• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komuniti & Sistem Pengelolaan Hidup Bersama

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 55-60)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

3.2. Komuniti & Sistem Pengelolaan Hidup Bersama

Dari household survey diketahui bahwa, kecuali di Mangulewa (Kec. Golewa), tiga kegiatan bersama yang paling sering diikuti oleh anggota rumah tangga adalah kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai ‘kelompok kerja’, ‘agama’, dan ‘pelayanan sosial’. Di Mangulewa sendiri, kegiatan bersama yang paling banyak diikuti adalah ‘agama’, di susul oleh ‘keuangan/kredit’ yang diselenggarakan sendiri oleh masyarakat dan ‘keuangan/kredit ‘ yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Adapun yang dimaksud dengan ‘kelompok kerja’ di sini amat beragam bentuknya, sesuai dengan tujuan untuk apa ‘kelompok kerja’ itu dibentuk/diselenggarakan.Mulai dari untuk keperluan menggarap sebidang tanah pertanian (disebut kelompok kerja kebun); panen; memperbaiki saluran irigasi sawah; hingga untuk membangun dan/atau memperbaiki rumah dan lain sebagainya. ‘Kelompok kerja’ ini ada yang permanen (artinya keanggotaannya tetap) dan ada pula yang tidak. Kegiatannya pun ada yang reguler (tetap) dan ada pula yang insidental. Begitu pula, di lihat dari anggotanya, ada yang khusus kaum laki-laki atau perempuan saja; ada pula yang khusus anak remaja atau kategori umur tertentu saja. Namun, umumnya, adalah campuran kesemuanya itu; terbuka bagi semua jenis kelamin dan kelompok usia. ‘Kelompok kerja’ ini pada umumnya berbasis teritorial. Baik atas dasar satuan wilayah garapan atau satuan tempat tinggal. Jika itu menyangkut satuan tempat tinggal, umumnya lebih kecil daripada

5

Sewaktu penelitian ini berlangsung, khususnya pada Tahap 2 (household survey) dan Tahap 3 (qualitative data collection), tim peneliti adakalanya tidak bisa langsung melakukan tugasnya. Ini terjadi karena tim peneliti belum ketemu dengan Kepala Desa atau pihak lain yang dapat mewakilinya. Sementara petugas yang kebetulan ada tidak berani langsung mengizinkan, karena itu bukan

wewenangnya. Ada keharusan untuk menunggu kesempatan bertemu dengan Kepala Desa terlebih dahulu. Setidak-tidaknya dengan Sekretaris Desa. Akibatnya waktu penelitian yang sebenarnya relatif terbatas itu makin jadi lebih terbatas lagi.

satuan wilayah administrasi desa sekarang ini. Biasanya berada di tingkat dusun.

Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘pelayanan sosial’ di sini adalah kegiatan-kegiatan semacam arisan untuk penyelenggaraan berbagai keperluan adat, seperti pengadaan belis (mas kawin yang harus diserahkan seorang pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita), arisan penyelenggaraan pesta perkawinan, penyelenggaraan upacara adat, pembangunan rumah adat, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Berbagai kegiatan arisan untuk berbagai kegiatan adat ini pada dasarnya adalah untuk meringankan beban pihak yang kebetulan sedang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dimaksud. Namun, layaknya sebuah arisan, bantuan yang diterima ini harus dibayar pada kesempatan lainnya (atau malah sudah ditabung terlebih dahulu melalui bantuan yang diberikan pada pihak yang membutuhkannya lebih awal). Gambaran lebih lanjut tentang salah satu bentuk kegiatan ‘pelayanan sosial’ lihat Box 3.9 berikut.

Box 3.9 : Gambaran Umum Arisan Belis

Arisan belis merupakan kegiatan yang mendukung upacara adat, antara lain dalam pembelisan. Arisan belis juga didukung oleh pihak gereja, artinya pasangan muda sebelum memasuki acara nikah di gereja, supaya menyelesaikan urusan adatnya dulu sehingga tidak menghambat perberkatan di gereja. Arisan belis sudah berlangsung sejak nenek moyang dan diwariskan sampai sekarang. Tujuan arisan belis adalah untuk meringankan tuntutan belis yang jumlahnya sangat besar, dan tidak mungkin ditanggung sendiri oleh pihak yang hendak membayar belis.

Alasan mengikuti arisan belis adalah : merupakan ketentuan adat sejak zaman nenek moyang dahulu; perkawinan adalah tanggung jawab semua anggota keluarga; jika tidak ikut maka pada giliran yang bersangkutan tidak ada yang akan menolongnya. Selain itu mereka masuk menjadi anggota arisan belis karena berminat dan merasa bahwa pembayaran belis tidak mampu ditanggung sendiri. Arisan belis terdiri dari anggota masyarakat yang merasa

membutuhkan keringanan dalam pembayaran belis yang begitu besar. Dengan demikian arisan belis terbuka untuk siapa saja, termasuk para pendatang. Pihak-pihak yang selalu terlibat dalam kegiatan belis adalah : keluarga dari dua belah pihak; tua-tua adat; tokoh masyarakat; delegator (yaitu orang yang diminta oleh keluarga pria sebagai perantara); keluarga besar (ana woe) dalam suku.

Peranan belis bagi keluarga perempuan adalah sebagai tanda penghargaan laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya; tanda balas jasa dari orang tua perempuan; bagi laki-laki dan perempuan, sebagai pengikat antara laki-laki dan perempuan; bagi keluarga laki-laki; menjaga kehormatan keluarga; membalas jasa keluarga perempuan; bagi laki-laki yang hendak menikah, sebagai ungkapan penyerahan tanggung jawab atas keselamatan dirinya kepada keluarga pihak perempuan. Jadi itulah sebabnya belis biasanya berjumlah banyak dan orang merasa wajib untuk memenuhinya.

Hubungan kelompok arisan belis dengan pemerintah desa, apabila ada anggota yang punya hajat, misalnya urusan belis, kepala desa atau kepala dusun pasti diundang dalam kapasitasnya sebagai pemimpin di desa. Sedangkan dalam urusan belis bisa juga diundang tetapi atas nama pribadi. Kalau sebagai pribadi, ia adalah bagian dari keluarga besar yang masih ada hubungan perkawinan atau masih dalam suku.

Aturan dalam arisan belis : mula-mula mengumpulkan anggota keluarga yang

bersangkutan untuk merundingkan tanggal pelaksanaan arisan belis; mengundang orang-orang yang akan terlibat dalam arisan; kemudian membagi-bagi tanggunggan belis. Semua tanggapan diumumkan dan diketahui oleh yang hadir. Zaman sekarang dicatat dengan baik agar di lain waktu, orang yang punya hajad dapat membalas setimpal dengan sumbangan yang diperolehnya dari seseorang apabila diundang dalam acara yang sama.

Arisan belis tidak mempunyai aturan yang ketat dan jelas. Segala urusan kelompok secara alamiah dipahami oleh anggota, termasuk bentuk dan besarnya sumbangan yang diberikan. Sanksi yang dikenakan kepada anggota kelompok pada dasarnya berkaitan erat dengan aturan dalam kelompok yang memang tidak ketat dan tegas. Yang ditekankan oleh

kelompok adalah kemauan baik dari masing-masing anggota untuk menyumbang. Bagi anggota yang memang belum dapat memberikan sumbangan karena berbagai alasan, maka kelompok tidak boleh memaksa, asal saja yang bersangkutan tetap aktif dalam kegiatan kelompok. Kalau ada anggota yang dengan sengaja meninggalkan kelompok, tidak memberi sumbangan, dan tidak aktif dalam kegiatan kelompok, maka segala sumbangan yang telah diterimanya dari anggota lain harus ditagih kembali. Selain itu juga masih ada sanksi sosial, dimana kelalaian membayar belis dengan memberikan sumbangan, maka orang lainpun tidak akan membantu kalau yang bersangkutan membutuhkan bantuan. Karena itu, setiap anggota yang menerima sumbangan harus mncatat orang-orang yang memberikan sumbangan kepadanya, juga bentuk

sumbangannya.

Dalam perkembangannya, lingkup kegiatan arisan belis sudah berubah, tidak hanya urusan belis tetapi berkembang seperti kelompok kebun, dan arisan bulanan. Hal ini

berkembang sejak tahun 1976, karena beban belis semakin ringan. Dalam urusan belis, perubahan yang terjadi sekarang ini bentuknya tetap berupa hewan, emas dan parang, hanya jumlahnya berkurang. Perubahan lain adalah banyak terjadi kawin masuk sehingga sudah tidak dibelis lagi dan pria menetap di rumah keluarga perempuan.

Arisan-arisan adat ini muncul sebagai mekanisme untuk mengatasi ‘beban’ penyelenggaraan adat yang cukup besar jika ditanggung sendiri. Meski begitu, ia bukanlah sama sekali sesuatu yang ‘baru’ dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu mekanisme ia sudah berjalan dalam adat yang ‘lama’. Ambil contoh soal adat belis atau ‘sumbangan’ binatang korban (babi) ketika ada suatu kasus kematian misalnya. Segala sesuatu yang diserahkan pada dua kejadian ini akan menjadi ‘hutang’ bagi yang menerimanya. Artinya, jika peristiwa yang sama dialami oleh pihak yang memberikan ‘sumbangan’ tadi maka pihak penerima terdahulu harus melakukan hal yang sama. Tidak boleh kurang, tapi boleh lebih. Jika pihak penerima pertama belum sempat ‘membayar hutangnya’ maka hutang itu beralih kepada anak-cucunya. Uniknya, ‘pembayaran hutang’ itu kembali akan menjadi ‘hutang baru’ bagi penerimanya. Begitu seterusnya. ‘Hutang-piutang’ ini tercatat rapi dalam memori kolektif keluarga dan diketahui pula oleh ‘umum’.

Kegiatan-kegiatan ‘kelompok kerja’ dan ‘pelayanan sosial’ di atas digerakkan oleh apa yang disebut sebagai foe. Foe pada dasarnya adalah aturan adat yang mengatur masyarakat agar saling bekerjasama saling tolong- menolong. Foe dapat pula diterjemahkan secara langsung sebagai gotong- royong itu.

Kegiatan bersama ketiga yang menonjol adalah ‘kegiatan-kegiatan keagamaan’. Seluruh kegiatan keagamaan ini dikoordinasikan oleh organisasi- organisasi keagamaan pula. Sebagaimana diketahui, seluruh kegiatan keagamaan ini dikoordinasikan oleh gereja. Secara kewilayahan, di tingkat lokal, organisasi gereja ini berpucuk pada sebuah keuskupan dan berpangkal kepada kelompok doa. Kelompok Doa terdiri dari beberapa rumahtangga saja. Kelompok doa adalah lapisan terbawah dari hirarki pengorganisasian komunitas Gereja Katolik. Sebagai bagian dari gereja maka tentunya kegiatan rutin kelompok doa adalah kegiatan-kegiatan keagamaan. Meski begitu dalam organisasi ini adakalanya juga dibicarakan soal-soal yang menyangkut kebutuhan atau masalah sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi oleh anggotanya. Gambaran lebih lanjut lihat Box 3.10 berikut ini.

Box 3.10 : Gambaran Umum Kelompok Doa

Nama yang cocok untuk kelompok ini sebenarnya adalah “Kelompok Umat Basis” (KUB).

Kecenderungan memberikan nama “kelompok Doa” karena kegiatan yang paling menonjol adalah kelompok doa bersama. Kelompok doa tidak dibentuk berdasarkan kemauan anggota tetapi sudah ditentukan oleh tingkatan yang lebih tinggi. Kelompok dibagi berdasarkan pertimbangan praktis letak geografis. Hal ini berkait dengan ketika seseorang membutuhkan bantuan orang lain, maka ia akan mencari kelompoknya, sehingga dianjurkan untuk memilih kelompok yang saling berdekatan tempat tinggal.

Alasan menjadi anggota kelompok doa adalah karena beragama Katolik, dan sudah ditentukan oleh dari keuskupan dan paroki bahwa setiap orang Katolik harus menjadi anggota gabungan/ kelompok doa, kalau tidak, akan dipersulit dalam menerima sakramen-sakramen. Manfaat langsung yang diperoleh dengan menjadi anggota kelompok doa adalah kemudahan memperoleh pelayanan dalam hal keagamaan seperti permandian, pernikahan, kematian, doa dan pelayanan sosial seperti saling membantu pada saat terjadi musibah, kebersamaan dalam menyelenggarakan hajatan, dan lain-lain.

Faktor pengikat di antara anggota adalah rasa kebersamaan sebagai umta Katolik, kedekatan tempat tinggal, adanya aturan-aturan yang dibuat bersama yang mengikat semua anggota kelompok dan semua anggota masih ada hubungan keluarga. Dalam perkembangannya, faktor pengikat lain adalah kegiatan mementori (arisan kematian dalam kelompok doa). Kegiatan yang utama dalam kelompok adalah ‘doa bersama’, selain itu ada kegiatan lain seperti arisan, mengumpulkan dana sesuai dengan ketentuan paroki, kerja kebun, dan lain-lain.

Kelompok doa dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh anggotanya dengan direstui oleh Dewan Pastori Paroki (DPP), sedangkan pengurus lain dtentukan oleh ketua dengan direstui oleh DPP. Faktor yang menyebabkan seseorang dapat diterima sebagai pemimpin doa adalah ; dapat menjadi teladan yang baik, berasal dari golongan mosalaki, berwibawa, mampu

memimpin, pendidikan cukup, wawasan luas, mampu merangkul umat, mampu bekerjasama keatas dan kebawah, ekonomi keluarga mampu, sering berkecimpung dalam banyak organisasi kemasyarakatan.

Tugas seorang pemimpin antara lain ; membina umat agar imannya semakin

berkembang; menyadarkan umat akan pentingnya membayar iuran kepada gereja; memimpin umat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan masyarakat; menggiatkan perkumpulan

mementori, dan sebagainya. Meskipun ketua kelompok menjalani aturan yang digariskan oleh paroki, namun ia tetap mempunyai wewenang yang turut mendukung efektifitas

kepemimpinannya, dimana wewenang tersebut sangat mempengaruhi kehidupan anggota kelompok, yaitu : memberikan rekomendasi kepada anggota untuk menerima pelayanan gereja khususnya pelayanan sakramen seperti pemandian, komuni bersama, pernikahan, menagih dana-dana yang sudah ditetapkan oleh paroki atau stasi, mengatur segala urusan kelompok, paroki dan stasi, menjadi pemimpin upacara doa pada tingkat kelompok umat basis, memberi status liber yaitu keterangan bahwa seseorang belum menikah terutama bagi yang ingin menikah di luar wilayah paroki.

Proses terbentuknya aturan main dalam kelompok doa, penggagas bisa siapa saja di dalam kelompok doa melontarkan gagasannya kemudian dimusyawarahkan dan diputuskan. Aturan yang datangnya dari pengurus yang lebih di atas, anggota kelompok tinggal

melaksanakannya saja. Contoh, pada pembagian jadwal pembersihan gereja, yang tinggal diumumkan saja oleh Dewan Paroki sehingga KUB tinggal melaksanakannya saja. Demikian pula halnya dengan besar keuangan yang harus dibayar oleh KUB, diputuskan oleh Dewan Paroki dan pengurus kelompok tinggal menyampaikan kepada anggota kelompok doa dan dilaksanakan.

Sanksi selalu berkaitan dengan aturan, karena itu sanksi atas pelanggaran juga ditentukan oleh paroki atau stasi. Orang yang melanggar aturan paroki akan mendapat sanksi tegas dari paroki, misalnya pelayanan gereja. Orang yang melanggar tidak diberikan pelayanan tertentu, yakni pelayanan yang dirasakan sangat penting bagi seorang anggota gereja, misalnya pelayanan sakramen. Pelayanan akan diterima kembali setelah aturan yang dilanggar tersebut dipenuhi atau setelah kewajiban-kewajiban tertentu dilaksanakan, misalnya pembayaran sejumlah uang.

Hubungan antar jaringan yang dikembangkan dalam kelompok doa umumnya

hubungan hirarkis yang memudahkan pelayanan, seperti Kelompok doa – Lingkungan – Stasi – Paroki. Hubungan antar kelompok doa sifatnya temporer bilamana ada kebutuhan yang tidak bisa diatasi, seperti kekurangan anggota untuk koor, bisa meminjam dari kelompok doa lain

yang berdekatan. Dalam kaitan dengan uang, kelompok doa juga mengembangkan jaringan dengan BRI. Hubungan ini berkaitan dengan pengamanan uang yang terkumpul dari anggota kelompok doa. Bentuk dukungan dari pemerintah desa/kelurahan biasanya bisa berupa dana maupun dukungan lain seperti keamanan pada saat upacara keagamaan berlangsung. Dukungan ini diberikan oleh pemerintah karena kelompok doa merupakan salah satu wadah pembinaan mental spiritual umat yang dapat menunjang pembangunan. Hambatan yang muncul adalah perbedaan pendapat antara pemimpin gereja dan tokoh adat. Di satu sisi

pemimpin adat mempertahankan proses perkawinan adat dengan tahap-tahap yang harus dilalui seperti adanya belis. Sedangkan dari sisi gereja beranggapan bahwa walaupun secara adat sudah dilalui tetapi jika belum ada pernikahan gereja dianggap sebagai kawin pintas.

Tiga kegiatan bersama yang paling menonjol hasil household survey di atas menunjukkan bahwa aturan, jaringan, dan kepemimpinan yang bersumber dari unsur adat dan agama masih memiliki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.Bahkan, dalam banyak kesempatan, aturan, jaringan, dan kepemimpinan adat dan agama ini turut mempengaruhi hal-hal yang ada dalam sektor formal (pemerintahan).

Memang, sejauh informasi yang dapat dikumpulkan di lapangan, jauh sebelum unsur pemerintahan formal masuk, masyarakat setempat telah mengembangkan sistem pengaturan/pengelolaan hidup bersamanya sendiri. Organisasi pengelola kehidupan bersama ini berpusat pada dua sistem pengorganisasian. Pertama, adalah woe yang mengacu pada suatu persekutuan sosial dari orang-orang yang mengaku seasal-usul; dan kedua, adalah bo’a dan/atau di sebagian Kec. Aesesa disebut juga ola atau nggolo. Bo’a dan nggolo, meskipun juga dihuni oleh orang-orang yang seasal-usul, lebih mengacu pada sistem pengaturan/pengelolaan hidup di suatu wilayah teritorial tertentu. Bo’a atau nggolo pada dasarnya hanyalah mengatur ketertiban kehidupan di lingkungan tempat tinggal tertentu saja. Urusan lain, seperti hal-hal yang menyangkut penguasaan terhadap sumber-sumber kehidupan, masalah perkawinan, penyelenggaraan upacara adat, diurus melaui woe.

Dalam konteks tertentu, woe terdiri unsur-unsur yang disebut mawa dan sepi. Mawa mengacu pada gabungan dari semacam ‘faksi’ yang ada dalam woe yang bersangkutan. Faksi itu sendiri adalah apa yang disebut sepi. Sepi sendiri mengacu pada persekutuan sosial dari orang-orang yang mengaku seasal usul. Dengan demikian, mawa adalah persekutuan dari sejumlah sepi yang membentuk mawa yang bersangkutan. Dari beberapa kisah terbentuknya mawasepi atau woe yang ada di beberapa desa yang diteliti terlihat ada latar belakang yang relatif beragam. Dua tema yang menonjol adalah, pertama, sebagai akibat dari proses adanya ‘pendatang’ ke wilayah hidup suatu woe tertentu, dan kedua, akibat lanjut dari hubungan antar kelompok dalam suau peristiwa perang antar woe.

Woe sendiri terbagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok sosial. Kelompok pertama adalah kelompok mosalaki, yaitu kelompok yang memiliki semacam previledge, khususnya yang menyangkut hak penguasaan atas tanah dan kepemimpinan dalam komuniti yang bersangkutan. Kelompok mosalaki ini terdiri dari keluarga-keluarga dari garis keturunan laki-laki. Anak-anak dari saudara perempuan mosalaki kehilangan haknya menjadi warga kelompok mosalaki. Kelompok kedua adalah ‘kelompok warga biasa’. ‘Kelompok warga biasa’ ini berasal dari keturunan dari anak-anak saudara perempuan para mosalaki. Kelompok ketiga adalah kelompok yang disebut ro’o, yaitu orang-

orang yang telah kehilangan ‘hak adatnya’ dalam komuniti yang bersangkutan karena sesuatu dan lain hal. Misalnya melakukan pelanggaran aturan-aturan adat yang ada. Sebab itu pula, kelompok ro’o ini seringkali diterjemahkan sebagai ‘kelompok budak’. Di sebut demikian karena kehidupannya tergantung pada ‘kebaikan hati’ para mosalaki dalam komunitas itu.

Dalam konteks suatu woe mewujudkan persekutuan sosial seperti mawasepi di atas, biasanya, ada pula perbedaan hak dan tugas-tugas adati antar sepi. Walaupun setiap sepi memiliki pengelompokan-pengelompokan sosial seperti halnya woe di atas, setiap sepi memiliki hak dan kewajiban yang berbeda satu sama lainnya. Di luar perbedaan atas dasar tugas-tugas adat yang diperankannya, biasanya perbedaan yang paling signifikan adalah bahwa hak penguasaan atas tanah berada di tangan sepi yang dianggap sebagai sepi pokok atau utama.

Dengan konfigurasi hubungan antar kelompok yang demikian itu maka dinamika kehidupan sosial di dalam woe dan atau mawasepi ditandai oleh pertarungan antar kelompok. Baik antara kelompok mosalaki –- non-mosalaki maupun antar sepi yang memang tidak memiliki hak yang sama itu. Pada masa lalu, pertarungan itu terwujud ke dalam sejumlah perperangan antar woe. Muara dari seluruh perperangan itu adalah klaim hak atas tanah tertentu. Karena itu pula, pada hari ini, tak ada satupun woe yang keberadaan ‘tanah suku’-nya terbebas dari kisah perperangan antar woe ini. Pada masa- masa berikutnya, seiring dengan masuknya kekuatan politik lain ke dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan, pertarungan itu terwujud ke dalam bentuk dukungan kepada kekuatan yang datang dari luar itu sendiri, dengan harapan bahwa kekuatan dari luar itu dapat menjadi semacam sumber legitimasi bagi keberadaan dan atau dominasi kelompok-kelompok yang bersangkutan dalam struktur sosial yang ada.

Ketika pemerintah kolonial Belanda masuk dan memberlakukan sistem pemerintahan Daerah Swapraja di awal abad 20 ini, di tingkat komunitas, diperlakukan pula sistem pemerintahan wilayah administratif yang disebut gemeente (Bah, Belanda), atau yang dalam bahasa lokalnya disebut hamente, yang dipimpin oleh seorang Kepala Hamente. Tidak terlalu jelas apa kriterianya untuk menjadi sebuah hamente ketika itu. Namun, pembentukannya diduga atas dasar wilayah woe. Kepala Hamente pun dipegang oleh ‘fungsionaris adat’ woe yang bersangkutan.

Sebagaimana yang akan terlihat nanti, dengan demikian, sikap terhadap kehadiran berbagai ‘kekuatan baru’ relatif beragam dalam komuniti yang bersangkutan. Meski begitu, biasanya, ditanggapi ‘positif’ oleh, terutama, kelompok elit, dalam rangka mempertahankan kedudukannya. Dalam banyak kasus, ditanggapi ‘positif’ pula oleh kelompok-kelompok yang kedudukannya kurang diuntungkan dalam konstelasi tatanan yang lama. Bagi kelompok yang kedua ini sumber-sumber kekuatan baru dilihat sebagai peluang untuk keluar dari tatanan yang tidak menguntungkannya itu. Dalam situasi yang demikian itu sumber-sumber kekuatan baru akan menjadi rebutan. Dalam perebutan itu ikatan-ikatan primordial lama akan jadi pengikat rasa solidaritas bersama pula.

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 55-60)