• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah ‘konflik/sengketa tanah’ (Kategori M)

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 86-101)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

I. Ketersediaan lahan yang makin

4.1.5. Masalah ‘konflik/sengketa tanah’ (Kategori M)

Setidaknya ada 9 kasus sengketa tanah yang dapat dijadikan cermin dalam penelitian ini. Masing-masing adalah kasus (1) sengketa tanah Enek (hasil wawancara peristiwa penting/pp, Mbay); (2) kasus gugatan Amir Mandar Cs. (hasil studi etnografi, Mbay); (3) konflik perebutan padang garam (pp. Nggolonio); (4) sengketa tapal batas dengan hutan lindung (fgd, Nggolonio); (5) sengketa perbatasan dengan desa Tendakinde (fgd & pp, Totomala); (6) sengketa tanah suku Rendu – Raja (etnografi, Langedhawe); (7) perebutan tanah warisan (pp, Takatunga); (8) sengketa tanah Malowawo (fgd & pp, Sangadeto); dan (9) sengketa tapal batas dengan desa Rowa (fgd, Sangadeto).

Jika dicermati bentuk pertikaian para pihak pada masing-masing kasus dimaksud, kesembilan kasus itu dapat dipilah-pilah menjadi 3 macam. Pertama, pertikaian untuk memperebutkan sebidang tanah/lahan tertentu (Kasus 1, 2, 3, 6, dan 8); kedua, sengketa batas lahan (Kasus 4, 5, dan 9); dan ketiga, ‘masalah’ yang muncul dari situasi ketidakjelasan atau ketidakpastian hak para pihak dalam memperoleh akses pada tanah ataupun sumberdaya alam lainnya (Kasus 7).

Deskripsi masing-masing kasus sengketa tanah ini adalah sebagai tercantum dalam Box 5a hingga Box 5c berikut.

Box 5a : Rangkuman kasus-kasus sengketa perebutan suatu bidang lahan tertentu

Kasus Tanah Enek (Mbay II): Kasus ini berawal dari penetapan batas – yang secara formal tercakup dalam program ‘persehatian batas desa’ – antara (semula) desa (sekarang) Kelurahan Mbay I dan (dulu) desa (sekarang) Kelurahan Mbay II yang berlangsung pada tahun 1992 lalu. Masalah muncul ketika sebagian dari wilayah yang disebut ‘Kampung Enek’ menjadi bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Mbay I. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan di Kelurahan Mbay II, Kampung Enek adalah ‘kampung lama’ (kampung adat) dari warga Kelurahan Mbay II sekarang.

Penetapan batas definitif wilayah ini sebenarnya, ‘secara hukum formal’, tidak ada masalah. Artinya, meski pun sebidang berada di wilayah administrasi desa tertentu dan ‘penguasa’ dan/atau ‘pemilik’-nya tinggal di desa yang lain, hak ‘penguasaan’ dan/atau ‘pemilikan’ warga yang tinggal di desa lain itu adalah tetap. Para peserta diskusi kelompok terarah pun sepakat bahwa perbedaan status wilayah administrasi pemerintahan desa itu tidak serta merta mengalihkan status penguasaan lahan/tanah. Namun, dalam realitas kehidupan sehari-hari faktanya berbeda dengan wacana yang berkembang itu. Boleh jadi, masalahnya akan menjadi lain ketika hal itu terjadi di dalam konteks sosial tertentu di mana, di satu pihak, status hak itu tidak terjamin secara pasti dalam sistem peraturan-perundangan yang formal; dan di pihak lain, status hak (tradisional) yang dipegang itu beralas pada satuan sosial-budaya yang berbasis pada satuan teritorial tertentu. Sebagaimana yang terjadi di wilayah penelitian ini, dalam hal ini bagi warga Desa/Kelurahan Mbay I, sebagaimana yang dikemukakan oleh warga Desa/Kelurahan Mbay II, penetapan batas ini dikuatirkan memberikan semacam ‘dasar hukum’ bahwa wilayah ‘kampung Enek’ yang setelah ‘persehatian batas desa’ itu menjadi wilayah teritorial ‘milik’ Desa/Kelurahan Mbay I. Menurut warga desa/kelurahan Mbay II, adanya ‘pengakuan pemilikan’ oleh warga Mbay I itu ditandai oleh adanya ‘penyerobotan’ warga desa/kelurahan Mbay I terhadap ladang-ladang yang sebenarnya ‘dimiliki’ oleh warga desa/kelurahan Mbay II sekarang, hal mana tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelum penetapan batas defenitif pada tahun 1992 itu.

Bentuk ‘penyerobotan’ itu adalah ‘ditanaminya ladang-ladang yang, menurut warga Kelurahan Mbay I, tidak digarap’; ‘dicabutnya pagar-pagar ladang, sehingga ternak mengganggu tanaman yang sedang tumbuh’; dan ‘dibakarnya rumah milik warga desa/kelurahan Mbay II yang berada di lokasi yang disengketakan itu oleh warga desa/kelurahan Mbay I”. Beberapa warga desa/kelurahan Mbay I malah ada yang membangun rumah dan rumah ladang. Penyerobotan oleh warga desa/kelurahan Mbay I itu mulai terjadi pada tahun ….

Tindakan ‘penyerobatan’ oleh warga desa/kelurahan Mbay I ini dibalas oleh warga desa/kelurahan Mbay II dengan cara yang sama. Pagar-pagar ladang baru dicabut, ladang dirusak, dan ada pula rumah/pondok baru yang dibakar.

Sejauh ini, menurut warga desa/kelurahan Mbay II, belum ada korban nyawa di kedua belah pihak2. Memang, tidak terlalu jelas apa dampak sengketa tanah Enek ini bagi kehidupan

warga kedua desa ini sehari-hari. Beberapa warga mengaku bahwa atas tindakan itu “kami, (warga Kel. Mbay II) kehilangan lahan garapan. Hidup jadi tambah susah”. Meski begitu, praktis hubungan personal, baik atas dasar hubungan kekerabatan, ketetangaan, maupun atas dasar hubungan-hubungan sosial lain pada umumnya, menurut berbagai pihak, masih berlangsung seperti sediakala. Warga Mbay II masih bisa lalulalang di wilayah Mbay I. Begitu pula sebaliknya. “Sebenarnya kami ini saling bersaudara semuanya,” ungkap seorang tokoh masyarakat

Kelurahan Mbay II.

Hanya saja, suasana akan berubah menjadi lain ketika warga desa diajak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan kehidupannya. Seringkali pula suatu

‘ketidaknormalan’, misalnya ada kasus pembunuhan atau masukkan ternak ke ladang penduduk, dicurigai sebagai bagian dari kasus sengketa tanah Enek ini. Adanya rasa saling curiga antar kedua belah pihak amat terasa dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kasus sengketa tanah Enek ini mengeraskan sengketa atas nama ‘suku Dhawe’ dan ‘Suku Mbay’ yang ‘dipicu’ oleh kasus gugatan oleh Amir Mandar Cs. (lihat uraian dalam bagian-bagian berikut). Kebetulan pula Amir Mandar Cs. adalah warga Kel. Mbay I sekarang. Tuduhan adanya upaya-upaya ekspansi dari ‘Suku Mbay’ semakin mendapatkan pembenarannya3.

Menurut warga desa/kelurahan Mbay II yang ikut dalam diskusi kelompok terarah, ‘penyerobotan’ ini bukanlah tindakan warga desa/kelurahan Mbay I orang per orang, melainkan ‘tindakan bersama’ warga Kel. Mbay I. Ini terlihat dari keterlibatan aparat pemerintahan dan LKMD desa/kelurahan Mbay I dalam ‘merestui’ tindakan-tindakan ‘penyerobotan’ yang dilakukan warga desa/kelurahan Mbay I itu. Malah, menurut warga desa/kelurahan Mbay II, tanah (sebagian) ‘Kampung Enek’ itu akan dibagi-bagi kepada warga desa/kelurahan Mbay I lainnya. Sebab, hasil ‘persehatian batas desa’ antara Kel. Mbay I dan Kel. Mbay II telah

menyebabkan beralihnya ‘hak penguasaan’ (sebagian) tanah Kampung Enek ini pada masyarakat warga Kel. Mbay I.

Meski desa/kelurahan Mbay I dan Mbay II sudah ada semenjak sebelum tahun 1992 (desa Mbay I dan Mbay II ada setelah adanya kebijakan penataan desa pada tahun 1960-an), kasus perebutan tanah ini tidak terjadi, karena belum ada ‘batas desa/kelurahan definitif’ itu. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah, tidak adanya kasus penyerobotan sebelum tahun 1992 itu terjadi karena pada masa itu, dengan belum adanya ‘persehatian tata batas’, maka posisi dan/atau status penguasaan lahan masih berada di bawah sistem pengelolaan satuan wilayah administrasi hamente (dalam hal ini hamente Mbay).

Karena itu, warga desa/kelurahan Mbay II menuntut batas definitif melalui ‘persehatian batas desa’ tahun 1992 itu dibatalkan, dan memasukkan wilayah yang disengketakan itu menjadi wilayah administratif desa/kelurahan Mbay II sekarang. Sebab, menurut warga Mbay II, tanah yang disengketakan itu adalah haknya warga desa/kelurahan Mbay II sekarang.

Adapun alasan yang menjadi dasar tuntutan warga Kel. Mbay II itu adalah sejarah keberadaan kampung Enek dan Desa – dan kemudian Kelurahan – Mbay II itu sendiri. Pada zaman ‘pemerintahan hamente’ (kira-kira hingga tahun 1950-an) wilayah Kelurahan Mbay I dan Mbay II sekarang termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Hamente Mbay. Wilayahnya meliputi ‘ulu Wundu ikong Towak’. Setelah hamente dihapus, kira-kira awal tahun 1960-an, wilayah Hamente Mbay ini dibagi-bagi ke dalam 3 wilayah yang kemudian disebut desa. Masing- masing adalah (1) desa Uluda (meliputi ‘kampung-kampung’ Wundu, Nggolombai, Lelak, dan Mbo’a Tiba); (2) desa Rungaleke (meliputi ‘kampung-kampung’ Bo’a Ras, Bo’a Maki, dan

Mbaling); dan (3) desa Shagolewa (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, dan Enek). Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah ………, yang diberlakukan pada tahun 19.., ketiga wilayah desa ini ‘dilebur’ lagi ke dalam 2 (dua) desa (baru), setelah mengurangi

2

Ketika diskusi kelompok terarah berlangsung terungkap bahwa pernah terjadi sebuah kasus pembunuhan. Terungkap pula dalam diskusi kelompok terarah ‘kasus pembunuhan’ turut meningkatkan ketegangan antar warga Mbay I dan Mbay II. Ada dugaan kasus ini terkait dengan kasus sengketa tanah Enek ini.

3

Meski begitu, seorang informan yang sempat diwawancarai ‘mengelak’ untuk mengatakan bahwa (mayoritas) warga Mbay II adalah bagian dari ‘suku Dhawe’ ataupun ‘suku Mbay’. “Kami ini ya suku Mbay II itulah,” katanya. “Asal kami ya dari Kampung Enek itu,” tambahnya.

wilayah (kampung-kampung) lama/terdahulu dan menambahkannya dengan wilayah (kampung- kampung) baru. Kedua desa itu adalah desa Mbay I (meliputi ‘kampung-kampung’ Nggolombay, Lelak, Mbo’a Tiba, Bo’a Ras, dan Mbo’a Maki); dan Desa Mbay II (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, Enek, dan Mbaling). Sementara ‘kampung’ Wundu di masukkan ke dalam wilayah administrasi Desa Dhawe. Pada tahun 1998/1999 lalu, status desa Mbay I dan Mbay II berubah pula menjadi Kelurahan Mbay I dan Kelurahan Mbay II. Meski begitu, sebelum dilakukannya ‘persehatian batas desa’ pada tahun 1992 itu, batas pasti di antara kedua desa itu tidaklah begitu jelas/pasti.

Menurut seorang informan (Yosef Nusa), penetapan batas definitif pada tahun 1992 itu dilakukan tanpa musyawarah dengan warga desa (ketika itu) Mbay II. Penetapan itu hanya dilakukan oleh Camat ketika itu, dengan hanya melibatkan ‘tokoh-tokoh masyarakat’ yang ketika itu menjadi anggota LKMD di masing-masing desa. Pertemuan untuk menetapkan batas defenitif itu tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Dengan kata lain, penetapan itu hanya melibatkan LKMD yang menurut Yosef Nusa adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Kepala Desa ketika itu dan tidak diakui oleh masyarakatt sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan masyarakat ketika itu.

Menurut Yosef Nusa, karena tidak aspiratif, warga masyarakat memprotes keputusan itu. Pada tahun 1993, untuk merespons keberatan warga desa/kelurahan Mbay II, diadakan pertemuan di Alorongga yang dihadiri para tokoh adat dari Mbay I dan Mbay II, atas prakarsa Pemerintah Desa Mbay I ketika itu. Anggota panitia penyelenggara pertemuan itu diambil dari warga kedua desa yang tengah ‘bertikai’ itu. Ternyata dalam pelaksanaannya masyarakat Mbay II tidak dilibatkan (Mengapa?). Hal ini menimbulkan protes masyarakat Mbay II. Apalagi dalam pemetaan di Kampung Enek, penitia sempat membongkar salah satu rumah penduduk dengan alasan rumah tersebut berada di jalur jalan yang baru dipetakan itu. Protes masyarakat Mbay II membuahkan upaya pertemuan antara masyarakat kedua desa yang diselenggarakan di Mbay II. Tapi upaya penyelesaian ini macet.

Menurut informasi Lurah Kel. Mbay II sekarang, masalah tanah Kampung Enek ini bisa menimbulkan masalah ‘sara’ (khususnya konflik antar agama). Karena warga masyarakat Mbay I mayoritas beragama Islam, sedangkan mayoritas warga Kel. Mbay II adalah beragama Katolik.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan di Mbay II itu adalah: Tokoh-tokoh masyarakat kedua desa; Tokoh-tokoh adat kedua desa; Kades kedua desa; Anggota LKMD kedua desa.

Upaya lain yang sempat dilakukan warga desa/kelurahan Mbay II adalah melaporkan masalah ini ke DPRD Kabupaten Ngada. Upaya ini dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Desa Mbay II, tokoh adat dan tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Adapun isi surat dimaksud berintikan bahwa meminta agar persehatian batas desa dibatalkan saja, dan seluruh wilayah Kampung Enek masuk ke wilayah desa Mbay II. Sementara ini, pihak DPRD meminta data-data tertulis tentang kasus dimaksud; minta peta desa, yang kesemuanya telah dipenuhi. Pada tahap selanjutnya pihak DPRD telah pula melakukan peninjauan ke lokasi. Setelah itu, belum ada perkembangan yang lain.

Kasus gugatan Amir Mandar Cs. (Mbay I): Pada tanggal 12 Oktober 1994, Muhammad Nur, lahir di Mbay, jenis kelamin laki-laki, umur 31 tahun, beragama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan S. Parman Bajawa, Kelurahan Ngedukelu, Kecamatan Ngadabawa, (ketika itu, pen) Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 12 Oktober 1994 No. W.17 – DF – AT.01.10 – 16 – 94, bertindak untuk dan atas nama: Amir Mandar, jenis kelamin laki-laki, lahir di Mbay, umur 74 tahun, beragama Islam, pekerjaan bertani, bertempat tinggal di Kampung Boaras Baru (Dusun Ameaba), Desa Mbay I, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada, mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Bajawa.

Muhammad Nur sejatinya adalah anak kandung Amir Mandar. Gugatan mereka itu ditujukan pada 6 (enam) pihak. Lima pihak di antaranya adalah ‘fungsionaris adat’ suku Dhawe; dan satu lainnya adalah Pemerintah Republik Indonesia, cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, cq. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ngada.

Singkat cerita, gugatan Amir Mandar Cs. berpokok pada tanah bekas garapan pribadi (Amir Mandar) seluas 3.600 meter persegi, yang menurut adat Suku Mbay disebut terang, yang termasuk ke dalam tanah-tanah yang dilepaskan Ketua Suku Dhawe kepada Pemerintah Daerah setempat melalui Surat Penyerahan Tanah pada tanggal 14 Mei 1987. Hak penguasaan tanah terang menurut adat suku Mbay tetap berada pada bekas penggarap; tidak ada pihak yang dapat menguasai tanah itu kecuali bekas penggarapnya sendiri. Tanah bekas garapan pribadi itu

termasuk ke dalam tanah Suku Mbay, karena pembuka tanah itu, Amir Mandar, adalah Suku Mbay.

Menurut Amir Mandar Cs., sepanjang menyangkut tanah sengketa, penyerahan tanah tahun 1987 itu tidak sah karena penggugat dan suku Mbay tidak terlibat dalam penyerahan tanah itu. Padahal, menurut penggugat, suku Dhawe tidak berhak melepaskan tanah suku atau tanah perorangan dari Suku Mbay.

Tanah-tanah yang kemudian diklaim sebagai tanah adat suku Dhawe, dari sudut pandang suku Mbay disebut sebagai tana sa watu leleng, yang artinya tanah-tanah itu

merupakan hak bersama dari seluruh anggota suku Dhawe dan suku Mbay. Ini terjadi karena tanah-tanah itu adalah tanah hasil perang dengan pihak lain di mana suku Dhawe dan suku Mbay melakukan kerjasama. Bahkan, berdasarkan bheak suku Dhawe, tanah sengketa, dan juga tanah-tanah yang ada di sekitarnya, berada di luar yuridiksi hukum adat (klaim tanah) suku Dhawe. Hukum tanah yang berlaku pada tanah sengketa, dengan demikian, selain hukum adat suku Dhawe juga adalah hukum yang berlaku dalam suku Mbay; karenanya dalam

penyerahan tanah tahun 1987 itu (belakangan diakui pula sebagai keharusan pada kasus penyerahan tanah 1962) harus melibat pihak suku Mbay.

Namun, menurut pihak tergugat, Syarif Laru Cs., kebenaran adanya pribadi-pribadi yang pernah menggarap tanah sengketa itu diragukan. Tidak ada saksi yang mendukung pengakuan itu. Kalau pun toh kegiatan penggarapan itu ada, tidak mungkin sampai seluas itu, dan kemungkinan besar berada di luar tanah sengketa itu; karena, tanah sengketa itu,

setidaknya hingga tahun 1962, masih merupakan hutan. Tanda-tanda tanah sengketa sebagai tanah garapan adalah akibat pengunaan oleh Jepang pada tahun 1942-1943 (dijadikan kebun kapas) dan penggarapan setelah tahun 1962 (setelah tanah diserahkan pada pihak Pemda) bukan sisa garapan dari pihak Amir Mandar Cs.

Penyerahan tanah tahun 1987 adalah pengukuhan (secara administratif) penyerahan tanah pada tahun 1962 sebelumnya; penyerahan mana telah dilakukan secara adat oleh suku Dhawe; melalui Papu Rae (Kepala Suku Tonga Nanga ketika) itu, yaitu orang yang ditunjuk sebagai pihak yang mewakili Suku Dhawe, dan disaksikan oleh penggugat sendiri.

Pada penyerahan tahun 1962 tidak ada keberatan dari mana pun, termasuk dari pihak- pihak yang sekarang mengatasnamakan dirinya sebagai suku Mbay (Amir Mandar Cs.). Jika tanah sengketa adalah bekas tanah garapan, maka menurut adat suku Dhawe itu merupakan ku rebe; menurut adat Suku Dhawe hak penguasaan ku rebe kembali berada pada kepala suku; sehingga kepala suku berhak melepaskan/menyerahkannya kembali kepada siapa saja.

Penyerahan tanah (baik 1962 maupun 1987) adalah sah karena dilakukan secara adat oleh ketua-ketua suku Dhawe, karena memang hanya ada suku Dhawe. Sebenarnya yang disebut suku Mbay tidak ada; yang disebut-sebut sebagai suku Mbay dalam beberapa waktu belakangan ini pada dasarnya adalah apa yang disebut sebagai rumah pokok Rajo Goa, salah satu dari lima rumah pokok yang ada dalam (persekutuan masyarakat hukum adat) suku Dhawe. Sebab itupula ‘Suku Mbay’ telah terwakili dalam rumah pokok Rajo Goa. Karenanya penyerahan tanah 1962 dan 1987 sah, karena ketua suku Rajo Goa turut melepaskan tanah pada tahun 1962 dan 1987 itu. Dengan demikian pemberlakukan hukum adat Mbay pada tanah sengketa menjadi tidak relevan4.

4

Setelah melalui proses persidangan sebagaimana mestinya, dimulai dengan mendengarkan eksepsi dan jawaban para tergugat; tanggapan dan replik dari penggugat; penyampaian duplik oleh tergugat; mendengar keterangan para saksi yang diajukan oleh kedua pihak yang bersengketa; dan pada akhirnya Penggugat dan Para Tergugat telah pula mengajukan kesimpulannya masing-masing, Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor 9/Pdt.G/1994/PN.BJW itu pada tanggal 4 Februari 1995 memutuskan: (1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; (2) Menyatakan bidang tanah yang

disengketakan itu sebagai milik Penggugat; (3) Menyatakan bahwa Surat Penyerahan Tanah tgl. 14 Mei 1987 batal demi hukum, sepanjang yang menyangkut tanah sengketa; (4) Menghukum Para Tergugat atau siapa saja yang mendapat hak dari mereka untuk menyerahkan bidang tanah tersebut di atas kepada Penggugat dalam keadaan kosong, bila perlu dengan bantuan Angkatan Bersejata Republik Indonesia; dan (5) menghukum Para Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng, sebesar Rp. 88.500,00 (delapat puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Para Tergugat tidak menerima putusan itu dan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Kupang. Setelah mempelajari berkas perkara termasuk turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Bajawa Tanggal 4 Februari 1995 No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW tersebut, Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Kupang melalui surat Putusan Nomor: 52/PDT/G/1995/PTK yang dikeluarkan pada 4

Sejauh yang dapat diamati, kasus ini telah meningkatkan ketegangan sengketa antar suku di wilayah yang bersangkutan. Pucak dari ketegangan ini terjadi dalam pertandingan- pertandingan olahraga antar desa yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT RI pada bulan Juli - Agustus 2000 lalu. Khususnya pertandingan antar desa dari suku-suku yang tengah bersengketa dalam perkara No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW itu. Pertandingan-pertandingan olahraga selama keriaan rutin tahunan itu acapkali berubah menjadi arena ‘perang batu’.

Desember 1995 menyatakan tidak sependapat dengan Majelis Hakim peradilan tingkat pertama, dan mengabulkan permohonan banding yang diajukan Para Tergugat. Pengadilan Tinggi Kupang

membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bajawa Tanggal 4 Februari 1995 No. 9/Pdt.G/1994/PN.BJW; dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; serta menghukum Penggugat untuk

membayar biaya perkara dalam peradilan tingkat pertama sebesar Rp. 88.500,00 (delapat puluh delapan ribu lima ratus rupiah) dan dalam peradilan tingkat banding sebesar Rp. 45.000,- (Empat puluh lima ribu rupiah). Keputusan banding Pengadilan Tinggi Kupang ini diambil dengan pertimbangan- pertimbangan yang pada dasarnya bersumber dari dalil-dalil yang diajukan Penggugat sendiri. Adapun dalil-dalil Penggugat yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang adalah sebagai berikut: (1) tanah sengketa berasal dari hasil membuka hutan suku Mbay sekitar tahun 1935 dan Pengggat adalah keluarga Suku Mbay; (2) bahwa penyerahan tanah sengketa oleh para tergugat asal I sampai dengan V kepada Tergugat VI tanggal 14 Mei 1987 menjadi tanah negara tanpa ikut sertanya suku Mbay adalah perbuatan melawan hukum. Ternyata, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang, dalam perkara ini Suku Mbay atau keluarga Suku Mbay lainnya tidak ikut serta dalam perkara ini baik sebagai pihak penggugat ataupun sebagai turut Tergugat. Karena itu, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang, surat gugat Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat formal suatu gugatan, sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Kini giliran Amir Mandar dan anaknya yang tidak puas dengan putusan banding dari Pengadilan Tinggi Kupang. Amir Mandar balik mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Sekitar dua tahun kemudian, dengan argumentasi yang persis sama dengan pertimbangan-pertimbangan dalam keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Bajawa terdahulu, Mahkamah Agung pun memutus perkara terkasasi itu persis keputusan dari Pengadilan Negeri Bajawa, kecuali yang menyangkut hukuman pembayaran perkara. Pada putusan tingkat kasasi ini para tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara, di samping semua biaya pada semua tingkatan peradilan terdahulu, juga Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dalam tingkat kasasi. Sekaligus dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang tanggal 4 Desember 1995 Nomor:

52/PDT/1995/PTK. Keputusan Mahkamah Agung RI itu tertuang dalam Putusan Reg. No. 1387 K/Pdt/1996. Dengan putusan Mahkamah Agung RI itu kembali Para Tergugat yang tidak puas. Untuk itu, pada tanggal 26 Maret 1999, Para Tergugat asal pun melayangkan surat permohonan Peninjauan Kembali ke alamat Mahkamah Agung RI. Pada tanggal 30 April 1999 Amir Mandar telah pula mengirim jawaban alasan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1387 K/Pdt./1996 itu. Hingga akhir September 2000, belum jelas apa keputusan Mahakamah Agung RI atas permohonan PK dari Para Tergugat asal. Yang jelas, melalui surat dari Mahkamah Agung RI tanggal 7 Juni 2000 diketahui bahwa berkas perkara perdata yang dimohonkan pemeriksaan peninjauan kembali telah diterima dan telah didaftar dengan Reg. 141PK/PDT/2000. Ada 15 bukti baru yang dijadikan Tergugat asal sebagai dasar perlunya kasus ini dilakukan Peninjauan Kembali. Tujuh diantaranya adalah surat pernyataan dari berbagai suku, termasuk pihak yang menyatakan dirinya sebagai Pemangku Adat Mbay. Ketujuh surat itu pada dasarnya menyatakan bahwa apa yang disebut Suku Mbay itu tidak ada. Di samping itu dikemukakan pula bukti baru berupa Keputusan Pengadilan

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 86-101)