Muhammadiyah, Kearifan Budaya dan
Neo-Dahlanisme
Oleh: Robby H. Abror
Kalau boleh menyebutkan sebuah masa pencerahan yang sangat membanggakan maka saat yang ditunggu-tunggu ini telah tiba, Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali 2002, dengan “Dakwah Kultural” sebagai kata kunci dalam temanya : “Dakwah Kultural untuk Pencerahan Bangsa”, membukakan secercah harapan bagi pemantapan kualitas keislaman, kebangsaan dan kemuhammadiyahan. Nilai filosofis dan antropologis yang dikandungnya begitu dalam. Secara filosofis, berarti bahwa Muhammadiyah telah melalui masa krisis pemikiran modernisasi dan sekularisasinya dengan membuka lebar-lebar locus dan tempus bagi gagasan-gagasan segar untuk isu-isu global. Secara antropologis, berarti bahwa Muhammadiyah mengambil langkah yang tepat dan lebih fleksibel dalam mengakomodasi budaya-budaya lokal yang sangat multidimensional.
Langkah Muhammadiyah itu merupakan kemajuan yang sangat signifikan. Selama ini organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia ini dipuji karena upayanya yang sungguh-sungguh untuk membersihkan dan memurnikan ajaran-ajaran Islam dari perilaku TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Muhammadiyah memang selalu memegang teguh segala hal dalam bingkai tauhid. Bahkan ide brilian pernah dilontarkan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan sekarang menjabat Ketua MPR RI dan Ketua Umum DPP PAN, Prof. Dr. H.M. Amien Rais, yaitu dengan “Tauhid Sosial”-nya yang menggemparkan sekitar tahun 1995. Semangat tauhid baru yang lebih kontekstual itu lebih menekankan kepedulian sosial dengan membebaskan persoalan umat dan bangsa dari kooptasi berbagai kepentingan yang berbau KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Tetapi, seperti diakui oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, sebagian orang Muhammadiyah mempunyai sikap puritan atau hanya melihat dari segi dalil-dalil normatif sehingga cepat memvonis. Padahal, dengan memahami dan belajar dari budaya-budaya lokal, mereka bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar untuk bisa merangkul masyarakat lebih luas lagi. Keputusan Tanwir Muhammadiyah di Bali tersebut adalah sebuah langkah terobosan yang tepat, kendatipun agak terlambat. Kita membayangkan bagaimana seandainya para tokoh organisasi itu mengambil langkah tersebut dua puluh lima tahun yang lalu misalnya, saat perubahan dunia mulai berlangsung demikian pesat.
Muhammadiyah memiliki peran sangat strategis. Organisasi ini memiliki berbagai lembaga yang mendukung kesejahteraan masyarakat, mulai dari rumah sakit-rumah sakit hingga lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola dengan baik. Ribuan sekolahd ari TK hingga SMU dan bahkan perguruan tinggi tersebar di seluruh pelosok tanah air. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan ataupun amal usaha tersebut, khususnya, merupakan keunggulan Muhammadiyah dari organisasi keagamaan lainnya.
strategis tentunya adalah sekolah-sekolah, tempat generasi muda menuntut ilmu dan dibentuk sikap mentalnya.
Di hadapan Muhammadiyah terbentang besar bagaimana memajukan masyarakatnya di tengah perubahan cepat dunia sekarang ini. Bagaimana pula Muhammadiyah mengambil peran yang lebih besar? Di manakah-meminjam pernyataan John L. Esposito “otak-otak kelas satu yang dapat menginterpretasikan kekolotan dalam istilah-istilah baru pada urusan substansi dan mengubah yang baru untuk melayani kaum kolot dalam urusan idealisasi” kaum Muslimin di negeri ini? Mereka ada di mana-mana, di berbagai organisasi Muslim, salah satunya yang menonjol tentunya berada di Muhammadiyah. Organisasi itu memiliki orang-orang dengan kualitas nomor satu. Banyak doktor dan profesor, juga para intelektual otodidak Muhammadiyah yang mengabdi dengan kesadaran tinggi di tempat tugas masing-masing. Mereka adalah aset-aset organisasi yang sangat strategis posisinya. Dengan pemahaman baru tentang pentingnya pendekatan budaya daerah, Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang semakin mengakar di masyarakat.]
Neo-Dahlanisme : “Aliran” Baru Muhammadiyah
Kalau sejarah Muhammadiyah dibentangkan dan diukur dengan kacamata historikofilosofis, maka akan tampak jelas perjalanan sejarah pemikiran dan wacana dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, terutama corak pemikiran beserta berbagai gagasan para pemimpinnya dari masa ke masa. Pembagian ini sebenarnya lebih merupakan upaya memperkaya khazanah intelektulisme dan perwajahan Muhammadiyah pasca-Tanwir di Bali. Ada tiga masa penting yang mengindikasikan munculnya “aliran” dalam sejarah Muhammadiyah.
Pertama, masa Dahlan atau K.H. Ahmad Dahlan (191-1923). Gerakan dakwahnya yang sangat dominan adalah pemurnian tauhid dan ibadah dalam Islam, di samping peningkatan pendidikan, seperti pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah dan membendung arus penetrasi gerakan Kristenisasi. Gerakan dakwahnya yang paling terkenal, seperti : meniadakan kebiasaan menujuhbulani (tingkep, Jawa), menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri, seperti selamatan untuk menghormati Syekh Abdul Qadir Jaelani, Syekh Saman dan lain-lain yang dikenal dengan manakiban dan barzanji serta tahlilan dan shalawatan pada hari kematian seperti keseratus atau keseribu harinya.
Kedua, masa Dahlanisme, yaitu munculnya para pemimpin Muhammadiyah yang masih kental dengan corak pemikiran pendirinya, yaitu Kyai Dahaln. Mereka adalah K.H. Ibrahim (1923-1932), K.H. Hisyam (1932-1936), K.H. Mas Mansur (1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), A.R. Sutan Mansur (1952-1959), H.M. Yunus Anis (1959-1968), K.H. Ahmad Badawi (1962-1968), K.H. Fakih Usman/H.A.R. Fakhruddin (1968-1971), K.H. Abdur Razak Fahruddin (1971-1990) dan K.H.A. Azhar Basyir, M.A. (1990-1995). Termasuk di dalamnya, Buya Hamka yang terkenal dengan “Tafsir Al-Azhar”-nya, Jenderal Sudirman dan Bung Karno.
“image” yang kurang menguntungkan dan dianggap “mengancam” eksistensi non-Muhammadiyah yang sebelumnya telah “merebut” segmen akar rumput. Salah satu contoh yang tampak mengakar dalam warga persyarikatan adalah gerakan dakwah yang mengembangkan wacana “anti-tahlilan”, “anti-qunut”, dan seterusnya. Strategi dakwah yang berpaham purifikasi tauhid dan dinamisasi ini, bagi warga non-Muhammadiyah dipandang sangat menakutkan dan identik dengan gerakan perubahan Wahabi yang terkenal sangat keras.
Ketiga, masa neo-Dahlanisme. “Aliran” ini tidak saja mengikuti sepak terjang para pendahulunya, dari Kyai Dahlan sampai Kyai Basyir, tetapi juga melancarkan perbedaan sudut pandang yang sangat mencolok dengan mereka. Aliran ini juga tidak segan-segan malakukan autokritik ke dalam Muhammadiyah sendiri dan tampil lebih luwes, seperti diterimanya shalawat, nasyid dan segala yang berbau kesenian dan kebudayaan. Dua pendekar yang tampak mencolok dalam memberikan warna yang sangat berbeda dengan para pendahulu mereka adalah Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. (1995-2000) kemudian Prof. Dr. H.A. Syafii Maarif (2000-2005).
Ijtihad politik yang dilakukan Amien Rais ketika memilih ingin terjun ke pentas politik betul-betul mengagetkan jama’ah persyarikatan ini. Kita ingat tatkala beliau melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dan banting setir ke partai politik, ribuan warga persyarikatan mengantarnya dengan doa dan tangis haru. Kalua ada pimpinan Muhammaidyah yang paling vokal dan berani secara iklhas melancarkan kritik pedas tanpa tedeng aling-aling kepada wajah ketidakadilan, kemunafikan dan kaum penindas, tak perlu diragukan lagi dialah orangnya. Meski jugai menuai kritik dari teman-temannya sendiri yang sangat khawatir dan ketakutan dengan sepak terjangnya, Amien tetap teguh melakukan dakwah “Tauhid Sosial”-nya. Padahal kenyataannya, beliau tetap tegar berdiri tegak di atas prinsip moral Muhammadiyah,
amar ma’ruf nahi munkar (to enjoin rightful action and forbidding what is wrong and evil). Dialah pendekar keadilan dan kebenaran yang tinggal di balik layar yang senantiasa menyembunyikan “tangan kirinya”, bersikap santun dan tidak arogan.
Di samping Pak Amien, seorang sahabat dekatnya, yaitu Pak Syafii adalah sosok intelektual-ulama yang jenius dan sangat menjunjung tinggi moral atau filsafat etika. Keduanya adalah lulusan Chicago. Saat ini (pasca-Tanwir 2002), Pak Syafii betul-betul ingin mengubah wajah Muhammadiyah untuk mengapresiasi wacana budaya lokal secara cerdas dan apa adanya (taken for granted). Beliau juga mengingatkan kepada para mubaligh Muhammadiyah agar bertindak lebih dewasa, bersikap inklusif dan tidak cepat menghukum. Menurutnya, orang Muhammadiyah harus memahami agama secara komprehensif dan tidak satu-dua ayat. Pendek kata, agar tidak alergi dulu dengan budaya lokal, maka perlu memahami peta sosial dan kultural yang ada.
Gagasan segarnya disambut baik oleh para pengikutnya seperti Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah yang mengatakan perlunya dialog intelektual, budaya dan sosial yang sejuk dan ramah lingkungan dengan para tokoh dan anggota masyarakat serta pejabat daerah setempat. Menurutnya, para da’I harus pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang sekadar asesoris budaya lokal. Baginya kearifan budaya lokal sangat dibutuhkan dalam dakwah kultural ini.
Ade, Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, Chaerul Umam dan seterusnya. Mereka adalah lokomotif “intelektual kampus” dan “cendikiawan jalanan” yang perlu dirangkul dan diajak menata irama perjalanan dan kehidupan Muhammadiyah.
Akhirnya, setuju atau tidak, pembagian masa yang menunjukkan “aliran” yang dinamis dalam tubuh Muhammadiyah adalah keniscayaan yang tak terbantahkan adanya. Biarlah wacana intelektual berkembang secara dinamis, asal dakwah kultural ini tidak tergerus oleh gemilang pemikiran “kanan’ dan “kiri” yang semakin tajam dalam wajah generasi muda Muhammadiyah sendiri. Biarkanlah anak-anak muda Muhammadiyah menjamur dan bebas berekspresi di organisasi KAMMI, IMM, HMI, di partai manapun, di tempat kerja apapun, asal tetap dalam koridor tauhid yang mantap serta selalu dibimbing ke jalan yang lurus. Salama jalur dakwah kultural ini secara konsisten diejawantahkan, pada saatnya, Muhammadiyah akan menjadi harapan bangsa, tidak hanya mereka yang berpendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi rakyat Indonesia akan merasa memiliki serta ikut membantu dan memikirkan masa depannya.