• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA SEBARAN SPASIAL DAN DINAMIKA POPULASI KERANG DARAH (Anadara granosa, L) DI PERAIRAN TELUK LADA DAN TELUK BANTEN, PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA SEBARAN SPASIAL DAN DINAMIKA POPULASI KERANG DARAH (Anadara granosa, L) DI PERAIRAN TELUK LADA DAN TELUK BANTEN, PROVINSI BANTEN"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DI PERAIRAN TELUK LADA DAN TELUK BANTEN,

PROVINSI BANTEN

WIDYA DHARMA LUBAYASARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Pola Sebaran Spasial dan Dinamika Populasi Kerang Darah (Anadara granosa, L) di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Widya Dharma Lubayasari C24062161

(3)

Widya Dharma Lubayasari. C24062161. Pola Sebaran Spasial dan Dinamika Populasi Kerang Darah (Anadara granosa, L) di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Fredinan Yulianda.

Kerang darah (Anadara granosa, L) yang merupakan salah satu Bivalvia dalam famili Arcidae, banyak dimanfaatkan untuk konsumsi dan dijual. Kegiatan yang terjadi di sekitar Teluk Lada dan Teluk Banten berupa kegiatan penangkapan, budidaya, perkebunan, dan masukan limbah domestik maupun industri dapat merusak habitat kerang darah. Selain itu, meningkatnya kegiatan penangkapan dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian populasi kerang darah di alam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan kondisi habitat kerang darah di Perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten terhadap pola sebaran dan struktur populasi kerang darah (Anadara granosa, L). Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi untuk nelayan dan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan kerang darah secara tepat dan lestari.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Mei 2010 di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten, Provinsi Banten. Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan kondisi perairan yang berbeda, sedangkan pengambilan contoh kerang dilakukan dengan alat tangkap garok dan cara manual menggunakan tangan. Alat dan bahan yang digunakan antara lain: perahu, garok, transek ukuran 1×1 m, GPS, eikman grab, van dorn water sampler, secchi disk,

thermometer, refraktometer, kertas pH, stopwatch, kompas bidik, alat titrimetrik,

akuades, es, dan bahan-bahan untuk titrasi. Parameter yang diamati meliputi jumlah, panjang, dan bobot (total, cangkang, dan daging) kerang darah. Analisis data mengenai kepadatan dan pola sebaran jenis dilakukan dengan menggunakan persamaan densitas dan indeks Sebaran Morisita dengan bantuan M. Excell, sedangkan pemisahan kelompok umur dilakukan dengan metode Bhattacharya dengan software FISAT II.

Anadara granosa, L di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada memiliki

kepadatan rata-rata berkisar antara 29–35 ind/m2, sedangkan di perairan Bojonegara, Teluk Banten memiliki kisaran kepadatan rata-rata antara 3-31 ind/m2. Kepadatan kerang darah banyak ditemukan di perairan Bojonegara, Teluk Banten dibandingkan dengan di PLTU Labuan, Teluk Lada Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut tingkat eksplotasi masih rendah. Pola sebaran jenis di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten dengan nilai Id masing-masing sebesar 1,09 dan 2,27; setelah dilakukan uji lanjut menunjukkan pola sebaran bersifat mengelompok. Jumlah contoh kerang yang diamati sebanyak 368 individu dengan kisaran panjang antara 8,8-32,1 mm dan 429 individu dengan kisaran panjang antara 15,2–31,9 mm di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten. Nilai koefisien pertumbuhan (K) di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada lebih kecil daripada nilai K di perairan Bojonegara, Teluk Banten, yang berarti kerang di lokasi tersebut pertumbuhannya lebih lambat daripada kerang darah yang di perairan

(4)

tahun; 6,9549 per tahun; 7,4160 per tahun, dan 93,78 %. Sementara itu pada perairan Bojonegara, Teluk Banten memiliki nilai mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), mortalitas total (Z), dan laju eksploitasi (E) berturut-turut yaitu 0,2677 per tahun; 2,4653 per tahun; 2,7330 per tahun; dan 90,21 %. Laju penangkapan kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada lebih tinggi daripada di perairan Bojonegara, Teluk Banten. Pola pertumbuhan seluruh kerang darah yang dijadikan contoh di kedua lokasi penelitian menunjukkan pola pertumbuhan (hubungan panjang dan bobot total) yaitu cenderung gemuk dengan persamaan pertumbuhan W=0,0013L2,9695 (α=0,05 dan n=369) pada perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan cenderung kurus dengan persamaan pertumbuhan W=0,0398L1,8162 (α=0,05 dan n=429) pada perairan Bojonegara, Teluk Banten. Pola pertumbuhan (hubungan panjang dan bobot cangkang) yaitu cenderung gemuk dengan persamaan pertumbuhan W=0,0006L3,1249 (α=0,05 dan n=369) pada perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan cenderung kurus dengan persamaan pertumbuhan W=0,0327L1,7943 (α=0,05 dan n=429) pada perairan Bojonegara, Teluk Banten. Pola pertumbuhan (hubungan panjang dan bobot daging) yaitu cenderung kurus di kedua lokasi dengan persamaan pertumbuhan W=0,0006L2,7303 (α=0,05 dan n=369) pada perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan persamaan pertumbuhan W=0,0059L1,9159 (α=0,05 dan n=369) pada perairan Bojonegara, Teluk Banten

Kesimpulan: parameter kualitas air di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten menunjukkan kisaran yang baik untuk mendukung kehidupan kerang darah. Kepadatan kerang darah paling banyak ditemukan di perairan Teluk Banten daripada Teluk Lada. Pola sebaran pada ke dua lokasi bersifat mengelompok. Koefisien pertumbuhan (K) kerang darah di Teluk Lada lebih kecil daripada di Teluk Banten. Laju eksploitasi kerang darah di Teluk Lada lebih tinggi dibandingkan dengan Teluk Banten. Pola pertumbuhan kerang darah di Teluk Lada cenderung gemuk dibandingkan dengan Teluk Banten (hubungan panjang dengan bobot total dan bobot cangkang), sedangkan pola pertumbuhan kerang darah cenderung kurus di kedua lokasi pada hubungan panjang dengan bobot daging.

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh rencana pengelolaan yang disarankan antara lain yaitu pengaturan upaya penangkapan meliputi pengaturan alat tangkap berupa ukuran mata jaring dan kerapatan besi garok serta pengaturan ukuran kerang yang tertangkap. Selain itu, diperlukannya instalansi pengolahan air limbah untuk masukan limbah dari domestik maupun industri.

Kata kunci: Anadara granosa, L (kerang darah), kepadatan, pola sebaran, pertumbuhan, laju eksploitasi, dan pola pertumbuhan

(5)

DI PERAIRAN TELUK LADA DAN TELUK BANTEN,

PROVINSI BANTEN

WIDYA DHARMA LUBAYASARI C24062161

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Pola Sebaran Spasial dan Dinamika Populasi Kerang Darah (Anadara granosa, L) di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten

Nama : Widya Dharma Lubayasari

N I M : C24062161

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. NIP. 19570928 198103 1 006 NIP. 19630731 198803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Pola Sebaran Spasial dan Dinamika Populasi Kerang Darah (Anadara granosa, L) di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten; disusun berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Banten yang dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan bulan Mei 2010 dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2010

(8)

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan, dan masukan yang diberikan selama penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu, Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku komisi pendidikan program S1 atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan.

3. Dr. Ir. Niken Tunjung Murni Pratiwi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

4. Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc yang telah mengikutsertakan penulis dalam penelitian beliau atas finansial penelitian, saran, nasehat dan motivasi yang diberikan. 5. Keluarga tercinta; Ibu, Bapak, Ayuk Endah, Abang Agung dan semua keluarga

besar atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya.

6. Para staf Lab. Produktifitas dan Lingkungan Perairan (Proling) terutama Bu Ana Mariana, Tata Usaha MSP terutama Mba Widaryanti dan Mba Yani, Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Nelayan di Panimbang dan Bojonegara yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian. Sahabatku Euis Marlina dan Anadara team (Silvi, Frida, Kiki, Yuli, Intan, Siti, Tyo, Yesti, dan Danang) atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya. Rekan-rekan MSP 41, 42, 43 (khususnya Novi, Elin, dan Chika), 44, dan ITK (Resni, Daniel, Oliver, Yudhi, Kak Steven) serta driver (Tajudin, Fazlur, Rezha, Cindera) atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama, dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(9)

Penulis dilahirkan di Sungailiat pada tanggal 27 Juni 1988 yang merupakan anak ke-3 dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Imam Sobirin Faqich, B.Sc. dan Ibu Anikawarti. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Pertiwi (1993-1994) dan SDN 15 Parit Padang (1994-2000). Setelah menyelesaikan pendidikan dasar penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 2 Sungailiat (2000) dan SLTPN 8 Bekasi (2000-2003), serta menempuh pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bekasi (2003-2006).

Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkatan Persiapan Bersama selama 1 tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fekultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai staf Divisi Sosial Lingkungan (2007/2008) dan Kepala Divisi Scientific Education (2008/2009). Penulis diberi kesempatan dan kepercayaan menjadi Asisten Mata Kuliah Metode Statistika (2008/2009 dan 2009/2010), Asisten Mata Kuliah Dinamika Populasi Ikan (2009/2010), Asisten Mata Kuliah Dasar-dasar Pengkajian Stok Ikan (2009/2010), dan Asisten Mata Kuliah Oseanografi Umum (2009/2010).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi dengan judul “Pola Sebaran Spasial dan Dinamika Populasi Kerang Darah (Anadara granosa, L) di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten”.

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Manfaat ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Biologi kerang darah (Anadara granosa, L) ... 6

2.2. Habitat kerang darah (Anadara granosa, L) ... 7

2.3. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Anadara granosa, L ... 8

2.3.1. Substrat atau sedimen ... 8

2.3.2. Suhu ... 10

2.3.3. Arus ... 10

2.3.4. Salinitas ... 11

2.3.5. Derajat keasaman (pH) ... 12

2.3.6. Oksigen terlarut (DO) ... 13

2.3.7. Struktur Populasi ... 13

2.3.7.1. Analisis frekuensi panjang ... 13

2.3.7.2. Pertumbuhan dan mortalitas ... 14

2.3.7.3. Hubungan panjang bobot ... 15

3. METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 18

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 19

3.3.1. Penentuan stasiun penelitian ... 19

3.3.2. Pengambilan contoh Anadara granosa, L ... 19

3.3.3. Analisis kualitas air ... 21

3.3.4. Analisis substrat ... 22

3.4. Analisis Data ... 22

3.4.1. Densitas (kepadatan) populasi ... 22

3.4.2. Pola sebaran jenis ... 23

3.4.3. Distribusi frekuensi panjang ... 23

(11)

3.4.4. Pertumbuhan dan mortalitas ... 25

3.4.5. Hubungan panjang bobot ... 27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Kondisi Umum Perairan ... 29

4.1.1. Perairan PLTU Labuan, Teluk Lada ... 29

4.1.2. Perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 29

4.2. Substrat atau Sedimen ... 30

4.3. Suhu ... 31

4.4. Arus ... 33

4.5. Salinitas ... 34

4.6. Derajat keasaman (pH) ... 36

4.7. Oksigen terlarut (DO) ... 37

4.8. Kepadatan ... 38

4.9. Pola Sebaran Jenis ... 40

4.10. Distribusi Frekuensi Panjang ... 41

4.11. Pertumbuhan dan Mortalitas ... 45

4.12. Hubungan Panjang Bobot ... 52

4.12.1. Hubungan panjang bobot total ... 52

4.12.2. Hubungan panjang bobot cangkang ... 56

4.12.3. Hubungan panjang bobot daging ... 59

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1. Kesimpulan ... 63

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Kecepatan arus dan efeknya terhadap organisme dasar ... 11 2. Posisi stasiun ... 18 3. Komponen parameter fisika-kimia yang diukur

beserta alat/ metode pengukurannya ... 21 4. Tipologi substrat di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan

Bojonegara, Teluk Banten ... 30 5. Kecepatan arus (cm/detik)

di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada ... 33 6. Kecepatan arus (cm/detik)

di perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 34 7. Pola sebaran jenis Anadara granosa pada perairan PLTU Labuan,

Teluk Lada dan perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 41 8. Hasil analisis masing-masing kelompok ukuran kerang darah

di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada ... 47 9. Hasil analisis masing-masing kelompok ukuran kerang darah

di perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 47 10 Parameter pertumbuhan (K dan L) dari beberapa penelitian ... 49 11. Parameter mortalitas (M, F, Z, dan E) ... 49 12. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot total kerang pada perairan PLTU Labuan, Teluk Lada selama pengamatan ... 53 13. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot total kerang pada perairan Bojonegara, Teluk Banten selama pengamatan ... 54 14. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot cangkang kerang

pada perairanPLTU Labuan, Teluk Lada selama pengamatan ... 57 15. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot cangkang kerang pada

perairan Bojonegara, Teluk Banten selama pengamatan ... 58 16. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot daging kerang

pada perairanPLTU Labuan, Teluk Lada selama pengamatan ... 59 17. Hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot daging kerang

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema perumusan masalah ... 5

2. Kerang Darah (Anadara granosa, L) ... 6

3. Stasiun pengamatan di perairan Teluk Lada ... 17

4. Stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten ... 18

5. Garok ... 20

6. Transek kuadrat 1 x 1 meter ... 21

7. Segitiga Millar ... 22

8. Suhu di perairan (a) PLTU Labuan, Teluk Lada, (b) Bojonegara, Teluk Banten ... 32

9. Salinitas (‰) pada (a) perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan (b) perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 35

10. pH rata-rata pada (a) perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan (b) perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 36

11. Nilai DO (mg/l) rata-rata pada (a) perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan (b) perairan Bojonegara, Teluk Banten 37 12. Kepadatan (ind/m2) kerang darah pada (a) perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan (b) perairan Bojonegara,Teluk Banten ... 39

13. Sebaran frekuensi panjang kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada pada bulan (a) Desember, (b) Maret, (c) Mei, dan (d) total pengambilan contoh ... 42

14. Sebaran frekuensi panjang kerang darah di perairan Bojonegara, Teluk Banten pada bulan (a) Desember, (b) April, (c) Mei, (d) total pengambilan contoh ... 43

15. Kelompok ukuran kerang darah pada bulan (a) Desember, (b) Maret, dan (c) Mei ... 46

16. Kelompok ukuran kerang darah pada bulan(a) Desember, (b) April, dan (c) Mei ... 48

17. Hubungan panjang bobot total kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada pada (a) bulan Desember, (b) bulan Maret, (c) bulan Mei, (d) secara total ... 52

18. Hubungan panjang bobot total kerang darah di perairan Bojonegara, Teluk Banten pada (a) bulan Desember, (b) bulan April, (c) bulan Mei, (d) secara total ... 53

(14)

xiv

19. Hubungan panjang bobot cangkang kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada pada (a) bulan Desember, (b) bulan Maret, (c)

bulan Mei, (d) secara total ... 56 20. Hubungan panjang bobot kerang darah di perairan Bojonegara, Teluk

Banten pada (a) bulan Desember, (b) bulan April, (c) bulan Mei,

(d) secara total ... 57 21. Hubungan panjang bobot daging kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada pada (a) bulan Desember, (b) bulan Maret,

(c) bulan Mei, (d) secara total ... 60 22. Hubungan panjang bobot kerang darah di perairan Bojonegara, Teluk

Banten pada (a) bulan Desember, (b) bulan April, (c) bulan Mei,

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta pola arus di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada ... 69

2. Peta pola arus di perairan Bojonegara, Teluk Banten ... 71

3. Kerang darah (Anadara granosa) ... 73

4. Gambar kondisi stasiun pengamatan di perairan Teluk Lada ... 74

5. Gambar kondisi stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten ... 75

6. Alat yang digunakan dalam penelitian ... 76

7. Data panjang dan bobot (bobot total, bobot daging, dan bobot cangkang) kerang darah pada waktu pengamatan di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada ... 78

8. Data panjang dan bobot (bobot total, bobot daging, dan bobot cangkang) kerang darah pada waktu pengamatan di perairan Bojonegara, Teluk Banten Laut ... 85

9. Parameter kualitas air di perairan Teluk Lada ... 98

10. Parameter kualitas air di perairan Teluk Banten ... 99

11. Contoh perhitungan kepadatan (densitas) ... 100

12. Pola sebaran jenis kerang darah ... 102

13. Tampilan FISAT II ... 105

14. Contoh perhitungan Uji t nilai b pada hubungan panjang bobot (bobot total ) kerang darah ... 106

15. Uji t kepadatan kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten ... 107

(16)

1.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Anadara granosa (kerang darah) merupakan salah satu Bivalvia yang

termasuk famili Arcidae. Kerang darah memiliki dua keping cangkang yang setangkup, umbo menonjol, engsel lurus, kaki seperti kapak, mempunyai insang yang lebar, tipis dan berlapis-lapis diantara mantel. Kerang darah hidup di perairan pantai yang memiliki substrat pasir berlumpur dan dapat juga ditemukan pada ekosistem estuari, mangrove, dan padang lamun. Kerang A. granosa hidup mengelompok dan umumnya banyak ditemukan pada substrat yang kaya kadar bahan organik. Distribusi kerang tersebut meliputi Red Sea, New Caledonia, China,

Hong Kong (Xianggang), Jepang, Vietnam, Thailand, Philippines, South China Sea, Indonesia, Tropical Indo-West Pacific, dan Australia yang tersebar di kawasan pesisir pantai (Nurdin et al. 2006). Sementara menurut Tang et al. (2009) bahwa di Indonesia kerang darah banyak ditemukan hidup di daerah pesisir Sumatera Barat, Selatan Jawa, Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.

Produksi kerang darah pada rentang tahun 1994-2004 (Alamiah 2007) mengalami peningkatan setiap tahunnya terutama untuk kebutuhan ekspor. Tahun 2004 produksi mengalami kenaikan rata-rata sebesar 26,39% dari 839 ton menjadi 1500 ton. Informasi tersebut sebatas data produksi tetapi belum ada informasi memadai yang menjelaskan pola pemanfaatan kerang darah yang optimal dan tetap lestari.

Kerang darah banyak dimanfaatkan untuk konsumsi dan dijual. Daging kerang darah mengandung protein sebesar 17,1 g; Ca 31 mg, lemak yang rendah sebesar 0,76 g; dan vitamin A (Agustinus 2009). Selain dikonsumsi dagingnya, cangkang kerang darah pun dapat dibuat menjadi kerajinan tangan. Kerajinan tangan yang dibuat dari cangkang kerang darah antara lain kerai pintu, mainan anak-anak, lampu gantung, dan pajangan.

Kabupaten Pandeglang memiliki luas wilayah sekitar 2,75 ribu km2 dengan jumlah penduduk sekitar 5,22 ribu yang berprofesi sebagai nelayan atau penangkap

(17)

ikan (DKP Banten 2009). Pantai Kabupaten Pandeglang yang menghadap Selat Sunda memiliki panjang pantai sekitar 182,8 km. Perairan Teluk Lada merupakan salah satu perairan yang berada di Kabupaten Pandeglang. Garis pantai yang cukup panjang ini potensial untuk kegiatan perikanan khususnya penangkapan maupun budidaya kerang-kerangan. Namun demikian potensi sumberdaya kerang ini mendapat tekanan dari aktivitas manusia di sekitar pesisir Teluk Lada. Di sekitar perairan Teluk Lada terdapat industri berskala kecil dan masukan bahan organik dari Sungai Ciliman, Sungai Cibungur, dan Sungai Bama. Selain itu pada bulan Januari 2010 telah didirikan PLTU Labuan di wilayah pesisir perairan Teluk Lada. Adanya aktivitas tersebut diduga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Teluk Lada. Perairan Teluk Banten merupakan daerah pesisir kota Serang dengan luas wilayah 150 km2. Perairan Bojonegara termasuk ke dalam perairan Teluk Banten yang terletak di sebelah barat (sekitar 130 km) dari ibukota DKI Jakarta. Disekitar kawasan tersebut telah berdiri kawasan industri berupa industri logam dasar, kimia dasar, rekayasa dan rancang bangun serta pelabuhan internasional. Selain kegiatan industri, buangan dari limbah rumah tangga juga dapat menambah masukan bahan organik kebeberapa sungai seperti Sungai Cimoyan, Ciujung, Kaliangke, Cirarap, dan Cibanten. Bahan organik yang terkandung dalam air sungai dan berasal dari limbah domestik maupun industri dapat mempersubur perairan laut. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi keberadaan kerang sebagai filter feeder. Perairan yang subur memacu pertumbuhan kelimpahan plankton sebagai makanan kerang. Melimpahnya fitoplankton ini akan mempercepat pertumbuhan kerang. Belum adanya informasi mengenai kondisi perairan tersebut yang memadai.

Kerang darah menjadi salah satu sumberdaya yang banyak dieksploitasi oleh nelayan baik di perairan Teluk Lada maupun Teluk Banten. Selain dieksploitasi kerang darah juga menjadi salah satu biota yang dibudidayakan. Alat tangkap yang digunakan untuk mengambil kerang yaitu dengan sekop, saringan, langsung diambil dengan tangan, dan “garok” yang merupakan modifikasi dari trawl (Ippah 2007). Penggunaan alat tangkap garok cukup berbahaya bagi kelestarian sumberdaya yang ada karena alat tangkap tersebut tidak selektif dalam ukuran kerang yang terambil. Eksploitasi yang dilakukan tanpa pertimbangan dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi kerang tersebut di alam, bahkan dapat menyebabkan penurunan populasi.

(18)

Eksploitasi kerang secara terus menerus menyebabkan perubahan lingkungan dan populasinya di alam. Perubahan populasi berupa penurunan terhadap hasil tangkapan nelayan dan ukuran yang tertangkap semakin kecil. Eksploitasi yang terjadi terus menerus tanpa memperhatikan pola pemanfaatan lestari dan pengaruh dari kualitas lingkungan yang menurun dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada jenis ini. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian mengenai beberapa aspek penting antara lain: pola kepadatan, pola sebaran jenis, struktur populasi, dan kondisi perairan. Dengan adanya kajian ini diharapkan kemampuan populasi untuk tetap tersedia di alam dapat diketahui. Selain itu bagi para pengambil kebijakan informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengelolaan secara lestari agar manfaatnya dapat dirasakan secara terus menerus.

1.2. Perumusan Masalah

Habitat mempunyai tiga peranan penting bagi biota yaitu sebagai tempat hidup, tempat berkembangbiak (reproduksi), dan tempat pemasok sumber makanan. Peranan habitat sebagai tempat hidup ditentukan oleh sifat fisika-kimia perairan tersebut. Substrat atau sedimen merupakan tempat kerang untuk membenamkan diri dan tempat penyedia sumber makanan. Perubahan yang terjadi pada sifat fisika-kimia air maupun sedimen akan mempengaruhi ekosistem. Ekosistem perairan Teluk Lada mengalami tekanan dari kegiatan yang terjadi di sekitar perairan tersebut meliputi PLTU, budidaya perikanan, perkebunan, dan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan kondisi perairan pada sifat fisika-kimia air dan sedimen. Kegiatan industri pembuatan kapal, penyimpanan batubara, kegiatan penangkapan, dan adanya masukan limbah di sekitar perairan Teluk Banten akan mempengaruhi kondisi perairan tersebut. Adanya masukan limbah dari muara sungai dan kegiatan di sekitar perairan, baik bahan organik maupun bahan anorganik akan menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga akan mempengaruhi kondisi substrat. Perubahan lingkungan ini dapat menggangu kestabilan hidup kerang darah.

Kerang darah banyak dieksploitasi dan dikonsumsi oleh nelayan. Nelayan mengambil kerang darah langsung dari alam. Menurut DKP Banten (2007) bahwa produksi kerang darah pada tahun 2000-2007 mengalami peningkatan yaitu sebesar

(19)

30% dari 1000,30 ton menjadi 1339,50 ton. Tingginya permintaan akan kerang darah membuat semakin banyaknya penangkapan yang dilakukan.

Kepadatan populasi kerang darah sudah mulai menurun berdasarkan hasil tangkapan nelayan yang menurun dan ukuran kerang yang semakin kecil. Faktor yang mempengaruhi menurunnya populasi kerang darah pada kawasan tersebut belum banyak informasi, sehingga perlu dikaji dalam upaya pengelolaan terutama mengenai pola sebaran dan dinamika populasi.

Kegiatan-kegiatan ini akan memberikan dampak terhadap kehidupan biota yang ada termasuk pada populasi kerang darah. Agar keberadaan populasi dapat diestimasi di alam maka diperlukan data mengenai biologi kerang darah antara lain: kepadatan, pola sebaran jenis, struktur populasi, dan kondisi perairan sebagai sumber dasar untuk membuat suatu kebijakan dalam rencana pengelolaan (Gambar 1).

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh perbedaan kondisi habitat kerang darah di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten terhadap pola sebaran dan struktur populasi kerang darah (Anadara granosa).

1.4. Manfaat

Penelitian tentang pola sebaran dan dinamika populasi Anadara granosa diharapkan dapat bermanfaat untuk nelayan sebagai informasi dasar dalam melakukan kegiatan penangkapan dan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan kerang darah secara tepat dan lestari di Perairan Teluk Lada dan Teluk Banten, Provinsi Banten.

(20)

Gambar 1. Skema perumusan masalah Faktor lingkungan perairan Habitat Kerang Darah Kegiatan industri dan budidaya Penangkapan Parameter Biologi: Pola pertumbuhan populasi Parameter Fisika: Sedimen Suhu Arus Salinitas Parameter kimia: pH DO Kepadatan Pertumbuhan Pengelolaan Pola sebaran jenis Mortalitas

(21)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi kerang darah (Anadara granosa, L)

Menurur Broom (1985) klasifikasi kerang darah secara sistematika adalah sebagai berikut:

Filum : Moluska Kelas : Bivalvia Famili : Arcidae Sub Famili : Anadarinae Genus : Anadara

Spesies : Anadara granosa (Linnaeus 1758) Nama Umum : Blood cockle

Nama Lokal : Kerang darah

Gambar 2. Kerang darah (Anadara granosa, L)

Genus Anadara mempunyai ciri yaitu kedua cangkang yang sama atau setangkup, jika tidak maka salah satu cangkang lebih besar pada bagian tepinya melebihi bagian tepi yang lain. Umbo menonjol, engsel lurus dengan beberapa gigi yang memiliki bentuk tertentu dan mengecil di bagian tengah. Permukaan beralur dengan rusuk yang kuat dan jelas. Bentuk alur pada kedua cangkang kurang lebih sama (Olsson 1961 in Hery 1998).

Menurut Storer et al. (1977) in Erianto (2005) bahwa morfologi dari spesies ini adalah simetris bilateral dengan tubuh lunak yang memadati antara dua cangkang lateral yang secara dorsal berhimpitan. Bivalvia tidak memiliki kepala tetapi

(22)

berbentuk bulat yang ditandai dengan garis pertumbuhan kosentris yang berputar memusat kearah tempat yang lebih besar (umbo) dekat dengan ujung anterior bagian dorsal. Sendi ligamen menahan cangkang bagian dorsal secara bersama-sama dan membentang untuk membuat kedua belah cangkang berpisah sacara ventral. Permukaan interior pada masing-masing cangkang memiliki tanda yang menandakan dimana beberapa otot melekat. Otot ini berperan dalam membuka cangkang dan menggerakkan kakinya.

Selanjutnya menurut Dance (1977), bahwa kerang darah mempunyai cangkang yang tebal, berbentuk agak elips, dan terdapat 20-21 garis vertikal pada permukaan yang dimulai pada bagian ventral sampai dengan bagian dorsal. Terdapat juga duri-duri kecil yang pendek, berwarna putih agak kecoklatan pada lapisan periostracum.

Kerang ini mencapai kematangan seksual pada ukuran panjang anterior-posterior 18 sampai 20 mm ketika umurnya mencapai 6 bulan. Gonad kerang darah mulai berkembang pada ukuran terkecil 15 sampai 16 mm. Musim pemijahan terjadi sepanjang tahun akan tetapi puncak musimnya terjadi pada bulan-bulan tertentu dimulai bulan Mei atau Juni (Pathansali 1966 in Erianto 2005).

2.2. Habitat kerang darah (Anadara ganosa, L)

Menurut Pathansali (1963) dan Broom (1980) in Arfiati (1986) bahwa kerang darah bersifat kosmopolitan dan terdapat di perairan tropis dan subtropis. Hidup di perairan pantai yang berdasar lumpur atau lumpur berpasir halus dan dipengaruhi air sungai. Kerang darah mempunyai daya tahan tinggi terhadap perubahan kadar garam yaitu sekitar 0,5 sampai 35 permil. Aspek ekologi yang diperlukan bagi kehidupan kerang adalah substrat, salinitas, dan makanan serta hubungan dengan biota lain yang ada di sekitarnya. Daerah hidup kerang darah berada antara pertengahan air pasang penuh sampai air pasang terendah, serta pada teluk yang banyak hutan bakau dan banyak mengeluarkan air payau. Pertumbuhannya akan lebih baik pada substrat berlumpur lunak daripada lumpur berpasir. Lumpur yang baik bagi pertumbuhan kerang darah yaitu lunak tersusun dari 90% lumpur atau lebih, dengan diameter partikel lebih kecil atau sama dengan 0,124 mm.

Moluska hidup dan tumbuh dengan cepat pada zona intertidal. Sebagian besar dari spesies Anadara tersebar di daerah intertidal atau berbatasan dengan daerah

(23)

subtidal. Puncak kepadatan kerang darah biasanya di sekitar pertengahan daerah pasang. Di beberapa daerah populasi, kerang darah berlimpah di daerah subtidal. Di Penang, Malaysia, koloni kerang darah terdapat diantara pertengahan daerah pasang sampai pasang purnama terendah. Sementara di Perak, Malaysia, dari pertengahan daerah pasang sampai pasang perbani terendah. Variasi ini dianggap karena pengaruh dari perbedaan salinitas. Kerang darah hidup baik pada tingkat kemiringan tanah 200 cm (Broom 1980 in Arfiati 1986).

Warga Anadarinae mempunyai organ siphon yang tidak berkembang dengan sempurna, aliran air masuk (inhalent) dan keluar (exhalent) terjadi melalui organ yang berada di bagian butir (posterior margin) dari cangkangnya. Dengan tipe habitat tersebut, lumpur dengan mudah diserap sehingga kerang darah memperoleh makanan yang terkandung dalam lumpur yang dapat berbentuk detritus (Tetelepte 1990 in Erianto 2005).

Menurut Broom (1982) in Arfiati (1986) bahwa makanan kerang darah adalah mikro algae dasar yang sebagian besar berupa bentik diatom yang banyak diproduksi di zone euphotik beberapa milimeter di atas permukaan lumpur. Apabila makanan yang ada di permukaan lumpur ini sedikit sekali sehingga tidak mencukupi kebutuhannya, kerang akan memakan bahan organik yang tersuspensi didalam air.

2.3. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Anadara granosa, L 2.3.1. Substrat atau sedimen

Jenis substrat sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat itu sendiri didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir, dan liat dalam tanah (Brower et al. 1990). Nybakken (1988a) menjelaskan bahwa tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan organisme perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat menyebabkan keadaan toksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsung di substrat pada keadaan anaerob, dapat menimbulkan bau serta perairan yang tercemar. Sementara itu, tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut

(24)

terhindar dari keadaan toksik. Penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada substrat lumpur dan substrat lunak yang merupakan daerah kandungan bahan organik yang tinggi, sedangkan pemakan suspensi terdapat lebih melimpah pada substrat yang lebih mengandung pasir dengan kandungan bahan organik yang lebih sedikit.

Semua spesies Anadara termasuk ekonomis penting dan umumnya mendiami substrat yang lunak. Kerang darah dapat ditemukan pada substrat lumpur berpasir tetapi densitas tertinggi di daerah intertidal berbatasan dengan mangrove (Phatansali 1966 in Hery 1998). Hasil penelitian tentang populasi alami kerang darah pada dua lokasi di pantai Selangor, Malaysia, ditemukan bahwa kandungan air substratnya 55-62%. Proporsi diameter partikel yang berukuran < 53 µm di dua lokasi 80-90% pasir (diameter partikel > 63 µm). Kandungan air substratnya 47-51% menunjukkan bahwa substrat didominasi oleh pasir (Broom 1988 in Hery 1998).

Discoll & Brandon (1973) in Pratami (2005) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan jenis moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu, dan liat, adanya cangkang-cangkang organisme yang telah mati dan kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh penangkapan kerang secara terus-menerus, dikarenakan substrat teraduk oleh alat tangkap. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada substrat yang banyak mengandung cangkang organisme yang telah mati. Jenis-jenis dari kelas gastropoda dan bivalvia dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki alat-alat fisiologi khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang panjang).

Peningkatan buangan sedimen ke dalam ekosistem perairan pesisir akibat semakin tingginya laju erosi tanah yang disebabkan oleh kegiatan pengusahaan hutan, pertanian, dan pembangunan sarana dan prasarana, dapat membahayakan di lingkungan pesisir. Dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar melalui beberapa mekanisme. Pertama, sedimen yang menutupi tubuh biota laut terutama yang hidup di dasar perairan (organisme bentik). Kedua, sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air dan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air, sehingga dapat menggangu kehidupan organisme (Dahuri et al. 1996).

(25)

2.3.2. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992b). Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari. Suhu air permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31 °C (Nontji 2002). Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai.

Menurut Squires et al. (1975) in Hery (1998), Anadara spp. selalu berlindung pada mangrove dengan kisaran suhu dalam lumpur antara 26,0-37,5 °C disesuaikan dengan waktu dan puncak sinar matahari. Sementara menurut Russel-Hunter (1983) menyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, perbedaan panas dan intensitas cahaya pada saat pantai tidak tergenang dan tergenang akan menentukan pola penyebaran moluska di daerah pasang surut. Di daerah ini moluska akan mengalami tekanan suhu (Temperature Stress).

2.3.3. Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan gelombang (Nontji 2002). Estuaria merupakan perairan yang sempit dan dangkal sehingga ombak di daerah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan lautan. Akibat dari proses ini, menjadikan estuaria sebagai daerah yang tenang (Nybakken 1992b). Arus di estuaria terutama disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.

Arinardi (1987) in Pratami (2005) mengatakan bahwa organisme akuatik yang hidup menetap pada arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar perairan yang berpasir atau berlumpur. Pergerakan arus yang cukup lambat di daerah berlumpur menyebabkan partikel-partikel halus mengendap dan melimpahnya detritus. Hal ini merupakan media yang baik bagi pemakan deposit, seperti bivalvia dan gastropoda.

Pergerakan air yang ditimbulkan oleh gelombang dan arus juga memiliki pengaruh yang penting terhadap bentos, mempengaruhi lingkungan sekitar, seperti ukuran sedimen, kekeruhan, dan banyaknya fraksi debu juga stress fisik yang

(26)

kecepatan arusnya sangat lemah, yaitu kurang dari 10 cm/detik, organisme bentik dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas tanpa terganggu (Tabel 1).

Tabel 1. Kecepatan arus dan efeknya terhadap organisme dasar Kecepatan arus

(cm/detik) Kategori Keterangan

> 100 Cepat

Organisme bentik sangat terpengaruh oleh arus yang cepat sehingga dapat menyebabkan stress fisik, sangat sulit untuk menetap

10-100 Sedang

Menguntungkan bagi organisme dasar dan perairan terbuka, terjadi pencampuran dan pembauran antara bahan organik dan anorganik, tidak terjadi akumulasi

< 10 Sangat lemah

Organisme bentik dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas, pencampuran mulai berkurang, begitu pula dengan pembaruan gas-gas terlarut dan bahan-bahan penting lain

< 5

Sangat lemah sekali

Kurangnya pencampuran, terjadi stratifikasi kolom air, oxycline dan berkurangnya oksigen bagi organisme dasar

(Sumber : Wood 1987)

2.3.4. Salinitas

Menurut Boyd (1982), salinitas adalah total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam perairan yang dinyatakan dalam satuan gr/kg atau ‰. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biota akuatik. Penurunan salinitas di perairan estuari akan mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan atau respon organisme terhadap kadar salinitas berbeda-beda (Levinton 1982 in Ippah 2007). Salinitas optimum bagi bivalvia berkisar antara 2-36 ‰ (Setyobudiandi 1995 in Ippah 2007).

Effendi (2003) mengatakan bahwa salinitas perairan payau antara 0,5-30 ‰ dan perairan laut berkisar antara 30-40‰. Menurut McLusky (1989) in Pratami (2005) bahwa pembagian zona estuari berdasarkan salinitas, yakni (1) Head, daerah hulu, air tawar memasuki estuari dan masih ada pengaruh arus dari sungai, salinitasnya < 5‰. (2) Upper reaches, di muara, daerah pencampuran antara air tawar dan air laut yang memiliki arus yang lemah, deposit lumpur, salinitasnya 15-18‰. (3) Middle reaches, bagian tengah, arus terjadi dikarenakan gelombang,

(27)

lumpur dan pasir terdeposit seiring dengan semakin cepatnya arus, salinitasya 18-25‰. (4) Lower reaches, bagian bawah, arusnya semakin cepat, substrat berpasir atau lumpur jika arus melemah, salinitas 25-30‰. (5) Mouth, mulut (hilir), arusnya kuat, bersedimen pasir atau pantai berbatu, salinitas hampir sama dengan laut, yakni > 30‰.

Menurut Venberg dan Venberg (1972) bahwa suhu dan salinitas merupakan parameter yang penting diukur, karena fluktuasinya sangat tinggi di daerah estuari. Fluktuasi alami salinitas di daerah pasang surut dapat disebabkan oleh penguapan besar, curah hujan, dan berbagai aktivitas manusia, terutama di daerah pesisir dekat muara sungai yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar. Kemudian Broom (1988) in Hery (1998) menjelaskan bahwa kelimpahan larva kerang darah menunjukkan hubungan dengan penurunan salinitas. Lamanya musim penghujan yang menyebabkan terjadinnya penurunan suhu di daerah intertidal yang berlumpur juga merupakan tanda-tanda lingkungan untuk menentukan musim pemijahan.

2.3.5. Derajat Keasaman (pH)

Nilai derajat keasaman (pH) di perairan mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Kondisi pH juga dipengaruhi oleh suatu perairan, oksigen terlarut, ion-ion terlarut, dan jenis serta stadia organisme hidup (Yonvitner 2001). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Keanekaragaman bentos mulai menurun pada pH 6-6,5 (Effendi 2003). Sementara menurut Russel-Hunter (1986) in Ippah (2007) menyatakan bahwa nilai pH berpengaruh pada proses pemijahan kerang. Pemijahan kerang akan dipercepat pada suasana basa dan pemijahan kerang yang optimum bagi moluska bentik berkisar antara 6,5-7,5.

Odum (1971) menyatakan bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil karena adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan. Perubahan pH sedikit saja akan mengakibatkan nilai alami sistem buffer terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi keseimbangan faktor kimia perairan. Derajat keasaman atau pH juga mempengaruhi spesiasi unsur-unsur kimia. Derajat keasaman ini akan mempengaruhi BOD5, ketersediaan fosfat, nitrogen,

(28)

silikat, serta unsur-unsur nutrien lainnya di perairan (Dodjlido dan Best 1993 in Ippah 2007).

2.3.6. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan salah satu bentuk gas terlarut yang paling penting dalam sistem kehidupan perairan. Kadar oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berfluktuasi tergantung pada proses pencampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke dalam badan perairan (Effendi 2003).

Oksigen terlarut merupakan unsur yang paling penting sebagai pengatur metabolisme bagi tumbuh dan berkembang biak (Razak 1992). Penurunan oksigen terlarut secara temporer selama beberapa hari biasanya tidak mempunyai pengaruh yang berarti karena kerang dapat melakukan metabolisme secara aerob namun metabolisme ini dapat menyebabkan kerang kekurangan energi sehingga mempengaruhi aktivitas lainnya seperti reproduksi dan pertumbuhan (Setyobudiandi 2000 in Ippah 2007). Kadar oksigen terlarut optimum bagi moluska bentik adalah 4,1-6,6 ppm, sedangkan kadar minimal yang masih dalam batas toleransi adalah 4 ppm (Clark 1974).

2.3.7. Struktur populasi

2.3.7.1. Analisis frekuensi panjang

Analisis frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendie 1997). Panjang ikan dapat ditentukan dengan mudah dan cepat di lapangan, karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal sehingga umur bisa ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur. Kelompok umur bisa diketahui dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Hasil identifikasi kelompok

(29)

umur dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan dan laju pertumbuhan (Shreck & Moyle 1990).

Ketika suatu contoh besar yang tidak bias diambil dari suatu stok ikan atau invertebrata, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok ukuran atau kelas yang berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada distribusi frekuensi panjang (King 1995). Setelah komposisi umur diketahui melalui analisis frekuensi panjang, maka parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode-metode estimasi yang sesuai.

2.3.7.2. Pertumbuhan dan mortalitas

Pertumbuhan pada tingkat populasi merupakan pertambahan jumlah dan biomassa totalnya. Kajian pertumbuhan pada dasarnya menyangkut ukuran badan sebagai suatu fungsi dari umur populasi. Pertumbuhan populasi sebagai bagian dalam mempercepat penambahan anggota baru ke dalam suatu kelompok baik berat maupun jumlah atau suplai baru berasal dari pertumbuhan reproduksi melalui tahapan tertentu dalam daur hidupnya dan mencapai ukuran tertentu dari pertumbuhan somatik (Ricker 1975). Dalam pengukuran petumbuhan populasi kerang dengan mengukur pertambahan cangkang. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 1997).

Laju penambahan populasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan laju reproduksi dan selanjutnya nilai kematian didasarkan pada kepadatan (Russel-Hunter 1968 in Ippah 2007). Kepadatan yang tinggi akan mempengaruhi tingginya produksi dari bivalvia karena tingginya biomassa per satuan luas dari organisme dalam memberikan kesempatan stadia dewasa untuk melakukan proses produksi (Burke 1980 in Ippah 2007).

(30)

tua (Sparre dan Venema 1999). Menurut Beverton & Holt (1957), menduga bahwa depresi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Berdasarkan penelitian Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyatakan bahwa pada 175 stok ikan yang berbeda, faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penagkapan (Sparre dan Venema 1999).

Pada daerah yang tereksploitasi, awalnya jumlah populasi stadia induk mengalami penurunan. Apabila terjadi peningkatan eksploitasi maka akan mempengaruhi penurunan stadia di bawahnya karena ketersediaan individu baru dipengaruhi oleh berkurangnya atau hilangnya induk yang matang gonad. Menurut Miller (1973) in Ippah (2007) bahwa suatu populasi bentik yang tereksploitasi dan mengalami pemulihan stok baru akan bergantung pada jumlah induk yang menghasilkan telur dan upaya penangkapan yang dilakukan. Jika upaya penangkapan begitu besar atau tepat menyamai ketersediaan populasi induk yang tersedia maka populasi ini akan mengalami penurunan secara terus menerus dan pada tingkat tertentu organisme ini akan mengalami kepunahan, sedangkan apabila ketersediaan populasi induk lebih besar sedang yang tertangkap dalam jumlah yang kecil maka akan memberikan kesempatan kepada penambahan individu baru untuk tumbuh menjadi dewasa. Suatu tingkat pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah populasi yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlah atau kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami (Parson et al. 1993 in Ippah 2007).

2.3.7.3. Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan

(31)

panjang bobot ini adalah untuk menduga bobot dari panjangnya atau sebaliknya. Selain itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997).

Panjang ikan sering lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan umur atau bobotnya. Menurut Effendie (1997) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb, dimana W adalah bobot, L adalah panjang, a dan b adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2 dan 4 tetapi kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi sedangkan pengukuran panajng diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b sama dengan 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan yang mempunyai bentuk tubuh tidak berubah (Ricker 1975) atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. Nilai b tidak sama dengan 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Jika b lebih dari 3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjangnya (Effendie 1997).

(32)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Mei 2010 di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada dan Bojonegara, Teluk Banten, Provinsi Banten setiap dua bulan sekali (Gambar 3 dan Gambar 4). Pemilihan stasiun berdasarkan asumsi bahwa ketiga stasiun di perairan Teluk Lada dan kedua stasiun di perairan Teluk Banten memiliki kondisi perairan yang berbeda. Pengukuran kualitas air dan substrat dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan (Proling), analisis biota di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Posisi stasiun lokasi pengamatan di perairan Teluk Lada dan Teluk Banten dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

(33)

Gambar 4. Stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten

Tabel 2. Posisi stasiun pengamatan

Lokasi Stasiun Letak

Teluk Lada 1 6°26'20,77" LS 105°48'45,1" BT

2 6°27'12,42" LS 105°48'04,5" BT 3 6°28'59,69" LS 105°46'33,5" BT

Teluk Banten 1 5°59'37,80" LS 106°06'34,3" BT

2 5°58'55,00" LS 106°06'04,9" BT

3.2. Alat dan Bahan

Selama pengambilan contoh, dibutuhkan alat dan bahan untuk menunjang penelitian dilapangan. Alat yang digunakan yaitu: perahu, “garok”, GPS, alat tulis, spidol permanen, kertas label, papan jalan, eikman grab, van dorn water sampler,

ice box, polybag, secchi disk, thermometer, refraktometer, kertas pH, stopwatch,

kompas bidik, transek ukuran 1×1 m, tali tambang berskala, alat titrimetrik, botol BOD, botol contoh, jangka sorong, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan yaitu: akuades, es, dan bahan-bahan untuk titrasi. Analisis pengukuran panjang

(34)

kerang darah menggunakan jangka sorong dengan tingkat ketelitian 0,01 mm dan untuk mengukur bobot digunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001 gr.

3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Penentuan stasiun penelitian

Stasiun penelitian ditentukan secara sistematik horizontal pada setiap lokasi pengamatan dan dibedakan berdasarkan asumsi bahwa terjadi perbedaan kondisi lingkungan pada masing-masing stasiun. Perairan Panimbang terdiri dari 3 stasiun dengan kedalaman rata-rata perairan 3–4 meter, yaitu stasiun 1 merupakan stasiun yang berdekatan dengan PLTU yang berjarak 1 km dari sekitar Muara Bama, stasiun 2 terletak di Tegal Papak dengan di sekitarnya terdapat tambak udang dan perkebunan kelapa, dan stasiun 3 terletak di Muara Panimbang dengan banyaknya pemukimam di sepanjang Sungai Ciliman. Sementara Perairan Bojonegara dengan kedalaman rata-rata perairan 60 cm, terdapat dua stasiun yang juga memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Stasiun 1 terletak di Kali Teratai dengan di sekitarnya terdapat industri minyak kelapa dan stasiun 2 terletak di Kali Wadas dengan di sekitarnya terdapat industri penyimpanan batu bara dan industri gula. Pada saat pengambilan contoh kerang darah diambil pada setiap stasiun dengan ulangan sebanyak 2 kali.

3.3.2. Pengambilan contoh Anadara granosa, L

Kerang darah di perairan PLTU Labuan, Teluk Lada diambil dengan menggunakan alat tangkap “garok” yang ditarik oleh kapal motor pada setiap stasiun. Alat ini menyerupai kantong yang bagian mulutnya diberi bingkai yang terbuat dari besi berbentuk segitiga sama sisi. Pada bagian bawah bingkai diberi gigi-gigi dari besi (gigi garok). Pengoperasian alat garok ini bisa mencapai kedalaman sekitar 3-6 meter. Alat ini dioperasikan dari atas perahu, dimana pada saat penarikan garok, nelayan menggunakan semacam garden (alat penggulung tali) (Gambar 5).

Cara pengoperasian garok adalah sebagai berikut: mula-mula garok dilemparkan ke perairan. Eksploitasi dilakukan dengan menurunkan garok dari salah

(35)

satu sisi perahu, kemudian ditarik menelusuri dasar perairan melalui tali panjang yang salah satu ujungnya diikatkan pada salah satu patok. Kerang-kerangan yang terkena garok akan masuk ke dalam kantong yang ada di bagian belakang alat-alat tersebut.

Gambar 5. Garok

Sementara itu, di perairan Bojonegara pengambilan biota dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan perahu menuju stasiun. Di setiap stasiun digunakan transek kuadrat ukuran 1×1 m (Gambar 6) secara purposive sampling dan pengambilan kerang dengan menggunakan tangan.

Kerang yang ditangkap kemudian dimasukkan kedalam polybag yang sudah diberi label dan dimasukkan ke dalam ice box yang berisi es. Setelah itu dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi yang kemudian diukur panjang, lebar, tebal, tinggi umbo, simetri kiri dan kanan, dan Hinge Line Ligament (HLL) dengan menggunakan jangka sorong serta berat total dan berat daging dengan menggunakan timbangan analitik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kelompok ukuran dari kerang darah. Data panjang yang digunakan yaitu tinggi kerang dimana berupa ukuran dari bagian dorsal (umbo) menuju bagian ventral.

(36)

Gambar 6. Transek kuadrat 1 x 1 meter

3.3.3. Analisis kualitas air

Pengukuran parameter fisika yang dilakukan secara in situ adalah suhu, salinitas, dan arus sedangkan parameter kimianya adalah oksigen telarut (DO) dan pH (Tabel 3).

Tabel 3. Komponen parameter fisika-kimia yang diukur beserta alat/ metode pengukurannya

Parameter Satuan Alat/Metode Tempat analisis

FISIKA SEDIMEN

Tekstur %

Eikman grab/grafik segitiga

Millar Laboratorium

BIOLOGI

Bivalvia ind/m2

Garok dan manual dengan

tangan in situ & Lab

FISIKA AIR

Arus cm/detik Floating droadge/visual in situ

Suhu 0C Termometer/pemuaian in situ

Salinitas ‰ Hand refraktometer/ in situ

refraksi cahaya KIMIA AIR

pH Kertas pH in situ

DO mg/l Titrasi/modifikasi titrasi in situ

(37)

3.3.4. Analisis substrat

Contoh substrat dasar perairan diambil sebelum dilakukan pengambilan contoh kerang dan dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Contoh substrat dasar perairan yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui komposisi (%) liat, debu, pasir, di laboratorium. Penentuan tipe ini menggunakan segitiga Millar yang menggolongkan tipe substrat berdasarkan perbandingan liat, pasir, dan debu (Gambar 7). Alat/ metode yang digunakan yaitu Eikman grab/ grafik segitiga Millar dan lokasi pengukuran contoh substrat dilakukan di laboratorium (Tabel 3).

Gambar 7. Segitiga Millar (Brower et al. 1990)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Densitas (kepadatan) populasi

Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas atau volume (Brower et al. 1990). Kepadatan jenis Anadara per satuan luas dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

D = Kepadatan jenis Anadara (individu/m2)

x = Jumlah individu jenis Anadara per kuadrat yang diukur (individu) m = Luas kuadrat pengambilan contoh (m2)

(38)

3.4.2. Pola sebaran jenis

Untuk mengetahui pola sebaran jenis suatu organisme pada habitat, digunakan Indeks Sebaran Morisita (Brower et al. 1990). Rumus untuk menghitung Indeks Sebaran Morisita adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Id = Indeks Sebaran Morisita

q = Jumlah kuadrat pengambilan contoh

ni = Jumlah individu jenis pada kuadrat contoh ke-i N = Jumlah total individu jenis dari semua kuadrat contoh

Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dibandingkan dengan kriteria sebagai berikut:

Id < 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id = 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat acak

Id > 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok

Untuk menguji kebenaran Indeks Sebaran Morisita diatas, digunakan suatu uji statistik, yaitu Uji Chi-Kuadrat (Brower et al. 1990) dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

χ2 = Nilai Chi-Kuadrat

n = Jumlah unit pengambilan contoh xi = Jumlah individu tiap stasiun

N = Jumlah total individu yang diperoleh i = 1, 2, 3,…, s

Nilai χ2 hitung dibandingkan dengan nilai χ2 tabel. Jika nilai χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel maka penyebaran adalah mengelompok, dan jika χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel maka penyebaran adalah acak.

3.4.3. Distribusi frekuensi panjang

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang. Distribusi frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok

(39)

umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh nilai tengah (µ) dan simpangan baku (σ). Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ...,N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pi adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j = 1, 2, ...,G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µˆj,σˆj, } adalah fungsi kemungkinan maksimum (maksimum likelihood function) :

L log (1) qij = 2 2 1 2 1        j j i x j e σ µ π

σ yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i.

Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj dan pj sehingga diperoleh dugaan µˆj,σˆj,dan yang akan digunakan

untuk menduga parameter pertumbuhan.

Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Menentukan nilai minimum dan nilai maksimum dari seluruh data panjang total kerang.

2. Dengan melihat hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang kerang ditetapkan jumlah kelas dan interval kelas.

3. Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan kemudian limit atas kelas. Limit atas kelas didapatkan dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas.

4. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas.

5. Menentukan nilai tengah kelas bagi masing-masing kelas dengan merata-ratakan limit kelas.

(40)

Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam masing-masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya. Dari grafik tersebut terlihat jumlah puncak yang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada. Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort. Bila terdapat lebih dari satu kohort, maka dilakukan pemisahan distribusi normal. Metode yang dapat digunakan untuk memisahkan distribusi komposit ke dalam distribusi normal adalah metode Bhattacharya (1967) dengan bantuan software program FISAT II (Sparre dan Venema 1999).

3.4.4. Pertumbuhan dan mortalitas

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre dan Venema 1999). Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat dinyatakan sebagai berikut:

!" !#$ %&'"&"() (2) Keterangan: Lt = panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)

L∞ = panjang maksimum yang dapat dicapai ikan (panjang asimtotik) K = koefisien pertumbuhan

t0 = umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

Untuk t0 sama dengan nol, maka persamaan (2) dapat ditulis menjadi:

L* L∞ $1 e&-*) (3)

L∞ L∞ e&-* (4) L L*. Le&-* (5)

L∞ L* L∞e&-* (6) Untuk t = t +1 dan t = t, maka L t+1 - Lt pada persamaan (3) menjadi:

(41)

L*/ L* L∞01 e&- */1 L∞$1 e&-*) (7)

L∞e&- */. L∞e&-* (8)

L∞e&-*$1 e&-) (9)

Menyubstitusikan persamaan (6) ke persamaan (9) diperoleh persamaan:

L*/ L* $L∞ L*)$1 e&-) (10)

L∞$1 e&-) L*. L*e&- (11)

L*/ L$1 e&-) . L*e&- (12)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1=tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (12) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1 x, jika Lt sebagai sumbu x (absis) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai sumbu y (ordinat) maka terbentuk kemiringan (slope) sama dengan dan titik potong dengan sumbu x sama dengan L∞$ 1 e&-). Dengan demikian, nilai K dan L diperoleh dengan cara sebagai berikut:

K = - ln (b) (13)

dan

L

&32 (14) Mortalitas di bagi menjadi dua, yaitu mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami meliputi peristiwa seperti kematian karena penyakit, predasi, kompetisi, tua, dan pencemaran, sedangkan mortalitas penangkapan meliputi peristiwa seperti kematian karena disebabkan oleh penangkapan. Mortalitas total (Z) menggunakan persamaan Jones dan Van Zalinge dan mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris Pauly dengan bantuan software dalam program FISAT II.

(42)

Mortalitas total (Z) diperoleh dengan menggunakan Persamaan Jones dan Van Zalinge yaitu:

Ln CL, L∞ a . -89 lnL∞ L (15)

dimana C (L,L∞) adalah hasil tangkapan kumulatif pada panjang L dan diatasnya. Kemiringan regresi linier yang dihitung dengan persamaan diatas adalah Z/K sehingga dugaan Z dapat diperoleh dari:

Z = K * kemiringan

Sedangkan untuk mortalitas alami (M) digunakan rumus empiris Pauly (Sparre dan Venema 1999) yaitu:

Ln M = - 0,152 – 0,279*ln L∞ + 0,6543*lnK + 0,463*lnT

dimana M (per tahun) adalah mortalitas alami, K (per tahun) adalah koefisien pertumbuhan, L∞ (mm) adalah panjang infinitif yang merupakan panjang dugaan yang mungkin dicapai oleh ikan yang diamati, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air tahunan dalam derajat Celsius.

Setelah didapatkan nilai Z (mortalitas total) dan nilai M (mortalitas alami), maka didapatkan pula nilai F (mortalitas penangkapan) (Pauly 1984) dari persamaan:

F = Z – M

Sehingga didapatkan pula laju eksploitasi dengan menggunakan rumus:

3.4.5. Hubungan panjang bobot

Hubungan panjang bobot ini digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan allometrik (Hile 1963 in Effendie 1997). Untuk kedua pola ini terdapat pada persamaan:

W = a L b

Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan: Log W = Log a + b Log L

(43)

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai variabel tak bebas dan Log L sebagai variabel bebas.

Untuk menguji b ≥ 3 (pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang) atau b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot) (Sukimin et al. 2006) dilakukan uji-t satu arah dengan hipotesis:

H0 : β≥ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik positif H1 : β < 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik negatif

Allometrik positif, jika b ≥ 3 (pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang) dan allometrik negatif, jika b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot).

thitung =

b1 adalah nilai b (hubungan dari panjang berat), b0 adalah 3, dan sb1 adalah simpangan koefisien b.

Selanjutnya, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil mengacu pada Nasoetion & Barizi (1980) yaitu: jika thitung > ttabel maka tolak H0 (hipotesis nol) dan jika thitung < ttabel maka gagal tolak H0 (hipotesis nol).

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan hasil numerik fungsi gelombang keadaan dasar dengan hasil eksak untuk sebuah partikel dalam potensial osilator harmonik 1D dengan LX = 10, NX = 100 dengan spasi grid

First, in the Update method of the Game1 class, add some code that will allow the player to close the game window when the game is in the game-over state. Here, you’ll close

Dysfunctional uterine bleeding (DUP) atau perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar

Syarat utama dalam mengukur parameter ini yaitu kita harus menggunakan kabel (feeder) yang berkondisi baik agar tampilan hasil pengukuran dapat lebih akurat. Penguatan

Pada kelas kontrol awalnya siswa juga kebingungan untuk menjawab soal pretest dengan masalah yang sama seperti kelas eksperimen yaitu materi pelajaran tersebut belum

Dalam kata lain, rata-rata wanita mengalami masa subur di antara hari ke-10 hingga hari ke- 17 setelah hari pertama haid sebelumnya.. Hal tersebut berlaku bagi wanita yang mempunyai

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan variabel LDR, IPR, NPL, APB, IRR, PDN, FBIR, dan BOPO secara bersama-sama memiliki pengaruh yang