• Tidak ada hasil yang ditemukan

OKSIDENTALISME.doc 50KB Jun 13 2011 06:28:02 AM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "OKSIDENTALISME.doc 50KB Jun 13 2011 06:28:02 AM"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

OKSIDENTALISME:

MENANTI PERAN MUHAMMADIYAH

Anang Rikza Masyhadi

Barangkali isu yang paling menarik di tanah air saat ini ialah isu terorisme. Belum hilang ingatan kita dari kasus bom Bali, disusul dengan peledakan hotel JW. Marriot, serta masih banyak lagi daftar ledakan bom dan kejahatan terorisme lain di bumi nusantara ini. Sayangnya, lagi-lagi umat Islamlah yang dijadikan “kambing hitam”, melalui tuduhan sebagai biang pelaku terorisme; sebagai Jamaah Islamiyah-kah, Ikhwanul Muslimin, Islam Radikal, dan labelisasi lainnya. Dan pemerintah kita seperti tidak berdaya menghadapi semua itu, dan seperti sudah jamak diketahui oleh publik luas, bahwa pemerintah kita tiada lain hanya menjalankan skenario Barat dalam memojokkan Islam beserta umatnya.

Memang, bahwa pandangan minor dan stereotype Barat terhadap bangsa-bangsa Islam itu sejatinya bukanlah hal baru. Dan terorisme merupakan salah satu jargon yang mereka usung untuk mengukuhkannya. Karena, setidaknya, sejak Orientalism muncul sebagai suatu disiplin ilmu, sesungguhnya Barat-Eropa telah menetapkan suatu cara pandang tersendiri mengenai Islam dan dunia Timur berdasarkan kaidah, prinsip dan ketentuan-ketentuan yang mereka buat sendiri, agar mereka dapat dikuasai.

Orientalisme

Dalam Orientalisme, menurut Hassan Hanafi (2000), Barat membedakan antara dirinya yang rasional dan bersemangat dengan Timur yang jumud dan malas. Oleh karenanya, dalam sosiologi klasik pun muncul pertanyaan; “mengapa kapitalisme industri muncul pertama kali di Barat (bukan di Timur)”?. Suatu pertanyaan yang akan menggiring orang untuk memperhadapkan Timur dan Barat. Dan dalam konteks memperhadapkan Timur-Barat itulah, Islam selalu diajukan sebagai suatu problem serta kambing hitam kemunduran Timur.

Ini perlu dicermati, karena mengidentifikasikan Islam sebagai “agama Timur” membesitkan kerancuan teoretis. Sebab Kristen jika dilihat dari sisi bahwa ia merupakan bagian dari kepercayaan atau agama-agama langit dan termasuk dalam Abrahamic Faith (al-Ibrâhîmiyyah), disamping pernah pula menjadi agama terbesar di Afrika Utara dan Bulan Sabit Asia, maka pada dasarnya Kristen bisa dianggap sebagai “agama Timur”. Sebaliknya, Islam jika dilihat dari sisi bahwa ia merupakan

(2)

faktor paling dominan dalam budaya dan peradaban Spanyol, Sicilia, Balkan dan Eropa Timur, maka Islam dengan demikian dapat dikatakan sebagai “agama Barat”.

Pandangan geo-kultural "Barat" dan "Timur" yang berkembang pada bangsa-bangsa Eropa itu, sejatinya tidaklah terlalu aneh. Melalui tesis Huntington, The Clash of Civilization, sangat terasa adanya semangat triumphalisme pada Amerika khususnya dan Barat umumnya setelah keruntuhan Uni Soviet, yang dalam pandangan cendekiawan Nurcholish Madjid, tidak akan jauh dari sudut pandang semangat kemenangan Barat dalam melawan "semua yang lain" (the West against the Rest). Dalam banyak konteks, konsep "Timur" dan "Barat" juga mengandung makna yang tidak dapat dibenarkan, karena ada unsur pejoratif yang menyebabkannya menjadi konsep yang subyektif.

Bertolak dari sini, Orientalisme harus tetap dikritisi. Sayangnya, kritikus paling gigih berkebangsaan Palestina, Edward Said, dalam bukunya yang masyhur, Orientalism, tidak mengarahkan prinsip-prinsip yang dibangun dalam kritiknya guna mengembangkan pandangan atau teori-teori sebagai antitesa Orientalisme. Ia justru sibuk menghujat para orientalis yang dinilainya sebagai “biang-biang teroris” sesungguhnya.

Islam dan Oksidentalisme

Sebagai antitesa Orientalisme, Hassan Hanafi dari Cairo University mencetuskan Oksidentalisme (ilm al-Istighrâb), sebagai sebuah paradigma sekaligus kerangka ilmu. Jika Orientalisme ialah pandangan tentang “kita” (Islam dan Timur) melalui kacamata “mereka” (Barat), maka Oksidentalisme dimaksudkan untuk menguak ambiguitas sejarah antara “kita” (Ego) dan “mereka” (Other), serta pergulatan antara kelemahan “kita” dan keunggulan “mereka”.

Peninjau yang westernistik mengira bahwa Abad Modern --dimana keunggulan berada di tangan Barat-Eropa—merupakan sesuatu yang secara istimewa hanya bisa lahir di Barat, yakni Eropa, dan dengan nada simplistis mereka menariknya ke belakang sampai Graeco-Roman Civilizations. Lebih tidak benar lagi ialah pandangan bahwa modernisme itu merupakan “genius” peradaban Yahudi-Kristen.

(3)

intelektual paling tinggi). Lebih-lebih berkenaan dengan Masyarakat Madinah zaman Nabi S.a.w, Abad Modern dengan mantap dipandang sebagai kelanjutan langsungnya, terutama dilihat dari segi pola kehidupan sosial-ekonominya sebagai citied society (Madjid, 1984).

Kenyataan seperti ini diabaikan oleh para orientalis. Pada gilirannya, ini akan menghasilkan perasaan unggul dan superior pada European sebagai subyek, dan melahirkan perasaan inferior pada Non-european sebagai obyek (Hanafi : 2000). Barat dalam hal, misalnya, persenjataan, pendidikan, modernisasi, bahkan dalam makanan? Dalam skala yang lebih luas, sistem kebudayaan kita juga telah tergadaikan kepada agen-agen kebudayaan dan peradaban lain dan mencakup aliran-aliran Barat yang sosialis, marxis, liberalis, nasionalis, eksistensialis, kapitalis, dan lain sebagainya. Sampai-sampai seseorang tidak dianggap sebagai pemikir, intelektual, cendekiawan, atau seniman, misalnya, jika ia tidak menisbatkan dirinya kepada aliran dan madzhab-madzhab tersebut. (Hanafi : 2000)

Dengan demikian, kita telah meletakkan diri pada suatu sisi dalam kancah yang kita sendiri bukan merupakan bagian darinya. Padahal, kancah itu telah menyebabkan kita tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok. Dan ironisnya, pengelompokan kita itu bukan didasarkan atas sikap-sikap yang prinsipil mengenai jati diri kita, melainkan sekedar sebagai “pengikut”. Penjajah memang telah pergi, namun tetap saja pikiran dan benak bangsa masih terbelenggu.

Di sinilah pentingnya identitas, yang menjadi tantangan paling berat dihadapi umumnya orang-orang Islam dan bangsa Timur. Bagaimana memelihara identitas tanpa harus menutup diri, serta bagaimana menyikapi modernitas tanpa harus terjebak dalam kubangan taqlîd?

(4)

Banyak sekali contoh pandangan dan pikiran dalam Islam dalam mempertahankan identitas. Pertama, larangan al-Qur’an menjadikan orang lain sebagai pemimpin, ataupun bersahabat dengan musuh, sebab target musuh ialah menghancurkan identitas, menyeretnya ke dalam kubangan taqlîd, sehingga yang ada hanya “mereka” (Q, s. 5:51, 2:120, 3:100, 109:1-6). Kedua, menolak segala bentuk taqlîd dalam hal tingkah laku dan keyakinan, sembari menekankan adanya tanggungjawab pribadi. Ketiga, contoh yang ditunjukkan oleh pemikiran Islam klasik, yang tanpa mengingkari identitas dirinya berhasil membangun dan memerankan peradaban Islam yang modern sekaligus kosmopolit.

Jadi, Oksidentalisme hadir setidaknya sebagai sebuah sarana menekan westernisasi, alienasi, Eropa-sentrisme serta untuk mengatasi inferioritas budaya sendiri. Melalui Oksidentalisme, suatu saat diharapkan bangsa-bangsa muslim, tidak segan-segan menolak hegemoni dan campur tangan Barat-Eropa, supaya menjadi bangsa yang benar-benar “merdeka” dalam arti yang sesungguhnya

Oksidentalisme: Menanti Peran Muhammadiyah

Namun, karena sifatnya sebagai sebuah disiplin ilmu, sesungguhnya di lingkungan akademisi kampus dan otoritas pendidikan, tidaklah terlalu sulit untuk menjadikan Oksidentalisme sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib diikuti seluruh mahasiswa. Dalam konteks ini, Persyarikatan Muhammadiyah, melalui PTM-PTM-nya yang tersebar di seantero tanah air, sejatiPTM-PTM-nya memiliki kesempatan dan potensi yang luar biasa untuk mensosialisasi dan menghidupkan disiplin ilmu Oksidentalisme. Dalam hal ini, setidaknya dua buku tentang Oksidentalisme yang ditulis sendiri oleh pencetusnya, yaitu “Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb” (Pengantar Ilmu Oksidentalisme) dan “Mâdza Ya’ni ‘Ilm al-Istighrâb” (Apakah Oksidentalisme itu?) dapat dijadikan acuan dan pegangan bagi PTM-PTM.

Hemat saya, dengannya Muhammadiyah dapat menanamkan pengetahuan sejarah yang obyektif dan proporsional mengenai hubungan “Timur” dan “Barat”. Demikian pula, melalui Oksidentalisme di PTM-PTM-nya, Muhammadiyah dapat berperan besar dalam menekan gelombang westernisasi dan alienasi, serta ikut andil dalam melahirkan generasi bangsa yang memiliki jiwa bebas, mandiri dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Wallâhu a’lam.

---

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Sebaiknya diadakan perundingan atau penyelesaian masalah ini dengan duduk bersama dan mencari solusi terhadap permasalah-permasalahan tersebut adalah hal yang wajib dilakukan

Pekerjaan ini dibiayai dari sumber pendanaan : DIPA Pusat D ata dan Informasi Kesejahteraan Sosial Tahun Anggaran 20 13, DIPA belum disahkan DPR apabila

Langkah keempat yang dilakukan oleh Puskesmas adalah menyusun rencana pelaksanaan kegiatan yang telah disetujui oleh Dinas kesehatan kabupaten/kota atau penyandang

Sehubungan dengan pelaksanaan proses pengadaan jasa konsultansi Teknologi Informasi dan Jaringan Program Keluarga Harapan Tahun 2012, maka bersama ini kami

Jadi, secara keseluruhan penerapan desain interior di Restoran Piazza Italia dan Brandi Pizzeria dengan sistem pelayanan dan jenis masakannya apabila dilihat dari

Kepres 70 Tahun 2012 para penyedia barang dan jasa harap menyiapkan berkas asli dokumen. kualifikasi dan membawa ke

Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.Sebagai contoh, bila anestetik lokal dikenakan pada korteks motoris, impuls yang dialirkan dari daerah tersebut terhenti, dan

Upacara adat gusaran itu sendiri akan dilakukan satu hari sebelum arak-arakan dimulai, dimana para calon penunggang sisingaan wajib melakukan upacara adat gusaran,