• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang (Kategori I)

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 81-83)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

I. Ketersediaan lahan yang makin

4.1.3. Masalah ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang (Kategori I)

Masalah ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang’ terjadi dalam 5 kejadian di empat desa. Deskripsi masing-masing kejadian di keempat desa dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Box 4.3 berikut.

Box 4.3 : Deskripsi kasus-kasus ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang’ Mbay II memiliki padang penggembalaan seluas 127 Ha. Lahan ini digunakan masyarakat adat Mbay - Dhawe yang tinggal di sekitarnya untuk memelihara ternak.

Tahun 1970-an, mulai banyak wilayah padang penggembalaan yang berubah menjadi kebun warga. Tahun 1995, area ini mulai dijadikan perkebunan dan pemukiman translok (Waekokak). Pada tahun 2000, ada juga wilayah yang dijadikan pemukiman (di Makipaket) yang masih termasuk dalam wilayah administrasi kelurahan Mbay II dan juga dijadikan tambak garam.

Sebagai akibat dari perubahan fungsi padang penggembalaan menjadi kebun dan pemukiman translok di wilayah Mbay II, ternak menjadi kurus sehingga minat warga untuk beternak pun berkurang.

Akar masalah yang tercatat sebagai penyebab berkurangnya padang penggembalaan di Mbay II adalah 1) Perluasan areal persawahan; 2) Sawah garam yang semakin luas; 3) Populasi rumput semakin berkurang; 4) Perluasan pemukiman (translok); 5) Perluasan kebun/ladang.

Belum ada upaya yang dilakukan warga Mbay II untuk mengatasi masalah padang penggembalaan yang berkurang.

Di desa Langedhawe, hutan (hutan koli?) selain berfungsi sebagai pelindung dari erosi juga berfungsi sebagai sumber kayu bangunan dan kayu bakar. Tetapi dilihat dari perkembangannya sejak tahun 1970 sampai tahun 2000, mutu dan ketersediaan hutan semakin berkurang. Area hutan semakin menyempit.

Masalah mutu dan ketersediaan hutan yang semakin menurun di desa Langedhawe mengakibatkan debit air menurun dan juga berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah. Warga mulai merasakan kekurangan balok untuk membangun rumah. Warga yang biasa membuat tuak juga merasakannya.

Mutu dan ketersediaan hutan di desa Langedhawe semakin menurun, disebabkan karena 1) Pembangunan rumah baru sehingga kebutuhan kayu bangunan meningkat dan penebangan kayu pun bertambah; 2) Dana/biaya terbatas dan penanaman pohon kurang; 3) Membuka kebun dengan sistem tebas bakar; 4) Keinginan warga untuk mendapat rumput baru, sehingga sering terjadi kebakaran; 5) Erosi tanah karena sistem ladang berpindah; 6) Lemahnya sistem kontrol/pengawasan dari masyarakat adat; 7) Berburu adat.

Terhadap masalah mutu dan ketersediaan hutan yang semakin menurun, warga desa Langedhawe memberlakukan sumpah adat pire yang dlaksanakan pada 25 Maret 1995 (larangan untuk membakar hutan) berikut penerapan sanksi adat kepada para pelanggar, pemadaman api secara bersama-sama jika terjadi kebakaran hutan, dan penghijauan/reboisasi secara swadaya.

Sumpah adat pire dan penerapan sanksi adat kepada para pelanggar melibatkan warga desa Langedhawe berikut tokoh adat dan Pemdes.

Pemadaman api secara bersama dilakukan oleh warga, anak sekolah, dan tokoh masyarakat. Pengijauan/reboisasi secara swadaya melibatkan Pemdakab/Dinas Kehutanan, Pemdes, warga, tokoh masyarakat, dan LSM.

Pemberlakuan sumpah adat pire dan penerapan sanksi adat kepada para pelanggar oleh warga desa Langedhawe dianggap kurang berhasil karena hanya sedikit mengurangi masalah. Sedangkan pemadaman api secara bersama-sama dianggap berhasil mengatasi masalah kebakaran hutan. Penghijauan/reboisasi secara swadaya dianggap berhasil, karena ide berasal dari pemerintah yang kemudian ditindaklanjuti oleh warga dengan disertai dukungan benih/bibit dari LSM.

Ketersediaan lahan di desa Takatunga semakin menurun. Kalau pada tahun 1970-an setiap KK dapat memiliki minimal 2 Ha tanah, sekarang hanya sekitar 0,5 - 1 Ha saja. Padahal kebutuhan akan lahan semakin meningkat dengan adanya pertambahan jumlah penduduk.

Warga desa Takatunga mulai merasakan lahan untuk pengembangan tanaman pangan sudah tidak mencukupi lagi, begitu juga untuk pemukiman yang terasa sudah sempit dan berdesakan. Terutama bagi keluarga baru (generasi muda) yang ingin membangun rumah. Akhirnya kebutuhan akan lahan ini pun menyebabkan kecemburuan sosial di antara keluarga.

Penyebab dari masalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang di desa Takatunga adalah faktor pertambahan penduduk, dimana keluarga-keluarga yang baru terbentuk tetap memilih untuk tinggal di desa.

Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh warga Takatunga, yaitu 1) Menggarap tanah orang lain dan membeli tanah di desa tetangga (Kuruladu, Zaa); 2) Meminta tanah garapan pada orang lain; 3) Melakukan transmigrasi.

Upaya membeli tanah di desa Takatunga melibatkan warga, kelompok arisan, dan tokoh masyarakat (adat, pemerintah, agama). Upaya meminta tanah garapan pada orang lain hanya melibatkan warga yang membutuhkan saja. Upaya melakukan program transmigrasi melibatkan warga, Pemdes, dan Pemdakab.

Upaya warga Takatunga dalam menghadapi masalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang cenderung dianggap tidak berhasil, lihat uraian berikut ini:

Upaya dengan menggarap tanah orang lain dan membeli tanah di desa tetangga dianggap kurang berhasil, walaupun keluhan akan kekurangan lahan memang berkurang. Upaya meminta tanah garapan pada orang lain dianggap tidak berhasil, karena tanah tersebut masih digarap oleh pemiliknya. Upaya untuk mengikuti program transmigran dianggap tidak berhasil. Disamping karena jumlah warga yang melakukannya sedikit, juga karena ada warga yang kembali lagi. Sejak tahun 1970-an sampai dengan sekarang, ketersediaan tanah di kelurahan Todabelu

mengalami penurunan. Sehingga tanah yang tersedia sudah tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada.

Masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit di kelurahan Todabelu mengakibatkan perkara tanah di antara keluarga maupun antara soma meningkat, adanya kecemburuan sosial di antara warga karena pembagian warisan tanah yang tidak adil, hasil menurun, adanya pencurian hasil kebun, dan pencarian kerja ke luar daerah.

Ketersediaan lahan yang semakin sempit di kelurahan Todabelu disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk, banyaknya lahan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan bangunan (sarana) umum, banyaknya tanah yang dijual ke orang lain, dan pergeseran jenis tanaman pangan ke tanaman umur panjang.

Masalah ketersediaan lahan yang semakin menyempit di kelurahan Todabelu diatasi dengan upaya pengembangan kelompok arisan (dalam soma) untuk membeli tanah, ikut serta dalam program transmigrasi, dan menjadi TKI ke luar negeri.

Upaya pengembangan kelompok arisan (dalam soma) di kelurahan Todabelu untuk membeli tanah melibatkan kepala soma dan anggota soma. Upaya melakukan program transmigrasi melibatkan pemerintah kelurahan, Pemdakab, dan keluarga yang mengalami kekurangan lahan. Upaya menjadi TKI ke luar negeri melibatkan warga, orang tua, pemerintah setempat, biro jasa tenaga kerja, Depnaker, dan Depkes.

Ketiga upaya yang dilakukan warga Todabelu dianggap tidak berhasil dalam mengatasi masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit. Upaya pembelian tanah melalui kelompok arisan dalam soma dianggap tidak berhasil, karena mengundang masalah baru seperti perkara tanah, tindak kekerasan dan saling rebut. Upaya program transmigrasi dianggap kurang berhasil, walaupun warga sudah memperoleh tanah baru dan ada kemudahan dari pemerintah. Ada beberapa keluarga yang mengikuti transmigrasi ke Maronggela (lokal) dan Kalimantan Barat.

Upaya menjadi TKI ke luar negeri dianggap tidak berhasil, karena jumlah warga yang ikut serta tidak banyak dan dampaknya terhadap masalah belum terasa.

Ada beberapa filosofi yang digunakan berkaitan dengan masalah ketersediaan lahan yang semakin sempit, yaitu: (1) Ghose ngusu jura lange (tanah yang tidak boleh dijual, tetapi hanya untuk diolah saja); (2) Ngada dara pengi ngeghe (kepentingan mendesak secara bersama, khusus untuk rumah adat); (3) Pega jega gose goru (kalau sudah dijual jangan diambil lagi, kalau sudah dipatok jangan dicabut lagi); dan (4) Bagi zia regha pawe, ma'e papa tange (jangan baku rebut tanah yang sudah dibagikan).

4.1.4. Masalah ‘kurang/tidak adanya sarana penghubung yang tidak

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 81-83)