• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah ‘hasil-hasil panen yang menurun’ (Kategori C)

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 71-74)

Mbay II Pengaspalan jalan desa

I. Ketersediaan lahan yang makin

4.1.1. Masalah ‘hasil-hasil panen yang menurun’ (Kategori C)

Kasus masalah penting ‘menurunnya hasil panen’ terjadi di 4 desa. Masing- masing di Mbay II, Nggolonio, Totomala (ketiganya di Kecamatan Aesesa); dan Sangadeto (Kecamatan Golewa). Deskripsi masing-masing kejadian adalah sebagaimana tersaji dalam Box 4.1 berikut.

Box 4.1 : Kasus-kasus ‘Hasil Panen Menurun’

Sawah merupakan salah satu jenis peruntukan lahan yang menjadi sumber mata pencaharian pokok warga Kelurahan Mbay II. Ada sekitar 120 Ha sawah irigasi yang dikelola oleh warga. Lokasi persawahan yang diolah oleh warga dulunya berupa hutan milik masyarakat adat Mbay II. Namun beberapa tahun sebelum tahun 1975 pemerintah mengambil lokasi itu. Dan pada tahun 1975 Pemda Ngada mengubah fungsi lokasi ini dari hutan menjadi proyek sawah beririgasi. Lahan sawah ini dibagikan oleh pemerintah kepada setiap keluarga, baik petani maupun PNS untuk diolah. Lahan sawah yang diolah oleh setiap keluarga ini sudah diberikan sertiifikat oleh BPN.

Pada tahun-tahun awal pembukaan sawah, tanah dalam kondisi sangat subur. Tanpa menggunakan pupuk non-organik pun 1 Ha sudah bisa menghasilkan 5 - 6 ton per panen. Pada tahun 1983, pemerintah menurunkan program Bimas dan Inmas. Penghasilan petani tiba-tiba melonjak, yaitu menjadi 10 ton/Ha dalam sekali panen. Namun pada tahun 1987 program Bimas dan Inmas berhenti. Tanah sudah terbiasa dengan pupuk non-organik, sementara petani tidak memiliki modal untuk membeli pupuk, maka hasil panen padi pun menurun. Menurut penuturan salah seorang warga Mbay, "Sekarang petani hanya memanen 2 - 3 ton/Ha/panen, meskipun sudah menggunakan pupuk".

Para peserta diskusi kelompok terarah mengidentifikasi beberpa penyebab masalah turunnya hasil panen di swah ini. Menurut warga Mbay II, akar masalah yang menjadi sebab menurunnya hasil panen adalah 1) Kurangnya modal; 2) Serangan hama penyakit; 3) Sawah kekurangan air, terutama di musim kemarau; 4) Tanah sudah di"manja" dengan pupuk; 5) Biaya produksi mahal, harga obat dan pupuk naik.

Tak banyak yang dapat dilakukan warga Mbay II untuk mengatasi masalah ini. Untuk mengatasi hama misalnya, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. “Hasilnya tentu saja tidak efektif,” ujar seorang peserta diskusi kelompok terarah. Pemupukan juga demikian. Salah satu upaya yang menurut peserta diskusi kelompok terarah akan menghasilkan jalan keluar yang berarti adalah dengan membangun saluran quarter permanen. Upaya ini

dilaksanakan dengan menggunakan dana proyek dari Program Pengembangan Kecamatan. Pilihan ini sekaligus untuk mengatasi masalah penggenangan air yang juga terjadi di kelurahan itu. Hasilnya masih harus ditunggu karena upaya ini baru saja dalam tahap pembangunan. Sawah yang hasilnya juga menjadi andalan pokok warga Nggolonio dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terletak di luar desanya. Tepatnya berlokasi di dataran Mbay. Lahan tersebut merupakan lahan yang dibagikan oleh pemerintah. Sedangkan hasil panen lainnya adalah berasal dari kebun/ladang yang berlokasi di dalam wilayah desa tersebut. Jenis tanamannya meliputi jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan tembakau (tanaman perdagangan dan tumpang sari). Hasil yang diperoleh sangat tergantung pada curah hujan.

Persoalan menurunnya hasil panen yang dikeluhkan oleh warga desa Nggolonio sebenarnya juga berkaitan dengan masalah tapal batas kawasan hutan. Sebagian warga sudah mengurangi kegiatan di dalam kawasan hutan lindung tersebut, yang mengakibatkan makin mengecilnya lahan pertanian (kebun/ladang ?) yang mereka miliki.

Upaya warga Nggolonio dalam menghadapi masalah menurunnya hasil panen adalah dengan melakukan usaha sampingan seperti 'catut' (berdagang kecil-kecilan dengan membuka warung, kaki lima), bertukang, menjadi buruh proyek, dan menenun. Upaya lainnya adalah dengan pengadaan beras OPK.

Khusus untuk usaha sampingan di desa Nggolonio, pihak yang terlibat adalah warga, Pemdes, LSM, dan pemerintah (IDT). Sedangkan pengadaan beras OPK hanya melibatkan warga dan Pemdes.

Usaha sampingan yang dilakukan warga Nggolonio dianggap kurang berhasil, karena dipengaruhi faktor alam. Begitu juga dengan upaya pengadaan beras OPK. Menurut warga upaya ini dianggap kurang berhasil, karena disamping jumlah beras yang diperoleh sedikit, mereka masih harus membayar sejumlah Rp. 1.150,-/Kg.

Di desa Totomala tidak akan kita jumpai lahan persawahan, tetapi banyak sekali jenis hasil pertanian atau perkebunan yang ditemui di desa Totomala. Misalnya padi (ladang), jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, jambu mete, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Namun sampai saat ini jumlah yang diperoleh dianggap tidak mencukupi. Penggunaan dari hasil-hasil tersebut lebih untuk tujuan konsumsi sendiri. Salah seorang warga sempat berkomentar,"Mau makan apa kalau hasilnya tidak cukup". Baru setelah ada sedikit kelebihan, baru mereka jual. Itu pun harganya tidak memuaskan. Ada warga yang berkata,"Harga pisang terlalu murah, lebih baik diberikan babi dari pada dijual". Mereka mengetahui bahwa harga komoditi tidak tetap, karena sering dipermainkan oleh pihak tengkulak. Sayangnya aparat desa juga terlibat dalam permainan harga ini. Dan keadaan ekonomi warga pun semakin terpuruk dengan hasil panen yang cenderung menurun.

Hasil panen yang menurun menyebabkan makin melemahnya kemampuan ekonomi warga Totomala. Warga mengungkapkan, semakin mereka bekerja, yang semakin kaya hanyalah para pedagang.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilakukan, akar masalah menurunnya hasil panen di desa Totomala ini adalah PPL yang tidak tinggal di desa dan kesadaran warga mengenai padang rumput kurang. Keduanya berkaitan erat dengan faktor lainnya, yaitu faktor alam dan adanya hama/penyakit. Faktor alam yang dimaksud adalah curah hujan tidak jelas. Secara bersamaan serangan hama dan penyakit juga semakin sulit diatasi, karena obat-obatan modern yang sulit didapat dan harganya yang sulit dijangkau. Selain itu warga juga menganggap bahwa perhatian pemerintah pun sangat kurang, seperti penuturan berikut ini,"Kami mendengar bahwa di desa lain masyarakat menerima bibit unggul dari PPL dan pemerintah, sementara desa kami tidak ada sama sekali".

Adapun upaya-upaya yang dilakukan warga Totomala dalam menanggulangi masalah hasil panen yang menurun adalah 1) Usaha sampingan seperti memintal tali, menenun, dan menganyam; 2) Menjual ternak kecil (babi, ayam); 3) Meminjam ke tetangga; 4) Mengusulkan batuan beras OPK. Yang terlibat dalam upaya-upaya penanggulangan masalah di desa Totomala (usaha sampingan, menjual ternak, meminjam kepada tetangga) adalah warga berikut kerabatdan tetangga. Kecuali untuk upaya pengusulan beras OPK, Pemdes terlibat di dalamnya.

Usaha sampingan (memintal tali, menenun, menganyam) dianggap kurang berhasil mengatasi masalah, karena tidak semua warga Totomala melakukannya.

Menjual ternak kecil (babi, ayam) dianggap kurang berhasil, karena harganya yang rendah. Mengusulkan bantuan beras OPK juga dianggap kurang berhasil, karena jumlah berasnya terbatas dan juga warga harus membayar. Hanya upaya meminjam kepada tetangga yang dianggap berhasil oleh warga Totomala.

Semangat tolong-menolong memang bukan suatu yang asing bagi warga Totomala. Menurut sejumlah responden, ada kebiasaan sejak jaman nenek moyang untuk meringankan beban para kerabat yang menderita kelaparan, yang terangkum dalam filosofi teki fe'a dhadho yadha. Ada juga filosofi yang berbunyi pao pemi eku wesi wawi. Artinya mengajak warga agar dalam kehidupan ini jangan hanya berharap pada satu sumber saja, tetapi harus bisa bekerja sampingan dengan memelihara ayam dan babi untuk menopang kehidupan keluarga. Dan memang hampir setiap keluarga dalam desa ini memelihara ayam dan babi. Sehingga jika ada keluarga yang tidak memiliki keduanya, berarti mereka bukan orang Totomala.

‘Hasil panen menurun’ juga terjadi di Sangadeto. Sebagian besar mata pencaharian pokok warga Sangadeto adalah bertani; baik di lahan kering (kebun/ladang) maupun sawah tadah hujan. Usaha tanaman yang mereka kembangkan meliputi tanaman umur pendek (padi, jagung, jewawut, jagung solor, umbi-umbian) dan tanaman umur panjang (jambu mete, kopi, kelapa, kapuk, kemiri). Hasil tanaman umur pendek untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan hasil tanaman umur panjang untuk dijual. Hasil penjualannya untuk membiayai anak sekolah, pesta adat, dan membangun rumah.

Areal persawahan jumlahnya sangat terbatas. Jenis sawah yang ada sekarang kebanyakan adalah sawah tadah hujan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lahan ini dikelola hanya sekali setahun, mengingat musim hujan yang hanya berlangsung selama setengah tahun. Penanaman biasanya dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Januari. Jika penanamannya terlambat, maka usaha tanaman padi di sawah pasti tidak berhasil. Memang ada beberapa areal sawah yang airnya tetap, sehingga bisa dikelola dua kali dalam setahun, tetapi jumlahnya sangat terbatas dan berlaku hanya untuk sebagian kecil warga desa Sangadeto. Pada areal ladang, semua tanaman belum dikelola secara maksimal. Sistem yang digunakan masih mempraktekkan sistem tumpang sari.

Menurut perkembangannya dari sebelum tahun 1970-an sampai sekarang, ditemukan adanya penurunan mutu dan ketersediaannya dari sawah dan ladang milik warga Sangadeto. Sehingga panen yang dihasilkannya pun menurun.

Dampak dari menurunnya panen yang dialami warga desa Sangadeto menyebabkan jumlah hasilnya tidak dapat untuk mencukupi kebutuhan hidup. Masalah hasil panen yang cenderung menurun juga turut mempengaruhi kegiatan Ulu Eko. Misalnya pada saat ada kematian, Ulu Eko mempunyai tanggung jawab moral untuk membantu keluarga yang berduka. Ketika panen menurun, maka Ulu Eko tidak dapat berperan efektif dalam membantu beban keluarga yang anggotanya meninggal dunia, karena tidak lagi bisa memberikan sumbangan.

Menurut peserta diskusi kelompok terarah yang sempat dilakukan, akar masalah yang menjadi penyebab dari menurunnya hasil panen ini adalah 1) Curah hujan yang kurang, berkaitan dengan kurangnya air untuk mengairi persawahan; 2) Ada proyek yang menggarap lahan luas, berkaitan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah dan perampasan tanah oleh orang dari suku lain; dan 3) Kurangnya tenaga.

Hingga saat penilitian ini dilaksanakan ada beberapa upaya penanggulangan dari warga Sangadeto terhadap masalah hasil panen menurun ini. Masing-masing adalah 1) Melakukan usaha sampingan seperti mengiris moke, beternak, menganyam, dan bertukang; 2) Mengadakan arisan; 3) Meminjam ke Lembaga Perkreditan Desa (LPD); 4) Mengusulkan beras OPK.

Penduduk juga bercerita, pada tahun 1970-an, usaha mengatasi masalah kekurangan pangan dengan cara masyarakat memasuki hutan untuk mengambil umbi hutan (ondo) sebagai makanan. Di tahun 1980-an, untuk mengatasinya masyarakat berupaya mencari pekerjaan tambahan di luar desa sebagai buruh bangunan, dan meminta makanan dari kerabat di luar desa.

Pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan masalah hasil panen yang menurun di desa Sangadeto adalah anggota keluarga dan kelompok arisan untuk melakukan usaha sampingan; kelompok arisan dan kelompok Dasawisma untuk kegiatan arisan; warga, kelompok UBSP, dan pengurus LPD untuk meminjam ke LPD; tokoh masyarakat, pengurus LPD, dan Pemdes untuk usulan beras OPK.

Semua upaya yang telah dilakukan warga Sangadeto dalam menghadapi masalah hasil panen menurun dianggap kurang berhasil. Usaha sampingan dianggap kurang berhasil, karena hanya menambah penghasilan sedikit saja dan hanya dirasakan oleh warga yang melakukannya (tidak semua melakukannya). Ikut arisan dianggap kurang berhasil, karena tidak semua warga ikut arisan dan hasilnya hanya untuk menambah penghasilan atau menutupi kekurangannya. Meminjam kepada LPD dianggap kurang berhasil, karena tidak dapat mengatasi masalah sampai tuntas dan jumlah pinjaman sedikit. Hanya sebagian kecil warga yang berani dan mampu

meminjam di LPD. Mengusulkan beras OPK dianggap kurang berhasil, karena beras yang dibagikan hanya sedikit (15 Kg/KK).

Nasihat orang tua-tua dulu, seperti ‘Pobha mau maru’ (manusia harus bekerja keras); ‘Wesi peni dheso selo (pelihara ayam dan babi, jangan hanya kerja kebun); dan ‘Mesu nee tai walu ana halo (jangan lupa orang lain, janda dan anak yatim)’, tampaknya tak mampu lagi menjadi senjata pamungkas.

Dalam dokumen Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersu (Halaman 71-74)