• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Internal (a) Sistem sosial yang timpang

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 121-132)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

I. Ketersediaan lahan yang makin

4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Lokal

4.2.2. Pelajaran dan Kasus Sengketa Tanah (1) Pengantar

4.2.3.1. Faktor Internal (a) Sistem sosial yang timpang

Ada dua hal yang menyangkut masalah sistem sosial yang timpang ini. Pertama, soal kedudukan ‘istimewa’ kelompok mosalaki; dan kedua, adanya ketidaksetaraan status dan peran di antara ‘faksi’ di dalam suatu woe, atau mawasepi, atau yang secara populer sekarang ini disebut suku.

Sistem sosial yang merupakan produk proses sosial politik pada masa- masa sebelumnya ini sangat jelas memperlihatkan ketidakmerataan akses sumber daya dan politik. Mosalaki memegang seluruh sendi kehidupan lapisan sosial yang lain, sehingga apapun upaya yang dilakukan oleh golongan non mosalaki, ia tetap tidak akan mempunyai akses sumber daya dan politik yang sama sebagaimana mosalaki hanya karena ia bukan keturunan mosalaki. Sistem sosial seperti itu potensial menyebabkan kohesi sosial masyarakat di masing-mamsing komuniti yang diteliti terancam, yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses penciutan kapasitas lokal bersama-sama dengan masuknya faktor-faktor eksternal. Dalam jangka panjang, proses penciutan kapasitas lokal ini menyebabkan kinerja kapasitas lokal menjadi rendah.

(b) Pergeseran nilai-nilai sosial menjadi nilai-nilai ekonomi

Pergeseran nilai sosial menjadi nilai ekonomi terjadi di berbagai sisi kehidupan seperti pergeseran tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam, perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam komuniti, feo (kerja gotong royong), upacara adat dan interaksi sosial, dan nilai-nilai komunal menjadi individu (semangat kekeluargaan dan kebersamaan melemah).

(c) Pergeseran tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam

Menurunnya ketersediaan dan kualitas pelayanan alam sangat berkaitan dengan persoalan tata guna dan tata kuasa atas sumber daya alam. Dulu, di

Totomala misalnya, komuniti menjaga alam melalui aturan adat dengan pembagian kerja, misalnya suku Dodo mengatur masalah tanah, suku Bupo mengatur sumber daya yang lain sehingga keterjagaan dan pelayanan SDA tetap terjaga. Komunitas berjuang bersama untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam dengan mentaati kearifan-kearifan lokal serta aturan-aturan adat, selalu mengutamakan kebersamaan dan tidak memperhitungkan nilai ekonomis dari satu kegiatan bersama, artinya lebih mementingkan nilai sosial ketimbang nilai ekonomis. Sekarang komuniti mulai bergeser dari nilai pelestarian kepada pemanfaat sumber daya alam (tata kuasa individu). Misalnya penguasaan akan padang garam, hutan atau padang rumput secara individu. Tidak ada lagi upacara-upacara adat yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam seperti upacara adat di mata air atau tempat tertentu agar air tetap besar, pohon-pohon besar terjaga, dan burung-burung terlindungi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan pola hidup yang selalu mengikuti perkembangan zaman, sehingga menggeser nilai adat yang diwariskan oleh nenek moyang.

(d) Perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam komuniti

Di dalam komuniti, berjalan paralel dengan pertambahan penduduk, penggunaan tanah dan kebutuhan hidup lainnya juga semakin meningkat. Pertambahan penduduk yang disebabkan oleh kurang berhasilnya program KB (Takatunga), kasus kawin kontrak (dengan buruh-buruh proyek, Todabelu), tradisi ‘kawin masuk’ (Takatunga), dan banyaknya pendatang (termasuk buruh-buruh proyek dan PNS, Todabelu), telah menuntut adanya sarana pemukiman yang semakin luas. Di samping itu, banyaknya kasus penjualan tanah ke orang lain, dan peruntukan lahan untuk perkebunan juga telah menambah semakin sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi yang demikian, tak mengherankan jika seiring dengan sempitnya lahan, orang semakin merasa perlu untuk menguasai tanah dan memperjelas batas tanah yang diklaim sebagai miliknya ataupun milik suku tertentu. Kepentingan ini dilandasi oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat sehingga penguasaan atas sumber daya alam mutlak diperlukan.

(e) Memudarnya foe (kerja gotong royong)

Foe atau kerja gotong royong merupakan satu bentuk kerjasama antara warga masyarakat. Kerjasama ini sebenarnya mendorong orang untuk tidak lagi menjadi kuli pada orang lain. Foe ada dua macam, yaitu foe kedhi yang terdiri dari 10 –20 orang dan foe meze yang terdiri dari 200 – 300 orang. Keterlibatan orang dalam foe berdasarkan wilayah teritorial, yaitu sekampung, tetapi bisa juga dengan kebun-kebun yang berdekatan. Dalam foe kedhi maupun foe meze tidak terlalu dipentingkan soal makan dan minum. Makan apa adanya seperti ubi, jagung, pisang, dan lain-lain tetapi harus ada daging karena daging dianggap sebagai perekat.

Dalam foe meze yang terlibat adalah orang-orang dari beberapa kampung, baik dari keluarga kerabat maupun dari orang-orang yang dikenal. Dengan foe ini orang-orang merasa persaudaraan tinggi dan akrab. Foe mulai makin jarang dilakukan. Apalagi foe meze. Dalam mengerjakan kebun fungsi foe sekarang sudah mulai digantikan traktor dan untuk tanam dan menyiang menyewa tenaga dengan upah harian.

(f) Pergeseran upacara adat dan integrasi sosial.

Pergeseran nilai dari nilai sosial ke nilai ekonomi juga terjadi dalam tata upacara adat. Kegiatan-kegiatan adat yang mengorbankan banyak biaya untuk kebutuhan bersama, sekarang sudah diperhitungkan nilai jualnya, misalnya nilai jual hewan untuk upacara adat. Dulu banyak kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama (To’o moko, Pani kapi) seperti upacara Gua (sunat) sebagai pendewasaan bagi laki-laki, Wetu Ngi’i (potong gigi) sebagai pendewasaan bagi perempuan, sekarang sudah tidak dilakukan lagi karena pengaruh faktor dari luar yaitu kebijakan pemerintah yang menyebutkan bahwa kegiatan Gua dan Wetu Ngi’i dianggap sebagai pemborosan. Faktor agama juga merupakan penyebab pergeseran dari nilai adat ini, karena upacara adat dianggap menyembah berhala.

(g) Nilai-nilai komunal menjadi individu (Semangat kekeluargaan dan kebersamaan melemah)

Ini dapat dilihat dari respon masyarakat terhadap masalah penting yang dihadapi cenderung menjadi individual, dan hasilnya sekedar mengurangi dampak karena masalahnya sendiri masih tetap ada. Misalnya dalam mengatasi masalah hama, kebanyakan petani melakukan secara individu sehingga kurang berhasil.

Rasa saling percaya mulai menurun misalnya kepercayaan terhadap kegiatan-kegiatan bersama seperti arisan belis sangat kuat, tetapi sekarang mulai ada kekhawatiran ada yang tidak mengembalikan arisan belisnya karena jika dilihat lebih jauh tidak ada aturan yang mengikat semua anggota untuk mengembalikan lagi arisan yang lain.

4.2.3.2. Faktor Eksternal

(a) Proses teritorialisasi yang mempublikkan hal-hal yang bersifat privat diperkuat dengan UUPD No. 5 /1979 (sudah dicabut)

Perubahan kepemimpinan adat/informal menjadi kepemimpinan formal menyebabkan pemimpin informal menjadi terasing dari masyarakatnya sendiri karena pertanggungjawaban pemimpin bukan lagi ke masyarakat tetapi cenderung kepada atasannya. Dengan sendirinya aturan-aturan adat yang sudah lama hidup dan menjadi pegangan masyarakat pun menjadi tidak berfungsi, sehingga menimbulkan banyak friksi dan berubah menjadi konflik terbuka.

(b) Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pasar

Faktor penyebab langsung turunnya harga-harga komoditas pertanian adalah perlakuan pasca panen yang buruk, mutu beras rendah, KUD tidak mampu membeli beras petani, maraknya beras impor, dll. Persoalan ini hanya menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan oleh masyarakat karena ada ‘kebuntuan cara’, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Petani yang melakukan pengolahan lahan, penanaman, perawatan sampai panen, tetapi ketika harus menjual, petani dihadapkan pada harga pasar yang tidak dapat dikontrolnya. Tentu saja hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis dengan mengimpor beras dari luar negeri sehingga menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi terpuruk.

(c) Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian

Munculnya ledakan hama, menurunnya kesuburan tanah, mahalnya sarana produksi, menurunnya hasil panen, adalah merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-an, yaitu revolusi hijau. Penyebab langsung dari masalah menurunnya hasil panen adalah karena curah hujan kurang, ketersediaan lahan yang menurun, kurangnya tenaga, perawatan tanaman yang tidak teratur, serangan hama dan penyakit, kurang modal usaha, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan masyarakat berupa melakukan pekerjaan sampingan seperti menganyam, iris moke, beternak, tukang, dll tidak dapat mengatasi masalah secara langsung karena cenderung mengurangi dampak daripada sebagai mengatasi masalah. Kalaupun faktor-faktor penyebab dieliminir satu persatu, belum tentu persoalannya akan hilang karena dibalik itu ada kebijakan pertanian yang sangat berpengaruh pada matapencaharian masyarakat, dimana hal itu di luar kontrol masyarakat.

5. Kesimpulan

Dalam penelitian ini teridentifikasi bahwa dari 22 macam masalah penting yang teridentifikasi, 7 diantaranya dapat dikategorikan sebagai masalah yang paling menonjol. Masing-masing adalah (1) ‘menurunnya hasil panen’; (2) ‘masalah kekurangan air’; (3) ‘mutu dan ketersediaan lahan yang menurun/berkurang’; (4) ‘masalah tidak adanya atau rusak beratnya sarana penghubung/jalan’; dan (5) ‘konflik/sengketa tanah’; (6) ‘kurangnya ketrampilan/SDM rendah’; dan (7) ‘harga tanah, beras hasil produksi penduduk, komoditi yang rendah’. Jika diperas lagi, masalah penting yang paling pokok adalah masalah ‘konflik tanah dan masalah pertanahan lainnya’. Survei rumah tangga dan diskusi kelompok terarah di 8 desa mengungkapkan bahwa tidak ada desa yang warganya tidak pernah mengalami konflik pertanahan, baik pada tingkat rumah tangga, kelompok, maupun antar desa. Bahkan ada desa yang lebih dari separuh konfliknya adalah konflik tanah. Sebuah laporan anggota DPRD Kabupaten Ngada mengungkapkan bahwa seluruh desa di Aesesa (terdapat 22 desa) memiliki masalah perbatasan tanah/wilayah antar desa.

Dari penelusuran lebih jauh tentang akar masalah penting yang bersangkutan dapat dikatakan bahwa masalah aktual yang dihadapi masyarakat cenderung makin kompleks dari waktu ke waktu. Baik sebagai akibat dari perkembangan di dalam komuniti sendiri (misalnya pertambahan penduduk; makin intensnya penggunaan tanah; kebutuhan hidup yang terus meningkat, dsb) maupun akibat perkembangan di ‘dunia luar’ komuniti (seperti makin intensnya dunia luar masuk ke komuniti; meningkatnya kebutuhan tanah/lahan untuk berbagai proyek pembangunan, dll).

Gambaran mengenai semakin kompleksnya masalah aktual yang dihadapi dari waktu ke waktu dapat dicermati dari dua akibat perkembangan yaitu di dalam komuniti dan di ‘dunia luar’ komuniti. Di dalam komuniti, berjalan paralel dengan pertambahan penduduk, penggunaan tanah dan kebutuhan hidup lainnya juga semakin meningkat. Pertambahan penduduk yang disebabkan oleh kurang berhasilnya program KB, kasus kawin kontrak (dengan buruh-buruh proyek), tradisi ‘kawin masuk’, dan banyaknya pendatang (termasuk buruh-buruh proyek dan PNS) telah menuntut adanya sarana pemukiman yang semakin luas. Di samping itu, banyaknya kasus penjualan tanah ke orang lain, dan peruntukan lahan untuk perkebunan juga telah menambah semakin sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi yang demikian, tak mengherankan jika seiring dengan sempitnya lahan, orang semakin merasa perlu untuk menguasai tanah dan memperjelas batas tanah yang diklaim sebagai miliknya ataupun milik suku tertentu. Kepentingan ini dilandasi oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat sehingga penguasaan atas sumber daya alam mutlak diperlukan.

Kasus yang menunjukkan perebutan tanah/lahan tertentu yang sepintas nampak bermotif ekonomi atau di desak oleh tuntutan

kebutuhan hidup misalnya konflik sawah garam di translok Waemburung. Menurut orang Towaklaing yang sekarang menjadi penduduk Mbay II, Waemburung adalah tanah warisan leluhur mereka yang sudah diserahkan kepada pemerintah. Oleh pemerintah, areal tersebut dijadikan sebagai lokasi translok. Banyak orang Mbay yang ditawari menjadi peserta translok menolak karena tanah di lokasi tersebut kering, sulit mendapatkan air, dsb. Sekarang, ketika lahan tersebut akan dijadikan sebagai sawah garam, orang Mbay protes kepada pemerintah.

Kasus lain terlihat bahwa warga Totomala merasa perlu menegaskan di mana letak tata batas dengan Tendakine, penegasan ini didorong oleh adanya pembagian wilayah administratif yang diatur oleh pemerintah, sehingga masing-masing desa mulai memanfaatkan wilayah perbatasan untuk lahan pertanian. Di samping itu kawasan perbatasan ini cukup kaya dengan sumber daya alam, ada kayu-kayu besar yang bisa digunakan untuk bahan bangunan, pohon lontar, rumput untuk ternak dan sumber air. Padahal dulu sebelum ada pembagian wilayah administratif, orang Totomala dan Tendakine boleh bekerja dimana saja asal tetap mengakui hak ulayat adat.

Kasus gugatan atas tanah Kantor Kelurahan Mangulewa juga merupakan kasus yang bermotif ekonomi dimana penggugat menginginkan adanya ganti rugi. Gugatan disampaikan secara tertulis kepada Camat Golewa, DPRD dan Bupati Ngada. Atas gugatan ganti rugi ini, masyarakat Mangulewa sendiri tidak setuju karena dinilai justru akan merusak suasana kemasyarakatan, karena juga ada orang lain yang menyerahkan tanah untuk kepentigan umum seperti gereja, sekolah, biara, dll. Yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa setelah 29 tahun berstatus desa, tanah kantor desa tidak digugat dan baru digugat setelah statusnya beralih menjadi kelurahan.

Di luar komuniti, sebagai akibat dari perkembangan ‘dunia luar’ seperti semakin intensnya masuknya ‘dunia luar’ ke komuniti dan meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai pembangunan proyek juga semakin menambah kompleksnya masalah aktual di NTT. Penetapan batas administratif yang dilakukan oleh pemerintah dengan tidak/kurang memperhatikan hak ulayat suku tertentu telah memicu munculnya kasus-kasus perebutan sebidang tanah tertentu, sengketa tapal batas, dan kasus perebutan tanah warisan. Perebutan sebidang tanah tertentu seperti kasus Enek, ; gugatan Amir Mandar cs; perebutan padang garam; perebutan tanah Natabhada antara suku Rendu – Raja. Kasus sengketa tapal batas dialami oleh desa Nggolonio yaitu sengketa tapal batas dengan hutan lindung; sengketa perbatasan desa Totomala dengan Tendakine; dan sengketa perbatasan desa Sangadeto dengan Rowa. Sedangkan kasus perebutan tanah warisan dialami oleh desa Takatunga.

Salah satu contoh kasus perebutan sebidang tanah adalah kasus Enek yang berawal dari penetapan batas yang secara formal tercakup dalam program ‘persehatian batas desa’ antara Mbay I dan Mbay II pada tahun 1992. Masalah muncul ketika kampung Enek dimasukkan menjadi

wilayah administrasi Mbay I, sementara warga Mbay II menganggap kampung Enek adalah kampung lama (kampung adat) dari warga Mbay II. Penetapan batas definitif sebenarnya tidak ada masalah jika dilihat ‘secara hukum formal’, dimana status wilayah administrasi wilayah pemerintahan desa tidak serta merta mengalihkan status penguasaan tanah/lahan. Namun realitas di lapangan berbeda dengan wacana yang berkembang, hal ini ditandai dengan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh warga Mbay I terhadap hak milik warga Mbay II di kampung Enek.

Contoh kasus sengketa tapal batas desa Totomala dengan Tendakine juga merupakan akibat dari kurang diperhatikannya hak ulayat suku. Semula kedua desa ini termasuk dalam satu wilayah hamente Totomala yang kemudian diakui sebagai wilayah ulayat suku Totomala. Menurut aturan suku, suku yang tertinggi adalah suku Dodo, hak pengaturan tanah pun dipegang oleh suku Dodo. Setelah ditetapkannya keberadaan desa Totomala dan Tendakine, suku Dodo yang tinggal di wilayah administrasi Totomala pada tahun 1984 memasang papan tanda batas wilayah, namun dirusak oleh warga Tendakine, kemudian diulang lagi pada tahun 1988 dengan membuat tugu batas, namun hal ini pun kembali dirusak oleh warga Tendakine tanpa diketahui identitasnya.

Sebenarnya banyak kasus perebutan tanah warisan baik untuk membangun rumah maupun untuk lahan pertanian, tetapi kasus yang mencuat adalah masalah dalam suku Woe Ledo. Keluarga garis keturunan lurus dan garis keturunan samping berebut menjadi orang yang paling berhak membangun rumah adat (menjadi kepala soma). Ketidakjelasan ini berawal dari pemilihan kepala soma ‘ketua adat dalam satu rumah adat’ yang dilakukan oleh kepala desa terdahulu. Banyak warga mengatakan bahwa kepala soma yang dipilih oleh kepala desa tidak sah, ditambah lagi adanya pembagian tanah kepada setiap keluarga pada masa kepala desa lama tanpa ada kesepakatan.

Persoalan-persoalan di atas masih ditambah lagi dengan semakin banyaknya lahan yang difungsikan untuk berbagai pembangunan proyek.

Mencermati sebab musababnya, semua masalah ini tidak lepas dari interaksi antara kebijakan pemerintah, pasar, keadaan alam, dan perkembangan di dalam komuniti di masing-masing lokasi penelitian itu sendiri.

Sementara itu, respon masyarakat, baik secara kolektif maupun individual atau gabungan keduanya, terhadap masalah-masalah ini belum mampu menyentuh akarnya, terutama dengan adanya kendala- kendala struktural. Hanya kurang dari 20% upaya bersama yang teridentifikasi yang dinilai berhasil/memuaskan. Itupun hanya bersifat sementara karena akar masalah tetap ada. Misalnya, dalam kasus sengketa batas tanah antara warga desa Nggolonio dengan Dinas Kehutanan setempat. Masyarakat melakukan ‘aksi pembangkangan’ (tetap menggarap ladang yang dikategorikan sebagai hutan lindung) dan mereka merasa respon ini berhasil karena hingga saat penelitian berlangsung tindakan itu tidak mendapat perlawanan lebih lanjut dari

Dinas Kehutanan. Bagi Dinas Kehutanan setempat, kawasan yang digarap masyarakat itu tetap saja berstatus formal ‘hutan lindung.’ Dengan demikian, warga sekarang ini tidak memiliki jaminan dalam jangka panjang karena penguasaan itu hanya secara de facto tanpa dilengkapi pengakuan secara de jure.

Meski begitu, dilihat dari adanya berbagai upaya/respons yang dilakukan masyarakat, seperti juga ditunjukkan oleh hasil LLI 1, kapasitas institusi lokal dapat dikatakan ada di mana-mana. Namun, jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, juga sebelum tahun 1996, kapasitas institusi lokal ini relatif lemah dan cenderung terus melemah. Untuk menggerakan respon itu sendiri dan untuk menangani masalah lainnya kapasitas ini bisa terlihat dari berbagai jaringan dan institusi serta kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan formal (kepala desa) seringkali tidak efektif. Sementara, meski terus pula merosot perannya, kepemimpinan adat masih bisa berperan. Beberapa upaya penanggulangan masalah yang dinilai berhasil nyatanya melibatkan aturan-aturan dan pemimpin-pemimpin adat. Misalnya seperti yang terjadi dalam kasus-kasus mengatasi (1) serangan hama (Mbay II, Totomala, dan Langedhawe)1; (2) sengketa tapal batas (Nggolonio); (3) penyeroboton lahan oleh ternak yang tidak digembala dengan baik (Totomala); menurunnya kualitas dan kuantitas lahan (Langedhawe dan Takatunga)2.

Rendahnya kapasitas lokal dalam mengatasi masalah yang ada ini terjadi karena disamping masalah yang ada berkembang semakin kompleks, sebagian terjadi juga karena berbagai bentuk institusi lokal (aturan-aturan, jaringan, dan kepemimpinan) memang dibatasi perannya dan tidak diberi ruang untuk berkembang untuk mengimbangi kompleksitas masalah karena memang dibatasi perannya, seperti juga yang telah mulai dideteksi dalam LLI 1. Transplantasi institusi yang makin intensif (dibakukan dengan berlakunya UU 5/1979 yang baru dicabut) telah menyempitkan wilayah dan bidang layanan dari berbagai institusi komuniti yang berakar dari kehidupan masyarakat setempat. Praktis tidak ada perlawanan yang berarti terhadap kecenderungan yang demikian ini. Alih-alih menolaknya, yang terjadi adalah proses ‘pinjam- meminjam’ di antara intitusi ‘lama’ dan ‘baru’ itu. Namun, proses ‘pinjam-meminjam’ ini bukannya memperkuat intitusi lokal yang ada melainkan justru memperlemahnya.

Kapasitas institusi lokal yang menderung melemah dapat dicermati dari corak hubungan antara institusi pemerintah formal, sistem pengorganisasian hidup bersama yang berkembang di dalam komunitas dan institusi agama pada dasarnya saling ‘bekerja sama’ tetapi cenderung

1

‘Berhasil’ dalam kasus ini berarti ‘dapat menggerakkan hampir seluruh warga di desa-desa yang bersangkutan’, meski masalah yang sama akhirnya datang lagi.

2

Seperti telah disinggung di atas, berhasil di sini bukan berarti akar-akar masalah yang bersangkutan benar-benar telah teratasi sepenuhnya. Penyelesaian yang ada masih bersifat sementara dan tidak mantap.

saling melemahkan sebagai strategi para pelakunya untuk mempertahankan eksistensinya.

Perubahan peraturan perundangan dari pemerintahan adat menjadi pemerintahan desa telah melemahkan kekuatan suku, sekaligus menggeser kewenangan kepemimpinan adat. Kewenangan pemimpin adat dalam memecahkan persoalan masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam telah diambil alih oleh pemimpin formal, pemimpin adat/informal hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan adat seperti kematian, perkawinan dan upacara-upacara adat.

Dalam pelaksanaan pembangunan di desa dan mengambil keputusan-keputusan strategis yang menyangkut masyarakat, pemimpin formal tidak merasa perlu melibatkan masyarakat karena menganggap dirinya adalah representasi masyarakatnya. Kalau ia salah bertindak, maka tidak boleh diprotes. Pelibatan masyarakat dalam program/proyek yang diselenggarakan oleh pemerintah desa hanya jika masyarakat dibutuhkan tenaganya. Hal-hal seperti ini lambat laun menimbulkan kesadaran dalam hati masyarakat. Didukung oleh gelombang reformasi, masyarakat mulai melakukan perlawanan pasif dengan ‘malas tahu’ atau acuh tak acuh pada program/proyek pembangunan. Terlebih lagi setelah perubahan status desa menjadi kelurahan yang membawa pemahaman berbeda antara masyarakat dan pemerintah.

Jaringan-jaringan di dalam komunitas, ada kecenderungan berjalan sendiri-sendiri, meskipun dapat dikatakan tidak saling mengganggu. Sebagaimana yang terjadi di Nggolonio kelompok doa juga peduli dengan persoalan sosial yang lain, tetapi pada umumnya realitas yang terjadi justru menunjukkan adanya pembatasan lingkup gerak dari pihak gereja bahwa urusan kemasyarakatan adalah urusan tokoh adat dan pemerintah desa sehingga tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan (kelompok doa, dsb). Padahal kelompok doa merupakan kelompok yang sangat kuat dan berjalan efektif. Situasi ini tentunya tidak menguntungkan. Sebaiknya dapat dilakukan kerjasama yang saling mendukung.

Terdeteksi pula bahwa ada kecenderungan semangat kekeluargaan semakin melemah dan orientasi pada kepentingan pribadi semakin menguat. Tentunya masih harus ditelusuri lebih jauh lagi akar masalah dari melemahnya semangat kekeluargaan dan menguatnya orientasi kepentingan pribadi ini. Banyak persoalan yang tidak terselesaikan karena orang mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dulu komuniti berjuang bersama untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam dengan mentaati kearifan-kearifan lokal serta aturan- aturan adat, selalu mengutamakan kebersamaan dan tidak

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 121-132)