• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Peran Pemerintah Desa dengan Masalah Penting

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 48-55)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

3.1.3. Keterkaitan Peran Pemerintah Desa dengan Masalah Penting

Pertautan antara proyek/program terpilih dengan masalah penting yang lahir dari penggalian informasi bersama masyarakat di masing-masing desa, adalah sebagaimana yang tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 3.3. Matriks Korelasi Masalah Penting dengan antara proyek/program Pemerintah Pasca Tahun 1998 Dirinci Berdasarkan Desa

Desa Masalah Penting Proyek Pasca 1998

Mbay II - Padi terserang hama dan penyakit

- Pekarangan dan rumah tergenang air

- Berkurangnya hasil panen

- Padang penggembalaan semakin sempit

- Harga beras turun

- Kurangnya ketrampilan petani (SDM rendah)

- IDT

- Pembuatan

saluran irigasi permanen

- OPK

- JPS Kartu sehat

- PPK

- PPMP

Nggolonio - Menurunnya hasil panen

- Ternak mati

- Air kurang

- Tapal batas hutan lindung

- Perumahan masih darurat

- Pelayanan kesehatan kurang memadai (manusia, ternak)

- Padat karya

- OPK

- PPK

- PPMP

Totomala - Hasil panen turun

- Ternak lepas dan merusak tanaman

- Air minum kurang

- Perbatasan tanah dengan desa Tendakine

- SDM rendah

- Listrik tidak ada

- Padat karya

- Terasiring

- KUT

- Jalan tani

- Salin tani

Langedhawe - Keresahan masyarakat atas hilangnya peo mole

- Terhentinya JPKM

- Hama dan penyakit menyerang tanaman

- Mutu dan ketersediaan hutan menurun

- Jalan Aemali-Danga rusak parah

- Rendahnya harga komoditi rakyat (beras)

- PPK

- Solar cell

- JPS Kartu sehat

- Beras OPK

- PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah)

- Makanan tambahan untuk bayi dan balita Takatunga - Sumber air terancam karena

penebangan kayu di sekitar mata air

- Gizi buruk pada bayi dan balita

- Serangan hama bekicot pada tanaman rakyat

- Ketersediaan lahan yang semakin berkurang

- Sarana transportasi dan komunikasi yang belum memadai

- Kemampuan pengorganisasian wadah- wadah organisasi yang ada kurang

- Bantuan bibit kopi S795 dan saprodinya - P3DT - JPS kartu sehat - JPKM - Jamban keluarga - MCK - PMTAS

- Rehab kantor desa

- Beras OPK Sangadeto - Hasil panen menurun

- Air untuk sawah kurang

- Sengketa tanah Malawawo, Bheto, Pere, Koba Tuwa

- Persehatian batas desa Sangadeto dan desa Rowa

- SDM rendah

- Jalan raya masuk kampung rusak

- Proyek air minum - P3DT - Beras OPK - Padat Karya Desa - PMTAS

Todabelu - Ketersediaan lahan semakin sempit

- Ketidakpastian dampak eksplorasi gas bumi

- Penebangan hutan secara liar

- Harga tanah rendah

- Pemboran gas alam di Daratei

- Proyek kopi kartika

- Beras OPK

- Biaya pendidikan yang tinggi

- Pendistribusian air yang tidak merata

- Makanan Pendamping ASI

- Peningkatan gizi ibu hamil

- Beasiswa untuk anak sekolah

- Bantuan untuk para cacat dan jompo

- Swadaya untuk pembuatan bak air ukuran 50 m3

- Pengembangan

pemasangan jalur pipa air (swadaya murni)

Mangulewa - Ternak lepas merusak tanaman

- Pencurian hasil pertanian

- Kurang air minum

- Tidak ada sarana penghubung (jalan) ke kantong-kantong produksi

- Banyak anak putus sekolah

- Tidak ada PPL - IDT - P3MD - PMTAS - Beras OPK - Takesra - Pembangunan kantor lurah - JPS

Jika diperhatikan informasi-informasi di atas maka terlihat bahwa, di Mbay II, ada 6 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Mbay II. Dari 6 proyek tersebut, hanya ada 2 proyek yang berhubungan secara tidak langsung dengan 2 masalah penting. Proyek tersebut adalah proyek pembuatan saluran irigasi permanen berkait tak langsung dengan berkurangnya hasil panen, dan proyek beras OPK berkait dengan masalah harga beras turun. Namun demikian keterkaitan proyek beras OPK dengan masalah harga beras turun perlu diperiksa lebih jauh, mengurangi dampak atau justru memperburuk keadaan. Masih ada 4 proyek lain yang tidak terkait dengan 4 masalah penting yang lain, yaitu ‘padi terserang hama dan penyakit’ pekarangan dan rumah tergenang air, padang penggembalaan semakin sempit, dan kurangnya ketrampilan petani (SDM rendah).

Di Nggolonio, da 4 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Nggolonio. Dari 4 proyek tersebut hanya ada 1 proyek yang berhubungan langsung dengan 1 masalah penting di Nggolonio, yaitu PPK berkait langsung dengan kurangnya air minum. Dalam program ini masyarakat terlibat dalam setiap tahapannya, termasuk dalam pengelolaan dananya yang transparan. Namun masyarakat menginginkan bahwa proyek tidak hanya menyangkut air minum saja, tetapi paling tidak perlu dibentuk sutau badan pengelola air minum di desa. Masih ada 3 proyek yang lain yang tidak ada kaitannya dengan 5 masalah penting yang lain yaitu, menurunnya hasil panen, ternak mati, tapal batas batas hutan lindung, perumahan masih darurat, pelayanan kesehatan kurang memadai (untuk manusia dan ternak).

Di Totomala, ada 5 proyek pemerintah pasca 1998 daa 6 masalah penting di Totomala. Dari 5 proyek tersebut ada 4 proyek yang berkait secara tidak langsung dengan masalah penting yang dihadapi desa Totomala, yaitu Terasiring, KUT, Jalan Tani, Salin Tani berkait dengan masalah hasil panen turun. Namun keterkaitan ini masih perlu diperiksa lebih mendalam lagi, apakah dampak proyek-proyek di atas mengurangi dampak ataukah justru sebaliknya. Masih ada 1 proyek yaitu padat karya yang tidak terkait dengan 5 masalah penting ternak lepas dan merusak tanaman, air minum kurang, perbatasan dengan Tendakine, SDM rendah, listrik tidak ada.

Di Langedhawe, ada 6 proyek pemerintah pasca 1998 dan 6 masalah penting di Langedhawe. Dari 6 proyek tersebut hanya ada 1 proyek yang

berkait secara tak langsung dengan masalah penting, yaitu proyek beras OPK dengan rendahnya harga beras. Tetapi ini juga perlu diperiksa lebih jauh, apakah mengurangi dampak atau justru memperburuk keadaan. Masih ada 5 proyek lain yang tidak terkait dengan 5 masalah penting, seperti keresahan masyarakat atas hilangnya peo mole, terhentinya JPKM, hama dan penyakit menyerang tanaman, mutu dan ketersediaan hutan menurun, Jl Aemali-Danga rusak parah, rendahnya harga komoditi rakyat.

Sementara itu, di Takatunga, ada 9 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Takatunga, dan ada 6 masalah penting. Dari 9 proyek tersebut, ada 4 proyek pemerintah pasca 1998 yang berkait secara langsung dengan 2 masalah penting di Takatunga, yaitu masalah gizi buruk pada bayi dan balita terkait dengan proyek JPKM, JPS Kartu sehat, dan PMTAS, hanya saja belum dapat diketahui sejauh mana proyek ini efektif dan tepat sasaran. Sedangkan proyek P3DT berkait dengan masalah transportasi dan komunikasi yang belum memadai, Pada awalnya masyarakat puas karena permintaannya akan pembangunan jalan direspon oleh pemerintah. Tetapi proses pembangunannya terhenti karena ada kesalahan koordinasi antara konsultan dengan kontraktor yang menyebabkan keterlibatan masyarakat untuk melanjutkannya secara swadaya. Hasil yang tidak maksimal ini mengundang rasa tidak puas masyarakat, padahal tidak sedikit tanaman produktif milik masyarakat yang digusur tanpa ganti rugi. Masih ada 5 proyek lain yang tidak terkait dengan 3 masalah penting seperti sumber air terancam karena penebangan kayu di sekitar mata air, serangan bekicot pada tanaman rakyat, ketersediaan lahan yang semakin berkurang.

Di Sangadeto, ada 5 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Sangadeto, yaitu proyek air minum, P3DT, Beras OPK, Padat Karya desa dan PMTAS, tetapi tidak ada yang berkait langsung dengan 6 masalah penting di Sangadeto, yaitu hasil panen menurun, air untuk sawah kurang, sengketa tanah Malawawo, Bheto, Pere, Koba Tuwa, Persehatian batas desa Sangadeto dengan Rowa, SDM rendah, dan jalan raya masuk kampung rusak.

Di Todabelu, ada 10 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Todabelu, dan 6 masalah penting yang dihadapi masyarakat. Dari 10 proyek, ada 3 yang berkait secara langsung dengan masalah penting, yaitu proyek beasiswa untuk anak sekolah berkait dengan masalah biaya pendidikan yang tinggi; dan proyek pembuatan bak air ukuran 50m3 dan pemasangan jalur pipa air berkait dengan masalah pendistribusian air yang tidak merata. Dua proyek yang disebutkan terakhir merupakan swadaya murni masyarakat Todabelu. Proyek-proyek yang lain (7 proyek ) tidak terkait dengan 4 masalah penting lainnya. Sedangkan di Mangulewa, ada 7 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di Mangulewa, dan ada 6 masalah penting yang dihadapi masyarakat. Tetapi dari 7 proyek tersebut tidak ada yang berkait secara langsung dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa ada 52 proyek pemerintah pasca 1998 yang dilaksanakan di 8 desa penelitian, dengan 48 masalah penting yang menonjol. Dari 52 proyek tersebut ada 15 proyek terkait langsung dan tidak langsung dengan 8 masalah penting di 8 desa penelitian, itupun ada 2 proyek yang merupakan swadaya murni masyarakat. Meskipun berkait secara langsung maupun tidak langsung, tetapi perlu diperiksa lebih jauh lagi mengenai dampak-dampak yang muncul, mengurangi dampak buruk ataukah justru memperburuk keadaan. Banyak proyek yang tidak menjawab persoalan

karena tidak menyentuh langsung pada akar masalah (seperti analisis pada akar masalah), misalnya keterkaitan proyek beras OPK dengan harga beras turun, dalam jangka panjang ini justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat. Masih ada 37 proyek pemerintah pasca 1998 yang tidak terkait langsung maupun tidak langsung dengan 40 masalah penting di desa-desa penelitian.

Jika diperbandingkan jumlah proyek yang berkaitan dengan masalah penting dan jumlah proyek yang tidak terkait dengan masalah penting maka diperoleh tabel berikut in.

Tabel 3.4 : Tabel Perbandingan Jumlah Proyek Pasca 1998 dan Masalah Penting Dirinci menurut Desa Penelitian

Desa Jumlah proyek pasca 1998 Jumlah masalah penting

Jumlah proyek yang berkait dengan masalah penting

Jml proyek yang tidak terkait dengan masalah penting

Mbay II 6 6 2 proyek – 1 masalah 4 proyek – 5 masalah

Nggolonio 4 6 1 proyek – 1 masalah 3 proyek – 5 masalah

Totomala 5 6 4 proyek – 1 masalah 1 proyek – 5 masalah

Langedhawe 6 6 1 proyek – 1 masalah 5 proyek – 5 masalah

Takatunga 9 6 4 proyek – 2 masalah 5 proyek – 4 masalah

Sangadeto 5 6 0 proyek – 0 masalah 5 proyek – 6 masalah

Todabelu 10 6 3 proyek – 2 masalah 7 proyek – 5 masalah

Mangulewa 7 6 0 proyek – 0 masalah 7 proyek – 6 masalah

Total 52 48 15 proyek – 8 masalah 37 proyek – 40

masalah

Sementara itu, jika dilihat dari indikator-indikator (a) aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa serta (b) aspek ‘rasa tanggungjawab’ (responsiveness) pemerintahan desa, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan desa tidak memiliki syarat yang cukup untuk dijadikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan masyarakat di masing-masing desa penelitian.

Untuk mengetahui kinerja aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa ini coba digunakan indikator penilaian tentang (1) ketersediaan informasi pengelolaan keuangan dan akses untuk memperolehnya4; (2) cakupan pengetahuan tentang informasi pengelolaan keuangan; dan (3) kejujuran dalam proses pemilihan pemerintahan desa.

Hasil penggalian informasi yang berkenaan dengan indikator dan sub- indikator tentang aspek transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di masing-masing desa penelitian adalah sebagaimana yang dapat dilihat dalam catatan untuk desa Mbay II, sekedar menyebut satu contoh saja.

Tentang jumlah dana: Sebagaimana yang tergambarkan dalam pengetahuan masyarakat tentang proyek-proyek sebelum 1998, pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui berapa dana ‘milik’ desa secara keseluruhan. Namun, ada indikasi yang menunjukkan bahwa mereka mengetahui jumlah dana pada beberapa kasus proyek, namun beberapa proyek lainnya tidak. Meski ada kalanya masyarakat tahu berapa jumlahnya, umumnya mereka tidak tahu uangnya ada di mana. Sebagai contoh dapat

4 Sub-indikator dalam indikator ini adalah (a) pengetahuan warga tentang jumlah dana pembangunan; (b) pengetahuan tentang alokasi dana; (c) pengetahuan tentang alokasi dana; dan (d) keberadaan sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan di masing-masing desa itu sendiri.

dilihat dalam kasus proyek jalan …….. -- ………. Menurut sejumlah informan, dari pihak kontraktor diketahui bahwa dana yang tersedia untuk proyek itu adalah 60 juta. Namun yang terpakai adalah 30 juta. Sisanya tidak tahu kemana dan untuk apa. “Material yang tersisa di proyek di bawa ke kecamatan, entah untuk apa”, cerita seorang peserta diskusi kelompok terarah. “Katanya hanya untuk disimpan. Nyatanya sudah tidak ada lagi,” lanjut yang bersangkutan. (…) “Contoh lainnya adalah tentang keberadaan traktor, yang tidak jelas statusnya. Ada yang bilang traktor itu dibeli dari uang bangdes. Tapi ada juga yang bilang traktor itu milik pribadi aparat desa ketika itu,” cerita peserta yang lain. “Ada pula yang mengatakan bahwa memang ada bantuan traktor untuk desa ini. Tapi tidak tahu berapa jumlahnya, dan untuk siapa traktor itu sebenarnya. Apakah dikelola oleh pemdes atau diserahkan kepada masyarakat yang berhak,” timpal seorang peserta yang lain lagi. (…) Lurah sekarang pun baru tahu bahwa traktor itu sebenarnya adalah untuk masyarakat. (…) Kasus lain adalah tentang program IDT. Dalam kasus ini masyarakat tahu berapa jumlah uang yang harus diterima oleh setiap pokmas, tetapi tidak tahu berapa jumlah dana IDT yang seharusnya jatuh ke desa mereka secara keseluruhan. (…) Dalam kasus proyek-proyek yang dilaksanakan setelah tahun 1998 keadaannya tidak berbeda. Ini terlihat dari ketidaktahuan masyarakat tentang jumlah dana PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan PPMP (Prgoram Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan) yang sudah turun pada tahun anggaran 2000 (PPK) dan 2001 (PPMK). Begitu juga dengan jumlah dana DPD (dana pembangunan desa). (…)

Tentang sumber atau asal dana: Masyarakat hanya tahu bahwa dana-dana itu berasal dari pemerintah. Tidak tahu asal dana yang lebih rinci. Misalnya dari proyek atau program apa, kecuali untuk beberapa kasus. Adakalanya masyarakat tahu sumber dana secara lebih rinci setelah ada ‘masalah’. Misalnya, kasus dana IDT yang digunakan untuk pembuatan jalan tani (perbaikan pematang-pematang sawah). Sebelumnya masyarakat tidak tahu kalau dana yang digunakan untuk pembangunan jalan tani itu dari program IDT. Setelah ITWILKAB turun untuk memonitoring program IDT, dan menemukan penggunaan dana IDT untuk pembangunan jalan tani dan tidak digunakan untuk usaha produktif/dana b ergulir, dan ITWILKAB mempermasalahkannya, barulah masyarakat tahu bahwa dana pembangunan jalan tani itu pada dasarnya adalah dana IDT yang harus digunakan untuk usaha produktif/dana bergulir. Situasi yang sama juga terjadi pada kasus proyek-proyek setelah 1998.

Tentang alokasi dana: Sama halnya dengan masalah jumlah dan sumber dana, pada dasarnya masyarakat tidak tahu tentang lokasi dana milik desa secara keseluruhan, bahkan alokasi dana per proyek sekalipun. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan kasus ‘Pembuatan saluran kwarter permanen’ yang dananya bersumber dari PPK. Dalam kasus ini masyarakat hanya tahu bahwa dana PPK itu digunakan untuk pembelian material, upah tenaga kerja, dan transportasi, dll. Tapi masyarakat tidak tahu berapa jumlah dana yang digunakan untuk masing-masing keperluan itu. Menurut informasi yang ada, dalam kasus ini, masyarakat, termasuk LKMD, hanya terlibat dalam menentukan jenis proyek, tapi tidak mengetahui ‘sistem anggaran’ (dimana alokasi penggunaan dana diatur) yang akan terjadi dalam proyek tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada dana PPMP dan DPD. “Yang mengetahui alokasi dana ini hanyalah Kepdes dan LKMD periode lalu, dan lebih khusus lagi hanya diketahui oleh orang-orang yang mengurus proyek- proyek itu,” ujar seorang peserta diskusi yang diamini oleh peserta diskusi lainnya. Malah, Lurah sekarang pun, yang baru dilantik pada Oktober 2000 lalu, belum mengetahui anggaran masing-masing proyek itu. “Tidak ada memori dari pejabat-pejabat sebelumya,” kilah Lurah Mbay II ketika dikonformasi.

Tentang realisasi dana: Sejauh ini, khususnya untuk proyek-proyek setelah tahun 1998, dapat dikatakan bahwa tidak ada realisasi yang menyimpang dari proyek-proyek yang dilaksanakan. Setidaknya, belum ada pengeluaran dana (untuk berbagai keperluan) yang dianggap aneh oleh masyarakat.

Tentang Keberadaan informasi: Informasi tentang jumlah, sumber, alokasi dan realisasi masing-masing dana proyek pada dasarnya tersedia. Tetapi, menurut masyarakat, mereka ‘tidak boleh’ – paling tidak dalam pengertian secara tidak langsung -- mengetahuinya, seperti yang terungkap dalam kata-kata: ‘kami tidak diundang karena kami bodoh’; ‘kami-kami yang banyak omong, kami tidak diundang, mungkin takut dikritik’. Perlu pula dikemukakan bahwa minat masyarakat untuk mengetahui masalah dana ini atau proyek secara keseluruhan relatif rendah. Sebagaimana yang

tergambarkan dalam respon berikut: “Capek omong tentang proyek itu. Biar mereka saja yang tahu”.

Perlu pula ditambahkan bahwa pada umumnya informasi-nformasi tentang hal-hal di atas yang dimiliki oleh masyarakat lebih bersifat ‘desas-desus’. Artinya informasi yang di peroleh bukan dari saluran-saluran resmi dari pihak pemdes atau pihak yang berwenang/sumber resmi lainnya melalui mekanisme-mekanisme yang resmi pula. Selain itu, pernyataan-pernyataan itu tidak pula didukung oleh sumber-sumber tertulis yang resmi.

Karenanya, dapat pula dimaklumi jika tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja unsur-unsur pemerintahan desa terhitung rendah. Beberapa kesimpulan yang menarik untuk dipetik dalam kesempatan ini adalah sebagai berikut:

Di Mbay II : (…) Pada kasus Mbay II ini kebanyakan masyarakat bukannya hanya tidak puas dan hanya mampu ‘menggerutu’ saja, melainkan kebanyakan masyarakat sudah ‘tidak peduli’ dengan lembaga pemerintahan berikut program dan proyek-proyeknya. Ini terjadi karena masyarakat sudah sangat kecewa, berdasarkan pengalaman-pengalaman pada masa lalunya. Namun mereka juga tidak menunjukkan respon yang lebih ‘agresif’ (misalnya protes terbuka), melainkan hanya ‘menggerutu’. Ada kecendrungan untuk melakukan ‘perlawanan pasif’ dengan tidak mau ikut ‘perintah’ Lurah atau ketua-ketua lingkungan yang dianggap tidak mewakili kepentingan mereka. Mereka sangat kecewa dengan ‘sistem pemerintahan’ yang lama, di mana tidak ada pertanggungjawaban apapun, seperti penyelewengan-penyelewangan dana yang diyakini terjadi selama ini. Masalah ini menjadi kendala bagi pemerintahan yang baru, yang coba ‘berusaha bekerja secara lebih baik’.

Di Nggolonio : (…) Masyarakat tidak merasa puas dengan proses perencanaan proyek IDT. Ini terjadi karena tidak semua anggota pokmas dilibatkan. Selain itu, jumlah dana yang akan diterima juga ditentukan dari atas. Pendamping juga mendominasi kegiatan perencanaan ini. Meski begitu, dalam proses pelaksanaannya, masyarakat merasa puas karena dana dikelola sendiri. Artinya masyarakat dikasih kepercayaan dan langsung mendapatkan uang tunai. Tetapi ada faktor lain yang membuat masyarkat tidak puas, yaitu pendamping yang tidak memotivasi penduduk. Selain itu, juga karena pendamping ikut mengelola uang kelompok. Pada masa pemeliharaan proyek masyarakat merasa puas karena dana ditinggalkan pada kelompok, meski ada juga unsur tidak puasnya karena tidak ada perhatian lebih lanjut dari pemerintah. Di akhir proyek pendamping pun pergi tanpa pamit. (…) Pada umumnya masyarakat puas dengan proyek PPK. Ini terjadi karena masyarakat merasa dilibatkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada masa pemeliharaan. Keterlibatan ini meliputi sebagian besar penduduk desa. Masyarakat merasa puas juga karena ada keterbukaan mengenai jumlah dan penggunaan dana. Selain itu juga karena proyek langsung ditangani oleh masyarakat sendiri. Meski begitu, masih juga terselip sedikit rasa tidak puas. Pasalnya, badan pengelola air minum belum juga terbentuk.

Di Totomala : (…) Sejak awalnya masyarakat sudah punya masalah dengan proyek IFAD. Hal ini berpangkal dari tidak meratanya pembagian tanah. Dalam perencanaan dikatakan bahwa setiap peserta proyek akan menerima 0,5 ha lahan. Nyatanya ada yang sampai mendapat 5 ha. (…) Masyarakat juga tidak puas dengan proyek Padat Karya. Hal ini berpangkal dari ketentuan dalam tahap pemeliharaan. Pada tahap itu, tanpa alasan yang jelas, tim pemelihara hanya berasal dari Watu Api saja (Dusun I). Keputusan saat itu dibuat oleh fasilitator yang berasal dari LSM. Protes berlangsung hanya dengan keluhan di “belakang”. (…) Dari kasus pembagian jatah air minum melalui pipa, ada protes dari penduduk Dusun III terhadap pembagian air yang tidak merata. Padahal mereka merasa telah membayar iuran dengan rajin. Padahal, di dusun lain, banyak warga dusun yang tidak rajin membayar iuran tetap.

Di Langedhawe : (…) Proses perencanaan proyek jalan Aemali – Danga tidak memuaskan masyarakat karena mereka tidak dilibatkan Proses pelaksanaan juga tidak memuaskan karena mutu jalan yang dihasilkan jelek. “Pemerintah menjanjikan jalan ini akan diaspal. Ternyata janji tinggal janji,” keluh seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pada tahap pemeliharaan masyarakat juga merasa tidak puas karena juga meras tidak

dilibatkan. (…) Program JPS kartu sehat juga dinilai peserta diskusi terarah sebagai proyek yang tidak memuaskan. Ini terjadi karena tidak ada penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan proyek ini kepada warga. Meski begitu, pada tahap pelaksanaan, masyarakat merasa puas karena dilayani oleh puskesma/polindes dengan tanpa biaya dan para pemegang kartu dilayani dengan baik serta proses pelayanannya cepat.

Di Takatunga : (…) Meski masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan proyek jalan Sadha – Takatunga – Ssarasedu, masyarakat merasa puas dengan proyek ini. Ini terjad karena jalan yang menghubungkan ketiga kampung itu memang sudah diusulkan dan diidam-idamkan sejak lama. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus ruas jalan Laja

– Takatunga. “Oto (kendaraan roda empat) sudah masuk, sehingga lebih mudah

mengangkut barang hasil.” Jelas seorang peserta diskusi menjelaskan makna kepuasannya. Meski begitu, pada tahap pemeliharaan, masyarakat merasa tidak puas. Ini terjadi karena proses pemeliharaan ini kurang terpadu. “Di mana-mana terjadi kerusakan dan mutu jalan kurang baik,” ujar seorang peserta mengungkapkan kekecewaannya. (…) Begitu pula dengan kasus proyek jalan dari program P3DT, yang menghubungkan Ngorabolo – Malamako (Mauponggo). Masyarakat puas dengan proses perencanaannya. Begitu pula pada tahap pelaksanaan. “Ruas jalan ini melintasi kantong-kantong produksi,” ujar seorang peserta diskusi menjelaskan alasan kepuasannya. Hanya saja masyarakat kurang puas dengan proses pemeliharaan proyek. “Pemerintah tidak terlibat. Masak hanya dari masyarakat saja.” Kata seorang peserta diskusi.

Di Sangadeto : (…) Dalam kasus program IDT, warga merasa ‘terpaksa puas’. Artinya, masyarakat sebenarnya ingin dilibatkan secara penuh. Tapi, nyatanya, dalam proses

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 48-55)