• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Perkembangan HAM dan Kewargan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep dan Perkembangan HAM dan Kewargan"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

KONSEP DAN PERKEMBANGAN HAM DAN KEWARGANEGARAAN

(STUDI KASUS: POLEMIK DUALISME KEWARGANEGARAAN ARCHANDRA TAHAR)

Dosen: Muhammad Helmi Fakhrazi, S.HI., S.H., M.H.

Disusun oleh:

KELOMPOK 8

1. Iqbal Muhammad Syahid (1610611041)

2. Rarenzan Widita (1610611158)

3. Nada Siti Salsabila (1610611159)

4. Ambar Rukmana Sari (1610611160)

5. Hildayastie Hafizah (1610611178)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Tata Negara yang berjudul “Makalah tentang Konsep dan Perkembangan HAM dan Kewarganegaraan (Studi Kasus: Polemik Dualisme Kewarganegaraan Archandra Tahar) dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami.

Jakarta, Maret 2017

(3)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...11

1.3 Tujuan Masalah ...11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Hak Asasi Manusia ...12

2.1.1 Istilah dan Pengertian Hak Asasi Manusia ...12

2.1.2 Sejarah dan Generasi Hak Asasi Manusia ...14

2.1.3 Berbagai Paradigma Hak Asasi Manusia ...18

2.1.4 Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi...22

2.1.5 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ...29

2.1.6 Pengadilan Hak Asasi Manusia ...34

2.2 Kewarganegaraan ...41

2.2.1 Prinsip-prinsip Hukum Kewarganegaraan ...43

2.2.2 Sejarah Hukum Kewarganegaraan di Indonesia...46

2.2.3 Kewarganegaraan dalam Konstitusi & UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan ..51

BAB III STUDI KASUS POLEMIK DUALISME KEWARGANEGARAAN ARCHANDRA TAHAR 3.1 Latar Belakang Kasus ...56

3.2 Deskripsi Kasus ...58

3.3 Analisa Kasus ...62

3.4 Solusi Penyelesaian Kasus ...64

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...66

(4)

iv

(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Warga negara secara kolektif merupakan salah satu fundamen penting keberadaan suatu negara, sehingga sudah selayaknya mendapat kepastian dan jaminan hukum yang layak dari negara. Seorang warga negara Indonesia harus mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hak-hak yang dimiliki, sekaligus kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya sebagai warga negara dari suatu negara. Warga negara atau kewarganegaraan merupakan salah satu unsur konstitutif keberadaan (eksistensi) suatu negara, warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara tidak mungkin ada negara tanpa warga negara begitu juga sebaliknya tidak mungkin ada warga negara tanpa negara. Penduduk (population) adalah salah satu dari empat unsur konstitutif dari keberadaan negara.1 Article 1 Montevideo Convention (1993), menegaskan:

“The state as person of International law should possess the following qualifications: (a). a permanent population. (b). a defined territory. (c). A capacity to enter into relation with other States”.2

Dewasa ini, perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya menyebabkan semakin kompleksnya pekerjaan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan konsep yang dikemukakan oleh Steven Pinch tentang welfare state yaitu: “The duty of government to ensure that all citizens should provide with: minimum standard of walfare, education, health services, maintanance (sickness, unemployment, old ages), a fair share of the food (affordable prices).” Peran pemerintah dalam negara “Welfare State” adalah menjamin bahwa setiap warga negara diberikan: minimum standar kesejahteraan, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan orang-orang sakit, pengangguran, dan lansia, serta menjamin harga makanan yang terjangkau.

Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta

1Imam Choirul Muttaqin,. “Kewarganegaraan Ganda Terbatas dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, 2011,

Program Pascasarjana, FHUI, Jakarta, hlm. 2.

2Ibid. Lihat juga dalam Laica Marzuki, Beberapa Catatan Tentang Kewarganegaraan RI, (Jakarta: Komisi Nasional

(6)

2 memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap seluruh warga negaranya. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti setiap warga negara berharga dan mempunyai nilai yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, dan berhak untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya pembedaan. Hal ini terdapat di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Setiap orang berhak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuanyang sama di depan hukum”. Pasal 7 pernyataan umum hak asasi manusia juga menyatakan bahwa semua orang adalah sama di depan hukum dan berwenang memperoleh perlindungan yang sama dari hukum tanpa diskriminasi apapun.

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, pada awalnya dalam The Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Namun, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law”, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.3

Di Indonesia, pengaturan bahwa Indonesia adalah negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengatur negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, “Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu negara hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law)”4

Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto, sebagai negara hukum, maka harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut:

a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b. Peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya; dan c. Menjunjung tinggi asas legalitas5

3 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok

Gramedia, 2009), hlm. 395.

4Ibid. hlm. 3.

5 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju,

(7)

3 Sebagai negara hukum salah satu ciri dan prinsipnya adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.6 Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.

Kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia (HAM) merupakan gejala yang relatif baru meskipun telah ada sejumlah traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang Dunia II, namun pembahasan tentang adanya perlindungan HAM yang sistematis di dalam sistem internasional baru terlihat setelah dimasukkan ke dalam Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 19457

Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan….” menjadi suatu pernyataan keyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ditegaskan pula bahwa tujuan mendirikan bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mempertahankan bangsa dan tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta menjaga perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan8 sehingga jelas bahwa Negara Indonesia sejak awal telah mendukung penegakan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang HAM Tahun

6 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice. (London: Cornell University Press, 2003), hlm.

7-21.

7 Namun, jelas bahwa upaya domestik untuk menjamin perlindungan hukum bagi individu terhadap ekses

sewenang-wenang dari penguasa negara mendahului perlindungan internasional terhadap HAM. Upaya domestik semacam itu mempunyai sejarah yang panjang dan terhormat, serta berkaitan erat dengan kegiatan revolusioner yang bertujuan menegakkan sistem konstitusional yang berdasarkan pada legitimasi demokratis dan rule of law. Lihat: Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1994), Hal. 1.

(8)

4 1948 yang kemudian menjadi pedoman umum bagi setiap Negara dalam melakukan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM di negaranya masing-masing.

Keberadaan hukum dan Negara dalam konsepsi Negara hukum merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan suatu Negara yang mengkultuskan sistem ketatanegaraannya sebagai Negara hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dari eksistensi hukum dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan di Negara tersebut.9 Terkait tentang hakikat hak asasi manusia, maka sangat penting sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus saling menjaga dan menghormati hak asasi masing-masing individu. Namun pada kenyataannya, kita melihat perkembangan HAM di Negara ini masih banyak bentuk pelanggaran HAM yang sering kita temui.

Berbagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap HAM di berbagai belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat mudah untuk dilakukan, yang di dalamnya setidaknya terkait dengan tiga variabel utama yang harus dipertimbangkan. Ketiga variabel tersebut adalah adanya dinamika internasional; instrumen hukum yang ada; dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu.

Negara melalui pemerintahan yang sah dan berdaulat, merupakan pelindung utama masyarakat, Namun realitas seringkali menunjukkan adanya tindakan aparat keamanan cenderung berpotensi melakukan berbagai pelanggaran. Jika kita berkaca kepada Index Negara Hukum 2015, maka pada tahun 2015 Indonesia berada di urutan 52 dari 102 negara yang diteliti dengan nilai 0,52 dari maksimal Indonesia berada di bawah Filipina di urutan 51, Malaysia di urutan 39, dan Singapura di urutan 9. Kondisi terparah berada pada sistem peradilan pidana dimana seluruh komponen berada di bawah 0,5: Investigasi yang Efektif (0,44), Peradilan yang Efektif dan Tepat Waktu (0,48), Sistem Koreksi yang Efektif (0,13), Tidak Diskriminatif (0,24), Tidak Korupsi (0,41), Tidak ada Campur Tangan Pemerintah (0,42), dan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku (0,35). Disisi lain, legislatif dianggap sebagai lembaga paling korup (0,28), kemudian lembaga peradilan (0,29), Kepolisian/TNI (0,43), dan eksekutif (0,5).10

Melihat indeks di atas, tentunya kondisi Indonesia sangat memprihatinkan dengan mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

9 Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Inovatif Volume VIII

Nomor I Januari 2015.

10http://worldjusticeproject.org/sites/default/files/roli_2015_0.pdf,diakses pada 25 Februari 2017 pkl. 15.30

(9)

5 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Peradilan yang adil dan bebas dari korupsi masih jauh dari yang diharapkan, bahkan Indonesia hanya memiliki poin 0,1 untuk sistem koreksi yang efektif di sistem peradilan pidana. Artinya aparatur penegak hukum sulit untuk dikoreksi dan akhirnya abusif. Tidak heran kasus pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan jujur di ranah pidana masih sangat tinggi; penyiksaan, salah tangkap, rekayasa kasus, kriminalisasi kasus perdata, dan lain-lain. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka hukum justru akan menjadi alat bagi yang kuat untuk menindas yang lemah. Maka adagium manusia untuk dikorbankan demi hukum pun menjadi sebuah gambaran kondisi hukum saat ini.11

Hukum menjadi instrumen penting dalam melindungi dan tegaknya HAM dalam negara. Dalam melindungi dan memastikan tegaknya HAM dalam negara, harus dipastikan hukum menjadi instrumen dalam pengawasan bahkan pembatasan kepada otoritas publik atau negara agar tidak terjadi abuse of power, dalam banyak kasus menjadi awal terjadinya pelanggaran HAM. Pengawasan terhadap negara menjadi pokok pertanyaan dari konstitusionalisme, sehingga pengontrolan terhadap negara tentu saja tidak dapat menjadi tujuan akhir dari usaha pengawasan kepada otoritas publik atau negara tanpa dilatarbelakangi sebuah tujuan.12

Dalam perkembangan hukum di masyarakat bahwa manusia adalah sebagai subyek hukum selain badan hukum, makhluk Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa, yang dilahirkan mandiri namun mempunyai naluri untuk selalu hidup bersama dengan sesamanya. Oleh karena itu, terjadilah hubungan satu sama lain, baik yang berbentuk orang perseorangan maupun yang berbentuk kelompok manusia. Dalam melakukan hubungan itu, masing-masing manusia mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, baik kepentingan yang bersifat materiil maupun immateriil dan selalu berusaha atau berjuang untuk memperoleh kepentingan itu, demi kebutuhan hidupnya. Untuk memperoleh kebutuhan hidup yang aman dan tertib terdapat kaidah-kaidah hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum termasuk dalam masalah kewarganegaraan.

Berdasarkan hal tersebut, sehubungan dengan pengendalian kehidupan masyarakat yang dalam bahasa yuridisnya dikenal dengan istilah warga Negara, maka tentunya dalam konsep Negara hukum Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaturan Hak Asasi itu sendiri

11 LBH Jakarta, Hukum untuk Manusia atau Manusia untuk Hukum? Catatan Akhir Tahun Refleksi Hukum dan

HAM Indonesia, (Jakarta: LBH Jakarta, 2015), hlm. 26.

12 Muhammad Amin Putra, ”Perkembangan Muatan HAM dalam Konstitusi di Indonesia”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu

(10)

6 khususnya dalam Ground Norm yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Amandemen IV (UUD 1945).13

Warga negara adalah pendukung negara, merupakan landasan bagi adanya negara. Keberadaan warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Itulah pemaknaan konkret mengenai eksistensi warga negara seperti yang termuat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Sebelum undang-undang tersebut diberlakukan, Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewarganegaraan. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, telah dilakukan upaya untuk mengatasi masalah kewarganegaraan, antara lain dengan pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum tentang legalitas status kewarganegaraan. Status hukum kewarganegaraan yang dimaksudkan adalah status seseorang terkait dengan kewarganegaraannya dalam suatu negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep status hukum kewarganegaraan menunjuk pada konsep hubungan hukum antara individu dengan negara, disamping menunjuk pada ada tidaknya pengakuan dan perlindungan secara yuridis hak-hak dan kewajiban yang melekat, baik pada individu maupun pada negara yang bersangkutan.

Masalah kewarganegaraan merupakan salah satu kajian studi kenegaraan (HTN). Dalam pengertian umum, kewarganegaraan menjadi salah satu unsur keberadaan suatu negara (algemene staatsleer). Seperti kita ketahui bahwa unsur-unsur negara terdiri dari wilayah adalah rakyat yang identik dengan warga negara dan pemerintahan yang berdaulat sebagai unsur konstitutif serta pengkauan dari negara lain sebagai unsur deklaratif. Hukum Tata Negara adalah salah satu kajian ilmu hukum yang merupakan suatu kajian yang mencakup masalah kenegaraan dari sudut pandang yuridis, salah satunya adalah masalah kewarganegaraan. Masalah kewarganegaraan dalam Hukum Tata Negara mencakup masalah mengenai siapa warga negara dan siapa yang dianggap sebagai orang asing, pengertian penduduk serta hak dan kewajiban warga negara. Dalam arti yang lebih luas mencakup permasalahan mengenai bagaimana cara memperoleh status kewarganegaraan,

(11)

7 tentang bagaimana kehilangan status kewarganegaraan, cara memperoleh kembali status kewarganegaraan, serta termasuk juga masalah tentang bagaimana cara menghilangkan terjadinya bipatride dan apatride sebagai doktrin umum dalam masalah kewarganegaraan.

Dapat dikatakan bahwa, persoalan kewarganegaraan adalah suatu persoalan pokok yang mendasar tentang bagaimana seseorang hidup pada suatu wilayah negara dimana pada masing-masing negara itu memiliki aturan hukum masing-masing, inilah persoalan terpenting bagaimana kepastian tentang status kewarganegaraan seseorang, dimana seseorang harus mengikuti aturan hukum negara mana dan tergolong warga negara mana. Terhadap warga negara yang status warga negaranya tidak jelas maka sulit bagi negara untuk menentukan aturan hukum bagi seseorang tersebut, sebaliknya juga akan menjadi permasalahan bagi seseorang apabila dia memiliki status kewarganegaraan yang tidak pasti atau stateless.

Berbicara masalah kewarganegaraan tentu saja adalah sebuah bahasan yang sangat luas, karena selalu berkembang dari hari ke hari, dan begitu banyak teori yang menggambarkan dan merefleksikan berbagai krisis dan masalah kewarganegaraan. Karena masalah kewarganegaraan adalah masalah yang sangat sensitif yang merupakan salah satu gerbang besar yang harus dilalui oleh orang luar untuk bermain di dalam masyarakat dan teritorial suatu wilayah negara yang dapat menentukan kekayaan suatu negara. Dengan pemahaman ini sangat diperlukan suatu kajian hukum kewarganegaraan yang komprehensif, mendalam profesional dan independen. Salah satu permasalahan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia adalah pelaksanaan peraturan perundang-undangan kewarganegaraan, oleh karena itu masalah kewarganegaraan adalah masalah yang menarik untuk dibicarakan.14 Salah satu agenda penting dari gerakan reformasi adalah amandemen atas konstitusi, UUD 1945 yang telah diubah dalam empat tahap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Salah satu alasan bagi gagasan amandemen UUD 1945 itu karena banyaknya atribusi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar kepada pembuat undang-undang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal penting yang ada didalam UUD 1945 yang dalam kenyataannya kemudian menimbulkan manipulasi atas perlindungan Hak Asasi Manusia. Pembalikan filosofi bahwa kekuasaan pemerintah adalah residu Hak Asasi Manusia menjadi Hak Asasi Manusia sebagai residu kekuasaan pemerintah telah menimbulkan banyak pelanggaran

14 Abdul Bari Azed, Reformasi Politik hukum kewarganegaraan sebagai agenda pembaharuan Hukum, Pidato

(12)

8 terhadap Hak Asasi Manusia.15 Gagasan ini menyentuh pula persoalan kewarganegaraan yang harus ditata kembali sesuai dengan tuntutan demokratisasi agar masalah hak-hak dan perlindungan warga negara dapat diposisikan secara tepat dalam kerangka perlindungan Hak Asasi Manusia tanpa mengganggu kedaulatan Negara Kasatuan Republik Indonesia.

Perbedaan pengaturan dalam konstitusi di berbagai negara dunia terkait dengan hak memperoleh kewarganegaraan menyebabkan timbulnya permasalahan kewarganegaraan. Permasalahaan kewarganegaraan yang timbul adalah status tanpa kewarganegaraan, status dwi kewarganegaraan, dan status multipatride. Status kewarganegaraan akan memberikan hak dan kewajiban yang melekat pada warga negara. Salah satu hak yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya adalah hak mendapatkan fasilitas perjalanan ke luar kedaulatan negaranya. Fasilitas pelayan yang diberikan salah satu contohnya adalah negara memberikan surat perjalanan (paspor). Seseorang dengan status dwi kewarganegaraan dapat memiliki dua paspor dari dua negara berbeda sesuai dengan hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Status dwi kewarganegaran merupakan sebuah permasalahan kewarganegaraan, dan akan menimbulkan masalah baru apabila seseorang pemegang paspor ganda masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia.

Status dwi kewarganegaraan telah menjadi topik yang diperdebatkan. Beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Australia, Swiss tidak dapat memberikan batasan atau larangan mengenai status dwi kewarganegaraan. Negara-negara yang mengijinkan status dwi kewarganegaraan adalah Australia, Barbados, Belgia, Banglades, Kanada, Amerika, Inggris, Swiss, Korea Selatan, Afrika Selatan (requires permission), Mesir (requires prior permission), Yunani, Prancis, Finlandia, Jerman (requires prior permission), Irak, Italia, Israel, Irlandia, Hunggaria, Swedia, Slovenia, Serbia, Armenia, Libanon, Malta, Spanyol (allows only with certain latin American countries), Tonga, Filipina, Rumania, Sri Lanka (by retention), Pakistan (accept only 16 countries), Portugal, dan Turki (requires permission).16 The concept of dual nationality means that a person is a citizen of two countries at the same time. Each country has its own citizenship laws based on its own policy. Persons may have dual nationality by automatic operation of different laws rather than by choice.17 Konsep dwi kewarganegaraan berarti bahwa seseorang memiliki dua

15 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hal. 233.

16 Anonim, 2015, Dual Citizenship Countries, http://best-citizenships.com/dual-citizenshipcountries.html.,

Diakses pada 2 Maret 2017, pkl. 15.35 WIB.

17 Department of State. United State of America, 2015, Dual Nationality, http://www.travel.state.gov. Diakses

(13)

9 kewarganegaraan pada saat yang sama yang dapat diperoleh secara otomatis maupun karena pilihan dari orang tersebut.

Tidak semua negara menerapkan status dwi kewarganegaraan. Negara-negara yang tidak menerapkan status dwi kewarganegaraan adalah Andora, Austria, Burma, Bahrain, Jepang, Cina, Republik Ceko, Denmark, Fiji, India, Indonesia, Ekuador, Estonia, Iran, Polandia, Papua Nugini, Brunei Darusalam, Peru, Kuwait, Kenya, Kazakhstan, Cili, Kiribati, Latvia, Singapura, Slovakia, Lithuania, Kepulauan Solomon, Malaysia, Belanda, Uni Emirat Arab, Thailand, Mexico, Nepal, Venezuela, Norwegia, dan Zimbabwe.18

Hak terhadap status kewarganegaraan merupakan hak yang fundamental bagi setiap orang dan tidak seorang pun dapat dicabut status kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak untuk mengubah kewarganegaraannya yang diatur dalam Pasal 15 Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. Seseorang dengan status tanpa kewarganegaraan juga diatur dalam International Convention Relating to The Status of Stateless Persons Tahun 1954.

Asas-asas kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur menurut undang-undang nomor 12 tahun 2006 antara lain asas ius sanguinis, asas ius soli, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Indonesia tidak menganut asas kewarganegaraan ganda secara mutlak. Fenomena yang terjadi mengenai kasus dwi kewarganegaraan adalah ketika Presiden Joko Widodo membatalkan pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM dikarenakan yang bersangkutan memiliki paspor Amerika Serikat pada Agustus 2016. Tindakan tersbut yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dapat di klasifikasikan sebagai hak prerogatif presiden. Mengingat justru Presiden Joko Widodo sebenarnya melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang mengharuskan seorang menteri adalah warga negara Indonesia. Pembatalan tersebut menunjukkan Presiden Joko Widodo mengakui kekhilafannya mengenai status kewarganegaraan Archandra. Namun pada Oktober 2016, Presiden Joko Widodo kembali mengangkat Archandra Tahar sebagai pembantunya, tetapi bukan sebagai Menteri ESDM melainkan sebagai Wakil Menteri ESDM dan selain itu status legalitasnya dalam hukum

18 Anonim, 2015, Dual Citizenship Not Allowed, http://best-citizenships.com/dualcitizenship-countries.html/.

(14)

10 positif Indonesia pun dipertanyakan mengingat bahwa status Archandra yang nyata-nyata pernah menjadi warga negara asing.19

Menurut Harijanti, jabatan politis yang strategis seperti menteri maupun wakil menteri seharusnya mengikuti syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,...”.20 Sejalan dengan pendapat Harijanti, Indra Perwira pun mengatakan “Presiden itu jabatan politis, jika ada jabatan politis lain, maka mutatis mutandis berlaku syarat presiden.”

Penggunaan ukuran “kepentingan dan kemanfaatan publik,” pengangkatan Archandra sebagai Wakil Menteri ESDM masih menimbulkan pro kontra yang dapat memenuhi ukuran tersebut, karena justru menunjukkan adanya upaya memaksakan proses perolehan kewarganegaraan Indonesia kembali kepada Archandra. Bahkan dapat dikatakan kejadian tersebut menunjukkan hak prerogatif cenderung hanya dipakai untuk alat legitimasi kekuasaan semata.

Mengacu pada hal tersebut, dapat kita lihat bahwa pengawasan terhadap orang asing diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, namun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengatur dengan jelas dan tegas mengenai pengawasan terhadap orang asing dengan status dwi kewarganegaraan yang memiliki paspor ganda. Pengaturan pemulangan orang asing dengan status dwi kewarganegaraan (bipatride) juga tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Sebagai Negara yang berdaulat, Indonesia berhak mengatur tentang kewajibannya dalam melakukan pengawasan dan menangani pemulangan orang asing dengan status dwi kewarganegaraan. Aturan yang jelas merupakan wujud dari negara hukum yang melahirkan legalitas dari setiap tindakan pemerintah. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum tentang pemulangan orang asing dengan status dwi kewarganegaraan yang memiliki paspor ganda.

Disamping itu, peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus memenuhi rasa keadilan bagi setiap orang yang akan merasakan dampak dari aturan tersebut. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh

19 Mei Susanto, Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden, Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 22/PUU-XIII/2015 Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

20 Harijanti, S.D. (2016). Tak punya itikad baik, Archandra dinilai tak pantas jadi pejabat negara lagi. Diakses dari

(15)

11 hukum. Secara substansial peraturan yang dibentuk harus memenuhi tiga unsur yaitu filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga rasa keadilan akan terpenuhi jika aturan tersebut diberlakukan.

Berkaitan dengan pokok permasalahan tersebut maka kami mengangkat sebuah topik makalah dengan judul “Konsep dan Perkembangan HAM dan Kewarganegaraan” dengan studi kasus Polemik Dualisme Kewarganegaraan Archandra Tahar.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah perkembangan konsep HAM? 2. Bagaimanakah HAM dalam konstitusi?

3. Bagaimanakah cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia?

4. Bagaimanakah perkembangan kebijakan kewarganegaraan di Indonesia? 5. Bagaimanakah polemik dualisme kewarganegaraan Archandra Tahar?

1.3Tujuan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui mengenai perkembangan konsep HAM. 2. Untuk mengetahui mengenai HAM dalam konstitusi.

3. Untuk mengetahui mengenai cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia. 4. Untuk mengenai perkembangan kebijakan kewarganegaraan di Indonesia.

(16)

12

BAB II

PEMBAHASAN

2.1Konsep Hak Asasi Manusia

2.1.1 Istilah dan Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian tentang HAM telah mengalami proses yang begitu lama. Dimulai dengan Magna Charta pada tahun 1215, hingga pada masa sekarang ini. Plato yang merupakan sumber sudut pandangan bagi konservatisme klasik dalam bukunya Politea-nya menyatakan bahwa HAM tidaklah sama, sehingga juga tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja tidak perlu usaha untuk menciptakan kondisi-kondisi materil yang sama.21

HAM merupakan hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. HAM adalah subyek dari hukum internasional dan bersifat kontemporer serta merupakan suatu usaha mengatur HAM pada tingkat internasional.22

Istilah hak asasi manusia (HAM) merupakan istilah yang relatif baru, dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Istilah tersebut menggantikan istilah natural right (hak-hak alam) karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan istilah natural right menjadi suatu kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak wanita.23

Adalah Eleanor Roosevelt, janda mendiang Presiden Amerika Serikat Fraklin Delano Roosvelt kemudian terpilih menjadi Ketua Bersama dari Komisi PBB tentang HAM, ketika menyusun rancangan Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang menemukan bahwa frasa the right of Man tersebut yang sebelumnya telah muncul dalam dokumen HAM di beberapa belahan dunia dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Padahal frasa the right of Man tersebut pada masa-masa

21 George Sabine, A History of Political Theory, London Press, hlm. 80.

22 Rebecca M.M. Wallace, 1993, International Law, Sweet & Maxwell Limited, London, h.207.

23 Sirajuddin dan Winardi, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, ed. 1, (Malang: Stara Press, 2015), hlm.

(17)

13 sebelumnya telah dipergunakan untuk menggantikan frasa natural rights (hak-hak alam) yang dipergunakan secara luas pada masa pencerahan (enlightenment).24

Secara etimologis, hak asasi manusia terbentuk dari tiga suku kata: hak, asasi dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sedangkan kata manusia adalah kata yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata Haaq adalah bentuk tunggal dari kata huquq. Kata Haaq diambil dari asal kata haqqa, yahiqqu, haqqaan artinya benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Apabila dikatakan, yahiqqu

alaika an ta’ala kadza, itu artinya kamu wajib melakukan seperti ini. Berdasarkan pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.25

Sementara kata asaisy berasal dari asal kata assa, yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal usus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar, dari segala sesuatu. Dengan demikian, kata asasi diadopsi kedalam bahasa Indonesia yang berarti bersifat dasar atau pokok.26 Dalam bahasa Indonesia, HAM dapat diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Istilah ini, sekalipun secara literal berbeda penyebutannya, namun memiliki pemaknaan yang relatif sama. Misalnya, huququl insan (Arab); human rights (Inggris); droits de l’homme (Prancis). Menurut A. Masyhur Effendi di HAM dapat diartikan sebagai “Hak dasar yang suci yang melekat pada setiap orang atau manusia, pemberian Tuhan untuk selamanya, ketika menggunakannya tidak merugikan hak-hak dasar anggota masyarakat lainnya”.27

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merugakan anugrah-Nya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.28

24 Ibid., hlm. 227. Todung Mulya Lubis, 1990. In Search of Human Rights: Legal Political Dilemmas of Indonesia's New Order, 1966-1990, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, hlm. 46.

25 Ibid., Lihat J. Milton (ed.), 1979. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Weibaden: Oto

Harrassowith, hlm. 191-192 dalam Majda El Muhtaj, op.cit., hlm. 17

26Ibid.

27 Ibid., A. Masyhur Effendi, "Effektifitas Pengadilan HAM Ad Hoc terhadap Pemberantasan HAM Berat di Indonesia" (makalah Pada Seminar Nasional HAM "Quo Vadis Perlindungan HAM Berdasarkan Undang-Undang sesuai Perkembangan Sosial Politik di Indonesia (Pasca Pilpres)" Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Indonesia (LHKI) bekerjasama dengan BEM Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan, Malang 18 Desember 2004, hlm. 1.

(18)

14 Dengan rumusan pengertian tersebut di atas maka HAM mempunyai ciri-ciri: Pertama, HAM tidak perlu diberikan, dibeli atau diwarisi. Hak asasi adalah sesuatu yang patut dimiliki karena kemanusiaan kita; Kedua, Hak asasi berlaku untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnisitas, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa; Ketiga, HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain.

2.1.2 Sejarah dan Generasi Hak Asasi Manusia

Jika ditilik dari sejarah Barat, maka ide HAM itu bermula dari Inggris yang pada kurun waktu abad ke-17 sudah mempunyai tradisi perlawanan raja yang mutlak. Bahkan pada tahun 1215, para bangsawan sudah mampu memaksa raja untuk memberikan Magna Charta Libertatum yang melarang penahanan, penghukuman dan perampasan benda dengan sewenang-wenang.29 Sementara dalam perspektif sejarah Islam, wacana HAM begitu orisinil dan telah muncul 600 tahun sebelum perbincangan HAM di Inggris.30

Pentingnya perlindungan HAM mencapai puncaknya pada tahun 1948 ketika PBB memproklamasikan sebuah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara mengesankan menjabarkan “Hak yang tidak dapat dicabut dan diganggu gugat atas semua anggota rumpun manusia”. Deklarasi ini menandai tonggak bersejarah sebuah moral dalam sejarah komunitas bangsa-bangsa.31

Asal-usul historis konsepsi HAM dapat juga ditelusuri hingga ke masa Yunani dan Roma, dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stoicism (Stoisisme Yunani), yang antara lain berpendapat bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh karenanya harus dinilai berdasarkan kepada dan sejalan dengan hukum alam.32

Belum sampai abad pertengahan, doktrin-doktrin hukum alam menjadi sangat terkait dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam (natural rights).

29 Sirajuddin, op.cit., hlm. 228. Lihat juga dalam Satya Arinanto, 2000, "Sejarah HAM dalam Perspektif Barat"

Dalam E. Shobirin Nadj & Naning Mardiniah, 2000, Diseminasi HAM, Perspektif dan Aksi, Jakarta: Cesda LP3ES, hlm 3-11.

30Ibid., Lihat juga dalam Artidjo Alkostar, 2000, Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, hlm. 20.

31Ibid., Lihat juga dalam Mansour Faqih dkk, 2003, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press, hlm. 40-62.

32Ibid., hlm. 229. Lihat juga dalam Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta,

(19)

15 Pada masa ini HAM awalnya dikenal sebagai fundamental rights yang meliputi moral rights dan legal rights, kemudian berkembang menjadi natural law (hukum alam) yang didalamnya terdapat hak-hak pemberian alam (natural rights). Dengan adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan dalam bentuk hak asasi sejak kelahiran dari manusia, hak hidup merupakan HAM pertama.33 Istilah natural rights berkembang menjadi human rights pada awal abad XVII oleh para pelopor teori hukum alam John Locke (dikenal sebagai Bapak HAM), Montesquieu, J.J Rousseau (Bapak Kedaulatan Rakyat).

Beberapa pakar di Eropa berpendapat bahwasanya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 yang telah menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktikan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya kepada perlemen.34 Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Right di Inggris pada tahun 1689. Bill of Rights melahirkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan The American Declaration of Independence pada tahun 1776-1789. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Prancis), kedua deklarasi tersebut telah dengan tegas mengumumkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat,35 bedanya pada The American Declaration of Independence berpandangan bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.36 Sedangkan dalam The French Declaration (Deklarasi Prancis) ketentuan tentang hak lebih diperinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.

Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan munculnya The Four Freedoms dari Presiden Franklin D. Roosevelt pada tanggal 6 Januari 1941, The Four Freedoms tersebut freedom of speech (kebebasan berbicara dan menyatakan

33 Ibid., Lihat juga dalam A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), (Bogor, 2005), hlm. 8.

34Ibid., Lihat juga dalam Dede Rosyada, et al., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta,

2003), hlm. 202.

(20)

16 pendapat), freedom to religion (kebebasan beragama), freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari ketakutan).37 Semua hak-hak tersebut di atas dijadikan dasar pemikiran dari rumusan HAM yang bersifat universal yaitu The Declaration of Human Rights PBB tahun 1948.

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar atau hak kodrati yang diperoleh dari Tuhan yang mana dalam suatu pemerintahan atau Negara, maka pemerintah atau Negara tersebut memiliki kewajiban untuk melindunginya. Perkembangan pemikiran mengenai HAM dibagi pada 4 generasi yaitu:

1) Generasi pertama

Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru.38 Pada generasi pertama ini berkembang pemikiran dari pemikiran Immanuel Kant dimana Negara dan pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan warga negaranya kecuali dalam hal menyangkut kepentingan umum. Aliran pikiran yang disebut liberalisme ini dirumuskan dalam dalil “The last government is the best government” artinya pemerintahan yang paling sedikit campur tangannya terhadap warga Negara adalah pemerintahan yang baik. Dalam pandangan ini Negara dianggap sebagai Nachwachterstaat atau Negara penjaga malam yang memiliki ruang gerak yang sangat sempit dalam mengatur tata kehidupan masyarakat atau rakyat dari suatu Negara, bukan hanya di bidang politik tetapi jjuga di bidang ekonomi.39 Dalam konsep ini kegiatan di bidang ekonomi dikuasai oleh dalil: “Laissez Faire, laissez aller” yang artinya kalau manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya masing-masing maka dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh Negara akan sehat.40

2) Generasi kedua

Pada masa ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukkan perluasan pemgertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada

37Ibid., hlm. 230. Lihat juga dalam A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), op.cit., hlm. 41.

38Ibid., Lihat juga dalam Dede Rosyada, et. al., op.cit., hlm. 204.

39Ibid., hlm. 231. Lihat juga dalam A. Latief Pariqun, "Konsepsi Perlindungan Hak Asasi Manusia", Jurnal Widya

Yuridika, No. 2/Edisi Kesebelas, Agustus 2003, hlm. 90.

(21)

17 generasi kedua ini lahir dua kovenan yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua kovenan tersebut disepakati dalam sidang PBB 1966.41 Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan sosial budaya, hak ekonomi dan hak politik. Pada masa ini pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif dalam mengatur kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya.42 Negara dalam konsep ini dinamakan Negara kesejahteraan (Welfare State) atau social service state (Negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat atau Negara modern).

3) Generasi ketiga

Generasi ketiga ini lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, social, budaya, politik dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.43

4) Generasi Keempat

Setelah banyak dampak negatif dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan seperti diabaikannnya aspek kesejahteraan rakyat. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Selain itu deklarasi HAM Asia telah berbicara mengenai masalah ‘kewajiban asasi’ bukan hanya ‘hak asasi’. Deklarasi tersebut juga secara positif mengukuhkan keharusan imperatif dari Negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya.

41Ibid., Lihat juga dalam Dede Rosyada, et. al., op.cit., hlm. 205. 42Ibid., Lihat juga dalam A. Latief Parikun. loc.cit.

(22)

18 HAM generasi keempat ini sudah menuntut level aplikasi dilapangan (law in action). HAM dalam perspektif ini seringkali diistilahkan dengan action plan of human right. Generasi keempat HAM ini mulai menggelinding dalam generasi HAM sedunia di Wina tahun 1993. Hasil konferensi tersebut dikenal sebagai The Vienna Declaration and Progamme of Action (VDPA).

Hamid Awaludin menyatakan bahwa dalam HAM generasi keempat terdapat lima agenda yang selalu mengemuka antara lain: Pertama, agenda Impuniti. Tuntutan agar tidak lagi ada orang atau kelompok orang yang telah melakukan pelanggaran HAM dibebaskan dari hukuman demi keadilan dan kemanusiaan; Kedua, perlu diperjelas lembaga-lembaga Negara yang secara khusus menangani masalah HAM, sehingga rakyat mendapat kejelasan kemana mereka mengadukan nasib mereka di bidang HAM; Ketiga, tuntutan tentang adanya parameter terhadap perilaku yang dinilai melanggar HAM dan; Keempat, agar HAM menjadi bagian darah daging setiap orang, tuntutan mengenai pendidikan HAM sangat menonjol serta; tuntutan terhadap adanya ikhtiar konkrit untuk melindungi kelompok-kelompok rentan tertentu dalam masyarakat kita, misalnya kaum perempuan, anak-anak, orang tua, penduduk asli dan sebagainya.44

2.1.3 Berbagai Paradigma Hak Asasi Manusia

Dalam perkembangan dari HAM tidak lepas dari perkembangan pikiran filosofis yang melatarbelakanginya. Pembahasan aspek filosofis, ideologis maupun teoritis akan membantu memahami konsepsi perlindungan HAM di berbagai Negara, dan juga munculnya konsep HAM. Pada tataran konseptual teoritik-filosofis hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga munculnya paham konstitualisme abad 17 dan 18, bahkan apabila boleh diulur sampai saat manusia dalam pergaulan hidupnya sadar akan hak yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika zaman purba.45

Konsep mengenai HAM ini dikenal semenjak adanya teori hukum alam. Hukum alam, menurut Marcus G. Singer merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral yang diakui atau diyakini oleh umat manusia sendiri. Konsep hukum alam mempunyai beberapa bentuk, ide yang pada awalnya bermula dari konsep Yunani

44Ibid., hlm. 233. Lihat dalam Hamid Awaludin, 2012, HAM: Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional,

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 86-87.

(23)

19 kuno. Pada intinya alam semesta diatur oleh hukum abadi yang tidak pernah berubah-ubah kalau ada perbedaan (perubahan) terutama tentang ukuran adil, selalu terkait dengan sudut pandang pendekatannya, adil menurut hukum alam atau adil menurut hukum kebiasaan. Hukum alam (natural law) salah satu muatannya adalah adanya hak-hak pemberian dari alam (natural rights) karena dalam hukum alam ada sistem keadilan yang berlaku universal, terkait dengan hal tersebut satu hal yang pasti yakni hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki/disandang dan melekat sejak saat kelahirannya, seketika itu pula sudah muncul kewajiban dari manusia lain untuk menghormatinya.46

Salah satu tokoh dari hukum alam ini adalah John Locke (1632-1704) yang dikenal sebagai Bapak HAM. Ia berpendapat bahwa manusia dalam keadaan bebas/state of nature, dalam hukum alam adalah bebas dan sederajat, tetapi mempunyai hak-hak alamiah yang tidak dapat diserahkan kepada kelompok masyarakat lainnya, kecuali lewat perjanjian masyarakat. Ketika mssuk menjadi anggota masyarakat, manusia hanya menyerahkan hak-haknya tertentu demi keamanan dan kepentingan bersama. Masing-masing individu meniliki hak prerogatif fundamental yang didapat dari alam. Hak tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan sebagai bagian utuh dari kepribadiannya sebagai manusia.47

Sedangkan menurut Scott Davidson48 terdapat lima paradigma utama yang relevan dengan pembahasan Hak Asasi Manusia, yakni: (1) Paradigma hukum kodrati dan hak kodrati; (2) Paradigma positivis; (3) Paradigma anti-utilitarian; (4) Paradigma realisme hukum; (5) Paradigma marxis atau sosialis. Inti pemikiran dari masing-masing teori tersebut akan diuraikan dibawah ini.

Pada abad ke-17 pandangan hukum kodrati terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan, dan pada akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati. Melalui teori ini hak individu yang subjektif diakui. Yang terkemuka diantara para pendukung teori kodrati adalah John Locke. John Locke berargumentasi bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inheren, atas kehidupan, kebebasan dan harta yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut. Tetapi

46Ibid., hlm. 235. Lihat dalam A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), op.cit., hlm. 8-9.

47Ibid., hlm. 3.

(24)

20 John Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian dalam hidup dunia umat manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontrak sosial atau negara memutuskan kontrak sosial dengan melanggar hak-hak kodrati individu, para kawula negara itu bebas untuk menyingkirkan sang penguasa dan menggantikan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak itu.49

Dalam perkembangan selanjutnya terutama pada abad 19 pemikiran hukum kodrati tidak lagi dihornati orang, walaupun sempat mengalami kebangkitan kembali pasca Perang Dunia ke II. Kritik utama terhadap hak kodrati bahwa teori ini tidak bisa diperiksa kebenarannya secara ilmiah. Namun menurut Scoot Davidson kita tidak boleh melupakan pengaruhnya yang besar bagi kemunculan dan perkembangan HAM. Teori hak kodrati telah berjasa dalam mempersiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang superior ketimbang hukum negara. Orang bisa mengajukan banding kepada hukum negara apabika hukum negara bersifat tidak adil, sewenang-wenang atau bersifat menindas.50

Dalam konteks HAM aliran positivis berpendapat bahwa hak hanyalah aturan yang diberlakukan oleh Negara untuk melindungi individu dan harta mereka atau dengan kata lain Austin dan kawan-kawan Negara memberikan kekebalan kepada individu dan sekaligus ketidakberdayaan yang sebanding sehingga Negara tidak dapat menganggu kekebalan itu.

Pemikiran Anti-Utilitarian dapat ditemui dalam pemikiran yang dikemukakan oleh Geraald Dwokrin dan John Rawls. Menurut Dworkin, hak asasi adalah “kartu truf” politis yang dimiliki oleh individu-individu yang digunakan “jika, karena suatu sebab tujuan kolektif tidak memadai untuk membenarkan penolakan terhadap apa yang ingin dimiliki atau dilakukan oleh mereka sebagai individu, atau tidak memadai untuk membenarkan terjadinya perlakukan yang merugikan atau melukai mereka.

Rawls berpendapat bahwa kebebasan adalah hal yang paling penting dan semua hak yang lain adalah pelengkapnya. Dalam sistem semacam itu, hak hanya boleh dibatasi jika hal itu akan memperkuat seluruh sistem kebebasan yang dinikmati oleh semua orang, atau kedua jika kebebasan yang lebih sedikit dapat diterima oleh warga Negara yang bersangkutan.

49 Ibid., hlm. 236. Lihat juga dalam Frans Magnis-Suseno, 1999, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(25)

21 Penganut realisme hukum yang utama Karl Llewellyn dan Roscue Pound mengungkapkan apa yang dilakukan oleh hukum, bukan apa itu hukum. Karena kerangka berpikir mereka yang empiris, para penganut realisme hukum tidak memiliki teori umum yang berkaitan dengan hak dalam artian yang sebenarnya. Mereka menganggap teori sebagai bagian dan paket dari studi mereka mengenai proses dan interaksi diantara kebijakan, hukum dan lembaga-lembaga hukum, didalam kerangka ini hak mungkin akan muncul sebagai produk akhir dari proses interaksi semacam itu dan demikian mencerminkan nilai moral masyarakat yang berlaku pada segala waktu tertentu. Dalam pengertian ini, para realis memberikan semacam “potret informal” terhadap hak-hak sebagai suatu manifestasi sementara dari proses berkesinambungan.

Aliran Marxis dengan pemikir utamanya Karl Marx, Marx yang berargumentasi dari sudut ilmiah menyatakan apa yang disebut hukum kodrati itu adalah idealistik dan historis, dan dengan demikian klaim kaum revolusioner Borjouis abad ke-17 dan abad ke-18 bahwa hak kodrati itu tidak dapat dicabut dan dihilangkan, tidak dapat diterima dan dipertahankan. Marx berargumentasi, hak jelas merupakan konsep Borjouis dan produk dari masyarakat kapitalis Borjouis, yang dirancang untuk mempertahankan dan memperkuat posisi kelas berkuasa yang lebih unggul. Meskipun begitu, Marx bersedia mengakui bahwa didalam tahapan-tahapan awal Negara revolusioner komunis sekalipun, hak, dari suatu spesies tertentu, boleh jadi masih memainkan suatu peran yang penting dalam transformasi masyarakat. Untuk memahami argumen ini, kita perlu membahas pendekatan Marxis terhadap hakikat individu, baik dalam Negara kapitalis maupun Negara komunis.51

Paradigma sosialis mulai dari Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak asasi tidak menekankan hak terhadap masyarakat justru menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Dari ajaran tersebut, paradigma sosialisme Marx bermaksud mendahulukan kemajuan ekonomi dari hak-hak sipil dan politik, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan.52

Agak berbeda dengan berbagai paham hak asasi manusia yang dijelaskan sebelumnya, dalam Islam sebagai agama tauhid terdapat falsafah dasar hak asasi manusia. Dalam tauhid terkandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh

51Ibid., hlm. 238. Lihat juga dalam Scott Davidson, op.cit; Frans Magnis-Suseno, op.cit.

52Ibid., hlm. 239. Lihat juga dalam Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,

(26)

22 manusia, bahkan tauhid mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Tegasnya dalam Islam terdapat pula ide peri-kemakhlukan, disamping ide perikemanusiaan.53

Peta permasalahan HAM di berbagai kawasan dunia menjadi sangat menarik, apabila dikaji adanya berbagai kelompok pemikiran, baik yang berkaitan dengan pendirian Negara-negara maupun dalam kelompok Ornop (LSM/NGO). Menurut Muladi, terbagi dalam 4 (empat) kelompok pandangan sebagai berikut: (1) Mereka yang berpandangan Universal-absolut, yang melihat HAM sebagai nilai-nilai Universal sebagaimana dirumuskan dalam The Bill of Human Rights. Mereka ini sama sekali tidak mengahrgai profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Penganut pandangan ini adalah Negara-negara maju dan bagi Negara-negara berkembang mereka ini seringkali dipandang eksploitatif karena HAM sebagai alat untuk menekan dan instrument penilai; (2) Pandangan Universal-relatif, yang memandang persoalan HAM masalah universal namun demikian perkecualian yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya; (3) Pandangan partikularistik-absolut, yang melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional; (4) Pandangan partikularistik-relatif, yang memandang persoalan HAM, di samping sebagai masalah Universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa.54

2.1.4 Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Mencermati tiga konstitusi yang pernah berlaku di indonesia maka secara sepintas tampaklah bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUD Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Salah satu alasan yang mendasarnya adalah terjadinya

53 Meskipun istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi, namun

prinsip penghormatan dan penghargaan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas. Inti ajaran Islam adalah Tauhid, yakni mengajarkan kepada manusia hanya ada satu pencipta, yaitu Allah SWT. Selain Tuhan, semuanya hanyalah makhluk. Karena itu, Tuhan semata, yang mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh harapan dan kebutuhan. Nabi Muhammad sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia kepada masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Ibid., Lihat dalam Musdah Mulia, 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Jakarta: Naufan Pustaka.

54Ibid., hlm. 240. Lihat juga dalam Muladi, 1996. "Hukum dan HAM" Sumbangan Tulisan dalam Bagir Manan

(27)

23 perbedaan pendapat dalam tubuh perumus UUD 1945, sehingga rumusan HAM yang tercantum dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah hasil kompromi dari tajamnya perbedaan pendapat tersebut.55

Soekarno dan Soepomo pada awalnya tegas menolak dimasukkannya materi HAM ke dalam rancangan konstitusi Indonesia karena keduanya berpendapat bahwa Negara Indonesia yang disusun berdasar paham kekeluargaan dan kegotongroyongan tidak dapat menerima materi HAM yang didasarkan atas paham “liberalisme dan individualisme”. Hatta dan Yamin, yang juga setuju dengan paham Negara kekeluargaan, sebaliknya mengingatkan agar materi HAM dimuat di dalam rancangan konstitusi karena mereka khawatir pada suatu masa para penyelenggara Negara akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.56 Kompromi tampaknya tercapai juga di antara dua pandangan itu. Baik di dalam Pembukaan maupun di dalam batang tubuh rancangan konstitusi terdapat materi HAM, walaupun tidak seluas dan seeksplisit rumusan di dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950.

Menyikapi jaminan HAM dalam UUD 1945 sebelum perubahan, maka terdapat pandangan yang beragam. Studi yang dillakukan oleh Majda El-Muhtaj menemukan paling tidak, ada tiga kelompok pandangan, yakni: pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1944 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; dan ketiga, berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM.57

Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak banyak memberi perhatian pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apa pun tentang HAM universal kecuali tiga hal, yaitu Sila Keempat Pancasila yang meletakkan asas “Kemanusiaan yang Adil dan

55 Alasan yang sering dikemukakan ialah, UUD 1945 disusun lebih dari tiga tahun sebelum diumumkannya

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB. Jadi, karena konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950 disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM oleh PBB, dapat dimengerti jika sebagian besar deklarasi itu kemudian dimuat oleh kedua konstitusi ini. Ibid., Lihat juga dalam Yusril Ihza Mahendra, 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta; GIP, hlm. 93-110.

56Ibid., hlm. 241. Lihat juga dalam Bagir Manan, 2012. Membedah UUD 1945, UB Press, hlm. 16-32.

57Ibid., Lihat juga dalam Majda El Muhtaj, 2002. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, dari UUD 1945

(28)

24 Beradab” dan Pasal 29 yang mendefinisikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”.58

Tegasnya bahwa HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakkan HAM di Indonesia sejalan dengan impmementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa.

Kelompok ketiga didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto dan M. Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuannya UUD 1945 mencantumkannya secara tidak sistematis. Selengkapnya beliau mengatakan sebagai berikut:

Perumusan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dalam UUD 1945 belumlah tersusun secara sistematis. Hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan hak-hak asasi, yakni Pasal 27, 28, 29, dan 31. Sebabnya, tidaklah karena nilai-nilai hukum dari hak-hak asasi itu kurang mendapat perhatian, akan tetapi karena susunan pertama UUD 1945 itu adalah inti-inti dasar kenegaraan, yang dapat dirumuskan sebagai hasil perundingam antara para pemimpin kita dari seluruh aliran masyarakat, yang diadakan pada masa berakhirnya pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia.59 Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, maka muatam HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakkan hukum dan HAM di Indonnesia.

Selain penegasan muatan HAM dalam pasal-pasal tersebut, pengaturan HAM juga masih dapat ditemukan pada ketentuan pasal-pasal seperti Pasal 27 Ayat (1), dan (2), dan Pasal 28. Kesemua pasal ini bukanlah hasil Perubahan UUD 1945, melainkan diadopsi langsung dari teks pasal dalam UUD 1945.

58Ibid., Lihat juga dalam M. Mahfud MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, hlm. 137-209.

59Ibid., hlm. 242. Lihat juga dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1975, HAM dan Pancasila, Jakarta: Pradnya

(29)

25 Jika dicermati maka setidaknya terdapat 12 jenis HAM dengan berbagai profil yang ditegaskan dalam Hasil Perubahan Kedua UUD 1945. Secara substansial, materi muatan HAM terbilang baik karena memuat berbagai hal kepentingan manusia yang harus dijaga, dipelihara, dijamin, dan dilindungi. Tidak dipungkiri dengan menjadikan perihal HAM dalam sebuah bab tersendiri merupakan sebuah keberhasilan yang patut diapresiasi secara positif.60

Tabel 1: Materi Muatan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan Perubahannya

NO BAB/Pasal Isi

1 BAB X/27 Ayat (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

2 BAB XA/28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

3 BAB XA/28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4 BAB XA/28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri

melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

5 BAB XA/28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepentingan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(30)

26 (2) Setiap orang berhak berkerja serta mendapat

imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

6 BAB XA/28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, dan berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

7 BAB XA/28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Setiap orang berhak untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki segala jenis saluran yang tersedia.

8 BAB XA/28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(31)

27 9 BAB XA/28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh kesejahteraan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa saja.

10 BAB XA/28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dikriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masayarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, dan penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.

(32)

28 yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

11 BAB XA/28I (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

12 BAB XII/30 Ayat (1)

Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Muatan dan Rumusan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan perubahannya tidak luput dari kritik. Pertama, kritik yang disampaikan oleh Majda El-Muhtaj berkaitan dengan redaksional dan jangkauan lingkup HAM yang dimuat dalam Hasil Perubahan Kedua UUD 1945 masih terbilang sangat sederhana, bahkan tidak menggambarkan sebuah komitmen atas penegakkan hukum dan HAM. Hal ini bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, sehingga tidak diperoleh kejelasan tentang rangkaian profil generasi ham yang telah berkembang selama ini. Selain itu, juga tidak diperkenankan daya desak pengakkan hukum dan HAM oleh Negara dalam bentuk kewajiban-kewajiban konkret secara eksplisit. Lebih lanjut Muhtaj menyatakan:

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 281 ayat (1) Undang ‐ undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak

Hasil akhir dari aplikasi ini adalah sistem yang menampilkan calon pembeli dengan menggunakan baju virtual yang melekat pada badannya sesuai dengan

judul Penelitian Tindakan Kelas yakni “ Penerapan Model Pembelajaran Word Square Untuk Meningkatkan Keaktifan Dan Hasil Belajar Siswa Pada Pelajaran. IPS

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan kontribusi sosial ekonomi dan budaya dalam membangun masyarakat nelayan agar dapat membantu terwujudnya keamanan di

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (1)Kinerja reksadana saham konvensional lebih rendah dari kinerja IHSG sebagai tolak ukurnya; (2) Kinerja reksadana saham

That is, this model can explain the simultaneous influence of the factors of brand awareness, advertising awareness, perceived quality, brand usage, brand

YS Albay'a: Teşkilat içinde kendisinin de bildiği gibi üst kademede çekişmelerin olduğunu, bizi de alet edip kullanmaya çalıştıklarını, bu insanların inandığımız,

1 Terbuka kepada semua pelajar sekolah menengah Tingkatan 1 hingga 5. 2 Pertandingan adalah secara berpasukan. Setiap pasukan terdiri daripada 3 orang peserta dengan