KAJIAN POLA SEBARAN SPASIAL DAN KEANEKARAGAMAN
JENIS VEGETASI PADA DAERAH TANGKAPAN AIR
TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA
HANS FENCE ZAKEUS PEDAY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Kajian Pola Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lainnya telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2009
Hans Fence Zakeus Peday
NRP E051060221
HANS FENCE ZAKEUS PEDAY. Study on the Spatial Distribution Pattern and Vegetation Species Diversity in Catchment Area of Gunung Meja Nature Recreation Park. Under Supervision of ANDRY INDRAWAN and I NENGAH SURATI JAYA.
ABSTRACT
This study describes spatial distribution pattern and diversity of vegetation species
in catchment area of Gunung Meja Nature Recreation Park. The study objective is to
identify vegetation species diversity, dominance, distribution pattern and crown closure
of trees having significant role in protecting condition and function of catchment area.
The plot samples are located base on slope classes, forest types and spatial distance from
water source. Spatial analysis was done using ArcView software, while vegetation
analysis was done using Microsoft excel software. The study found that the natural forest
are consisted 115 species that come from 52 genus and 38 families having cluster spatial
distribution pattern. The dominant species found in the natural forest are toxicaria and
Pometia coriacea for seedling stage; Aglaia spectabilis for sapling stage; Artocarpus altilis for poles stage; and Pometia pinnata and Pometia coriacea for tree stage. At the plantation forest, there are 71 species that belong to 54 genus and 28 families. The
dominant tree species are mainly clustered while for less dominant trees are uniformly
and randomly distributed. Based on species diversity evaluation, condition and carrying
capacity, the natural forest is categorized to have high abundance value (3.65) with 91 %
crown closure. In contrast, the plantation forest is categorized to have intermediate
abundance value (2.64) and 96.67 % crown closure.
Keywords:catchment area,vegetation,species diversity,distribution pattern,spatial study
HANS FENCE ZAKEUS PEDAY. Kajian Pola Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja. Di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN and I NENGAH SURATI JAYA.
Taman Wisata Alam Gunung Meja merupakan salah satu dari tujuh kawasan taman wisata yang terdapat di Papua, berjarak 3 km dari pusat kota Manokwari. Selain sebagai sumber air bersih bagi sepuluh persen masyarakat kota Manokwari yang berada di sekitarnya, kawasan ini diperkirakan memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang dapat mewakili sebagian keanekaragaman jenis hutan dataran rendah di kawasan kepala burung pulau Papua (Vogelkoop). Kawasan ini telah mengalami degradasi ekologi yang dicirikan dengan penurunan fungsi hidrologi dan peningkatan luas kawasan degradasi. Kajian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pola sebaran spasial dan keanekaragaman jenis vegetasi serta mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan ekosistem secara khusus pada daerah tangkapan air Taman Wisata Alam Gunung Meja, sehingga dapat memberikan gambaran tentang kekayaan jenis, jenis-jenis dominan, tingkat tutupan tajuk, pola sebaran jenis vegetasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi daerah tangkapan air, baik dari segi pemanfaatan maupun ekologi guna menjadi acuan di dalam rehabilitasi kawasan guna peningkatan dan pemanfaatan kawasan secara bijak dan lestari.
Penempatan unit sampling berdasarkan tiga parameter unit lahan, yaitu kelas hutan (hutan alam dan hutan tanaman), kelas kemiringan (0 – 25 % dan > 25 %) dan radius dari mata air (< 200 meter dan 200 - 400 meter) dalam bentuk matriks. Berdasarkan pembobotan yang dilakukan terhadap ketiga parameter tersebut, terpilih enam unit sampling yang mewakili areal penelitian. Metode survey vegetasi menggunakan sistem garis berpetak sistematis (line plot systematic sampling). Kajian spasial dilakukan berdasarkan hasil analisis vegetasi yang ditautkan dengan peta rupa bumi menggunakan sofware ArcView3.3. Sedangkan analisis keanekaragaman jenis dan kondisi habitat daerah tangkapan air dilakukan berdasarkan peranan jenis tersebut (indeks nilai penting) dan nilai indeks keanekaragaman jenis (Shannon Index of General Diversity). Tipe sebaran pada tingkat populasi maupun komunitas didasarkan pada kepadatan individu di dalam plot pengamatan yang ditentukan berdasarkan perbandingan nilai ragam dan nilai rata-rata contoh melalui analisis statistik.
Pada kelas hutan alam terdapat 115 jenis spesies yang terdiri dari 51 genus dan 38 family dengan tipe sebaran individunya berkelompok (clumped). Jenis indikator terdiri atas Antiaris toxicaria dan Pometia coriacea (semai), Aglaia spectabilis (pancang),
Artocarpus altilis (tiang) serta Pometia pinnata dan Pometia coriacea (pohon). Pada kelas hutan tanaman terdapat 71 jenis spesies yang terdiri dari 54 genus dan 28 family dengan tipe sebaran berkelompok (cluster) pada jenis-jenis dominan, namun pada beberapa jenis lainnya membentuk sebaran seragam (uniform) dan acak (random), serta jenis indikator pada semua tingkat pertumbuhan didominasi oleh jenis Palaqium amboinensis. Tingkat tutupan tajuk kelas hutan alam sebesar 91,00 persen dan kelas hutan tanaman sebesar 96,67 persen, keduanya tergolong dalam tingkat tutupan tajuk yang sangat baik.
Keywords:catchment area,vegetation,species diversity,distribution pattern,spatial study
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
JENIS VEGETASI PADA DAERAH TANGKAPAN AIR
TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA
HANS FENCE ZAKEUS PEDAY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Thesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
:
:
:
Kajian Pola Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja
Hans Fence Zakeus Peday
E051060221
Disetujui:
Komisi Pembimbing,
(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.) (Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr.)
Ketua Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Dekan
Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana,
(Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.) (Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.)
Tanggal Ujian: 03 Juni 2009 Tanggal Lulus : 31 Juli 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas perkenan-Nya
penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis yang berjudul ”Kajian Pola Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja”.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata
dua pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Tema yang dikaji pada tesis ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan dan
khususnya untuk konservasi Taman Wisata Alam Gunung Meja.
Penulis menyadari akan keterbatasan dalam menyajikan tesis ini, sehingga saran,
masukan dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaannya.
Kiranya karya ini dapat menjadi pendukung informasi ilmiah guna menunjang program
pengembangan dan perlindungan ekologis maupun fungsi dari kawasan Taman Wisata
Alam Gunung Meja bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan
Masyarakat Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.
Bogor, Juli 2009
Penulis
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf atas kesempatan
studi dan pelayanan akademik yang diberikan bagi penulis.
2. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas
Negeri Papua Manokwari atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan studi.
3. Komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan MS. dan Prof. Dr. Ir. I Nengah
Surati Jaya, M. Agr. atas arahan, bimbingan serta motivasinya dalam proses
penyelesaian tesis; dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. selaku penguji luar komisi atas
masukannya bagi penyempurnaan tesis.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas
dukungan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS).
5. Penyelenggara Program Beasiswa Unggulan P3SOT Biro Perencanaan dan
Kerjasama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan hibah
penelitian.
6. Pemerintah Daerah Provinsi Papua, dan secara khusus kepada Kepala Dinas
Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua beserta staf atas dukungan dana dalam
pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis.
7. Yayasan Dana Mandiri Jakarta atas dukungan dana dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan tesis.
8. Kepala BP3D Kabupaten Manokwari dan staf, Kepala PDAM Kabupaten
Manokwari dan staf, serta staf BKSDA Kabupaten Manokwari atas bantuan data
dan informasi dalam mendukung penelitian ini.
9. Ir. Weynand B. Watory beserta keluarga, atas doa dan dukungannya yang tak
terhingga bagi penulis.
10. Krisma Lekitto, S. Hut. Staf Balai Penelitian Kehutanan Papua-Maluku selaku
sahabat dan rekan kerja yang telah membantu dalam analisis dan identifikasi
vegetasi; adik Victor Simbiak, Yohanis Heipon, Alex Rejauw, Cally Peday, dan
Bram Sabarofek atas bantaunnya dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.
11. Staf LaboratoriumRemote Sensing Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor : Pa’ Uus Saeful M., Pa’ Edwine SP., S. Hut., adik Iskandar, S. Hut. dan
pihak-pihak lainnya atas bantuan dan kebersamaannya yang tak terhingga.
Secara khusus tesis ini kupersembahkan bagi istriku Yosis Selvia Napo beserta kedua anakkuGrevillea Julce Peday danGloryo Belthazar Pedayatas doa, pengorbanan, dan kebersamaannya selama penulis menjalani studi dan menyelesaikan tesis ini. Penulis
menyadari akan keterbatasan dalam menyajikan tesis ini, sehingga saran, masukan dan
kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaannya. Kiranya karya ini
dapat menjadi pendukung informasi ilmiah guna menunjang program pengembangan dan
perlindungan ekologis maupun manfaat dari kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja
bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat.
Bogor, Juli 2009
Penulis
Penulis dilahirkan di Manokwari - Papua pada tanggal 29 Oktober 1973
dari ayah Philipus Cornelis Peday dan ibu Katje Watory. Penulis
merupakan putra ketujuh dari tujuh bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan strata satu Sarjana Kehutanan pada
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari (1993 –
1998). Pada tahun 1998-2003 penulis bekerja pada Perkebunan Kelapa Sawit PT. Varita
Majutama – Djajanti Group dengan jabatan sebagai Field Assistant dan Kepala Kebun. Selanjutnya sejak awal tahun 2003 diangkat sebagai staf pengajar dan peneliti pada
Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari hingga saat ini. Kesempatan untuk
melanjutkan studi ke jenjang strata dua pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB) diperoleh pada tahun 2006
melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
DAFTAR ISI
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4
1.4. Hipotesis ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Taman Wisata Alam ... 5
2.2. Hidrologi dan Hidrologi Hutan ... 6
2.3. Siklus Air (Hidrologi) ... 7
2.4. Analisis Vegetasi ... 10
2.5. Stratifikasi ……… 11
2.6. Pengaruh Penutupan Vegetasi Terhadap Fungsi Hidrologi ... 13
2.7. Mekanisme Perbaikan dan Perlindungan Lahan dengan Vegetasi ... 15
2.8. Sistem Informasi Geografis(Geographycal Information System) ... 16
2.9 Penyebaran (Dispersion) ... 17
2.9.1. Pola Penyebaran Spasial (Spatial Dispersion Pattern) ... 17
2.9.2. Luas Tutupan ... 18
III. METODOLOGI ... 19
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19
3.2. Bahan dan Alat ... 19
3.3. Rancangan Penelitian ... 20
3.3.1. Jenis dan Sumber Data ... 20
3.3.2. Tahapan Penelitian ... 20
3.4. Prosedur Penelitian ... 22
3.4.1. Penentuan Unit Sampling ... 22
3.4.2. Metode Analisis Vegetasi ... 25
3.4.3. Inventarisasi Faktor-faktor Penyebab Penurunan Fungsi Daerah Tangkapan Air ... 27
3.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 27
3.5.1. Analisis Vegetasi ………... 27
3.5.2. Analisis Spasial Sebaran Vegetasi ……… 29
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 38
4.1. Sejarah Pembentukkan Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 38
4.2. Letak dan Luas ………. 39
4.3. Fisiografi ……….. 40
4.5. Tanah ……… 42
4.6. Penduduk ………. 42
4.7. Flora ………. 43
4.8. Fauna ……… 44
4.9. Bentuk Pemanfaatan Lain Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja .... 45
4.10 Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja ……….. 47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 54
5.1. Komposisi Jenis Vegetasi Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja ………... 54
5.1.1. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Kelas Hutan Alam ... 54
5.1.2. Komposisi Jenis Vegetasi Pada Kelas Hutan Tanaman ... 55
5.2. Struktur Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 57
5.2.1. Indeks Nilai Penting Vegetasi Kelas Hutan Alam ... 57
5.2.2. Indeks Nilai Penting Vegetasi Kelas Hutan Tanaman ... 62
5.3. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 65
5.3.1. Keanekaragaman Jenis Vegetasi dan Kestabilan Ekosistem Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam ... 66
5.3.2. Keanekaragaman Jenis Vegetasi dan Kestabilan Ekosistem Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman ... 68
5.4. Kajian Spasial Vegetasi Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Gunung Meja ... 70
5.4.1. Kajian Pola Sebaran Spasial Jenis dan Tingkat Tutupan Tajuk Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 70
5.4.2. Kajian Pola Sebaran Spasial Jenis dan Tingkat Tutupan Tajuk Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 77
5.4.3. Pola Sebaran Vegetasi Pada Kelas Hutan Alam ... 84
5.4.4. Pola Sebaran Jenis Secara Spasial Pada Kelas Hutan Tanaman ... 87
5.5. Stratifikasi dan Profil Tegakan Hutan ... 90
5.5.1. Stratifikasi dan Profil Tegakan Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 90
5.5.2. Staratifikasi dan Profil Tegakan Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 91
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 93
6.1. Kesimpulan ………... 93
6.2. Saran ………. 94
DAFTAR PUSTAKA ... 95
LAMPIRAN ... 98
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis dan Sumber Data Spasial ………. 20
2. Kriteria Kelas Kelerengan (Slope) ……… 22
3. Matriks Unit Sampling berdasarkan Kelerengan (Slope), Vegetasi (V) dan Radius Mata Air (J) ………... 23
4. Atribut Unit Sampling Lokasi Penelitian Terpilih ………... 24
5. Klasifikasi Vegetasi dan Ukuran Plot Pengamatan ………... 27
6. Sistem Kodefikasi Dalam PenentuanID-Number ………... 30
7. Klasifikasi dan Luas Lereng Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja .... 40
8. Jenis Pohon, Tahun Tanam, Luasan, Jarak Tanam dan Potensi Hutan Tanaman Pada Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 44
9. Bentuk-bentuk Pemanfaatan Lain Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja ……….………... 45
10. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Semai Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Alam ……….………... 58
11. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Pancang Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Alam ……… 59
12. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Tiang Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Alam ……….…………... 60
13. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Pohon Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Alam ……….…………... 60
14. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Semai Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Tanaman ……….………. 62
15. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Pancang Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Tanaman ……….. 63
16. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Tiang Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Tanaman ……….………. 64
17. Sepuluh Jenis Vegetasi Tingkat Pohon Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kelas Hutan Tanaman ……….. 64
18. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Seluruh Tingkat Pertumbuhan Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam ……… 66
Vegetasi Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman ………. 68
20. Tingkat Penutupan Tajuk Berdasarkan Hasil Intersect Pada Kawasan
Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja ……… 77
21. Tingkat Penutupan Tajuk Berdasarkan Hasil Intersect Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung Meja ……….. 84
22. Hasil Uji Statistik dalam Menentukan Tipe Sebaran dan Sebaran Uji Pada Kelas Hutan Alam dari 10 Jenis Vegetasi Dengan Indeks Nilai Penting
Tertinggi Pada Kawasan Kelas Hutan Alam ………. 85
23. Hasil Uji Sebaran Poisson dan Sebaran Binomial Negatif Terhadap Tipe Sebaran Acak (Random) dan Berkelompok (Cluster) Pada Kelas Hutan
Alam……….. 86
24. Hasil Uji Statistik dalam Menentukan Tipe Sebaran dan Sebaran Uji Pada Kelas Hutan Alam dari 10 Jenis Vegetasi Dengan Indeks Nilai Penting Tertinggi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ………... 88
25. Hasil Uji Peluang Sebaran Poisson dan Sebaran Binomial Terhadap Tipe Sebaran Acak (Random) dan Berkelompok (Cluster) Pada Kelas Hutan
Tanaman ……… 89
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran ... 3
2. Siklus Air Yang Terjadi di Alam ………... 8
3. Pola Sebaran Spasial Organisme : a. acak (random), b. berkelompok (cluster) dan seragam (uniform) ... 18
4. Peta Lokasi Penelitian ... 19
5. Tahapan Penelitian ... 21
6. Peta Sebaran Unit Sampling dan Model Spasial Parameter Unit Lahan Kelas Hutan, Kelas Slope dan Radius dari Titik Mata Air Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 24
7. Letak Jalur dan Plot Pada Unit Sampling ... 25
8. Bentuk Jalur dan Plot Pengamatan ... 26
9. Alur Struktur Data (Algoritma) Analisis dan Model Sebaran Jenis
Vegetasi……….. 31
10. Contoh Field Profil Hutan Extension IHMB Dengan Field Mutlak (Lingkaran Merah) Yang Harus Terdapat Pada Tabel Atribut ... 36
11. Bentuk Ikon Pulldown Menu Extension IHMB (Inventarisasi Hutan
Menyeluruh Berkala) ……….. 36
12 Tahapan Kajian Model Spasial Vegetasi Daerah Tangkapan Air Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 37
13. Peta Lokasi Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 40
14. Bentuk Spasial Sebaran Kelas Lereng Pada Kawasan Taman Wisata Alam
Gunung Meja ………..………... 41
15. Bangunan Pos Pengawas Yang Rusak dan Tidak Dimanfaatkan ……….. 46
16. Aktifitas Perladangan di Dalam dan Sekitar Kawasan ………... 49
17. Pemukiman Di Dalam kawasan TWA Gunung Meja, Kompleks Fanindi ... 50
18. Beberapa Jenis Tumbuhan Hias Liar Di Kawasan TWA Gunung Meja (a. Cyrtosperma mercusii; b. Alpinia sp., dan; c. Costus
speciosus)……… 51
dan Kacangan (Pereuria javanica) Di Dalam Kawasan TWA Gunung
Meja ……….... 52
20. Aktfitas dan Akibat Pengumpulan Batu Bangunan : (a). Tumpukan Batu Hasil Pengumpulan Liar dan Kerusakan Permudaan Akibat Aktifitas Pengumpulan Batu Berupa Jalan Angkut (Arah Panah) (b). Lokasi Bekas
Penggalian dan Pengumpulan ………. 53
21. Jumlah Jenis Berdasarkan Family Vegetasi Kelas Hutan Alam …………. 54
22. Jumlah Jenis Berdasarkan Family Vegetasi Kelas Hutan Tanaman ……... 56
23. Contoh Model Spasial Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Alam ... 71
24. Contoh Model Spasial Tutupan Tajuk Diskontinyu dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Alam ... 72
25. Contoh Model Spasial Tutupan Tajuk Kontinyu dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan ... 73
26. Contoh Model Spasial Perpotongan (Intersect) Tutupan Tajuk Terhadap Plot Pengamatan dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Alam ... 74
27. Contoh Model Spasial Persentase Hasil Perpotongan (Intersect) Tutupan Tajuk Terhadap Plot Pengamatan Pada Kawasan Kelas Hutan Alam ... 75
28. Contoh Model Spasial Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ... 78
29. Contoh Model Spasial Tutupan Tajuk Diskontinyu dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ... 79
30. Contoh Model Spasial Tutupan Tajuk Kontinyu dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ... 80
31. Contoh Model Spasial Perpotongan (Intersect) Tutupan Tajuk Terhadap Plot Pengamatan dan Sebaran Jenis Vegetasi Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ... 81
32. Contoh Model Spasial Persentase Hasil Perpotongan (Intersect) Tutupan Tajuk Terhadap Plot Pengamatan Pada Kawasan Kelas Hutan Tanaman ... 82
33. Profil Hutan Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata
Alam Gunung Meja ………... 91
34. Profil Hutan Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata
Tanaman Gunung Meja ……..………... 92
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Pengelompokkan Jenis Berdasarkan Family dan Nama Lokal Vegetasi Daerah
Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 99
2. Pengelompokkan Jenis Berdasarkan Family dan Nama Lokal Vegetasi Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 102
3. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Semai pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 104
4. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Pancang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 106
5. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Tiang pada Daerah
Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja ... 108
6. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Pohon pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 110
7. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Semai pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 112
8. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Pancang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 113
9. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Tiang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 115
10. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Tingkat Pohon pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 116
11. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Semai pada
Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja... 117
12. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Pancang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 119
Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 121
14. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Pohon pada
Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Alam Taman Wisata Alam Gunung Meja... 123
15. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Semai Pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 125
16. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Pancang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam
Gunung Meja ... 126
17. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Tiang pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 127
18. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon Vegetasi Tingkat Pohon pada Daerah Tangkapan Air Kelas Hutan Tanaman Taman Wisata Alam Gunung
Meja ... 128 19. Contoh Data Atribut Model Spasial Sebaran Jenis dan Tutupan Tajuk Vegetasi.. 129
20. Contoh Data Atribut Model Profil HutanExtensionIHMB ……….. 130
Segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan kepadaku
(Filipi 4 : 13)
Ku persembahkan Tesis ini bagi
Istriku
Yosis Selvia Napo
serta Anak-anakku
Grevillea Julce Peday
Gloryo Belthazar Peday
& “The Little”
Teluk Doreri Manokwari
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Papua dengan kawasan hutan seluas 41 juta hektar memiliki kawasan
konservasi sebesar 16,77 persen, kawasan lindung sebesar 23,90 persen dan
kawasan hutan produksi sebesar 59,33 persen dari luas kawasan hutan tersebut
(PM-NRM, 2003). Kawasan pelestarian alam di Papua terdiri dari tiga taman
nasional (TN) dan tujuh taman wisata alam (TWA), antara lain TN
Wasur-Merauke, TN Lorentz-Pegunungan Tengah dan TN Laut Teluk
Cenderawasih-Teluk Wondama, sedangkan taman wisatanya terdiri dari TWA Cenderawasih-Teluk
Yotefa-Jayapura, TWA Nabire-Nabire, TWA Sorong-Sorong, TWA Klamono-Sorong,
TWA Beriat-Sorong, TWA Laut Kepulauan Padaido-Biak dan TWA Gunung
Meja-Manokwari (Departemen Kehutanan, 1998). Taman Wisata Alam Gunung Meja
merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat dengan luas 460,25 Ha, ditetapkan melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 19/Kpts/Um/I/1980 (PSL-UNCEN, 1998). Berdasarkan
statusnya, kawasan ini berfungsi sebagai kawasan wisata dan rekreasi serta fungsi
lainnya seperti wahana pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan
penunjang budaya, sekaligus sebagai daerah tangkapan air (Keppres RI No. 32
Tahun 1990).
Perkembangan laju pembangunan Manokwari sebagai ibukota Kabupaten
Manokwari dan ibukota Provinsi Papua Barat didukung oleh Program Percepatan
Pembangunan Indonesia Timur, pemberian Otonomi Khusus (Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001) serta program pemerintah lainnya dalam dekade terakhir
secara tidak langsung turut meningkatkan kebutuhan masyarakat akan sumberdaya
alam. Taman Wisata Alam Gunung Meja menjadi salah satu alternatif bagi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, baik berupa lahan maupun
sumberdaya hutan lainnya terutama kayu. Hal ini disebabkan karena letak kawasan
ini berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk, akses ke dalam kawasan
yang mudah karena tidak terdapat pembatas, tingkat pengawasan yang rendah, dan
berdampak pada perubahan secara ekologis maupun pemanfaatannya. Salah satunya
yaitu kerusakan dan penurunan fungsi daerah tangkapan air (catchment area).
1.2. Rumusan Masalah
Sumber mata air Taman Wisata Alam Gunung Meja dilaporkan Zieck
(1960) dalam TP-TWAGM (2004) berjumlah 30 sumber mata air, cenderung berada di zona terluar kawasan yang berbatasan langsung dengan pemukiman
penduduk pada sisi selatan kawasan hingga ke barat daya. Akibatnya interaksi
masyarakat yang relatif tinggi ke dalam kawasan sumber-sumber air tersebut dalam
pemanfaatan lahan dan vegetasi di sekitarnya, sehingga mengakibatkan
terganggunya ekosistem daerah tangkapan air (catchment area) berupa penurunan kualitas dan kuantitas sumber air. Sumber air yang masih aktif saat ini terdiri dari
15 mata air dengan rata-rata debit 1,2 liter/detik (Wambrauw, 2004).
Berdasarkan penelitian NRM (2003), TP-TWAGM (2004) dan Wambrauw
(2004), pengaruh perubahan penutupan lahan berupa perubahan struktur dan
komposisi vegetasi di Taman Wisata Alam Gunung Meja merupakan faktor yang
berperan dalam penurunan fungsi ekologi dan hidrologi kawasan. Leppe & Tokede
(2006) mengatakan peningkatan jumlah penduduk di sekitar kawasan dan
kebutuhan ekonominya serta pengelolaan kawasan yang tidak optimal
menyebabkan peningkatan interaksi masyarakat ke dalam kawasan guna
pemanfaatan sumberdaya alamnya terutama flora, fauna dan lahan. Akibatnya
terjadi tekanan terhadap ekosistem alami yang mempengaruhi penurunan kondisi
tutupan lahan di Taman Wisata Alam Gunung Meja. Wambrauw (2004)
melaporkan telah terjadi degradasi kawasan hutannya sebesar 19,31 persen dan
turut mempengaruhi fungsi daerah tangkapan air (catchment area), dimana mengakibatkan penurunan debit air pada 7 sumber mata air yang pernah dikelola
oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Manokwari yang
mencapai 30 persen dalam kurung waktu tahun 1998 – 2004. Dengan demikian
penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan mengkaji kondisi
ekologis sumber-sumber mata air secara spasial dengan pendekatan prinsip ekologi
yang dikemukakan oleh Mendoza & Prabhu (2002), dan Pukkala (2002) seperti
Principles
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat keanekaragaman
jenis, jenis dominan yang berperan dan berpengaruh dalam menjaga kondisi dan
fungsi ekologi daerah tangkapan air, pola sebaran spasial dan tingkat tutupan tajuk
jenis vegetasi tingkat pohon pada daerah tangkapan air Taman Wisata Alam
Gunung Meja. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan
bagi kegiatan rehabilitasi, peningkatan pengelolaan dan perlindungan guna
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, ekologis dan pemanfaatan
kawasan tersebut.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pola adaptasi
dan penyebaran jenis vegetasi secara alami yang menunjukkan kemampuan
dominasi dan peran suatu jenis dalam proses ekologi yang terjadi pada daerah
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Wisata Alam
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam terdiri dari kawasan cagar alam
dan kawasan suaka marga satwa. Sedangkan kawasan pelestarian alam terdiri dari taman
nasional (TN), taman hutan rakyat (TAHURA) dan taman wisata alam (TWA). Taman
wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Selain fungsi pokok tersebut, taman
wisata juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan,
pendidikan, serta kegiatan penunjang budidaya yang dikelola secara lestari. Suatu
kawasan dapat ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem, gejala alam
serta formasi geologi yang menarik;
b. Mempunyai luas kawasan yang cukup guna menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam
dan rekreasi alam.
Taman wisata terdiri dari taman wisata alam (TWA) daratan dan taman wisata
alam laut. Papua memiliki 7 (enam) taman wisata alam, yang terdiri dari enam taman
wisata alam daratan dan satu taman wisata alam laut, yaitu TWA Gunung Meja di
Kabupaten Manokwari, TWA Teluk Yotefa di Kabupaten Jayapura, TWA Sorong di
Kabupaten Sorong, TWA Beriat di Kotamadya Sorong, TWA Klamono di Kabupaten
Sorong Selatan, TWA Nabire di Kabupaten Nabire, dan satu-satunya taman wisata alam
laut di Papua adalah TWA Laut Kepulauan Padaido di Kabupaten Biak-Numfor
2.2. Hidrologi dan Hidrologi Hutan
Hidrologi adalah ilmu yang membahas tentang air di bumi, cara terjadi, sirkulasi
dan agihannya, sifat-sifat fisik dan kimianya, reaksi dan lingkungannya, termasuk
reaksinya terhadap benda-benda hidup (Lee, 1990). Pengertian lain hidrologi menurut
Asdak (2004) merupakan ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas
dan padat) pada, dalam dan di atas permukaan tanah, termasuk di dalamnya adalah
penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisik dan kimianya serta hubungannya
dengan unsur-unsur hidup di dalam air itu sendiri. Lebih lanjut menurut Arsyad (2006),
hidrologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses penambahan,
penampungan dan kehilangan air di bumi.
Hidrologi mencakup bidang ilmu yang luas dan beragam, meliputi gatra
agronomi, ekologi, geomorfologi, glasiologi dan fisiologi tanaman, termasuk hidrologi
pertanian, perkotaan dan marga satwa, hidrologi medis, hidrologi keteknikan dan
hidrologi hutan. Istilah-istilah di atas merupakan hidrologi terapan. Ada beberapa ilmu
lainnya yang sangat terkait dengan hidrologi, yaitu :
1. Hidrometeorologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena air yang terjadi di
atmosfir.
2. Hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena air yang terjadi di
bumi.
3. Oseanografi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena air yang terjadi di
lautan (air laut).
4. Limnologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena air yang terjadi pada
badan-badan air di daratan (air tawar).
Cabang ilmu hidrologi lainnya yang sangat terkait dengan hubungan hidrologi dan
kawasan hutan adalah ilmu hidrologi hutan dan hidrologi daerah aliran sungai (DAS).
Menurut Lee (1990) hidrologi hutan adalah suatu ilmu fenomena yang berkaitan dengan
air yang dipengaruhi oleh penutupan hutan. Sedangkan Asdak (2004) mengemukakan
bahwa hidrologi DAS adalah cabang ilmu hidrologi yang mempelajari pengaruh
pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment)
terhadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir dan iklim di
penyatuan antara ilmu kehutanan dan ilmu hidrologi yang terpusat pada masalah air
dengan lingkup operasionalnya pada lahan hutan.
Menurut Asdak (2004) daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem
utama yang mengatur tata air, dimana DAS merupakan wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan
air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Kawasan DAS
disebut juga daerah tangkapan air (DTA) atau catchment area merupakan ekosistem
dengan unsur utama berupa tanah, air dan vegetasi serta manusia sebagai pemanfaatnya.
Pendapat ini juga didukung oleh Agus et. al. (2004), bahwa hutan memiliki siklus
hidrologi yang spesifik yang dikendalikan oleh interaksi antara vegetasi, tanah,
landscape, iklim dan faktor-faktor lainnya. Jika interaksi ini terganggu, berbagai faktor
dalam siklus hidrologi (seperti : evapotranspirasi, intersepsi, curah hujan antar tajuk dan
infiltrasi) akan berubah dan responnya akan berbeda terhadap curah hujan. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kunci dari perilaku hidrologi suatu hutan adalah keberadaan tajuk
dan lantai hutan dengan serasah dedaunannya serta terkonsentrasinya akar. Tajuk
(melalui intersepsi air hujan, evaporasi dan transpirasi) bersama dengan serasah di atas
tanah (berpengaruh terhadap infiltrasi) sangat penting di dalam lingkaran hidrologi hutan.
Sebagai akibat dari penggundulan hutan, tanggap lahan terhadap hujan akan
berubah bergantung pada tingkat kerusakan hutan, iklim wilayah, kondisi geologi dan
curah hujan selama dan sesudah pengerusakan tersebut terjadi. Satu faktor paling penting
yang akan berubah ketika terjadinya penggundulan hutan dan gangguan terhadap tanah
adalah menurunnya kemampuan tanah menyerap air (penurunan kapasitas infiltrasi).
2.3. Siklus Air (Hidrologi)
Air dibutuhkan oleh semua mahluk hidup di bumi, baik manusia, hewan,
tumbuhan maupun mikro-organisme lainnya, juga berfungsi sebagai sarana transportasi,
sumber energi, pelarutan, dan berbagai keperluan hidup manusia lainnya. Namun
demikian bila tidak dikelola dengan baik, air juga dapat bersifat merusak dan
membinasakan makhluk hidup di sekitarnya, misalnya dengan hujan lebat dan banjir,
tanah longsor, dan erosi.
Air yang jatuh ke bumi terjadi dalam bentuk hujan, salju atau embun
(precipitation). Bila telah memasuki atmosfir dan berada di bumi akan mengalami berbagai proses dan peristiwa, kemudian akan menguap kembali ke udara menjadi awan
dan dalam bentuk hujan, salju dan embun akan kembali jatuh ke bumi. Peristiwa ini
terjadi secara berulang dangan siklus tertutup disebut siklus air (Arsyad, 2006).
Gambar 2. Siklus Air Yang Terjadi Di Alam (Sumber: Enger, 2004)
Sebagian air hujan yang jatuh ke bumi dalam peristiwa kondensasi menguap di
atmosfir sebelum tiba di bumi. Pada daerah tanpa vegetasi dan benda lainnya, air hujan
akan langsung jatuh ke permukaan tanah. Pada tempat-tempat yang ada
tumbuh-tumbuhan atau benda-benda lainnya, air hujan yang jatuh akan ditahan dan melekat di
permukaan tumbuhan atau benda tersebut. Air yang tertahan dan melekat di permukaan
Bagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah disebut suplai air permukaan
tanah dan akan mengalir di permukaan tanah (aliran permukaan ataurunoff) atau terserap dan masuk ke dalam tanah (air infiltrasi atau infiltration). Runoff akan terkumpul di badan-badan air permukaan (sungai, danau, waduk, dan sebagainya) dan dialirkan ke laut
melalui sungai-sungai utama. Sedangkan air infiltrasi sebagian akan menguap ke udara,
diserap tumbuhan dan kembali ke udara (transpiration) dan sebagian akan terperkolasi masuk lebih dalam ke tanah menjadi air bawah tanah (ground water) dan melalui aliran bawah tanah (ground water flow) kembali ke badan-badan air permukaan. Besarnya aliran sungai yang mengalir dan dapat terukur ini disebut debit aliran.
Debit aliran adalah laju aliran air dalam bentuk volume air yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu, umumnya dinyatakan dalam satuan meter
kubik per detik atau m3/dtk (Asdak, 2004). Data debit atau aliran sungai merupakan
informasi yang penting dalam pengelolaan air. Debit puncak (banjir) diperlukan untuk
merancang bangunan pengendali banjir, sedangkan debit aliran kecil diperlukan untuk
perencanaan alokasi atau pemanfaatan air bagi berbagai macam keperluan terutama pada
musim kemarau panjang. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran
potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai (DAS).
Secara singkat proses siklus air di atas yang terjadi berdasarkan jumlah air yang
jatuh ke bumi, baik dalam bentuk hujan, embun dan salju. Besarnya jumlah air hilang
kaitan dengan jumlah air tersimpan (yang dapat dimanfaatkan) secara sederhana
dijelaskan dengan persamaan berikut :
(Air yang diterima) – (Air hilang) = (Air tersimpan)
Tinjauan singkat mengenai fase-fase siklus air menunjukkan pentingnya peranan
tanah dan baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh vegetasi
2.4. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi) dan bentuk
(struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegera dan Indrawan,
2005). Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk
vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan yang meliputi mempelajari tegakan hutan
yaitu tegakan tingkat pohon dan permudaannya (tingkat tiang, pancang dan semai) dan
mempelajari tegakan tumbuhan bawah yaitu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah
tegakan hutan selain permudaan pohon, padang rumput/ilalang dan belukar.
Selanjutnya Indriyanto (2006) mengatakan bahwa, berdasarkan analisis vegetasi
tersebut dapat ditentukan beberapa besaran yang dapat memberikan gambaran tentang
keseluruhan kondisi kawasan pengamatan, yaitu :
1. Kerapatan (K) dan Kerapatan Relatif (KR)
Kerapatan adalah perbandingan jumlah individu suatu jenis terhadap luas petak
contoh yang digunakan. Berdasarkan kerapatan suatu individu dapat ditentukan pula
Kerapatan Relatif masing-masing jenis individu, yaitu kerapatan individu suatu jenis
dibanding dengan kerapatan seluruh jenis yang ditemukan.
2. Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (FR)
Frekuensi adalah jumlah petak yang berisi suatu spesies dibandingkan dengan jumlah
seluruh petak contoh. Berdasarkan frekuensi suatu individu dapat ditentukan pula
Frekuensi Relatif masing-masing jenis individu, yaitu frekuensi individu suatu jenis
dibanding dengan frekuensi seluruh jenis.
3. Luas Penutupan atau Dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR)
Luas penutupan atau dominansi (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat
dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk atau luas bidang dasar (basal area). Sedangkan luas penutupan atau dominansi relatif merupakan perbandingan antara dominansi suatu jenis terhadap dominansi jenis yang lain.
Indeks nilai penting atau importance value index (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi atau penguasaan
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Indeks ini diusulkan oleh Curtis &
Soerianegara dan Indrawan (2005), jumlah nilai maksimal INP pada tingkat pohon
dewasa adalah 300 %, yaitu jumlah parameter KR, FR dan DR. Sedangkan jumlah nilai
maksimal INP pada tingkat permudaan adalah 200 %, yaitu jumlah parameter KR dan
FR. Spesies kunci adalah spesies yang berperan besar dalam komunitas karena
aktifitasnya menentukan struktur komunitas. Sedangkan spesies dominant menunjukkan
superior numeric dibanding perannya dan merupakan hasil dari proses kompetisi
(Leksono, 2007).
Indeks-indeks lainnya yang dapat menggambarkan kondisi suatu kawasan, antara
lain : Perbandingan Nilai Penting (Summed Dominance Ratio), Indeks Dominansi (Index of Dominance), Indeks Keanekaragaman (Index of Diversity) yang biasa ditentukan dengan Indeks Shannon dan/atau Indeks Margalef (Indriyanto, 2006).
2.5. Statifikasi
Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di
dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Pada tipe ekosistem hutan hujan
tropis, stratifikasi biasanya tersusun secara lengkap terdiri dari lima strata (storey). Tiap lapisan di dalam stratifikasi disebut stratum atau strata. Menurut Soerianegera dan
Indrawan (2005), stratifikasi yang terbentuk di dalam masyarakat tumbuhan disebabkan
oleh dua hal, yaitu :
1. Persaingan
Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung di dalam suatu
masyarakat tumbuhan antar spesies pohon yang ada. Akibat kompetisi ini akan
muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki pertumbuhan yang kuat dan menjadi
spesies yang dominan atau lebih berkuasa dari individu yang lain. Individu
pohon-pohon dominan yang terbentuk tersebut akan mencirikan masyarakat hutan yang
bersangkutan. Contoh spesies tersebut antara lain jenisShoreaspp. yang dominan di hutan-hutan Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera yang menyusun stratum teratas
(A) sehingga membentuk kelompok hutan Dipterocarpaceae.
2. Sifat toleransi spesies
Sifat toleransi spesies ini sangat dipengaruhi oleh intensitas matahari. Spesies-spesies
matahari penuh, sehingga proses pertumbuhannya akan lebih cepat dan menjadi lebih
tinggi. Jenis individu intoleran tidak tahan bertada di bawah naungan, karena
menyebabkan pertumbuhannya menjadi lambat bahkan dapat mengakibatkan
kematian. Pada individu pohon dengan sifat toleran akan bertahan di bawah naungan
jenis intoleran.
Pertumbuhan individu pohon dengan sifat-sifat di atas akan membentuk lapisan
tajuk (kanopi) yang berkesinambungan secara vertikan maupun horisontal. Berdasarkan
susunan dan sifat-sifat individu tersebut secara vertikal yang dipengaruhi oleh tinggi
pohon dan ukuran tajuk akan membentuk beberapa lapisan (stratum) tajuk. Soerianegera
dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa stratifikasi yang terbentuk pada hutan hujan
tropis (Tropical Rain Forest) terdiri dari lima stratum tajuk, yaitu :
a. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 meter, umumnya memiliki tajuk pohon
yang lebar dan secara horisontal tidak bersentuhan dengan tajuk lainnya dalam
stratum yang sama (discontinu). Tipe tegakan pada stratum ini umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi dan tidak tahan naungan (intolerant) serta merupakan penciri tegakan atau hutan di kawasan tersebut.
b. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20 – 30 m. Bentuk tajuk pada stratum B membualat atau
memanjang dan tidak melebar seperti tajuk pohon pada stratum A. Jarak antar
tegakan lebih dekat sehingga tajuk-tajuknya cenderung membentuk lapisan yang
kontinyu. Tegakannya bersifat toleran terhadap naungan stratum A atau kurang
memerlukan cahaya. Batangnya cenderung banyak percabangan dengan bebas
cabang yang rendah.
c. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4 - 20 m. Tajuk yang terbentuk pada stratum C
mempunyai bentuk yang berubah-ubah dan membentuk lapisan tajuk yang tebal serta
memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk menjadi
biasanya berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat (liana)
dan parasit.
d. Stratum D (D-storey), yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1 - 4 m. Pada stratum ini juga terdapat
dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase permudaan (semai
dan pancang), berbagai jenis palem, herba dan paku-pakuan.
e. Stratum E (E-storey), yaitu lapisan tajuk terbawah atau kelima dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan penutup tanah yang tingginya kurang dari 1 meter.
Keragaman jenis pada stratum E biasanya lebih rendah dibandingkan stratum lainnya
di atasnya. Spesies-spesies yang umumnya menempati strata ini dari family
Commelinaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae dan Marantaceae.
2.6. Pengaruh Penutupan Vegetasi Terhadap Fungsi Hidrologi
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
dikatakan bahwa hutan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi. Pemanfaatan hutan yang tidak sesuai dengan fungsinya
dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perannya bagi kesejahteraan manusia dan
terutama bagi organisme lain yang hidup di dalamnya. Peranan hutan dalam fungsi
lindung, berfungsi sebagai perlindungan terhadap sistem penyanggah kehidupan untuk
mengatur tata air atau hidrologi, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut ke daratan dan memelihara kesuburan tanah (Departemen Kehutanan, 2006).
Penutupan vegetasi dalam skala luas sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
sumberdaya air dari suatu kawasan penyimpanan air atau daerah aliran sungai (DAS),
dimana sangat mempengaruhi curah hujan dan aliran air tahunan terutama berkaitan
dengan jumlah air tersimpan dan distribusinya. Berdasarkan kajian Roberth (2000)
dalamRaisonet al.(2006) di hutan hujan Kericho-Kenya terjadi peningkatan sebesar 40 persen aliran air terhadap pembukaan penutupan hutan sebsar 10 persen. Besarnya curah
hujan tahunan berbanding lurus dengan besarnya aliran permukaan dan proses evaporasi.
Menurut Agus et al. (2004), bila kawasan hutan dikonversi menjadi areal penggunaan lahan lainnya, maka tanah, tanaman dan juga siklus hidrologi yang ada di dalamnya akan
terpengaruh, hal ini disebabkan karena dampak yang ditimbulkan oleh terjadi perubahan
secara fisik, biologi dan kimiawi pada lahan maupun makhluk hidup yang berada di
atasnya. Dengan keanekaragaman tumbuhan dan hewannya yang unik, hutan tropis
menyediakan makanan, serat, kayu, obat-obatan, dan bahan bakar dalam jumlah besar
bagi petani lokal, pemburu, dan penduduk kota (meskipun secara tidak langsung). Hutan
juga begitu penting bagi komunitas dunia secara keseluruhan, karena merupakan unsur
yang sangat penting dalam keseimbangan dan penambatan karbon global serta
menyimpan sebagian besar keanekaragaman hayati.
Lebih lanjut Agus et al. (2004) mengemukakan bahwa luas areal hutan yang dikonversikan bagi pengguanaan lahan lainnya semakin meningkat, sehingga hutan
kehilangan ciri dan fungsinya yang unik bagi kebutuhan manusia. Beruntunglah, di
negara-negara tropis dan negara-negara beriklim sedang para ahli konservasi dan
masyarakat perkotaan memberikan perhatian terhadap kesejahteraan penduduk asli dan
pengaruh lingkungan yang buruk akibat kerusakan hutan. Metode yang digunakan dalam
alihguna lahan hutan menjadi lahan konversi perlu diperhatikan. Selain itu perlu
diperhatikan sistem pengelolaan lahan yang digunakan karena beberapa fungsi hutan
dapat dipertahankan pada landscape konversi tersebut, sementara fungsi lainnya
(terutama keanekaragaman hayati) kemungkinan besar akan hilang akibat alihguna lahan
hutan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan (Agus et al., 2004) untuk mempertahankan fungsi hutan di daerah tropik basah dengan beberapa konsekuensi
terhadap produktifitas, keanekaragaman hayati, dan jasa lingkungan, yaitu:
• Mempertahankan hutan dengan sedikit atau tanpa gangguan dari manusia, sebagai
hutan lindung
• Pengelolaan hutan secara lestari bagi kelanjutan produksi kayu dan komoditas serta
jasa lingkungan seperti konservasi tanah dan air, kehidupan hewan liar, serta rekreasi
• Pembukaan hutan untuk tanaman pangan yang selanjutnya diikuti dengan penanaman
tanaman tahunan komersial, dan tetap membiarkan tumbuhnya kembali spesies hutan
dalam konteks agroforestri
• Pembukaan hutan dan mempergunakannya secara permanen untuk pertanian dan
Konsekuensi terhadap hasil air dan erosi akibat cara yang dipilih seperti tersebut
di atas dapat dipahami dengan mempelajari ilmu hidrologi dasar pada daerah hutan.
Hutan merupakan penggunaan lahan yang paling baik dalam fungsinya sebagai pengatur
proses hidrologi dan melindungi tanah. Penggundulan hutan menyebabkan penurunan
kapasitas infiltrasi tanah, sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan percepatan
erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan karakterikstik pasokan air. Total hasil
air (water yield) yang keluar dari suatu DAS meningkat dalam jangka waktu pendek, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kering dan musim penghujan
(fluktuasi debit) semakin meningkat (Agus at al., 2004).
2.7. Mekanisme Perbaikan dan Perlindungan Lahan dengan Vegetasi
Berdasarkan Departemen Kehutanan (1994), kondisi sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi tanah di daerah tropis sangat mudah terganggu, bahkan rusak apabila penutup
tanah yang berupa vegetasi hutan ditebang atau dilakukan pembukaan tajuk atau lahan.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap masalah pemulihan kawasan terdegradasi, melalui
penanaman berbagai jenis pohon dan tumbuhan lainnya sangat efektif jika dilaksanakan
dengan mencontoh alam, sehingga serasi dan selaras dengan hukum alam.
Peranan vegetasi hutan dalam mencegah dan mengurangi erosi tanah (soil erotion) serta aliran permukaan (run off) ditunjukkan dengan sifat-sifat berikut (Departemen Kehutanan, 1994) :
1. Tajuk vegetasi dan serasahnya akan menahan pukulan air hujan sehingga pukulannya
jauh berkurang dan melemah.
2. Serasah merupakan bahan organik di lapisan atas tanah dan membentuk lapisan
humus yang akan meningkatkan daya meresapkan air (infiltrasi), serta menyimpannya
dalam bentuk air tanah dan terus mengisi air bumi.
3. Pohon dan semak belukar di bawahnya merupakan hambatan terhadap laju aliran
permukaan air yang mengangkut butir-burtir tanah.
4. Aliran air di bawah permukaan tanah (sub surface flow) akan bertambah, sehingga menghasilkan air berkualitas jernih secara teratur menurut waktu.
5. Sungai-sungai yang mengalirkan airnya yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS)
berhutan, akan menghasilkan debit sungai yang kecil fluktuasinya antara debit musim
hujan dan debit musim kemarau.
Semakin beranekaragam komposisi jenis dan struktur vegetasi, semakin baik
pengaruhnya terhadap lingkungan, tanah dan air. Pembentukkan serasah hutan
merupakan mata rantai penting dalam menjaga kesuburan dan sifat fisik tanah hutan.
Serasah merupakan salah satu pendukung siklus hidrologi yang berlangsung pada Daerah
Aliran Sungai (DAS), yaitu pengaturan debit air dan peningkatan kualitas airnya
(Departemen Kehutanan, 1994).
2.8. Sistem Informasi Geografis (Geographycal Information System)
Sistem informasi geografi (SIG) tidak hanya berfungsi sebagai alat pembuat peta,
tetapi juga merupakan alat analitik (analitycal tool) yang mampu mengolah dan memecahkan masalah spasial secara cepat dan akurat. Berdasarkan perkembangannya,
Sistem informasi geografi (SIG) telah menjadi kebutuhan mendasar bagi bidang ilmu dan
pekerjaan yang terkait dengan informasi keruangan (spatial), seperti kehutanan, pertanian, perikanan, lingkungan, transportasi, arsitektur dan sebagainya.
Menurut Jaya (2007) analisis spasial sering disebut juga sebagai pemodelan atau
modelling, merupakan proses pemodelan, pengujian dan interpretasi terhadap hasil
model. Analisis spasial ini merupakan proses ekstraksi atau membuat informasi
mengenai feature geografi. Analisis spasial berguna dalam melakukan peramalan (prediction), pendugaan (estimation) dan penyelesaian masalah tertentu. Model mengandung dua pengertian, yaitu :
1. Model adalah abstaksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi. Model
tersusun secara terstruktur sebagai suatu rangkaian aturan dan prosedur untuk
mendapatkan informasi yang dapat dianalisis dalam memecahkan suatu permasalahan
dan perencanaan lanjutan. Letak perbedaan antara analisis danmodellingadalah : a. Analisis adalah proses identifikasi permasalahan atau isu yang disajikan,
pemodelan isu, investigasi hasil model dan membuat interpretasi hasil termasuk
rekomendasi tentang isu yang akan dikemukakan.
b. Modelling adalah lebih terbatas pada lawasa yang merupakan proses simulasi,
prediksi dan deskripsi.
2. Representasi data realitas, contohnya model-model data spasial, geo-rasional, raster
2.9. Penyebaran (Dispersion)
Penyebaran menggambarkan posisi suatu spesies di biosfer berdasarkan
pergerakan dan perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lain. Dalam hal ini
kemampuan berpindah (mobility) spesies sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyebarannya. Spesies dengan mobilitas tinggi lebih berpeluang besar untuk berpindah
dan melakukan kolonisasi daerah baru (Leksono, 2007).
Menurut Leksono (2007) terdapat tiga model penyebaran organisme, yaitu :
1. Penyebaran difusi, yaitu: penyebaran spesies secara lambat melalui daerah yang
kondusif selama beberapa generasi. Contohnya penyebaran ngengat gypsi dan
pepohonan.
2. Penyebaran meloncat, yaitu: penyebaran spesies secara cepat melalui daerah yang
kurang kondusif. Contohnya penyebaran beberapa jenis hama.
3. Penyebaran sekuler, yaitu: penyebaran geologis diiringi perubahan evolusi dalam
prosesnya. Contohnya penyebaran flora dan fauna secara geografis.
2.9.1. Pola Penyebaran Spasial (Spatial Dispersion Pattern)
Informasi kerapatan, frekuensi, dominansi dan indeks nilai penting ternyata belum
cukup memberikan informasi dan gambaran yang lengkap mengenai keadaan suatu
populasi yang ditemukan dalam suatu kawasan. Dua atau lebih populasi mungkin saja
mempunyai kerapatan dan/atau frekuensi dan/atau dominansi dan/atau indeks nilai
penting yang sama, tetapi kemungkinan mempunyai perbedaan yang nyata dalam pola
penyebaran spasialnya (Soegianto, 1990).
Pola penyebaran spasial suatu populasi adalah suatu karakteristik yang penting
dari suatu komunitas ekologi. Hal ini menjadi perhatian utama dalam observasi suatu
komunitas dan sesuatu yang mendasar dalam pengelompokkan organisme (Connel, 1963
dalamLudwig dan Reynolds, 1988).
Pola sebaran individu-individu di dalam populasi mengalami penyebaran pada
habitatnya yang disebut distribusi internal. Berdasarkan Ludwig dan Reynolds (1988),
Odum (1996), serta Indriyanto (2006) secara umum terdapat 3 (tiga) pola sebaran alami,
yaitu pola acak (random), pola seragam (uniform), dan pola bergerombol (cluster).
Gambar 3. Pola Sebaran Spasial Organisme : a. acak (random); b. berkelompok (cluster); dan seragam (uniform)
2.9.2. Luas Tutupan (Coverage)
Luas penutupan tajuk atau coverage adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh suatu spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Dalam pengukuran luas
penutupan, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Pengukuran luas tutupan tajuk (aerial coverage):
Penutupan tajuk merupakan pengukuran luas proyeksi tajuk secara tegak lurus
terhadap bidang datar atau lantai hutan.
2. Pengukuran luas penampang batang (basal coverage)
Luas penampang diukur pada diameter penampang melintang batang setinggi 1,3
meter di atas permukaan tanah (diameter breast high).
Persentasi penutupan tajuk merupakan hasil perbandingan atau rasio proyeksi
luasan tajuk (berdasarkan diameter tajuk) terhadap bidang datar atau lantai hutan secara
tegak lurus dengan luas tertentu. Hasil proyeksi kedua bidang tersebut akan saling
tumpang tindih (overlay) dan luasan perpotongan (intersect) tersebut bila diperbandingkan dengan luasan keseluruhan areal, maka akan menghasilkan persentasi
tutupan tajuk (crown coverage persentage).
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat, terdiri dari tiga tahapan kegiatan: Tahap I :
Pra-Penelitian (September 2008); Tahap II : Survey lapang (Oktober ~ Desember 2008),
dan; Tahap III: Pengolahan dan analisis data (Januari ~ April 2009).
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah Peta Citra Digital Rupabumi skala 1 : 25 000,
Peta Tematik (Peta Tata Batas skala 1: 10 000, Peta Administratif skala 1 : 25 000 dan
Peta Hidrologi skala 1 : 15 000). Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pengumpulan
dan pengelohan data terdiri dari :Global Positioning System (GPS), kompas,clinometer,
hagahypsometer, Altimeter, roll meter (50 m), phy-band, digital camera, perangkat komputer dengansoftware ArcView 3.3danMicrosoft Excel 2007.
3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini terdiri dari data spasial dan data
survey. Data spasial terdiri dari citra satelit, peta rupa bumi dan pustaka terkait lainnya
dari berbagai sumber dan lembaga/instansi berupa hasil-hasil survey dan penelitian
seperti, laporan tahunan, dan publikasi lainnya yang relevan.
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Spasial
No. Jenis Data Sumber Data Keluaran (Out Put)
1. Peta Citra Digital Rupa Bumi
BAKOSURTANAL Cibinong
Informasi topografi,slope, dll.
2. Peta Administratif BP3D Kabupaten Manokwari
Informasi batas administrasi, dll.
3. Peta Tata Batas BKSDA Provinsi Papua Barat
Data survey lapang terdiri dari : data vegetasi (jenis, jumlah, tinggi dan diamater
batang, diameter tajuk serta koordinat letak pohon), letak plot pengamatan dan kondisi
fisik lahan (letak, kemiringan, elevasi, debit air dan sebagainya) serta ground check
terhadap hasil analisis citra.
3.3.2. Tahapan Penelitian
Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini secara ringkas
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Penentuan Unit Sampling
a. Penentuan unit sampling didasarkan pada lokasi sumber air yang berasal dari data
sekunder dan peninjauan awal lokasi penelitian sebagai acuan di dalam kegiatan
survey lapang. Penentuan lokasi unit sampling ini melalui analisis spasial
menggunakan layer-layer citra rupa bumi yang terkait dengan parameter unit
lahan yang menjadi acuan, yaitu kelas lereng, kelas hutan dan jarak dari mata air.
Berdasarkan acuan parameter tersebut, maka dibuatkan matriks unsur parameter
yang berisi kriteria lokasi sampel. Selanjutnya dilakukan pembobotan dan
penentuan lokasi sampel sesuai unsur parameter dengan penetapan lokasi sampel
adalah lokasi yang memenuhi kriteria ketiga unsur parameter di atas.
2. Penetapan Unit Sampling
Penentuan unit sampel didasarkan pada kriteria yang dibangun sesuai dengan kondisi lapang,
tujuan, dan bersifat representatif. Unit sampling ditentukan dengan mengacu pada 19
titik mata air yang tersebar di dalam kawasan TWA Gunung Meja dengan melakukan
analisis pola spasial terhadap parameter unit lahan yang terdiri dari kelas lereng
(slope), kelas hutan (kelompok vegetasi) dan radius dari mata air.
A. Kelas Lereng (slope)
Kriteria kelerengan (slope) dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Slope1:datar – agak curam dengan kemiringan 0 ~ 25 %; dan
b. Slope2: curam –sangat curam dengan kemiringan >25 %.
Pengelompokkan di atas berdasarkan kriteria kelas lereng (slope) pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kriteria Kelas Kelerengan (Slope)
No. Kelas Lereng (%) Kriteria
1. 0 ~ 8 Datar
2. 8 ~ 15 Landai
3. 15 ~ 25 Agak curam
4. 25 ~ 40 Curam
B. Kelas Hutan (Kelompok Vegetasi)
Berdasarkan kondisi kawasan, maka vegetasi kawasan hutan tersebut dikelompokkan
menjadi 2 (dua) kelas hutan, yaitu : kelas hutan alam (V1) dan kelas hutan
tanaman (V2), dimana :
a. Kelas hutan alam (V1) adalah hutan yang tumbuh secara alami tanpa campur
tangan manusia dan terdiri dari hutan campuran (heterogen).
b. Kelas hutan tanaman (V2) adalah hutan yang secara sengaja ditanami dan dipelihara terdiri dari satu atau lebih jenis pohon dan bersifat homogen.
C. Radius Mata Air
Jarak dari mata air dikelompokkan menjadi 2 (dua) berdasarkan radius perlindungan
kawasan mata air yakni minimal 200 meter (berdasarkan Keppres RI No. 32
Tahun 1990), yaitu jarak I (J1) : 0 ~ 200 meter dan jarak II (J2) di luar radius 200 ~ 400 m.
Dari hasil penggabungan (overlay) dan analisis layer citra terhadap ketiga parameter di atas, maka diperoleh matriks unit sampling yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Matriks Unit Sampling berdasarkan Kelerengan (Slope), Vegetasi (V) dan Radius Mata Air (J)
Kelerengan Slope1 Slope2
Jarak/Vegetasi V1 V2 V1 V2
J1 S1(Slope1V1J1) S2(Slope1V2J1) S3(Slope2V1J1) S4(Slope2V2J1)
J2 S5(Slope1V1J2) S6(Slope1V2J2) S7(Slope2V1J2) S8(Slope2V2J2)
Keterangan :
Slope1 : Slope dengan kemiringan 0 ~ 25 % Slope2 : Slope dengan kemiringan >25 %
V1 : Kelas Hutan Alam V2 : Kelas Hutan Tanaman
J1 : Radius dari mata air antara 0 - 200 meter J2 : Radius dari mata air 200 ~ 400 meter
Berdasarkan analisis pola spasial ketiga unit lahan di atas, maka diperoleh enam
unit sampling yang terpilih dengan karakter parameter unit lahan yang berbeda beserta
koordinat titik ikatnya seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Atribut Unit Sampling Lokasi Penelitian Terpilih
Koordinat Titik Ikat (UTM) No. Sampling
Unit Bujur Timur Lintang Selatan Slope (%) Kelas Hutan Jarak Mata Air (m)
1. S1 397.579,77 9.906.361,71 0 - 25 Hutan Alam 200
2. S2 397.912,34 9.904.681,33 >25 Hutan Alam 200
3. S3 396.422,83 9.906.318,79 >25 H. Tanaman 200
4. S4 398.010,54 9.906.294,32 0 - 25 Hutan Alam 200 - 400
5. S5 397.035,69 9.905.883,01 >25 Hutan Alam 200 - 400
6. S6 396.836,18 9.906.165,24 >25 H. Tanaman 200 - 400
Sumber: Data Primer, 2008
Letak dan sebaran keenam titik ikat unit sampling pada kawasan Taman Wisata
Alam Gunung Meja berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat pada Gambar 6.
S3
S6
S5
S2
S1 S4
3.4.2. Metode Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi
serta keragaman kondisi ekosistem. Analisis vegetasi menggunakan metode survei garis
berpetak secara sistematik (Line Plot Systematic Sampling Method) yang penempatannya dilakukan secara purposive mewakili unit lahan (tipologi) kawasan. Ukuran masing-masing petak penelitian adalah seluas radius 200 m pada titik ikat sampel terpilih di atas
(6 titik sampel). Jumlah jalur pengamatan pada setiap titik sampel terdiri dari 4 jalur
pengamatan dengan panjang tiap jalur 200 m yang dibuat saling tegak lurus dengan
masing-masing titik pangkal jalur bersimpul/bertemu pada titik ikat petak penelitian
(Gambar 7).
Gambar 7. Letak Jalur dan Plot Pada Unit Sampling
Plot pengamatan yang digunakan berbentuk bujursangkar terdiri dari empat
ukuran plot sesuai fase pertumbuhan vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon) seperti
antar titik pusat plot 50 m. Jumlah plot pengamatan pada setiap jalur adalah 4 plot.
Plot-plot tersebut diletakkan secara bersarang (nesting plot) seperti pada Gambar 8. Rincian jumlah plot yang digunakan adalah :
1. Jumlah Plot Tiap Tingkat Pertumbuhan Per Unit Sampel :
1 Jalur X 4 Plot X 4 Jalur = 16 Plot
2. Jumlah Plot Tiap Tingkat Pertumbuhan Pada Seluruh Petak Sampel :
16 Plot per Unit Sampel X 6 Unit Sampel = 96 Plot
3. Jumlah Plot Seluruh Tingkat Pertumbuhan (TP) Pada Seluruh Unit Sampel (PS):
16 Plot per PS X 4 TP X 6 Petak Sampel = 384 Plot
Bentuk jalur dan penempatan plot pengamatan yang digunakan disajikan pada
Gambar 8.
50 mtr
20 mtr
200 mtr Plot Tkt Pohon
Plot Tkt Tiang Plot Tkt Pancang Plot Tkt Semai
As Jalur Pengamatan
Klasifikasi pengamatan vegetasi dan ukuran plot pengamatan yang digunakan
dikelompokkan berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005) pada Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Vegetasi dan Ukuran Plot Pengamatan
No. Tingkat Pertumbuhan Ukuran Plot (m) Kriteria
1.
Tinggi >1,5 m dan diameter <10 cm
Diameter 10 – 20 cm
Diameter >20 cm
3.4.3. Inventarisasi Faktor-faktor Penyebab Penurunan Fungsi Daerah Tangkapan Air
Dalam mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi struktur
dan komposisi vegetasi tersebut di dalam mempengaruhi fungsi kawasan Taman Wisata
Alam Gunung Meja sebagai daerah tangkapan air (catchment area), dilakukan survey di dalam jalur-jalur dan plot-plot pengamatan serta kawasan secara keseluruhan dan
wawancara langsung dengan para petugas lapangan Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA) Manokwari, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Papua-Maluku dan masyarakat
sekitar kawasan. Selain itu dilakukan analisis spasial menggunakan citra satelit (citra
Quick Bird yang diperoleh dari program Google Earth) berdasarkan perubahan tutupan lahan yang mengindikasikan perubahan fungsi di luar fungsi utama kawasan dan
perhitungan luas perubahan tersebut serta pengecekan lapang (ground check).
3.5. Pengolahan dan Analisis Data 3.5.1. Analisis Vegetasi
A. Tingkat Dominansi Jenis
Tingkat dominansi jenis ditentukan melalui kegiatan analisis vegetasi
(Soerianegara dan Indrawan 2005; Indriyanto 2006) yang bertujuan untuk menentukan
struktur (bentuk), komposisi (susunan) dan tingkat kepadatan (densitas) serta jenis-jenis
vegetasi indikator daerah tangkapan air (DTA) dengan asumsi merupakan jenis-jenis