• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOVITA PUJI HANDAYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NOVITA PUJI HANDAYANI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN

UMUR PENYAPIHAN, PRAKTEK PEMBERIAN MAKANAN

PENDAMPING ASI DAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN

SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI

NOVITA PUJI HANDAYANI

D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y AR AK A T

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

ABSTRACT

NOVITA PUJI HANDAYANI. The Association between Family Characteristics with Weaning Practices, Infant Feeding Practices and Nutritional Status of Children in Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Supervised by ALI KHOMSAN.

The purpose of this study was to identify the characteristic of family and the association between mother and family characteristics, with weaning practices, infant feeding practices and nutritional status of children. The study design was a cross sectional study. Total sampel of the study were 58 children. Almost all children were born with enough birthweight and they had been given a feeding food when the age of them less than 6 month. The reason of their mothers giave them feeding food in ealier age are to make their babies calm. Almost all mother started to wean their children when their children become in 24 months. They did that because they think their children was already became a kid. The analysis by Spearman association between mother and family characteristic with weaning practices showed no significant association (p>0.05). The analysis between mother and family characteristic with nutritional status (W/A) showed significant association (p<0.05), but there is no significant association (p>0.05) between mother and family characteristic with nutritional status (H/A) and (W/A). The analysis between weaning practices and nutritional status showed no significant association (p>0.05).

(3)

RINGKASAN

NOVITA PUJI HANDAYANI. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan, Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh Ali Khomsan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan tambahan dan status gizi balita. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui karakteristik keluarga(pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga); (2) Mengetahui umur penyapihan dan praktek pemberian makanan tambahan pada balita ; (3) Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB ; (4) Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal balita ; (5) Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita ; (6) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita ; (7) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita. Penelitian ini didesain dengan metode cross-sectional study. Penelitian ini dilakukan di RW 03 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Agustus 2012. Contoh dalam penelitian ini adalah 58 anak balita berusia 24-60 bulan. Contoh merupakan populasi dari seluruh balita yang ada di wilayah kerja posyandu Anggrek, yang kemudian disaring kembali menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian.

Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamat SD/sederajat (48.3%). Sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (70.7%). Berdasarkan garis kemiskinan Propinsi Jawa Barat tahun 2012 maka pada keluarga balita diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak 39.7% dan sebagian besar lainnya tergolong dalam keluarga tidak miskin (60.3%). Sebagian besar (79.3%) keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang.

Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-36 bulan, 37-48 bulan, dan 49-60 bulan. Sebagian besar anak balita berada pada rentang usia 25-36 bulan dan 37-48 bulan dengan persentase masing-masing sebesar 53.4% dan 20.7% serta sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan persentase 67.2%. Sebelum bayi berusia 4 bulan dan 6 bulan anak diberikan ASI saja dengan persentase ,masing-masing sebesar 53.4% dan 51.7%. Pada saat dilakukan penelitian sebagian besar anak sudah tidak diberikan ASI lagi (67.2%). Penyapihan pada balita rata-rata dilakukan saat anak berada pada rentang usia 13-24 tahun dengan persentase sebesar 65.8%. Alasan ibu melakukan penyapihan kepada anaknya adalah karena anak sudah besar (55%). Usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai diberikan ibu saat anak masih berusia 2 bulan (34.5%) dan yang diberikan pertama kali sebagian besar adalah bubur susu (60.3%). Saat ini anak diberikan makanan utama sebanyak 3 kali dalam sehari (55.2%) dan sudah mengkonsumsi makanan keluarga (94.8%). Pemberian makanan selingan sebanyak 60.3% ibu memberikan selingan kepada anaknya sebanyak 2 kali. Jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi oleh anak dalam seharinya adalah chiki dengan frekuensi sebanyak 4.5 kali perharinya. Frekuensi pangan sumber protein yang paling banyak dikonsumsi setiap harinya adalah tempe dengan frekuensi sebanyak 1.64 kali perharinya.

(4)

Pola pemberian MP-ASI balita pada penelitian ini sebagian besar tergolong tidak baik dengan persentase sebanyak 53.4%.Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak tergolong kategori gizi baik dengan persentase sebesar 89.7%. Berdasarkan indeks TB/U sebanyak 55.2% anak balita tergolong dalam kategori normal. Indeks BB/TB sebanyak 77.6% anak balita tergolong dalam kategori normal

.

Berdasarkan praktek higiene dan kebersihan diri, sebanyak 77.6% balita memotong kukunya 1 kali dalam seminggu, mandi 2 kali dalam sehari (91.4%) dan hampir seluruh balita mandi menggunakan sabun mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi balita sebagian besar balita menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tempat buang besar balita sebagian besar di WC dengan persentase sebessar 84.5%. Berdasarkan praktek higiene, sebagian besar ibu balita mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar (98.3%), 77.6% ibu mencuci tangan sebelum makan, 56.9% mencuci tangan sebelum menyuapi anak. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak hanya sebesar 32.8% ibu yang melakukannya. Penggunaan air dalam wadah dan sabun untuk mencuci tangan dilakukan ibu untuk mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar dan sebelum makan dengan persentase masing-masing sebesar 70.7% dan 46.6%. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyuapi anak 43.1% ibu hanya menggunakan air saja tanpa sabun. Kejadian sesak nafas pada balita sebagian besar balita tidak mengalami sesak nafas (72.4%). Kejadian diare saat penelitian dan dalam satu bulan terakhir sebagian besar balita juga tidak mengalami diare dengan persentase masing-masing sebesar 91.4% dan 79.3%. Kehadiran ibu balita diposyandu masih tergolong dalam kategori rendah (41.4%). Kehadiran selama 6 bulan terakhir juga masih tergolong dalam kategori rendah (58.6%). Alasan ibu balita tidak hadir adalah malas dengan persentase sebesar 36.2%.

Hasil uji Korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (pendidikan) dengan umur penyapihan balita (p>0.05), sedangkan untuk karakteristik keluarga (pekerjaan) terdapat hubungan yang signifikan dengan umur penyapihan balita (p<0.05). Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita juga tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan status gizi balita menunjukkan hasil yang signifikan dan positif pada pekerjaan ibu dengan status gizi BB/U (p<0.05), dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi BB/U. Sementara itu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga dengan status gizi TB/U dan BB/TB (p>0.05). Hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur penyapihan dengan status gizi baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Antara kejadian infeksi dengan status gizi balita baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB terdapat hubungan yng signifikan antara keduanya.

(5)

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN

UMUR PENYAPIHAN, PRAKTEK PEMBERIAN MAKANAN

PENDAMPING ASI DAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN

SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI

NOVITA PUJI HANDAYANI

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat

D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y AR AK A T

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

Nama : Novita Puji Handayani

NIM : I14104001

Menyetujui :

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS

NIP. 19600202 198403 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang yang berjudul “Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan , Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi”. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan kesempatan, motivasi, bimbingan, dan arahan sejak awal hingga akhir penyelesaian skripsi.

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan sejak masa awal perkuliahan.

3. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku Dosen Pemandu Seminar atas segala masukan yang telah diberikan.

4. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku Dosen Penguji Sidang atas segala masukan yang diberikan.

5. Kedua orangtua, adik serta tante yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh kasih sayang.

6. Sahabat J’co : Hanum, Intan dan Soffi yang selalu memberikan semangat serta motivasi baik susah maupun senang.

7. Teman-teman seperjuangan Alih Jenis Gizi Masyarakat angkatan 4 tahun 2010.

8. Berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak sempat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan keterbatasan yang terdapat dalam skripsi .

Bogor, September 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan tanggal 15 November 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan orang tua Bapak Eko Handoyo Winarto dan Ibu Sutijah. Pada Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar SD Negeri Ciracas 03 Pagi Jakarta Timur dan melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SMP N 9 Jakarta Timur hingga tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke SMA N 58 Jakarta Timur dan tamat di tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta II angkatan 2007, kemudian lulus pendidikan pada tahun 2010. Selama masa studi penulis melaksanakan Internship di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Penulis juga melaksanakan program MIG (Manajemen Intervensi Gizi) di desa Tieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Tahun 2010 penulis mendaftar sebagai mahasiswa program Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Hipotesis Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5 KERANGKA PEMIKIRAN ... 6

Bagan Kerangka Pemikiran ... 8

TINJAUAN PUSTAKA Makanan Bayi ... 9

Air Susu Ibu (ASI) ... 10

Makanan Tambahan ... 10

Penyapihan ... 11

Pemberian MP ASI ... 12

Jenis dan Pola Pemberian MP ASI ... 13

Karakteristik keluarga ... 15

Status Gizi ... 17

Infeksi ... 19

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Jumlah dan Cara Penngambilan Sampel ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21

Pengolahan dan Analisis Data ... 23

Definisi Operasional ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 26

Karakteristik keluarga ... 27

Umur ibu ... 27

Pekerjaan ibu ... 28

Pendidikan ibu ... 29

(10)

Pendapatan keluarga ... 31

Karakteristik anak balita ... 31

Usia ... 31

Jenis kelamin ... 32

Berat badan lahir ... 32

Riwayat pemberian ASI dan MP-ASI ... 33

Frekuensi konsumsi pangan sumber protein ... 41

Status gizi balita ... 42

Higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggal ... 47

Kejadian infeksi anak balita ... 47

Keaktifan ibu balita dalam kehadiran di posyandu ... 48

Hubungan Umur Penyapihan Balita dengan Variabel lain... 49

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi Balita ... 51

Hubungan Kejadian Infeksi dengan Status Gizi Balita ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 56

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Pola pemberian makanan pada anak ... 14

Tabel 2 Kategori status gizi pada berbagai ukuran antropometri untuk balita dan anak.. ... 18

Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data... 22

Tabel 4 Sebaran umur ibu ... 28

Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita ... 28

Tabel 6 Sebaran pendidikan ibu balita ... 29

Tabel 7 Sebaran jumlah anggota keluarga ... 30

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasar garis kemiskinan ... 31

Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia... 32

Tabel 10 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin ... 32

Tabel 11 Sebaran berat badan lahir anak balita ... 33

Tabel 12 Sebaran riwayat pemberian ASI ... 34

Tabel 13 Sebaran alasan pemberian selain ASI ... 34

Tabel 14 Sebaran balita berdasar pemberian ASI ... 35

Tabel 15 Sebaran balita berdasar usia penyapihan ... 36

Tabel 16 Sebaran balita berdasar alasan penyapihan ... 36

Tabel 17 Sebaran balita berdasar MP-ASI ... 38

Tabel 18 Sebaran balita berdasar makanan utama ... 39

Tabel 19 Sebaran balita berdasar makanan selingan ... 40

Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein ... 42

Tabel 21 Sebaran status gizi balita ... 44

Tabel 22 Sebaran balita berdasar praktek kebersihan diri ... 45

Tabel 23 Sebaran berdasar tempat BAB dan kepemilikan tempat sampah ... 45

Tabel 24 Sebaran perilaku higiene ... 46

Tabel 25 Sebaran kejadian sakit anak balita dalam satu bulan terakhir ... 47

Tabel 26 Sebaran kejadian diare pada anak balita ... 47

Tabel 27 Sebaran balita berdasarkan keaktifan ibu di posyandu ... 48

Tabel 28 Analisis hubungan umur penyapihan dengan variabel lain ... 49

Tabel 29 Analisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi balita... 51

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kuesioner persetujuan orangtua ... 63 Lampiran 2 Kuesioner penelitian... 64 Lampiran 3 Dokumentasi ... 71

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik tangguh, mental kuat dan kesehatan prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu faktor yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah kekurangan gizi (Atmarita 2004).

Menurut Atmarita (2004), pada saat ini sebagian besar atau 50 % penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita serta rendahnya umur harapan hidup.

Dalam siklus kehidupan manusia, bayi berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat. Bayi yang dilahirkan dengan sehat, pada umur 6 bulan akan mencapai pertumbuhan atau berat badan 2 kali lipat dari berat waktu dilahirkan. Oleh karena itu peralihan ASI kepada makanan tambahan harus dilakukan sesuai dengan kondisi anatomi dan fungsional alat pencernaan bayi (Notoatmodjo 2003).

Status gizi yang kurang baik atau buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pada pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja. Keadaan ini berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya gizi merupakan unsur yang penting bagi pembentukan tubuh manusia yang berkualitas. Pertumbuhan dimulai sejak dalam kandungan sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan pangan dan zat gizi di samping pemenuhan kebutuhan – kebutuhan lainnya. Makanan bayi sangat penting diperhatikan karena mereka merupakan generasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Anak dapat berkembang dengan normal bila pertumbuhannya tidak terganggu.

Salah satu penyebab gangguan pertumbuhan yang penting adalah tidak tepatnya pola penyapihan seperti waktu, jumlah, kualitas dan metode – metode pemberian makanan tambahan pendamping ASI. Kebutuhan gizi secara

(14)

kuantitatif dan kualitatif bagi bayi sangat berbeda dengan kebutuhan bagi anak dan orang dewasa (Launer 1989).

Data kasus kekurangan gizi di Indonesia pada tahun 2010 tidak terjadi penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 2007 ke tahun 2010 yaitu dengan prevalensi sebesar 13 %, sedangkan untuk gizi buruk terjadi penurunan prevalensi dari 18.4 % pada tahun 2007 menjadi 17.9% pada tahun 2010. Prevalensi nasional balita pendek (stunting) tahun 2010 adalah sebesar 35.7 % dan prevalensi nasional balita kurus (wasting) sebesar 13.3 % (Riskesdas 2010).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan indikator BB/U di provinsi Jawa Barat. 3.1 % dan 9.9%. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek berdasarkan indikator TB/U di provinsi Jawa Barat adalah sebesar 16.6 % dan 17.1%, sedangkan prevalensi balita sangat kurus dan kurus berdasarkan indikator BB/TB di provinsi Jawa Barat adalah 4.6 % dan 6.4%.

Dilihat dari kebutuhan gizi, kematangan fisiologis dan keamanan immunologi, pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan adalah tidak perlu dan juga dapat membahayakan karena kemampuan kemampuan pencernaan bayi masih terbatas, dan juga kondisi bayi yang baru lahir masih lemah dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar rahim ibu. Banyak resiko – resiko yang akan terjadi pada anak apabila telah diberikan makanan pelengkap terlalu dini diantaranya adalah meningkatkan terjadinya diare, meningkatkan resiko infeksi dan alergi pada bayi dan obesitas yang berupa efek jangka panjang (Akre 1993). Peneilitian yang dilakukan di Bangladesh, India menujukkan sebanyak 28 responden yang diteliti (48.1%) memberikan ASI kepada anaknya ketika baru lahir sisanya sekitar 28 ibu (51.9%) menyatakan telah memberikan madu, susu sapi, dan air gula sesaat setelah melahirkan bayinya (Kamruzzaman et al. 2009).

Pada tahun 2003 WHO menetapkan bahwa ASI eksklusif yang semula hanya sampai 4 bulan ditingkatkan sampai bayi berusia 6 bulan (Robinson et al.

2007). Berdasarkan SK Menkes No. 450/Menkes/SK/IV/2004 maka Departemen kesehatan mulai pada bulan April 2004 menetapkan pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan bayi mendapatkan MP-ASI pada umur 6 bulan (Depkes 2004). Tarwotjo (1983) dalam Prihartono (1994) menyebutkan bahwa timbulnya masalah kurang gizi pada anak dan bayi diakibatkan oleh 3 faktor utama, yaitu

(15)

penghentian ASI (penyapihan) sementara bayi belum siap menerima makanan pendamping ASI atau tambahan yang terlalu dini yang mengakibatkan kurangnya konsumsi jumlah ASI untuk bayi dan pengenalan makanan pendamping atau tambahan yang terlambat terutama bila produksi ASI sudah tidak seimbang dengan kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr M. Abdus Shalam Khan di Dhaka (2007) menunjukkan bahwa hanya sebanyak 59% ibu di sana yang memiliki pengetahuan yang kurang dalam pola penyapihan anak. Hal ini disebabkan karena status ekonomi keluarga yang rendah sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan dalam pola penyapihan pada anak. Semakin tinggi status ekonomi keluarga maka pengetahuan dalam pola penyapihan anak akan semakin baik dan sebaliknya.

Saat ini di Indonesia ada kecenderungan penurunan penggunaan ASI dan meningkatnya pemberian susu formula pada sebagian besar masyarakat terutama di kota – kota besar. Prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Data SDKI tahun 1986 terdapat 86%, tahun 1991 menjadi 53.8% tahun 1997 tinggal 52% dan tahun 2002 hanya 39.5%. Pada kenyataannya di lapangan pemberian ASI eksklusif atau pemberian hanya ASI tanpa tambahan cairan lain/makanan lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan masih belum sesuai target yang diharapkan. Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, didapati data jumlah pemberian ASI pada bayi di bawah usia dua bulan sebesar 64% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yakni 46% pada bayi usia 2-3 bulan dan 14% pada bayi usia 4-5 bulan, yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Lukman 2007).

Data UNICEF tahun 2006 menyebutkan bahwa kesadaran ibu untuk memberikan ASI di Indonesia baru 14%, itupun diberikan hanya sampai bayi berusia empat bulan. Berdasarkan data tersebut ada kurang lebih 86% ibu yang gagal ASI eksklusif, dengan kata lain ada 86% ibu yang memberi makanan/minuman lain selain ASI kepada bayinya sebelum usia 6 bulan (UNICEF 2007). Kebanyakan ibu balita menyatakan alasan bahwa mereka memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini atau sebelum usia 6 bulan karena anaknya rewel dan menangis ketika melihat orang lain makan, alasan

(16)

lainnya karena ASI tidak keluar sehingga sang ibu merasa sang anak butuh makanan tambahan (Maseta dkk 2008).

Adanya penurunan prevalensi ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sangat disayangkan, hal ini tentu akan menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penyapihan yang terlalu dini dan pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan anak tentunya akan berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya. Kebanyakan ibu yang tinggal di daerah pinggiran kota yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai usia 6 bulan sedangkan ibu- ibu yang tinggal diperkotaan sebagian besar tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya dan telah memberikan makanan pendamping seperti bubur susu, buah dan susu formula ( Batal et al.

2005).

Dari kenyataan tersebut diatas, tampak bahwa keberhasilan pembangunan, kemajuan teknologi dan modernisasi yang terjadi pada masyarakat di Indonesia akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap pola pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan pada balita. Dampak tersebut pastinya akan sangat berpengaruh di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bekasi. Berdasarkan hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melihat secara langsung bagaimana karakteristik keluarga yang mempunyai anak balita tentang umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendaping ASI dan dihubungkan dengan status gizinya.

Tujuan

Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita.

Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik keluarga (pendidikan,pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga).

b. Mengetahui umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI pada balita.

c. Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. d. Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar

(17)

e. Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita. f. Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur

penyapihan balita

g. Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar pemikiran pelaksana program terutama dalam menyusun penyuluhan gizi kepada masyarakat di daerah penelitian. Bagi penulis penelitian ini dapat memberikan suatu pengalaman dan menambah wawasan penulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemberian makanan tambahan dan status gizi balita.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Bayi Air Susu Ibu (ASI)

Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi, selain itu juga mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. Kandungan protein ASI yang lebih rendah dari susu sapi memiliki kualitas yang sangat tinggi karena kandungan asam-asam amino essensial yang dibutuhkan oleh bayi dan sesuai dengan daya cerna usus bayi (Widjaya 2002).

Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung sangat cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan juga akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus merupakan makanan utama pada usia dini (Muchtadi 2002).

ASI dihasilkan oleh setiap ibu setiap ibu setelah melahirkan. Kemampuan produksi ASI sangat dipengaruhi oleh refleks isapan bayi. Refleks isapan bayi akan mencapai puncaknya pada 20 – 30 menit pertama setelah bayi lahir. Volume ASI mencapai 100 ml pada hari kedua setelah melahirkan dan jumlah tersebut akan meningkat sampai kira – kira 500 ml pada minggu kedua (Roesli 2001).

Konsep ASI eksklusif, yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu – ibu. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Di samping itu ada pula ibu – ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Anak Universitas Limpopo di Afrika Selatan (2005) menunjukkan hanya terdapat 4.6 % dari subjek penelitiannya yang benar – benar menerapkan konsep ASI eksklusif sedangkan sisanya adalah sebanyak 88 % bayi diberikan tambahan berupa air putih, 43 % diberikan susu formula dan sebanyak 37 % sudah diberikan makanan tambahan. Definisi yang diberikan oleh WHO pemberian ASI secara predominan memiliki arti pemberian ASI yang didampingi dengan pemberian cairan semacam air putih, jus, teh, suplemen seperti vitamin dan mineral serta obat. Hellen Keller (2002) dalam penelitian yang berbeda menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar

(19)

yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI seperti dukungan yang diberikan keluarga, kondisi sosial lingkungan tempat tinggal, serta persepsi ibu terhadap makanan pendamping ASI. Eckhardt et al. (2001) menyebutkan bahwa perbedaan pola serta lama pemberian ASI akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Penelitian yang dilakukan Griffiths et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI mengalami pertambahan yang sangat cepat dan cenderung kelebihan berat badan.

Makanan Tambahan

Makanan tambahan (MP ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI diberikan mulai umur 6 – 24 bulan dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP ASI (Depkes RI 2004).

Makanan tambahan adalah makanan untuk bayi selain ASI atau susu botol sebagai penambah kekurangan ASI atau susu pengganti (PASI) (Husaini 2001). Pemberian makanan tambahan adalah memberi makanan selain ASI untuk megisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dengan jumlah yang didapat dari ASI (Rosidah 2004).

Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Proses ini membutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflex menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani 2008).

Menurut Murniningsih et al. (2007) manfaat pemberian makanan tambahan pada bayi sebagai berikut :

(20)

a. Melengkapi zat-zat gizi yang kurang, karena kebutuhan bayi yang semakin meningkat.

b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan beragam rasa dan bentuk.

c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.

d. Melakukan penyesuaian terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi. Membantu menanamkan kebiasaan makan yang baik.

Penyapihan

Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya diberi ASI menjadi campuran antara ASI dan makanan yang berbentuk padat. Penyapihan adalah masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selam proses ini dibandingkan dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi (Muchtadi 2002).

Menurut Lewis (2004) menyapih merupakan proses peralihan pemberian makan bayi dari susu ke bubur yang sangat halus, kemudian ke bubur yang lebih kasar, sampai bayi berumur sekitar 12 bulan dan sudah sepenuhnya mampu menyantap makanan keluarga. Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak dilakukan sebelum bayi menginjak usia enam bulan, dan dapat berlangsung sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang – kadang sampai empat tahun. Pada golongan masyarakat lain, hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Penelitian yang dilakukan oleh Mushaphi et al. (2008) menunjukkan hasil hanya sebesar 7.6 % ibu balita yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sedangkan sebanyak 43.2 % telah diberikan makanan padat pada usia tiga bulan dan 15 % sebelum usia dua bulan.

Makanan tambahan diberikan sewaktu bayi masih berumur beberapa minggu. Bila makanan tersebut bernilai gizi rendah dan disiapkan dengan cara yang tidak higienis, seringkali membawa akibat terjadinya infeksi, kurang gizi atau marasmus pada bayi. Pada masyarakat pedesaan umumnya penyapihan jarang dilakukan terhadap bayi sebelum umur satu tahun, bahkan berlangsung sampai umur lebih dari dua tahun, sedangkan pada masyarakat perkotaan terdapat kecenderungan yang jelas bahwa penyapihan anak dilakukan pada umur yang lebih dini, bahkan adapula yang menyapihkan anaknya pada umur

(21)

minggu (Muchtadi 2002). Penelitan yang dilakukan Mushaphi et al. (2008) juga menyebutkan sebanyak 45 % ibu bayi mengatakan bahwa mereka memberikan makanan padat kepada bayinya karena mendapat saran dari kerabat atau teman, 35 % karena merasa bayinya lapar dan 3.5 % lainnya karena bayinya susah tidur.

Pemberian MP – ASI

Pemberian MP ASI pertama kali diberikan kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran antara ASI dengan makanan lain yang berbentuk padat (Muchtadi 2002).

Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat umur 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak, kejadian infeksi meningkat, dan ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali (Ariani 2008).

Hanya sedikit ibu yang sadar dan memberikan anaknya makanan pendamping ASI setelah usia anaknya diatas 6 bulan. Hal ni terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2006) di Malaysia menunjukkan bahwa sebanyak 117 anak (21.3%) dari 551 anak di sana telah diberikan makanan pendamping sebelum berusia 4 bulan dan hanya 12.8% yang diberikan makanan pendamping setelah berusia 6 bulan.

Jenis dan Pola Pemberian MP – ASI

Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan. Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah dari makanan itu berbentuk cairan dan kental lalu menjadi keras, seiring dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga usus bayi pun terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang diterimanya. Pola pemberian makanan bayi merupakan cara pemberian makanan pada bayi dimana jenis, frekuensi dan jadwal pemberiannya telah ditetapkan. ASI yang merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan setelah 6 bulan ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi bagi bayi sehingga diperlukan MP-ASI.

(22)

Adapun jenis – jenis makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) terbagi atas (Chintia 2008) :

a. Makanan lunak yaitu semua makanan termasuk yang disajikan dalam bentuk halus dan diberikan pada bayi pertama kali, misalnya bubur susu dan sari buah.

b. Makanan lembik yaitu makanan peralihan dari makanan lunak menuju makanan biasa seperti nasi tim.

c. Makanan biasa yaitu makanan seperti yang disajikan untuk orang dewasa seperti nasi.

Makanan pertama yang baik untuk bayi adalah biji-bijian, sereal bayi yang diperkaya zat besi, biasanya sereal beras (nasi bubur). Makanan tambahan harus mudah dicerna oleh bayi dan mengandung zat-zat gizi dalam keseimbangan yang baik. Karena lambung bayi masih kecil makanan yang diberikan harus cepat meninggalkan lambung. Makanan baru berupa nasi yang bersama-sama ditim dengan sayuran (misalnya bayam, wortel, tomat) dan ati ayam seyogyanya tidak diberikan sebelum umur 6 atau 7 bulan (Pudjiadi 2001).

Tabel 1 Pola pemberian makanan anak balita

Umur Jumlah Pemberian Dalam Sehari (kali) 0 – 6 bulan 6 – 8 bulan 8 – 10 bulan 10 – 12 bulan 12 – 24 tahun ASI ASI Bubur Susu Nasi Tim Saring

ASI Buah Bubur Susu Nasi Tim dihaluskan

ASI Buah Nasi Tim

ASI

Nasi Tim atau Makanan Makanan Kecil Sekehendak Sekehendak 1 1 Sekehendak 1 1 2 Sekehendak 1 3 Sekehendak 3 1 Sumber : Depkes 2000

Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua tahun dibagi dalam lima tahap sedangkan untuk anak di atas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa. Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4 – 6 kali sebagai

(23)

tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2 – 3 tahun dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tetapi dengan porsi kecil. Hal ini dikarenakan anak umur 1 – 3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200 – 300 ml makanan (Muchtadi 2002). Berikut merupakan tabel pola pemberian makanan pada anak balita

Karakteristik Keluarga

Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat meningkatan mutu modal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi umumnya akan memberikan stimulasi lingkungan baik dari segi fisik, sosial, emosional dan psikologis bagi anak – anaknya dibanding dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah (Hartoyo & Hastuti 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2007) menyatakan bahwa sebanyak 62 % ibu dalam kategori pendidikan rendah memiliki pengetahuan dalam pola penyapihan yang rendah juga. Penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa ibu yang berasal dalam kategori pendidikan rendah cenderung memiliki anak yang bergizi kurang bahkan bergizi buruk.

Pekerjaan

Faktor yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga tersebut. Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya. Hal ini menyebabkan mereka cenderung memberikan makanan tambahan bagi anaknya terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Senorita dan Laukau (2005) menyatakan bahwa balita yang orangtuanya khususnya ibu bekerja sebanyak 67 % memberikan makanan tambahan pada anaknya pada umur tiga bulan.

Pengetahuan

Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam memberikan makanan kepada bayi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan para orang tua Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya

(24)

kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 5 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI 2000).

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 2003). Selanjutnya, Sediaoetama (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Menurut Khomsan et al. (2007) tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang maka diharapkan lebih baik juga keadaan gizinya

Besar Keluarga

Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989).

Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian anak, juga kebutuhan makanan, sandang dan perumahanpun tidak terpenuhi oleh karena itu keluarga berencana tetap diperlukan (Soetjiningsih 1999).

Pendapatan Keluarga

Pola makanan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga. Semakin kecil pendapatan, maka semakin besar persentase pengeluaran untuk makanan. Sebaliknya semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran

(25)

untuk makanan atau pangan semakin kecil (Berg 1986). Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga. Padahal anak – anak yang sedang dalam masa pertumbuhan cepat, terutama anak balita, memerlukan protein dan gizi mikro yang sangat penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan individu di kemudian hari (Djalal 2009).

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005).

Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam metode langsung dan metode tidak langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan biofisik. Sedangkan metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan faktor-faktor ekologi. Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) biasanya disajikan dalam bentuk indeks yang terkait dengan umur (U) atau kombinasi antara keduanya. Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) . Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi yang memiliki karakteristik masing-masing.

(26)

Dengan batasan (cut-off point) tertentu, nilai-nilai indeks antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Jahari 2002). Kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang cukup panjang (dua tahun atau lebih) pilihan utama adalah indeks TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau tujuan penilaian status gizi adalah untuk assessment seperti dalam evaluasi suatu kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dapat memberikan informasi yang rinci tentang status gizi, baik gambaran masa lalu maupun masa kini atau keduanya (kronis dan akut).

Penelitian yang dilakukan oleh Medhi (2004) menunjukkan hasil bahwa anak usia 0-6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan anak yang telah diberikan susu formula dan makanan pendamping.

Tabel 2 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U, BB/TB

No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang

- 2 s/d +2 SD Gizi baik

> +2 SD Gizi lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

- 3 s/d <-2 SD Pendek > +2 SD Normal 3 BB/PB < -3 SD Sangat Kurus - 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Gemuk Sumber : Depkes 2007 Infeksi

Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thaha 2005).

(27)

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji 2003).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia Dua penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes 2004).

Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap hari selama ISPA berlangsung (Noor 2006). Diperkirakan panas yang menyertai ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien karena menurunnya nafsu makan anak (Thaha 2005). Hasil penelitian Thamrin (2002) di Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat (Depkes 2006).

(28)

KERANGKA PEMIKIRAN

Ibu menyusui dan anak balita merupakan 2 dari 4 kelompok sasaran utama program perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan anak., diharapkan ibu-ibu memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya sampai umur 2 tahun. Meskipun kerugian-kerugian langsung yang ditimbulkan akibat dari menyusui tidak ada, akan tetapi banyak ibu-ibu yang menyapih anaknya lebih awal dengan berbagai alasan.

Kecenderungan semakin menurunnya ibu –ibu menyusui anaknya, tentu akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Anak yang telah disapih sebelum waktunya, kekebalan anak terhadap infeksi, penyakit diare, dan penyakit lainnya sangat rendah dan pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan status gizi, terutama bila pemberian makanan tambahan setelah disapih tidak sesuai dengan kebutuhan tubuhnya.

Depkes RI (2004) menyatakan bahwa makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai usia 6-24 bulan, dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga, pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya. Pemberian MP-ASI yang jenis, bentuk dan frekuensinya tidak sesuai dengan kebutuhan bayi akan mempengaruhi pola makan bayi. Selain itu pemberian MP-ASI yang tidak tepat baik jumlah maupun kualitasnya dalam jangka waktu yang panjang akan mempengaruhi status gizi bayi. Fokus utama yang akan diteliti mencakup variabel perilaku ibu dalam pemberian makanan tambahan yang meliputi usia pertama kali diberikan makanan tambahan, jenis makanan tambahan, jumlah makanan tambahan, waktu pemberian makanan tambahan, frekuensi makanan tambahan serta jenis makanan tambahan dan selingan yang diberikan kepada balita saat penelitian berlangsung.

Makanan pendamping ASI (MP ASI) berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah

(29)

bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini

Penyakit infeksi pada balita juga memberikan pengaruh kepada status gizi balita. Kejadian penyakit ISPA serta diare pada balita memberikan pengaruh secara tidak langsung yang dapat menurunkan statu gizi pada balita. Kejadian diare pada bayi dapat disebabkan karena kesalahan dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI ( Air Susu Ibu ) sebelum berusia 4 bulan. Perilaku tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena alasan sebagai berikut; (1) pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI,(2) bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang hanya dapat diperoleh dari ASI ,(3) adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan makanan atau minuman kepada bayi tidak steril. Berbeda dengan makanan padat ataupun susu formula, ASI bagi bayi merupakan makanan yang paling sempurna. Pemberian ASI secara dini dan eksklusif sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah penyakit pada bayi.

(30)

Gambar 1 Bagan konsep analisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita

: variabel diteliti

: hubungan diteliti : hubungan tidak diteliti Karakteristik keluarga : - Pendidikan - Pekerjaan - Jumlah anggota keluarga - Pendapatan keluarga Umur Penyapihan

Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI :

- Awal pemberian makanan tambahan

- Jenis makanan tambahan pertama kali

- Jenis makanan yang diberikan pada saat penelitian

- Frekuensi pemberian - Pemberian makanan

selingan

- Jenis makanan selingan - Frekuensi pemberian Status Gizi Balita Kebersihan Lingkungan Infeksi Internal : - ISPA - Diare

(31)

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian, Waktu danTempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Penelitian dilakukan pada bulan Agustusi 2012. Desain penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan rancangan penelitian dilakukan secara cross sectional

(potong lintang), dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada saat yang sama.

Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah ibu – ibu yang mempunyai balita dan terdaftar di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Sampel penelitian ini diambil dari sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu – ibu yang mempunyai balita usia 2-5 tahun di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi yang bersedia mengikuti penilitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian . Besarnya populasi yang ada yaitu sebesar 150 anak balita. Besarnya sampel yang dijadikan responden penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus:

n = Z2 1-α/2 P (1-P)

d2

dimana n : Jumlah sampel

Z2 1-α/2 : derajat kepercayaan (1.96)

D : presisi (0.10)

P : proporsi ibu balita pada populasi (0.5)

Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebanyak 58 orang dengan derajat kepercayaan 95%.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik balita yaitu umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan. Data jenis kelamin balita terdiri atas dua yakni perempuan dan laki – laki. Data jenis kelamin dan umur balita diambil menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan diambil dengan metode wawancara. Berat badan dan tinggi badan balita diambil dengan menggunakan

(32)

alat bantu berupa timbangan dacin dengan kapasitas maksimal 25 kg dengan kelitelitan 0.1 kg, sedangkan data tinggi badan balita diambil dengan menggunakan alat ukur panjang badan untuk balita yang belum dapat berdiri tegak dan microtoise untuk anak yang sudah dapat berdiri tegap. Pembedaan alat ukur tinggi badan ini dilakukan karena jika balita yang belum dapat berdiri tegap diukur menggunakan microtoise maka akan terjadi bias dalam pengukurannya sehingga data yang diperoleh pun tidak valid. Data karakteristik ibu yang terdiri dari data umur ibu, pekerjaan ibu,pendidikan ibu diperoleh dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan diambil dengan metode wawancara. Data karakteristik ibu ini berguna dalam mencari hubungan dengan variabel lainnya. Data pendidikan ibu dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD,SMP, SMA/sederajat, Akademi, dan Sarjana, sedangkan pekerjaan ibu dibedakan menjadi ibu rumah tangga, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lain-lain. Data karakteristik keluarga terdiri dari pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga, umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI kepada balita yang terdiri dari umur pertama kali diberikan makanan pendamping ASI, jenis makanan pertama, jenis makanan pendamping ASI yang saat ini dikonsumsi, frekuensi pemberian makanan pendamping ASI, pemberian makanan selingan dan frekuensi pemberian makanan selingan diperoleh menggunakan alat bantu berupa kuesioner dengan metode wawancara. Data umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI kepada balita ditanyakan kepada ibu balita dengan pertanyaan yakni hingga usia berapa balita diberikan ASI, usia berapa balita mulai diberikan makan pendamping ASI, jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan, berapa kali dalam sehari atau frekuensi pemberian makanan pendamping ASI dan makanan selingan, alasan pemberian makanan pendamping ASI dan makanan selingan

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data umum wilayah penelitian terdiri dari keadaan goegrafi, jumlah penduduk, pendidikan penduduk, agama, fasilitas dan sarana kesehatan masyarakat yang diperoleh dari kelurahan dan puskesmas setempat. Data kehadiran ibu diposyandu yang diperoleh dari data register posyandu

(33)

Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data

No Variabel Indikator Cara Pengumpulan Data

1 Karakteristik contoh - Jenis kelamin - Umur

- Berat badan - Tinggi badan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran menggunakan

microtoise.

2 Karakteristik keluarga

- Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan keluarga - Besar keluarga - Umur

- Jumlah anggota keluarga

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner

3 Umur penyapihan - Usia awal penyapihan - Pemberian ASI

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner 4 Pemberian makanan tambahan - Usia awal pemberian - Jenis makanan - Frekuensi pemberian

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

5 Kebersihan diri dan lingkungan

- Kebersihan balita - Kebersihan ibu balita - Praktek cuci tangan - Keberadaan tempat

sampah dan mck

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

7 Penyakit infeksi - Diare - Demam - Batuk

Pilek

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

8 Pola pemberian MP-ASI

- Umur pertama kali diberikan MP-ASI - Frekuensi pemberian - Jenis makanan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

8 Frekunsi pangan sumber protein

- Kebiasaan konsumsi pangan sumber protein dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan

Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.

9. Frekuensi jajanan - Kebiasaan konsumsi jajanan dalam satu hari

Kebiasaan konsumsi pangan sumber protein dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan

(34)

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data terdiri atas editing semua data yang sudah terkumpul diteliti kembali dengan cara memeriksa kuesioner (data identitas responden) untuk menghindari terjadinya kesalahan/ adanya data yang belum terisi, coding dimana setelah dilakukan editing, selanjutnya adalah memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data, sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data. Tahap selanjutnya tabulating dimana pada tahap ini hasil dikelompokkan dengan teliti dan teratur, dijumlahkan dan dituliskan dalam bentuk tabel dan yang terakhir adalah analiting dimana data status gizi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara manual, data asupan zat gizi menggunakan komputer dengan program food prosessor paket dan dianalisis dengan menggunakan paket analisis program statistik.Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan computer menggunakan program Microsoft Excel

dan program Statistical program for Social Science (SPSS) for Windows versi 17.0.

Untuk memperoleh data status gizi balita diperlukan data berat badan (BB) serta tinggi badan (TB) serta umur yang diperoleh dari penimbangan dan wawancara. Setelah mendapatkan data berat badan dan tinggi badan responden, peneliti menghitung status gizi menggunakan z-score berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, kemudian setelah didapat data status gizi dkelompokkan menurut klasifikasi yang telah ada. Umur penyapihan diklasifikasikan atas 3 kategori yaitu : <12bulan, 12-24 bulan dan >24bulan.

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data terbagi menjadi dua yakni analisis univariat dan analisis bivariat. Analisa Univariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap masing – masing variabel. Hasil analisa univariat adalah berupa tabel distribusi frekuensi umur balita, pekerjaan ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga, umur awal pemberian makanan tambahan, jenis makanan tambahan yang diberikan pertama kali, frekuensi pemberian makanan tambahan dan status gizi balita. Analisis Bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan skala data yang ada. Analisa Bivariat, dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan, data yang diolah yaitu : Hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan,jumlah anggota keluarga dan pendapatan) dengan umur penyapihan balita,dengan praktek pemberian makanan tambahan dan dengan status gizi balita. Hubungan antara

(35)

umur penyapihan dengan status gizi balita dan yang terakhir adalah mengetahui hubungan antara praktek pemberian makanan tambahan dengan status gizi balita. Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis dua variabel. Data yang didapat kemudian dianalisisdengan uji statistik yaitu Spearman.

Definisi Operasional

Umur adalah Lamanya responden hidup sejak lahir sampai dengan pengumpulan data yang dinyatakan dalam tahun.

Jenis kelamin adalah status gender seseorang yang dapat dilihat dari postur fisik atau dengan kartu identitas.

Status Gizi adalah keadan gizi responden pada saat pengambilan data yang didapat berdasarkan skor z –score

MP-ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari enam bulan.

Pola Pemberian MP-ASI adalah cara pemberian MP –ASI yang meliputi usia pertama kali pemberian, bentuk MP-ASI yang diberikan, dan frekuensi pemberian MP-ASI.

Karakteristik keluarga adalah ciri yang dimiliki oleh keluarga seperti besar keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan menjadi tanggunan dari kepala keluarga.

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan keluarga per kapita perbulan baik dalam bentuk uang atau bahan makanan yang dikonfersikan kedalam nilai uang.

Pengetahuan gizi ibu adalah sejumlah skor yang diperoleh ibu bayi dari sejumlah pertanyaan yang diberikan meliputi manfaat ASI, cara pemberian ASI dan MP-ASI serta alasan pemberian ASI dan MP-ASI.

Penyapihan adalah keadaan dimana anak balita sudah tidak diberikan ASI lagi oleh ibu.

Infeksi adalah kejadian terkenanya penyakit pada balita berupa infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare. Penyakit ini biasanya disebabkan karena kurangnya dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta keadaan sekitar yang tidak medukung

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Sumur Batu merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini terdiri dari 7 Rukun Warga dan 41 Rukun Tetangga dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya - Sebelah Timur : Desa Burangkeng Kabupaten Bekasi

- Sebelah Selatan : Desa Taman Rahayu Kabupaten Bekasi - Sebelah Barat : Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang

Letak kota pemerintahan Kelurahan Sumur Batu berada di sebelah tenggara dari kota pemerintahan Kecamatan Bantar Gebang, dengan luas ± 568 995 ha. Dari luas ± 568 995 ha areal yang ada, sekitar 318 ha dipergunakan untuk pemukiman penduduk dan pertanian, sedangkan sisanya dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta tempat pembuangan akhir (TPA) Pemda DKI 20 ha dan Kota Bekasi 17 ha. Keberadaan lokasi TPA Bantar Gebang membawa dampak tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Permasalahan lain yang dihadapi dengan adanya lokasi TPA sampah adalah adanya udara yang tidak bersahabat di wilayah Kelurahan Sumur Batu dan sekitarnya akibat bau yang tidak sedap apabila tersengat hidung.

Wilayah peneilitian terletak pada RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, dimana termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I. Puskesmas Bantar Gebang I terletak di jalan Narogong Raya Km.10 No.75 Kelurahan Bantar Gebang. Luas wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I adalah 18.54 km2 . Jumlah penduduk di Kelurahan SumurBatu adalah sebesar 7 703 jiwa dengan kategori penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 1 460 jiwa, 7-12 tahun sebanyak 817 jiwa, 13-15 tahun sebanyak 1 266 jiwa, 16-21 tahun sebanyak 961 jiwa, 22-59 tahun sebanyak 2 778 jiwa dan yang berusia ≥ 60 tahun sebanyak 421 jiwa.

Angka kesakitan di wiliayah kerja Puskesmas Bantar Gebang 1 tertinggi dari tahun 2008 – 2011 adalah penyakit ISPA. Penyakit diare dari tahun 2006 – 2008 selalu meningkat dan pada tahun 2010 penyakit diare merupakan urutan ke-4 tinggi dari 10 penyakit di Puskesmas Bantar Gebang I. Jumlah angka kesakitan diare pada tahu 2010 adalah sebanyak 2.890 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskemas gambaran status gizi di wilayah kerja Puskesmas

(37)

Bantar Gebang I tergolong dalam kategori baik, yakni sebanyak 91. 8 % balita berstatus gizi baik.

Wilayah RW 03 termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I yang paling banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga di RW 03 tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata – rata sebagai pemulung sampah. Kejadian diare serta kecacingan di wilayah ini pun tergolong tinggi yakni sebesar 89.8%. Hal ini mungkin disebabkan karena RW 03 merupakan wilayah yang terdekat dengan tempat pembuangan akhir.

Karakteristik Keluarga

Ibu merupakan orang yang memiliki peranan utama dan penting dalam keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh pada perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam konsumsi pangan, perawatan kesehatan dan higiene, serta pemberian stimulasi yang tepat kepada anak. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak yang akan membantu ibu memberikan pengasuhan yang maksimal.

Umur Ibu

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita berusia 24 – 60 bulan di wilayah kerja posyandu Melati 3 dan Melati 9 RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Jawa Barat. Responden yang ada sebanyak 50 orang dan jumlah balita sebanyak 58 orang, dimana terdapat 4 ibu yang memiliki 2 orang anak balita.

Tabel 4 menunjukkan bahwa kategori umur ibu bervariasi. Umur ibu dalam penelitian ini berada dalam rentang mulai dari 19 tahun sampai dengan 49 tahun. Pada Tabel 4 terlihat bahwa sebaran umur ibu balita, persentase tertinggi ada pada rentang kategori 19 – 29 tahun sebanyak 55.2%. Berdasarkan data yang ada ibu balita paling banyak berusia 25 dan 30 tahun.

(38)

Tabel 4 Sebaran umur ibu balita Umur (tahun) n % 19-29 32 55.2 30-49 26 44.8 Total 58 100.0 Pekerjaan

Salah satu faktor yang memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang ada di dalam keluarga tersebut.

Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga (70.7%), 12.1% bekerja sebagai buruh pabrik, 10.3% sebagai karyawan swasta, 3.4% sebagai pemulung, dan sisanya masing – masing sebanyak 1.7% sebagai wiraswasta dan guru.

Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita

Jenis pekerjaan n %

Buruh pabrik 7 12.1

Guru 1 1.7

Ibu Rumah Tangga 41 70.7

Karyawan Swasta 6 10.3

Pemulung 2 3.4

Wiraswasta 1 1.7

Total 58 100.0

Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya dan perhatian kepada anak juga berkurang yang menyebabkan ibu cenderung kurang memperhatikan makanan tambahan yang diberikan kepada balitanya dan juga cenderung memberikan makanan tamabahan kepada anak terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Laukau (2005) menyatakan bahwa sebanyak 53% ibu balita yang bekerja telah memberikan makanan tambahan kepada balitanya saat berusia tiga bulan.

Gambar

Gambar  1  Bagan  konsep  analisis  hubungan  antara  karakteristik  keluarga  dengan  umur  penyapihan,  praktek  pemberian  makanan  pendamping  ASI  dan  status  gizi  balita
Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data
Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita
Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu balita
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji perkecambahan pada tiap varietas berbeda terhadap parameter persentase perkecambahan yang paling tinggi yaitu varietas Romario (98%),

Hasil Penelitian : Ada pengaruh latihan skipping terhadap vertical jump atlet bola voli di UKM bola voli putera Universitas Muhammadiyah Surakarta setelah dilakukan uji

Beberapa penelitian terkait dengan kepuasan kerja antara lain Tohari (2003) yang menyatakan bahwa organisasi atau instansi yang memiliki karyawan mayoritas kepuasannya

kooperatif dengan tipe NHT (Numbered Head Together). Kemampuan berpikir kritis siswa dilihat dari kemampuan siswa dalam. penyelesaian soal dengan benar.. Peneliti hanya meneliti

Mencerdaskan insan PTK PAUD DIKMAS dalam memahami dan mengembangkan program-progam kursus dan pelatihan dalam penjaminan mutu satuan lemabaga kursus dan

KESADARAN INDIVIDU AKAN DIRINYA SECARA FISIK DELAM HUBUNGAN. NYA DENGAN RUANG : TEROWONGAN ;

Menurut Hendri Soemantri (2011:1) Akuntansi adalah suatu rangkaian kegiatan pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran, dan pelaporan transaksi keuangan yang dilakukan