• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

SEBARAN SPASIAL JEJAK AKTIVITAS BABI HUTAN

(Sus scrofa Linnaeus 1758) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG CIREMAI

FRISKA MEGA UTAMI

DEPARTEMENKONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Friska Mega Utami

(4)

ABSTRAK

FRISKA MEGA UTAMI. Sebaran SpasialJejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa

Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA.

Babi Hutan (Sus scrofa)adalah salah satu kelompok mamalia yang menjadi hama di kebun sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Sebaran spasial aktivitas babi hutan digunakan untuk mengetahui sebaran dan pergerakan babi hutan di beberapa tipe tutupan vegetasi yaitu di hutan alam, hutan tanaman, dan kebun di Resort Argalingga, SPTN wilayah II Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai. Pengambilan data sebaran spasial menggunakan teknik pengamatan jejak, analisis vegetasi, dan wawancara. Teknik pengambilan data sebaran jejak aktivitas menggunakan metode strip tansect. Sebanyak 16 jejak ditemukan di kebun, 98 jejak di hutan tanaman, dan 33 jejak di hutan alam. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi. Babi hutan melakukan aktivitas berjalan, makan, berkubang, mengasah taring atau menggesek tubuh, berlindung, dan membuang kotoran. Selain itu, babi hutan terbukti menyebar hingga ke kebun untuk mencari makan.

Kata kunci : babi hutan, hama, sebaran spasial, taman nasional Gunung Ciremai, tipe tutupan vegetasi.

ABSTRACT

FRISKA MEGA UTAMI. Spatial Distribution of Traces of Wild Boar (Sus scrofa Linnaeus,1758) Activity in Mount Ciremai National Park. Supervised by YANTO SANTOSA.

Wild Boar (Sus scrofa) is one of group of mammals which become pests in gardens around the area of Mount Ciremai National Park. The spatial distribution of wild boar activity was determined to find out its distribution and movement in several types of vegetation cover are natural forest, plantation forest, and gardens at Resort Argalingga, SPTN region II Majalengka, Mount Ciremai National Park. The data spatial distribution is retrieved using the technique of indirect observation (Traces), vegetation analyze, and interview. Indirect distribution using strip tansect method. Based on the observations have been found 16 traces in the garden, 98 traces in plantation forest, and 33 traces in natural forest. Hypothesis test results showed that the spatial distribution traces of wild boar activity is influenced by the type of vegetation cover. Wild boar committing several activities are walk, eat, wallowing, sharpening fangs or swipe the body, cover, and dispose of feces. In addition, wild boar proven spread to the gardens for foraging.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

SEBARAN SPASIAL JEJAK AKTIVITAS BABI HUTAN

(Sus scrofa Linnaeus 1758) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG CIREMAI

FRISKA MEGA UTAMI

DEPARTEMENKONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan selama bulan Maret 2015 ini ialah sebaran spasial, dengan judul Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada pihak Taman Nasional Gunung Ciremai yang telah mengijinkan dan membantu penulis, baik dari segi materil maupun tenaga sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Ucapan terima kasih juga diberikan kepada ayah, ibu, beserta seluruh keluarga atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman KSHE 48, khususnya Tim PKLP Taman Nasional Gunung Ciremai (Galuh Masyithoh, Dinar Adiatma, Muhammad Imam, Maya Rumanty Hutagalung, Rifanti Diana Lutfi, dan Gilang Nugraha Kusuma Ardhi) serta kakak, teman, dan adik di Fakultas Kehutanan atas motivasi dan kerjasamanya. Kepada sahabat terdekat (Winarsih, Novita Chantika, Bovi Mutiara Sofi, Karina Restu Pangggalih, dan Rizka Syabana Azmi) atas suka duka, kebersamaan, dan dukungannya selama ini, serta semua pihak yang telah memberikan doa dan dukungan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

Hipotesis 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Instrumen 2

Prosedur penelitian 2

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Vegetasi 5

Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan 8

Penyebaran Babi Hutan di Kebun 17

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 19

(10)

DAFTAR TABEL

1 Hasil analisis vegetasi di hutan alam dengan nilai kerapatan paling

tinggi 5

2 Hasil analisis vegetasi di hutan tanaman dengan nilai kerapatan paling

tinggi 6

3 Potensi kegunaan tumbuhan oleh babi hutan di setiap tipe tutupan

vegetasi. 7

4 Jumlah jejak aktivitas babi hutan pada setiap tutupan vegetasi 8

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi jalur transek 3

2 Jumlah dan jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi 9 3 Jejak kaki babi hutan (a) di hutan tanaman, (b) di kebun, (c) di hutan

alam 10

4 Jumlah jejak kaki babi hutan pada tiga tipe tutupan vegetasi 10 5 Jenis makanan yang ditemukan (a) tanaman pertanian di kebun, (b)

cacing di kebun, (c) akar di Hutan Alam, (d) rumput di hutan tanaman, (e) pinus di hutan tanaman, (f) pisang di hutan tanaman. 11 6 Jumlah jejak makanan pada setiap tipe tutupan vegetasi 11 7 Persentase ketersediaan potensi makanan babi hutan 12 8 Jumlah jejak kubangan pada setiap tipe tutupan vegetasi 13 9 Jumlah jejak mengasah taring pada setiap tipe tutupan vegetasi 13 10 Aktivitas mengasah taring pada jenis tumbuhan lain (hasil video trap

BTNGC 2014) 14

11 Jejak mengasah taring dan menggesekkan tubuh pada pohon pinus 14 12 Jumlah jejak feses pada setiap tipe tutupan vegetasi 14 13 Sarang babi hutan di hutan tanaman (a) ukuran 4 m2 dan (b) ukuran 2

m2 15

14 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan tanaman 15 15 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan alam 16 16 Peta sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Resort Argalingga,

SPTN II wilayah Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai 16 17 Sebaran spasial aktivitas babi hutan berdasarkan hasil wawancara 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data kerapatan vegetasi di hutan alam 21

2 Data kerapatan vegetasi di hutan tanaman 23

3 Hasil uji chi-square sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan pada

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) adalah sebuah kawasan konservasi yang terletak di Provinsi Jawa Barat. TNGC ditetapkan berdasarkan SK Menhut RI No. 424/Menhut-II/2004. TNGC merupakan daerah penting bagi habitat satwaliar, terutama mamalia. Salah satu kelompok mamalia yang berada di TNGC adalah babi hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758).

Babi hutan dapat hidup pada berbagai jenis habitat. Babi hutan dapat berada di dalam hutan atau di luar kawasan hutan seperti lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan pekarangan. Babi hutan yang berada di luar kawasan hutan seringkali dianggap merugikan masyarakat karena dapat merusak tanaman pertanian (Alikodra 2010). Berdasarkan data dari BTNGC (2014), keberadaan babi hutan di TNGC telah menjadi hama di kebun milik masyarakat sekitar TNGC.

Babi hutan di TNGC melakukan pergerakan yang lebih luas sehingga mencapai kebun masyarakat. Keluarnya populasi babi hutan dari dalam kawasan TNGC diperkirakan karena berbagai faktor diantaranya ledakan populasi babi hutan di TNGC, menurunnya kualitas habitat, dan ketersediaan pakan. Selain itu juga diasumsikan karena sedikitnya jumlah predator babi hutan yaitu macan tutul (Panthera pardus) karena berdasarkan laporan kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan BTNGC (2014), jumlah predator ini hanya satu individu. Asumsi-asumsi tersebut belum dapat dibuktikan, karena tidak adanya data yang pasti mengenai populasi, kondisi habitat, sebaran, maupun aktivitas predasi satwaliar di TNGC.

Penelitian mengenai sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan sangat penting dilakukan karena data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data dasar dan pedoman untuk mencari penyebab pasti keluarnya babi hutan dari dalam kawasan TNGC serta untuk mengetahui pengaruh ancaman tersebut di sekitar kawasan TNGC. Data sebaran spasial jejak aktivitas ini juga diperlukan untuk melihat pergerakan babi hutan. Melalui penelitian ini dapat diperoleh data-data pendukung lainnya yang meliputi karakteristik vegetasi, karakteristik jejak, tekanan dan kerugian petani, serta penangganan terhadap gangguan babi hutan yang sedang terjadi. Data diambil berdasarkan pada keberadaan jejak aktivitas yang terlihat di tipe tutupan vegetasi yang berbeda. Hasil penelitian sebaran jejak aktivitas babi hutan diharapkan dapat mendukung pengelolaan babi hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di kawasan Resort Argalingga, SPTN Wilayah II Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

(12)

2

a. Memberikan informasi dan data terbaru mengenai sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di TNGC.

b. Sebagai bahan pertimbangan pengelolaan satwaliar di kawasan TNGC. c. Sebagai pedoman yang dapat digunakan dalam mencari upaya penyelesaian

gangguan oleh babi hutan di sekitar TNGC.

d. Sebagai rujukan bagi penelitian yang berhubungan dengan bidang ekologi babi hutan.

Hipotesis

H0 : Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman Nasional Gunung

Ciremai tidak dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi.

H1 : Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman Nasional Gunung

Ciremai dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan ini dilaksanakan di Resort Argalingga, SPTN Wilayah II Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret 2015.

.

Alat dan Instrumen

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta lokasi dan peta kerja, tambang, meteran, pita ukur, GPS Garmin 60 CSX, pengukur waktu, kamera, software DNRgps versi 6.0.0.6, ArcGIS versi 9.3, dan microsoft Excel

2013. Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara dan tally sheet. Prosedur penelitian

Kegiatan Pendahuluan

Sebelum dilakukan pengumpulan data maka dilakukan kegiatan berikut : a. Orientasi lapangan, untuk mengetahui kondisi areal pengamatan,

mencocokan peta kerja dengan kondisi lapangan, penentuan sample jalur. b. Studi pustaka, untuk memperoleh gambaran umum tentang babi hutan.

Beberapa literatur yang digunakan dalam studi pustaka merupakan hasil-hasil penelitian, jurnal, buku, dan situs internet berkaitan dengan babi hutan.

Pengambilan Data

(13)

3

Pengamatan Jejak. Pengamatan terhadap tanda-tanda keberadaan (jejak aktivitas) babi hutan dilakukan di tiga tipe tutupan vegetasi yaitu hutan alam, hutan tanaman, dan kebun. Jejak yang diamati meliputi jejak telapak kaki babi hutan, feses, sarang, makanan, kubangan, dan jejak asahan taring. Data yang diambil meliputi jenis jejak, titik ditemukan, dan ukuran jejak. Pengamatan jejak aktivitas babi hutan ini menggunakan metode strip transect yaitu pengamatan sepanjang jalur. Garis pengamatan yang dibuat yaitu sebanyak 12 jalur dengan panjang berkisar antara 2 km hingga 3,5 km setiap jalurnya dengan lebar ± 50 m. Jalur yang dibuat mencakup ketiga tipe tutupan vegetasi sehingga memaksimalkan jalur-jalur tersebut untuk memperoleh data yang representatif. Pengambilan data dilakukan sebanyak 1 kali untuk setiap jalurnya. Total Panjang jalur transek pada seluruh tipe tutupan vegetasi adalah 41 km. Peta jalur pengamatan strip transect dapat dilihat pada Gambar 1.

Data dicatat pada tallysheet. Posisi jejak ditandai dengan GPS Garmin 60 CSX. Data titik penemuan jejak dalam GPS diperoleh dengan menggunakan

software DNRgps versi 6.0.0.6. Koordinat titik jejak aktivitas yang telah ditandai dengan GPS kemudian di digitasi ke dalam peta Taman Nasional Gunung Ciremai menggunakan software ArcGIS versi 9.3 untuk melihat sebaran spasial aktivitas babi hutan secara geografis.

Analisis Vegetasi. Karakteristik vegetasi diperoleh melalui analisis vegetasi.Analisis vegetasi juga dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada setiap tipe tutupan vegetasi yang dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak dengan ukuran sebuah plot adalah 20 m dan panjang jalur 20 m (Soerianagara dan indrawan 2002). Jumlah plot yang dibuat sebanyak 10 plot pengamatan pada setiap tipe tutupan vegetasi yaitu di hutan alam dan hutan tanaman.

(14)

4

Wawancara. Informasi mengenai Taman Nasional Gunung Ciremai, keberadaan dan penyebaran babi hutan, dan tekanan masyarakat sekitar TNGC merupakan data pendukung penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak terkait. Wawancara dilakukan kepada 35 responden yaitu satu orang anggota Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dari BTNGC, tiga orang petugas lapang, dan 31 responden yang diambil dengan menggunakan metode Snowball yaitu teknik pemilihan responden melalui informan kunci. Kriteria responden adalah petani yang memiliki lahan yang terkena dampak gangguan oleh babi hutan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan babi hutan beserta penyebarannya di TNGC. Data yang dikumpulkan meliputi :

a. Lokasi dan tipe tutupan vegetasi daerah sebaran babi hutan. b. Jumlah individu yang terlihat.

c. Tumbuhan atau satwa yang dimakan oleh babi hutan. d. Kerugian akibat gangguan babi hutan.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan meliputi analisis terhadap beberapa faktor terkait karakteristik vegetasi, analisis hasil wawancara, dan analisis hubungan antara parameter pendugaan, dan. Formulasi yang digunakan dalam analisis data sebagai berikut :

Analisis karakteristik vegetasi

Data yang diambil dalam analisis vegetasi yaitu mencari nilai kerapatan relatif pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah. Rumus mencari kerapatan relatif menurut Soerianagara dan Indrawan (2002) sebagai berikut.

Kerapatan (K) = �ℎ �

� ℎ

Kerapatan Relatif (KR) = � � � �

� � � ℎ � %

Analisis hasil wawancara

Hasil wawancara dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif menggunakan software Microsoft Excel 2013 untuk mengolah data hasil wawancara.

Analisis hubungan parameter penduga

Parameter penduga dianalisis dengan menggunakan uji chi-square (X2)

(Santosa 2003). Parameter yang di uji adalah sebaran spasial jejak aktivitas dengan tipe tutupan vegetasi. Pengujian hipotesis menggunakan rumus chi-square (X2) yang di notasikan sebagai berikut :

���� � = [∑( ˳ − ᵨ) �

(15)

5 Keterangan :

X2 : Nilai chi-square / X2hitung

fo :Frekuensi yang diperoleh/diamati fe : Frekuensi yang diharapkan

X2 sekitar TNGC yaitu hutan alam dan hutan tanaman yang berada di dalam kawasan taman nasional serta kebun yang berada di luar batas kawasan taman nasional. Gambaran umum mengenai karakteristik vegetasi di setiap tipe tutupan vegetasi sebagai berikut :

Hutan alam

Hutan alam merupakan hutan campuran yang ditumbuhi dengan beberapa tumbuhan yang beragam. Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 7 jenis pada tingkat semai, 19 jenis pada tingkat tumbuhan bawah, 18 jenis pada tingkat pancang, 9 jenis pada tingkat tiang, dan 16 jenis pada tingkat pohon. Hasil analisis vegetasi dari mulai kerapatan yang paling besar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis vegetasi di hutan alam dengan nilai kerapatan paling tinggi

Tingkat

Semai Beunying Ficus fistulosa 437500 25,92

Huru Macaranga rhizinoides 312500 18,51

Tumbuhan bawah Teklan Eupatorium riparium 9375000 45,31

Bubukuan Sambucus javanica 2812500 13,59

Pancang Beunying Ficus fistulosa 17600 25,58

Kileho Saurauia blumiana 9600 13,95

Tiang Beunying Ficus fistulosa 50000 22,72

Walen Ficus ribes 30000 13,63

Pohon Kipare Deyeuxia australis 375000 26,78

Saninten Castanopsis javanica 275000 19,64

(16)

6

Berdasarkan Tabel 1, beunying (Ficus fistulosa) adalah jenis semai dengan kerapatan relatif tertinggi yaitusebesar 25.92% Adapun tumbuhan bawah dengan kerapatan relatif tertinggi adalah teklan (Eupatorium riparium) yaitu sebesar 45.31%. Tingkat pancang dengan kerapatan relatif tertinggi yaitu beunying (Ficus fistulosa) dengan kerapatan relatif sebesar 25.58%. Tingkat tiang dengan kerapatan relatif tertinggi yaitu beunying (Ficus fistulosa) dengan kerapatan relatif sebesar 22.72%. Sedangkan pohon dengan kerapatan relatif tertinggi adalah Kipare (Deyeuxia australis) yaitu sebesar 26.78%. Jenis lainnya yang ada di hutan alam antara lain pasang (Quercus sundaica), mara (Macaranga tanarius), saninten

(Castanopsis javanica), kileho (Saurauia blumiana), huru (Macaranga rhizinoides), harendong(Melastoma candidum), paku-pakuan dan jenis tumbuhan bawah yang merupakan pakan babi hutan. Secara umum dapat diketahui bahwa jenis tumbuhan hutan alam lebih beragam dibandingkan jenis yang ditemukan pada tipe tutupan vegetasi lainnya.

Jenis tumbuhan bawah yang merupakan pakan babi hutan memiliki nama lokal yaitu rambucan dan bubukuan. Rambucan memiliki kerapatan relatif sebesar 4.5% sedangkan bubukuan memiliki kerapatan relatif sebesar 13.6%. Berdasarkan penemuan di lapang, babi hutan menggunakan bagian rimpang dari rambucan dan bagian akar dari bubukuan sebagai pakan.

Hutan tanaman

Hutan tanaman merupakan hutan yang didominasi oleh jenis pinus (Pinus merkusii). Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 2 jenis pada tingkat semai, 7 jenis pada tingkat tumbuhan bawah, 4 jenis pada tingkat pancang, 1 jenis pada tingkat tiang, dan 1 jenis pada tingkat pohon. Hasil analisis vegetasi dari mulai kerapatan yang paling besar dapat dilihat pada Tabel 2.

Pinus (Pinus merkusii) adalah jenis yang mendominasi pada tingkat pohon dan tiang dengan kerapatan relatif sebesar 100%. Tingkat pancang ditumbuhi kina (Cinchona succirubra) dengan kerapatan relatif sebesar 42.85% dan juga kaliandra dengan kerapatan relatif sebesar 19.04%. Tingkat semai yang banyak tumbuh adalah kaliandra dengan kerapatan relatif sebesar 56.2%. Tingkat tumbuhan bawah (semak dan rumput) dengan kerapatan relatif adalah teklan yaitu sebesar 75%. Teklan, kaliandra, dan beberapa jenis rumput digunakan babi hutan untuk membuat sarang. Selain itu juga terdapat tanaman pisang yang merupakan pakan babi hutan dengan kerapatan relatif sebesar 28.6%. Hutan tanaman merupakan hutan yang Tabel 2 Hasil analisis vegetasi di hutan tanaman dengan nilai kerapatan tertinggi

Tingkat Nama lokal Nama Ilmiah

Jumlah

(ind/ha) KR (%)

Semai Kina Cinchona succirubra 437500 43,75

Kaliandra Calliandra callothyrus 562500 56,25 Tumbuhan

bawah Teklan Eupatorium riparium 3375000 75

Pancang Kina Cinchona succirubra 14400 42,85

Kaliandra Calliandra callothyrus 6400 19,04

Tiang Pinus Pinus merkusii 40000 100

(17)

7 telah mengalami perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi yang dikelola dengan sistem tumpang sari berupa tanaman pertanian. Setelah menjadi kawasan taman nasional, saat ini hutan tersebut dibiarkan tumbuh alami sehingga terjadi kembali perubahan ekologis pada lantai hutan dengan tumbuhnya jenis-jenis baru pada tingkat tumbuhan bawah, semai, dan pancang. Tegakan hutan tanaman memiliki topografi yang relatif datar, terbuka, serta terdapat berbagai sumber kebutuhan babi hutan seperti sumber pakan, air, dan tempat istirahat. Habitat merupakan suatu tempat yang dapat memenuhi kebutuhan satwaliar, dan digunakan sebagai tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, berkembangbiak, shelter dan cover (Alikodra 1990). Hutan tanaman TNGC merupakan tipe vegetasi yang menyediakan kebutuhan bagi babi hutan.

Kebun

Kebun berada di luar kawasan TNGC. Lokasi kebun berbatasan langsung dengan kawasan TNGC. Kebun merupakan lahan yang ditanami dengan tanaman pertanian. Kebun ditanami dengan singkong, talas, ubi jalar, jagung, bawang daun, cabai hijau, cabai rawit, kol, sawi putih, dan kentang. Berdasarkan wawancara dengan petani, babi hutan lebih sering terlihat di kebun pada saat tanaman sedang berbuah. Kebun di sekitar TNGC ini memiliki musim berbuah hingga musim panen yang beragam, hal ini disebabkan oleh jenis tanaman yang berbeda pada setiap lahan. Hal tersebut juga yang menyebabkan babi hutan dapat mendatangi kebun dengan lokasi yang berbeda pada setiap waktu. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Caley tahun 1993, babi hutan menyukai area yang menyediakan makanan yang bersuplemen seperti tanaman pertanian. Penelitiannya menunjukan bahwa lokasi yang dekat dengan tanaman ini dapat meningkatkan kepadatan

populasi babi hutan (Wolf dan Conover 2003). Jenis tumbuhan yang digunakan babi hutan untuk beraktivitas disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 3 Potensi kegunaan tumbuhan oleh babi hutan di setiap tipe tutupan vegetasi. Tipe Tutupan Vegetasi Nama Lokal Kegunaan Bagian yang

digunakan

Hutan Alam Rambucan Pakan Rimpang

Bubukuan Pakan Akar

Hutan tanaman Pinus Pakan Buah

Pinus Mengasah taring Batang Pinus Menggesekan tubuh Batang Teklan Membuat sarang Daun Kaliandra Membuat sarang Daun

Rumput Membuat sarang Seluruh bagian

Pisang Pakan Batang

Kebun Singkong Pakan Umbi

Talas Pakan Umbi

Ubi Jalar Pakan Umbi

Jagung Pakan Tongkol Jagung

(18)

8

Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan

Satwaliar meninggalkan jejak untuk memperlihatkan keberadaannya di alam. Hal ini dapat dipergunakan sebagai indikator ada tidaknya satwa yang bersangkutan. Setelah melakukan aktivitas tertentu, babi hutan meninggalkan jejak berupa jejak telapak kaki, feses, sisa makanan, bekas mengasah taring atau menggesekkan tubuh, sarang, dan kubangan. Terdapat 147 jejak aktivitas babi hutan ditemukan pada tiga tipe tutupan vegetasi (Tabel 2). Hal ini menunjukan adanya kemampuan babi hutan dalam beradaptasi dan menyebar pada habitat yang berbeda (Azhima 2001). Jejak aktivitas yang ditemukan ini memiliki jumlah yang berbeda pada tiga tipe tutupan vegetasi tersebut. Uji hipotesis terhadap hubungan antara sebaran spasial jejak akivitas babi hutan dengan tipe tutupan vegetasi menunjukan bahwa sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi (�2ℎ� �� = 76.448 > �2 (0.05;2) = 5.991).

Berdasarkan tabel diatas, sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan terbanyak berada di hutan tanaman, diikuti dengan hutan alam dan kebun. Sebanyak 16 buah jejak ditemukan di kebun, 98 buah jejak ditemukan di hutan tanaman, dan 33 buah jejak ditemukan di hutan alam. Hal tersebut menunjukan bahwa babi hutan dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat.

Penelitian Gunawan dan Bismark (2007) yang dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai SPTN 1 wilayah Kuningan membuktikan bahwa babi hutan (Sus scrofa) dapat dijumpai mulai dari kebun dan ladang penduduk sampai ke hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) dan hutan hujan pegunungan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa jejak aktivitas babi hutan dapat dijumpai di kebun pada ketinggian 1000 m dpl, hutan tanaman pinus pada ketinggian 1000-1500 m dpl, dan hutan alam yang berada pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Hal ini didukung dengan pernyataan Chapman dan Trani (2007) bahwa babi hutan mungkin berada pada area padang savana, hutan, wilayah pertanian, semak dan rawa. Selain itu, menurut Suripto (2000), babi hutan dapat ditemukan pada habitat yang luas mulai dari habitat dengan penutupan yang rapat seperti hutan sampai habitat terbuka yang tidak tertutup rapat oleh pepohonan. Hal tersebut menunjukan bahwa babi hutan memiliki kemampuan adaptasi dan penyebaran yang tinggi pada berbagai jenis habitat.

Keberadaan babi hutan pada suatu tipe tutupan vegetasi tergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan pada tipe tutupan vegetasi tertentu. Jenis aktivitas diketahui berdasarkan jenis jejak yang ditemukan meliputi berjalan atau berlari, makan, berkubang, berlindung, mengasah taring atau menggesek tubuh, dan

Tabel 4 Jumlah jejak aktivitas babi hutan pada setiap tutupan vegetasi

Tipe Tutupan Vegetasi Jumlah

Kebun 16

Hutan Tanaman 98

Hutan Alam 33

(19)

9 membuang kotoran. Jumlah jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi diuraikan sebagai berikut.

1. Hutan alam

Jumlah jejak terbanyak kedua adalah di hutan alam yaitu sebanyak 33 buah. Berdasarkan Azhima (2001), babi hutan juga menyukai tempat yang berlereng, bersemak rendah, tertutup dan tidak rapat, karena tipe habitat ini dapat memberikan kebutuhan bagi aktivitas babi hutan serta jarangnya aktivitas manusia di habitat yang berlereng menjadi faktor penentu penggunaan habitat tersebut oleh babi hutan. Hutan alam TNGC memiliki banyak lereng yang merupakan daerah sungai yang mengalirkan air ketika hujan, sehingga memungkinkan babi hutan mendapatkan sumber air di hutan alam untuk beraktivitas. Babi hutan melakukan aktivitas berjalan, makan, dan berkubang di hutan alam.

2. Hutan tanaman

Hutan tanaman merupakan tempat yang paling banyak ditemukan jejak babi hutan yaitu sebanyak 98 buah. Berdasarkan jejak yang ditemukan, babi hutan melakukan aktivitas yang lebih lengkap di hutan tanaman meliputi makan, berjalan, membuang kotoran, mengasah taring, menggesek tubuh, berkubang, dan berlindung. Hutan tanaman didominasi jenis pinus yang digunakan oleh babi hutan untuk mengasah taring dan menggesekan tubuhnya. Selain itu, hutan tanaman memiliki rumput dan semak yang rapat sehingga babi hutan dapat membuat sarang. Hutan tanaman juga memiliki aliran sungai sebagai sumber air sehingga hutan tanaman ini dapat menyediakan kebutuhan bagi babi hutan untuk beraktivitas.

3. Kebun

Kebun merupakan tempat yang paling sedikit terdapat jejak yaitu sebanyak 16 buah. Hal ini juga diduga karena kebun hanya menyediakan kebutuhan pakan babi hutan, sehingga aktivitas yang ditemukan di kebun hanya jejak aktivitas berjalan dan makan. Hal ini menunjukkan bahwa babi hutan pergi ke kebun untuk mencari makan.

Habitat yang disukai oleh satwaliar adalah habitat yang menyediakan semua kebutuhan hidup bagi satwaliar yang terdiri atas makanan, air, tempat berlindung, berkembang biak, dan areal teritori. Hal ini dinyatakan dalam Santosa et al. (2010) bahwa habitat yang disukai harus memiliki kualitas yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan suatu satwa tergantung pada ketersediaan kebutuhannya untuk beraktivitas. Jumlah dan jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.

(20)

10

Jejak aktivitas berjalan

Jejak kaki babi hutan (Gambar 3) yang ditemukan menunjukan aktivitas berjalan atau berlari untuk berpindah tempat dan melaksanakan aktivitas yang lainnya. Bentuk jejak kaki babi hutan umumnya hampir mengotak dengan ujung terbelah, pijakan dalam pada bagian tengah dan adanya bulatan jejak kuku pada bagian belakang tetapi berdasarkan temuan di lapang banyak kaki babi yang ditemukan dalam kondisi tidak jelas. Kemungkinan keadaan jejak yang berubah ukuran maupun bentuknya karena tercuci oleh air hujan yang besar dan hal itu merupakan kelemahan dalam melacak jejak. Selain itu, kondisi jejak yang ditinggalkan sangat tergantung pada kondisi keadaan permukaan tanah, pasir, liat, ataupun batu.

Jejak kaki babi hutan yang ditemukan sebanyak 46 buah. Berdasarkan Gambar 4, jejak kaki babi yang ditemukan di kebun sebanyak 7 buah, di hutan tanaman sebanyak 33 buah, dan di hutan alam sebanyak 6 buah. Lebih banyaknya jejak kaki yang ditemukan di hutan tanaman karena keseluruhan jejak aktivitas juga banyak ditemukan di hutan tanaman sehingga memungkinkan babi hutan sering berjalan dan berpindah tempat dari aktivitas satu aktivitas ke aktivitas lainnya.

Jejak aktivitas makan

Babi hutan merupakan satwa omnivora yang berperan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pergerakan babi hutan juga dipengaruhi oleh keberadaan pakannya. Makanan yang ditemukan berupa tanaman pertanian (kentang, singkong, ubi jalar, jagung, dan kentang), cacing, akar, rumput, buah pinus, dan pisang (Gambar 5).

Makanan adalah jenis jejak yang paling banyak ditemukan pada seluruh tipe tutupan vegetasi yaitu sebanyak 54.4 % yaitu sebanyak 80 buah jejak. Ketersediaan

(a) (b) (c)

Gambar 3 Jejak kaki babi hutan (a) di hutan tanaman, (b) di kebun, (c) di hutan alam

Gambar 4 Jumlah jejak kaki babi hutan pada tiga tipe tutupan vegetasi

(21)

11 sumber pakan merupakan salah satu faktor keberadaan babi hutan pada suatu lokasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Azhima (2001) bahwa aktivitas harian babi hutan sebagian besar digunakan untuk mencari makan yaitu 67.5% dari seluruh aktivitas harian. Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu faktor keberadaan babi hutan pada suatu lokasi. Persentase aktivitas makan terbesar terjadi di hutan tanaman yaitu sebanyak 57.5%, diikuti dengan hutan alam yaitu sebanyak 31.3%, dan terkecil di kebun dengan persentase sebesar 11.2%.

Jumlah jejak makanan yang ditemukan di hutan tanaman lebih banyak dibandingkan dengan di tipe tutupan vegetasi lainnya yaitu sebanyak 46 buah. Jejak yang ditemukan di hutan alam sebanyak 25 dan yang ditemukan di kebun sebanyak 9 buah (Gambar 6). Hasil pengamatan menunjukan bahwa makanan yang paling banyak ditemukan adalah cacing sebanyak 60 % berdasarkan adanya bekas galian babi hutan dan pisang sebanyak 23 %. Cacing paling banyak terdapat di hutan tanaman sedangkan pisang hanya terdapat di hutan tanaman sehingga makanan terbanyak ditemukan di hutan tanaman.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 5 Jenis makanan yang ditemukan (a) tanaman pertanian di kebun, (b) cacing di kebun, (c) akar di Hutan Alam, (d) rumput di hutan tanaman, (e) pinus di hutan tanaman, (f) pisang di hutan tanaman.

Gambar 6 Jumlah jejak makanan pada setiap tipe tutupan vegetasi

9

46

25

0 10 20 30 40 50

Kebun Hutan Tanaman Hutan Alam

Je

n

is

J

e

ja

k

(22)

12

Berdasarkan temuan di lapang, babi hutan meninggalkan jejak makanannya dengan jumlah yang berbeda setiap jenisnya. Banyaknya jejak makanan yang ditemukan menunjukan ketersediaan potensi pakan tertentu (Gambar 7). Cacing merupakan makanan yang banyak ditemukan. Sesuai dengan pernyataan Chapman dan Trani (2007) bahwa babi hutan juga memakan telur burung, serangga, daging, binatang pengerat, dan cacing. Babi hutan memakan rumput sebanyak 1%, akar sebanyak 3%, dan buah pinus sebanyak 1% karena babi hutan menyukai makanan yang memiliki kandungan serat tinggi ( > 25% ) seperti rumput rendah protein, kacang-kacangan, rempah-rempah, dan akar (Sicuro 2002 dalam Wolf dan Conover 2003). Babi hutan juga menyukai makanan yang bernutrisi tinggi seperti pisang yang ditemukan sebanyak 23%. Nutrisi ekstra diperlukan oleh babi hutan betina untuk menyusui (Focardi dan Monetti 2000 dalam Wolf dan Conover 2003).

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, babi hutan memakan tanaman pertanian meliputi kentang, ubi jalar, jagung, singkong, dan talas. Babi hutan mencari makanan tersebut ke kebun milik masyarakat pada malam hari karena babi hutan cenderung menghindari daerah terbuka ketika aktif mencari makan pada siang hari karena mereka lebih rentan terhadap predasi, sehingga kegiatan mencari makan biasanya meningkat pada malam hari. Berdasarkan Aspinall et al. (1999), babi hutan merupakan binatang malam (nocturnal), sehingga selama sore dan malam babi hutan muncul di daerah terbuka untuk mencari makanan.

Jejak aktivitas berkubang

Kubangan yang ditemukan menunjukan aktivitas berkubang yang merupakan perilaku alamiah babi hutan. Kubangan yang ditemukan sebanyak 4 buah jejak. Penemuan jejak kubangan di hutan alam dan hutan tanaman menunjukan jumlah yang sama yaitu masing-masing 2 kubangan. Babi hutan tidak ditemukan berkubang di kebun (Gambar 8). Kubangan yang ditemui memiliki luas sekitar 3 m2 hingga 6 m2, sehingga memungkinkan babi hutan berkubang dalam

satu kelompok. Selain digunakan sebagai tempat berkubang, kubangan juga digunakan sebagai tempat untuk minum (Johnson et al. 1994). Kubangan terletak dengan sumber air dan menjadi salah satu faktor penyebab babi hutan melakukan aktivitas berkubang.

Gambar 7 Persentase ketersediaan potensi makanan babi hutan

(23)

13

Aktivitas berkubang diperlihatkan dengan babi hutan melapisi seluruh permukaan tubuhnya dengan lumpur. Aktivitas ini diduga bertujuan untuk melindungi tubuh dari lalat, pengaturan suhu tubuh, pembersihan ektoparasit pada tubuhnya, pembersihan luka pada kulit, dan tingkah laku seksual seperti menunjukkan kompetisi antar babi hutan jantan. Selain itu, pada cuaca panas babi hutan mencari sumber air untuk menjaga suhu tubuhnya tetap dingin (Boitani et al. 1994).

Jejak aktivitas mengasah taring dan menggesek tubuh

Pangkal batang pohon yang mengelupas lapisan kulit kayunya menunjukan aktivitas babi hutan yang telah mengasah taring atau menggesekan tubuhnya ke batang pohon. Jejak mengasah taring atau menggesekkan tubuh ini hanya ditemukan di hutan tanaman yaitu sebanyak 11 buah jejak (Gambar 9). Hal ini dikarenakan babi hutan menggunakan pohon pinus yang terdapat di hutan tanaman untuk mengasah taring atau menggesekan tubuhnya.

Babi hutan menggunakan taringnya untuk makan, mengambil bahan sarang, melindungi anak, serta untuk mempertahankan dirinya ketika babi hutan mendapat serangan (Oliver dan Leus 2008). Setelah mengasah taring biasanya babi hutan akan melakukan rubbing, yaitu menggesekkan tubuhnya pada tumbuhan yang dapat berfungsi untuk membantu membersihkan kutu pada tubuhnya. Contoh jejak mengasah taring pada batang pohon pinus dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9 Jumlah jejak mengasah taring pada setiap tipe tutupan vegetasi

0

Gambar 8 Jumlah jejak kubangan pada setiap tipe tutupan vegetasi

(24)

14

Pengamatan lapang menunjukan bahwa Pinus (Pinus merkusii) adalah jenis tumbuhan yang digunakan babi hutan untuk melakukan aktivitas ini. Berdasarkan hasil monitoring satwaliar di TNGC menggunakan video trap milik BTNGC pada tahun 2014 menunjukan bahwa babi hutan juga menggunakan jenis tumbuhan lain untuk melakukan aktivitas mengasah taring. Hal ini menunjukan bahwa babi hutan tidak hanya menggunakan batang pohon pinus untuk mengasah taring dan menggesekkan tubuhnya (Gambar 11).

Jejak aktivitas membuang kotoran

Feses menunjukan babi hutan telah melakukan aktvitas membuang kotoran. Feses yang ditemukan masih baru. Feses ini ditemukan hanya di hutan tanaman sebanyak 2 buah jejak (Gambar 12). Aktivitas mencari makan memiliki intensitas yang tinggi di hutan tanaman sehingga peluang ditemukannya feses di hutan tanaman lebih besar.

Gambar 10 Aktivitas mengasah taring pada jenis

tumbuhan lain (hasil video trap BTNGC 2014)

Gambar 12 Jumlah jejak feses pada setiap tipe tutupan vegetasi

0

2

0 0

0,5 1 1,5 2 2,5

Kebun Hutan Tanaman Hutan Alam

Ju

m

lah

J

e

ja

k

(b

u

ah

)

Tipe Tutupan Vegetasi

(25)

15

Jejak aktivitas berlindung

Babi hutan membuat sarang untuk berlindung. Satwa ini hidup dekat dengan sumber air dan shelter untuk berlindung dan bersembunyi dari predator (Melis et al. 2006). Sebanyak 4 buah sarang yang ditemukan di hutan tanaman. Sarang tersebut berukuran cukup besar yaitu 2 m2 dan 4 m2 (Gambar 13). Ukuran sebuah

sarang memungkinkan untuk menampung beberapa individu babi hutan yang berlindung didalamnya. Hal ini didukung dengan pernyataan Oliver dan Leus (2008) bahwa babi hutan biasa melakukan aktivitas kesehariannya dengan berkoloni. Hutan tanaman memiliki kondisi vegetasi dan topografi yang beragam, terdapat area berumput, bersemak, dan berlereng memungkinkan keberadaan babi hutan untuk berlindung dan membuat sarang. Sarang babi hutan terbuat dari alang alang, rumput, teklan, dan daun kaliandra.

Jejak aktivitas yang ditemukan di hutan tanaman adalah makan, berjalan, mengasah taring, berlindung, berkubang, dan membuang kotoran. Jejak aktivitas yang ditemukan di hutan alam adalah makan, berjalan, dan berkubang. Jejak aktivitas yang ditemukan di kebun adalah makan dan berjalan. Hubungan antar jejak aktivitas yang ditemukan berdekatan dapat dilihat pada matriks hubungan jejak aktivitas pada setiap tipe tutupan vegetasi (Gambar 14 dan 15).

Gambar 14 menunjukan bahwa sebanyak 4 (empat) buah jejak makanan di hutan tanaman ditemukan berdekatan dengan jejak kaki babi, 1 buah jejak makanan berdekatan dengan sarang, dan sisanya ditemukan hanya aktivitas jejak makanannya saja. Selain itu, sebanyak 2 buah jejak kubangan ditemukan jejak kaki dan ditemukan 1 buah jejak feses yang berdekatan dengan jejak asahan taring.

(a) (b)

Gambar 13 Sarang babi hutan di hutan tanaman (a) ukuran 4 m2 dan (b) ukuran 2 m2

Jenis jejak Kaki Makanan Kubangan

Asahan

Taring Feses Sarang

Nilai

Kaki - 4 2 4 1 0 11

Makanan 4 - 0 0 0 1 5

Kubangan 2 0 - 0 0 0 2

Asahan Taring 0 0 0 - 1 0 1

Feses 1 0 0 1 - 0 2

Sarang 0 1 0 0 0 - 1

(26)

16

Gambar 15 menunjukan bahwa sebanyak 3 buah jejak makanan yang ditemukan di hutan alam berdekatan dengan keberadaan jejak kaki dan sebanyak 1 buah kubangan berdekatan dengan jejak mengasah taring. Ditemukannya jejak kaki babi hutan yang memiliki intensitas paling tinggi yaitu 11 kali di hutan tanaman dan 3 kali di hutan alam disebabkan oleh aktivitas babi hutan yang berpindah tempat ketika akan melakukan suatu aktivitas. Adanya asosiasi antar jejak aktivitas tersebut menunjukan keberadaan dan pergerakan babi hutan pada suatu tutupan vegetasi didasarkan pada kebutuhan untuk melakukan aktivitas. Hutan tanaman memiliki intensitas penemuan jejak berdekatan yang lebih tinggi dibandingkan hutan alam. Selain itu, beberapa jejak yang berdekatan ini menjadi alasan dan dasar penentuan suatu objek dianggap sebagai jejak babi hutan.

Berdasarkan letak geografisnya, peta sebaran jejak aktivitas babi hutan dapat dilihat pada Gambar 16. Pada daerah hutan tanaman terlihat sebaran aktivitas yang lebih banyak dibandingkan tipe tutupan vegetasi yang lainnya. Babi hutan telah terbukti menyebar hingga keluar kawasan taman nasional yaitu ke kebun milik masyarakat.

Jenis jejak Kaki Makanan Kubangan

Asahan

Taring Feses Sarang

Nilai

Kaki - 3 0 0 0 0 3

Makanan 3 - 0 0 0 0 3

Kubangan 0 0 - 1 0 0 1

Asahan Taring 0 0 1 - 0 0 1

Feses 0 0 0 0 - 0 0

Sarang 0 0 0 0 0 - 0

Gambar 15 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan alam

(27)

17

Penyebaran Babi Hutan di Kebun

Adanya perubahan struktur dan komposisi jenis vegetasi di hutan tanaman telah mengubah komposisi satwaliar yang berada di dalamnya. Dampak terhadap satwaliar tersebut disebabkan berubahnya penyebaran dan kelimpahan makanan, berubahnya iklim mikro, dan tersedianya tempat berkembang biak atau berlindung. Babi hutan memperoleh kebutuhan makanan dan tempat berlindung di hutan tanaman. Oleh karena itu populasi babi hutan dari hutan alam memperluas wilayah jelajahnya ke hutan tanaman dan semakin mendekati kebun masyarakat. Babi hutan dapat berada di luar kawasan hutan seperti lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan pekarangan. Babi hutan seringkali menjadi hama yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada lahan pertanian, sehingga banyak diburu oleh masyarakat (Choquenot et al. 1996)

Penyebaran babi hutan keluar kawasan TNGC yaitu ke kebun telah dibuktikan dengan data dan peta sebaran spasial yang telah diperoleh melalui penelitian ini. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh satu orang petani adalah 0,7 ha. Kerugian petani akibat kerusakan oleh babi hutan pada setiap kali serangan berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 32.000.000,-. Kerugian tersebut tergantung jumlah komoditas tanaman yang dimakan oleh babi hutan, banyaknya babi hutan yang diperkirakan menyerang, serta luasan plastik penutup tanah yang dirusak oleh babi hutan. Babi hutan mendatangi kebun yang berada pada lokasi yang berbeda setiap malamnya. Babi hutan lebih sering terlihat ke kebun pada saat musim berbuah hingga musim panen. Babi hutan memakan jagung, kentang, singkong, talas, dan ubi, serta menggali tanah untuk mencari cacing dan merusak plastik penutup tanah.

Sebanyak 35% petani tidak pernah melihat babi hutan secara langsung dan sebanyak 65% petani pernah melihat langsung keberadaan babi hutan di kebun. Jumlah babi yang terlihat berkisar antara 1 hingga 20 individu dengan jumlah anak yang lebih banyak daripada dewasa. Spesies ini dapat berkembang biak dengan cepat dan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak dibandingkan ungulata lainnya. Biasanya sebanyak 4 hingga 6 anak dilahirkan oleh satu individu babi hutan (Alpers

et al. 2005). Dalam kondisi yang baik babi hutan dapat melahirkan 10 individu anak (Choquenot et al. 1996). Hal ini menunjukan bahwa babi hutan melahirkan antara 6 hingga 10 individu anak. Data video trap (BTNGC 2014) juga menunjukan babi hutan beraktivitas secara berkelompok.

Selain itu, babi hutan juga bersifat omnivorous, yang dengan mudah mendapatkan makanan. Hal tersebut diatas menjadi alasan utama spesies ini dapat menyebar dengan luas. Disamping dua hal diatas sedikitnya predator alami yaitu macan tutul menyebabkan semakin berlimpahnya keberadaan spesies ini di hutan.

(28)

18

Masyarakat telah memiliki cara melindungi kebunnya dari gangguan babi hutan, seperti pagar dari bahan yang kurang kuat, umbul-umbul yang terbuat dari kain atau karung bekas, perburuan liar, dan perangkap. Penanganan yang telah dilakukan tersebut belum dapat mengusir babi hutan dari kebun, bahkan penanganan yang telah dilakukan cenderung mengabaikan keselamatan babi hutan. Babi hutan diburu secara liar, ditembak, dan dijerat, hingga mati. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pengendalian dan penanggulangan gangguan babi hutan ini secara bijaksana. Untuk mengatasi masalah ini harus dilakukan pendekatan solusi jangka pendek dan jangka panjang. Beberapa solusi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai berikut.

a. Pemagaran disekitar kebun dengan kontruksi yang kuat, tinggi, dan mudah terlihat. Pagar mengelilingi lahan kebun milik petani.

b. Pengusiran atau penghalauan pada saat tanaman sedang berbuah hingga panen

c. Pembuatan jebakan atau perangkap yang terbuat dari gulungan kawat sehingga kemungkinan babi hutan terperangkap dalam gulungan kawat. Ketiga pilihan solusi tersebut dilakukan oleh para petani yang ingin melindungi kebunnya, sementara itu, pihak TNGC dapat membantu petani dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dalam upaya penanganan masalah gangguan babi hutan tersebut berkaitan dengan cara pemagaran, pengusiran, penghalauan, dan pembuatan perangkap yang disarankan. Sedangkan untuk solusi jangka panjang harus dimulai dengan penelitian-penelitian lain yang relevan seperti penentuan daya dukung habitat babi hutan, penggunaan ruang, dan parameter demografi babi hutan sehingga dapat menentukan sistem pengelolaan yang tepat bagi kelestarian babi hutan dan habitatnya.

Peta sebaran aktivitas babi hutan yang terlihat oleh petani dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan letak geografisnya, Babi hutan terlihat oleh petani berada di kebun yang berada di luar kawasan taman nasional.

(29)

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan (Sus Scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi. Jejak aktivitas babi hutan paling banyak ditemukan di hutan tanaman dibandingkan dengan tipe tutupan vegetasi lainnya. Makanan merupakan jejak aktivitas yang paling banyak ditemukan di seluruh tipe tutupan vegetasi. Babi hutan terbukti menyebar hingga keluar kawasan taman nasional yaitu ke kebun karena faktor ketersediaan pakan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang daya dukung habitat babi hutan dan parameter demografi babi hutan di kawasan TNGC untuk memperbaharui data tentang status keberadaan dan kemelimpahan babi hutan di TNGC. Data ini digunakan untuk menentukan sistem pengelolaan yang tepat bagi kelestarian babi hutan dan habitatnya maupun digunakan sebagai dasar pertimbangan penyelesaian permasalahan gangguan babi hutan yang sedang terjadi di kawasan sekitar TNGC.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas IPB.

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press. Alpers DL, Doust J, Hampton JO, Higgs T, Pluske J, Spencer PBS, Twigg LE,

Woolnough AP. 2004. Molecular techniques, wildlife management and the importance of genetic population structure and dispersal: a case study with feral pigs. Journal of Applied Ecology. 41:735-743.

Aspinall R, Leaper R, Gorman ML, Massei G. 1999. The Feasibility of Reintroducing Wild Boar (Sus Scrofa) To Scotland. Printed in Great Britain. United Kingdom. Mammal Rev. 29(4): 239–259.

Azhima, F. 2001. Pengendalian Babi Hutan, Hama Utama Bagi Kebun Karet di Jambi. Jambi (ID): Seri Wanatani Karet.

[BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam (ID). 2006. Rencana Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Bandung (ID): Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Departemen Kehutanan RI.

[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (ID). 2014. Manusia dan Satwaliar. Kuningan (ID): Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

(30)

20

Chapman B, Trani M. 2007. Feral Pig (Sus scrofa). Di dalam M Trani, W Ford, B Chapman, editor. The Land Manager`s Guide to Mammals of the South. Durham. NC: The Nature Conservancy and the US Forest Service, Southern Region. Hlm 540-544.

Choquenot D, Korn T, McIlroy J,. 1996. Managing Vertebrate Pests: Feral Pigs. Canberra: Australian Government Publishing Service.

Gunawan H, Bismark M. 2007. Status Populasi Dan Konservasi Satwaliar Mamalia di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Bogor (ID): Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Johnson, McGlone, Morrowtesch L, Salak L. 1994. Heat and Social Stress Effects on Pig Immune Measures. Journal of American Society of Animal Science. 72:259-269.

Melis C, Barton K, Szafranska P, Jedrzeiewska B. 2006. Biogeographical variation in the population density of wild boar (Sus scrofa) in western Eurasia. Journal of Biogeography. 33(5) : 803-811

Oliver W, Leus K. 2008. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2.

Sus scrofa [Internet]. [Diunduh 2015 Mei 19]; Tersedia pada http://www.iucnredlist.org/details/41775/0.

[PEH] Pengendali Ekosistem Hutan (ID). 2014. Laporan Kegiatan Monitoring Hasil Camera Trap Taman Nasional Gunung Ciremai. Kuningan (ID): Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

Rahmat. 1995. Jejak Kaki Hewan Liar. Jakarta (ID): Erlangga.

Santosa Y, Purwadi, Kartono A. 2010. Karakteristik habitat preferensial orangutan Pongo pygmaeus wurmbii di Taman Nasional Sebangau. Di dalam: Alikodra S, Thohari M, Zuhud E, Mardiastuti A, Muntasib E, editor. Media Konservasi Jurnal Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. 2010 November 5; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. hlm : 6-14. Santosa Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter

demografi dan kuota pemanenan populasi satwaliar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku (studi kasus terhadap populasi rusa jawa (Cervus timorensis)) di Pulau Peucang. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB.

Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Suripto BA. 2000. Babi hutan (Sus spp.) di Pulau Jawa : Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Yang Akan Datang. Jurnal Konservasi Kehutanan 2(1) : 123.

(31)

21 Lampiran 1 Data kerapatan vegetasi di hutan alam

Kerapatan Vegetasi Tingkat Semai

Kerapatan Vegetasi Tingkat Tumbuhan Bawah Nama Huru Macaranga rhizinoides 1250 312500 18,51852 kaliandra Calliandra callothyrus 750 187500 11,11111 cangkuang Pandanus furcatus 500 125000 7,407407

Rotan Calamus manna 1250 312500 18,51852

beunying Ficus fistulosa 1750 437500 25,92593

ciciat - 750 187500 11,11111

sampang - 500 125000 7,407407

TOTAL 6750 1687500 100

Nama lokal Nama ilmiah

K (ind/0,004ha)

Jumlah

(ind/ha) KR (%)

Rambucan - 3750 937500 4,531722

Pungpurucutan - 7500 1875000 9,063444

Canar Clemais smilacifolia 750 187500 0,906344

Pakis Cycas rumphii 1250 312500 1,510574

Teklan Eupatorium riparium 37500 9375000 45,31722 Harendong Melastoma candidum 3000 750000 3,625378

Ilat C. pilosus 2750 687500 3,323263

Sauheun - 1000 250000 1,208459

Seuseureuhan Piper aduncum 750 187500 0,906344

Bubukuan Sambucus javanica 11250 2812500 13,59517

Rambucan - 1750 437500 2,114804

Babakoan Scaevola fruescens 4250 1062500 5,135952

Hihileudan - 3000 750000 3,625378

Paku - 1500 375000 1,812689

Kadatuan - 1000 250000 1,208459

Congkok Curculigo orchioides 500 125000 0,60423

Kopolalai - 500 125000 0,60423

Kiampet - 250 62500 0,302115

Calincing - 500 125000 0,60423

(32)

22

Lampiran 1 Data kerapatan vegetasi di hutan alam (lanjutan)

Kerapatan Vegetasi Tingkat Pancang

Kerapatan Vegetasi Tingkat Tiang Nama Lokal Nama Ilmiah

K (ind/0,025ha)

Jumlah

(ind/ha) KR (%)

Huru Macaranga rhizinoides 80 3200 4,651163

Beunying Ficus fistulosa 440 17600 25,5814

Paku - 40 1600 2,325581

Kileho Saurauia blumiana 240 9600 13,95349

Kapirit 40 1600 2,325581

Pasang Quercus sundaica 40 1600 2,325581

Honje Etlingera elatior 80 3200 4,651163

pakis Cycas rumphii 80 3200 4,651163

hamerang Ficus alba 80 3200 4,651163

walen Ficus ribes 160 6400 9,302326

bingbin Pinanga coronata 40 1600 2,325581

nangsi Villebrunea rubescens 80 3200 4,651163

kopo Syzygium cymosum 80 3200 4,651163

harendong Melastoma candidum 40 1600 2,325581

sampang - 80 3200 4,651163

pongporang Oroxylum indicum 40 1600 2,325581

ciciat - 80 3200 4,651163

Kileho Saurauia blumiana 200 20000 9,090909

Pulus Laportea stimulans 100 10000 4,545455

Beunying Ficus fistulosa 500 50000 22,72727

Pasang Quercus sundaica 100 10000 4,545455

Pakis Cycas rumphii 500 50000 22,72727

Walen Ficus ribes 300 30000 13,63636

Huru Macaranga rhizinoides 200 20000 9,090909 Tiga

Wulan - 100 10000 4,545455

Nangsi Villebrunea rubescens 200 20000 9,090909

(33)

23 Lampiran 1 Data kerapatan vegetasi di hutan alam (lanjutan)

Kerapatan Vegetasi Tingkat Pohon

Lampiran 2 Data kerapatan vegetasi di hutan tanaman Kerapatan Vegetasi Tingkat Semai

Kerapatan Vegetasi Tingkat Tumbuhan Bawah Nama Lokal Nama Ilmiah

K (ind/0,01ha)

Jumlah

(ind/ha) KR (%)

Mara Macaranga tanarius 50 25000 1,785714

Huru Macaranga rhizinoides 100 50000 3,571429

Pasang Quercus sundaica 100 50000 3,571429

Beunying Ficus fistulosa 150 75000 5,357143

Talingkup Claoxylum indicum 50 25000 1,785714

Saninten Castanopsis javanica 150 75000 5,357143

Kamoyang - 50 25000 1,785714

Kihiur - 50 25000 1,785714

Kipare Deyeuxia australis 750 375000 26,78571

Mara Macaranga tanarius 50 25000 1,785714

Walen Ficus ribes 50 25000 1,785714

Kopo Syzygium cymosum 100 50000 3,571429

Kileho Saurauia blumiana 300 150000 10,71429

Saninten Castanopsis javanica 550 275000 19,64286

Penggung - 250 125000 8,928571

Kina Cinchona succirubra 1750 437500 43,75

kaliandra Calliandra callothyrus 2250 562500 56,25

TOTAL 16 4000 1000000 100

Nama Lokal Nama Ilmiah K(ind/0,004ha) Jumlah(ind/ha) KR (%) Babadotan Ageratum conyzoides 1250 312500 6,944444

Sauheun - 500 125000 2,777778

Teklan Eupatorium riparium 13500 3375000 75

Lidah Ayam Poygala glamerata 1000 250000 5,555556

Jampang Eleusine indica 750 187500 4,166667

Pakis Cycas rumphii 500 125000 2,777778

Reba Cirrhinus reba 500 125000 2,777778

(34)

24

Lampiran 2 Data kerapatan vegetasi di hutan tanaman (lanjutan)

Kerapatan Vegetasi Tingkat Pancang

Kerapatan Vegetasi Tingkat Tiang

Kerapatan Vegetasi Tingkat Pohon

Lampiran 3 Hasil uji chi-square sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan pada seluruh tipe tutupan vegetasi

Tipe Tutupan Vegetasi F0 Fe (F0-Fe)2 (F0-Fe)2/Fe

Hutan Alam 33 49 256 5,22449

Hutan Peralihan 98 49 2401 49

Kebun 16 49 1089 22,22449

Jumlah 147 147 - 76,44898

X2 Hitung = 76,449

X2 tabel = X2 (0,05;2) = 5,991

X2 Hitung > X2 tabel maka, tolak H0 dan terima H1

Hasil uji hipotesis : Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi.

Nama Lokal Nama Ilmiah

K (ind/0,025ha)

Jumlah

(ind/ha) KR (%)

Kina Cinchona succirubra 360 14400 42,85714

kaliandra Calliandra callothyrus 160 6400 19,04762

sekar malam - 80 3200 9,52381

pisang Musa paradisiaca 240 9600 28,57143

TOTAL 840 33600 100

Nama Lokal Nama Ilmiah K(ind/0,01ha) Jumlah (ind/ha) KR (%)

Pinus Pinus merkusii 400 40000 100

Nama Lokal Nama Ilmiah K(ind/0,02ha) Jumlah (ind/ha) KR (%)

(35)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Januari 1993 dari ayah bernama Harkosih dan ibu bernama Siti Nurhayati. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus Sekolah Menegah Atas (SMA) dari SMA Negeri Tanjungsari pada tahun 2011, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN undangan dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Pada saat penulis melaksanakan pendidikannya di Fakultas Kehutanan, penulis melaksanakan berbagai praktek lapang. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2013 di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Kamojang, Jawa Barat. Penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) pada tahun 2014 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun 2015 di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.

Penulis juga aktif mengikuti kegiatan organisasi di kampus IPB. Penulis merupakan panitia Bina Corp Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan pada tahun 2013, panitia Gebyar Himakova pada tahun 2013, panitia kegiatan seminar nasional ekspedisi Himakova pada tahun 2013 dan 2014. Penulis merupakan salah satu anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) yang tergabung dalam Kelompok Pemerhati Ekowisata (TAPAK) pada tahun 2012-2013. Penulis juga merupakan anggota International Forestry Students` Association (IFSA) Local Comittee - IPB) yang bergerak di bidang Human Resources Development (HRD) pada tahun 2012-2014.

Penulis memperkaya ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kehutanannya

dengan mengikuti beberapa program kegiatan yang menunjang pendidikannya antara lain, Goodwill International Development Program, Asia-Pacific Regional

Meeting di Korea Selatan pada tahun 2014, dan Study Visits for Group Foreign

Gambar

Gambar 1 Lokasi jalur transek
Tabel 1 Hasil analisis vegetasi di hutan alam dengan nilai kerapatan paling tinggi
Tabel 3 Potensi kegunaan tumbuhan oleh babi hutan di setiap tipe tutupan vegetasi.
Gambar 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rio Ardi : Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pada Berbagai Kelerengan Dan Kedalaman Hutan Alam (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Seksi Besitang), 2010..

Berdasarkan sebaran varian data pada kelas kesesuaian tinggi diketahui bahwa EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat hutan alam perbukitan yang cukup basah dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk sebaran spasial aktivitas harimau sumatera, membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas

Berdasarkan sebaran varian data pada kelas kesesuaian tinggi diketahui bahwa EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat hutan alam perbukitan yang cukup basah dan

Pola Aktivitas Orangutan Sumatera ( Pongo abelii ) Pada Struktur Dan Komposisi Vegetasi Hutan Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Taman Nasional Gunung Leuser..

Kajian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pola sebaran spasial dan keanekaragaman jenis vegetasi serta mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan ekosistem

Hal ini di dukung dengan adanaya kemampuan babi hutan dalam beradaptasi dan penyebaran yang tinggi terhadap habitat yang berbeda (Azhima 2001). Selain