• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

21

Kedua kelompok tani (poktan) yang menjadi fokus penelitian ini sama-sama terletak di Desa Batur. Desa Batur merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Desa batur berbatasan wilayah dengan: desa Sumogawe di sebelah utara; desa Tajuk di sebelah timur; gunung Merbabu di sebelah selatan; dan desa Kopeng di sebelah barat. Desa Batur memiliki dusun berjumlah 19. Jumlah keseluruhan penduduk di desa Batur sebanyak 6.784 jiwa, dengan rincian: 3.214 laki-laki dan 3.570 perempuan.

Desa Batur mempunyai topografi daerah pegunungan karena terletak pada ketinggian rata-rata + 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan curah hujan 2.500 mm. Menurut Zulkarnain (2009:25), ketinggian tempat yang seperti itu tergolong dalam wilayah dataran tinggi. Daerah ini memiliki suhu rata-rata harian 230C, sehingga tergolong sebagai daerah yang sejuk (Ekowati, 2009:04). Kondisi topografi dan suhu yang demikian menjadi salah satu daya dukung untuk melakukan budidaya berbagai macam sayuran (Pracaya, 2011:18). Desa Batur memiliki lahan yang cukup untuk mendukung kegiatan budidaya tanaman sayuran, dengan rincian: tegalan seluas 321 ha dan tanah bengkok seluas 36 ha. Dengan luas lahan yang seperti itu, maka wajar apabila sebagian masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani berjumlah 3.989 orang dengan rincian 3228 orang petani dan 761 orang buruh tani (Data Sekunder: Profil Desa Batur).

Organisasi Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE) mencatat bahwa terdapat 2 poktan di kecamatan ini yang tergolong aktif mempunyai sertifikat pangan organik (Sumber: Data Sekunder), yaitu: Poktan Tranggulasi dan Poktan Bangkit Merbabu (BM). Kedua poktan tersebut sama-sama terletak di Desa Batur dan memiliki orientasi usaha di bidang sayuran.

(2)

4.2 Identitas Singkat Narasumber

Sebelum berlanjut ke pembahasan berikutnya, diharapkan para pembaca mengenal terlebih dahulu identitas tiap narasumber dalam penelitian ini. Tiap narasumber yang berasal dari poktan, maupun narasumber yang berasal dari luar poktan memiliki peran ganda, artinya di satu sisi ia bisa berperan sebagai partisipan, tetapi di sisi lain ia bisa berperan sebagai key informant. Penentuan peran narasumber sebagai partisipan ataukah sebagai key informant tergantung pada konteks yang sedang diteliti. Untuk memperoleh pemahaman, tabel berikut ini akan membantu menjelaskan identitas singkat masing-masing narasumber, baik yang berasal dari poktan maupun yang berasal dari luar poktan.

Tabel 2. Daftar Narasumber Poktan

Kelompok Tani Tranggulasi

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

1 Pitoyo Ngatimin, SP 46 S1 Ketua Poktan, Ketua Pengelola Poktan, Koordinator I, dan Komisi Persetujuan Internal Control System Gapoktan KOMPOR Merbabu

2 Harto Slamet 60 SD Wakil Ketua Poktan dan Sie

Pelatihan & Pengembangan (Pengelola)

3 Abdul Wahab 43 SMA Sekretaris I Poktan dan Bendahara Pengelola

4 Suparyono 50 SD Sekretaris II Poktan

5 Syaefudin 38 SMP Bendahara II Poktan

6 Sumadi 47 SD Sie Sarana Produksi Poktan

7 Sri Jumiati 36 D-II Sie Pemberdayaan Poktan

8 Jumarno 49 SMP Sie Usaha Poktan dan Sie

Administrasi (Pengelola)

9 Ngatemin 48 SD Anggota Poktan

10 Ngatimin 43 SD Anggota Poktan

11 Wikan Mujiono 26 SMK Anggota Poktan

12 Rebo 45 SD Anggota Poktan dan Sie

Transportasi (Pengelola)

13 Sumar 31 SMP Anggota Poktan

(3)

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

15 Supoyo 58 SD Anggota Poktan

16 Harun 49 SD Anggota Poktan dan Sie Lapangan

(Pengelola) Kelompok Tani Bangkit Merbabu

No. Nama Usia (tahun) Pendidikan Status

1 Zaenal, Ama. Pd 58 Diploma Ketua Poktan dan Sekretaris II Gapoktan Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu

2 Supilih 61 SD Sekretaris Poktan

3 Sumadi 69 SMA Bendahara Poktan

4 Rochmad 65 Pendidikan Guru Penasihat dan Divisi Humas Poktan

5 Rebo Wahono 44 SD Divisi Pertanian Poktan

6 Makruf 39 SD Divisi Pemasaran Poktan

7 Mujiyanti Rahayu 52 SLTP Divisi Pemberdayaan Poktan

8 Darwadi 43 MI Seksi Gudang dan Perlengkapan

9 Umar 57 SD Anggota Poktan

10 Pandi 60 SD Anggota Poktan

11 Budiyati 46 SD Anggota Poktan

12 Saminah 58 SD Anggota Poktan

Tabel 3. Daftar Narasumber Eksternal Poktan

No. Nama Status

1 Petrus Kriswigati Koordinator Penyuluh Pertanian (KPP) Kecamatan Getasan dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Batur

2 T.O. Suprapto Presiden (Koordinator Umum) Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) 3 Suwanto Pendamping Pemberdayaan Poktan Bangkit Merbabu 4 Yusuf N. S. Purba, SE Pendamping Pemasaran Poktan Bangkit Merbabu 5 Ir. Nick Tunggul Wiratmoko, M.Si Pendamping Teknis Poktan Bangkit Merbabu 6 Witono Pujo Sasongko Kepala Unit Lingkungan & Energi Yayasan Sion 7 Ir. Iswanto Kepala Kelompok Fungsional Dintanbunhut Kabupaten

(4)

No. Nama Status

8 Supardi Hadi Sucipto Kepala Dusun Selo Ngisor dan Penasihat Poktan Tranggulasi

9 Giyono Petani non-poktan di Dusun Kaliduren

10 Daniel Rudolph Pendamping Research and Development Poktan Bangkit Merbabu

11 Rahmat Direktur Utama PT. Mitra Mas

12 Bernadus Agus Prabowo, SH Koordinator Organic Indonesia Seraphine

13 Suwalim Penyuluh Pertanian Lapangan Desa Kopeng, Komisi Persetujuan dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

14 Andi Raujung Koordinator Pelaksana Dinas (KPD) Pertanian Kecamatan Getasan

15 Nyuwono, SP, M.Si Kepala Seksi Kelembagaan Pelaku Utama dan Usaha Badan Koordinasi Penyuluhan Prov Jateng

16 Ferdian Lutfi Hermawan, SP Panitia Kegiatan Farmer Meeting “Sistem Pertanian Organik”

17 Rame Ketua DPP Paguyuban Petani Merbabu

18 Nyoto, Waluyo, Nandar, dan Marshudi Pengurus dan Anggota Poktan Phala Tani (Poktan dampingan Bangkit Merbabu)

19 Suryanti Pedagang Perantara Sayuran di Dusun Selo Ngisor 20 Tugiarto, SE Staff Bidang Ekonomi Badan Perencanaan &

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Semarang 21 Suroso Pengurus Kelompok Tani Jaya Abadi, Dusun Kaliduren 22 Subari, S.Pd Koordinator II “Internal Control System” Gapoktan

KOMPOR Merbabu

23 Giono Seksi Pemasaran dan Anggota Inspektor “Internal Control System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

24 Asep Miswan Mantan Pegawai Penelitian dan Perekayasaan Kelompok Penelitian Kesuburan Tanah, Balai Penelitian Tanah (Balittan), Bogor

25 Sutopo Ketua dan Komisi Persetujuan Gapoktan Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu

26 Suwadi Sekretaris I dan Seksi Pemberdayaan “Internal Control System” Gapoktan KOMPOR Merbabu

27 Sulasmin Petani non-kelompok tani

28 Sri Jumiati Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT), Dusun Selo Ngisor

(5)

4.3 Gambaran Umum Kelompok Tani

Sub bab ini memberi gambaran tentang seluk-beluk poktan, yang meliputi: lokasi usaha poktan dan sejarah terbentuknya poktan, peristiwa penting yang dialami oleh poktan, model struktur organisasi poktan, jenis tanaman yang diusahakan poktan, dan sebagainya. Berikut penjelasannya:

4.3.1 Kelompok Tani Tranggulasi A. Sejarah Terbentuknya Poktan

Poktan ini memiliki hamparan usaha di dusun Selo Ngisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan. Nama “Tranggulasi” berawal dari adanya gumuk kecil peninggalan zaman Belanda, yang terletak di belakang dusun yang dikenal oleh masyarakat dengan nama “triangulasi”, yang artinya tiga sudut pandangan. Hal tersebut diperjelas oleh pernyataan dari Supardi Hadi Sucipto yang statusnya sebagai mantan ketua poktan “Ngudi Makmur” sebagai berikut:

“Dulu namanya Ngudi Makmur, itu tahun 1998 sampai 2001 atau 2000, terus hasilnya tidak ada sama sekali. Terus tranggulasi ini teringat ada sejarah gumuk kecil, itu sejarah, peninggalan belanda, ada triangulasi, triangulasi itu artinya tiga sudut pandangan. Orang Jawa itu butuh mudah untuk menyebutkannya, jadinya bukan triangulasi tapi tranggulasi.”

Sesuai dengan berbagai informasi tersebut, Poktan Tranggulasi dibentuk tahun 2001. Hal tersebut didukung pula oleh data sekunder (Anonim, 2013:26). Karena masyarakat di sekitarnya butuh kemudahan untuk mengucapkannya, maka sampai saat ini tidak menggunakan nama “Triangulasi”, tetapi Tranggulasi. Pembentukan Poktan Tranggulasi juga disertai dengan visi: “menjadikan desa Batur sebagai agrowisata sayuran organik agribisnis yang mampu meningkatkan ekonomi petani” dan misi: a) memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk meningkatkan pendapatan petani; b) menjadikan petani berkelanjutan bagi petani yang ramah lingkungan; c) membangun hubungan kerjasama kemitraan untuk pemasaran hasil sayuran organik; dan d) menumbuhkembangkan sains petani (Anonim, 2012:22).

Awal-mula terbentuknya poktan bernama Tranggulasi ini dilatarbelakangi oleh adanya inisiatif dari beberapa petani untuk membentuknya. Ungkapan dari Abdul Wahab akan memperjelas hal tersebut.

“Pak Pitoyo mengajak saya untuk bentuk organisasi. Ternyata di situ bentuknya kelompok tani, itu di Puasan (keterangan peneliti: nama kelompok di Puasan adalah Paguyuban Petani Merbabu). Terus kita pulang, bikin kelompok. Sebenarnya sudah ada

(6)

organisasi ini, walaupun itu organisasi kelompok taninya KUT. Orang-orang KUT kita kumpulkan, waktu itu kita kumpulkan ada sekitar 22 orang, terus kita buat kelompok, kita modalkan 25.000 per orang. KUT itu yang bantuan modal dari pemerintah. Terus berkembang anggotanya jadi 42. Karena seleksi alam, orangnya tidak mau, sedikit demi sedikit pada keluar, kita gak pernah ngeluarkan orang.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Poktan Tranggulasi terbentuk bukan atas anjuran dari pemerintah dan didukung oleh organisasi serikat paguyuban petani yang bernama “Paguyuban Petani Merbabu (PPM)”. Pembentukan Poktan Tranggulasi dimulai dari kelompok tani yang saat itu sedang menjadi partisipan program Kredit Usaha Tani (KUT). Hal tersebut senada dengan mandat yang tertera di permentan no. 82, bahwa pembentukan poktan dapat dimulai dari kelompok atau organisasi sosial yang ada di masyarakat. Poktan Tranggulasi merupakan perubahan dari poktan yang ada di dusun Selo Ngisor (Ngudi Makmur) yang dibentuk lebih kepada tujuan untuk distribusi bantuan dan memudahkan kontrol bagi pelaksana program KUT, seperti poktan lain pada umumnya (Zuraida dan Rizal, 1993) (dalam Syahyuti, 2011:47).

Dari pernyataan di atas juga dapat disimpulkan bahwa terjadi penambahan jumlah anggota dari 22 orang menjadi 42 orang. Menurut Supardi Hadi Sucipto, lambat-laun terjadi penurunan anggota menjadi 32 orang yang bertahan sampai sekarang, karena adanya “seleksi alam” dan ketidak-mampuan beralih ke UT organik:

“Dulu waktu berdirinya kelompok awalnya ada 42 orang, yang 10 orang mundur karena kurang berhasil. Sampai sekarang yang bertahan cuma 32 orang. Mereka mundur, karena tidak mampu atau disibukkan dengan urusan rumah tangga, untuk beralih ke organik.”

Terkait dengan asal-usul pembentukan Poktan Tranggulasi, pernyataan dari Abdul Wahab tersebut diperkuat melalui ungkapan dari Rame sebagai berikut:

“Kalau di kecamatan Getasan anggota kami ada di Desa Batur, yang sekarang jadi Tranggulasi, awal-mulanya itu kita yang bentuk. Sosialisasi awal itu sampai berjalan, Tranggulasi itu anggota paguyuban petani merbabu. Saya menanamkan pola pikir ke mereka, bahwa kelompok tani yang maju itu adalah kelompok yang mau belajar. Kalau maju ya mereka itu akan semakin besar usahanya?”

Dari pernyataannya, dengan adanya dukungan dari paguyuban petani merbabu (PPM) dalam membentuk Poktan Tranggulasi, maka Poktan Tranggulasi tergabung menjadi anggota PPM. Dari hasil penelitian itu, maka dapat diungkapkan makna bahwa pembentukan poktan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan pihak organisasi non-pemerintah juga bisa memegang

(7)

peranan tersebut. Ketika pihak PPM memberikan dorongan untuk membentuk poktan, sebagian individu Poktan Tranggulasi ditanamkan pola pikir bahwa kegiatan belajar merupakan sesuatu hal yang bernilai ketika poktan ingin maju. Hal tersebut turut membentuk motivasi petani dan diwujudnyatakan atau dipraktekkan dalam kehidupan mereka selama berkelompok tani.

B. Peristiwa Penting Poktan

Poktan Tranggulasi secara kolektif mulai merintis sistem pertanian organik pada tahun 2004. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Abdul Wahab sebagai berikut:

“Mulai 2004 baru terlaksana organik, semua mengikuti. Tahun 2003 baru orang-orang tertentu.”

Dari pernyataan Abdul Wahab maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2003 sudah terdapat beberapa petani yang mencoba untuk menerapkan sistem UT organik.

Pada tahun 2006, poktan ini dijadikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). Hal ini terbukti berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin sebagai berikut:

“2006 baru menjadi P4S. P4S itu adalah lembaga yang diberi SK oleh kementan melalui BPSDM-nya. BPSDM-tan itu punya lembaga-lembaga yang bukan miliknya negara, termasuk P4S itu. Mereka memberi wewenang, memberi SK.”

Berdasarkan pernyataan dari Pitoyo Ngatimin, maka terbukti bahwa P4S merupakan suatu organisasi yang diberi wewenang, diberi SK (Surat Keputusan) oleh kementerian pertanian, melalui BPSDM-tan (Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian). BPSDM-tan merupakan organisasi milik pemerintah provinsi Jawa Tengah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan pelatihan bagi petani. BPSDM-tan ini berlokasi di Desa Suropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung. P4S bukan tergolong lembaga milik negara. Menurut Keputusan BPSDM-tan, P4S merupakan lembaga pelatihan atau pemagangan pertanian dan perdesaan yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh petani secara swadaya, baik perorangan maupun kelompok.

Pada tahun itu pula (tahun 2006), poktan ini menunjukkan keberaniannya untuk berpartisipasi dalam lomba nasional “sayuran organik” yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pada kesempatan itu, Poktan Tranggulasi

(8)

memperoleh juara I. Selanjutnya, pada tahun 2009 poktan ini kembali mendapatkan penghargaan sebagai poktan berorientasi “ekspor buncis perancis” (Anonim, 2014:24). Pada tahun 2014 poktan ini kembali memperoleh penghargaan sebagai P4S juara I tingkat nasional. Berikut pernyataan dari Abdul Wahab yang berkaitan dengan hal tersebut:

“Tranggulasi itu dapat penghargaan tingkat nasional tiga kali, terakhir P4S lomba tingkat nasional juara I tahun 2014.”

C. Model Struktur Organisasi

Untuk menangani berbagai kegiatan poktan secara umum, Tranggulasi membentuk struktur organisasi (dapat dilihat di lampiran IV). Selain itu, Poktan Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi yang khusus untuk menangani pemasaran produk sayuran yang dihasilkan oleh poktan. Pernyataan dari Harto Slamet akan memperjelas hal tersebut:

“Pengelola itu pembentukannya bukan dibentuk, tapi ditunjuk dari anggota setelah kita kerjasama dengan pasar. Kerjasama dengan eksportir, dikirim ke Malaysia dan Singapur. Itu yang pertama.”

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Harto Slamet, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan pengelola pemasaran dilatarbelakangi oleh penanganan berbagai aktivitas untuk pemasaran ke luar negeri. Pengelola ini dibentuk berdasarkan penunjukkan dari para anggota. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa pengelola pemasaran melakukan fungsinya di bawah seksi usaha. Di samping itu, Poktan Tranggulasi juga membentuk struktur organisasi khusus Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sri Jumiati sebagai berikut:

“Kalau P4S punya pengelola sendiri, yang kelompok tani Tranggulasi punya struktur sendiri juga.”

Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa Poktan Tranggulasi memiliki struktur organisasi yang diberdayakan untuk mengendalikan sistem internal. Struktur organisasi tersebut dikenal dengan istilah internal control system (ICS). Dengan demikian Poktan Tranggulasi memiliki empat struktur organisasi yang seluruhnya dilampirkan dalam skripsi ini (lampiran IV).

(9)

D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan

Poktan Tranggulasi sudah mengusahakan berbagai komoditas sayuran diantaranya meliputi: sawi putih, wortel, kentang, sawi sendok, kubis, buncis perancis, tomat, selada hijau, daun bawang (onclang), spinach (bayam Jepang), lettuce, timun jepang, lobak, brokoli, bit root, dan sebagainya.

4.3.2 Kelompok Tani Bangkit Merbabu A. Sejarah Terbentuk Poktan

Poktan Bangkit Merbabu (BM) berlokasi di dusun Kaliduren, Desa Batur. Awal mula terbentuknya poktan ini karena adanya perbincangan antar beberapa petani di Dusun Kaliduren. Pernyataan dari Rochmad akan memperjelas hal tersebut:

“Tahun 1998 itu namanya bukan Bangkit Merbabu, tapi Ngudi Lestari. Lalu diganti kembali menjadi Alhidayah. Itu dulunya jatuh-bangun, untuk dijadikan satu organisasi ini ada yang mau, ada yang tidak. Kemudian setelah saya purna tugas tahun 2010, saya mengajak pak Sumadi, pak Supilih, sama pak Zaenal untuk membentuk kelompok. Sebetulnya dulu itu ada 36 anggota, ambil 10 saja yang kita amati bisa diajak berkomunikasi dan bisa saling koreksi. Hanya 10 itu yang kita ambil, nantinya mau dijadikan organik. Tapi namanya harus diganti. Karena kita perlu bangkit, maka dikasih nama Bangkit Merbabu.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa poktan berdiri pada tahun 2010. Sebenarnya ketika tahun 1998 sudah hidup poktan di dusun Kaliduren yang namanya “Ngudi Lestari”. Setelah itu, poktan ini berubah namanya menjadi “Alhidayah”. Ketika menggunakan kedua nama tersebut, poktan di Dusun Kaliduren mengalami situasi yang dinamis (jatuh-bangun). Di waktu itu, timbul suasana pro dan kontra antar petani di Dusun Kaliduren. Lalu poktan yang ada di Dusun Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan BM fungsinya belum begitu eksis. Poktan BM terbentuk sebagai akibat dari adanya gagasan dari Rochmad dengan melibatkan tiga petani lainnya, yaitu: Sumadi, Supilih, dan Zaenal. Keempat petani ini berembug membentuk poktan dengan nama dan sistem yang baru dengan harapan fungsinya dapat berjalan lebih baik jika dibandingkan dengan poktan-poktan yang pernah ada sebelumnya. Oleh karena itu, nama poktan ini dinamakan Bangkit Merbabu. Penggunaan nama “Merbabu” dikarenakan lokasinya berdekatan dengan gunung Merbabu. Diskusi oleh petani-petani tersebut juga tidak lepas dari pembicaraan tentang penetapan tujuan poktan.

(10)

Dengan demikian, disepakati bahwa Poktan BM memiliki tujuan: a) berupaya untuk melestarikan alam, dalam hal ini mengembalikan kesuburan tanah dan unsur-unsur yang ada di dalamnya (dengan menanam secara organik), sehingga akan tercipta suatu kawasan pertanian yang memenuhi syarat sistem pangan organik ramah lingkungan sesuai SNI 01-6729-2010 dan b) menghasilkan produk pangan organik yang aman dikonsumsi dengan menerapkan GAP (Good

Agriculture Practices) atau sistem budidaya sayuran yang baik dan benar serta SOP (Standar Operational Procedure) (Sumber: Profil kelompok tani).

Kemudian, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rochmad, bahwa poktan yang ada sebelum terbentuknya Poktan BM berjumlah 36 individu. Lalu, berdasarkan diskusi antar keempat petani tersebut, sepakat bahwa yang diajak untuk bergabung dalam Poktan BM adalah berjumlah 10 petani. Petani yang diajak bergabung dalam poktan diusahakan memiliki kriteria mudah diajak berkomunikasi, saling pengertian, dan memiliki kesiapan untuk diajak bertani organik. Dengan jumlah yang kecil (10 orang), diharapkan Poktan BM bisa berjalan secara efektif. Menurut Hariadi (2011), besar-kecilnya kelompok mempengaruhi tingkat kohesi. Kohesi merupakan rasa tertarik diantara para anggota, oleh karena adanya kesamaan sikap, nilai, dan sifat-sifat pribadi. Dalam interaksi, apabila seseorang tertarik pada orang lain, maka ia akan mengadakan interaksi dengan orang bersangkutan (Walgito, 2010:46-47). Di samping itu, di dalam amanat yang tercantum dalam permentan No. 82 dikatakan bahwa: “poktan ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani dengan jumlah anggota berkisar antara 20 sampai 25 orang petani”.

Jumlah keseluruhan Poktan BM pada saat ini sebanyak 20 orang. Penyebab terjadinya peningkatan dari awalnya 10 anggota menjadi 20 anggota dijelaskan oleh Mujiyanti Rahayu sebagai berikut:

“Dulu hanya 10 orang. Dari kimia mau ke organik itu kan kendalanya banyak, terutama penanganan tanaman tidak bisa instan seperti pakai kimia, sehingga banyak kendalanya. Biasanya yang cerewet itu kan ibu-ibu, karena pindah organik malah rugi, dikarenakan prosesnya yang lama. Jadi tanah yang betul-betul organik itu lama. Daripada ribut dalam rumah tangga, ibu-ibu dimasukkan dalam kelaompok. Selain itu, agar ibu-ibu tahu tentang pemasarannya, tentang kendala-kendalanya untuk beralih ke organik. Jadi sepakat semua ikut, 20 itu suami-istri. Jadi dalam rumah tangga tidak ada percekcokan.”

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mujiyanti Rahayu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan jumlah individu yang tergabung dalam poktan

(11)

disebabkan oleh adanya keikutsertaan istri dari petani-petani yang tergabung dalam poktan. Yang melatarbelakangi poktan mengambil keputusan untuk melibatkan istri dari petani adalah supaya tercipta pemahaman yang seragam selama menjalankan proses bertani. Dukungan moral dan tingkat kepedulian pria tani sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan keluarga (Hubeis, 2010:145). Di samping itu, poktan juga memiliki pertimbangan lain sehingga menetapkan poktan dengan jumlah 20 orang, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rochmad berikut ini:

“Kita mengajukan proposal di dinas mengkehendaki kelompok itu yang paling bagus berjumlah 20 orang, karena kelompok hanya berjumlah 10, akhirnya istri dimasukkan, jadi 20 sama istri. Untuk meminta bantuan, kelompok minimal berjumlah 20 orang.”

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Rochmad maka dapat diketahui bahwa penambahan jumlah poktan hingga 20 orang bertujuan agar poktan memiliki akses untuk memperoleh bantuan dari pihak pemerintah.

B. Peristiwa Penting Poktan

Usaha poktan ini untuk beralih ke sistem UT organik didukung oleh pihak swasta. Pihak penyuluh swadaya turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi pertanian organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman kubis. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu pembentukan poktan. Meski begitu, sebelum tahun itu sudah ada sebagian petani di dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke sistem UT organik. Sebagian petani itu sama-sama tergabung dalam poktan yang ada di wilayah Kaliduren sebelum terbentuknya Poktan Bangkit Merbabu (BM), yaitu poktan “Alhidayah”. Hal tersebut lebih rinci dijelaskan di sub bab 4.4. tentang inisiator utama peralihan sistem usaha tani anorganik ke sistem usaha tani organik dan peran pengurus poktan di tengah kehidupan pedesaan.

C. Model Struktur Organisasi Poktan

Poktan BM memiliki struktur organisasi dengan maksud supaya adanya pembagian tugas diantara individu dalam poktan. Poktan ini memiliki ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa divisi, meliputi: divisi pemasaran hasil, divisi

(12)

pertanian, divisi pupuk organik, dan divisi pemberdayaan (Sumber: Data Primer). Selain itu, dibentuk pula struktur organisasi Internal Control System (ICS) yang terutama ditujukan untuk menjaga kesinambungan dari sertifikasi pangan organik. Kedua struktur organisasi tersebut tertera dalam lampiran skripsi ini (lampiran IV).

D. Jenis Tanaman yang Diusahakan oleh Poktan

Poktan BM telah melakukan budidaya dan memproduksi berbagai macam sayuran, seperti: wortel, brokoli, tomat, bit root, tamarillo, sawi sendok, sawi putih, lobak, ketumbar, seledri, paterselly, selada keriting hijau, selada keriting merah, kol hijau, kol merah, spinach, zukini, romen, head lettuce, dan sebagainya. Hasil observasi lapangan memperlihatkan bahwa terdapat komoditas sayuran yang diusahakan oleh Poktan BM, tetapi tidak diusahakan oleh Poktan Tranggulasi, dan sebaliknya.

4.4 Inisiator Utama Peralihan Sistem Usaha Tani Anorganik ke Sistem Usaha Tani Organik dan Peran Pengurus Poktan di Tengah Kehidupan Pedesaan

Perlu diketahui bahwa poktan di kecamatan Getasan yang menerapkan sistem usaha tani secara organik dan memiliki sertifikat lahan organik bukan karena mereka hanya menunggu datangnya bantuan (baik material atau non-material) dari organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Pencapaian itu disebabkan oleh adanya ide, inisiatif, dan kerja keras dari beberapa orang, atau bahkan satu orang untuk menangani suatu permasalahan usaha taninya. Perlu diketahui pula bahwa poktan satu dengan yang lainnya memiliki latar belakang masalah yang berbeda-beda, sehingga bisa meraih pencapaian tersebut. Penjelasan selanjutnya akan memberikan bukti konkrit akan hal tersebut.

Penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa ide untuk beralih ke sistem usaha tani organik muncul atas kesadaran masyarakat. Selain itu, yang perlu diingat adalah usaha tersebut tidak dilakukan oleh petani dalam jumlah besar, melainkan dilakukan oleh jumlah yang kecil, bahkan oleh satu orang. Hal tersebut akan diperjelas melalui pernyataan dari Pitoyo Ngatimin berikut ini:

(13)

“Petani itu tidak perlu diajak. Dulu saya sendiri yang melakukan budidaya organik sebelum tahun 2000. Setelah ada bukti mereka baru mau, jadi petani tidak perlu diajak, tapi kalau sudah ada bukti, mereka baru mengikuti… Latar belakang saya beralih ke organik karena keterpaksaan, karena saya modal tidak punya, punya lahan sedikit, modal untuk berusaha tidak punya, karena harga jual rendah. Kubis dulu harganya 60 rupiah, panennya banyak, tapi tidak laku dijual, padahal harga pupuk mahal. Karena tidak punya modal, kita belajar dari situ, bahkan saya dulu tidak tahu kalau ini pertanian organik. Hanya kebetulan, terus kita gali, justeru sebuah kegagalan itulah menjadi pelajaran kita, tahun demi tahun ada hasilnya dan itu memang kita buktikan. Ternyata dengan organik dan yang non-organik itu beda, awalnya hasil produksi dengan organik memang sangat jelek, karena belum terbiasa. Tahun ke tiga baru bagus.”

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh penuturan dari Harto Slamet dan Petrus Kriswigati sebagai berikut:

“Yang mulai berbudidaya secara organik pertama kali pak Pitoyo, itu tahun 99 pada waktu itu.” (Harto Slamet)

“Ilmunya Pitoyo tertular ke petani tetangga dan mereka akhirnya tertarik untuk gabung.”

(Petrus Kriswigati)

Dari ungkapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan beralih ke sistem organik disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan petani dalam membeli pupuk. Poktan Tranggulasi membuktikan pentingnya seorang figur untuk menciptakan suatu perubahan yang lebih baik. Bila dicermati dengan seksama, Pitoyo Ngatimin tidak memberikan pelatihan secara formal atau terstruktur (pelatihan yang direncanakan secara sistematis dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani untuk mengembangkan usaha taninya), melainkan teknik budidaya sayuran organik yang ia lakukan banyak ditiru oleh petani yang ada di sekitarnya, karena terbukti membuahkan hasil yang positif. Dengan begitu, proses belajar-mengajar antar petani terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harto Slamet dan Petrus Kriswigati bahwa Pitoyo Ngatimin secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi tingkah laku petani dalam melakukan usaha tani. Dengan begitu, tampak jelas bahwa keberadaan seorang figur sangat diperlukan untuk membangun kesadaran dan sikap petani akan pentingnya menerapkan sistem UT secara organik. Gambaran keadaan Poktan Tranggulasi di saat awal-mula merintis usaha sayuran organik diperlengkap oleh pernyataan Andi Raujung berikut ini:

“Sebenarnya Tranggulasi itu awalnya hanya berapa 20-an orang, tapi mereka betul-betul menerapkan apa yang sudah dipelajari, ilmunya berkembang-berkembang, tetangganya ikut.”

(14)

Berdasarkan pernyataan Andi Raujung, maka dapat disimpulkan bahwa pada awal-mulanya, petani yang tergabung dalam Poktan Tranggulasi berjumlah sedikit. Dengan jumlah yang sedikit itu, tingkat partisipasi dan keseriusan tiap individu untuk mencoba beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT organik menjadi terbangun dengan baik. Ketika itu, petani-petani yang ada di sekitarnya (khususnya di Dusun Selo Ngisor) meniru cara atau metode UT yang diterapkan oleh individu Poktan Tranggulasi.

Di samping peran pengurus poktan, upaya Poktan Tranggulasi untuk beralih ke sistem UT organik didukung oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). IPPHTI merupakan organisasi tani yang beranggotakan alumni-alumni SLPHT dan petani-petani yang melakukan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT). Hasil wawancara dengan Abdul Wahab menunjukkan bahwa di sela-sela proses peralihan, yakni pada tahun 2004, Poktan Tranggulasi mulai bergabung atau bekerjasama dengan instansi IPPHTI.

“Tahun 2004 IPPHTI masuk ke sini itu baru kelompok mendeklarasikan pertanian organik. Pada tahun 2003 kami belum tahu teknologi untuk organik. Tahunya bikin pupuk organik pakai urin sapi dari kandang langsung diberikan ke ladang, jadi tidak difermentasi. Lalu, kalau mau mengusir hama cuma pakai tangan.”

Menanggapi pernyataan Abdul Wahab, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa awal-mula poktan merintis UT sayuran organik, teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional, seperti: mengaplikasikan pupuk cair menggunakan urin sapi tanpa proses fermentasi, mengatasi hama secara manual, dan cara tradisional lainnya. Melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI, Poktan Tranggulasi sedikit demi sedikit mulai mengenal teknologi organik. Berikut pernyataan dari Abdul Wahab kaitannya dengan hal tersebut:

“Tahun 2004 dari IPPHTI mengadakan kegiatan pengenalan teknologi organik, seperti cara pembuatan dekomposer yang benar, cara membuat insektisida alami, pembuatan pupuk organik. Bentuk kegiatannya itu loka karya, diikutsertakan oleh alumni-alumni IPPHTI. Di kegiatan itu tercipta petani saling bertukar ide dan pengalaman.”

Dari pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa teknologi organik mulai didesiminasikan pada tahun 2004, bertepatan dengan waktu deklarasi pertanian organik di Poktan Tranggulasi. Dari pernyataan Abdul Wahab, maka dapat diketahui bahwa bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh IPPHTI adalah loka karya yang diikutsertakan oleh alumni-alumni IPPHTI. Loka karya berarti pertemuan orang yang bekerja sama dalam kelompok kecil, biasanya dibatasi pada

(15)

masalah yang berasal dari mereka sendiri. Secara garis besar, susunan acara loka karya meliputi: identifikasi masalah, pencarian dan usaha pemecahan masalah dengan menggunakan referensi dan materi latar belakang yang cukup tersedia. Di kegiatan loka karya tersebut, pihak IPPHTI berperan sebagai pemandu, dimana ia menceritakan pengalamannya dan latihan yang diikutinya untuk memecahkan masalah (Suprijanto. H, 2012:79). Di kegiatan tersebut terjadi suasana saling tukar informasi yang bertujuan untuk memperkenalkan teknologi organik.

Pernyataan Abdul Wahab dipertajam oleh T.O Suprapto sebagai berikut:

”Kita membuat science sendiri, namanya science petani. Jadi belajar dari petani, oleh petani, untuk petani. Kalau yang selama ini dari peneliti, oleh peneliti, untuk petani. Membuat round up sendiri, itu namanya science petani, science adalah sebuah percobaan, yang dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang melakukan petani, yang dapat ilmunya petani. Tranggulasi itu jaringan kita. Saya pernah mengadakan kegiatan di sana.” Mencermati pernyataan dari T.O Suprapto, maka dapat dinyatakan bahwa ide dasar untuk menyelenggarakan kegiatan semacam itu, karena salah satu kegiatan yang diwadahi oleh IPPHTI adalah science petani, dimana petani melakukan sebuah percobaan. Dengan demikian, diharapkan dengan “science petani” ini segala upaya pengembangan UT dan segala rintangan yang ada selama petani mengelola UT, dapat dipikirkan oleh petani, dibuktikan oleh petani, yang melakukan petani, dan yang dapat ilmunya petani. Sehingga dengan “science petani”, petani belajar dari petani, oleh petani, dan untuk petani. Berangkat dari adanya kerjasama dengan IPPHTI, sampai saat ini individu Poktan Tranggulasi tetap mempertahankan kepekaan dan ketajaman berpikirnya untuk menganalisa potensi lokal yang sekiranya bisa membantu mereka sebagai daya dukung untuk meningkatkan produksi sayuran. Dengan demikian, pelaku utama pertanian organik (petani) dituntut memiliki ketajaman berpikir agar memperoleh hasil produksi yang optimal.

Pada tahun 2009, Poktan Tranggulasi mengikuti program sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Semarang. Pada dasarnya, partisipasi Poktan Tranggulasi dalam kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah kaitannya untuk memperoleh sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh INOFICE (Indonesian Organic

(16)

Farming Certification). Hal tersebut mengutip dari pernyataan Abdul Wahab

sebagai berikut:

“SLPHT diadakan tahun 2009, karena kalau sertifikasi itu seharusnya sudah melaksanakan SLPHT. Waktu itu sertifikasi tahun 2006 tapi belum ada SLPHT. Jadi diadakan SLPHT itu untuk menindaklanjuti sertifikat, karena syaratnya harus sudah melaksanakan SLPHT, tapi di sini belum pernah pada waktu itu.”

Pernyataan dari Abdul Wahab didukung oleh Petrus Kriswigati sebagai berikut:

“Kalau kelompok tani Tranggulasi itu sudah pernah dapat program SLPHT, waktu itu sebenarnya cuma buat syarat untuk dapat sertifikasi pangan organik, karena memang itu salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Kalau tidak salah kegiatannya itu diadakan tahun 2009.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, sebelum tahun 2009 poktan ini sudah berupaya untuk mengecek dan menilai unsur-unsur yang terkandung dalam produk sayurannya. Hal ini dilakukan pada tahun 2006, dengan cara bekerja sama dengan Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Surabaya. Di tahun 2006, poktan baru menganalisakan kandungan produk sayuran organik ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya pada tanggal 10 Mei 2006 dengan nomor 23/051/Tox/V/2006 terhadap berbagai jenis sayuran (Anonim, 2012:24). Partisipasi poktan dalam kegiatan SLPHT juga berpeluang untuk mengakumulasikan ilmu pengetahuan dan mengasah keterampilannya dalam menjalankan usaha tani sayuran organik.

Poktan Tranggulasi mengajukan permohonan sertifikasi kepada

Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE). Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE) merupakan lembaga sertifikasi organik yang

telah mendapat verifikasi Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) Kementerian Pertanian RI dan telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). INOFICE melayani sertifikasi pertanian organik berdasarkan SNI 01-6729-2013 kepada petani, produsen, maupun pihak lain di dalam dan luar negeri. INOFICE mengeluarkan sertifikat pangan organik kepada Poktan Tranggulasi pada tanggal 30 November 2010 seperti pada foto yang tertera dalam lampiran skripsi ini (lampiran VII). Sampai saat ini, Poktan Tranggulasi masih memiliki sertifikat pangan organik. Resertifikasi pangan organik terakhir dilakukan pada tanggal 17 Januari 2014, sehingga lahan organik yang dimiliki Poktan Tranggulasi tergolong aktif. Saat ini luas lahan yang sudah tersertifikasi organik adalah 17,38 ha (Anonim, 2015:03). Sertifikat pangan organik merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki oleh produsen pangan organik yang bermanfaat

(17)

untuk memberikan bukti autentik kepada supplier atau konsumen akhir, sehingga keorganikan produk tersebut terpercaya.

Memang, usaha kolektif Poktan BM untuk beralih ke sistem UT organik dilakukan pada tahun 2010 dan hal tersebut didukung oleh pihak luar kelompok. Akan tetapi, sebelumnya, tepatnya pada tahun 2008 sudah ada sebagian petani di dusun Kaliduren yang berusaha untuk beralih dari sistem UT anorganik ke sistem UT organik. Hal tersebut dijelaskan oleh Rochmad sebagai berikut:

“Dulunya masih biasanya kita kasih pupuk ponska, atau urea, dulunya kasih satu sendok makan. Setelah tahun 2008 kita kurangi jadi ½ sendok makan. Perintis organik, itu hanya saya, pak Nal, pak Rebo, dan pak Pilih. Itu sudah membentuk kelompok, kelompok namanya sudah berubah dari Ngudi Lestari menjadi Alhidayah.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada tahun 2008, petani yang tergabung dalam Poktan BM perlahan-lahan mulai mengurangi penggunaan pupuk berbahan kimia sintetis. Usaha tersebut dirintis melalui wadah poktan yang pada waktu itu masih bernama “Alhidayah”. Akan tetapi perlu diingat, bahwa penguatan ide untuk beralih ke organik, Poktan BM memang didukung oleh pihak luar. Pernyataan dari Zaenal akan memperjelas hal tersebut:

“Tahun 2010 pak Nick itu ke sini… Sini dulu banyak penyakit akar gada. Pak Nick punya produk yang namanya custom bio, itu ramah lingkungan. Lalu, pak Nick menganjurkan pakai itu untuk dipraktekkan di lapangan.”

Mencermati pernyataan dari Zaenal, maka dapat diketahui bahwa Nick T. Wiratmoko turut memegang peran dalam memperkenalkan teknologi pertanian organik, khususnya untuk mengatasi penyakit akar gada pada tanaman kubis. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010, bertepatan dengan waktu pembentukan poktan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Zaenal, bahwa poktan secara kolektif beralih ke sistem UT organik bermula dari kegiatan praktek teknologi organik dengan merk dagang custom bio yang bersifat ramah lingkungan yang dilatarbelakangi oleh karena adanya penyakit akar gada pada tanaman kubis. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Nick T. Wiratmoko sebagai berikut:

“Kelompok Tani Bangkit Merbabu hadir sebagai kelompok tani diawali dengan sebuah pertemuan di Rumah Bapak Zaenal pada akhir tahun 2010. Pertemuan tujuh orang petani di Dusun Kali Duren, Desa Batur, Kabupaten Semarang ini diadakan atas permintaan rekan petani, penyuluh swadaya (PPS) di Salatiga, yang dianggap bisa membantu dalam memecahkan masalah untuk mengatasi penyakit pada tanaman kobis-kobisan yang

(18)

dikenal dengan akar gada….. Itu adalah komunikasi awal dari 7 orang petani yang diperantarai oleh Mas Yusman dan Pak Suwanto.”

Dengan menganalisa pernyataan yang diungkapkan oleh Nick T. Wiratmoko, maka dapat dipertajam bahwa terciptanya kerjasama antara poktan dengan penyuluh swadaya diperantarai oleh beberapa rekan atau kolega dari petani yang tergabung dalam kepengurusan poktan.

Awal-mula Poktan BM berkomitmen untuk beralih ke sistem UT organik, risiko kegagalan panen sangat mudah terjadi. Hal tersebut secara singkat dijelaskan melalui pernyataan Makruf berikut ini:

“Ketika beralih ke organik mengurangi bahan kimia sedikit-sedikit, kalau spontan bisa banyak yang gagal, contohnya Bangkit Merbabu dulu 1 tahun gagal terus, karena tanahnya masih banyak mengandung kimia.”

Berdasarkan pernyataan Makruf, upaya beralih ke sistem UT organik tidak bisa dilakukan secara spontan, artinya tidak bisa langsung menghentikan penggunaan saprotan berbahan kimia sintetik. Usaha untuk beralih dari sistem UT anorganik menjadi sistem UT organik diawali dengan cara mengurangi segala saprotan berbahan kimia sintetik dalam melakukan budidaya tanaman. Selanjutnya, pernyataan dari Rochmad berikut ini akan menjelaskan proses Poktan BM dalam memperoleh sertifikat pangan organik:

“Tahun 2012 surveyor mengadakan pelatihan tentang cara berusaha tani organik. Surveyor ke kelompok sini. Tahun 2012 mendapat sertifikat. Di sini karena kompak jadi prosesnya cepat, lahan semuanya itu sudah tersertifikasi yang di kelompok Bangkit Merbabu, yang disertifikasi seluas 5,5 hektar.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat diketahui bahwa pihak

surveyor turut berperan dalam mensosialisasikan prosedur untuk memperoleh

sertifikat pangan organik dan memberikan pelatihan mengenai tata cara bertani organik. Kemudian, pada tanggal 22 November tahun 2012 poktan ini memperoleh sertifikat pangan organik dengan luas lahan 5,5 ha (Anonim, 2015:08).

Individu yang berusaha keras untuk menciptakan perubahan tersebut merupakan aktor-aktor di balik terwujudnya pencapaian untuk memperoleh sertifikat pangan organik maupun mempertahankan dan memperkuat kesinambungan usaha tani sayuran organik yang dilakukan oleh individu poktan. Bila diperhatikan secara seksama, maka terbukti bahwa poktan yang melakukan

(19)

usaha tani secara organik disebabkan oleh adanya inisiatif dari beberapa orang atau bahkan satu orang di suatu komunitas untuk memanfaatkan serta mengelola sumber daya (terutama sumber daya alam) lokal yang tersedia secara optimal. Individu-individu tersebut tergabung dalam kepengurusan poktannya. Akan tetapi bila dicermati secara seksama, sebenarnya keinginan poktan untuk beralih ke sistem UT organik itu timbul tidak terlepas dari adanya usaha pihak GO (Governmental Organization) ataupun NGO (Non-Governmental Organization). Letak perbedaan yang paling mencolok antara pengurus poktan dan pihak lain (baik GO ataupun NGO) adalah inisiatif, kerja keras, dan kreativitas untuk beralih ke organik diawali oleh pengurus poktan, sedangkan pihak luar hanya berperan sebagai pelengkap untuk memperkenalkan teknologi pertanian organik.

Jika dipelajari secara seksama, tiap poktan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga timbul antusias dan inisiatif untuk beralih ke sistem UT organik. Poktan Tranggulasi dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan yang dirasakan oleh Pitoyo Ngatimin untuk menyediakan pupuk. Sedangkan, Poktan BM lebih dilatarbelakangi oleh masalah penyakit akar gada, kemudian sebagian petani yang statusnya sebagai pengurus poktan berusaha membangun kerjasama dengan pihak luar untuk mengatasi penyakit tersebut (Lihat Sub Bab 4.6.2: Peran pengurus sebagai pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diakui bahwa keberadaan seseorang atau beberapa orang, khususnya di wilayah desa atau dusun sangat diperlukan guna menumbuhkembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan petani yang selanjutnya berdampak positif pada produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani. Petani-petani tersebut tidak hanya sekedar mengajak atau membujuk petani lainnya untuk beralih ke sistem UT organik. Melainkan, teknis UT organik yang sudah diterapkan dirasa memiliki sebuah nilai tambah, baik dari segi kualitas produksi, peningkatan harga jual produk, efisiensi biaya produksi, bersifat ramah lingkungan, dan nilai tambah lainnya. Nilai tambah itu dirasakan atau diyakini oleh masing-masing petani (khususnya yang tergabung dalam poktan), sehingga merekapun antusias untuk menerapkan sistem UT yang demikian. Jika dicermati, sebuah perubahan pola pertanian (dari anorganik menjadi organik) bukan dimulai oleh kaum mayoritas, melainkan oleh kaum

(20)

minoritas petani. Perubahan itu terbentuk, yang salah satunya dikarenakan oleh daya kreativitas yang dimiliki oleh kaum minoritas petani itu. Itulah salah satu wujud konkret dari creative minority (minoritas yang berdaya cipta), dalam perspektif pertanian.

Jikalau tidak ada yang memulai untuk beralih ke organik, maka sistem UT yang diterapkan oleh petani cenderung stagnan, yakni mengaplikasikan sistem anorganik. Hal ini menjadi wajar mengingat kecenderungan yang terjadi di lingkungan pedesaan adalah sebagian besar masyarakatnya enggan untuk mencoba sesuatu hal yang baru. Ia akan mencoba hal baru, ketika hal baru tersebut dirasa memberikan nilai tambah, khususnya bagi dirinya sendiri dan umumnya bagi keluarganya. Dengan kata lain, budaya “ngikut” masih kental di lingkungan pedesaan.

Di lain pihak, sebagian besar petani juga masih enggan untuk terlibat dalam kepengurusan organisasi petani. Pernyataan dari Ngatemin dan Pandi akan memberikan bukti autentik tentang keadaan tersebut:

“Sekarang itu belum ada pergantian pengurus mas. Belum pembaruan gitu. Jadi dari dulu sampai sekarang pengurusnya masih itu… Saya tidak ada kemauan jadi pengurus, karena jadi pengurus itu sulit, yang diurusi banyak, ngurusi administrasi, bantuan-bantuan, kayak

genzet... Pengelola itu ngurusi segala sesuatu mas, baik masalah sayur, masalah

keuangan, pemasaran, terus administrasi.” (Ngatemin)

“Kalau pemimpinnya itu gak benar, apa anggotanya ya benar? Kalau pemimpin itu benar, jujur, di bidang apa saja anggota cuma ngikuti, jadi bersatu semua. Kalau pemimpinnya baik, anggotanya baik. Kalau saya jadi anggota yang penting sabar, sama menerima apa adanya, manut, jadi tidak mikir macam-macam. Mending mikir rumah tangga dan bertani. Seperti saya sudah tua begini, mendingi ikut jadi anggota kelompok saja” (Pandi)

Dari berbagai pendapat narasumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika poktan mengagendakan kegiatan reorganisasi, yang terjadi adalah tidak timbul sebuah pergantian orang di kepengurusan. Hal tersebut yang membuktikan bahwa sebagian besar anggota enggan untuk terlibat dalam kepengurusan poktan. Sesuai dengan pernyataan Ngatemin, hal tersebut disebabkan oleh begitu kompleksnya hal yang diurusi oleh pengelola atau pengurus, baik yang berkaitan dengan pemasaran, administrasi, keuangan, pengorganisasian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan poktan. Kemudian, Pandi berpendapat bahwa pengurus poktan berperan sebagai panutan (as examplar). Hal tersebut sesuai dengan pandangan

(21)

Krech dan Crutchfield (1948) (dalam Walgito, 2003:108) mengenai fungsi pemimpin.

4.5 Komparasi Poktan Sebagai Unit Belajar

Poktan sebagai unit belajar diindikasikan oleh tiga hal, meliputi: tersedianya wadah belajar di poktan, baik untuk pengembangan usaha tani maupun pengembangan organisasi poktan, adanya pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan dalam berusaha tani secara organik, serta tersedianya wadah belajar bagi pihak lain untuk mengembangkan usaha taninya.

4.5.1 Penyediaan Wadah Belajar Poktan

Dalam aspek penyediaan wadah belajar poktan, kedua poktan dalam penelitian memiliki kesamaan berdasarkan bentuk wadahnya, yaitu: wadah pertemuan poktan, wadah percobaan dan adopsi teknologi, dan wadah pendelegasian. Namun, masing-masing poktan memiliki situasi dan kondisi wadah belajar yang berbeda-beda. Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa intensitas, reaksi, dan partisipasi Poktan Tranggulasi cenderung kurang baik. Hal ini antara lain diperlihatkan oleh: pertemuan poktan yang sementara waktu ini tidak diadakan, reaksi daripada anggota yang cenderung bergantung dengan peran pengurus dalam memanfaatkan wadah belajar poktan, dan partisipasi dari para anggota poktan yang cenderung rendah dalam memanfaatkan wadah belajar. Selain itu, beberapa wadah belajar (seperti: wadah pertemuan dan percobaan) dilakukan oleh perorangan atau sekelompok individu poktan. Dengan situasi dan kondisi yang semacam itu, maka fungsi Poktan Tranggulasi sebagai unit belajar tergolong kurang baik. Sementara, hasil penelitian di Poktan BM memperlihatkan bahwa dalam aspek penyediaan wadah belajar, fungsi poktan sebagai unit belajar tergolong cukup baik, yang ditandai dengan intensitas pertemuan poktan yang tergolong tinggi. Selain itu, para anggota bereaksi positif dan berperan serta dalam memanfaatkan wadah belajar yang tersedia di poktan. Ditambah lagi wadah belajar secara kolektif di Poktan BM masih eksis dilakukan hingga saat ini.

(22)

4.5.2 Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap Individu Poktan Serta Implikasinya Terhadap Produksi, Pendapatan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Petani

Kegiatan belajar yang tersedia di poktan berperan sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani (yang tergabung dalam poktan) untuk mengimplementasikan UT sayuran organik (penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, sampai dengan pemasaran hasil produksi). Dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang positif dalam menjalankan UT sayuran organik, maka diharapkan berdampak positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.

Hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa dalam aspek penyediaan saprotan, khususnya dekomposer, pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh (ZPT) sebagian besar diadopsi dari wadah belajar poktan. Partisipasi para anggota untuk menyediakan saprotan tergolong rendah. Sama halnya dengan penyediaan saprotan, dalam menerapkan budidaya tanaman, para anggota cenderung mengacu pada materi-materi di wadah belajar dan tiap individu poktan berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya masing-masing. Meski begitu, hasil penelitian di Poktan Tranggulasi memperlihatkan bahwa sebagian individu memiliki kreasi tersendiri dalam menyediakan saprotan dan membudidayakan tanaman. Kemudian hal yang sama juga ditunjukkan oleh Poktan BM, yakni tata cara individu poktan dalam penyediaan saprotan dan budidaya tanaman diadopsi dari materi yang ada di wadah belajar. Kesamaan lainnya adalah tiap individu Poktan BM juga berpartisipasi melaksanakan budidaya tanaman secara organik di lahannya masing-masing. Perbedaannya dengan Poktan Tranggulasi adalah tiap individu Poktan BM berpartisipasi dalam penyediaan saprotan. Perbedaan lainnya ditunjukkan oleh tata cara individu poktan dalam menyediakan saprotan dan membudidayakan tanaman yang umumnya berpedoman pada materi yang tersedia di wadah belajarnya.

Selanjutnya, dalam aspek penanganan pasca panen, hasil penelitian di Poktan Tranggulasi menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan pengetahuan dan keterampilan antara anggota dan pengurus, dimana pengurus poktan lebih

(23)

menguasai kegiatan tersebut. Berbeda dengan Poktan Tranggulasi, Poktan BM melibatkan para anggota dalam melakukan penanganan pasca panen yang berakibat mengasah pengetahuan dan keterampilan para anggota dalam penanganan pasca panen. Dalam aspek pemasaran, pengetahuan dan sikap para pengurus ataupun anggota tergolong positif. Hal ini ditandai oleh adanya pemahaman dan pandangan pengurus dan anggota mengenai perbandingan antara pemasaran ke pasar tradisional dan pasar modern menurut beberapa aspek. Di sisi lain, keterampilan pengurus poktan lebih unggul dibandingkan anggota poktan, karena aktivitas-aktivitas pemasaran hasil yang bersifat khusus ditangani oleh pengurus poktan.

Keempat proses produksi tersebut memberikan dampak yang cukup positif terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani.

4.5.3 Penyediaan Wadah Belajar Bagi Pihak Lain

Ditinjau dari aspek penyediaan wadah belajar bagi pihak lain, tiap poktan mempunyai cara yang berbeda dalam teknis penyediaannya. Berdasarkan penyediaannya, kedua poktan tergolong berfungsi. Meski begitu, ditinjau dari segi partisipasi para anggota dalam memfungsikan wadah belajar ini, kedua poktan kurang melibatkan peran serta dari para anggota.

4.6 Komparasi Peran Kepemimpinan Pengurus Poktan dalam

Mewujudkan Poktan Sebagai Unit Belajar

Hasil penelitian membuktikan bahwa pengurus poktan memegang peranan kepemimpinan yang penting untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar. Peran kepemimpinan pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar dijabarkan melalui beberapa bentuk tindakan, yaitu: sebagai penggerak aktivitas individu poktan dalam kegiatan belajar-mengajar, pembangun relasi untuk kebutuhan belajar poktan, peran pengurus poktan dalam forum gabungan kelompok tani (Gapoktan) Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu, dan peran dominan pengurus poktan untuk memfungsikan wadah belajar bagi pihak di luar poktan.

Pembahasan di tiap sub bab ini juga memuat dampak atau implikasi dari usaha pengurus poktan untuk mewujudkan poktan sebagai unit belajar, baik dari segi pembelajaran akan usaha tani maupun pembelajaran soal teknis berorganisasi

(24)

di poktan. Di samping itu, disajikan pula pembahasan tentang reaksi atau sikap individu poktan terhadap materi belajar yang ada di poktan, partisipasi individu poktan dalam wadah belajar yang tersedia, dan intensitas wadah belajar (khususnya pada aspek pertemuan). Kemudian, untuk mengetahui dampak wadah belajar terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan, maka dibahas pula tata cara individu poktan dalam menerapkan usaha tani, baik penyediaan saprotan, budidaya tanaman, penanganan pasca panen, pemasaran hasil produksi, serta dampak UT sayuran organik terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Tidak hanya itu, untuk mengetahui fungsi poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain, maka dibahas peran dominan pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui keterkaitan antar masing-masing indikator variabel. Keterkaitan tersebut dijelaskan melalui gambar berikut ini:

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Variabel Peran Kepemimpinan Pengurus Kelompok Tani

Variabel Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar

Mengacu pada gambar. 1 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tiap peran kepemimpinan pengurus poktan memberi dukungan yang berbeda-beda terhadap

Pengurus poktan menggerakkan aktivitas

individu poktan dalam kegiatan belajar-mengajar

Pengurus Membangun Relasi atau Jaringan

dengan Pihak Lain

Peran Pengurus Untuk Memfungsikan Poktan Sebagai Wadah Belajar

Bagi Pihak Lain

Wadah belajar bagi individu poktan untuk pengembangan usaha taninya

dan pengembangan organisasi poktannya, disertai dengan situasi dan

kondisi wadah belajarnya.

Pengetahuan, keterampilan, dan sikap anggota dalam menerapkan usaha tani

sayur organik, serta dampaknya terhadap produksi, pendapatan, kemandirian, dankesejahteraan

individu poktan.

Adanya wadah belajar bagi pihak di luar poktan

untuk pengembangan usaha taninya. Peran aktif Pengurus

di Gapoktan Komunitas Petani

(25)

tiap-tiap indikator variabel poktan sebagai unit belajar. Peran pengurus dalam wadah belajar yang tersedia di poktan; peran pengurus dalam gapoktan Komunitas Petani Organik (KOMPOR) Merbabu; dan peran pengurus dalam membangun relasi dengan pihak lain, masing-masing mendukung ketersediaan wadah belajar bagi individu poktan untuk pengembangan usaha taninya dan pengembangan organisasi poktannya, disertai pula dengan situasi dan kondisi wadah belajarnya. Selanjutnya, peran tersebut mendukung pula pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu poktan dalam berusaha tani dan berdampak pada produksi, pendapatan, kemandirian, dan kesejahteraan petani. Kemudian, peran dominan pengurus untuk memfungsikan poktan sebagai wadah belajar bagi pihak lain mendukung keberfungsian wadah belajar bagi pihak di luar poktan untuk pengembangan usaha taninya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci satu per satu bentuk peran yang dijalankan oleh pengurus poktan:

4.6.1 Peran Pengurus Poktan Sebagai Penggerak Aktivitas Individu Poktan dalam Kegiatan Belajar-mengajar

Pengurus poktan memiliki andil yang sangat besar untuk menyediakan wadah dan menggerakkan aktivitas individu poktan untuk berpartisipasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang peran pengurus dalam penyelenggaraan wadah belajar-mengajar poktan beserta dampaknya:

A. Pertemuan Poktan

Poktan Tranggulasi memiliki dua macam pertemuan, yakni: pertemuan umum (dihadiri oleh seluruh individu poktan) dan pertemuan pengelola (yang khusus dihadiri oleh pengelola). Pertemuan umum diadakan sebanyak satu kali dalam satu bulan, biasanya malam tanggal 6. Hal tersebut dibuktikan melalui pernyataan dari Suparman sebagai berikut:

“Setiap bulan, malam tanggal 6 ada pertemuan, itu yang rutin. Kalau ada keperluan mendadak sebelum tanggal 6 sudah berkumpul.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Suparman, apabila terdapat keperluan mendadak yang perlu dibahas, pertemuan umum dapat diadakan kapan saja. Akan tetapi, hasil wawancara dengan Ngatimin berikut ini menunjukkan bahwa Poktan Tranggulasi sudah tidak mengadakan pertemuan secara rutin:

“Ini sudah lama tidak diadakan pertemuan yang melibatkan semua anggota kelompok, kendalanya karena pembayaran pinjaman dari bank itu sedang macet.”

(26)

Berdasarkan pernyataan dari Ngatimin, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab tidak diadakannya pertemuan rutin sementara waktu ini, oleh karena adanya kendala pengembalian pinjaman ke bank. Akibat dari keadaan itu, walaupun diadakan pertemuan, sebagian individu poktan cenderung kurang berpartisipasi atau enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut diperjelas melalui pernyataan dari Jumarno sebagai berikut:

“Anggota kelompok biasanya pertemuan rutin malam tanggal 6. Dulu datang semua di pertemuan, tetapi sekarang ini sedang ada kendala dengan bank.”

Keengganan tersebut dapat diperlihatkan melalui pernyataan yang dikemukakan oleh Wikan Mujiono sebagai berikut:

“Tahun-tahun ini aku malas berangkat ke pertemuan, karena yang dibahas hanya masalah keuangan. Jadi di pertemuan tidak ada pembahasan tentang tata cara bertani atau informasi baru tentang teknologi.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa seringkali pembicaraan yang diagendakan dalam pertemuan rutin adalah seputar teknis-teknis untuk mengatasi kendala dengan bank. Akibatnya, pembicaraan seputar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk usaha tani menjadi terbengkalai. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sebagian individu enggan untuk hadir dalam pertemuan. Hal tersebut turut dipertajam oleh pernyataan Ngatemin berikut ini:

“Bulan-bulan ini kumpulan membicarakan masalah uang.”

Di samping itu, hasil observasi di lapangan memperlihatkan berhubung adanya masalah dengan bank, maka sebagian individu poktan mengalami tekanan sosial yang kemudian berakibat menurunkan keikut-sertaannya dalam kegiatan poktan, termasuk pertemuan.

Meski begitu, Poktan Tranggulasi masih proaktif mengadakan pertemuan khusus pengelola. Biasanya pertemuan pengelola ini dijadikan landasan untuk menentukan kesepakatan di pertemuan umum. Hal tersebut diperjelas seperti apa yang dikemukakan oleh Sri Jumiati berikut ini:

“Biasanya rapat kecil pengelola dulu. Kalau langsung rapat anggota dengan jumlah banyak, terlalu banyak ide. Di rapat kecil pengelola didiskusikan dulu, lalu ditindaklanjuti ke anggota. Tapi biasanya anggota mengikuti keputusan dari pengelola.”

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa segala hal yang ada kaitannya dengan Poktan Tranggulasi dibahas terlebih dahulu di rapat pengelola

(27)

dan diputuskan di situ. Setelah itu, hasil pembicaraan dari rapat pengelola diserahkan kepada seluruh anggota di rapat umum poktan. Hasil observasi di lapangan menunjukkan, yang dibahas dalam pertemuan pengelola diantaranya meliputi: a) hal-hal yang ada sangkut-pautnya terhadap kerjasama dengan supplier (pengepul); b) teknis usaha tani; c) masalah keuangan poktan; dan d) aktivitas lainnya yang berkaitan dengan kelompok tani. Mencermati begitu banyaknya hal-hal penting yang didiskusikan oleh pengurus di rapat pengelola, maka dapat ditafsirkan bahwa pengurus berperan sebagai garda yang mengendalikan aktivitas poktan. Dengan model pertemuan seperti ini, kecenderungan yang terjadi adalah para anggota umumnya menerima keputusan apapun yang telah dibuat oleh pengurus poktan. Hal ini selaras dengan yang diutarakan oleh Ngatemin berikut ini:

“Pasti ada pertemuan mas, kalau tidak ada, pasti tidak ada kemajuan mas. Bisa maju mulai dari 0 sampai ke tingkat nasional kalau tidak ada informasi atau musyawarah itu tidak bisa terjadi. Misalnya gitu, kalau saya cuma ikut-ikutan, saya menjadi anggota kelompok, sudah. Sudah ada diskusi, kalau membahas itu, membahas masalah hama, bersama-sama itu, itu seluruhnya anggota itu dikumpulkan, jadi musyawarah, apa yang dibutuhkan. Semuanya sudah tahu mas, tapi kalau tidak ada yang mengatasi di depan itu tidak bisa, seperti pak Pitoyo. Kalau membuat CP atau membuat apapun kalau tidak ada Pitoyo tidak bisa, misalnya kalau cuma anggota itu tidak tahu sebetulnya.”

Dengan keadaan yang seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa pengurus poktan memiliki peran sentral untuk mengembangkan poktannya menjadi berkembang atau maju. Dapat disimpulkan pula bahwa pertemuan rutin dijadikan wadah bersama individu Poktan Tranggulasi untuk saling mendiskusikan berbagai ilmu atau informasi yang dimilikinya, khususnya untuk melakukan kegiatan UT sayuran organik. Mencermati pernyataan itu, pengurus poktan (khususnya ketua poktan) dinilai sebagai pihak yang banyak berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang sistem UT organik di Poktan Tranggulasi. Sedangkan, para anggota cenderung hanya mengikuti pola atau konsep berpikir dari pengurus poktan.

Di badan kepengurusan Poktan Tranggulasi sudah mempunyai seksi khusus untuk mengingatkan ketika ada anggota poktan yang tidak hadir dalam pertemuan rutin. Hal ini diutarakan oleh Sumadi sebagai berikut:

“Tugas seksi humas kalau ada perkumpulan-perkumpulan itu wajib memberitahukan ke yang lain, mengingatkan yang belum berangkat.”

(28)

Dengan begitu, maka pengurus Poktan Tranggulasi (melalui seksi khusus seksi humas) telah berusaha untuk mencegah terjadinya ketidakhadiran individu poktan dalam pertemuan. Hal ini senada bilamana dipertautkan dengan uraian tugas pengurus poktan, dimana seksi humas salah satunya bertugas untuk menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan kelompok. Pertemuan rutin merupakan wadah strategis poktan untuk mengevaluasi kedisiplinan dari para individu Poktan Tranggulasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sri Jumiati berikut ini:

“Kedisiplinan harus rutin dijaga setiap bulannya, bisa melalui pertemuan rutin. Lalu setiap bulannya ada anggota yang berkeluh-kesah, sehingga mereka bisa mengungkapkan. Jadi bisa terdeteksi.”

Berdasarkan pernyataan Sri Jumiati, maka dapat diketahui bahwa pengurus poktan sering mengandalkan pertemuan rutin untuk mencari tahu persoalan yang dihadapi anggotanya. Mencermati pembahasan sebelumnya, bahwa ketidakhadiran para anggota dalam pertemuan rutin disebabkan oleh adanya kendala dengan bank. Memperhatikan pula signifikansi dari kegiatan pertemuan rutin, maka pengurus poktan perlu meningkatkan kepekaan terhadap situasi serta kondisi anggotanya, disertai pula dengan usaha penanggulangannya yang tepat, agar kegiatan pertemuan dapat berjalan dengan baik kembali dan dihadiri oleh seluruh individu Poktan Tranggulasi (minimal sebagian besar).

Berbeda dengan model pertemuan di Poktan Tranggulasi, kegiatan pertemuan rutin Poktan Bangkit Merbabu diadakan tiap minggu (hari Sabtu malam) yang melibatkan seluruh individu dalam poktan. Akan tetapi, seringkali istri dari pada pengurus dan anggota poktan tidak dilibatkan dalam pertemuan rutin. Berikut penjelasan dari Makruf:

“Semua pengurus dan anggota pasti datang ke pertemuan, kalau ada kepentingan mendadak tidak datang ke pertemuan, yang rutin itu yang bapak-bapak, yang 10 orang, tapi yang ibu-ibu juga harus mengetahui. Kalau ditanya sama siapapun harus mengetahui…. Diadakan pertemuan satu minggu sekali pandangan saya lebih banyak manfaatnya, contohnya kalau tanaman yang pendek-pendek umpama kalau dibahas sudah terlanjur panen, kalau pertemuan diadakan satu bulan sekali.”

Pertemuan tiap minggu seperti yang diungkapkan oleh Makruf tersebut masih jarang terjadi di poktan yang berada di Kecamatan Getasan khususnya, karena sebagian besar mengadakan pertemuan satu bulan sekali atau selapan (35 hari)

(29)

sekali. Pertemuan ini wajib dihadiri oleh petani pria yang tergabung dalam poktan. Dengan model pertemuan yang seperti itu, maka tiap individu poktan yang mengalami kendala selama proses melakukan UT-nya dapat segera didiskusikan di pertemuan. Mencermati hasil wawancara itu, jikalau terdapat kendala UT yang dihadapi oleh satu petani, maka petani lainnya (khususnya yang sudah berpengalaman) dapat membantu memberikan masukan atau saran tentang cara untuk mengatasinya. Secara tidak langsung, pembicaraan itu didengarkan oleh petani lainnya dan ilmu tersebut dapat dipetiknya. Dengan demikian, pertemuan rutin sebagai kegiatan diskusi bermanfaat sebagai alat pemersatu fakta dan pendapat anggota kelompok, sehingga kesimpulan dapat diambil. Sumbangan pikiran dari setiap anggota kelompok akan menambah gudang pengetahuan (Suprijanto, 2012:97).

Pernyataan dari Makruf diperlengkap oleh Rochmad sebagai berikut:

“Biarpun ada pengurus kita itu rata, kalau dalam pertemuan malam minggu itu seakan-akan itu tidak ada ketua dan tidak ada lembaga, semuanya sama. Misalkan dalam pertemuan malam minggu itu, semua usulan atau masukan dianggap bagus, tapi nanti dirapikan, yang paling bagus yang mana? Yang berangkat ke pertemuan 10 orang bapak-bapak, kalau ibu-ibu bila ada praktek itu baru diikutkan…. Seperti kemarin kita buat bir, nantinya akan kami kumpulkan bapak sama ibu, semua harus tahu, semua harus menguasai, jadi kita praktekan bersama-sama… Hasilnya rapat itu bapak-bapak beritahu ke ibu-ibu, kesimpulannya yang kemarin itu seperti ini.”

Berdasarkan pernyataan dari Rochmad, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam pertemuan tiap individu dalam poktan memiliki kewajiban dan hak yang sama, salah satunya untuk mengemukakan usulan. Ketika terdapat berbagai macam usulan, maka poktan ini berusaha untuk mengambil keputusan dengan cara musyawarah-mufakat. Suseno (1984:51) mendefinisikan musyawarah-mufakat sebagai proses pertimbangan, pemberian dan penerimaan, dan kompromis, di mana semua pendapat harus dihormati, yang berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran, yang bisa juga diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan dan pendapat partisipan. Menurut Sajogyo (2005:31), suatu cara berapat yang tertentu, musyawarah itu rupa-rupanya harus ada kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat mendorong proses mencocokkan dan mengintegrasikan pendapat itu. Dengan cara yang demikian, diharapkan tidak ada pihak tertentu yang merasa terlalu dirugikan

(30)

atau terlalu diuntungkan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pandi sebagai berikut:

“Anggota dikasih kesempatan siapa yang mau usul. Karena saya waktu itu pernah usul, gimana kalau tiap malam minggu pertemuan itu mengadakan uang paling tidak 50.000 untuk konsumsi minuman dan makanan.”

Kembali ke pernyataannya Rochmad, bahwa wanita tani yang tergabung dalam poktan diikutsertakan dalam pertemuan ketika ada sosialisasi teknologi baru dan kegiatan praktek (misalnya: membuat saprotan atau melakukan budidaya yang benar). Memadukan pernyataan dari Makruf dan Rochmad, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh hasil yang didiskusikan di pertemuan harus disampaikan oleh pria tani kepada wanita tani, agar tidak ketinggalan informasi. Pria tani yang tergabung dalam Poktan BM juga diwajibkan untuk mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan rutin kepada istrinya, supaya tidak ketinggalan informasi. Kaitannya dengan kewajiban yang diemban oleh para pria tani untuk mensosialisasikan hasil pembicaraan dalam pertemuan kepada wanita tani dirasakan oleh Saminah sebagai berikut:

“Kalau ada informasi dari dinas itu sering ada pemberitahuan, diberikan di pertemuan.”

Pertemuan yang diadakan dengan frekuensi satu minggu sekali merupakan suatu bentuk kebijakan. Di manapun yang namanya kebijakan ada kekuatan dan ada pula kelemahannya. Pertemuan dengan model seperti ini dikhawatirkan oleh Daniel Rudolph melalui pernyataan sebagai berikut:

“Kelompok Bangkit Merbabu sering berkumpul bersama. Di situ mereka mendiskusikan tentang organik dan membicarakan tentang semangat untuk bertani organik. Jadi sebagian petani terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk membantu petani lain, jadi usaha tani dia tidak begitu tertangani dengan baik. Jadi, menurut saya menumbuhkan semangat berkelompok itu baik, tapi ketika semangat itu tidak dibarengi dengan sebuah aktivitas menjadi kurang baik. Karena bekerja sebagai petani itu menurut saya merupakan bagian yang tersulit.”

Berdasarkan pernyataan dari Daniel Rudolph, maka dapat diketahui bahwa pertemuan rutin yang diadakan oleh Poktan BM memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Hal ini dikhawatirkan petani yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tinggi (profesional) dalam berusaha tani terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membantu permasalahan UT yang dimiliki oleh petani lainnya. Dengan demikian, proses usaha tani yang dijalankan oleh petani profesional dapat menjadi terbengkalai. Hal ini menjadi rasional, mengingat

Gambar

Tabel 2. Daftar Narasumber Poktan
Tabel 3. Daftar Narasumber Eksternal Poktan
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang perlu dicatat, bagian tertentu atau departemen tertentu dalam sebuah organisasi bisa jadi memiliki frekuensi audit lebih banyak dari departemen yang lain

dan dapat dikatakan minyak atsiri daun pala bersifat toksik dengan ditunjukkan hasil fitokimia yaitu minyak atsiri daun pala mengandung senyawa terpenoid, flavonoid

Dari kajian diatas, maka dapat di simpulkan bahwa untuk dapat meningkatkan hasil belajar adalah dengan menggunakan model Mind Mapping karena dengan model ini

skripsi ini yang berjudul ” Efektifitas Televisi Sebagai Media Informasi ” ( Survey Masyarakat Batu Sari Rt 002 / Tangerang Terhadap Isi Program Berita Kabar Petrang di TV

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 6 Abdul Mansyur Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 7 Achmad Fitriyanto Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan 8 Achmad

Hasil penelitian yang diperoleh dari 40 penelitian terhadap tes kemahiran membaca cepat siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Tanjungpinang Tahun Pelajaran

Perusahaan yang bergerak dibidang tour and travel merupakan suatu perusahaan yang masuk dalam jajaran perusahaan kecil menengah, kebanyakan perusahaan yang

Dimulai dari keinginan untuk dapat memproduksi suatu rancangan produk tertentu, proses produksi membantu perusahaan untuk menemukan teknik-teknik pengerjaan maupun