Tajuk:
MUNGKINKAH MENYATUKAN TOKOH ISLAM?
Indonesia merupakan negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Hiruk pikuk aspirasi dan langkah politik yang mengatasnamakan umat Islam juga relatif tinggi. Lebih-lebih yang menyangkut gerakan-gerakan yang disebut sebagai fundamentalis atau radikal seperti yang dilekatkan kepada Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, dan lain-lain. Partai-partai yang berbasis umat Islam pun demikian marak, apalagi yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai Islam dengan simbol-simbol formal Islam.
Tetapi sungguh ironis. Ketika umat Islam itu diproyeksikan ke dalam posisi politik, terutama pada level kepemimpinan nasional seperti Presiden Indonesia, yang muncul ke permukaan selalu bernuansa kaum nasionalis-sekular. Soekarno, Soeharto, dan Megawati, tergolong ke dalam kategori Presiden yang berbasis nasionalis-sekular itu. Sedangkan kalangan santri tidak merupakan main-stream atau arus utama. Kita pernah memiliki Habibie dan Abdurrahman Wahid, yang dikategorisasikan mewakili nasionalis-Islam (santri), tetapi sayang usianya tidak lama. Dengan catatan, bahwa untuk Abdurrahman Wahid, kesan kesantrian itu menjadi kontroversi, ketika pikiran dan aspirasi politiknya cenderung sekular dalam memposisikan agama dengan negara.
Jangan-jangan untuk 2004 pun, kaum nasionalis-sekular akan memegang kendali puncak kekuasaan lagi di Indonesia. Beberapa poling menunjukkan ke arah itu, bahkan belakangan nama Sultan Hamengkubuwono X dan Susilo Bambang Yudhoyono mulai muncul atau dimunculkan ke permukaan, selain nama Megawati Soekarnoputri yang kini menjadi Presiden Indonesia dan mewakili konstituen politik yang relatif besar. Sedangkan untuk kalangan santri atau nasionalis-Islami terdapat nama M Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, juga Nurcholish Madjid dari luar partai politik.
Tampilnya kaum nasionalis-sekular sangatlah mungkin, pertama karena aspirasi rakyat tampaknya masih banyak mengarah ke sana, sedangkan hal kedua bahwa kalangan Islam santri atau nasionalis-Islam sendiri terpecah-belah. Kita sulit memahami realitas sosiologi politik masyarakat Indonesia, yang terkesan tidak menyukai Presiden yang benar-benar kental warna keislamannya. Sehingga yang layak jadi Presiden seolah-olah yang nasionalis-sekular dengan nama bersimbol etnik Jawa misalnya.