• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas dan Kegiatan Pemerintahan Desa

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 44-48)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

3.1.2. Komunitas dan Kegiatan Pemerintahan Desa

Dalam mengetahui bagaimana corak hubungan antara pemerintahan desa (village government)2 dengan ‘sistem pengelolaan hidup bersama yang dikembangkan komunitas’ (community governance), di samping melihat bagaimana corak keterlibatan masyarakat di dalam proses-proses penyelenggaraan program dan atau proyek sebagaimana telah diuraikan di atas, ada baiknya pula melihat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rutin pemerintahan desa lainnya. Di dalam survey yang dilakukan LLI (2) terdapat 3 (tiga) variabel yang digunakan untuk mengukur/melihat hal ini. Masing- masing adalah (a) perencanaan program di desa, misalnya tentang penentuan jenis, lokasi, dll. (Q5B.1); (b) menentukan sanksi ketika ada penyelewengan dana (Q5B.2); dan (c) penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, seperti KTP, dll. (Q5B.3). Atas pertanyaan-pertanyaan itu ada 4 (empat) kemungkinan jawaban. Masing-masing adalah (a) ikut memutuskan; (b) memberi pendapat tetapi tidak ikut memutuskan; (c) sama sekali tidak ikut membahas; dan (d) tidak ada persoalan ini (artinya, pertanyaan ybs. tidak relevan bagi warga/responden ybs) (lihat Appendix 22).

Dalam hal keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program/proyek di desa, seperti dalam hal menentukan jenis, lokasi, dll., dari proyek/program yang ada, hasil pengolahan data ‘survey HHQ’ menunjukkan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 3.3. berikut ini.

Tabel 3.3 : Corak keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan program/proyek di desa Ikut memutuskan Memberi pendapat, tetapi tidak ikut memutuskan Sama sekali tidak ikut membahas ini Sama sekali tidak ada persoalan tentang ini Total Desa

Case pctn case Pctn case pctn case pctn Case Pctn Mbay II 14 48,28 6 20,68 9 30,00 - - 29 98,96 Nggolonio 13 43,33 8 26,67 8 26,67 1 3,33 30 100 Totomala 8 26,67 9 30,00 10 33,33 3 10,0 0 30 100 Langedhawe 20 66,67 2 6,67 8 26,67 - - 30 100 Takatunga 8 26,67 5 16,67 17 56,67 - - 30 100 Sangadeto 10 33,33 9 30.00 11 36,67 - - 30 100 Todabelu 16 55,17 2 6,90 11 37,93 - - 29 98,96 Mangulewa 10 33,33 8 26,67 12 40,00 - - 30 100 Total 96 40,34 49 20,59 86 36,13 4 1,68 238 100 Sumber data : Hasil survey LLI (2), November 2000.

2

Yang dimaksudkan dengan Pemerintahan Desa di sini adalah unsur-unsur yang mencakup Kepala Desa dan seluruh aparatnya; LMD/BPD; Kepala Dusun,; dan juga LKMD (jika masih ada). RT/RW tidak termasuk di dalamnya.

Tabel 3.3 di atas menunjukkan bahwa, secara rata-rata, hanya ada 40,34 % rumahtangga yang mengaku ikut memutuskan bila ada perencanaan program/proyek di desa; 20,59 % mengaku memberi pendapat tapi tidak memutuskan; dan 36, 13 % mengaku bahwa mereka sama sekali tidak ikut membahas masalah ini.

Seperti dapat dilihat dalam tabel dimaksud, dalam hal ini, terdapat variasi antar desa cukup tinggi. Misalnya, dalam kasus jawaban ‘ikut memutuskan’, partisipasi tertinggi terjadi di Langedhawe, Kecamatan Aesesa, yang mencapai angka 66,67%, dan terendah di Takatunga dan Totomala, keduanya di Kecamatan Golewa, yang hanya mencapai angka 26,67% (atau 50% lebih sedikit dari angka rata-rata untuk keseluruhan desa). Begitu pula dengan jawaban ‘turut memberikan saran tapi tidak ikut memutuskan’: tertinggi mencapai angka 30% untuk desa Totomala (Kec. Aesesa) dan Sangadeto (Kec. Golewa), dan terendah di Todabelu (Kec. Golewa, 6,90%) dan Langedhawe (Kec. Aesesa, 6,67%). Hal yang sama juga terjadi dalam kasus jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’: tertinggi di Takatunga (56,67%) dan terendah di Nggolonio dan Langedhawe (masing-masing 26,67%).

Dengan data-data tersebut dapat dikatakan bahwa, pada umumnya, tidak sampai separuh penduduk yang terlibat dalam proses perencanaan program/proyek yang diselenggarakan pemerintah desa: suatu tingkat partisipasi yang dapat dinilai cukup rendah.

Rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan pemerintahan desa akan semakin terasa menyedihkan jika dilihat angka rata-rata untuk variabel ‘menentukan sanksi ketika ada penyelewengan dana (program/proyek desa’ dan variabel tentang ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ (lihat Appendix 3).

Sebagaimana yang tersaji dalam tabel-tabel pada Appendix 3 dimaksud, angka rata-rata untuk jawaban ‘turut menentukan’ dalam ‘penentuan sanksi ketika ada penyelewengan dana desa’ adalah 19,33% dan berbanding lurus dengan angka rata-rata untuk jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’ yang 54,21%. Sedangkan angka rata-rata untuk jawaban ‘turut menentukan’ dalam ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ adalah 24,37% dan berbanding lurus dengan angka rata-rata untuk jawaban ‘sama sekali tidak ikut membahas’ yang mencapai angka rata-rata 62%!

Berbeda dengan variabel ‘keterlibatan warga dalam perencanaan program/proyek desa’, baik untuk variabel ‘penentuan sanksi ketika ada penyelewengan dana desa’ maupun untuk variabel ‘penentuan biaya pembuatan surat-surat keterangan, KTP, dll.’ tidak terjadi perbedaan (variasi) antar desa yang dapat dikatakan cukup berarti.

Data-data yang dikumpulkan melalui strategi ‘qualitative data collection’ dan ‘enthnograpy case study’ menunjukkan gambaran yang relatif sama. Misalnya, para peserta diskusi kelompok terarah di desa Mbay II cendrung berkesimpulan bahwa:

(…) pertama, masyarakat umum tidak terlibat dalam perencanaan secara langsung. Perencanaan hanya melibatkan ‘kaum elit’; dan kedua, kalaupun masyarakat kemudian ‘memperoleh’ informasi tetang proyek-proyek yang bersangkutan, informasi yang diterima penduduk itu bukanlah informasi yang memang direncanakan sedemikian rupa. Informasi diterima masyarakat umumnya melalui ‘berita desas-desus’ dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari.

Dalam kenyataannya apa yang terjadi di Mbay II bukanlah kasus yang istimewa. Kasus serupa juga terjadi di desa-desa penelitian yang lain. Simaklah beberapa kutipan dari catatan diskusi-diskusi yang terjadi selama penelitian berlangsung berikut ini.

Di Totomala : (…) Dalam kasus proyek IFAD, hal ini meskipun kemudian diterima dan dilaksanakan, tetapi sejak semula masyarakat menolak kehadiran proyek ini, karena dengan sistim bagi tanah, dikuatirkan akan terjadi penguasaan tanah secara individu,

maka kekuasaan akan tanah pada mosalaki akan hilang. Kalaupun kemudian ada

penilaian bahwa dalam kasus ini masyarakat terlibat, hal ini lebih karena keterpaksaan. Di Langedhawe : (…) Pada PPK (proyek-proyek, pen.) direncanakan melalui proses musbangdes 1 dan musbangdes 2, meski akhirnya diputuskan oleh UDKP tingkat kecamatan, bersama tim supervisi. (Pada tingkat UDKP ini, pen.), masyarakat tidak terlibat lagi dalam mengambil keputusan.

Meski begitu, ada juga contoh-contoh yang menunjukkan keadaan yang sebaliknya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa kutipan dari catatan lapangan berikut ini:

Di Nggolonio : (…) Sementara dalam proyek Padat Karya, yakni proyek jalan yang menghubungkan Kuru – Sulu, banyak masyarakat yang terlibat. Baik laki-laki maupun perempuan. Walaupun dalam pelaksanaannya hanya dengan upah lima ribu rupiah (per hari, pen.). Masyarakat kurang puas, karena upah harian disini menurut masyarakat adalah sepuluh ribu per orang. (…) Demikian pula, dalam kasus PPMP, Kades mengundang seluruh warga untuk membahas tujuan penggunaan dananya. Kemudian ada kesepakatan bersama bahwa dana tersebut ditujukan untuk proyek air minum. Selanjutnya pelaksanaannya diserahkan ke tingkat dusun (beserta warga). (…) Demikian juga dengan kasus perencanaan program IDT. Semua warga dilibatkan dan menentukan jenis proyek apa yang dibutuhkan, dan kemampuan mengelolanya, sedangkan dalam kasus proyek air minum, partisipasi masyarakat terlihat dengan pengumpulan dana secara swadaya untuk mendukung penyelesaian proyek tersebut dan juga tenaga kerja. (…) Dan dalam proyek air minum, warga ikut serta dalam proses perencanaan, partisipasi masyarakat ini terlihat dengan terkumpulnya dana swadaya, sehingga proyek ini bisa berjalan dengan baik, Walaupun dikemudian hari terjadi sengketa antara warga karena pembagian air yang tidak adil, dimana dusun I dan II mendapatkan air secara baik, sedangkan dusun III tidak mendapatkannya. Padahal dalam proses perencanaan dan proses lanjutannnya, keterlibatan warga dari semua dusun tak terkecuali.

Sementara itu, di Langedhawe, tercatat laporan lapangan seperti berikut ini:

Pada proyek air minum masyarakat terlibat secara penuh. Tidak hanya sekedar mengumpulkan uang secara swadaya dan tenaga kerja, tetapi juga menentukan letak ‘kapteri’ (bak-bak penampung air, pen.). Dalam kasus ini dinformasikan bahwa semula bak air diletakkan di bawah kampung Kasikapa. Jika begitu maka Kasikapa tidak dapat air. Maka, berdasarkan permintaan orang Kasikapa bak air dipindahkan ke atas kampung Kasikapa, sekitar 300 meter dari lokasi semula. Keputusan ini diterima oleh kampung lainnya, meski akibatnya volume air menjadi berkurang. Pemindahan ini juga disetujui oleh pendamping teknis.

Informasi tentang ‘para pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk menentukan jenis proyek’ juga menunjukkan kinerja yang relatif sama. Keterlibatan pihak masyarakat relatif rendah, terlebih lagi pihak masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai kelompok-kelompok marginal.

Kalaupun pihak masyarakat ada juga yang dikatakan terlibat, umumnya, itu adalah kelompok masyarakat yang terhitung ‘elit’ desa3.

Rendahnya partisipasi ‘warga kebanyakan’, terlebih lagi kelompok- kelompok marginal, tergambarkan dalam beberapa catatan lapangan berikut ini.

Di Mbay II : Menurut masyarakat, pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam kasus-kasus proyek sebelum dan sesudah tahun. 1998, adalah ketua RT, Ketua Lingkungan; anggota LKMD, dan Perangkat Desa. Masyarakat tidak terlibat secara langsung. Kepentingan mereka hanya diwakili oleh pihak-pihak ‘pimpinan desa’ itu. Tentang penggunaan keuangan biasanya diserahkan pada pihak-pihak yang akan mengurus proyek itu, dan pihak yang diberikan kewenangan untuk mengurusnya harus mempertanggungjawabkan penggunaan uang itu nantinya setelah proyek selesai. Pertangunggjawaban ini tidak langsung pada masyarakat tetapi pada pihak-pihak yang dianggap ‘mewakili’ masyarakat tadi. (…) masyarakat umum tidak terlibat dalam perencanaan secara langsung. Perencanaan hanya melibatkan ‘kaum elit’; dan kalaupun masyarakat kemudian ‘memperoleh’ informasi tentang proyek-proyek yang bersangkutan. Informasi yang diterima penduduk itu bukanlah informasi yang memang direncanakan sedemikian rupa. Informasi diterima masyarakat umumnya melalui ‘berita desas-desus’ dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari.

Di Langedhawe : (…) dalam pengambilan keputusan, masyarakat tidak terlibat langsung, tetapi melalui wakil-wakilnya saja. Itupun tidak menyangkut pengalokasi dana. Soal ini hanya diserahkan pada pelaksana proyek. (…) Dalam PPK masyarakat terlibat langsung, karena pemilihan proyek terjadi di dalam kelompok (kasus usaha ternak sapi). Tapi ada juga indikasi yang menunjukkan bahwa pilihan usaha ini datang dari atas, karena seluruh kelompok mengusahakan usaha yang sama (ternak sapi). Untuk kasus sarana fisik, proyek dan penggunaan dana ditentukan oleh pihak-pihak yang mewakili masyarakat. (…) Kasus OPK: penambahan biaya menjadi 1100 (harga asli 1000, tapi karena jalan jelek pihak angkutan minta tambah biaya 200.000, sehingga desa harus cari biaya tambahan) adalah keputusan pihak pemerintah desa saja. Kasus ini juga menunjukkan ketidakjelasan informasi tentang ‘tata biaya’ yang sebenarnya. Termasuk oleh pihak pemerintah desa itu sendiri.

Di Takatunga : (…) Dalam kasus jalan Laja - Takatunga – Sarasedu masyarakat tidak terlibat sama sekali. “Tiba-tiba ada proyek,” ujar seorang peserta diskusi kelompok terarah. “Kami hanya menonton,” sambung peserta yang lain. (…) Cerita yang agak berbeda terjadi dalam kasus proyek P3DT. Sebelum ada proyek memang sudah ada keinginan warga untuk membuka jalan dusun Ngorabolo - desa Bela yang dibicarakan di tingkat desa. Ketika ada P3DT, keinginan ini diteruskan oleh Kades. Kemudian warga terlibat dalam pertemuan yang membahas proses perencanaan. “Walaupun mereka hanya duduk mendengarkan penjelasan dari Pimpro dan Kontraktor mengenai informasi dana dan peruntukkannya,” cerita seorang peserta.

Di Mangulewa : (…) Pada tahun 1980 ada kasus proyek Hutan Rakyat. Usulan ini berasal dari beberapa tokoh masyarakat dan Pemdes. Secara umum, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan proyek ini. (…) Pada proyek IDT masyarakat lebih banyak mendengarkan sosialisasi dari pendamping bersama Pemdes, kemudian masyarakat diberi kesempatan membuat perencanaan kegiatan dalam kelompok. Ada kelompok yang dibentuk sendiri oleh anggotanya tapi banyak pula yang dibentuk dari atas. Akibatnya ada anggota masyarakat yang tidak mau menjadi anggota kelompok IDT tertentu.

3

Dalam alat penelitian yang digunakan disebutkan bahwa ada 5 (lima) kemungkinan pihak yang dapat terlibat dalam hal ini. Masing-masing adalah (a) kepala desa bisa ikut serta; (b) perangkat desa bisa ikut serta; (c) kaum elit desa yang bisa ikut serta; (d) penduduk di pusat desa yang bisa ikut serta; dan (e) kelompok marjinal bisa ikut serta. Dalam penilaian digunakan skala penilaian 1 hingga lima: (1) bila hanya 1 dari 5 yang bisa ikut serta (skala penilaian terendah) dan (5) bila seluruh masyarakat ikut serta. Dalam proses penilaian bersama dengan anggota Tim NTT, ada peserta diskusi yang keberatan dengan ‘adanya lima komponen’ itu. Menurut ybs. sebenarnya yang ada hanya 3 komponen. Kepdes dan aparat desa termasuk ke dalam ‘kaum elit’.

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 44-48)