitas-aktifitas organisasi yang esensial.

5

(3)

Dengan penjelasan itu ingin dikatakan bahwa pemahaman makna substantif kapasitas lokal dimungkinkan dengan menggunakan pendekatan dan penggunaan tehnik-tehnik penelitian kualitatif. Dengan pendekatan dan penggunaan tehnik-tehnik yang demikian itulah dapat dikumpulkan seperangkat informasi yang dibutuhkan dalam memahami apa dan bagaimana sejumlah internal/dependent factor dan external/independent factor bekerja dan mempengaruhi dinamika kapasitas lokal. Penggunaan sekedar tehnik-tehnik penelitian kuantitatif semisal ‘household survey’ akan memberikan ‘dimensi kuantitatif’ dari makna substantif kapasitas lokal dalam suatu setting sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas.

Karena itu, sebelum membahas kinerja dinamika kapasitas lokal di masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti secara lebih lanjut, sebagaimana yang disarankan Uphoff di atas, termasuk di dalamnya uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kapasitas lokal, terlebih dahulu akan disajikan ‘peta dasar’ tentang hal-ihwal yang berkaitan dengan kapasitas lokal, khususnya yang berkaitan dengan macam-macam masalah bersama yang dihadapi warga masyarakat di masing-masing desa penelitian. Peta dasar ini akan diuraikan pada Bab 2 berikut. Termasuk di dalamnya adalah ‘peta dasar’ tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah bersangkutan dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya; indikasi kinerja upaya-upaya penanggulangan masalah; berikut bentuk/macam peran yang dimainkan oleh para pihak yang terlibat itu. Uraian pada Bab 2 ini terutama akan menyandarkan diri pada data-data yang terkumpulkan melalui penerapan strategi ‘household survey’ dan ‘qualaitative data collection’ (khususnya melalui tehnik diskusi kelompok terarah).

Sebagai sebuah ‘peta dasar’ tentunya uraian dimaksud tidak bisa langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok penelitian ini. Dengan ‘peta dasar’ tentu saja agak sulit menarik kesimpulan yang lebih konprehensif, mengingat terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kapasitas lokal dimaksud. Faktor-faktor itu harus diamati secara cermat dalam proses-proses sebagaimana yang disarankan Uphoff di atas. Karenanya, uraian ini perlu dilanjutkan pada uraian dan pembahasan yang mendalam tentang dinamika kejadian pada kasus-kasus masalah penting terbatas saja6.

Langkah yang demikian diperlukan juga mengingat, nyatanya, penggunaan berbagai ‘strategi penelitian’ yang diterapkan dalam agenda penelitian LLI (2) ini, sedikit banyaknya, telah menghasilkan kerumitannya sendiri7. Dalam beberapa hal – untuk tidak mengatakannya dalam banyak hal

6

Pada dasarnya pembahasan pada tahap kedua akan memberikan informasi yang lebih utuh ketimbang uraian pada tahap pertama. Hanya saja, kelemahannya, penelitian ini ‘hanya’ menggali informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah penting yang tengah terjadi atau tengah dialami (current/actual problems). Dengan cara itu, dengan sendirinya, masing-masing masalah penting yang mengemuka pastilah masalah yang masih/tengah berlangsung. Secara teknis, dengan demikian, masalah yang sudah selesai ditangani, cenderung tidak akan terjaring. Karenanya pula, data-data yang terungkap cenderung menunjukkan ketidakberhasilannya, sebagaimana yang akan terlihat nanti. Itu berarti pula bahwa pemahaman tentang kapasitas lokal, khususnya dilihat dari sudut kinerja hasilnya, pada dasarnya akan menjadi kurang optimal juga. Masih diperlukan langkah pelengkapan data-data yang dibutuhkan.

7

(4)

terdapat gap – untuk tidak mengatakannya kontradiksi -- antara informasi-informasi yang terkumpulkan oleh berbagai strategi penelitian yang digunakan itu8. Sebab itulah, untuk kebutuhan analisis yang lebih mendalam, pemahaman tentang dinamika kapasitas lokal ini, sebagaimana akan dilakukan dalam Bab 4 nanti, akan dibangun terutama melalui pendalaman terhadap kasus-kasus tertentu saja, yang atas beberapa pertimbangan tertentu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada saatnya nanti, dianggap dapat memberikan pelajaran yang berharga. Tentu saja, dalam pembahasan tentang dinamika kapasitas lokal di wilayah penelitian dimaksud, uraian tersebut juga akan dilengkapi dengan sejumlah ilustrasi lain yang bersumber dari ‘peristiwa-peristiwa penting’ dan hasil ‘ethnography case studies’ yang sempat dilakukan9.

Pada Bab 4 itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan ‘apakah kapasitas lokal di masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti lebih kuat atau melemah jika dibandingkan waktu-waktu yang lampau?’; faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika kapasitas lokal itu?’; ‘faktor- ‘faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan respons’ antar desa’: ‘mengapa suatu kasus masalah penting di desa tertentu diupayakan jalan keluarnya sementara kasus yang sama tidak diupayakan di desa lain?’; ‘faktor-faktor apa pula yang menyebabkan adanya perbedaan kinerja hasil dari berbagai upaya pada kasus masalah penting yang sama?’; ‘faktor-faktor apa yang menyebabkan adanya fenomena-fenomena yang bertolak belakang itu?’; dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya, akan dijawab.

Sementara itu, penelitian ini juga mengasumsikan bahwa ‘pemerintahan desa’ adalah bagian penting dari realitas kehidupan masing-masing komuniti dan/atau desa yang diteliti. Kajian-kajian yang pernah ada10, termasuk kajian LLI (1) terdahulu11, menunjukkan bahwa keberadaan pemerintahan desa ini tidak dapat dilepaskan perannya dalam mempengaruhi dinamika kapasitas lokal. Baik pengaruh ke arah negatif (memperlemah kapasitas lokal) maupun yang ke arah positif (memperkuat kapasitas lokal). Karenanya, laporan ini juga akan dilengkapi dengan ulasan hal-ihwal yang berkaitan dengan kehadiran pemerintahan desa, khususnya yang berkaitan dengan kinerja dinamika kapasitas lokal, sebagaimana yang akan dilakukan pada Bab 3.

Selain itu, sekedar mengantarkan pembaca pada konteks di mana uraian tentang kapasitas lokal ini terjadi, pada Bab 1 ini, terlebih dahulu akan diuraikan pula secara sekilas hal-hal yang menyangkut kondisi alam,

8

Karenanya, sebagaimana yang tergambarkan dalam alur pembahasan nanti, diperlukan semacam jembatan yang menyambungkan gap yang ada itu.

9

Dalam penerapan strategi ‘qualitative data collection’ terdapat 4 (empat) tehnik pengumpulan data. Masing-masing (1) penyelenggaraan diskusi kelompok terarah, yang dilakukan masing-masing dalam 4 ronde. Setiap ronde mendiskusikan topik tertentu. Selain itu, penerapan strategi ‘qualitative data collection’ ini juga dilengkapi dengan penggunaan beberapa alat perekaman data lainnya. Masing-masing adalah (2) pengamatan dan wawancara mendalam terhadap 1 – 2 ‘peristiwa penting’ terpilih (baik karena menjadi prioritas melalui diskorah ataupun karena alasan lain); (3) pengamatan dan wawancara mendalam tentang 2 profil LNI menonjol menurut ‘household survey’; (4) perekaman data tentang ‘rona situasi desa’. Keempat tehnik pengumpulan data ini dilengkapi pula dengan upaya pengumpulan data-data sekunder.

10

Sekedar menyebut satu sumber, lihat R. Yando Zakaria, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat, 2000.

11

(5)

pemerintahan, kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Baik pada tingkat propinsi, kabupaten, dan perbandingannya pada tingkat nasional, maupun pada tingkat desa di mana penelitian ini dilakukan. Laporan ini akan ditutup oleh Bab 5 yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.

Dengan tahap-tahap penjelasan yang demikian itu diharapkan pemahaman tentang dinamika kapasitas lokal yang lebih konprehensif akan diperoleh. Bersamaan dengan itu, diharapkan pula, kelemahan-kelemahan masing-masing strategi penelitian yang diterapkan dalam agenda penelitian LLI (2) ini justru dapat ditransformasikan menjadi suatu kekuatan yang berdaya guna. Dengan itu pula, seluruh langkah yang telah diayunkan akan ada manfaatnya: bukan sekedar langkah akomodasi dan/atau kompromi yang semu.

1.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.2.1. Latar Geografi, Kependudukan, dan Administrasi Pemerintahan

Nusa Tenggara Timur, selanjutnya disingkat NTT, adalah salah satu dari sedikit propinsi di Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah ke dalam sejumlah ‘pulau besar’ dan ‘pulau kecil’. Beberapa ‘pulau besar’ yang penting untuk disebut adalah Timor, Flores, Sumba, Rote, Alor, Sawu, dan Lembata12.

Banyak di antara ratusan pulau-pulau kecil yang termasuk ke dalam wilayah propinsi ini yang tidak tergambarkan dalam peta-peta resmi yang ada. Karenanya banyak pula yang tidak dikenal namanya secara luas.

Bentangan alam NTT dicirikan oleh medan yang berbukit-bukit dengan kemiringan yang mencapai 80%. Tentu saja kondisi ini potensial terancam erosi yang dapat melahirkan tanah kritis. Pada tahun 1976, menurut Biro Penelitian Universitas Cendana, Kupang, luas tanah kritis di Nusa Tenggara Timur mencapai 4,1%13. Pada umumnya wilayah NTT merupakan bagian wilayah kepulauan Indonesia yang, di samping berbukit-bukit, terdiri dari berbagai bentuk batu-batuan yang berbeda-beda. Baik mengenai umurnya maupun mengenai susunannya. Pulau Timor dan Pulau Sumba serta gugusan pulau-pulau sekitarnya, tidak memiliki gunung berapi (non-vulkanik). Lapisan tanahnya mempunyai dasar kapur dan merupakan tanah datar yang cukup luas. Karena itu, di Timor dan Sumba terdapat banyak tanah pangonan atau tanah penggembalaan yang cukup luas. Gugusan Pulau Flores dan Alor merupakan pulau-pulau yang memiliki gunung berapi (vulkanis) yang umurnya masih muda, dan merupakan perpanjangan rentetan gunung berapi sampai ke Lautan Teduh. Pulau-pulau vulkanis umumnya memiliki tanah-tanah yang lebih subur dari pada pulau-pulau non-vulkanis. Karena itu di Flores dan Alor terdapat tanah pertanian yang cukup subur14.

12 Tiga pulau besar yang terpenting adalah Flores, Sumba, dan Timor. Sebab itu pula Nusa Tenggara Timur seringkali pula dikenal dengan sebutan populernya: ‘Negeri Flobamor’ atau ‘Nusa Flobamor’. 13 Biro Penelitian Universitas Cendana, Laporan Penelitian No. 16, 1978. Dikutip dari Rachmat Nuri,

Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal. 1.

(6)

Iklim di daerah ini sering dinilai ‘kurang bersahabat’15. Seluruh wilayah NTT tergolong daerah dengan iklim kering. Musim kemarau lebih panjang jika dibanding dengan musim hujan16. Di samping itu, curah hujan pun sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Suhu udara harian berkisar antara 240 C (minimum) hingga 320 C (maksimum).

Penelitian LLI (2) di NTT, semula, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, diselenggarakan di 2 kabupaten. Masing-masing adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (terletak di Pulau Timor) dan Kabupaten Ngada (terletak di Pulau Flores). Namun, karena adanya kasus ‘gangguan keamanan’, khususnya dengan terjadinya ‘Kasus Belu’ yang menewaskan pekerja sosial dari badan international WHO pada sekitar bulan Oktober 1999 lalu, penelitian di Timor Tengah Selatan dihentikan. Dengan demikian, untuk selanjutnya penelitian di NTT hanya dilakukan di Kab. Ngada.

Luas wilayah Kabupaten Ngada adalah 3.037,88 km2. Kabupaten Ngada tergolong daerah yang beriklim tropis. Bentang alam di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Ngada dicirikan pula oleh banyaknya padang rumput. Namun ditemui pula beragam tumbuhan pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya. Fauna di wilayah ini juga terhitung kaya. Antara lain terdapat hewan-hewan peliharaan besar (seperti kerbau, sapi, dan kuda), hewan peliharaan kecil (seperti kambing, domba dan babi). Di samping itu terdapat pula berbagai jenis binatang liar. Terdapat pula sejumlah objek wisata. Di antaranya adalah Taman Laut 17 Pulau (Riung) dan peninggalan batu megalitik.

Wilayah administrasi Kabupaten Ngada terbagi-bagi lagi ke dalam 9 (sembilan) wilayah pemerintahan Kecamatan, dan dua Kecamatan Pembantu; dengan 127 desa dan 12 kelurahan (1998). Kecamatan Aesesa, salah satu kecamatan di mana penelitian ini diselenggarakan, merupakan wilayah yang terluas, yaitu sebesar 22,56% dari luas Kabupaten Ngada secara keseluruhan. Sedangkan Kecamatan Ngada Bawa, yang menjadi ‘pusat pemerintahan’ Kabupaten Ngada, memiliki luas wilayah terkecil, yaitu hanya 1,46% (1998).

Jumlah penduduk pada tahun 1998 lalu, menurut sumber resmi (BPS, 1999, hal. 59 –60), adalah 215.865 jiwa (39.085 KK). Jumlah itu meningkat sekitar 1,6% jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1997. Dengan demikian rata-rata banyaknya anggota rumah tangga pada tahun 1998 adalah 5,5 jiwa/KK. Beban tanggungan penduduk usia produktif adalah 65,63. Penduduk yang berstatus belum menikah adalah 42,54%.

Tingkat kepadatan penduduk rata-rata Kabupaten Ngada 71 jiwa/km2. Meski begitu, persebaran penduduk pada 9 Kecamatan dan 2 Kecamatan Pembantu itu pada dasarnya tidak atau belum merata.

15 Informasi-informasi tentang iklim dalam bagian-bagian berikut bersumber dari Nuri, 1985, ibid., hal 9 – 10, kecuali disebutkan lain. Uraian yang cukup lengkap tentang kondisi fisik daerah Nusa Tenggara, di mana Propinsi Nusa Tenggara Timur tercakup di dalamnya, periksalah Kathryn A. Monk, Yance de Fretes, dan Gayatri Reksodihardjo – Lilley, Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku, Seri Ekologi Indonesia, Buku V. Jakarta: Prenhallindo & Canadian International Development Agency (CIDA), 2000.

(7)

1.2.2. Ciri-ciri Dasar Sistem Sosial dan Budaya

Molnar (1998: 13 – dst.) mengemukakan bahwa wilayah NTT menyajikan keragaman etnografik yang sangat kaya. Tetapi, di luar hubungan kolonialnya dengan Belanda dan Portugis, tidak banyak yang diketahui tentang penduduk dan kebudayaannya sampai masa-masa terakhir ini. Untuk kasus Flores misalnya, sesuai dengan pengamatan LeRoux pada tahun 1920, nampaknya tidak banyak perhatian tercurah pada pulau dan penduduknya hingga awal abad 20. Walau Flores Timur dikuasai Portugis pada tahun 1511 dan kemudian ditaklukan Belanda pada tahun 1641 (?), bagian sebelah Barat Flores, yang sekarang dikenal dengan nama Manggarai dan Ngada, sama sekali tidak menarik perhatian kolonial Belanda sampai dengan tahun 1907. Wilayah ini bahkan diabaikan oleh para pendahulunya17.

Sementar itu, Fox (dalam Molnar, ibid., hal. 14 – dst.) menunjukkan pentingnya tema-tema tentang ‘sumber’ (source) dan ‘asal-mula’ (origin) yang berulang kali mucul dalam masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat Indonesia bagian Timur. Fox menamakan konfigurasi-konfigurasi yang berbeda satu sama lainnya itu sebagai ‘struktur asal-mula’ (origin structures). ‘Struktur asal-mula’ mencakup semua struktur sosial dan ide-ide yang mengaitkan seseorang atau sekelompok orang dengan apa yang dianggap asal-mula dari sekelompok orang tersebut. ‘Struktur asal-mula’ ini dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Tetapi, di antara orang-orang Austronesia seperti kelompok-kelompok penduduk di Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak konsep yang sama dalam ‘struktur asal-mula’ ini, yakni konsep pun/hun/fun , atau semacam peo di Aesesa dan yang semuanya mengacu pada metafor pohon18.

Fox menyarankan pula bahwa studi tentang ‘struktur asal-usul’ dan tentang system of precedence yang dihasilkan dari ‘struktur asal-mula’ tersebut, merupakan bentuk-bentuk perbandingan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat-masyarakat Austronesia19. ‘Rumah’ telah diidentifikasi oleh sejumlah peneliti Austronesia sebagai salah satu dari kategori-kategori penting yang menandakan ‘a particular kind of social unit’. House societies atau house communities adalah masyarakat atau komunitas yang berbasis pada rumah sebagai salah satu ‘origin group’ atau ‘kelompok asal-mula’ yang penting atau terpenting bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini ‘rumah’ dapat memiliki makna lebih penting atau sepenting ‘klen’, atau kelompok keturunan (descent group) yang lain. Dengan demikian, menurut Molnar (op.cit., hal. 15), kategori rumah ini menjadi dasar bagi serangkaian hubungan-hubungan

17

Andrea K. Molnar, “Kemajemukan Budaya Flores: Suatu Pendahuluan”, dalam Antropologi Indonesia, No. 56, Thn. XXII, Mei – Agustus 1998. Jakarta: Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Lihat juga Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan

Historiografi. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1999. 18

Lihat uraian pada Bab 3 berikut. 19

(8)

dalam organisasi-organisasi sosial masyarakat tersebut. Bahkan, di antara banyak kelompok-kelompok penduduk Flores, menjadi ‘masyarakat berbasis rumah’ merupakan suatu aspek penting dari identitas kelompok. Menurut Mc Kinnon (dalam Molnar, op.cit., hal. 15) suatu aspek penting dari konseptualisasi asli tentang ‘masyarakat berbasis rumah’ ini menyangkut ide-ide lokal tentang nilai-nilai yang dikaitkan pada hubungan-hubungan sosial.

Lebih jauh Molnar mengatakan (op.cit., hal. 15) bahwa pengidentitasan diri ini acapkali dan terutama memanfaatkan konseptualisasi asli dari penduduk setempat yang diekspresikan dalam ‘metafor-metafor yang serupa’ dan ‘origin structures’. Terdapat banyak macam identifikasi diri dari berbagai budaya Flores dan tidak ada satu pun kumpulan ciri-ciri yang dapat menentukan ‘identitas lokal’ seseorang. Identitas lokal tidak sekedar merupakan masalah lokasi spasial atau geografis. Dengan identitas tersebut terkait ‘imagined community’ (Anderson, 1983). Identitas lokal tidak pula terbentuk hanya oleh hubungan-hubungan kekuasaan di antara penduduk ‘marjinal’ atau ‘periferi’, atau mereka yang memiliki ‘otoritas’, pusat kekuasaan, baik dalam konteks pra-kolonial, kolonial, ataupun pasca-kolonial. Identitas lokal atau defenisi yang dibentuk sendiri (self-definition) untuk kelompok-kelompok ini melibatkan suatu perumusan yang berlangsung terus-menerus (dan bahkan penciptaan kembali atau re-invention) yang dipengaruhi oleh situasi-situasi sejarah, politik, dan ekonomi yang khusus, dan merupakan ‘a matter of its historical interactions with contrasting others’ (Keane 1997). Terdapat suatu dialektika yang kompleks antara kategori-kategori penduduk setempat dengan ‘definisi yang dibentuknya sendiri’ atau identitas suatu kelompok, atau individu-individu, dengan pengalaman-pengalaman sejarah kolonial yang berbeda, dan dengan perubahan-perubahan yang lebih mutakhir karena modernisasi dan politik negara Indonesia.

Sementara itu, wilayah administrasi Kabupaten Ngada sekarang ini sering pula dikatakan mencakup tiga wilayah kebudayaan. Masing-masing adalah ‘wilayah budaya’ Ngada; ‘wilayah budaya’ Nage-Keo (yang terpilah pula ke dalam dua ‘wilayah budaya’ Nage dan Keo); serta ‘wilayah budaya’ Riung’. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang pula penduduk, termasuk dari kalangan yang terdidik, mengidentifikasikan diri sebagai ‘suku Ngada’, ‘suku Nage-keo’, dan ‘suku Riung’. Pengidentifikasian itu mengarah pada pemaknaan sebagai sukubangsa. Tidak tersedia literatur atau sumber-sumber tertulis ataupun lisan yang menunjukkan bahwa ketiga kategori ‘kelompok budaya’ itu telah ada sebelum hadirnya sistem pemerintahan kolonial Belanda, yang sejatinya baru dimulai pada awal abad 20. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu, wilayah administrasi Kabupaten Ngada sekarang ini memang terbagi ke dalam 3 wilayah pemerintahan swapraja. Masing-masing adalah Swapraja Ngada, Swapraja Nage-Keo, dan Swapraja Riung20. Besar pula kemungkinan dikenalnya sebutan raja, yang mengacu pada pimpinan tertinggi, baru dikenal setelah masalah pemerintahan swapraja itu diberlakukan. Raja

20

(9)

dalam konteks ini adalah jabatan publik, karenanya terbuka, dan bukan sebuah jabatan yang terikat pada suatu keturunan tertentu.

Yang menarik adalah perkembangan lanjut dari satuan wilayah-wilayah swapraja itu. Sekarang ini wilayah bekas swapraja itu secara sosial dan budaya diklaim sebagai wilayah suku dengan nama (bekas) swapraja itu, lengkap dengan adanya ‘status penguasa tertinggi’ – dan previllage yang melekat padanya -- di tingkat suku yang berada pada tangan turunan bekas raja-raja Swapraja dulu21. Perkembangan yang demikian tidak jarang menimbulkan sengketa dengan suku atas dasar sistem kategorisasi yang lain.

Di kabupaten Ngada, secara umum ditemukan sistem penggolongan masyarakat yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan22. Masing-masing adalah (1) golongan bangsawan atau mosalaki; (2) ‘golongan janda atau anak yatim atau piatu’; dan (3) ‘golongan hamba sahaya atau budak’.

Golongan bangsawan atau mosalaki adalah golongan asal pemimpin dan pemegang adat. Golongan inilah yang mengurus (turun-tangan) bila di kampung-kampung terjadi masalah dan dari golongan ini pula pemimpin-pemimpin dalam masyarakat berasal. Ada beberapa bentuk pengelompokan mosalaki, seperti yang ditemukan pada suku Lambo. Masing-masing adalah: (a) Mosa tana laki watu, adalah mosalaki yang memiliki tanah luas dan berhak mengatur pembagian tanah suku; (b) Mosa bhada laki wea, adalah mosalaki yang memiliki banyak harta; (c) Mosa ulu laki eko, adalah mosalaki di dalam kampung; (d) Mosa lado bhada laki wonga wea, adalah mosalaki yang berani/pemimpin perang; (e) Mosa wesi laki peni, adalah mosalaki yang rajin; (f) Mosa pusu muku laki tagalai, adalah mosalaki yang tidak memiliki apa-apa, ia bekerja hanya habis untuk mengisi perutnya saja.

Golongan kedua adalah golongan para janda dan anak yatim atau kuju noe walu halo. Dalam tulisan Marlinda (1997:26) yang berdasarkan penelitiannya mengenai makna belis pada kelompok etnis Nage Keo di Flores, disebutkan bahwa golongan ini adalah golongan masyarakat biasa. Biasanya hidup mereka hanya pas-pasan saja, tetapi mereka tetap dihargai oleh masyarakat sekitarnya.

Golongan ketiga adalah golongan hamba sahaya/budak atau ro’o, yaitu orang-orang yang menjadi milik atau berada di bawah kekuasaan mosalaki. Pada jaman dahulu, seorang hamba bisa dijadikan tebusan hutang, mas kawin, atau dijual. Jadi sering berganti tuan. Seorang ro’o hampir tidak memiliki apa-apa di dalam kampung maupun di dalam suku-nya. Ia hanya boleh bekerja dengan mengabdi kepada mosalaki yang menjadi tuannya. Ia juga tidak mempunyai hak untuk memiliki tanah dan sumber daya lainnya. Hidupnya sepenuhnya bergantung kepada tuannya. Golongan ini tidak terlibat dalam pertemuan-pertemuan kampung dan tidak bisa mengurus atau menyelesaikan masalah-masalah.

21

Dalam suatu kesempatan wawancara , seorang tokoh masyarakat yang telah berusia lebih dari 70 tahun, mantan pegawai negeri yang banyak mengamati masalah budaya Ngada pernah mengatakan bahwa konsep kerajaan, sebagaimana yang umum dikenal sekarang ini, tidak pernah dikenal sebelum masa swapraja dulu. Begitu pula dengan sebutan ‘raja’. Toda, op.cit., kurang lebih juga berpandangan sama.

22

(10)

Ada banyak sebab yang menyebabkan seseorang menjadi seorang ro’o. Di antaranya: (a) Karena kalah perang dengan suku lain, sehingga ia menjadi tawanan dan diperlakukan seperti budak; (b) Keluarganya miskin, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, kemudian mereka mencari perlindungan dengan mengabdi kepada para mosalaki agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut; (c) Tidak mampu membayar hutang, sehingga dirinya menjadi tebusan hutang tersebut23.

Saat ini keturunan ro’o sudah ada yang maju taraf pendidikan dan ekonominya. Namun perbedaan yang disebabkan sistem penggolongan tersebut masih terasa. Keturunan ro’o tetap kurang dihargai dalam masyarakat. Masyarakat masih lebih menghargai keturunan mosalaki, meski ternyata berpendidikan rendah, wawasannya sempit, dan ekonomi yang pas-pasan.

1.3. Perekonomian

1.3.1. Beberapa Indikator Ekonomi Makro

Struktur dan Perkembangan PDRB Kab. Ngada, menurut sumber resmi yang ada24, sampai pada tahun 1997 lalu, masih bertumpu pada sektor primer dengan kontribusi sebesar 50,38%. Namun sumbangan sektor primer tersebut dalam pembentukan PDRB terus mengecil dari tahun ke tahun dan beralih ke sektor-sektor sekunder. Di samping itu, pertumbuhan PDRB berfluktuasi, yakni dari 20,58% pada tahun 1995 menjadi 11,71% pada tahun 1996; dan turun pula menjadi 9,44% pada tahun 1997.

Dinamika Inflasi Kabupaten Ngada dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan terlihat cukup tinggi. Pada tahun 1995 inflasi PDRB sebesar 17,40%. Pada tahun 1996 meningkat menjadi 22,84%; dan meningkat lagi menjadi 29,75% pada tahun 1997.

Pendapatan Per Kapita Penduduk pada tahun 1997 telah mencapai Rp. 888.687. Dengan demikian telah tumbuh sebesar 7,52% dari angka rata-rata pada tahun 1996. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1996, pertumbuhan angka per kapta tahun 1997 ini lebih lamban. Pada tahun 1996 angka pertumbuhan pendapatan per kapita ini adalah 11,07%.

1.3.2. Matapencaharian Penduduk dan Ketenagakerjaan

Sesuai dengan struktur PDRB di atas, pada tahun 1998, sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha di sektor primer (86,92%). Hal itu turut mewarnai jenis pekerjaan utama penduduk yang didominasi sebagai petani (BPS, 1999, hal. 60 – 61).

Dilihat dari status pekerjaan utama, 8,99% penduduk bekerja sebagai buruh atau karyawan. Hal yang menarik dari angka-angka mata pencarian penduduk ini adalah bahwa jumlah penduduk yang bekerja dengan status

23

Seorang pengamat budaya Ngada, sebutkan nama ybs., mengatakan bahwa penerjemahan ro’o sebagai ‘budak’ dalam pengertian umum sekarang ini tidaklah tepat. Pengertian ro’o sama dengan apa yang disebut budak itu relatif sebuah perkembangan baru (khususnya semenjak masa pemerintahan kolonial Belanda dulu). Menurut yang bersangkutan, sejatinya ro’o mengacu pada orang-orang yang sedang mengalami hukuman karena tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan adat ttg. bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya (misalnya, malanggar peraturan adat tertentu, dll.).

24

(11)

‘pekerjaan keluarga’ separuh (50,92%) dari jumlah penduduk yang bekerja. Sebagian besar penduduk bekerja dengan jam kerja antara 25 – 34 jam dan 35 – 44 jam kerja seminggu. Sekitar 33,70% bekerja antara 25 – 34 jam seminggu dan 29,96% bekerja antara 35 – 44 jam kerja seminggu.

Angka pengangguran terbuka sebenarnya cukup rendah, yakni 1,74%. Meski begitu perbandingan penduduk yang bekerja dengan angkatan kerja (usia produktif) sangat tinggi, yaitu 98,26%. Angka pengangguran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk laki-laki lebih tinggi dibanding penduduk perempuan. Meski begitu, angka kesempatan kerja laki-laki lebih rendah dari perempuan atau angka ‘pengagguran terbuka’ laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.

1.3.3. Fenomena Kemiskinan

Dengan ciri-ciri alam sebagaimana yang dijelaskan dalam bagian terdahulu, kemiskinan adalah objek perhatian yang mewarnai banyak penelitian sosial, ekonomi, dan budaya yang dilakukan di NTT selama ini. Penelitian-penelitian itu bahkan menengarai persoalan kemiskinan ini sudah begitu lama mewarnai kehidupan masyarakat NTT umumnya. Data-data statistik resmi menunjukkan bahwa NTT termasuk 13 propinsi berpendapatan dan dengan laju pertumbuhan rendah antara tahun 1975 – 1984 (Manuwoto, 1991)25, maupun masa 1983 – 1989 (Kaunang, 1991, seperti dikutip Sayogyo (1994)26. Meski, di lain pihak, dengan memakai ukuran pengeluaran rumah tangga, ekonomi rumah tangga di pedesaan NTT dalam masa 1980 – 1990, menunjukkan laju peningkatan 14% per tahun (Sayogyo, 1994: xiv)27.

Walaupun menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, jumlah penduduk yang dikategorikan miskin pada tahun 1996 lalu masih terhitung besar, yakni 20,57% dari jumlah keseluruhan penduduk ketika itu. Ini tentu relatif lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yakni 32,5% (1984), 24% (1987)28, serta 24,2% (1990)29.

1.4. Desa-desa Lokasi Penelitian

1.4.1. Karakter masing-masing desa penelitian

Sebagaimana yang terjadi pada penelitian LLI (1) pada 1996 terdahulu, penelitian LLI (2) di Kab. Ngada ini dilakukan pada dua wilayah administrasi pemerintahan kecamatan. Masing-masing adalah Kecamatan Golewa dan Kecamatan Aesesa. Sesuai dengan kebutuhan penelitian, Kecamatan Golewa dipilih secara a priori sebagai wakil dari wilayah kecamatan yang dekat dengan pusat pelayanan sosial dan pemerintahan Kab. Ngada. Sedangkan Kec. Aesesa dipilih, juga secara a priori, sebagai wilayah kecamatan yang mewakili wilayah

25

Manuwoto, “Approaches to Regional Development in Indonesia and the NTT”, dalam Collin Barlow, Alex Bellis & Kate Andrew, eds., Nusa Tenggara Timur: The Challenges of Development. Canberra: Departement of Political and Social Change, Research School of Pasific Studies, The Australian National University, 1991.

26

Sayogyo, ed., Kemiskinan dan Pembangunan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

27

Sayogyo, 1994, ibid. 28

Sayogya, 1994, ibid., hal. xiv. 29

(12)

kecamatan yang letaknya jauh dari pusat pelayan sosial dan pemerintahan Kab. Ngada.

Dari sisi ciri-ciri geografisnya kedua kecamatan ini juga relatif berbeda satu sama lainnya. Kec. Golewa dapat dikatakan mewakili ‘wilayah pergunungan dan/atau daratan’. Sedangkan Kec. Aesesa, terutama beberapa desanya, terletak di wilayah pesisir. Tepatnya terletak di wilayah pantai Utara P. Flores. Faktor letak ini, seperti akan terlihat nanti, juga akan berpengaruh pada ciri-ciri demografis dan keberagaman faktor-faktor sosial dan budayanya. Berbeda dengan keadaan di desa-desa di Kec. Golewa, beberapa unsur kebudayaan di wilayah Kec. Aesesa jelas sekali banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan lain dari luar. Baik pengaruh dari kebudayaan ‘sesama Flores’ (terutama dari wilayah Ende dan Manggarai), bahkan dari kebudayaan Bugis dan/atau Makassar (Sulawesi Selatan). Pengaruh itu bahkan hingga pada ‘inti kebudayaan’, seperti status dan peran ‘turunan pendatang Bugis dan/atau Makassar’ dalam struktur sosial suku yang ada di wilayah Kec. Aesesa (lebih lanjut lihat uraian pada Bab 4 berikut).

Selain itu, akibat dari beberapa program pembangunan yang diselenggarakan pemerintah, khususnya program pencetakan sawah (sebelumnya diawali dengan upaya pembangunan bendungan dan saluran irigasi yang dimulai sekitar tahun 1950-an dan terealisasi pada awal tahun 1970-an), dan pemukiman kembali (terjadi dalam beberapa gelombang), berbeda pula dengan keadaan di Kec. Golewa, banyak warga desa-desa yang ada di Kec. Aesesa, bahkan ada yang hampir seluruh warga desanya, adalah para ‘pendatang’. Yakni warga suku yang sebenarnya berasal di daerah pegunungan di sekitar wilayah Kec. Aesesa yang ‘diturunkan’ ke pemukiman-pemukiman dan/atau desa-desa baru yang sejatinya adalah ‘tanah air’ suku yang lain. Melalui program pencetakan sawah banyak warga desa-desa di Kec. Aesesa yang memiliki sawah (melalui program redistribusi lahan) di ‘lembah’ Mbay.

Sementara itu, lokasi desa-desa di Kecamatan Golewa sekarang pada umumnya juga merupakan ‘lokasi yang baru’, meski dapat dikatakan tetap berada di ‘tanah air’-nya sendiri. Ini terjadi karena keinginan warga desa-desa yang bersangkutan untuk lebih dekat dengan berbagai pelayanan pemerintahan dan sosial, terutama jalan raya. Situasi ini juga disebabkan oleh makin padatnya ‘kampung asli’, sehingga tidak mungkin lagi menampung perkembangan jumlah penduduk yang ada.

Sesuai pula dengan kebutuhan penelitian, pada masing-masing kecamatan terpilih dipilih pula secara a priori 4 desa. Dengan rincian: dua desa yang mewakili desa-desa yang jauh dari pusat pelayanan sosial dan pemerintahan kecamatan dan dua desa sebagai wakil desa-desa yang dekat dengan pusat pelayanan sosial dan pemerintahan masing-masing kecamatan.

(13)

Tabel 1.1 : Rincian persamaan dan perbedaan karakter desa-desa lokasi penelitian

Desa Status jarak pusat desa dengan pusat Kecamatan

Ciri-ciri geografis Ciri-ciri pembeda lainnya

Kecamatan Aesesa

1. Mbay II Dekat dan mudah. Jaraknya sekitar 5 km. Jalan beraspal. Ada kendaraan umum reguler (lebih dari 10 kali sehari). Dusun terjauh dapat dicapai dalam waktu kurang dari 1 jam jalan kaki (sudah lebih dari 5 generasi). Sebelum dipecah menjadi 3 desa (1999), dua dusun dimukimi pendatang dan keturunan Bugis/Makassar yang lebih baru. 2. Nggolonio Relatif jauh (lebih dari 10 km)

namun akses mudah. Jalan beraspal Ada kendaraan reguler (lebih dari 10 kali sehari). Dusun terjauh dicapai dalam waktu 1 jam jalan kaki.

Sebagian wilayah pesisir; sebagian lain dataran dan pegunungan

Sebagian besar ‘asli setempat’; sebagian kecil lainnya adalah ‘pendatang’ (melalui pemukiman kembali)

3. Totomala Relatif jauh (lebih dari 10 km). Tetapi relatif mudah. Jalan beraspal (meski mulai ada yang rusak). Ada jalur trayek kendaraan umum. Lebih dari 5 kali sehari. Dusun terjauh dicapai dalam waktu lebih dari 2 jam jalan kaki.

Sebagian wilayah pesisir ; sebagian berupa wilayah pegunungan

Sebagian besar ‘asli setempat’; sebagian kecil lainnya ‘pendatang’ (melalui pemukiman kembali). Setelah pemekaran desa (1999), ‘pemukiman pendatang’ telah menjadi desa sendiri yang terpisah dari desa Totomala; sebagian ‘pemukim asli’ lainnya menjadi desa tersendiri pula.

4. Langedhawe Relatif dekat’(sekitar 7 km, kurang dari 10 km) tapi akses sulit. Tidak ada sarana transportasi yang memadai. Jalan rusak berat sehingga sulit dilalui kendaraan roda 4. Hanya bisa dilalui truk (hanya sekali seminggu). Sepeda motor juga susah (butuh ketrampilan tertentu untuk dapat melewatinya). Cara yang paling umum adalah jalan kaki (sekitar 3 – 5 jam). Dusun terjauh dicapai dalam waktu lebih dari 2 jam jalan kaki.

Wilayah pergunungan ‘asli setempat’; sebagian penduduk memiliki sawah di ‘lembah Mbay’.

Kecamatan Golewa

1. Takatunga Jauh (lebih dari 15 km). Akses relatif susah, terutama pada 5 km terakhir (dari percabangan jalan utama/jalur kendaraan umum); kondisi jalan ini juga rusak berat (tapi masih mudah dilewati kendaraan roda 2). Jalur utama dilewati kendaraan umum secara reguler (lebih dari 15 kali sehari). 5 km terakhir hanya ada kedaraan umum sekali dalam seminggu. Umumnya ruas ini ditempuh jalan kaki. Dusun terjauh dicapai lebih dari dua jam jalan kaki,

Wilayah pegunungan dengan sedikit sawah tadah hujan

Umumnya ‘asli setempat’; walau tidak lagi merupakan ‘wilayah asal’ (desa adat berada 2 - 3 kilometer dari lokasi desa sekarang). Pendatang dari luar relatif sedikit.

2. Sangadeto Jauh (lebih dari 20 km dan harus melewati wilayah kecamatan lain). Akses sulit. Dapat menggunakan kendaraan roda 2. Umumnya ditempuh jalan kaki. Diperlukan waktu lebih dari 3

Wilayah pegunungan dengan sedikit sawah tadah hujan

(14)

jam untuk mendapatkan kendaraan umum. Dusun terjauh dicapai lebih dari 3 jam jalan kaki.

3. Todabelu Relatif dekat dan mudah. Jalan beraspal dan merupakan jalur kendaraan umum (lebih dari 20 kali sehari). Dusun terjauh dapai dicapai kurang dari 1 jam jalan kaki.

Pegunungan dan dataran Umumnya ‘asli setempat’. Pendatang dari luar relatif banyak (umumnya pegawai negeri)

4. Mengulewa Sda. Pegunungan dan dataran Umumnya ‘asli setempat’. Pendatang dari luar relatif banyak (umumnya pegawai negeri)

Sumber: Penelitian lapangan LLI (2), diolah.

1.4.2. Perekonomian Penduduk di Desa-desa Penelitian

Jenis Pekerjaan yang tergali selama diskusi kelompok terarah berlangsung adalah (1) bertani (sawah & ladang/lahan kering; (2) Nelayan; (3) beternak (besar & kecil); (4) mengembala ternak; (5) Tukang (kayu & batu); (6) menenun; (7) menganyam tikar; (8) menyadap lontar/tuak/moke; (9) mencari madu; (10) Pegawai negeri sipil (non-guru); (11) Guru (PNS & swasta); (12) Pegawai swata; (13); catut/dagang kecil-kecilan/usaha kios/warung; (14) jualan sayuran; (15) usaha mesin giling padi; (16) penyewaan traktor; (17) usaha angkutan; kontraktor; (18) Sopir; dan (19) Penjahit.

Tingkat Kesejahteraan penduduk tergambarkan dari data-data tentang komposisi penghasilan terhadap pengeluaran penduduk. Menurut Susenas 1998, untuk tingkat Kabupaten Ngada, pengeluaran untuk makanan sebesar 63,63%, dan bukan makan 36,37%. Angka-angka ini relatif membaik jika dibandingkan dengan angka-angka untuk tahun 1987, di mana pengeluaran untuk makanan adalah 66,70% dan 33,30% untuk pengeluaran non makanan30.

Menariknya, angka komposisi hasil diskusi kelompok terarah relatif tidak jauh berbeda dengan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada (1999) sebagaimana telah dikutipkan di atas. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk, penelitian ini coba mengungkap informasi tentang kontribusi penghasilan pokok dan penghasilan terhadap konsumsi, serta proporsi total penghasilan (pokok dan sampingan) terhadap kebutuhan survival dan kebutuhan untuk peningkatan kesejahteraan hidup31.

Hasil diskusi kelompok terarah yang dilakukan dalam penelitian ini selengkapnya adalah sebagaimana yang tercantum pada Tabel ‘Komposisi Penghasilan Terhadap Pengeluaran’ berikut. Dari tabel dimaksud terlihat bahwa daya dukung – jika dapat dikatakan begitu – penghasilan pokok terhadap kebutuhan konsumsi relatif bervariasi di antara masing-masing desa penelitian. Sebagian desa mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya di atas 70% (kira-kira 2/3 kebutuhan konsumsi) dari penghasilan pokoknya. Sebagiannya lagi hanya mampu memenuhi sekitar separuh kebutuhan saja (antara 50% - 60%). Meski begitu, data-data tersebut secara jelas

30

Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada, Ngada Dalam Angka 1998. Bajawa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada, 1999, hal. 93.

31

(15)

menunjukkan bahwa tak ada satu desapun yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya sepenuhnya dari penghasilan pokok saja. Dengan demikian, dapat disimpulkan, pekerjaan sampingan memiliki peran yang relatif penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi ini.

Hasil diskusi kelompok terarah ini juga menunjukkan bahwa, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dimaksud, proporsi terbesar dari penghasilan total terhadap kebutuhan survival rata-rata di atas 60%. Hanya ada dua desa, masing-masing Takatunga dan Todabelu (keduanya berada di Kecamatan Golewa), yang berada di bawah itu (sekitar 40%). Dengan kata lain, rata-rata, proporsi total penghasilan terhadap kebutuhan survival lebih tinggi daripada proporsi untuk kebutuhan peningkatan kesejahteran hidup.

Tabel 1.2 : Komposisi Penghasilan terhadap Pengeluran

Desa Kontribusi Penghasilan pokok

pada Konsumsi

Kontribusi Penghasilan Sampingan pada Konsumsi

Proporsi Total Penghasilan pada Survival

Proporsi Total Penghasilan pada Peningkatan Kesmas

Mbay II 65% 35% 60% 40%

Nggolonio 60% 40% 70% 30%

Totomala 90% 10% 75% 25%

Langedhawe 60% 40% 75% 25% Takatunga 80% 20% 40% 60% Sangadeto 75% 25% 75% 25%

Todabelu 50% 50% 40% 60%

Mangulewa 60% 40% 60% 40% Sumber: Penelitian Lapangan LLI (2) Tahap III, Maret – April 2001, diolah.

Dengan asumsi semakin rendah persentase pengeluaran makanan maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, ‘data-data statistik’ di atas dapatlah dikatakan bahwa rata-rata tingkat kesejahteran penduduk di masing-masing desa penelitian ini masihlah terhitung rendah.

(16)

2. Peta Dasar Kapasitas Lokal

2.1. Masalah-masalah Penting yang Menjadi Prioritas

Dari hasil household survey diketahui bahwa secara umum setidaknya ada 4 masalah – dari 10 kemungkinan masalah yang ditanyakan dalam kwesioner – yang umumnya dihadapi oleh responden selama 4 tahun terakhir ini. Masing-masing adalah (urutan non hirarki): (a) pengeluaran yang meningkat; (b) ada anggota rumah tangga yang meninggal/sakit berat; (c) panen gagal (karena kemarau, hama, banjir); dan (c) ternak mati atau sakit. Tentu ada variasi di antara kedelapan desa yang dijadikan lokasi penelitian. Namun, secara umum dapatlah dikatakan bahwa keempat masalah itulah yang paling umum dihadapi para responden (lihat Data Set Table 3).

Sementara itu, adapun rincian masalah-masalah penting yang menjadi prioritas yang terungkap melalui strategi ‘qualitative data collection’, yang menggunakan tehnik diskusi kelompok terarah, selengkapnya adalah sebagaimana yang tercantum pada Tabel 2.1. berikut1.

Tabel 2.1. : Rincian Masalah Penting Hasil Penelitian Tahap III

Desa Masalah Keselamatan

Hidup

Masalah Pelayanan Alam Masalah Peningkatan kesejahteraan Hidup Mbay II Padi terserang hama dan

penyakit

Berkurangnya hasil panen padi petani sawah

Nggolonio Menurunnya hasil panen Air kurang Perumahan masih darurat Ternak mati Sengketa tapal batas dgn.

hutan lindung

Pelayanan kesehatan kurang memadai (manusia & ternak) Totomala Hasil panen menurun Air minum kurang SDM Rendah

Ternak lepas merusak tanaman Sengketa perbatasan dengan desa Tendakinde

Listrik tidak ada

Langedhawe Keresahan masyarakat atas hilangnya peo suku Rendu

Hama dan penyakit menyerang tanaman

Jalan Aemali – Danga rusak parah

Terhentinya JPKM Mutu dan ketersediaan hutan menurun

Rendahnya harga komoditi rakyat

Takatunga Sumber air yang terancam karena penebangan hutan

Serangan hama bekicot Sarana transportasi dan komunikasi yang kurang memadai

Gizi buruk pada bayi dan balita

Ketersediaan lahan yang makin berkurang

Kemampuan pengorganisasian wadah-wadah arganisasi yang ada

Sangadeto Hasil panen menurun Sengketa tanah Malawawo, Bheto Pere, Koba Tuwa

SDM rendah

Air untuk sawah kurang Sengketa persehatian batas dengan desa Rowa

Jalan raya masuk kampung rusak

Todabelu Ketersediaan lahan yang semakin sempit

Penebangan hutan secara liar Pendistribusian air yang tidak merata

Ketidakpastian dampak

eksplorasi gas bumi

Harga tanah rendah Biaya pendidikan tinggi

Mangulewa Ternak lepas merusak tanaman Kurang air minum Banyak anak putus sekolah Pencurian hasil pertanian Tidak ada sarana penghubung

ke kantung-kantung produksi

Tidak ada PPL

Sumber: Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah..

1

(17)

Jika dikelompokkan ke dalam ‘bidang-bidang kehidupan masyarakat’ maka rincian distribusi masalah-masalah penting yang menjadi prioritas masyarakat di masing-masing desa penelitian itu adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 2.2. berikut.

Tabel 2.2. : Rincian Masalah Penting Berdasarkan Bidang Kehidupan Masyarakat

Desa Ekonomi2 Sarana

Pemukiman3

Identitas sosial & budaya

Kesehatan Lingkungan Tata Batas Pendidikan & SDM

Mbay II Padi terserang hama dan

air kurang Pelayanan kesehatan Ternak mati6 Perumahan

masih darurat Totomala Hasil panen

menurun

Langedhawe Hama dan penyakit Takatunga Hama bekicot

yang merusak

Masalah ekonomi, termasuk di dalamnya masalah sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi. 3

Masalah sarana pemukiman, termasuk sarana MCK dan air bersih. 4

Masalah ini dapat juga dikategorikan sebagai masalah sarana pemukiman. Namun, karena dalam diskusi yang menonjol adalah akibatnya, yaitu masalah kesehatan yang kemudian diderita penduduk maka maasalah ini kemudian dikategorikan sebagai masalah kesehatan.

5

Dalam kasus desa Nggolonio ini perlu ditambahkan catatan bahwa dalam diskusi maupun dalam penelitian LLI (2) Tahap I, tergali pula adanya kasus konflik antara suku Nggolonio (penduduk mayoritas desa Nggolonio) dengan penduduk asal suku lain yang juga warga desa Nggolonio soal penguasaan sebidang lahan padang garam. Kasus ini telah menimbulkan ketegangan antar suku di desa yang bersangkutan. Kasus ini dalam proses penyelesaian yang melibatkan pemerintah. Untuk tidak mengganggu proses penyelesaian itu para peserta diskusi kelompk terarah saat studi lapangan Tahap III dilakukan sepakat untuk tidak memasukkan kasus ini sebagai salah satu masalah penting yang tengah dihadapi oleh warga desa yang bersangkutan.

6

(18)

Kekurangan ketersediaan lahan Sangadeto Hasil panen

menurun Mangulewa Ternak lepas

merusak Sumber : Data lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Jika diperhatikan informasi yang ada pada tabel-tabel di atas maka dapatlah dikatakan bahwa macam masalah yang dihadapi warga desa-desa penelitian relatif amat beragam. Mulai dari masalah-masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (masalah keberlangsungan keselamatan hidup, khususnya dalam bidang ekonomi) hingga masalah-masalah identitas sosial dan budaya maupun masalah-masalah-masalah-masalah keterbatasan sumberdaya manusia.

Meski begitu, berbagai informasi yang tercantum dalam tabel-tabel dimaksud juga menunjukkan bahwa, pada umumnya, masalah-masalah penting yang menjadi prioritas bagi masyarakat adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi masyarakat (20 kasus). Berturut-turut urutan masalah prioritas berikutnya adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan sarana permukiman (9 kasus); masalah pendidikan & SDM (6 kasus); masalah kesehatan, lingkungan, dan tata batas lahan/SDA (masing-masing 4 kasus); dan masalah yang berkaitan dengan identitas dan budaya masyarakat yang bersangkutan (1 kasus).

Dapat pula dikatakan bahwa, meskipun macam masalah penting yang menjadi prioritas di setiap desa relatif beragam, data-data dalam tabel-tabel dimaksud menunjukkan pula bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar desa. Setidaknya jika dilihat dari distribusi 3 kategori masalah yang paling dominan (ekonomi, sarana pemukiman, dan pendidikan & SDM).

(19)

Tabel 2.3. : Distribusi 22 Macam/Kategori Masalah Penting di Masing-masing Desa Penelitian

No. Deskripsi Masalah Penting

Mbay II Nggolonio Totomala Langedhawe Takatunga Sangadeto Todabelu Mangulewa

yes no yes no yes no yes no yes no yes no yes no yes no

A Padi terserang hama dan penyakit; serangan hama bekicot

o - - - o - o - - - -

B Pekarangan dan rumah tergenang air

o - - - - - -

C Hasil panen menurun o - o - o - - - o - - - - -

D Ternak mati - - o - - - - - - - - -

E Ternak lepas merusak tanaman

- - - - o - - - - - o -

F Keresahan masyarakat atas hilangnya peo

- - - o - - - - -

G Sumber air yang terancam;air kurang; air minum kurang; pendistribusian air tidak merata; air untuk sawah kurang

- - o - o - - - o - o - o - o -

H Gizi buruk - - - o - - - -

I Ketersediaan lahan yang semakin sempit; ketersediaan dan mutu

J Ketidakpastian dampak eksplorasi gas bumi

- - - - - - o - - -

K Pencurian hasil pertanian

- - - - - - - - - - o -

L Terhentinya JPKM - - - o - - - - -

M Sengketa tapal batas (hutan lindung dll.)

- - o - o - - - - - o/o - - - - -

Q Perumahan masih darurat

- - o - - - - - - - - -

R Pelayanan kesehatan kurang memadai V Biaya pendidikan

tinggi

- - - - - - o - - -

Sumber : Data lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

(20)

‘Kurangnya ketrampilan/SDM yang rendah’/Kategori P (4 kejadian); (6) ‘hasil panen menurun’/Kategori C (4 kejadian); (7) ‘harga beras/komoditi/tanah turun/rendah’/Kategori N (3 kejadian); (8) ‘padi terserang hama dan penyakit’/Kategori A; (3 kejadian); dan (9) ‘ternak lepas merusak tanaman’ (2 kejadian). Sisanya, yaitu 13 macam masalah penting lainnya hanya terjadi masing-masing sekali pada satu desa tertentu saja.

Jika dikaitkan dengan kinerja hasil upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah penting yang bersangkutan, sebagaimana yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian-bagian berikut, diketahui pula bahwa masalah-masalah penting yang menonjol, artinya terjadi lebih dari 3 kejadian tetapi relatif tidak mampu diupayakan jalan keluarnya, artinya hanya dapat di atasi pada satu kasus saja, adalah sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4 : Distribusi masalah penting menonjol tapi (relatif) tidak bisa/tidak mampu diupayakan jalan keluarnya

No. Deskripsi Masalah Penting

Mbay II Nggolonio Totomala Langedhawe Takatunga Sangadeto Todabelu Mangulewa

yes no yes no yes no Yes no yes no yes no yes no yes no G Sumber air yang

terancam;air kurang; air minum kurang; pendistribusian air tidak merata; air untuk sawah kurang

- - - o - o - - - o - o - o - o

I Ketersediaan lahan yang semakin sempit; ketersediaan dan mutu hutan menurun; padang pengembalaan menyempit;penebangan hutan secara liar

- o - - - - o - - o - - - o/o - -

C Hasil panen menurun - o o - o - - - - - - o - - - -

M Sengketa tapal batas (hutan lindung dll.)

- - o - - o - - - - - o/o - - - -

O Tidak ada sarana penghubung (jalan rusak, dll.)

- - - - - - - o - o - o - - - o

P Kurangnya ketrampilan/SDM rendah

o - - - - o - - - o - o - - - -

N Harga tanah rendah; harga beras turun; rendahnya harga komoditi

- o - - - - - o - - - - o - - -

Sumber : Data lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.4 di atas, masalah-masalah yang menonjol di desa-desa penelitian adalah masalah-masalah (1) Kategori G (6 kejadian); (2) Kategori I (5 kejadian); (3) kategori C; (4) Kategori M, (5) Kategori O; (6) Kategori P (masing-masing 4 kejadian); serta (7) Kategori N (3 kejadian).

(21)

mengalami konflik tanah dalam 1 tahun terakhir ini dapat dikatakan relatif tinggi. Bahkan ada desa yang mencapai angka 50%! Sedangkan persentase terendah adalah 6,67%. Dengan demikian tidak ada desa yang warganya tidak pernah mengalami konflik pertanahan ini.

Pada tingkat konflik antar sekelompok warga dengan sekelompok warga dari desa lain angkanya lebih menakjubkan lagi. Ada desa yang mencapai angka 60%. Dapat pula dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara desa-desa di Kec. Golewa dan Kec. Aesesa (lebih jauh lihat Data Set Table 4)7.

Sementara itu, ketika penelitian lapangan Tahap I berlangsung, dalam pertemuan antara anggota DPRD Kabupaten Ngada dengan aparat pemerintahan Kecamatan Aesesa yang langsung dipimpin oleh Camat yang bersangkutan, terungkap pula bahwa setidaknya ada 13 masalah pertanahan yang kalau tidak diselesaikan secara cepat dan arif akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Di samping itu, dilaporkan pula bahwa seluruh desa di Kecamatan Aesesa (terdapat 22 desa) memiliki masalah perbatasan tanah/wilayah antar desa8.

Dalam wawancara mendalam dengan Kepala Pengadilan Negeri Bajawa terungkap pula fenomena yang dilaporkan di atas sejatinya hanya bagian kecil saja dari realitas lapangan yang sebenarnya. Kepala Pengadilan Negeri Bajawa, yang wilayah pelayanannya adalah Kabupaten Ngada, memperkirakan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini, dari rata-rata 18 kasus perdata per tahun yang ditanganinya, 60% di antaranya adalah masalah tanah atas dasar klaim hukum adat. Baik kasus perorangan, perorangan lawan kelompok, maupun antar kelompok, termasuk sengketa tanah antar suku. Meski begitu, jumlah ini diperkirakan jauh sangat kecil dari realitas di lapangan. Menurut Kepala Pengadilan Negeri Bajawa, kasus-kasus yang ada di Pengadilan Negeri hanya puncak gunung es dari masalah yang sebenarnya. Bahkan Kepala Pengadilan Negeri Bajawa berani memperkirakan bahwa kenyataan lapangan bisa mencapai 100 kali lipat lebih. Artinya, setiap kasus yang akhirnya di bawa ke Pengadilan Negeri ‘mewakili’ 100 kasus yang sebenarnya ada di lapangan9.

Data-data tentang konflik pertanahan yang terungkap melalui ‘household survey’ dan yang terkumpulkan dalam penelitian Tahap I (‘etnography case studies’ ) terkonfirmasi pula oleh data-data lain yang terungkap melalui strategi ‘qualitative data collection’. Dari proses ‘qualitative data collection’ ini

7

Angka-angka persentase konflik tanah di NTT ini jauh lebih tinggi dari angka-angka persentase untuk Jambi dan Jawa Tengah.

8

Presentasi lisan Servas Dino, anggota DPRD Kabupaten Ngada, dalam pertemuan dengan aparat pemerintahan Kecamatan Aesesa, akhir September 2000. Data-data ini merupakan hasil kunjungan kerja anggota DPRD Kabupaten Ngada dari wilayah pemilihan Kecamatan Aesesa selam sekitar satu bulan (Agustus – September 2000). Pertemuan antara anggota DPRD Kabupaten Ngada dengan aparat pemerintahan Kec. Aesesa ini berlangsung pada akhir kegiatan kunjungan kerja dimaksud. Peristiwa ini terjadi ketika strategi ‘ethnography case studies’ (LLI (2) Tahap I) tengah berlangsung.

9

Angka rata-rata perkara per tahun yang ‘hanya 18 perkara’ itu kurang lebih sama dengan apa yang ditemukan Kebeet von Benda-Beckmann (dalam Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia dan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en

(22)

terungkap bahwa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 2.5. berikut, tidak ada desa penelitian yang tidak memiliki masalah konflik tanah dan/atau masalah-masalah pertanahan lainnya10. Lebih dari itu, menurut persepsi

penduduk yang mengikuti diskusi-diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan pada Tahap III penelitian LLI 2 ini, masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan itu umumnya dikategorikan sebagai masalah yang berkaitan dengan keselamatan hidup (survival) dan keberlanjutan pelayanan alam. Bahkan, pada 5 dari 8 desa penelitian masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan lainnya itu terjadi pada 2 dari 3 kemungkinan kategori masalah yang ada11. Selain itu, hampir selalu masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan lainnya itu menjadi salah satu dari dua masalah yang dianggap terpenting dari sejumlah masalah yang tergali selama diskusi kelompok terarah berlangsung.

Tabel 2.5 : Distribusi Kejadian Masalah Konflik Tanah (A) dan/atau Masalah Pertanahan Lainnya (B)

Desa Masalah Keselamatan Hidup Masalah Pelayanan Alam Masalah Peningkatan kesejahteraan Hidup Mbay II (B) Padi terserang hama dan

penyakit

(B) Berkurangnya hasil panen padi petani sawah

-

(B) Pekarangan dan rumah tergenang air

(B) Padang pengembalaan semakin sempit

-

Nggolonio (B) Menurunnya hasil panen (A) Sengketa Tapal batas dgn. hutan lindung

-

Totomala (B) Hasil panen menurun (A) Sengketa perbatasan dengan desa Tendakinde

-

(B) Ternak lepas merusak tanaman

-

Langedhawe (B) Hama dan penyakit

menyerang tanaman

-

(B) Mutu dan ketersediaan hutan menurun

-

Takatunga (B) Ketersediaan lahan yang

makin berkurang

-

Sangadeto (B) Hasil panen menurun (A) Sengketa tanah

Malawawo, Bheto Pere, Koba Tuwa

-

(A) Sengketa persehatian batas dengan desa Rowa

-

10

Perlu dikemukakan bahwa, selain yang tercantum dalam tabel ini, wujud konflik tanah (atau bentuk-bentuk SDA lainnya, seperti padang penggembalaan, padang garam, bahan galian C/pasir dan batu, sumber air bersih, air untuk pertanian, saluran limpahan air, misalnya) yang terekam selama penelitian berlangsung dapet berupa masalah yang berkenaan dengan perebutan hak penguasaan atas suatu persil tanah, baik antar orang/keluarga (termasuk antar orang dalam satu keluarga tertentu), antar sekelompok warga dengan orang/keluarga tertentu, maupun antar sekelompok orang dengan sekelompok orang lainnya; dan sengketa tapal batas. Begitu pula, yang termasuk dalam kategori ‘masalah

pertanahan/SDA lainnya’ dapat pula berupa masalah tidak jelasnya aturan-aturan peralihan hak atas tanah; banyaknya KK yang tidak memiliki/menguasai tanah (untuk rumah dan lahan garapan); kesuburan yang menurun; hasil panen menurun; padang pengembalaan yang menyempit; menurunnya mutu dan ketersediaan hutan; ketersediaan tanah/lahan; pajak atas tanah; tidak jelas/pastinya status penguasaan tanah; tidak adanya pengukuan terhadap hak adat atas tanah; tidak adanya registrasi tanah-tanah adat/suku; harga & ganti rugi tanah-tanah yang rendah; pelepasan hak oleh pihak yang ‘tidak

berwenang’ (menurut persepsi penduduk tentunya); penyerobotan/perusakan lahan pertanian oleh ternak, dan bentuk-bentuk sejenis lainnya.

11

(23)

Todabelu (B) Ketersediaan lahan yang semakin sempit

(B) Penebangan hutan secara liar

-

(B) Harga tanah rendah - Mangulewa (B) Ternak lepas merusak

tanaman

-

-

Sumber: Data Lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Seperti terlihat pada Tabel 2.5, hanya ada tiga dari 8 desa penelitian di mana masalah konflik pertanahan dan/atau masalah pertanahan lainnya tidak menjadi salah satu dari dua masalah yang dianggap terpenting. Itu pun segera harus diberi catatan bahwa, pertama, dalam kasus desa Langedhawe, diduga terjadi ‘kesalahan teknis’ perekaman dan perangkuman hasil diskusi kelompok terarah. Sebab, sejauh informasi yang dapat dikumpulkan selama penelitian LLI 2 ini berlangsung, khususnya melalui strategi ‘ethnographic case studies’ dan ‘qualitative data collection’ terungkap bahwa kasus konflik tanah antara suku Rendu dan suku Raja (lihat uraian pada Bab 4 berikut) pada dasarnya merupakan salah satu kasus konflik tanah yang menonjol untuk Kabupaten Ngada. Hal ini ditandai oleh perjalanan kasus konflik itu sendiri, yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa konflik terbuka antara warga suku Rendu dan suku Raja dan disiksanya tokoh-tokoh suku Rendu yang berjuang mendapatkan tanah sukunya kembali oleh aparat keamanan maupun oleh beberapa warga suku Raja. Boleh jadi, tidak terangkatnya kasus konflik tanah antara suku Rendu dan suku Raja dalam daftar masalah penting terjadi karena ‘tertutupi’ – atau dianggap telah tercakup -- oleh masalah ‘hilangnya Peo suku’ di desa Langedhawe, yang memang dianggap sebagai ‘puncak’ dari penafian keberadaan suku Rendu (dan pengambilan/perampasan tanah berada di dalamnya) oleh pihak lain. Catatan kedua, dalam hal kasus desa Takatunga, masalah konflik tanah dan/atau masalah pertanahan lainnya itu hanya dikategorikan sebagai hal yang berkaitan upaya peningkatan kesejahteraan hidup, di samping merupakan masalah yang relatif telah ditemukan jalan pemecahannya secara mantap12.

Jika diperhatikan secara lebih mendalam, dan jika digunakan pula definisi survival yang ‘lebih longgar’, maka dapat pula dikatakan bahwa umumnya masalah-masalah penting yang menjadi prioritas ini pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai masalah-masalah yang berkaitan dengan kelangsungan keselamatan hidup13. Penilaian ini penting karena berkaitan erat dengan dampak dari kinerja kapasitas masyarakat di masing-masing desa yang diteliti. Sebagaimana yang akan terlihat nanti, kinerja upaya penanggulangan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah keselamatan hidup ini relatif baik kinerjanya ketimbang pada upaya-upaya penanggulangan pada dua kategori masalah lainnya. Setidaknya dalam arti upaya-upaya pada bidang masalah keselamatan hidup lebih banyak ketimbang dua bidang masalah lainnya. Hanya saja, jika dikaitkan pada hasilnya, kinerja upaya dalam bidang keselamatan hidup relatif lebih rendah. Setidaknya jika dibandingkan dengan

12

Dalam diskusi terungkap bahwa masalah kekurangan lahan adalah masalah yang sudah lama dihadapi oleh penduduk desa Takatunga. Dalam diskusi disebutkan bahwa masalah kekurangan lahan ini dapat digolongkan sebagai masalah dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Namun, ketika dilakukan penilaian tingkat kepentingan, masalah ini tidak ditempatkan ke dalam dua masalah prioritas. Salah satu alasan yang terekam adalah bahwa karena masalah ini relatif telah ditemukan jalan keluarnya (membeli tanah-tanah di desa lain), meski belum seluruh warga mampu melakukannya.

13

(24)

masalah bidang pelayanan alam, seperti yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain.

2.2. Upaya-upaya Penanggulangan

Hasil diskusi kelompok terarah menunjukkan bahwa dari 48 masalah penting yang menjadi prioritas, upaya penanggulangan berupa aksi bersama terjadi pada 41 kasus masalah penting. Dengan demikian ada 7 (tujuh) dari 48 kasus masalah penting yang dikategorikan prioritas yang tidak ditangani. Distribusi masalah penting mana yang diupayakan jalan keluarnya dan mana yang tidak, dapat dilihat dalam Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2. 6 : Tabel Masalah Penting Dipilah berdasarkan ada-tidaknya upaya penanggulangan

Desa Masalah Keselamatan Hidup Masalah Pelayanan Alam Masalah Peningkatan Kesejahteraan Hidup

Ditangani Tidak Ditangani Ditangani Tidak Ditangani Ditangani Tidak Ditangani Mbay II Padi terserang

hama dan

Air kurang Perumahan

masih darurat Ternak mati Tapal batas

hutan Totomala Hasil panen

menurun Takatunga Sumber air

yang terancam Sangadeto Hasil panen

menurun

(25)

lahan yang semakin sempit

hutan secara liar

air yang tidak merata

tinggi Ketidakpastian

dampak eksplorasi gas bumi

Harga tanah rendah

Mangulewa Ternak lepas merusak tanaman

Kurang air minum

Banyak anak putus sekolah Pencurian hasil

pertanian

Tidak ada sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi

Tidak ada PPL

Sumber: Data lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.

Jika dilihat distribusinya per desa, maka masing-masing kasus terdistribusi pada, dengan urutan hirarkis, Mbay II (3 kasus, dua kasus masalah pelayanan alam dan 1 kasus peningkatan kesejahteraan masyarakat); Langedhawe (2 kasus, 1 kasus keselamatan hidup dan 1 kasus masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat); serta Takatunga dan Todabelu, masing-masing 1 kasus masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Jika diperhatikan karakter masing-masing masalah yang tidak ditangani itu, secara sepintas terlihat bahwa masing-masing masalah itu merupakan masalah yang kontrolnya di luar masyarakat itu sendiri. Baik karena merupakan faktor alam maupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan politik ‘di atas desa’ (supra desa). Masalahnya kemudian adalah, yang menarik, ternyata dari 7 masalah yang tidak ditangani hanya ada 3 kategori masalah (dengan empat kejadian) yang tidak terjadi di desa lainnya. Masing-masing adalah (1) harga beras turun’ (Mbay II); (2) ‘rendahnya harga komoditi’ (Langedhawe); (3) ‘terhentinya program JPKM’ (Langedhawe); dan (4) ‘biaya pendidikan tinggi’ (Todabelu). Tiga kategori masalah penting lainnya, terlepas dari hasil yang dicapainya, di desa yang lain, ternyata diupayakan jalan keluarnya. Dengan catatan ini, dengan demikian, diupayakan atau tidak diupayakannya jalan keluar untuk mengatasi masalah yang bersangkutan tidak semata-mata karena masalah yang bersangkutan berada di luar kontrol masyarakat, tetapi juga ditentukan oleh hal-hal lain, meski mereka tahu bahwa sebagian faktor penyebab masalah itu berada di luar kontrol mereka sendiri. Hal yang sama juga terlihat dengan jelas pada kasus-kasus yang memang telah diupayakan jalan keluarnya. Jika dicermati akar masalahnya sebagian besar masalah yang diupayakan jalan keluarnya itu turut juga disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di luar kontrol masyarakat yang bersangkutan.

Gambar

Tabel 1.1 : Rincian persamaan dan perbedaan karakter desa-desa lokasi penelitian
Tabel  1.2 : Komposisi Penghasilan terhadap Pengeluran
Tabel 2.1. : Rincian Masalah Penting Hasil Penelitian Tahap III
Tabel 2.2. : Rincian Masalah Penting Berdasarkan Bidang Kehidupan Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

“ Dato Karama ” tahun 1645 M-1709 M, dengan menggunakan perahu layar bersama rombongannya berjumlah lima puluh orang beserta keluarganya. 2) Dato Karama dalam berdakwah

Comparison of QTLs for both traits found in this study with those reported in azuki bean [ Vigna angularis (Willd.) Ohwi & Ohashi] and rice bean [ Vigna umbellata

210/PMK.03/2008, dimana setiap pembelian barang dikenakan tarif 1,5% dari harga barang sehingga yang dipungut oleh bendahara KPPN Kota Bitung dan disetor ke kas negara

Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan peramalan kebutuhan bahan bakar alternatif yang barupa wooden saw dust dengan model GM (2,1) yang hasilnya akan

diamanatkan oleh undang-undang agar dapat menangani masalah-masalah pertambangan tanpa izin, justru mereka telah membiarkan para pelaku pertambangan rakyat itu

Apakah evaluasi terhadap daftar catatan mutu di unit keria

Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat telah ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum masehi, tetapi perkerasan jenis ini

Title Bar : batang jendela dari program Visual Basic 6.0 yang terletak pada bagian paling atas dari jendela program yang berfungsi untuk menampilkan judul atau