• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH POSITIVISME DALAM PERKEMBANGAN docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH POSITIVISME DALAM PERKEMBANGAN docx"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH POSITIVISME DALAM PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA

NAMA : NIM :

-BETTY WIRANDINI (166010100111052)

-MUHAMMAD YUSUF (166010100111042)

-YOHANIS I. BENAFA (166010100111028)

-BENIDIKTUS B. BEBU (166010100111034)

-I PUTU SONIAROTAMA (166010100111024)

-INDRA SUCAHYONO (166010100111030)

-MUKTI STOFEL (166010100111032)

KEMENTRIAN TEKHNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu hukum merupakan hasil dari konstruksi manusia yang lahir sejak ratusan tahun lalu sebagai produk intelektual. Hukum senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa dimana Ilmu hukum merupakan bagian dari pranata untuk hidup secara tertib sosial, oleh karena itu setiap manusia menghendaki dan membutuhkan hukum pada kehidupan sosial yang jauh lebih luas.

Ilmu hukum yang umumnya dikenal dan dipelajari di dunia sudah dimulai perjalanannya sejak abad pertengahan di Eropa di jaman kerajaan Romawi. Pada saat itu orang sudah mempelajari hukum yang dibentuk oleh para kaisar. Sampai kemudian ambruk, dengan runtuhnya kerajaan tersebut maka berhenti pula studi-studi hukum yang dilakukan, baru sesudah empat abad kemudian studi hukum marak berjaya kembali dan orang memulai berbicara masalah hukum Romawi. Disini hukum romawi dipelajari lagi secara teoritis, sistematis, metodologis dengan mempelajari makna dari kata-kata kemudian Universitas menjadi pusat fatwanya dari situlah hukum diterima sebagai produk hukum.

Sebelum ada aturan yang mengikat zaman dahulu orang dengan sederhana dapat menduduki sebidang tanah dan kemudian mengolah tanah tidak dipersoalkan, sejak hukum menjadi produk intelektual atau diilmiahkan serta merta menjadi persoalan yang tidak sederhana lagi, orang tidak dapat hanya mengatakan bahwa ia telah mengolah tanah tersebut dengan mengatakan bahwa menduduki dan tinggal puluhan tahun kemudian tidak ada persoalan yang mengganggu, ketika tidak dapat menunjukan sertifikat kepemilikan yang dibuat oleh negara, sertifikat salah satu simbol bahwa hukum sudah menjadi aturan yang mengikat. Karena sudah menjadi konsep hukum tentang kepemilikan hak dan sebagainya, hukum hanya dapat dibaca melalui kitab undang – undang.1

Positivisme hukum lahir di Negara Eropa Kontinental ketika semua orang membutuhkan hukum dalam mengatur ketertiban masyarakat dan menganggap bahwa kepastian hukum menjadi sangat penting untuk menciptakan produk hukum yang dapat ditaati sehingga ada istilah dimana ada masyarakat disitu ada hukum.

(3)

Dalam kajian sosiologi hukum memusatkan perhatian kepada wujud hukum sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum tidak membatasi kajian pada kandungan normatif peraturan perundang-undangan dan doktrin yang mendasarinya belaka. Sosiologi hukum mempelajari dan memberikan hidup sebagaimana ada dan terwujudnya di tengah-tengah masyarakat serta tidak akan puas kalau hanya mempelajari hukum sebagai aturan-aturan yang tertulis dalam keadaan yang abstrak di dalam kitab undang-undang2.

Keinginan untuk menyingkirkan pemikiran abstrak menjadi kongkrit yang lahir dari para pemikir seperti John Austin, Hans Kelsen yang kemudian juga dianut oleh Negara Indonesia dengan dibentuknya Undang-undang Negara Republik Indonesia yang merupakan turunan dari aturan jaman Belanda. Perbedaan pandangan tentang Positivisme itu sendiri telah menimbulkan konflik diantara para ahli dan penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan hukum.

Dari latar belakang itulah maka dibutuhkan sebuah pemahaman yang komprehensif tentang positivisme dan kritik terhadap aliran tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang positivisme dan pengaruhnya bagi perkembangan hukum di Indonesia

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana sejarah Positivisme di Indonesia

12.2. Bagaimana kritik terhadap aliran Positivisme

(4)

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Sejarah Perkembangan Positivisme Di Indonesia

Positivisme hukum adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap metodologi untuk menemukan kebenaran harus memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis sebagai suatu obyektif yang harus dipisahkan dari segala macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.

Secara konsepsional dikenal dua sub aliran dalam positivieme hukum yaitu aliran yang digagas oleh John Austin sebagai hukum yang analisis dan Aliran hukum murni milik Hans Kelsen. Dalam konsep Positivisme hukum yang pada abad ke-19 dan di bagian pertama abad ke-20 menguasai pemikiran hukum di Barat, dimana dalam implementasinya terlihat jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa hukum bersumber dari penguasa sehingga muncul kritikan bahwa hukum diciptakan untuk kepentingan penguasa bukan kepentingan hukum.

1) Auguste Comte (1798 – 1857)

Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.3

Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca

(5)

kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.4

Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum5.

2) Herbert Spencer (1820 – 1903)

Herbert Spencer dilahirkan di Derby Inggris, 27 April 1820. Ia tak belajar seni Humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai seorang insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang di pegangnya hingga tahun 1846.selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik.tahun 1848 spenser di tunjuk sebagai redaktur the economis dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statis (1850).

Dalam bukunya yang berjudul The Principle of Sosiologi (3 jilid,1877), Herbert Spencer menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis. Spencer mengatakan bahwa obyek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian diri, dan industri. Sebagai tambahan disebutkannya sosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pembagian kerja, lapisan social, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Buku tersebut menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika.

Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan

4 Ibid.

(6)

dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.

Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.

Implikasinya dalam kehidupan sehari-hari, Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Seperti kata-kata diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, evolusi bagi spencer adalah kemajuan dalam segala bidang yang mana menjadi motivator bagi kita sendiri bagaimana caranya untuk bisa menjadi yang lebih baik dalam hidup kita masing-masing.

Contohnya, Seseorang yang tidak lemah dan frustasi dalam menghadapi hidup karena kegagalan secara terus menerus, bukan merupakan orang yang didalamnya terdapat evolusi yaitu perubahan, setiap orang pasti akan mendapatkan sesuatu yang dia inginkan tetapi harus melalui proses yang panjang dan berusaha serta berdoa, kalau kita ingin menjadi seseorang yang maju, diberikan kemudahan pula.

3) Rudolf Von Jhering (1818 – 1892)

Teori Jhering merupakan gabungan antara teori bentham, Stuart Mill dan Positivisme hukum dari John Austin. Jhering berpendapat mengenai sistem hukum suatu Negara bahwa senantiasa terdapat asiminasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian halnya kebudayaan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.

Menurut Jhering tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Ia mendefinikan kepentingan seperti halnya Bentham, yakni mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan, tapi kepentingan individu dijadikan sebagai tujuan social. Kemudian dia juga menyebutkan :

(7)

Romawi yang dapat dikarakteristikkan sebagai suatu sistem egoism yang berdisiplin. Di sini hukum digabung dengan egoism bangsa.

b) Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan.

c) Ternyata Hukum Romawi dalam perkembangannya sudah tidak menjadi hukum nasional tetapi sudah menjadi hukum yang universal.

4) Hans Kelsen (1881 – 1973)

Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

(8)

prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.

Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum lain yang telah memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada konsepsi Immanuel Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai Sollen, dan pengertian hukum sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut sebagai Neo Kantiaan.

Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis, dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi hukum yang diartikan sebagai perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap mazhab-mazhab lain.

Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi menentukan peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus dilakukan orang.

Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu : sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)

Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib hukum menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan atau lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum. Dinamakan tertib hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak. Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah badab-badan atau lembaga-lembaga yang melaksanakan hukum, Setiap perbuatan hukum harus dapat dikembalikan pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu.

Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari hypotese atau grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh masyarakat harus ditaati. Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :

(9)

2. Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang logis dengan norma yang lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.

Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan norma-norma yang disusun secara hierachis disebut : Stufenbau theori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asas-asas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan obyek yang bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi obyek studi adalah hukum positif.

Hans Kelsen (General Theory of Law and State), mengatakan bahwa grundnorm nya adalah suatu sains, dan dia menyatakan dirinya sebagai positivist, padahal dengan cara dia menerangkan tentang Grund Norm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat. Kelsen memulai teorinya dengan Grund Norm atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan, keseimbangan, perlindungan. Semua itu merupakan konteks filsafat.

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)

dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.

Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun, dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat. Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grund Norm atau Basic Norm

(10)

Untuk mengatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem norma, maka Hans Kelsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat tanceden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannnya bersifat meta-yuridis.

Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka Hans Kelsen mengatakan bahwa Basic Norm`s as the source of validity and as the source of unity of legal system.

Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupakan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, sehingga ia merupakan “bensin” yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Di samping itu Grundnorm, menyebabkan terjadinya keterhubungan internal dari adanya sistem. Sedangkan terminologi “norma” itu sendiri, oleh Hans Kelsen, diartikan sebagai the expression of the idea...that a individual ought to behave in a certain way. Fungsi norma adalah commando, permissions, authorizations and derogating norms.

Hukum positif hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dan dalam rangka untuk menyampaikan norma-norma hukum. Hans Kelsen mengatakan...every law is norm.... Perwujudan norma nampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari norma positip tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen ini, membentuk bangunan berjenjang tersebut disebut juga stufen theory. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positif harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grund Norm. Oleh karena itu, dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi, agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan

(efficaces) secara minimum Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila :

I. Ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma

II. Perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

(11)

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kelsen juga tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.

Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

Dengan demikian Kelsen mengemukakan bahwa hukum ada kaitannya bentuk (formal), bukan isi (material). Pandangan ini mengesampingkan keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum, maka hukum dapat saja tidak adil, tetapi tetaplah hukum karena di keluarkan oleh penguasa6.

Inti dari ajaran Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya.

(12)

Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak Negara. Kenyataan yang ada dalam masyarakat bukan menjadi wewenang ilmu hukum.

Dasar-dasar pokok teori teori kelsen:7 a) Teori hukum mempunyai tujuan untuk

mengurangi kekacauan dan meningkatkan persatuan. b) Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang seharusnya ada. c) Ilmu hukum adalah normatif bukan alam. d) sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan pesoalan efektivitas norma-norma hukum. e) suatu teori tenteng hukum adalah formal, suatu tentang cara pemgaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola spesifik. f) hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seper hukum yang munkin dan hukum yang ada.

Jika disandingkan dengan tersebut maka Indonesia telah menganut sistem hierarki perundang-undangan yang Selanjutnya Hans Nawiasky sebut dengan norma tertinggi yang oleh Kelsen sebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara.

Prinsip positivisme hukum adalah undang-undang adalah sebagai perintah manusia

(law are commands of human being), tidak perlu ada hubungan antara hukum dan moral atau hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada. Sistem hukum adalah sistem logis tertutup, selalu mengedepankan cara-cara logis dari peraturan-peraturan dalam mengambil keputusan tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijakan serta norma-norma sosial8.

Seiring dengan prinsip diatas, terdapat beberapa prinsip dasar positivisme hukum adalah:

a. Suatu tatanan hukum Negara bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (comte dan spencer), juga bukan karena bersumber pada jiwa bangsa (von savigny) dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk-bentuk positifnya oleh pemerintah yang berwenang.

b. Hukum semata-mata dipandang dalam bentuk formalnya dan lepas dari isi/subtansinya.

7 ibid

(13)

2.2.Kritik Terhadap Positivisme Hukum

Positivisme mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik, yang hanya berbasis pada peraturan 9tertulis (rule bound) belaka, maka hukum tidak akan pernah mampu untuk menangkap hakikat kebenaran, karena baik dari historis maupun filosofis yang melahirkannya, tidak mau melihat atau mengakui hal itu, bagi paham yang mendominasi akan tetap sempit cara berhukum nya dalam melihat fenomena hukum yang terjadi, banyak kejadian atau pikiran yang dibuang, serta proses dan tindakan dalam hukum yang tidak mampu dicakup dan dijelaskan demi mempertahankan teori positivistik normatif, maka kenyataan yang tidak dapat dicakup itu menjadi data yang mereka anggap benar.

Sebagai konsep maupun doktrin apa yang selama ini diketengahkan oleh kaum legis profesional dengan aliran positivisme nya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa tantangan, kiritikan terhadap ide kaum positivis-legalis ini muncul dari mulut kaum legal yang menolak eksistensi hukum sebagai institusi yang berkerja atas dasar rasionalitas formal kaum positivis yang pada hakikatnya cuma sebatas sebagai permainan logika sebab akibat diranahnya yang formal semata.

Dalam paradigma filsafat secara umum positivism di jabarkan sebagai berikut :

A) Ontologi :

- Melihat hukum dalam Masyarakat sebagai Unit /entitas yang sistemik, mekanis dan dapat diprediksi

- Filsafat Positisme hukum memandang hukum bersifat pasti

- Hukum dibangun bukan karena factor di luar hukum, melainkan hukum itu sendiri

B) Epistimology :

- Adanya doktrin bahwa tidak ada hukum di luar hukum tertulis

- Positivisme hukum memandang setiap subjek hukum setara dan karenanya setiap metode penyelesaian sengketa/peristiwa hukum subjek hukum dijadikan setara.

C) Aksiology :

- Positivisme dengan ciri khas nya bahwa tidak ada hukum di luar Undang-undang maka jaminan kepastian hukum bagi subjek hukum sangat di junjung tinggi. Melihat banyaknya kasus perebutan hak atas tanah oleh Negara maka diperlukan sebuah bukti hukum otentik

9 Opcit

(14)

berupa Sertifikat tanah agar apa yang menjadi haknya dapat diberikan oleh Negara.

Berbeda hal nya dengan “Kasus nenek Minah” menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.

Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.10

Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:

I. Hukum adalah perintah

II. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.

III. Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

IV. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

V. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan11.

Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.

Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang

10 Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009, hlm. 6

(15)

sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.

Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.

Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.12

Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.

Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba

(16)

keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.

Kasus nenek Minah sontak menciderai rasa keadilan di tengah masyarakat, sebab nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum dan dijatuhi hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke pengadilan dan cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak lagi mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat.

Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.

Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat.

Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.13

(17)

Kasus nenek Minah merupakan contoh kecil masalah ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada kepentingan masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan masyarakat sehingga banyak masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum, karena hukum yang berlaku sudah banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang masih bersifat positivis.

Secara idealnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.14

Sosiologi hukum secara khusus mengkaji kaidah-kaidah posititif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala keberhasilan dan kegagalannya. Kemudian Roscoe pound dalam teorinya the sociological jurisprudence adalah suatu pemikiran dalam jurisprudence.” Sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses proses yang dapat di pertanggungjawabkan15.

Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan empirik atau factual dari hukum. Hal ini memperlihatkan bahwa sosiologi hukum tidak secara langsung di arahkan pada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kemasyarakatan yang didalamnya hukum memainkan peranan. Objek sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan kemasyarakatan dan pada tingkat kedua adalah kaidah hukum dengan salah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan itu16

Hukum merupakan suatu lembaga sosial karena merupakan perangkat norma dan perilaku teratur yang memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk kedamaian dalam masyarakat. Tanpa hukum masyarakat tidak mungkin hidup teratur.

14 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan

Masyarakat,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 242 15 ibid

(18)

Hukum responsif juga mengkritik bahwa hukum yang ada seringkali lepas dari realita sosial dan cita-cita keadilan yang merupakan upaya untuk mengintegrasikan teori hukum, filsafat politik, dan telaah sosial. Konsep ini memberikan suatu perspektif dan kriteria untuk mendiaknosis dan menganalisis problema-problema hukum dan masyarakat dengan penekanan khusus pada dilemma kelembagaan dan pilihan kebijakan yang kritis.

Menurut Nonet dan Selnick, ada suatu kebutuhan akan teori hukum dan teori sosial yang mampu untuk (1) memperkuat nilai hukum dan (2) menunjukan alternatif bagi pemaksaan dan penekanan hukum, sehingga tess hukum yang responsive memang ditujukan untuk itu.17

Teori ini jelaslah tidak ingin memisahkan antara hukum dan realitas sosial karena pada dasarnya hukum dan masyarakat akan saling mempengaruhi dalam rangka mencapai tujuan hukum yang berkeadilan.

Pembelajaran hukum sekarang hendaknya dilakukan secara holistik yaitu tidak berhenti pada peraturan yang hakekatnya hanya merupakan skema-skema mereduksi realitas yang kaya dan kompleks itu, darah dan daging hukum seperti sosial, politik, kultur, sejarah,ekonomi dan lain- lain perlu utuh , itulah hakekat hukum.18

Oleh karena itu kajian hukum secara normatif semestinya diarahkan pada dimensi – dimensi normatif dalam aturan hukum, bukan hanya pada segi sah tidaknya aturan. Dengan demikian mengarahkan pada segi normatif yang diatas kita saling bisa mengkaji sebuah aturan dengan melihat aspek normatif yang terkait dengan nomos (keharusan alam) kebijakan prinsip -prinsip keadilan (berikut varian-variannya) dengan agama / religi dengan moral dengan etika dengan demokrasi pengembangan pribadi individu kepentingan umum(rasionalisme wolff, realisme amerika dengan hak –hak dasar manusia (tradisi inggris) dengan penciptaan tatanan masyarakat yang baik sehingga hak-hak dasar manusia terjamin. Usaha menjamin keadilan, menjaga keamanan, tingkat evolusi kehidupan sosial ,jiwa bangsa, hukum alam dan sebagainya.19

Menurut Lawrence friedman bahwa hukum adalah merupakan sebuah sub sistem yang berisi tentang legal structure, legal substance, legal culture dimana terdapat saling

17 Philip Nonet dan Philip selzknick.2007”Hukum Responsif”Nusa Media Bandung.Hal 55

(19)

keterkaitan antara satu dengan lainnya sehingga hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya hukum.

Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum yaitu aturan,

norma dan pola perilaku manusia meliputi perangkat perundang-undangan, memiliki

kekuatan mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum selanjutnya adalah

budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu

masyarakat. Budaya hukum juga menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.

Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan

dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh

orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan

berjalan secara efektif.

Dalam pandangan Prof.A.Mukhti Fajar, bahwa teori yang baik adalah perlu menghargai hukum dalam artian bagian yang ia mainkan didalam masyarakat dan efeknya pada fenomena sosial (yang untuk tujuan Undang-Undang yang di ciptakan) teori tersebut menghargai dasar kelembagaan dari hukum dan media kelembagaan, serta akhirnya peran-peran manusia untuk melaksanakannya. 20

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan dan saran

Perkembangan sistem hukum di Indonesia menganut paham positivism ini tercermin dalam Kitab undang-undang Hukum Pidana di Pasal 1 ayat 1 bahwa tidak dapat di pidana

(20)

seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. sehingga dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.

Kritik terhadap aliran positivism ini adalah hukum hanya dipandang sebagai benda mati yang tidak peka terhadap perkembangan jaman karena esensi dari aliran ini menjadikan hukum terpisah dari norma yang hidup dalam masyarakat yang berisi peraturan sah dikeluarkan oleh penguasa sehingga terjadi jurang lebar antara makna keadilan menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat.

Dalam teori positivistik bahwa hukum dibuat untuk memberikan kepastian hukum dalam masyarakat tetapi mengabaikan nilai keadilan dan kemanfaatan sehingga hukum seolah menjadi media profesi namun pada dasarnya dengan aliran ini masyarakat dapat menjadikan hukum sebagai kerangka acuan dalam pranata sosial masyarakat.

3.2 Saran

Pada dasarnya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena hukum haruslah bersumber dari norma yang hidup dari masyarakat sehingga tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dapat terealisasikan.

Dalam rangka menghindari penyelewengan di pengadilan maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dibutuhkan dalam rangka menciptakan keselarasan hukum.

DAFTAR PUTAKA BUKU-BUKU

(21)

- Khudsaifah Dimyanti.2004”Teorisasi Hukum Studi Tetang Perkembangan Pemikira Hukum Di Indonesia”Muhamadyah Universiy Press. Surakarta.

- Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009

- Mukthie fadjar.2013.Teori Hukum Kontemporer, setara pers 2013.

- Philip Nonet dan Philip selzknick.2007”Hukum Responsif”Nusa Media Bandung.

- Rahmat safaat.2016. Ilmu Hukum Ditengah Arus Perubahan.2016.Surya pena gemilang.

- Ronald H Chicote, Teori-Teori Perbandingan politik, PT Raja Grafindo Jakarta.

- Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century

- Soetandio wignjosoebroto.2002 Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya,ELSAM

- Sabian Usman.2009.Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

- Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985,

- Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999,

- Satjipto raharjo, Teori Tukum, penerbit getta pubilsing yogyakarta. JURNAL

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas antijamur ekstrak etil asetat daun mangga bacang ( Mangifera foetida L.) diduga berasal dari senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid, alkaloid,

Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap ( tappering off ). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE

Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa model regresi linear sederhana belum mampu menggambarkan hubungan antara kecepatan arus dan debit air sungai Soos

Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode pengumpulan data model likert, alat pengumpulan data menggunakan skala kepuasan kerja (29 item; α =

Penelitian yang dilakukan tidak terlepas dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terkait permasalahan perencanaan jumlah barang bantuan yang

Analisa dengan menggunakan program bantu STAAD Pro 2004 sangat tepat dalam menganalisa suatu struktur jembatan rangka baja tipe pelengkung, sebab waktu yang

Hal ini karena treatment yang diberikan, selain mendapat nilai juga sekiranya ada yang mendapat pertanyaan tidak bisa menjawab maka responden tersebut harus maju ke depan,

Harian Penerimaan Daerah (LHPD) yang dilampiri setoran Bank dan sarana penyetoran yang sudah divalidasi kepada Kepala Seksi Perbendaharaan UPPK;.. Kepala Seksi Perbendaharaan