• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi dan Penataan Ulang Sistem Pemerintahan Desa

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 60-69)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

3.3. Reformasi dan Penataan Ulang Sistem Pemerintahan Desa

Sebagaimana diketahui, seiring dengan era reformasi pasca runtuhnya rezim Orde Baru (1998), terjadi perubahan kebijakan tentang Pemerintahan Desa. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah, UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dicabut pemberlakuannya. Untuk seterusnya, kebijakan-kebijakan pokok yang berkenan dengan Pemerintahan Desa ini diatur langsung oleh UU No. 22 Tahun 1999. Peraturan-perundangan yang mengatur lebih lanjut tentang Pemerintahan Desa ini diatur oleh peraturan perundangan di undang-undang. Terutama sekali melalui Peraturan Daerah Kabupaten6.

Dengan diberlakukannya peraturan-perundangan yang baru, setidaknya ada 4 (empat) perubahan yang mendasar. Pertama, desa (cetak miring disengaja, pen.) atau yang disebut dengan nama lain, kembali diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum. Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1979, desa (cetak biasa, pen.) hanyalah ‘sebuah wilayah administratif’. Sebagai kesatuan masyarakat hukum desa memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat- istiadat setempat. Dikatakan pula, desa diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional. Dengan demikian, perubahan mendasar kedua, ada pengakuan terhadap otonomi desa. Melekat pada otonomi itu adalah penguasaan desa atas berbagai bentuk sumber-sumber kehidupan yang ada di desa yang bersangkutan. Begitu pula, desa memiliki ruang menentukan peraturan- peraturan desa dan sumber-sumber pembiayaan kegiatannya (baik yang berupa pendapatan asli desa, maupun yang berupa bantuan dari pemerintah yang ada di atasnya, sumbangan dari pihak ketiga, dan pinjaman desa). Ketiga, sebagai badan pemerintahan yang otonom, di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang disebut Pemerintahan Desa. Pada masa UU No. 5 Tahun 1979, Badan Perwakilan Desa (BPD) ini tidak ada. Ketika itu, kepentingan warga desa disalurkan melalui lembaga-lembaga LMD dan LKMD, yang keanggotaan dan kepemimpinannya dibentuk dari atas7. Keempat, Kepala Desa dan anggota BPD dipilih melalui mekanisme pemilihan yang demokratis. Artinya, dipilih langsung oleh rakyat. Dengan sistem perwakilan dan pemilihan yang demikian itu Kepala Desa tidak lagi menjadi ‘penguasa tunggal’, sebagaimana yang terjadi pada masa pemberlakukan UU No. 5 Tahun 1979. Dengan keempat perubahan mendasar diharapkan kinerja Pemerintahan Desa akan menjadi lebih baik. Begitu pula, dengan keempat perubahan mendasar itu, kepentingan masyarakat demi kehidupan dan pelayanan pemerintahan desa diharapkan menjadi lebih baik pula dari waktu-waktu sebelumnya.

Ketika penelitian LLI (2) Tahap 3 tengah berlangsung (April – Mei 2001) Pemerintah Daerah Ngada baru saja mengundangkan peraturan daerah- peraturan daerah yang mengatur keberadaan Pemerintahan Desa. Pada dasarnya peraturan daerah-peraturan daerah itu hampir persis sama dengan rancangan-rancangan yang disiapkan oleh Departemen Dalam Negeri (Pemerintah Pusat). Rancangan peraturan-perundangan dari Departemen Dalam Negeri tentang Pemerintahan Desa ini terdiri dari 13 (tigabelas) rancangan peraturan. Kalaupun ada perbedaan yang cukup mendasar adalah

6

Tersirat dalam kebijakan baru ini bahwa hal-hal yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa ini adalah bagian dari otonomi yang memang dititikberatkan pada kabupaten (dan kota).

7

menyangkut komposisi keanggotaan dalam BPD. Jika dalam rancangan versi Departemen Dalam Negeri hanya dinyatakan ………. , dalam Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah Ngada anggota BPD terdiri dari minamal … (unsur). Masing-masing adalah: ……….

Masalahnya, hal-hal pokok yang seharusnya berubah, seperti sebutan dan pengertian desa di Kabupaten Ngada, sekedar menyebut satu contoh, ternyata tidak mengalamai perubahan sama sekali. Peraturan Daerah yang baru itu tetap saja menggunakan kata ‘desa’, meski dalam ketentuan lain dinyatakan pula merupakan kesatuan masyarakat hukum. Tidak ada pula pasal yang mengatur tentang penataan ulang dari kesatuan-kesatuan desa (administratif) yang sudah ada sekarang ini menjadi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum sebagaimana yang dikenal di daerah itu. Tidak begitu diketahui alasan mengapa hal itu dapat terjadi. Yang jelas, dengan pengaturan yang demikian itu, jelas sekali bahwa kebijakan penataan ulang desa oleh Pemda Ngada tidak tentu arahnya. Pemda dan DPRD setempat seolah tidak paham tentang masalah keberadaan Pemerintahan Desa yang lama, sehingga mereka juga tidak paham pula apa yang harus dilakukannya. Proses pembentukannya pun tergesa-gesa. Tidak ada konsultasi publik. Sementara itu, gerakan masyarakat sipil pun tak terlibat dalam proses itu. Dari banyak aktivis LSM yang sempat ditanyai tentang masalah ini, semuanya mengaku tidak tahu apakah perda-perda tentang Pemerintahan Desa sudah ada atau belum. Jelas sekali mereka tidak mempermasalahkan keberadaan perda-perda baru tentang Pemerintahan Desa ini. Mereka seolah tidak sadar pula bahwa ada persoalan besar dalam masalah peraturan desa itu, sehingga perlu suatu intevensi, agar perubahan yang akan dilakukan dapat sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Padahal, paket 13 rancangan peraturan daerah versi Departeman Dalam Negeri itu sarat masalah, karena tidak mengatur langkah-langkah implementasi dari perubahan-perubahan mendasar yang telah dilakukan8. Pengaturan lebih lanjut yang ada dalam rancangan-rancangan bersangkutan justru melemahkan manfaat perubahan-perubahan mendasar yang telah dilakukan itu sendiri. Pengaturan-pengaturan dalam paket rancangan Departemen Dalam Negeri itu justru akan membawa desa kembali sebagai ‘satuan administrasi’ lagi, dan bukan sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum’. Sekedar contoh, lihatlah peraturan yang mengatur bagaimana sebuah desa dapat dibentuk. Ukuran yang digunakan lebih bersifat demografis (administratif) ketimbang sosiologis (kesatuan masyarakat hukum). Dengan pengaturan yang bercorak demografis-administratif itu pengakuan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan hak asal-usul menjadi kehilangan maknanya.

Padahal, pengakuan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang punya otonomi (dan itu berupa hak bawaan dan bukan hak berian)9 memiliki

8

Sekedar menyebut dua sumber, periksalah R. Yando Zakaria, “Pemulihan Kehidupan Desa dan UU. No. 22 Tahun 1999”, makalah yang dipersiapkan untuk lokakarya-lokakarya “Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Menyusun Kebijakan Publik yang Partisipatif dan Akuntabel”, yang diselenggarakan Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria dan sejumlah ORNOP di berbagai daerah, atas dukungan dana dari Yayasan BSP Kemala dan Ford Foundation , pada tahun 2000 – 2001. Lihat juga R. Yando Zakaria, et.al., Men-siasat-i Otonomi Daerah, Demi Pembaruan Agraria. Yogyakarta: BP KPA, Penerbit Lapera, dan Ford Foundation, 2001.

9

konsekwensi lain yang berada di luar domain UU No. 22/99 itu. Misalnya, jika memang otonomi (hak bawaan) desa diakui maka itu berarti adanya pengakuan pada (1) kedaulatan desa atas wilayah terirorial yang di bawah hak ulayatnya (dengan begitu ‘hak menguasai negara’ menjadi tidak relevan lagi, kecuali sebagai pengakuan simbolisnya saja, sedangkan aspek operasionalnya diperankan oleh desa itu sendiri); (2) pengakuan pada desa sebagai satu organisasi politik; dan (3) pengakuan pada aturan-aturan yang ada dalam desa yang berangkutan (karenanya termasuk pula kewenangan desa dalam proses penegakan hukum). Oleh sebab itu diperlukan upaya pengawasan dan intervensi yang lebih agar perubahan-perubahan mendasar itu dapat sampai pada sasaran.

Apa yang terjadi di Kabupaten Ngada juga menunjukkan bahwa komponen-komponen Pemerintahan Daerah Ngada (Pemda dan DPRD) tidak cermat (atau tidak paham?) memanfaatkan kewenangan yang telah diberikan kepadanya, yang sejatinya dapat digunakan merubah masa depan warganya ke arah yang lebih baik. Atau, mereka sendiri yang tidak mau? Komponen masyarakat sipil juga begitu. Mereka tidak mampu menggunakan momentum yang ada. Apakah mereka tidak paham? Tidak merasa perlu merubah situasi yang ada? Atau, merasa tidak mampu menghadapi Pemda dan DPRD?

Terlepas dari catatan-catatan di atas, di tingkat desa, apakah perubahan-perubahan mutakhir itu telah berpengaruh pada makna keberadaan Pemerintahan Desa dalam kehidupan masyarakat di masing- masing desa penelitian? Mengingat umurnya yang masih seumur jagung, masih terlalu awal untuk menilai hasilnya. Meski begitu, ada baiknya juga untuk memeriksa arah perubahan yang kini tengah terjadi. Upaya ini setidaknya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan, ke arah mana perubahan-perubahan itu sebenarnya akan terjadi di masa depan.

Untuk itu akan coba dilihat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan pandangan warga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan (1) kepala desa dan dinamika pemilihannya; (2) Badan Perwakilan Desa dan dinamika pemilihannya; dan (3) dinamika pemilihan/pengangkatan ‘aparat desa lainnya’ (termasuk pemilihan kepada dusun dan kepala lingkungan).

Namun, sebelum sampai pada bahasan tentang ketiga hal itu lebih jauh, terlebih dahulu perlu dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan struktur pada masing-masing desa yang diteliti. Pertama, dalam jangka waktu satu - dua waktu terakhir ini, dari 8 desa yang diteliti pada tahun 1996, tiga di antarnya telah berubah status dari desa menjadi kelurahan. Masing-masing adalah Mbay II (di Kec. Aesesa) serta Todabelu dan Mangulewa (di Kec. Golewa). Perubahan status dari desa menjadi kelurahan ini, sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku, membawa perubahan yang mendasar pula pada struktur pemerintahan di tingkat komuniti itu. Pertama, berbeda dengan desa, kelurahan tidaklah merupakan satu unit pemerintahan tersendiri. Melainkan bagian dari unit pemerintahan Kabupaten. Karenanya, kedua, Kepala Pemerintah Kelurahan tidak dipilih oleh rakyat melainkan dikirim (atau utusan) dari unit pemerintahan yang ada di atasnya. Lurah ada aparat Pemerintahan Daerah Kabupaten berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Ketiga, dengan status sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah Kabupaten itu, kelurahan juga tidak memiliki badan perwakilan. Seperti halnya desa, dalam menjalankan tugasnya Lurah dibantu oleh aparat kelurahan dan Kepala Lingkungan dan para ketua RW/RT. Berbeda dengan

keberadaan Badan Perwakilan Desa, aparat kelurahan, Kepala Lingkungan, ketua-ketua RT dan RW adalah unsur-unsur yang dianggap dapat mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya. Kecualu aparat kelurahan, para ketua lingkungan, RT dan RW dapat saja dipilh oleh Lurah atau melalui mekanisme pemilihan yang lebih demokratis. Hal itu tergantung pada kebijakan lokal dari Lurah yang bersangkutan dan tidak diatur oleh perangkat peraturan-perundangan yang lebih tinggi. Keempat, berbeda dengan desa, masyarakat tidak perlu lagi memikirkan penghasilan Lurah, karena seluruh tugas yang diembankan kepada Lurah telah dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

Perubahan yang kedua adalah, tiga dari 4 desa di Kecamatan Aesesa telah pula dikembangkan menjadi beberapa desa lainnya. Masing-masing adalah Mbay II, Totomala, dan Langedawe. Perubahan wilayah cakupan ini tentunya mebawa perubahan pada konntilasi politik di masing-masing wilayah. Begitu juga, perubahan-perubahan status desa menjadi kelurahan dan perubahan wilayah kelola ini, seperti yang akan terlihat nanti, juga akan mempengaruhi dinamika hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa di masing-masing desa yang diteliti.

Catatan lain yang perlu pula dikemukakan adalah bahwa hingga penelitian lapangan LLI (2) ini berakhir tim peneliti tidak pernah bisa bertemu dengan Kepala Desa Nggolonio. Karena alasan yang kurang jelas, para informan pun enggan memberikan keterangan, Kepala Desa Nggolonio sudah 6 bulan ini tidak mau ‘mengaktifkan’ perannya sebagai Kepala Desa. Dari informasi yang samar-samar diduga sikap ini muncul sebagai protesnya terhadap kasus perebutan hak penggarapan lahan garam Waemburung (lihat Bab 4). Kegiatan Pemerintahan Desa sehari-hari dijalankan/diperankan oleh Sekretaris Desa, yang juga menjadi tokoh penting dalam ‘proses penyelesaian’ konflik padang garam Waemburung itu. Dibandingkan dengan Kepala Desa, Sekretaris Desa ini memang lebih memiliki akar pada satuan suku yang memiliki hak asal-asul di desa Nggolonio sekarang ini. Tertangkap kesan ada persaingan yang serius antara Kepala Desa dengan Sekretaris Desa Nggolonio ini.

Hasil pengumpulan informasi selama LLI (2) berlangsung menunjukkan bahwa seluruh Kepala Desa yang aktif ketika penelitian LLI (1) telah berganti dengan pejabat Kepala Desa atau Lurah yang baru. Meski begitu tidak ada yang sempat dipilih melalui mekanisme pemilihan sebagaimana diatur oleh peraturan daerah yang baru. Pergantian itu terjadi dalam rentang waktu antara tahun 1998 hingga tahun 1999 lalu. Meski tidak ada mekanisme pemilihan baru yang berbeda secara signifikan dengan aturan-aturan di bawah UU No. 5 Tahun 1979, proses-proses peralihan kepemimpinan itu, menurut pengakuan yang terungkap dalam banyak kesempatan, berjalan secara relatif lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Bagaimana pun, suasana reformasi telah mendorong proses pemilihan Kepala Desa menjadi lebih ‘demokratis’. Tidak ada lagi Kepala Desa yang terpilih semata-mata karena ‘dikirim’ atau ‘didukung’ oleh kekuatan-kekuatan politik di luar desa. Menurut pengakuan sejumlah informan, jika dulu proses pemilihan lebih sebagai ritual basa-basi politik demokrasi, proses pemilihan kepala desa sekarang telah menjadi pesta demokrasi yang sesungguhnya. Hal yang sama, khususnya di desa-desa di Kecamatan Golewa, juga terjadi dalam kasus pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa.

Badan Perwakilan Desa di kelima desa penelitian juga telah terbentuk. Dua BPD di dua desa di Kecamatan Golewa, yakni Takatunga dan Todabelu, telah dibentuk dengan mekanisme pemilihan yang diatur dalam peraturan daerah yang baru. Di tiga desa di Kec. Aesesa, BPD juga telah dibentuk, malah jauh sebelum perda yang mengatur tatacara pemilihan anggota BPD dikeluarkan Pemda Kab. Ngada. Ini terjadi karena ada upaya Camat untuk merestrukturisasi LKMD-LKMD yang ada di desa-desa se-Kecamatan Aesesa itu. Menurut kebijakan Camat yang bersangkutan, keanggotaan LKMD yang lama harus diperbarui. Jumlah dan mekanisme pembentukkannya terserah desa masing-masing. Yang jelas Kepala Desa tidak boleh mencampuri urusan pembentukan ‘LKMD Reformasi’ ini. Berbeda dengan LKMD yang lama, Kepala Desa juga tidak boleh memimpin atau menjadi Ketua ‘LKMD Reformasi’ itu. Dalam banyak kasus, pembaruan keanggotaan ‘LKMD reformasi’ dilakukan melalui musyawarah para tokoh masyarakat di tingkat dusun. Hasilnya, umumnya, yang berubah adalah pada unsur pimpinannya. Khususnya Ketua Umum, Ketua 1 dan Ketua 2 dari ‘LKMD Lama’. Ketika peraturan daerah tentang BPD diberlakukan kembali Camat membuat kebijakan bahwa ‘LKMD reformasi’ serta merta menjadi BPD (meski keanggotaannya tidak selalu sesuai dengan komposisi sebagaimana yang diatur dalam perda yang bersangkutan). Tampaknya kebijakan ini juga disetujui oleh para Kepala Desa dan BPD di desa-desa yang bersangkutan. “Untuk sementara, biarlah LKMD yang telah direformasi itu yang berperan sebagai BPD itu,” ujar Kepala Desa Langedhawe. “Jika nanti ada pergantian, baru diberlakukan peraturan yang baru itu,” lanjutnya.

Begitu pula, sedikit-banyaknya reformasi juga telah berpengaruh pada mekanisme-mekanisme politik di dalam desa/kelurahan sendiri. Di Mbay II misalnya, dalam kasus pemilihan kepala lingkungan, bahkan perbedaan kinerja terjadi di masing-masing lingkungan. Di desa ini, di mana terdapat 3 lingkungan (semacam dusun dalam desa), diterapkan 3 sistem pemilihan kepala lingkungan yang berbeda satu sama lainnya. Masing-masing adalah (a) ‘pemilihan demokratis’, sebagaimana yang terjadi di Lingkungan Enek; (b) ‘penunjukkan melalui masyawarah pemuka masyarakat’, terdapat dalam kasus Lingkungan Towak; dan (c) ‘sistem formatur’, seperti yang terjadi di Lingkungan Mbaling10.

Meski begitu, ‘hasil akhir’ dari masing-masing mekanisme pemilihan itu menunjukkan unjuk kerja yang berbeda, yang ironisnya, ‘tidak sesuai’ dengan ‘konsepsi’ yang dibawa oleh masing-masing bentuk pemilihan itu. Misalnya, ‘pemilihan yang demokratis akan menghasilkan kepemimpinan yang memenuhi selera konstituennya’. Atau, ‘pilihan pimpinan masyarakat, terlebih lagi ‘tokoh adat’, akan menggambarkan pandangan masyarakatnya dan sekaligus dapat menjadi ‘sistem pengawas’ (pendorong) bagi bekerjanya sang pemimpin secara maksimal’. Buktinya, dalam kasus Lingkungan Mbaling, yang menerapkan sistem formatur, sebenarnya kandidat terpilih agak enggan menjabat karena kesibukannya sebagai pedagang. Akibatnya, kenierjanya tidak sempurna. Di lingkungan Towak, yang menerapkan sistem penunjukkan melalui musyawarah pemuka masyarakat, kandidat terpilih sebenarnta tidak

10

Sejauh informasi yang ada dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ‘pemilihan/penunjukan’ kepala lingkungan di Mbay II dapat berlangsung secara ‘jujur’, dalam arti tidak adanya kasus ‘kolusi’ dan ‘politik’ uang.

senang dengan mekanisme ini. Akibat sistem yang diterapkan di Towak ini, masyarakat tidak mendukungnya. Padahal ybs. adalah orang yang aktif dan punya komitmen. Sedangkan dalam kasus LingkunganKasus Enek, yang menerapkan ‘sistem pemilihan demokratis’, kepala lingkungan, pada sarnya, memang didukung masyarakat. Masalahnya kemudian adalah bahwa ybs. tetap saja kurang aktif, sehingga tidak mencapai hasil yang masksimal11.

Sejauh informasi yang ada dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ‘pemilihan/penunjukkan’ kepala lingkungan di Mbay II dapat berlangsung secara ‘jujur’, dalam arti tidak adanya kasus ‘kolusi’ dan ‘politik’ uang. Namun, sistem pemilihan Ketua Lingkungan di Mbay secara umum dapat pula dinilai ‘tidak jujur’, khususnya jika dilihat dari mekanisme yang ada, di mana masyarakat tidak memiliki akses langsung terhadap pemilihan ketua lingkungan itu (kecuali kasus Enek). Dengan sistem ini maka kepentingan yang tertampung hanyalah kepentingan pihak ‘tokoh masyarakat’ yang bisa saja memiliki kepentingan tersebunyi, yang berbeda dengan kepentingan masyarakat luas (dengan demikian potensial terjadi penyelewengan). Selain itu, mekanisme ini juga tidak dilengkapi dengan sistem kontrol yang dapat mengendalikan ‘ketidakjujuran’ yang terjadi (jika ada). Termasuk dalam kasus Enek, di mana setelah pemilihan, pimpinan terpilih menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan masyarakat dan masyarakat tidak punya sistem untuk ‘meluruskannya’, termasuk mekanisme adat sekalipun. Aturan formal (peraturan resmi yang dikeluarkan pemerintah kelurahan) yang diharapkan dapat mengontrol pemilihan di tingkat lingkungan ini juga tidak ada. Aturan yang ada hanya berupa kesepakatan-kesepkatan masyarakat yang jauh dari lengkap untuk dapat menghindari atau mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan di belakang hari.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah perubahan-perubahan seputar penyelenggaraan Pemerintahan Desa itu telah berpengaruh pada (1) perbaikan kinerja Pemerintah Desa itu sendiri; dan (2) makna kehadiran Pemerintahan Desa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari?

Seperti telah disinggung di atas, terlalu awal untuk menilai capaian dari perubahan-perubahan yang telah terjadi itu. Meski begitu tidak ada salahnya untuk mereka-reka arahnya di kemudian hari. Untuk pertanyaan pertama, sebagaimana telah dijelaskan di atas, betapapun, ada kenderungan membaiknya kinerja Pemerintah Desa. Setidaknya itu terlihat dari adanya pergeseran apresiasi masyarakat pada proyek dan/atau program Pemerintah Pasca Tahun 1998 ke arah yang lebih positif. Mekanisme-mekanisme politik di tingkat komuniti, seperti juga telah diuraikan di atas, juga mengarah pada situasi yang relatif kondusif bagi berkembangnya iklim demokrasi.

Masalahnya kemudian adalah apakah perubahan-perubahan itu, khususnya yang menyangkut kehadiran institusi Pemerintahan Desa itu benar-benar akan membawa kehidupan masyarakat pada umumnya ke arah yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya? Tampaknya, sejauh informasi yang telah tersedia, arahnya dapat dikatakan belum menggembirakan. Hal ini terkait langsung dengan corak pandangan masyarakat terhadap intitusi Pemerintahan itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian terdahulu, pada dasarnya, tanggapan masyarakat terhadap kehadiran

11

Kinerja yang sama terlihat juga dalam pengalaman penyelenggaraan FGD, di mana bantuan ybs. sangat rendah, sesuatu yang juga di sesali oleh beberapa peserta yang berasal dari lingkungan Enek ini.

Pemerintah Desa terbagi ke dalam dua golongan pandangan. Pandangan ini berasal dari dua golongan yang ada dalam komunitas itu sendiri, yakni pandangan dari kalangan mosalaki dan non-mosalaki. Dalam konteks yang sedikit berbeda, corak pandangan yang berbeda itu berasal dari kelompok suku yang mengklaim diri sebagai pihak yang memiliki hak asal usul di desa yang bersangkutan di satu pihak atau dari kelompok-kelompok suku dan atau sub- suku yang bukan pemilik hak asal usul di lain pihak (lihat kembali uraian pada sub-bab 3.2. terdahulu).

Dalam situasi yang demikian itu, seperti yang telah disebutkan dalam bagian terdahulu, peluang-peluang baru yang terbuka itu ditanggapi ‘positif’ oleh, terutama, kelompok elit, dalam rangka mempertahankan kedudukannya. Dalam banyak kasus, ditanggapi ‘positif’ pula oleh kelompok-kelompok yang kedudukannya kurang diuntungkan dalam konstelasi tatanan yang lama. Bagi kelompok yang kedua ini sumber-sumber kekuatan baru dilihat sebagai peluang untuk keluar dari tatanan yang tidak menguntungkannya itu. Dalam situasi yang demikian itu sumber-sumber kekuatan baru akan menjadi rebutan. Dalam perebutan itu ikatan-ikatan primordial lama akan jadi pengikat rasa solidaritas bersama pula.

Pada hakekatnya, sebagaimana juga terjadi pada masa-masa yang lalu, situasi baru adakalanya merubah konstelasi pemegang kekuasaan. Namun itu harus dibaca sebagai peralihan kekuasaan antar ‘faksi’ yang ada. Sedangkan kedudukan yang tidak seimbang antar kelompok masyarakat dalam ‘faksi’ yang bersangkutan, yakni antara kelompok mosalaki dan non-mosalaki relatif tidak berubah sama sekali. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa tidak terjadi perubahan atas ketidak seimbangan antar kelompok di dalam ‘faksi’ yang bersangkutan?

Belum banyak informasi yang tersedia untuk menjawab pertanyaan ini. Atas dasar beberapa indikasi, dapat dikatakan bahwa tidak bergunanya perubahan-perubahan mendasar itu, sebagaimana yang telah dibawa oleh kebijakan peraturan-perundangan yang baru, terjadi karena, di satu sisi, pada tingkat implementasinya, perubahan yang ada itu tetap mengandung sejumlah ‘ketegangan’. Pertama, tetap terjadi dualisme intitusi: desa (atau yang disebut dengan nama lain) dan Pemerintahan Desa itu sendiri. Dalam situasi sosial yang ditandai oleh adanya segregasi sosial sebagaimana telah diuraikan di atas, dualisme institusi itu tetap saja menjadi, di satu pihak, alasan bagi satu

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 60-69)