• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah ‘kurang/tidak adanya sarana penghubung yang tidak memadai atau jalan rusak berat’ (Kategori O)

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 83-86)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

I. Ketersediaan lahan yang makin

4.1.4. Masalah ‘kurang/tidak adanya sarana penghubung yang tidak memadai atau jalan rusak berat’ (Kategori O)

Masalah penting Kategori O, yakni ‘masalah tidak adanya atau rusak beratnya sarana penghubung/jalan’ terjadi di empat desa. Masing-masing adalah (1) Langedhawe (Kec. Aesesa); (2) Takatunga, (3) Sangadeto; dan (4) Mangulewa. Tiga desa yang disebut terakhir terletak di Kec. Golewa. Rincian masing-masing kejadian di masing-masing desa dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Box 4.4. berikut.

Box 4.4. : Deskripsi kasus-kasus sarana penghubung yang tidak memadai atau jalan rusak berat

Jarak dari desa Langedhawe ke Danga, ibukota kecamatan Aesesa, adalah 10 Km. Jenis jalan yang menjadi sarana penghubung di desa ini meliputi jalan dusun (2 Km), jalan desa (2 Km), jalan ekonomi (9 Km), dan jalan propinsi (4 Km, dari ruas Aemali - Danga). Jalan propinsi yang menuju desa Langedhawe berkelok-kelok dengan batu-batu terlepas disana-sini dan menjadi berlumpur pada musim hujan. Padahal jalan ini menjadi urat nadi perekonomian warga desa Langedhawe, sehingga kondisi jalan yang rusak parah ini berpengaruh pada kehidupan perekonomian mereka.

Pada tahun 1982 warga Langedhawe membuka jalan yang sebelumnya adalah jalan setapak. Ruas jalannya melintasi desa Tengatiba dan desa Langedhawe. Selanjutnya pada tahun 1986, jalan mulai ditata dan diperlebar dengan menggunakan dana Padat Karya.

Kemudian di tahun 1987, pengerjaan jalan dilakukan oleh kontraktor. Pekerjaan itu meliputi menyusun batu, membangun deker, membuat selokan, membangun jembatan di Malalado, Lawo Keo, Pede Kune, dan Kapo Gatu.

Tercatat bahwa pada tahun 1991 pernah ada proyek jalan Aemali - Danga. Dana proyek diduga berasal dari APBD I yang jumlahnya tidak diketahui warga. Dalam proyek ini warga Langedhawe hanya terlibat pada tahap pemeliharaan saja. Mereka menyatakan rasa ketidakpuasannya terhadap ketidakterlibatan mereka di tahap perencanaan dan pelaksanaan, ditambah dengan kualitas jalan yang dihasilkan dalam proyek tersebut dan ketidakterlibatan Pemda dalam tahap pemeliharaan.

Tahun 2000 Pemdes berinisiatif untuk menyisihkan dana PPK sebesar 3 juta rupiah untuk merangsang warga bekerja dalam perbaikan jalan.

Di tahun berikutnya (2001), Pemdes Langedhawe menyediakan dana yang berasal dari sumbangan para tokoh masyarakat desa Tenga Tiba dan Langedhawe untuk mengupah seorang warga dalam mengerjakan area-area tertentu yang rusak dengan memahat batu cadas di lokasi antara Kesi Dari dan Degho.

Warga Langedhawe mengalami kesulitan dalam menjual hasil pertanian/perkebunan/ternaknya, padahal komoditi tersebut adalah andalan utama mereka dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Kondisi jalan yang rusak parah itu kemudian membuat jumlah serta jenis kendaraan umum yang melintasi ruas jalan tersebut menjadi terbatas. Akibatnya hasil penjualan yang diperoleh harus dikurangi dengan biaya transportasi yang cukup tinggi, seperti kasus di desa Langedhawe dimana supir oto bisa dengan seenaknya menentukan tarif. Jumlah uang yang diperoleh pun akhirnya dirasakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga. Warga Langedhawe akhirnya lebih memilih jalan ketimbang

naik oto yang tarifnya mahal itu (5 tahun lalu Rp. 1.000,- s/d 2.000,- per orang, sekarang menjadi Rp. 7.000,- per orang dengan trayek Boawae/Danga - Langedhawe).

Penyebab dari jalan Aemali - Danga rusak parah adalah 1) Tidak adanya selokan; 2) Faktor alam (hujan, topografi); 3) Proyek yang ditenderkan; 4) Peralatan yang sederhana dan tidak memadai; 5) Tidak ada dana; 6) Tidak ada perawatan dari pemerintah.

Upaya yang dilakukan oleh warga desa Langedhawe dalam menghadapi masalah jalan Aemali - Danga rusak parah adalah 1) Kerja bersama memperbaiki/menutupi bagian jalan yang rusak; 2) Mengajukan usulan kepada Bupati Ngada agar jalan segera diperbaiki; 3) Mengajukan usulan kepada DPRD Ngada agar jalan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya.

Di desa Langedhawe, upaya-upaya penanggulangan masalah melibatkan warga, Pemdes, dan tokoh masyarakat. Upaya perbaikan yang dilakukan secara bersama-sama, Pemdes ikut terlibat bersama warga. Upaya pengajuan usul perbaikan jalan ke Bupati Ngada dilakukan oleh tokoh masyarakat. Upaya pengajuan usul perbaikan jalan ke DPRD Ngada dilakukan oleh Pemdes.

Semua upaya yang dilakukan oleh warga desa Langedhawe dianggap tidak berhasil. Upaya perbaikan/penutupan bagian jalan yang rusak dianggap tidak berhasil, karena usaha tersebut dilakukan dengan sangat sederhana. Sedangkan upaya pengajuan usul ke Bupati Ngada dan DPRD Ngada sampai saat ini belum ada realisasinya, baru dijanjikan saja.

Sarana transportasi dan komunikasi yang belum memadai merupakan salah satu masalah yang terdapat di desa Takatunga. Sebagian besar wilayah desa Takatunga jauh dari lalu lintas kendaraan (angkutan darat), belum ada jalan yang melintasi pertengahan desa. Jalan yang baik hanya terdapat di pinggir desa. Sementara warga masyarakat memiliki banyak komoditi perdagangan seperti cengkeh, vanili, kopi, kemiri, kakao (coklat). Maka pada tahun 1997 dalam Musbangdes diangkat masalah jalan.

Pada tahun 1998 Pemdakab. Ngada merespon usulan masyarakat. Pemerintah melakukan survey dan langsung menerjunkan kontraktor. Jalan itu melintasi kebun tanaman perdagangan warga masyarakat, sehingga ada sebagian warga masyarakat yang tidak setuju. Namun sebagian besar warga masyarakat rela mengorbankan tanamannya (cengkeh, kopi, vanili, kemiri, coklat), dengan harapan kalau kendaraan lancar maka akan mudah mengangkut komoditi mereka. Pada pelaksanaan pembukaan jalan, ratusan tanaman perdagangan milik warga rusak.

Lewat sebuah rapat LKMD, ditetapkan bahwa got dan gorong-gorong disiapkan oleh warga masyarakat. Semua warga dikerahkan untuk mengerjakan jalan dan warga yang tidak ikut menggali jalan harus membayar uang ganti tenaga.

Gotong-royong dari warga ini pada awalnya dibuat dengan perjanjian dengan kontraktor, bahwa mereka (kontraktor) menyiapkan fasilitas/sarana dan tenaga teknis. Ketika warga mulai kerja, kontraktor menyatakan,“Berita kelanjutan kerja jalan tidak jelas”. Maka, sampai sekarang jalan tetap tidak terurus. Warga merasa kecewa. Telah banyak yang dikorbankan, namun jalan belum selesai bahkan kondisinya semakin rusak.

Di desa Takatunga, karena sulitnya sarana transportasi, maka komoditi yang tidak bisa dijual dijadikan makanan ternak oleh warga.

Jalur transportsi seperti jalan raya masuk desa tidak ada, sehingga kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke desa. Baru pada tahun 1990-an, pengusaha mesin giling padi, traktor bajak dan sensor mulai masuk desa.

Menurut warga Takatunga, penyebab dari masalah sarana transportasi dan komunikasi (jalan) yang belum memadai adalah 1) Kurangnya perhatian pemerintah; 2) Program rencana kerja dari Pemdes untuk pemeliharaan jalan belum ada; 3) Pengerjaan jalan oleh kontraktor dari luar dan tidak melakukan survey secara benar; 4) Menurunnya tradisi gotong-royong warga; 5) Tanah longsor dari hutan.

Di desa Takatunga, ada upaya perbaikan jalan secara swadaya seperti menggali got dan menimbun lubang dan mengusulkan peningkatan mutu jalan ke pemerinatah daerah.

Usaha swadaya yang dikoordinir oleh pemerintah desa, LKMD dan Gereja untuk membangun jalan tanah, namun karena jalan yang diperlukan cukup panjang sehingga pekerjaan swadaya ini tidak menyelesaikan masalah.

Pada tahun 1996 dan 1998 (P3DT), ada proyek perbaikan jalan (peningkatan proyek Padat Karya tahun 1980-an). Proyek tahun 1996 ditujukan untuk ruas jalan Sadha - Takatunga - Sarasedu. Sedangkan proyek tahun 1998 ditujukan untuk ruas jalan Ngorabolo - Mala Mako (Mauponggo). Dari kedua proyek, warga merasa tidak puas pada tahap pelaksanaan, disamping karena banyak tanaman warga rusak juga mutu jalan yang dihasilkan jelek. Sedangkan pada tahap pemeliharaan, penyebabnya adalah ketidakterlibatan pemerintah pada tahap ini.

Upaya yang dilakukan di desa Sangadeto untuk mengatasi masalah rusaknya jalan raya masuk kampung adalah dengan 1) Bekerja sama menutupi lubang-lubang di jalan; 2) Mengusulkan kepada Pemdakab; 3) Ada proyek Padat Karya.

Upaya perbaikan jalan secara swadaya di Takatunga seperti menggali got dan menimbun lubang-lubang melibatkan warga, Pemdes, dan tokoh agama.

Upaya pengajuan usul peningkatan mutu jalan ke pemerintah daerah melibatkan Pemdes, LMD, BPD, LKMD, warga, Pemda (program P3DT).

Upaya perbaikan secara swadaya dianggap kurang berhasil oleh warga Takatunga, karena masih menggunakan teknik yang sederhana. Usulan peningkatan mutu jalan juga dianggap kurang berhasil, karena …. Upaya kerja bersama untuk menutupi lubang-lubang di jalan dianggap warga kurang berhasil, karena hanya bertahan pada musim kemarau. Upaya pengajuan usulan kepada Pemdakab. Dianggap tidak berhasil, karena tidak ada tanggapan. Proyek Padat Karya dianggap kurang berhasil, karena yang berhasil hanya 0,5 Km.

Jalan raya yang menghubungkan desa Sangadeto dan jalan negara memang sudah ada dan

sudah diaspal, namun demikian kondisinya sangat memprihatinkan karena begitu banyak lubang di sepanjang jalan. Selokan di pinggir jalanpun tidak ada. Ruas jalan masih sangat sempit. Warga Sangadeto sudah ada upaya untuk memperbaiki jalan ini yang dilakukan setiap tahun yakni dengan menimbuni badan jalan yang berlubang dan menggali got di pinggir jalan. Hasilnya belum terlalu memuaskan, karena setiap tahun ada musim hujan yang akan merusak kembali badan jalan tersebut. Semua upaya dari warga tidak bertahan lama.

Tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi merupakan masalah yang ditemukan di kelurahan Mangulewa.

Pembukaan jalan menuju Malawawo harus melalui wilayah desa lain, yaitu desa Sobo. Sedangkan warga desa Sobo tidak mau menyerahkan tanah mereka untuk pembukaan jalan tersebut, sehingga sampai saat ini jalan menuju Malawawo tidak bisa tembus. Warga Mangulewa sedang melakukan negosiasi/kesepakatan bersama dengan warga Sobo dan Pemda.

Jalur transportsi seperti jalan raya masuk desa tidak ada, sehingga kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke desa. Baru pada tahun 1990-an, pengusaha mesin giling padi, traktor bajak dan sensor mulai masuk desa. Begitupula dengan usaha dagang kecil seperti berjualan 9 bahan pokok di desa, sekarang di desa Sangadeto sudah ada pengusaha giling padi 3 buah dan 5 buah traktor bajak serta 2 buah mesin Sensor.

Menurut warga Sangadeto, akar masalah dari rusaknya jalan raya masuk kampung adalah perencanaan proyek tidak bersama warga dan tidak ada warga yang berani mengusulkan.

Menurut warga Mangulewa, penyebab dari tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi adalah tidak adanya dana dan belum adanya ketua lingkungan yang berkaitan dengan kurangnya perhatian dari pemerintah.

Upaya kerja bersama untuk menutupi lubang-lubang di jalan melibatkan warga (ulu eko) dan Pemdes Sangadeto.

Upaya pengajuan usulan kepada Pemdakab dilakukan oleh warga bersama Pemdes. Proyek Padat Karya melibatkan warga yang termasuk dalam usia tenaga kerja, LKMD, dan Pemdakab.

Upaya merintis jalan (membuka awal) melibatkan warga dan tokoh masyarakat.

Padat Karya melibatkan warga, Pemdes, dan Depnaker. ABRI masuk desa melibatkan ABRI dan warga. Upaya kerja bakti melibatkan warga, Pemdes, dan Pastor Paroki.

Ada filosofi yang hidup ditengah warga Sangadeto yang berkaitan dengan upaya penanggulangan masalah ini, seperti to’o jogo waga sama (kebersamaan dan gotong royong). Tidak adanya sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi di kelurahan Mangulewa

ditanggulangi dengan upaya 1) merintis jalan (membuka awal); 2) Padat Karya; 3) ABRI masuk desa; 4) melakukan kerja bakti.

Semua upaya yang dilakukan dianggap kurang berhasil oleh warga Mangulewa, karena 1) Kurang diperhatikan oleh Pemdes; dan 2) Tidak ada program pemeliharaan lanjutan.

Berkaitan dengan masalah tidak adanya sarana penghubung ke kantong-kantong produksi di kelurahan Mangulewa, warga mengakui bahwa ada aturan dan filosofi seperti: Ada filosofi yang berbunyi podhu bhou meza mogo (duduk bersama untuk musyawarah).

Kelompok doa akan memberikan sanksi kepada anggotanya yang tidak aktif mengikuti kegiatan bersama (seperti kerja bakti) dengan tidak diberikannya surat keterangan untuk permandian anak atau untuk pernikahan.

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 83-86)