• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan Desa dan Pengelolaan Hidup Bersama 1 Kinerja Pemerintahan Desa

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 33-38)

3.1.1. Keterlibatan Pemerintah Desa dalam Penanggulangan Masalah Penting

Data-data yang ada menunjukkan bahwa dari 105 upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang ada, pihak pemerintah, dari berbagai kategori dan tingkatan, terlibat dalam 73 upaya. Artinya, peran pemerintah itu terjadi pada sekitar 2/3 dari keseluruhan upaya yang teridentifikasi. Dari jumlah itu, ada 9 upaya yang tergolong sebagai upaya berhasil. Itu berarti pula bahwa pemerintah terlibat dalam sekitar separuh dari jumlah keseluruhan upaya penanggulangan masalah yang dianggap berhasil1.

Seperti halnya para pihak yang lain, para pihak dari unsur pemerintahan juga dapat berkontribusi dalam segala bentuk kemungkinan. Mulai dari ide/gagasan/pengetahuan; tindakan; dana; ketrampilan; hingga pihak yang mengambil keputusan. Dan itu dapat terjadi baik pada tahap perencanaan; pelaksanaan; maupun pemeliharaan. Tidak terlihat dengan jelas, pada kasus-kasus mana saja pemerintah bertindak sebagai pemberi ide/gagasan/pengetahuan saja atau berkontribusi dalam bentuk keterlibatan yang tertentu saja. Biasanya, pada setiap upaya, terdapat lebih dari satu bentuk keterlibatan. Dalam beberapa kasus bisa mencakup seluruh bentuk keterlibatan. Tapi umumnya keterlibatan pemerintah berupa kombinasi dari dua sampai tiga dari lima kemungkinan keterlibatan yang ada.

Untuk memahami lebih lanjut kinerja pemerintahan desa ini, pada bagian berikut akan diuraikan potret penyelenggaraan proyek-proyek maupun program pembangunan yang disponsori pemerintah di masing-masing desa yang diteliti. Baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap pemeliharaan. Untuk mendapatkan gambaran perbandingan potret itu dilakukan pada program/proyek yang telah berlangsung sebelum tahun 1998 ataupun yang ada setelah tahun itu. Deskripsi masing-masing program/proyek yang akan dijadikan bahan pelajaran itu adalah sebagaimana tersaji dalam Box 3.1 hingga Box. 3.8 berikut.

Box 3.1. : Proyek-proyek di Desa Mbay II

Proyek pengaspalan jalan (1997). Rencana proyek ini berawal dari keluhan masyarakat kepada Pemerintah Daerah pada saat kunjungan di Desa Mbay II. Usulan ini lalu dibuat secara tertulis, dan dituangkan dalam Musbangdes. Masyarakat mengetahui bahwa usulan ini mendapat respons, setelah beredarnya desas-desus, bahwa dana untuk pengaspalan itu ada. Informasi ini hanya menjadi desas-desus, karena masyarakat tidak pernah terlibat langsung dalam rapat- rapat formal yang diadakan oleh pemerintah desa, kecuali saat pertama kali mengajukan keluhan kepada pihak pemerintah daerah. Selebihnya, masyarakat hanya tahu tentang adanya sejumlah pertemuan yang dihadiri oleh pemuka dan pemimpin Lingkungan/RT, di mana keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan dan keterlibatan masyarakat di dalamnya, sudah terwakili dengan sendirinya. Untuk selanjutnya, atas keputusan para pemimpin desa, pekerjaan pengaspalan jalan dilaksanakan dengan keterlibatan masyarakat secara keseluruhan,

1

By definition, tentunya pemerintah seharusnya dilihat sebagai bagian dari pihak yang dapat diharapkan turut mengatasi masalah kehidupan yang dihadapi masyarakat, sebagaimana akan diperlakukan dalam uraian sub-bab ini. Meski begitu, seperti yang akan terlihat nanti, rendahnya kinerja pemerintah menunjukkan posisi pemerintah yang lain, yaitu sebagai ‘bagian dari masalah itu sendiri’.

termasuk mendanai diri mereka sendiri untuk makan dan minum saat istirahat. Dalam tahap pemeliharaan, seperti menambal kalau ada jalan yang lubang, menggali got dan saluran pembuangan, serta membatasi kendaraan berat yang melintas di badan jalan, tidak lagi menjadi bagian warga Mbay II pada umumnya, melainkan para pemuda desa, Pemdes, dan LMD/LKMD, yang dana operasionalnya berasal dari sumbangan warga baik berupa uang maupun material. Saat ini, fisik jalan yang sudah rusak, pecah-pecah (aspalnya), berlubang, dan tergenang air telah melahirkan ragam masalah yang disalingkaitkan oleh masyarakat dengan kinerja pemerintah desa yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan ketidakpuasaan masyarakat dalam proses pelaksanaan dan pemeliharaan fisik jalan, yakni menyangkut tidak transparannya pengelolaan dana dari pihak pemerintah desa, kualitas jalan yang mudah rusak, hilangnya sisa aspal yang diamankan oleh pemerintah kecamatan (sehingga penambalan jalan yang rusak harus dibiayai dari sumbangan masyarakat), hampir tidak ada koordinasi pihak pimpinan kelurahan dengan masyarakat dalam perbaikan jalan, dan belum adanya perangkat aturan desa untuk melarang truk-truk besar melewati jalan. Meski pada mulanya, masyarakat puas dengan selesainya pekerjaan, karena jalan desa telah diaspal dan tidak becek seperti sebelumnya.

Program Inpres Desa Tertinggal (1998). Program ini diperuntukkan kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah di Desa Mbay II, guna pembangunan irigasi persawahan. Akan tetapi, saat ini dana yang laiknya digulirkan dalam Pokmas sudah macet, sementara anggota Pokmas lainnya belum mendapat giliran. Hal ini mengundang ketidakpuasan masyarakat dalam seluruh prosesnya, sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan (keberlanjutannya). Menariknya, masalah ketidakpuasan ini berkaitan dengan pengelolaan manajemen program oleh pihak pemerintah desa, sebab tidak satupun masyarakat mengakui keterlibatannya dalam keseluruhan proses.

Ketidakpuasaan masyarakat Mbay II, sesungguhnya merupakan teguran terhadap model perencanaan yang diturunkan dari atas, lengkap dengan JUKLAK (petunjuk pelaksanaan) dan JUKNIS (petunjuk teknis). Akibatnya, ketika sampai di desa sasaran, karena sakralnya JUKLAKNIS bagi pemerintah desa maupun masyarakat, maka sifat wajib yang menyertainya mengesampingkan kebutuhan mendasar dari masyarakat. Di samping itu, kelompok sasaran yang pembentukannya juga ‘wajib’ sesuai dengan JUKLAKNIS itu, melahirkan dua akibat,

pertama, kelompok dibuat secara mendadak karena mengejar terget waktu, dan kedua, penyaringan anggota kelompok tidak sesuai sasaran (karena efisensi dan efektivitas), di mana penunjukkan orang lebih karena dia telah dikenal (meski dianggap mampu) daripada dia jelas miskin tetapi tidak dikenal. Lagipula, model pengawasan yang diserahkan sepenuhnya kepada Pemdes maupun Pemda, melahirkan rasa enggan masyarakat (sebut saja tokoh adat, pemuda, dan anggota masyarakat yang tidak menjadi anggota Pokmas) penerima manfaat maupun yang bersangkutan untuk melakukan kontrol yang ketat. Teguran kepada seorang pengguna dana, bisa melahirkan kalimat, ‘ini bukan kewenangan anda’.

Box 3.2. : Proyek-proyek di Desa Nggolonio Program Inpres Desa Tertinggal (1996-1998).

Untuk desa ini program IDT dikonsentrasikan penggunaannya pada kegiatan usaha produktif, yakni ternak, dagang, dan koperasi. Dalam tahap perencanaan semua unsur masyarakat desa (Pokmas, Pemdes, LKMD) terlibat dalam menyampaikan gagasan maupun pengambilan keputusan, selain pihak sarjana pendamping IDT, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten. Demikian juga dalam tahap pelaksanaan dan pemeliharaan (keberlanjutan), semua pihak berkepentingan di Desa Nggolonio terlibat secara aktif, kecuali Pemerintah Kabupaten secara langsung, dan sarjana pendamping IDT yang pada tahap pemeliharaan (keberlanjutan) tidak aktif lagi karena dana fungsionalnya distop oleh pemerintah.

Kelayakterimaan program ini dipandang cukup baik, karena masyarakat merasa puas dengan pengelolaan dana yang diserahkan kepada kelompok dan langsung mendapat uang tunai. Namun, bukan berarti ketidakpuasaan masyarakat tidak ada, sebab, ternyata masih ada sebagian anggota Pokmas yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan serta dominasi tenaga pendamping yang membatasi keleluasaan Pokmas mengelola dana secara mandiri.

Sementara rutinitas yang diharapkan dari tenaga pendamping dalam memotivasi sangat kecil, tidak sebanding dengan intervensinya yang besar dalam pengelolaan dana Pokmas.

Meskipun kontrol perintah yang kurang juga mendapat sorotan masyarakat, namun dengan dilibatkannya masyarakat dalam setiap tahapan program, di mana akses mereka dalam pengambilan keputusan juga terbuka, agaknya cukup menjelaskan tentang kinerja pemerintah desa yang lebih baik, dan berpotensi untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang demokratis. Hal ini pula, yang memungkinkan proyek IDT di Desa Nggolonio masih terus berjalan meski tanpa tenaga pendamping.

Kinerja pemerintah yang cukup baik ini juga terlihat dalam Program Pengembangan

Kecamatan (2000), di mana masyarakat terlibat pada setiap tahapannya, termasuk rasa puas dalam pengelolaan dana yang transparan. Tidak puasnya masyarakat, lebih tepat jika dikalimatkan, ‘tentunya akan lebih baik lagi jika program tidak hanya menyangkut air bersih saja’ dan kalaupun tidak memungkinkan, maka paling tidak perlu dibentuk suatu badan pengelola air minum di desa. Yang terakhir tentunya ditujukan kepada pemerintah desa, meski tidak secara langsung disampaikan.

Box 3.3. : Proyek-proyek di Desa Totomala

Proyek IFAD (1996). Pada awalnya proyek ini sempat ditolak oleh beberapa tokoh masyarakat dan kepala suku, sebab dengan pembagian tanah (sertifikasi) kepada petani-petani, mereka khawatir kehilangan hak penguasaan tanah. Akan tetapi, pihak Pemerintah Desa mengambil inisiatif untuk membahas hal ini bersama masyarakat dan pihak perkebunan. Hasilnya masyarakat menerima dan menyatakan puas atas dilaksanakannya proyek ini, di mana selain mendapat tanah berikut sertifikatnya, para petani juga memperoleh bibit yang hasilnya cukup baik. Rasa puas masyarakat peserta proyek (252 KK) juga ditunjang dengan keikutsertaan mereka dalam pengambilan keputusan.

Rasa tidak puas petani lebih ditujukkan pada proses pemeliharaan perkebunan, dan, meski tidak diungkapkan terang-terangan, para petani juga merasa tidak puas dengan pembagian lahan yang tidak merata (sebagian mendapat 0,5 Ha, dan sebagian kecilnya, yang adalah keluarga dekat pemerintah desa, mendapat 2 s.d. 3 Ha).

Proyek Padat Karya (1999). Proyek ini melibatkan seluruh warga Totomala dalam pembuatan jalan desa dari Kuru ke Sulu sepanjang 3 Km. Peserta proyek mendapat upah yang sangat rendah Rp. 5.000 perhari. Daripada proyek ini dialihkan ke desa lain, maka masyarakat menerima dengan rasa puas yang dipaksakan, paling tidak mereka untuk jalan desanya sendiri dan mendapat upah. Beberapa keputusan penting, terutama pengelolaan dana proyek tidak melibatkan masyarakat, seperti dana pemeliharaan yang tidak pernah disosialisasikan, dan dominannya pemuda asal Watu Api dalam pemeliharaannya.

Saat ini kondisi jalan rusak berat karena tidak ada deker (jembatan kecil) dan saluran air, sehingga jalan mudah terkikis air hujan dan berlubang-lubang.

Box 3.4. : Proyek-proyek Desa Langedhawe

Proyek Jalan Aemali-Danga (1991). Seluruh perencanaan proyek ada pada Pemerintah Daerah, sementara pemerintah desa, kontraktor, dan beberapa warga yang hanya terlibat dalam tahap pelaksanaan dalam bentuk keterampilan semata-mata (terutama bagi warga setempat yang menjadi buruh upahan). Dalam tahap pemeliharaan, seluruhnya, baik ide/gagasan, tindakan, dana (termasuk material), dibebankan kepada Pemdes (selaku pengambil keputusan) dan warga desa setempat. Tidak heran, dengan kondisi jalan yang rusak berat saat ini, masyarakat pada umumnya tidak merasa puas.

Program JPS Kartu Sehat (1998). Proyek ini sejak perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan tidak diketahui keberadaannya, dan karena itu mereka tidak puas. Akan tetapi, pelayanan kesehatan yang bebas biaya sedikit menutupi rasa tidak puas masyarakat. Alasan

tidak terlibatnya masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan (kepesertaannya), dan pemeliharaannya, karena memang tidak diberitahu oleh pihak pemerintah desa.

Kedua proyek di atas sumber maupun besar dananya tidak diketahui oleh masyarakat.

Box 3.5. : Proyek-proyek di Desa Takatunga

Proyek Jalan Laja - Sarasedu - Takatunga (1996). Warga desa telah mengusulkan pembangunan jalan sejak beberapa tahun di belakang (1980-an). Meskipun tidak dilibatkan dalam perencanaan, masyarakat telah merasa puas karena tuntutan mereka akhirnya terpenuhi, bahkan sebagian masyarakat turut ambil bagian dalam pelaksanaan pembangunan jalan sebagai buruh upah harian, termasuk BP3 SD Ngorabolo yang memanfaatkan momentum itu sebagai pencarian dana (penggalian got = saluran air). Sebagian masyarakat menyatakan tidak puas (terutama di sepanjang ruas jalan Takatunga-Sarasedu), karena sepanjang kurang lebih 2 Km tidak diaspal sehingga dianggap tidak berfungsi pada musim hujan. Inisiatif masyarakat (bahkan turut menyumbangkan dana) dalam pemeliharaan jalan seiring dengan pemerintah daerah dan desa. Tetapi, menjadi menarik, masyarakat justru bertindak sebagai inisiator sekaligus pengambil keputusan dalam perbaikan jalan, tanpa keterlibatan pihak pemerintah desa. Pemdes turut ambil bagian, karena melihat masyarakat sedang melakukan penimbunan lubang atau membersihkan got. Tanpa kontrol dan respons yang minim dari pihak Pemdes menyebabkan perbaikan jalan terkesan asal-asalan.

Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Jalan Ngorabolo-Malakako (1998). Proyek ini juga dibangun atas permintaan masyarakat. Respons atas permintaan ini memberi kepuasaan tersendiri kepada masyarakat, namun terhentinya proses pembangunan akibat kesalahan koordinasi antara konsultan dan kontraktor menyebabkan keterlibatan masyarakat untuk melanjutkannya secara swadaya. Hasil yang tidak maksimal ini mengundang rasa tidak puas masyarakat, padahal tidak sedikit tanaman produktif masyarakat ikut tergusur tanpa ganti rugi. Saat ini kondisi jalan yang menghabiskan dana 150 Juta itu rusak berat, menjadi kali pada saat musim hujan, dan jembatannya telah rubuh. Memang Medan jalan Takatunga cukup berat, sehingga alokasi dana yang direncanakan Rp. 150 juta membengkak hingga 199 juta, itupun belum cukup untuk hasil yang memuaskan. Keterlibatan masyarakat bersama pemdes dalam mencapai sepakat pengalihan dana pembangunan dekker untuk menutupi pembengkaka anggaran cukup menjelaskan tentang pentingnya keputusan bersama dalam kasus ini, sebab pemeliharaan sepenuhnya diserahkan kepada mereka nantinya (meski diakui intervensi pihak konsultan dan kontraktor mendominasi).

Box 3.6. : proyek-proyek di Desa Sangadeto

Program IDT (1996). Kelompok sasaran program ini adalah warga masyarakat yang sudah berkeluarga, kecuali PNS, yang lantas disebut Pokmas. Dalam semua proses baik perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharan anggota Pokmas tidak satupun terlibat dalam penyampaikan ide/gagasan maupun pengambilan keputusan. Mereka tinggal melaksanakan, kerena keputusan berikut perencanaan, tata cara pelaksanaannya berada dalam kewenangan kepala desa dengan bantuan tenaga pendamping yang fungsinya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat (tidak memberikan penyuluhan peternakan, penanama palawija, maupun pemupukan).

Program ini boleh dibilang terhenti (sementara), karena semua kelompok ‘mandeg’ dan uang pengembaliannya dipegang oleh bendahara. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan belum ada pertemuan untuk menyelesaikan masalah, dan tidak mungkin berharap pada tenaga pendamping yang sudah tidak ada. Karena itu, dana sebesar 60 juta terhenti pergulirannya, sementara masih banyak anggota Pokmas yang menunggu gilirannya.

Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Air Bersih dan MCK (1999).

Prasarana air minum diperuntukkan bagi warga dusun Koli, sedangkan Prasarna MCK (mandi, cuci, kakus) diperuntukkan bagi warga dusun Koli, Zepe, dan Olabolo. Seperti program lainnya, ada saja warga yang tidak puas dan yang puas atas proses pembangunannya. Bagi warga yang tidak puas, alasannya menyangkut pengelolaan dana (sumber dan besar dana tidak diketahui)

yang tidak transparan, ketidakterlibatan dalam perencanan dan dalam pengambilan keputusan, untuk kedua prasarana. Dalam aspek pemeliharaan, umumnya dikeluhkan soal rusaknya keran air, pipa-pipa MCK dan kebersihannya, di mana tidak ada orang yang bertugas atau diberi tanggung jawab untuk mengurusnya. Masyarakat sendiri enggan melakukan perbaikan, karena sejak awal merasa tidak dilibatkan. Meski demikian, masyarakat cukup puas dengan tersedianya sumber air bersih (meski keadaan sekarang tumpah ruah tanpa keran) dan MCK yang meski tidak terjaga kebersihannya, tetapi sarananya sudah ada.

Box 3.7. : Proyek-proyek di Desa Todabelu

Peningkatan Saran Air Bersih (Bank Dunia, 1994). Proyek ini merupakan respons atas permintaan masyarakat yang memang sudah lama menghendakinya. Karena itu, selain membaktikan tenaganya, warga desa dan LKMD juga menyumbangkan dana (Bank dunia 68 juta dan warga 5 juta) meski mereka tahu kalau Pemerintah Kelurahan tidak turut menyumbang. Peran LKMD dalam pembangunan ini cukup baik, karena sering memberikan motivasi kepada warga untuk meningkatkan partisipasi. Yang menarik dari proyek ini adalah tidak terlibatnya Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten, karena tidak tahu. Jadi proyek ini merupakan kerja sama langsung antara Bank Bunia dengan masyarakat dan Pemerintahan Desa (termasuk tokoh-tokoh masyarakat).

Masyarakat pada umumnya merasa puas, karena tingginya partisipasi yang ditunjukkan oleh warga umumnya. Karena itu, tidak heran jika airnya lancar sampai saat ini. Namun, masih juga ada sedikit rasa kurang puas dari beberapa warga, yakni menyangkut rasa kepemilikan yang minim dari beberapa warga yang mengikatkan hewan kerbaunya pada pipa air (sehingga rusak), kurang kontrol atas kebersihan, dan sejumlah anak yang iseng memasukan pasir atu kayu ke dalam pipa air.

Proyek Pengeboran Gas Bumi (2000). ‘Idealnya’ proyek ini diperuntukkan untuk masyarakat di Kabupeten Ngada. Saat ini pengeboran sudah selesai akan tetapi belum tampak manfaatnya. Dalam keseluruhan proses, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharan, masyakarakat, LKMD, dan Pemerintah Kelurahan tidak tahu. Oleh sebab itu, tidak satupun masyarakat menyatakan kepuasannya, bahkan sebaliknya menggelisahkan warga yang mulai membaca tanda-tanda yang merugikan kesehatan dan ketenangan penduduk, serta tercemarnya tanaman oleh gas H2S yang berasal dari perut bumi akibat pengeboran.

Box 3.8. : Proyek-proyek di Desa Mangulewa

Proyek Hutan Rakyat (1980). Proyek ini dinilai tidak berhasil oleh masyarakat, karena memang tidak memberikan hasil apa-apa, kecuali sedikit untuk kebutuhan rumah tangga. Meskipun pada tahap perencanan warga terlibat dalam musyawarah (tanpa ikut memutuskan, bahkan jadwal kerja disusun tanpa keterlibatan warga), namun pada proses pelaksanaan dan pemeliharaan warga merasa “ditipu” oleh pemerintah desanya. Pendeknya, warga dimobilisasi untuk penggalian lubang (laki-laki) dan penanaman (perempuan). Tidak puasnya warga dan merasa ditipu, disebabkan janji pemdes tentang adanya upah tenaga kerja dan dana pemeliharaan, namun sampi proyek selesai, dana tersebut tidak pernah diketahui penggunaannya.

Program IDT (1998). Program ini dikhususkan untuk usaha simpan pinjam bagi 10 kelompok. Dana sebesar 60 juta dikabarkan secara transparan kepada masyarakat termasuk pengelolaannya (tiga tahap, 20 juta pertahap), dan karena itu masyarakat merasa puas. Saat ini program terus berjalan, uang perguliran relatif lancar (kecuali kelompok yang usahanya agak tersendat), bahkan jumlah dana semakin lancar dan terdapat anggota yang mulai mengembangkan usaha meubel.

Dengan merujuk deskripsi singkat proyek/program yang dilaksanakan di delapan desa sasaran di atas, terdapat beberapa hal menarik yang dapat diulas lebih jauh. Pertanyaan acuannya adalah: (a) Apa saja akibat-akibat (masalah bawaan) yang ditimbulkan oleh kinerja Pemerintahan Desa dalam

proyek/program?; (b) Bagaimana perbandingan tingkat kepuasan masyarakat atas model pengelolaan proyek/program sebelum dan sesudah tahun 1998?; dan (c) Apakah proyek/program terpilih tersebut berkaitan langsung dengan masalah penting di masing-masing desa?

Jika pertanyaan-pertanyaan a & b di atas coba disandingkan satu sama lainnya maka hasilnya adalah sebagaimana tersajikan melalui Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. berikut ini.

Tabel 3.1. Uraian Akibat (masalah bawaan/implikasi) Kinerja Pemerintah dalam Pengelolaan Proyek/Program pembangunan

D E S A Proyek/ Kinerja Akibat (masalah bawaan)

Program Pemdes Proyek Masyarakat

Mbay II Pengaspalan

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 33-38)