• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komponen Kimia Minyak Atsiri Kulit Jeruk Telur Buaya (Citrus medica L.) Secara GC-MS dan Uji Antioksidan Dengan Metode DPPH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Komponen Kimia Minyak Atsiri Kulit Jeruk Telur Buaya (Citrus medica L.) Secara GC-MS dan Uji Antioksidan Dengan Metode DPPH"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Jeruk Telur Buaya

Berdasarkan taksonominya, tumbuhan jeruk telur buaya termasuk dalam :

Kingdom : Magnoliophyta

Devisi : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Species : Citrus medica L

Nama Lokal : Jeruk Telur Buaya (LIPI Bogor, 2014).

(2)

Citrus medica adalah sebuah spesies jeruk yang umumnya memiliki kulit tebal

dan bagian dalam yg kecil-kecil. Asalnya, pohon ini berasal dari Asia tenggara. Saat

ini banyak tumbuh di Sisilia, Maroko,Crete, Corsica, juga di Puerto Rico. Pohon ini

dapat tumbuh hingga 3 meter. Sedangkan buahnya dapat mencapai diameter 25 cm

dan berat hingga 4 kg. Bulir dari buah ini jarang dimanfaatkan. Kulitnya banyak

digunakan sebagai bahan tambahan untuk memasak. Kulit tersebut juga dapat dibuat

menjadi selai, juga nenbuat minyak nabati (Jones, 1992).

2.2. Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau disebut juga minyak eteris adalah minyak yang bersifat mudah

menguap, yang terdiri dari campuran zat yang mudah menguap, dengan komposisi

dan titik didih yang berbeda-beda.

Pada mulanya istilah minyak atsiri atau minyak eteris adalah istilah yang

digunakan untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan cara

penyulingan uap. Definisi ini, dimaksudkan untuk membedakan minyak/lemak dengan

minyak atsiri yang berbeda tanaman penghasilnya. Definisi ini akan lebih lengkap jika

kedalam kelompok ini dicantumkan pula minyak yang mudah menguap dengan

metode ekstaksi yaitu dengan cara menggunakan penyulingan uap (Guenther, 2006).

Ditinjau dari sumber alami minyak atsiri, substansi mudah menguap ini dapat

dijadikan sebagai ciri khas dari suatu jenis tumbuhan karena setiap tumbuhan

menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang berbeda. Dengan kata lain, setiap

jenis tumbuhan menghasilkan minyak atsiri yang spesifik. Memang ada beberapa

minyak atsiri yang memiliki aroma yang mirip, tetapi tidak persis sama, dan sangat

tergantung pada komponen kimia penyusun minyak tersebut (Agusta, 2000).

Istilah essensial dipakai pada minyak atsiri karena minyak atsiri mewakili dari

bau tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni tanpa pencemaran, minyak

atsiri umumnya tidak berwarna. Namun pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat

teroksidasi dan membentuk resin serta warnanya berubah menjadi lebih tua (gelap).

Untuk mencegah supaya tidak berubah warna, minyak atsiri harus terlindungi dari

pengaruh cahaya, misalnya disimpan dalam bejana gelas yang gelap. Bejana tersebut

(3)

dengan oksigen udara, ditutup rapat serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk

(Gunawan dan Mulyani, 2004).

Minyak yang terdapat di alam terbagi menjadi 3 golongan yaitu minyak

mineral (mineral oil), minyak nabati dan hewani yang dapat dimakan (edible fat) dan

minyak atsiri (essential oil). Dalam tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi,

yaitu:

1. membuat proses penyerbukan dengan menarik jenis serangga atau hewan,

2. mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan dan

3. sebagai cadangan makanan dalam tanaman.

Minyak atsiri dalam industri digunakan untuk pembuatan kosmetik, parfum,

antiseptik, obat-obatan “flavoring agent”dalam bahan pangan atau minuman dan

sebagai pencampur rokok kretek (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri dihasilkan dari bagian jaringan tanaman tertentu seperti akar,

batang, kulit, daun, bunga, buah, biji. Sifat minyak atsiri yang menonjol antara lain

mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan

aroma tanaman yang menghasilkannya, dan umumnya larut dalam pelarut organik.

Istilah yang digunakan untuk menyebut minyak atisri misalnya dalam bahasa inggris

disebut essential oil, ethereal oils dan volatile oil (Lutony, 1994)

2.2.1. Komposisi Minyak Atsiri

Pada umumnya variasi komposisi minyak atsiri disebabkan oleh perbedaan jenis

tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode

ekstraksi yang dipergunakan dan cara penyimpanan minyak (Ketaren, 1985).

Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia

yang terbentuk dari unsur carbon (C) , hidrogen (H), oksigen (O) serta beberapa

persenyawaan kimia yang mengandung unsur nitrogen (N) dan belerang (S). Pada

umumnya komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi 2 golongan yaitu :

1. Golongan hidrokarbon

Persenyawaan yang termasuk golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur hidrogen (H)

(4)

diterpen (4 unit isoprene) dan politerpen serta paraffin, olefin dan hidrokarbon

aromatik.

2. Oxygenated hydrocarbon

Komposisi kimia dari golangan persenyawaan ini termasuk dari unsur carbon (C),

hidrogen (H) dan oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini

adalah persenyawaan alkohol, aldehid, keton, dalam ester dan eter. Ikatan atom

karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan jenuh dan ikatam

tidak jenuh umumnya tersusun dari terpen. Komponen lainnya terdiri dari

persenyawaan fenol, asam organik yang terikat dalam bentuk ester misalnya

lakton,kumarin dan turunan furan misalnya quinines.

Pada umumnya sebagian besar minyak atsiri terdiri dari campuran

persenyawaan golongan hidrokarbon dan oxygenated hidrocarbon. Disamping itu

minyak atsiri mengandung resin dan lilin dalam jumlah kecil yang merupakan

komponen tidak dapat menguap (Ketaren, 1985).

2.2.2. Biosintesis Minyak Atsiri

Berdasarkan proses biosintesisnya atau pembentukan komponen minyak atsiri di

dalam tumbuhan, minyak atsiri dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan

pertama adalah turunan terpena yang terbentuk dari asam asetat melalui jalur

biosintesis asam mevalonat. Golongan kedua adalah senyawa aromatik yang terbentuk

dari biosintesis asam sikimat melalui jalur fenil propanoid (Agusta, 2000). Mekanisme

dari tahap-tahap reaksi biosintesis terpenoid yaitu asam asetat yang telah diaktifkan

oleh koenzim A melalui kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat.

Senyawa yang dihasilkan ini dengan koenzim A melakukan kondensasi sejenis aldol

menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevalonat.

Reaksi-reaksi berikutnya ialah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi

menghasilkan IPP (Isopentenil Pirofosfat) yang selanjutnya berisomerisasi menjadi

DMAPP (Dimetilalil Pirofosfat) oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isoprene aktif

bergabung secara kepala ke ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan

langkah pertama dari polimerisasi isopren untuk menghasilkan terpenoid.

Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan rangkap IPP terhadap

(5)

pirofosfat. Serangan ini menghasilkan geranil pirofosfat (GPP) yakni senyawa antara

bagi semua senyawa monoterpen.

Sintesa terpenoid sangat sederhana sifatnya. Ditinjau dari segi teori reaksi

organik sintesa ini hanya menggunakan beberapa jenis reaksi dasar. Reaksi-reaksi

selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP, dan GGPP untuk menghasilkan senyawa

-senyawa terpenoid satu per satu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi sekunder

pula. Reaksi –reaksi sekunder ini lazimnya addalah hidrolisa, siklisasi, oksidasi,

reduksi, dan reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam

suasana netral dan pada suhu kamar, seperti isomerisasi, dehidrasi, dekarboksilasi, dan

sebagainya. Berikut ini adalah reaksi biosintesa terpenoid dapat dilihat pada gambar

2.2.

CH3-C-SCoA

Asetil koenzim A Asetoasetil koenzim A

+ CH3-C-SCoA

O

CH3-C-SCoA

O O O O

(6)

OH O

CH3-C-CH2-C-SCOA

CH2-C-SCoA

O

H

OH O

CH3-C-CH2-C-OH

CH2-CH2-OH

Asam Mevaloat

CH3-CH-CH2-C OPP

CH2-CH2-OH

- OPP - CO2

O -O

CH3

CH3-C

CH2 H

CH-CH2-OPP

Dimetilalil pirofosfat (DMAPP) Isopentenil pirofosfat (IPP) CH3-C=CH-CH2-OPP

OPP H OPP DMAPP IPP + OPP Monoterpen H OPP OPP Seskuiterpen Geranil pirofosfat Farnesil pirofosfat OPP H 2X Triterpen OPP Diterpen 2x tetraterpen Geranil-geranil pirofosfat

Gambar 2.2. Biosintesisa Terpenoid (Achmad, 1986)

Untuk menjelaskan hal diatas dapat diambil beberapa contoh monoterpen. Dari

segi biogenetik, perubahan geraniol, nerol, dan linalool dari satu menjadi yang lain

berlangsung sebagai akibat reaksi isomerisasi. Ketiga alkohol ini, yang berasal dari

(7)

misalnya dehidrasi menghasilkan mirsena, oksidasi menjadi sitral dan oksidasi reduksi

menghasilkan sitronelal.

Berikut ini contoh perubahan senyawa monoterpen

CH2OH

Geraniol (trans)

OH

-H2o

Mirsen

CHO

Sitronelal

H , O

Linalool

CH2OH

Nerol (cis)

O

CHO

Sitral

Gambar 2.3. Perubahan senyawa monoterpen (Achmad, 1986).

Senyawa-senyawa seskuiterpen diturunkan dari cis-farsenil pirofosfat dan

trans-farsenil pirofosfat melalui reaksi siklisasi dan reaksi sekunder lainnya. Kedua

isomer farsenil pirofosfat ini dihasilkan in vivo melalui mekanisme yang sama seperti

isomerisasi antara geraniol dan nerol.

(8)

OH

Farnesol

OPP Trans-Farnesil pirofosfat

CH2 +

+

OPP

cis-Farnesil pirofosfat

CH2

+

+

-H+

-H+

Humulen

Bisabolen

Gambar 2.4 Reaksi biogenesis beberapa seskuiterpena (Achmad, 1986).

2.2.3. Metode Isolasi

Destilasi dapat didefinisikan sebagai cara penguapan dari suatu zat dengan perantara

uap air dengan proses pengembunnan berdasarkan perbedaan titik didihnya. Destilasi

merupakan metode yang paling berfungsi untuk menghasilkan dua zat yang berbeda,

tetapi tergantung beberapa faktor, termasuk juga perbedaan tekanan uap air (bekaitan

dengan perbedaan titik didihnya) dari komponen-komponen tersebut. Destilasi

melepas uap air pada sebuah zat yang tercampur kaya dengan komponen yang mudah

(9)

Dalam tanaman Minyak Atsiri, terdapat dalam kelenjar minyak atau pada bulu

- bulu kelenjar. Minyak Atsiri hanya akan keluar setelah uap menerobos jaringan -

jaringan tanaman yang terdapat dalam permukaan Proses difusi berlangsung sangat

lambat, maka untuk mempercepat proses difusi sebelum melakukan penyulingan

terlebih dahulu bahan tanaman harus diperkecil dengan cara dipotong - potong atau

digerus. Pemotongan atau penggerusan merupakan upaya untuk mengurangi ketebalan

bahan hingga difusi terjadi. Peningkatan difusi akan mempercepat penguapan dan

penyulingan minyak atsiri. Peristiwa terpenting yang terjadi dalam proses penyulingan

dengan metode hidrodestilasi ini adalah terjadinya difusi minyak atsiri dan air panas

melalui membran bahan yang disuling, terjadinya hidrolisa terhadap beberapa

komponen minyak atsiri dan terjadinya dekomposisi yang disebabkan oleh panas

(Guenther, 1987).

Beberapa jenis bahan tanaman sumber minyak atsiri perlu dirajang terlebih

dahulu sebelum disuling. Hal ini untuk memudahkan proses penguapan minyak yang

terdapat didalamnya karena perajangan ini menyebabkan kelenjar minyak dapat

terbuka selebar mungkin. Tujuan lainnya agar minyak menjadi lebih tinggi dan waktu

penyulingan lebih singkat (Lutony, 1994).

Adapun metode-metode penyulingan minyak atsiri dapat dibagi menjadi :

1. Penyulingan dengan air

Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak langsung

dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung diatas air atau terendam secara

sempurna, tergantung berat jenis dan bahan yang disuling. Ciri khas model ini yaitu

adanya kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Oleh karena itu sering disebut

penyulingan langsung. Penyulingan dengan cara langsung ini dapat menyebabkan

banyaknya mutu minyak yang hilang (tidak tersuling) dan terjadi pula penurunan

mutu minyak yang diperoleh.

2. Penyulingan dengan uap

Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung. Pada

prinsipnya, model ini sama dengan penyulingan langsung. Hanya saja air penghasil

uap tidak diisikan bersama-sama dalam ketel penyulingan. Uap yang digunakan

(10)

Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan diatas rak

-rak atau saringan berlubang. Kemudian ketel penyulingan diisi dengan air sampai

permukaan tidak jauh dari bagian bawah saringan. Ciri khas model ini yaitu uap selalu

dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu panas. Bahkan tanaman yang disuling

hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas (Lutony, 1994).

Sistem penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari

biji-bijian,akar dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang

bertitik didih tinggi dan tidak baik dilakukan terhadap bahan yang mengandung

minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dan air (Ketaren, 1985).

2.3. Analisis Komponen Kimia Minyak atsiri dengan GC-MS

GS-MS merupakan metode pemisahan senyawa organik yang menggunakan dua

metode analisa senyawa yaitu Kromatografi gas (GC) untuk menganalisis jumlah

senyawa secara kuantitatif dan Spektrometri massa (MS) untuk mengetahui massa

molekul relatif dan pola frakmentasi senyawa yang dianalisis (Pavia at al, 2001).

Analisa komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit karena

minyak atsiri mengandung campuran senyawa dan sifatnya yang mudah menguap

pada suhu kamar. Setelah ditemukan Kromatografi Gas (GC), kendala dalam analisis

komponen minyak atsiri mulai dapat diatasi. Pada penggunaan GC, efek penguapan

dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan teknologi

instrumentasi yang pesat akhirnya dapat menghasilkan suatu alat yang merupakan

gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi saling

melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometer massa.

Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai campuran komponen dalam

sampel sedangkan spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing

komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Agusta, 2000).

2.3.1. Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan teknik instrumental yang dikenalkan pertama kali pada

tahun 1950-an. Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan

(11)

gas anorganik dalam suatu campuran (Rohman, 2009). Dalam kromatografi gas, fase

bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai

dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan

titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya

(Khopkar, 2003).

Dalam teknik kromatografi, semua pemisahan tergantung pada gerakan relatif

dari masing-masing komponen diantara fase tersebut. Senyawa atau komponen yang

tertahan (terhambat) lebih lemah oleh fase diam akan bergerak lebih cepat dari pada

komponen yang tertahan lebih kuat. Perbedaan gerakan antara komponen yang satu

dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan

atau penguapan diantara kedua fase. Jika perbedaan-perbedaan ini cukup besar, maka

akan terjadi pemisahan secara sempurna (Yazid, 2005). Instrumentasi dari alat GC

antara lain :

1. Gas pembawa

Gas pembawa yang paling sering dipakai adalah helium (He), argon (Ar), nitrogen

(N2), hidrogen (H2), dan karbondioksida (CO2). Keuntungannya adalah karena semua

gas ini tidak reaktif dan dapat dibeli dalam keadaaan murni dan kering yang dikemas

dalam tangki tekanan tinggi. Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang

dipakai. Gas pembawa harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain harus inert

(tidak bereaksi dengan sampel, pelarut sampel, material dalam kolom), murni dan

mudah diperoleh (Agusta, 2000).

2. Sistem injeksi

Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan efisien. Pada

dasarnya, ada 4 jenis injektor pada kromatografi gas, yaitu :

a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan

menguap dalam injektor yang panas dan 100% sampel masuk menuju kolom.

b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan diuapkan

dalam injektor yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.

c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua sampel

diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom karena katup

(12)

d. Injeksi langsung ke kolom (on column injecton), yang mana ujung sempit

dimasukkan langsung ke dalam kolom (Rohman, 2009).

3. Kolom

Kolom merupakan tempat terjadinya pemisahan karena di dalamnya terdapat fase

diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada kromatografi gas.

Ada 3 jenis kolom pada kromatografi gas yaitu kolom kemas (pecking column), kolom

kapiler (capillary column) dan kolom preparatif (preparative column) (Roman, 2009).

Pipa kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat, alumunium, dan kaca yang

berbentuk lurus, lengkung atau melingkar (Mcnair dan Bonelli, 1998).

4. Fase Diam

Fase diam disapukan pada permukaan dalam medium, seperti tanah diatom dalam

kolom atau dilapiskan pada dinding kapiler. Berdasarkan bentuk fisiknya, fase diam

umum digunakan pada kolom adalah fase diam padat dan fase diam cair. Berdasarkan

sifatnya fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar,

setengah polar (semi polar) dan sangat polar. Berdasarkan sifat minyak atsiri yang non

polar sampai sedikit polar, untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan kolom

dalam fase diam bersifat sedikit polar. Jika dalam analisis minyak atsiri digunakan

kolom yang lebih polar, sejumlah puncak yang dihasilkan menjadi lebar (lebih tajam)

dan sebagai puncak tersebut juga membentuk ekor. Begitu juga dengan garis dasarnya

tidak rata dan terlihat bergelombang. Bahkan kemungkinan besar komponen yang

bersifat tidak akan terdeteksi sama sekali (Agusta, 2000).

5. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan hasil analisis kromatografi

gas dan spektrometri massa. Umumnya yang sangat menentukan adalah pengaturan

suhu injektor dan kolom. Kondisi analisis yang cocok sangat bergantung pada

(13)

6. Detektor

Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar fase

gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada

kromatografi gas adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas

pembawa dan komponen-komponen didalamnya menjadi sinyal elektroinik. Sinyal

elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis kuatitatif terhadap

komponen-komponen yang terpisah diantara fase diam dan fase gerak (Roman, 2009).

2.3.2. Spektroskopi Massa

Pengunaan kromatografi gas dapat dipadukan dengan spektroskopi massa. Paduan

keduanya dapat menghasilkan data lebih akurat dalam mengidentifikasi senyawa yang

dilengkapi dengan struktur molekulnya (Pavia, 2006).

Spektroskopi massa mampu menghasilkan berkas ion dari suatu zat uji,

memilah ion tersebut menjadi spektrum yang sesuai dengan perbandingan massa

terhadap muatan dan merekam kelimpahan relatif tiap jenis ion yang ada (Pavia at al,

2001). Dalam alat spektroskopi massa sampel dimasukkan, diuapkan dan diumpankan

dalam suatu aliran yang berkesinambungan kedalam kamar pengionan. Kamar

pengionan (serta instrumentasi keseluruhan) dijaga agar tetap dalam keadaan vakum

untuk meminimalkan tabrakan dan reaksi antara radikal, molekul udara dan lain-lain.

Didalam kamar ini, sampel melewati suatu aliran elektron berenergi tinggi, yang

menyebabkan ionisasi beberapa molekul sampel menjadi ion-ion molekul. Setelah

terbentuk, semua ion molekul dapat mengalami fragmentasi dan penataan ulang.

Proses-proses ini berjalan sangat cepat. Partikel yang berumur panjang dapat dideteksi

oleh pengumpul ion dan hanya produk-produk fragmentasinya yang menunjukkan

peak (Fessenden,1986).

Setelah radikal-radikal ion dan partikel-partikel lain itu terbentuk, mereka

diumpankan melewati dua elektroda, lempeng percepatan ion, yang mempercepat

partikel bermuatan positif. Dari lempeng percepatan, partikel bermuatan positif

menuju ke tabung analisator, dimana partikel-partikel ini dibelokkan oleh medan

magnet sehingga lintasannya melengkung.

(14)

partikel. Pada kuat medan dan voltase yang sama, partikel dengan m/e tinggi akan

memiliki jari-jari yang lebih besar, sedangkan yang m/e nya rendah akan mempunyai

jari-jari yang lebih kecil.

Gambar 2.5. Diagram sebuah spektrometer massa

Arus uap dari pembocor molekul masuk kedalam kamar pengionan ditembak

pada kedudukan tegak lurus oleh berkas elektron yang dipancarkan dari filament

panas. Satu dari proses yang disebabkan oleh tabrakan tersebut adalah ionisasi dari

molekul yang berupa uap dengan kehilangan satu elektron dan terbebtuk ion molekul

bermuatan positif. Karena molekul senyawa organik mempunyai elektron berjumlah

genap maka proses pelepasan satu elektron menghasilkan ion radikal yang

mengandung satu elektron tidak berpasangan.

+

- 2e M

M

+e

Proses lain, molekul yang berupa uap tersebut menangkap sebuah electron

membentuk ion radikal bermuatan negatif dengan kemungkinan terjadi jauh lebih

kecil dari pada ion radikal bermuatan positif (Sudjadi, 1985).

Spektrometer massa pada umumnya digunakan untuk :

1. Menentukan massa suatu molekul

2. Menentukan rumus molekul dengan menggunakan Spektrum Massa Beresulusi

Tinggi (High Resolution Mass Spectra )

(15)

Ketika uap suatu senyawa dilewatkan dalam ruang ionisasi spektrometer

massa, maka zat ini dibombardir atau ditembak dengan elektron. Elektron ini

mempunyai energi yang cukup untuk melemparkan elektron dalam senyawa sehingga

akan memberikan ion positif, ion ini disebut dengan ion molekul (M+). Ion molekul

cenderung tidak stabil dan terpecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil.

Frgamen-fragmen ini yang akan menghasilkan diagram batang (Dachriyanus, 2004).

Spektrometer mampu menganalisa cuplikan yang jumlahnya sangat kecil dan

menghasilkan data yang berguna mengenai struktur dan identitas senyawa organik.

Jika efluen dari kromatografi gas diarahkan ke spektrometer massa, maka informasi

mengenai struktur untuk masing-masing puncak pada kromatogram dapat diperoleh,

karena laju aliran yang rendah dan ukuran cuplikan yang kecil, cara ini paling mudah

diterapkan pada kolom kromatografi gas dan terkromatografi sehingga semua

komponennya terpisah. Spektrum massa diukur secara otomatis pada selang waktu

tertentu atau pada maksimum atau tengah-tengah puncak ketika keluar dari kolom.

Kemudian data disimpan didalam komputer, dan dari padanya dapat diperoleh hasil

kromatogram disertai integrasi semua puncak. Disamping itu, kita dapat memperoleh

spektrum massa masing-masing komponen. Spektrum ini dapat dipakai pada

identifikasi senyawa yang pernah diketahui dan sebagai sumber informasi struktur dan

bobot molekul senyawa baru (Gritter, 1991).

2.4. Antioksidan

2.4.1. Pengertian Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan.

Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu mengaktivasi

berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

Antioksidan dapat diperoleh,

1. Dari luar tubuh (eksogen) dengan cara melalui makanan dan miuman yang

(16)

2. Dari dalam tubuh (endogen) yakni dengan enzim superoksida dismutasi (SOD),

gluthatione, perxidasi dan katalase yang diperoduksi oleh tunuh sebagai

antioksidan ( Kosasih, 2004)

Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah

berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan

antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang

belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami alternatif

yang sangat dibutuhkan (Sunarni, 2005).

Senyawa antioksidan memengang peranan penting dalam pertahanan tubuh

terhadap perubahan buruk yang disebabkan radikal bebas. Radikal bebas diketahui

dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan penuaan, disebabkan oleh

kerusakan jaringan karena oksidasi.

Radikal bebas adalah merupakan atom atau gugus atom apa saja yang

memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Karena jumlah elektron ganjil,

maka tidak semua elektron dapat berpasangan sehingga bersifat sangat reaktif. Jika

jumlahnya sedikit, radikal bebas dapat dinetralkan oleh sistem enzimatik tubuh,

namun jika berlebih akan memicu efek patologis Radikal bebas merupakan

merupakan agen pengoksidasi kuat yang dapat merusak sistem pertahanan tubuh

dengan akibat kerusakan sel dan penuaan dini karena elektron yang tidak berpasangan

selalu mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi, Protein lipida dan

DNA dari sel manusia yang sehat lah merupakan sumber pasangan elektron yang baik

(Kosasih, 2004).

2.4.2. Pengolongan Antioksidan

Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan diklasifikasikan dalam tiga tipe

antioksidan, yaitu :

1. Primary Antioksidan

Termasuk:

SOD (Superoxide Dismutase) GPX (Glutathion Perokxide)

(17)

Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas

yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas

ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai

pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena

radikal bebas.

2. Secondary Antioksidants

Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi

berantai. Contoh: antioksidan sekunder: vitamin E, vitamin C, betakaroten, asam urat,

bilirubin dan albumin.

3. Tertiary Antioksidants

Antioksidan jenis ini memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan

radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah mentionin

sulfoksidan reduktase. Adanya enzim-enzim perbaikan DNA ini berguna untuk

mencegah penyakit misalnya kanker (Kosasih, 2004).

Komponen fenolik merupakan kelompok molekul yang besar dan beragam,

yang terdiri dari golongan aromatik pada metabolit sekunder tumbuh-tumbuhan.

Fenolik dapat diklasifikasikan ke dalam komponen yang tidak larut seperti lignin dan

komponen yang larut seperti asam fenolik, phenylpropanoids, flavonoid dan kuinon.

Setiap tumbuh-tumbuhan memiliki struktur komponen fenolik yang berbeda. Ada

komponen fenolik yang memliki gugus –OH banyak dan ada pula komponen fenolik

yang memiliki gugus –OH yang sedikit. Gugus –OH berperan dalam proses transfer

elektron untuk menstabilkan dan meredam radikal bebas (Harborne dan Williams

2000).

2.4.3. Metode Pengukuran Aktivitas Antioksidan

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan tiga metode yaitu ;

1. Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazil)

Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu

metode pengukan yang sering digunakan adalah metode DPPH. DPPH adalah

(2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazil) yang merupakan suatu radikal bebas yang stabil karena

(18)

lainnya. Delokalisasi juga memberi efek warna ungu yang dalam panjang gelombang

515 nm dalam pelarut etanol (Hirota et al, 2003). Zat ini berperan sebagai penangkap

elektron atau penengkap radikal hidrogen bebas. Hasilnya adalah molekul yang

bersifat stabil. Jika suatu senyawa antioksidan direaksikan dengan zat ini maka

senyawa antioksidan tersebut akan menetralkan radikal bebas dari DPPH (Bintang,

2002). Berikut ini dapat dilihat resonansi DPPH dan reaksi DPPH dengan atom H

netral yang berasal dari senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan :

N N NO2 +

O2N

O2N

N N NO2

O2N

O2N

H

N N NO2

O2N

O2N

-Gambar 2.6. Struktur kestabilan radikal bebas DPPH (Ionita, 2003)

N

NO2

NO2

+RH

N

NO2 N

NO2 H

DPPH DPPH-H

N

+ R

O2N O2N

Gambar 2.7 Mekanisme Penghambatan Radikal DPPH

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH dengan

ekstrak antioksidan selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan ungu yang lebih

pudar kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang 515 nm. Aktivitas

antioksidan diperoleh dari nilai absorbansi yang selanjutnya akan digunakan untuk

menghitung persentase inhibis 50% (IC50) yang menyatakan konsentrasi senyawa

antioksidan yang menyebabkan 50% dari DPPH kehilangan karakter radikal bebasnya.

Semakin tinggi kadar senyawa antioksidan dalam sampel maka akan semakin rendah

(19)

Ketika larutan DPPH dicampurkan dengan bahan yang dapat memberi sebuah atom

hidrogen, molekul DPPH akan tereduksi sehingga intensitas warna ungu akan

berkurang (Molyneux, 2004)

2. Metode FRAP (Ferric Reducting Antioxidant Power)

Metode FRAP (Benzie & Stain, 1996) mengunakan Fe (TPTZ)23+ kompleks

besi-ligan 2,4,6-tripiridil-triazin sebagai pereaksi. Kompleks biru Fe (TPTZ)23+ akan

berfungsi sebagai zat pengoksidasi dan akan mengalami reduksi menjadi Fe (TPTZ)22+

yang berwarna kuning dengan reaksi sebagai berikut :

Fe (TPTZ)23+ + AROH Fe (TPTZ)22+ + H+ + AR = O

3. Metode Cuprac ( Cupric Ion Reducting Antioxidant Capacity)

Metode Cuprac (Apak et al, 2007) menggunakan bis (neokuproin) tembaga (II)

Cu(Nc)22+ sebagai pereaksi kromogenik. Pereaksi Cu(Nc)22+ yang berwarna kuning

dengan reaksi :

Gambar

Gambar 2.1. Tumbuhan Jeruk Telur Buaya (Citrus medica L)
Gambar 2.2. Biosintesisa Terpenoid (Achmad, 1986)
Gambar 2.3. Perubahan senyawa monoterpen (Achmad, 1986).
Gambar 2.4 Reaksi biogenesis beberapa seskuiterpena (Achmad, 1986).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan meliputi karakterisasi simplisia, isolasi minyak atsiri dengan cara destilasi air dan analisis komponen minyak atsiri secara Gas

Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus dimana karena berkat dan rahmatNya, penulis dapat melakukan segala hal, sehingga penulis juga dapat

Hasil karakterisasi simplisia kulit buah jeruk bali diperoleh kadar air 8,65%; kadar sari yang larut dalam air 16,22%; kadar sari yang larut dalam etanol 12,87%; kadar abu

Pada kromatogram tersebut terdapat 22 komponen senyawa kimia pada minyak atsiri kulit buah jeruk cakar harimau dimana senyawa-senyawa tersebut diinterpretasi secara

air dapat lebih mudah menarik minyak atsiri dari sel tumbuhan.. Air dan uap

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia kulit buah jeruk kasturi diperoleh kadar air 7,99%; kadar sari yang larut dalam air 21,76%; kadar sari yang larut dalam etanol 12,82%;

Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus dimana karena berkat dan rahmatNya, penulis dapat melakukan segala hal, sehingga penulis juga dapat

Pada metode ini, bahan yang akan disuling atau didestilasi dengan tujuan mengambil minyak atsiri akan kontak langsung dengan air mendidih. Bahan yang didestilasi, akan